Novel Singkat Hujan yang Tak Pernah Berhenti
Novel Singkat Hujan yang Tak Pernah Berhenti

Novel Singkat: Hujan yang Tak Pernah Berhenti

Rey, seorang arsitek muda yang hidup dengan kedamaian dan rencana, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan seorang gadis di bawah payung hujan akan mengubah segalanya. Alisa, seorang ilustrator penuh semangat, hadir dalam hidupnya dengan cara yang sederhana namun mendalam.

Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Alisa didiagnosis dengan penyakit jantung bawaan dan harus menjalani operasi di luar negeri. Sebelum pergi, ia berjanji akan kembali dan meminta Rey menunggunya di taman tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama.

Setiap tahun, Rey kembali ke tempat itu, menunggu di bawah hujan dengan penuh harapan. Namun, yang datang bukanlah Alisa, melainkan abu kremasinya dan sebuah surat perpisahan yang ditulis sebelum operasi.

Dihantui sedih, Rey tetap terjebak dalam penantiannya, sampai ia bertemu Amelia—saudari kembar Alisa yang tidak pernah ia mengetahui keberadaannya. Pertemuan itu membuka rahasia yang disembunyikan Alisa selama ini dan membuat Rey menghadapi kenyataan bahwa cinta sejati bukan hanya tentang menunggu, tetapi juga tentang belajar melepaskan.

Bab 1: Pertemuan di Bawah Payung Hujan

Hujan turun tanpa ampun, membasahi trotoar kota yang sudah penuh dengan genangan. Langit mendung menggantung rendah, seolah siap menjatuhkan butiran hujan lebih deras lagi. Rey menundukkan kepala, mengeratkan genggaman pada gagang payung hitam yang ia bawa. Udara dingin menyelinap melalui celah jaketnya, membuatnya menggigil samar.

Di halte bus kecil tempat ia biasa menunggu, hanya ada seorang gadis berdiri sendirian di ujung bangku kayu yang tampak basah. Ia mengenakan sweater putih kebesaran dengan lengan yang menutupi sebagian tangannya, dan rambutnya yang basah menempel di pipinya. Rey melihatnya sekilas, tidak berniat terlalu lama mengamati. Namun, tatkala gadis itu mengangkat wajahnya, pandangan mereka bertemu.

Mata gadis itu terlihat sendu, tetapi tidak muram. Seolah ada sesuatu yang menahannya di sana, sesuatu yang tak terlihat. Rey menatap sejenak sebelum kembali melihat layar ponselnya. Tapi entah kenapa, sudut matanya tetap menangkap gerakan gadis itu yang berusaha mengecilkan tubuhnya di bawah atap halte yang bocor.

Butiran hujan jatuh lebih deras, membentuk ritme yang konstan di atas jalanan. Gadis itu tampak ragu-ragu, memandang sekitar seperti mencari sesuatu—atau seseorang. Rey bisa melihat jelas bahwa ia gemetar. Setelah beberapa detik, gadis itu menghela napas panjang dan merapatkan sweaternya lebih erat.

Rey akhirnya mengalah pada dorongan hatinya. Ia melangkah mendekat, lalu tanpa berkata apa-apa, ia mengulurkan payungnya di atas kepala gadis itu.

Gadis itu menoleh dengan ekspresi terkejut. “Eh?”

“Kamu nggak bawa payung?” tanya Rey, suaranya nyaris tenggelam dalam suara hujan.

Gadis itu menatap ke arah tangannya yang kosong, lalu menggeleng pelan. “Tadi aku buru-buru keluar dari kafe dan… ternyata lupa bawa payung.”

Rey menatapnya sebentar sebelum sedikit menggeser posisi agar payungnya bisa menutupi mereka berdua. “Kalau gitu, pakai ini aja dulu.”

“Apa nggak apa-apa?” Gadis itu tampak ragu. “Nanti kamu kehujanan.”

Rey mengangkat bahu. “Aku udah basah duluan.”

Gadis itu tersenyum kecil, tapi masih tampak bimbang. “Terima kasih, ya,” katanya akhirnya, menerima tawaran Rey.

Rey tidak menyangka bagaimana hanya dari satu kalimat itu, ia bisa merasakan sesuatu yang hangat. Sesuatu yang berbeda. Ia menatap gadis di sampingnya, menyadari betapa rapuh tapi sekaligus kuatnya aura yang ia pancarkan.

Tak lama, bus yang ditunggu gadis itu datang. Sebelum naik, ia menatap Rey sekali lagi. “Namaku Alisa.”

Rey hanya sempat mengangguk sebelum Alisa tersenyum padanya—senyum yang terasa begitu ringan, tapi entah kenapa meninggalkan jejak di hatinya. Bus melaju pergi, meninggalkan Rey yang masih berdiri di tempatnya, dengan payung yang kini sudah tidak ia gunakan lagi.

Hujan masih turun, tapi kali ini, ia tidak merasa terlalu dingin.

Rey masih terpaku di tempatnya, menatap bus yang membawa Alisa menjauh. Ia tidak tahu kenapa pertemuan singkat itu meninggalkan kesan yang begitu dalam. Mungkin karena ekspresi sendu di wajah gadis itu. Mungkin juga karena cara Alisa mengucapkan namanya—pelan, tapi terasa begitu nyata.

Ia menghela napas pelan, menggenggam payung yang kini tak lagi dipakai. Hujan semakin deras, tapi ia tidak peduli. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam saku jaketnya. Rey merogoh saku dan melihat nama sahabatnya, Dimas, muncul di layar.

“Bro, lu di mana? Gue udah nungguin di kafe, nih. Hujan gede banget, lu jadi ke sini?”

Rey melirik ke arah kafe yang disebutkan Dimas, hanya beberapa meter dari halte. Ia sebenarnya sudah berniat pergi ke sana sebelum hujan turun dan entah bagaimana malah berakhir di sini, bertemu dengan gadis yang kini sudah pergi.

“Lagi di jalan, bentar lagi nyampe.” Rey mengetik cepat lalu memasukkan ponselnya kembali.

Ia melangkah menuju kafe dengan langkah santai, masih memikirkan pertemuan tadi. Saat masuk, aroma kopi yang khas langsung menyambutnya. Kafe ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan laptop atau obrolan ringan mereka. Di sudut ruangan, Dimas sudah melambai ke arahnya.

“Bro, lu ngapain lama banget? Gue udah hampir pesen buat lu,” kata Dimas sambil menyeruput kopinya.

“Ketahan hujan,” jawab Rey singkat, duduk di kursi di seberangnya.

Dimas mengangkat alis. “Terus kenapa muka lu kayak orang baru ketemu bidadari?” godanya.

Rey tersenyum tipis, tapi tidak membalas. Ia malah melirik ke arah jendela besar di sisi kafe, tempat ia bisa melihat halte tempat ia berdiri tadi. “Gue tadi ketemu cewek di halte.”

Dimas menatapnya penuh minat. “Oh? Lanjut, lanjut. Jangan setengah-setengah ceritanya.”

Rey menceritakan pertemuannya dengan Alisa, dari bagaimana gadis itu berdiri sendirian di tengah hujan hingga caranya mengucapkan namanya sebelum pergi. Dimas mendengarkan dengan ekspresi penasaran, lalu bersiul pelan.

“Wah, jadi ini model kisah cinta yang dimulai dari satu payung di tengah hujan?” ia bercanda.

Rey tertawa kecil. “Nggak tahu. Gue juga nggak yakin bakal ketemu dia lagi atau nggak.”

Dimas menatapnya dengan senyum penuh arti. “Kalau udah ditakdirkan, pasti ketemu lagi, bro.”

Rey tidak menjawab. Ia hanya menatap ke luar jendela, memperhatikan hujan yang perlahan mulai mereda. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya—apakah Alisa juga masih memikirkan pertemuan mereka, sama seperti dirinya?

Bab 2: Cinta yang Tumbuh Diam-Diam

Rey tidak menyangka, pertemuannya dengan Alisa di bawah payung hujan bukanlah yang terakhir.

Seminggu setelah hari itu, ia kembali ke kafe tempatnya biasa nongkrong dengan Dimas. Saat masuk, aroma kopi khas langsung menyambutnya, dan matanya tanpa sadar menyapu ruangan. Ia tidak tahu apa yang ia cari—atau siapa—sampai akhirnya pandangannya berhenti di salah satu meja dekat jendela.

Di sana, duduk seorang gadis dengan sweater putih kebesaran yang sangat familiar. Rambutnya yang tergerai ditiup lembut oleh angin dari jendela yang sedikit terbuka. Ia tampak sibuk membaca buku, dengan sebuah cangkir kopi di sampingnya.

Rey tidak sadar bahwa ia tersenyum.

Tanpa ragu, ia melangkah mendekat dan berdiri di hadapan gadis itu. “Alisa?”

Gadis itu mengangkat wajah, lalu sedikit terkejut sebelum akhirnya tersenyum. “Oh, Rey, kan?”

Rey mengangguk, lalu melirik kursi kosong di seberangnya. “Boleh duduk?”

Alisa tertawa kecil. “Kalau aku bilang nggak boleh?”

Rey mengangkat bahu. “Ya, aku tetap bakal duduk. Tapi kalau kamu bilang boleh, aku bakal traktir kamu kopi.”

Alisa tertawa lebih lepas kali ini. “Baiklah, duduk saja. Tapi aku nggak janji bakal menghabiskan kopi yang kamu traktir.”

Rey mengangkat tangan, memanggil pelayan, lalu memesan dua cangkir kopi. Alisa menutup bukunya dan menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Kita ketemu lagi,” kata Alisa pelan, seolah ia sendiri tidak percaya.

“Iya,” Rey mengangguk. “Mungkin memang harus ketemu lagi.”

Sejak hari itu, Rey dan Alisa semakin sering bertemu. Mereka selalu duduk di meja yang sama di kafe, berbagi cerita tentang banyak hal. Rey adalah pendengar yang baik, dan Alisa tampaknya menyukai itu. Kadang, mereka hanya duduk diam sambil menikmati kopi dan hujan di luar, tanpa perlu berkata apa pun.

Setiap pertemuan selalu terasa ringan, tapi perlahan, ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka.

Suatu hari, saat hujan turun deras, Rey dan Alisa duduk di bangku kayu di taman kota setelah meninggalkan kafe. Langit gelap, dan suara gemericik hujan menjadi latar belakang obrolan mereka.

“Rey,” panggil Alisa tiba-tiba.

“Hm?”

“Kalau suatu hari aku menghilang, kamu bakal nyariin aku?”

Rey mengernyit. “Maksudnya?”

Alisa menatap hujan yang turun di depan mereka. “Nggak tahu. Aku cuma penasaran. Kalau aku pergi, apakah kamu akan mencariku?”

Rey diam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Tergantung, perginya kemana?”

Alisa tertawa, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. “Jauh. Mungkin ke tempat yang nggak bisa aku kembali lagi.”

Rey ikut menatap hujan, merasa ada yang aneh dengan kata-kata Alisa. Namun, ia memilih untuk menanggapinya dengan ringan. “Kalau gitu, aku bakal tetap nunggu kamu balik.”

Alisa menoleh padanya dan tersenyum. “Janji?”

“Janji,” jawab Rey, tanpa tahu bahwa janji itu akan menjadi sesuatu yang sangat berat untuk ditepati.

Bab 3: Janji di Bawah Hujan

Hari itu, langit terasa lebih kelabu dari biasanya. Hujan turun dengan rintik halus, seperti menangisi sesuatu yang belum terjadi.

Rey berdiri di depan kafe, menunggu Alisa yang berjanji akan menemuinya. Ia tidak tahu mengapa hatinya terasa gelisah. Ada sesuatu yang tidak biasa, tapi ia tidak bisa menjelaskan apa itu.

Lima belas menit kemudian, Alisa datang dengan wajah yang sedikit pucat. Ia masih mengenakan sweater putih kebesarannya, tapi kali ini terlihat lebih lusuh. Rambutnya sedikit berantakan, dan senyum yang biasanya menghiasi wajahnya tampak lebih dipaksakan.

Rey bisa langsung merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

“Kamu sakit?” tanyanya begitu Alisa duduk di kursi seberangnya.

Alisa tersenyum samar, lalu menggeleng. “Nggak, aku baik-baik aja.”

“Kamu yakin?”

Alih-alih menjawab, Alisa menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya—seperti seseorang yang ingin mengatakan sesuatu, tapi terlalu takut untuk mengatakannya.

Rey menggenggam tangan Alisa di atas meja. “Ada apa?”

Alisa menarik napas dalam. “Aku harus pergi.”

Dada Rey seperti ditinju sesuatu yang tak kasat mata. “Pergi ke mana?”

Alisa menunduk, menatap jemarinya sendiri yang bertautan di pangkuannya. “Ke luar negeri. Aku harus operasi jantung secepatnya. Dokter bilang… aku nggak bisa menunda lagi.”

Rey terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti badai.

Operasi jantung? Sejak kapan Alisa sakit? Kenapa ia tidak pernah tahu?

Seolah mengerti kebingungannya, Alisa melanjutkan dengan suara yang lebih lirih, “Aku nggak bilang sama kamu karena aku nggak mau kamu khawatir. Aku pikir aku bisa menanganinya sendiri, tapi ternyata… nggak sesederhana itu.”

Rey menatap gadis di depannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia ingin marah karena Alisa menyembunyikan ini darinya, tapi di sisi lain, ia terlalu takut untuk kehilangan.

“Kenapa kamu nggak cerita dari awal?” suaranya hampir bergetar.

Alisa menatapnya, dan kali ini air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Karena aku nggak mau melihat kamu seperti ini, Rey.”

Rey menggeleng, mencoba menahan emosi yang meluap dalam dirinya. “Berapa lama kamu pergi?”

“Aku nggak tahu,” jawab Alisa jujur. “Tapi aku janji, kalau aku sembuh, aku akan kembali.”

“Dimana aku harus menunggumu?”

Alisa tersenyum tipis meskipun air matanya masih mengalir. “Di taman tempat kita biasa duduk. Setiap tanggal ini, setiap tahun, kalau aku bisa kembali, aku pasti ada di sana.”

Rey mengangguk pelan. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Alisa, tapi jika ini satu-satunya jalan untuknya bertahan, ia harus merelakannya pergi.

Ia menggenggam tangan Alisa lebih erat. “Aku akan menunggu.”

Alisa mengangkat wajahnya, tersenyum dalam kesedihan. “Janji?”

Rey mengangguk. “Janji.”

Hari itu, mereka duduk lama di sana, di bawah hujan yang semakin deras. Mereka tidak peduli dengan tubuh yang mulai basah atau udara dingin yang menembus kulit. Mereka hanya ingin mengingat momen itu—saat terakhir sebelum segalanya berubah.

Dan ketika akhirnya mereka berpisah di bandara beberapa hari kemudian, Rey berdiri di balik kaca, melihat pesawat yang membawa Alisa pergi. Ia mengangkat tangan, berharap Alisa akan melihatnya.

Di sisi lain kaca, Alisa juga mengangkat tangannya, tersenyum meskipun matanya berlinang air mata.

Rey tidak tahu, bahwa itu adalah terakhir kalinya ia melihat gadis itu tersenyum.

Bab 4: Penantian di Bawah Hujan

Hujan kembali turun. Langit mendung, seperti ikut merasakan kekosongan di dalam hati Rey. Ia berdiri di taman yang sama, di bangku kayu yang sama—tempat di mana ia dan Alisa pernah mengukir janji.

Hari ini adalah tanggal yang mereka sepakati. Tanggal di mana Alisa berjanji akan kembali.

Tangan Rey gemetar saat melihat layar ponselnya. Sudah satu tahun sejak hari itu. Sejak ia berdiri di bandara, menyaksikan pesawat yang membawa Alisa pergi. Sejak ia membuat janji bodoh untuk menunggu.

Ia menutup matanya sejenak, membiarkan rintik hujan membasahi wajahnya.

Alisa, kamu akan datang, kan?

Pikirannya kembali ke hari-hari setelah kepergian Alisa. Awalnya, ia mencoba menjalani hidup seperti biasa. Tapi seberapa keras pun ia berusaha, hatinya tetap tertinggal di tempat ini.

Selama berbulan-bulan, ia menunggu kabar dari Alisa. Setiap kali ponselnya bergetar, ia berharap ada pesan darinya. Namun, yang datang hanya kesunyian.

Rey mulai mempertanyakan keputusannya untuk menunggu. Apakah ia bodoh? Apakah ia hanya menggenggam harapan kosong?

Namun, setiap kali rasa ragu menyergap, ia teringat janji mereka. Janji bahwa Alisa akan kembali. Dan Rey, dengan segala keteguhan hatinya, tetap percaya.

Hari berganti, bulan berlalu. Hingga akhirnya, hari ini tiba.

Dan Rey masih berdiri di tempat yang sama.

Matanya terus mengawasi setiap orang yang melintas di taman. Hatinya melonjak setiap kali melihat seseorang dengan sweater putih, tapi selalu berakhir dengan kekecewaan.

Hujan semakin deras.

Rey menghela napas panjang. Ia memejamkan mata, mencoba menghapus semua ketakutan yang mulai merayapi hatinya.

Tapi jauh di dalam benaknya, suara kecil mulai berbisik.

Bagaimana kalau Alisa tidak kembali? Bagaimana kalau ia sudah…

Tidak. Rey menepis pikiran itu.

Alisa sudah berjanji. Dan ia akan menunggu, berapa lama pun itu.

Ia menoleh ke arah jalan, berharap melihat sosok yang ia rindukan.

Tapi yang datang bukanlah Alisa.

Melainkan seorang pria paruh baya dengan payung hitam, melangkah pelan ke arahnya. Wajah pria itu terlihat lelah, tapi sorot matanya mengandung sesuatu yang lebih berat.

Ketika akhirnya mereka berdiri berhadapan, Rey bisa merasakan jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Ia tidak mengenal pria ini, tapi entah kenapa, ada firasat buruk yang menjalar di hatinya.

Pria itu membuka mulut, suaranya berat. “Kamu… Rey, kan?”

Rey menelan ludah, lalu mengangguk. “Iya. Siapa Anda?”

Pria itu menarik napas panjang, sebelum mengulurkan sesuatu ke arah Rey.

Sebuah kotak kecil berwarna hitam.

Dan sepucuk surat yang terlipat rapi.

Rey tidak segera menerimanya. Ia hanya menatap benda itu dengan mata yang mulai bergetar.

Pria itu menelan ludah, suaranya serak saat berkata, “Maaf… Alisa tidak bisa kembali.”

Dunia Rey berhenti berputar.

Suara hujan yang tadinya memenuhi telinganya mendadak redup, seolah dunia telah membungkam semua suara.

“Tidak…” bisiknya pelan.

Tapi pria itu hanya menatapnya dengan tatapan penuh iba. “Dia… sudah pergi.”

Rey merasakan tubuhnya melemas. Ia menatap kotak hitam itu—seolah benda itu lebih berat dari apa pun yang pernah ia pegang.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil surat yang diserahkan pria itu. Hujan membuat kertasnya sedikit lembab, tapi tulisan di atasnya masih bisa terbaca.

Dan saat matanya membaca nama pengirim di sudut kanan atas, hatinya seperti dihancurkan berkali-kali.

“Untuk Rey, dari Alisa.”

Surat terakhir dari gadis yang telah ia tunggu selama ini.

Gadis yang ternyata tak akan pernah kembali.

Bab 5: Surat yang Menghancurkan

Hujan terus mengguyur, tapi Rey tak bergerak. Kotak hitam itu masih ada di tangannya, terasa begitu berat seolah menyerap semua kekuatan dari tubuhnya. Surat yang diberikan pria itu kini basah terkena gerimis, tapi ia tetap bisa membaca nama di sudut amplopnya.

“Untuk Rey, dari Alisa.”

Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Jarinya menyentuh kertas yang sedikit lembab, dan di dalamnya, tulisan tangan yang begitu ia kenal terukir rapi. Seolah Alisa baru menulisnya kemarin.

Rey menarik napas dalam, lalu mulai membaca.


Untuk Rey, pria yang aku cintai…

Saat kamu membaca surat ini, aku mungkin sudah pergi. Diriku tahu aku berjanji akan kembali, tapi kadang, hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan.

Aku ingin kamu tahu bahwa aku telah mencoba. Aku berjuang, Rey. Bukan hanya itu ku berusaha keras untuk kembali, untuk menepati janjiku padamu. Tapi Tuhan memanggilku lebih cepat.

Aku ingin bilang, aku menyesal… bukan karena aku harus pergi, tapi karena aku meninggalkanmu tanpa kata-kata terakhir secara langsung. Aku membayangkan bagaimana kamu menungguku di taman, berharap aku akan muncul dengan senyuman dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi Rey, aku tak bisa melakukan itu.

Jangan membenciku karena pergi tanpa izinmu. Jangan menyalahkan diri sendiri karena tak bisa menahanku lebih lama. Aku ingin kamu tahu satu hal:

Aku bahagia telah mencintaimu. Bahagia bisa mengenalmu, tertawa bersamamu, menari di bawah hujan bersamamu. Aku bahagia karena di sisa hidupku yang singkat, aku bisa merasakan cinta yang begitu tulus darimu.

Tapi Rey, tolong jangan terlalu lama bersedih.

Aku tahu kamu lebih kuat dari ini. Aku ingin kamu hidup dengan baik, bahkan jika aku tidak ada di sisimu. Aku ingin kamu tetap datang ke taman itu, bukan untuk menungguku, tapi untuk mengenang semua hal indah yang pernah kita jalani bersama.

Dan jika suatu hari nanti kamu menemukan seseorang yang bisa membuatmu tersenyum lagi, jangan ragu untuk mencintainya. Aku tidak ingin menjadi alasan kamu menutup hati. Aku ingin kamu bahagia, Rey.

Karena aku mencintaimu, dalam setiap tetes hujan yang turun…

Selamat tinggal, Rey. Terima kasih telah menjadi bagian terindah dalam hidupku.

Dengan cinta yang tak akan pernah pudar,
Alisa.


Tetesan air jatuh di atas kertas. Rey tidak tahu apakah itu hujan atau air matanya sendiri.

Tangannya mencengkeram surat itu lebih erat, dadanya terasa sesak. Rasanya seperti seseorang telah merobek sesuatu dari dalam dirinya, meninggalkan kekosongan yang tak bisa diisi kembali.

Hujan masih turun, membasahi taman tempat mereka pernah duduk bersama. Tapi kini, hanya ada Rey seorang diri, berdiri dalam keheningan yang menyakitkan.

“Aku menunggumu, tapi yang kembali hanyalah abu dan kata-kata perpisahan.”

Rey menatap langit yang kelabu. Air mata bercampur dengan rintik hujan, tapi ia tidak peduli.

Janji yang pernah mereka buat kini tak lagi berarti. Yang tersisa hanyalah hujan… dan kenangan yang tak akan pernah kembali.

“Hujan tak pernah berhenti, seperti kenangan tentangmu yang terus mengalir tanpa bisa aku hentikan.”

Bab 6: Kehidupan yang Berhenti di Tempat

Hujan masih turun, sama seperti hari itu. Sama seperti saat pertama kali Rey bertemu Alisa di halte. Sama seperti saat mereka duduk bersama di taman ini, membuat janji yang kini tak ada lagi artinya.

Rey masih berdiri di tempat yang sama, memandangi kotak hitam di tangannya. Ia tahu apa yang ada di dalamnya—abu Alisa. Tapi ia belum siap untuk membukanya. Belum siap untuk menerima kenyataan bahwa gadis yang ia tunggu dengan penuh harapan, kini hanya tersisa dalam bentuk abu yang dingin.

Ia terduduk di bangku kayu yang kini terasa jauh lebih sepi. Tangannya mencengkeram surat Alisa erat, seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahannya agar tidak hancur sepenuhnya.

Dimas datang beberapa saat kemudian, berlari kecil dengan payung di tangannya. Begitu melihat Rey duduk diam dalam hujan, sahabatnya itu langsung menghela napas dan duduk di sampingnya.

“Lu harus pulang, Rey,” kata Dimas pelan, suaranya penuh kekhawatiran. “Udah seminggu lebih lu kayak gini.”

Rey tidak menjawab. Matanya kosong, menatap lurus ke depan tanpa benar-benar melihat apa pun.

Dimas menggertakkan giginya, lalu meraih kotak hitam itu dan mengguncangnya sedikit. “Lu mau gini terus? Mau duduk di sini setiap hari, berharap dia bakal balik? Lu sendiri tahu itu nggak akan terjadi!”

Untuk pertama kalinya sejak menerima berita kematian Alisa, Rey menoleh ke arah Dimas. Matanya merah, tidak hanya karena hujan, tapi juga karena kurang tidur dan terlalu banyak menangis.

“Aku nggak bisa, Mas,” bisiknya lirih. “Aku nggak bisa berhenti menunggu dia.”

Dimas mengepalkan tangan. “Rey, dia udah pergi!”

Rey tersenyum kecil—senyum yang penuh luka. “Tapi dia janji. Dia bilang bakal kembali.”

Dimas terdiam. Hatinya sakit melihat sahabatnya seperti ini.

“Lu tahu sendiri, Alisa nggak pernah bohong,” lanjut Rey. “Gue percaya, kalau ada cara buat dia balik, dia pasti bakal lakukan itu.”

Dimas menghela napas panjang. “Rey… Alisa udah ninggalin lu sesuatu. Bukan cuma surat, tapi juga kenangan. Lu nggak bisa terus hidup dalam bayangan dia.”

Rey menunduk, meremas surat di tangannya. “Kenangan itu yang bikin gue bertahan, Mas. Kalau gue berhenti mengingat dia… rasanya kayak gue benar-benar kehilangan segalanya.”

“Hidup itu bukan tentang menunggu seseorang kembali, tapi tentang bagaimana kita melanjutkan perjalanan dengan kenangan yang tersisa.”

Dimas menggenggam bahu Rey dengan erat. “Gue nggak minta lu buat lupa, Rey. Gue cuma minta lu buat tetap hidup.”

Rey menarik napas dalam, matanya menatap lurus ke tanah yang basah.

Ia tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup tanpa Alisa.

Tapi ia tahu, ia tidak bisa selamanya terjebak di tempat yang sama.

Bab 7: Rahasia yang Tak Pernah Diceritakan

Hujan masih turun ketika Rey akhirnya memutuskan untuk membuka kotak hitam itu. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat penutupnya perlahan. Di dalamnya, selain abu kremasi, ada sesuatu yang lain. Sebuah buku kecil dengan sampul kulit berwarna biru tua—terlihat tua dan sedikit usang.

Jantung Rey berdetak lebih cepat saat ia menyentuhnya. Tangannya terasa berat, seolah tahu bahwa apa pun yang tertulis di dalamnya akan mengubah segalanya.

Ia menarik napas dalam, lalu membuka halaman pertama.


8 bulan sebelum kepergianku

Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mungkin dari rasa takut yang tidak pernah aku tunjukkan di depan Rey. Atau mungkin dari kenyataan bahwa aku sudah tahu sejak lama bahwa aku tidak akan bisa kembali.

Dokter bilang peluangku untuk bertahan setelah operasi hanya 30%. Aku bisa saja memilih untuk tetap di sini, menjalani sisa waktu yang ada tanpa mengambil risiko. Tapi aku tidak bisa. Aku ingin hidup lebih lama, walau hanya sebentar, untuk Rey.

Aku tidak pernah menceritakan ini padanya karena aku tahu dia akan menghentikanku. Aku tahu dia akan bilang, “Kamu nggak perlu pergi kalau itu berarti kehilangan kamu lebih cepat.” Tapi aku juga tahu, jika aku tetap di sini tanpa melakukan apa-apa, aku tetap akan pergi. Dan itu akan jauh lebih menyakitkan baginya.

Aku ingin dia percaya bahwa aku akan kembali. Aku ingin dia menungguku, bukan karena aku kejam, tapi karena aku ingin dia tetap memiliki harapan. Rey butuh sesuatu untuk digenggam, sesuatu untuk dipercayai. Aku tidak bisa membiarkan dia kehilangan itu.

Tangan Rey mencengkeram buku itu lebih erat. Ia menutup matanya, mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuknya.

“Jadi kamu sudah tahu?” bisiknya.

Ia membuka halaman berikutnya, menelusuri setiap kata yang ditulis Alisa dengan tinta yang kini sedikit pudar.


3 bulan sebelum operasi

Hari ini aku melihat Rey duduk di taman sendirian. Dia menatap hujan, tersenyum kecil, seolah menikmati setiap tetes yang jatuh. Aku ingin mengingat wajahnya seperti itu—tenang, damai, dan penuh harapan.

Aku ingin percaya bahwa aku bisa kembali untuk melihatnya tersenyum seperti itu lagi. Tapi jika tidak… aku ingin dia tetap tersenyum, bahkan tanpaku.

Rey, kalau kamu membaca ini, aku ingin kamu tahu satu hal. Aku tidak pernah menyesal bertemu denganmu. Aku tidak pernah menyesal mencintaimu.

Yang aku sesali hanyalah… aku tidak bisa menemanimu lebih lama.


Buku itu jatuh dari tangan Rey. Ia menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan tangis yang selama ini ia tahan pecah begitu saja.

Alisa tahu.

Ia tahu sejak awal bahwa ia tidak akan kembali, tapi tetap memilih untuk pergi. Bukan karena ia egois, tapi karena ia ingin berjuang untuk hidup, meski hanya untuk sesaat lebih lama.

Rey merasakan dadanya sesak. Ia merasa marah, bukan pada Alisa, tapi pada kenyataan yang tidak memberinya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal dengan benar.

“Kenapa kamu nggak bilang, Alisa… Kenapa kamu biarkan aku menunggu?”

Tapi di balik kemarahannya, ada sesuatu yang lain.

Rasa rindu yang begitu dalam.

Dan perlahan, meski hatinya masih terasa hancur, Rey mulai mengerti.

Alisa tidak pernah ingin ia berhenti menunggu. Tapi ia juga tidak ingin Rey selamanya terjebak dalam penantian yang tak akan berujung.

“Aku mencintaimu dalam setiap tetes hujan yang turun…”

Rey menatap langit yang kelabu, membiarkan hujan membasahi wajahnya.

Mungkin, untuk pertama kalinya sejak kehilangan Alisa, ia akhirnya mengerti arti dari janji mereka.

Bab 8: Sudut Kota yang Menyimpan Kenangan

Hujan turun seperti biasa. Langit mendung menggantung di atas kota, menciptakan suasana yang sepi dan sendu. Rey berdiri di sudut taman tempat ia dan Alisa biasa duduk, matanya menatap bangku kayu yang kini kosong.

Sudah dua tahun sejak Alisa pergi. Dua tahun sejak ia terakhir melihat senyumnya, mendengar tawanya, dan merasakan kehangatan genggamannya. Tapi entah kenapa, tempat ini masih terasa sama. Seolah Alisa masih ada di sini, duduk di sampingnya sambil mengeluh tentang kopi yang terlalu pahit atau hujan yang selalu datang di waktu yang tidak tepat.

Hanya saja, kali ini, Rey tidak lagi menunggu.

Ia masih datang setiap tahun pada tanggal yang sama, bukan untuk menunggu Alisa kembali, tetapi untuk mengenangnya. Untuk mengingat hari-hari indah yang pernah mereka lalui bersama.

Hujan semakin deras, membasahi trotoar dan bangku kayu yang mulai lapuk. Rey menutup matanya, membiarkan suara hujan mengisi hatinya yang kini terasa lebih tenang.

Dulu, setiap kali hujan turun, ia merasa sesak. Hujan mengingatkannya pada janji yang tak bisa ditepati, pada seseorang yang telah pergi tanpa kembali. Tapi hari ini, ia menyadari sesuatu.

Hujan bukanlah kenangan yang menyakitkan.

Hujan adalah pesan dari Alisa.

Setiap tetesnya adalah cara Alisa mengingatkannya bahwa ia pernah mencintai, dan dicintai dengan cara yang paling tulus.

Rey menghela napas panjang, lalu mengambil sesuatu dari dalam jaketnya—buku harian Alisa. Ia sudah membaca buku itu berkali-kali, menghafal setiap kata yang ditulis Alisa dengan hati-hati.

Tapi ada satu halaman yang selalu membuatnya kembali membacanya.

Hari terakhir di kota ini

Aku duduk di taman ini sendirian. Hujan turun, seperti biasa. Aku menatap bangku kosong di sebelahku, membayangkan Rey duduk di sana dengan senyum khasnya.

Aku ingin Rey tahu, kalau aku bisa memilih, aku akan tinggal lebih lama. Aku ingin tetap bersamanya, menikmati hujan yang tak pernah berhenti.

Tapi jika aku tidak bisa kembali, aku ingin dia melakukan satu hal untukku.

Aku ingin dia tetap datang ke tempat ini, tapi bukan untuk menunggu. Aku ingin dia datang untuk mengenang. Aku ingin dia tersenyum saat mengingatku, bukan menangis.

Karena selama aku masih ada di dalam ingatannya, aku tidak benar-benar pergi.

Aku akan selalu ada dalam setiap tetes hujan yang menyentuh kulitnya.


Rey menutup buku itu dengan senyum kecil. Kali ini, ia tidak menangis. Ia hanya menatap langit, membiarkan hujan menyelimuti tubuhnya.

“Terima kasih, Alisa,” bisiknya. “Aku akan selalu mengingatmu, tapi aku tidak akan menunggu lagi.”

Ia bangkit dari bangku itu dan berjalan pergi, meninggalkan taman dengan hati yang lebih ringan.

Untuk pertama kalinya dalam dua tahun, Rey merasa hujan tidak lagi menyakitkan.

Hujan tidak pernah berhenti.

Tapi kali ini, ia tidak lagi berharap Alisa akan datang bersama rintiknya.

Ia hanya menikmati setiap tetesnya, seperti Alisa menginginkannya.

Bab 9: Sosok yang Membawa Cahaya Baru

Hujan kembali turun di kota ini, seperti pertanda bahwa kenangan tak akan pernah benar-benar pudar. Rey berjalan perlahan di trotoar basah, payung hitam di tangannya terbuka, namun ia tidak benar-benar membutuhkannya. Sejak Alisa pergi, hujan tidak lagi terasa dingin—ia justru membiarkannya menyentuh kulitnya, mengingatkan bahwa Alisa selalu ada di setiap tetesnya.

Hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, ia datang ke taman itu. Namun kali ini, ada yang berbeda.

Di bangku kayu tempat ia dan Alisa biasa duduk, ada seseorang.

Seorang gadis dengan sweater putih kebesaran, rambut hitam panjang tergerai di bahunya. Rey menghentikan langkahnya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak.

Ia mengenal sweater itu. Ia mengenal sosok itu.

Tapi ini mustahil.

Gadis itu menoleh, dan untuk sepersekian detik, Rey merasa dunianya berhenti. Mata itu—mata yang selama ini hanya bisa ia lihat dalam mimpi—menatapnya dengan rasa ingin tahu. Namun, ada sesuatu yang berbeda.

“Rey?”

Suaranya lembut, tapi tidak seakrab yang ia harapkan.

Jantung Rey berdegup kencang. Tenggorokannya terasa kering, tapi akhirnya ia mampu membuka mulutnya. “Siapa kamu?”

Gadis itu tersenyum kecil, lalu berdiri dari bangku. “Aku… Amelia. Saudari kembar Alisa.”

Rey merasa kakinya melemas. Dunia seolah berputar lebih cepat dari biasanya.

Saudari kembar?

Ia tidak pernah tahu bahwa Alisa memiliki saudara kembar. Alisa tidak pernah menceritakannya, tidak pernah menyebutkan bahwa ada seseorang di dunia ini yang memiliki wajah yang sama dengannya.

Melihat Amelia berdiri di sana, dengan wajah yang begitu mirip dengan Alisa, Rey merasakan sesuatu yang aneh. Antara rasa rindu yang meluap-luap, dan kesadaran bahwa ini bukan Alisa.

Bukan orang yang selama ini ia tunggu.

Amelia tersenyum lagi, meskipun ada kesedihan di matanya. “Aku baru kembali ke kota ini setelah bertahun-tahun. Aku menemukan jurnal Alisa… dan namamu ada di setiap halamannya.”

Rey menunduk, jemarinya mengepal erat. Ia bisa membayangkan Alisa menulis namanya di jurnal itu, membicarakannya dengan cara yang penuh cinta.

“Dia tidak pernah memberitahuku tentangmu,” lanjut Amelia, suaranya pelan. “Tapi ketika aku membaca tulisannya, aku tahu betapa dia mencintaimu.”

Rey menarik napas dalam, lalu menatap Amelia. “Kenapa dia nggak pernah bilang kalau dia punya saudara kembar?”

Amelia menunduk, memainkan ujung sweaternya. “Kami sempat terpisah sejak kecil. Aku dibesarkan oleh keluarga angkat di luar negeri, sementara Alisa tetap di sini. Kami baru mulai berhubungan lagi beberapa tahun lalu… tapi aku tidak menyangka bahwa waktuku untuk mengenalnya lebih dalam akan sesingkat itu.”

Mata Amelia sedikit berkaca-kaca. “Aku menyesal tidak datang lebih cepat. Aku menyesal tidak ada di sampingnya saat dia butuh seseorang.”

Rey menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya. Ia tahu perasaan itu. Perasaan kehilangan seseorang yang tidak akan pernah bisa kembali.

Mereka berdua terdiam dalam hujan, masing-masing tenggelam dalam pikirannya.

Lalu, Amelia berkata, “Dia ingin kamu bahagia, Rey.”

Rey menatapnya.

Amelia menghela napas. “Di jurnalnya, dia menulis bahwa kalau dia pergi, dia ingin kamu tetap melanjutkan hidup. Dia ingin kamu datang ke taman ini, bukan untuk menunggunya, tapi untuk mengenangnya dengan senyuman.”

Rey tersenyum pahit. “Sulit, Amelia. Sulit untuk tidak menunggunya.”

Amelia menatap langit mendung. “Aku tahu. Karena aku juga masih menunggunya, meskipun aku tahu dia nggak akan pernah kembali.”

“Beberapa orang pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Beberapa kenangan tetap tinggal meskipun orangnya telah pergi.”

Rey mengangguk pelan. Ia tidak tahu apakah Amelia akan menjadi bagian dari hidupnya setelah ini, atau apakah pertemuan mereka hanyalah sebuah kebetulan.

Tapi satu hal yang ia tahu—hari ini, ia merasa sedikit lebih ringan.

Hujan masih turun, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian dalam penantiannya.

Bab 10: Hujan yang Akhirnya Berhenti

Hujan masih turun, membasahi trotoar dan dedaunan yang mulai menguning. Tapi kali ini, bagi Rey, hujan tidak lagi terasa seperti luka.

Ia duduk di bangku taman yang selama ini menjadi tempatnya menunggu, tapi kali ini, tidak ada lagi penantian. Ia tidak lagi berharap akan melihat Alisa muncul dari kejauhan, mengenakan sweater putih kebesarannya dan tersenyum seperti dulu.

Hari ini, ia datang bukan untuk menunggu, tapi untuk mengucapkan selamat tinggal.

Di pangkuannya, ada jurnal Alisa yang telah berulang kali ia baca. Setiap lembar di dalamnya dipenuhi kata-kata yang seolah ditulis untuknya. Ia membaca halaman terakhir sekali lagi, membiarkan setiap kata masuk ke dalam hatinya.


Rey, jika suatu hari kamu membaca ini…

Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah benar-benar pergi. Aku selalu ada di dalam ingatanmu, di dalam hujan yang membasahi kota ini.

Jangan terus berada di tempat yang sama. Jangan habiskan waktumu untuk menunggu sesuatu yang tidak akan kembali. Aku ingin kamu terus berjalan, menemukan kebahagiaan baru. Aku ingin kamu menjalani hidup yang indah, meskipun tanpaku.

Dan jika suatu hari kamu menemukan seseorang yang bisa membuatmu tersenyum lagi, jangan ragu untuk mencintainya. Aku ingin kamu bahagia, Rey. Aku ingin kamu hidup.

Jangan pernah merasa bersalah karena melanjutkan hidup. Aku akan selalu ada di setiap hujan yang menyentuh kulitmu, di setiap angin yang berbisik lembut di telingamu.

Selamat tinggal, Rey. Aku mencintaimu.


Tangan Rey bergetar saat ia menutup jurnal itu. Ia menarik napas dalam, membiarkan udara dingin masuk ke dalam paru-parunya.

Di sampingnya, Amelia duduk diam, menatap hujan yang perlahan mulai reda.

“Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?” tanyanya pelan.

Rey tersenyum kecil, sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan. “Aku akan pergi dari kota ini.”

Amelia menoleh, sedikit terkejut. “Kamu yakin?”

Rey mengangguk. “Aku sudah terlalu lama terjebak di sini, Amelia. Aku ingin melanjutkan hidup, seperti yang Alisa inginkan.”

Amelia tersenyum tipis. “Dia pasti bangga padamu.”

Rey menatap langit yang kini mulai menunjukkan semburat cahaya. Ia berdiri perlahan, menggenggam jurnal itu untuk terakhir kalinya sebelum meletakkannya di bangku taman.

“Biar jurnal ini tetap di sini,” katanya. “Biar semua kenangan tentangnya tetap di tempat di mana ia seharusnya berada.”

Amelia mengangguk, memahami maksudnya.

Rey menatap taman itu sekali lagi. Tempat yang dulu terasa seperti penjara baginya, kini menjadi tempat yang penuh dengan kenangan indah.

Lalu, ia melangkah pergi.

Dan untuk pertama kalinya sejak kepergian Alisa, hujan akhirnya berhenti.

“Cinta sejati bukan tentang menunggu selamanya, tapi tentang bagaimana kita belajar melepaskan dengan cara yang paling indah.”

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *