Di masa depan, jagad raya hampir runtuh akibat lubang hitam raksasa yang dikenal sebagai Sisa Waktu. Alden, seorang insinyur kapal waktu, dan Lira, seorang wanita yang ternyata adalah Penjaga Waktu , adalah dua manusia terakhir yang masih bisa melintasi waktu menggunakan Kapal Waktu Terakhir .
Mereka berusaha mencari solusi untuk menghentikan kehancuran ini, namun setiap kali mereka melompat antar waktu, ingatan Lira tentang Alden perlahan menghilang. Lebih buruk lagi, Lira akhirnya mengetahui bahwa dirinya diciptakan untuk memastikan akhir dunia. Semakin dia jatuh cinta pada Alden, semakin cepat jagad raya runtuh.
Dihadapkan pada pilihan yang mustahil, menyelamatkan dunia atau tetap bersama—Alden dan Lira berjuang melawan takdir yang ingin memisahkan mereka. Ketika mereka hampir kehilangan segalanya, mereka menemukan satu jalan keluar terakhir: menciptakan kembali takdir mereka sendiri.
Akankah cinta mereka bisa melawan waktu? Atau takdir akan tetap menang?
Bab 1 – Sisa Waktu
Langit tak lagi berwarna biru. Tak ada bintang, tak ada matahari, hanya kehampaan yang melayang di antara reruntuhan jagad raya. Waktu telah runtuh perlahan, digerus oleh lubang hitam raksasa yang disebut Sisa Waktu. Dunia-dunia yang pernah ada, masa lalu, masa kini, dan masa depan—semuanya menghilang, tersedot ke dalam kegelapan yang tak berujung.
Di tengah kehancuran itu, hanya ada satu harapan.
Sebuah kapal waktu, satu-satunya yang tersisa. Mesin perunggu dengan goresan luka akibat perjalanan antar-dimensi, mengapung di antara pecahan realitas yang hancur. Di dalamnya, dua manusia terakhir yang masih bisa melakukan perjalanan waktu—Alden dan Lira.
Alden berdiri di depan panel kontrol kapal waktu, tatapannya tajam menelusuri layar holografik yang berkedip-kedip. Angka-angka bergerak liar, menunjukkan bahwa gravitasi di sekitar mereka semakin melemah. Mereka hanya punya waktu beberapa menit sebelum realitas di sektor ini benar-benar lenyap.
“Kita harus lompat sekarang,” kata Alden tegas.
Lira duduk di kursi sebelahnya, tangannya mencengkeram sabuk pengaman dengan kuat. Matanya menatap kehampaan di luar kaca kapal, di mana pecahan asteroid dan reruntuhan dunia-dunia lain melayang seperti serpihan kaca yang beterbangan.
“Aku benci perasaan ini,” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.
Alden menoleh ke arahnya. “Perasaan apa?”
Lira menggigit bibirnya, menatap Alden dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Perasaan bahwa kita sedang berlari dari sesuatu yang tidak bisa dihindari. Seolah kita hanya menunda yang tak terelakkan.”
Alden terdiam sejenak. Dia tahu, Lira tidak salah. Sisa Waktu semakin membesar, melahap segalanya tanpa ampun. Mereka bisa melompat sejauh yang mereka mau, ke masa lalu, masa depan, dimensi lain—tapi cepat atau lambat, segalanya akan berakhir.
Namun, dia tidak bisa menyerah.
“Kita tidak sedang menunda,” katanya, mencoba terdengar meyakinkan. “Kita sedang mencari jalan keluar.”
Lira tertawa kecil, getir. “Dan kalau tidak ada jalan keluar?”
Alden menatapnya dalam-dalam, lalu menarik napas panjang. “Maka kita akan menciptakan satu.”
Tombol di panel kontrol berpendar saat Alden memasukkan koordinat baru. Mereka akan melompat ke tahun 3067, waktu di mana peradaban terakhir masih berdiri sebelum akhirnya runtuh. Mungkin di sana, mereka bisa menemukan petunjuk tentang bagaimana menghentikan Sisa Waktu.
Lira merapatkan sabuk pengamannya, menghela napas panjang. Dia sudah terbiasa dengan perjalanan antar-waktu, tapi tetap saja, setiap kali lompat, ada perasaan seolah tubuhnya tercerai-berai dan disusun ulang dalam dimensi yang berbeda.
Alden menekan tombol aktivasi.
Dalam sekejap, dunia di sekitar mereka memudar.
Gravitasi menghilang. Suara berdesir memenuhi kapal saat mereka menembus lapisan ruang dan waktu. Pemandangan di luar berubah—kehampaan hitam berganti menjadi aliran cahaya yang berputar-putar, seolah mereka sedang melewati koridor tanpa ujung.
Tapi sesuatu terasa berbeda kali ini.
Lira menjerit tiba-tiba.
Alden menoleh panik. “Lira!”
Dia menatap Lira yang memegang kepalanya dengan kedua tangan, ekspresinya penuh kesakitan. Matanya terbuka lebar, namun kosong, seolah ada sesuatu yang sedang diambil darinya.
Alden segera melepas sabuk pengamannya dan bergerak ke arahnya. “Apa yang terjadi?!”
Lira menatapnya, kebingungan. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu yang membuat jantung Alden berhenti sesaat.
“Siapa kau?”
Alden membeku.
Lira menatapnya dengan sorot mata asing, seolah dia benar-benar tidak mengenalnya.
Tidak… tidak mungkin.
Bukan sekarang.
Bukan secepat ini.
Dia sudah tahu bahwa setiap perjalanan waktu akan menghapus sebagian ingatan Lira, tapi ini terlalu cepat. Mereka baru saja melakukan satu lompatan, dan Lira sudah mulai melupakan dirinya?
Alden menggenggam bahunya. “Lira, ini aku. Alden.”
Lira mengerjap, seolah mencoba mengingat. Tapi tatapannya tetap kosong. “Alden?” ulangnya pelan, ragu.
Detik itu, Alden sadar—dia sedang berlomba dengan waktu.
Jika mereka tidak segera menemukan cara untuk menghentikan Sisa Waktu, maka bukan hanya dunia yang akan hilang.
Tapi juga wanita yang dia cintai.
Dan yang lebih buruknya lagi, dia tidak tahu berapa banyak waktu yang tersisa sebelum Lira melupakan dirinya sepenuhnya.
Bab 2 – Lompatan yang Berbahaya
Alden masih berusaha menenangkan napasnya, tangannya tetap menggenggam bahu Lira yang masih menatapnya dengan kebingungan. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya kosong. Ini tidak seharusnya terjadi secepat ini.
“Lira, coba ingat,” katanya, suaranya hampir bergetar. “Kita ada di dalam Kapal Waktu Terakhir. Kita sedang melompat antar-waktu untuk menghentikan kehancuran jagad raya.”
Lira masih menatapnya tanpa ekspresi, lalu perlahan-lahan menggeleng. “Aku tidak mengerti… aku merasa seperti… aku baru saja terbangun dari mimpi yang sangat panjang.”
Alden menelan ludah. Dia harus berpikir cepat.
Panel kendali kapal mulai berbunyi, menandakan bahwa mereka hampir tiba di tujuan—tahun 3067. Waktu di mana peradaban terakhir masih berdiri sebelum akhirnya lenyap. Mungkin di sana mereka bisa menemukan jawaban.
Tapi yang lebih penting… dia harus menemukan cara untuk membuat Lira mengingatnya sebelum semuanya terlambat.
Cahaya putih terang memenuhi kokpit saat kapal keluar dari pusaran waktu. Getaran keras mengguncang badan kapal, hampir membuat Alden terlempar ke belakang. Dia dengan cepat memegang kursi kendali, menyesuaikan keseimbangan sebelum mendaratkan kapal di tempat yang paling aman yang bisa dia temukan.
Mereka tiba di sebuah kota yang nyaris kosong. Bangunan-bangunan megah menjulang tinggi, tapi sebagian besar sudah ditinggalkan. Jalanan penuh debu dan puing-puing, seolah-olah peradaban ini sudah bersiap menghadapi kehancurannya sendiri.
Lira masih duduk diam di kursinya. Dia terlihat tenang, tapi Alden tahu dia sedang mencoba memahami semua ini.
“Kita harus keluar,” kata Alden.
Lira menatapnya ragu. “Keluar? Ke mana?”
Alden menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. “Ke tempat yang mungkin bisa memberi kita jawaban.”
Lira tidak menjawab, tapi dia mengangguk kecil. Meskipun dia tidak mengingat Alden, setidaknya dia masih mempercayainya.
Mereka berjalan di sepanjang jalan yang sepi, langkah kaki mereka menggema di antara bangunan kosong. Alden menuntun Lira menuju pusat penelitian utama, tempat di mana para ilmuwan terakhir dunia mungkin menyimpan jawaban tentang Sisa Waktu.
Di tengah perjalanan, Lira tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Aku pernah ke sini sebelumnya.”
Alden menoleh, matanya terbelalak. “Apa?”
Lira mengerutkan kening, menatap bangunan-bangunan di sekitar mereka. “Aku tidak tahu kenapa, tapi tempat ini terasa familiar.”
Ada harapan kecil yang muncul di hati Alden. Jika Lira masih bisa merasakan sesuatu, mungkin masih ada kesempatan untuk mengembalikan ingatannya.
Namun, sebelum dia bisa mengatakan sesuatu, suara dentuman keras menggema di kejauhan.
Sebuah ledakan besar mengguncang tanah, diikuti oleh kilatan cahaya biru yang membelah langit. Alden segera menarik Lira ke tempat perlindungan di balik reruntuhan.
“Apa itu?” tanya Lira, suaranya sedikit gemetar.
Alden mengintip dari balik puing-puing, lalu matanya membelalak.
Dari kejauhan, makhluk-makhluk hitam berbentuk bayangan mulai muncul dari retakan di udara. Mata mereka bersinar merah, dan tubuh mereka tampak seolah-olah terbuat dari kegelapan itu sendiri.
“Penjaga Waktu…” Alden berbisik.
Lira menatapnya. “Penjaga Waktu?”
Alden menggertakkan giginya. “Mereka adalah manifestasi dari Sisa Waktu. Mereka muncul untuk menghapus semua yang seharusnya sudah lenyap.”
Dan itu berarti… mereka sedang memburu mereka berdua.
Alden menarik tangan Lira dan mulai berlari.
“Kita harus pergi sekarang!”
Lira mengikuti langkahnya dengan cepat, meskipun dia masih terlihat kebingungan.
Makhluk-makhluk itu bergerak dengan kecepatan yang tidak manusiawi, mendekati mereka dengan kecepatan yang mengerikan. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seolah gravitasi sedang kacau.
“Alden, aku tidak bisa bernafas…” suara Lira melemah.
Alden segera menariknya ke dalam sebuah bangunan tua, menutup pintu besi berat di belakang mereka. Dia mendukung Lira agar tetap berdiri, lalu melihat ke luar dari celah jendela.
Para Penjaga Waktu berhenti di luar, tidak memasuki gedung. Mereka bergerak gelisah, seolah ada sesuatu di dalam yang menghalangi mereka.
Lira masih terengah-engah, wajahnya pucat. Alden menggenggam tangannya erat. “Kita aman untuk sementara.”
Lira menatapnya, masih dengan kebingungan di matanya. “Kenapa mereka memburu kita?”
Alden menghela napas. “Karena kita seharusnya sudah lenyap. Setiap lompatan yang kita lakukan membuat realitas semakin tidak stabil.”
Lira menggigit bibirnya. “Jadi… kita tidak bisa terus berlari?”
Alden menggeleng. “Tidak. Kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini, sebelum jagad raya benar-benar lenyap.”
Lira mengangguk pelan, lalu menatap ke luar jendela, melihat makhluk-makhluk itu yang masih menunggu mereka di luar.
“Dan bagaimana kalau aku berkata… aku merasa seperti aku pernah melihat mereka sebelumnya?”
Alden menegang.
“Apa maksudmu?”
Lira menatapnya, matanya menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar kebingungan.
“Aku merasa… aku bagian dari mereka.”
Alden merasakan tubuhnya membeku.
Dia tidak ingin percaya, tapi kata-kata itu terngiang di kepalanya.
Lira adalah bagian dari mereka?
Jika itu benar… berarti perasaannya selama ini tidak salah.
Lira bukan manusia biasa.
Dia mungkin adalah kunci dari kehancuran jagad raya.
Dan dia juga mungkin alasan mengapa Sisa Waktu terus tumbuh.
Bab 3 – Ingatan yang Pudar
Alden menatap Lira dengan perasaan bercampur aduk. Suara ledakan di kejauhan masih menggema, namun pikirannya hanya terpusat pada satu hal—kata-kata Lira barusan.
“Aku merasa… aku bagian dari mereka.”
Itu mustahil.
Lira adalah manusia. Dia adalah wanita yang selalu bersamanya, melompat antar-waktu demi mencari solusi. Tidak mungkin dia memiliki hubungan dengan Penjaga Waktu, makhluk-makhluk yang diciptakan untuk menghapus keberadaan mereka.
“Lira… apa maksudmu?” suara Alden nyaris bergetar.
Lira menggeleng pelan, ekspresinya penuh kebingungan. “Aku tidak tahu. Sejak kita tiba di sini, ada sesuatu dalam pikiranku yang terasa familiar. Seperti… aku pernah mengalami ini sebelumnya.”
Alden merasakan napasnya tertahan. “Apa kau mulai mengingat sesuatu?”
Lira terdiam sesaat, lalu berkata, “Aku tidak yakin apakah ini ingatan… atau sesuatu yang lain.”
Di luar, Penjaga Waktu masih bergerak dengan gelisah, tapi mereka tidak berani masuk ke dalam bangunan tua tempat Alden dan Lira berlindung.
Alden mencoba memanfaatkan kesempatan ini. Dia mengeluarkan jurnal kecil dari sakunya—jurnal yang berisi catatan tentang perjalanan mereka, harapan terakhirnya untuk membuat Lira mengingat segalanya.
“Lira, dengarkan aku,” katanya sambil membuka halaman pertama. “Ini jurnal kita. Aku mencatat semua yang kita lalui, termasuk bagaimana kita pertama kali bertemu.”
Lira menatap buku itu dengan ekspresi ragu, seolah ingin mempercayai kata-kata Alden tapi tidak bisa.
Alden mulai membaca.
“Hari itu, dunia mulai runtuh. Aku bertemu seorang wanita yang tidak seharusnya ada. Dia muncul di antara puing-puing waktu, berdiri di tengah kehancuran seperti bayangan yang tersesat.”
Lira mengernyit. “Itu… tentang aku?”
Alden mengangguk. “Saat itu aku belum tahu siapa kau. Aku hanya tahu bahwa kau satu-satunya orang yang bisa menemaniku bertahan. Kita memutuskan untuk mencari jawaban bersama, melompat antar-waktu, dan menemukan jalan keluar dari semua ini.”
Lira terdiam, lalu mengusap pelipisnya. “Aku ingin percaya padamu, tapi… ada sesuatu yang menghalangiku. Seperti… ada dinding di dalam pikiranku.”
Alden mengepalkan tangannya. Ini lebih buruk dari yang dia kira. Jika Lira memang bagian dari Penjaga Waktu, maka mungkin ada mekanisme dalam dirinya yang membuatnya tidak bisa mengingat masa lalu dengan cara biasa.
Dan itu berarti…
Setiap kali mereka melompat waktu, Lira semakin dekat dengan perannya yang sebenarnya.
Sebagai penjaga kehancuran jagad raya.
Tiba-tiba, suara ledakan lain mengguncang bangunan tempat mereka berlindung. Alden menoleh keluar dan melihat sesuatu yang membuatnya merinding—retakan di langit semakin membesar.
Waktu semakin runtuh.
Dan kemudian, dia melihat sesuatu yang lebih buruk.
Di antara bayangan hitam Penjaga Waktu, ada sosok lain yang muncul—sosok yang tampak seperti Lira.
Alden menegang. “Lira… lihat itu.”
Lira menoleh, dan matanya langsung membelalak.
Di luar sana, sosok yang mirip dengannya berdiri dengan anggun, mengenakan jubah hitam berpendar cahaya biru. Wajahnya sama persis, tapi tatapan matanya kosong—dingin seperti malam tanpa bintang.
Alden bisa merasakan Lira gemetar di sampingnya.
“Apa… itu aku?”
Alden menelan ludah. “Aku tidak tahu… tapi kita harus segera mencari jawaban sebelum semuanya terlambat.”
Mereka bergegas meninggalkan bangunan dan berlari ke arah laboratorium pusat kota, tempat terakhir yang mungkin menyimpan data tentang asal-usul Sisa Waktu.
Saat mereka masuk ke dalam gedung yang dipenuhi terminal komputer tua, Lira tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh di kepalanya. Dia terhuyung, hampir jatuh ke lantai.
“Lira!” Alden segera menangkapnya.
“Aku… aku merasa ada sesuatu yang menarikku,” katanya dengan suara lemah.
Alden membantunya duduk dan menyalakan terminal utama. Dengan cepat, dia mencari data tentang proyek rahasia yang pernah dilakukan di masa ini—proyek yang mungkin berkaitan dengan Sisa Waktu dan keberadaan Lira.
Dan kemudian, dia menemukannya.
“PROYEK: LIRA-01”
Alden menatap layar dengan mata melebar. “Tidak mungkin…”
Dia membaca lebih lanjut.
“Subjek LIRA-01 diciptakan sebagai penjaga keseimbangan temporal. Jika waktu runtuh, subjek akan dipanggil untuk memastikan kehancuran berjalan sebagaimana mestinya. Subjek tidak boleh memiliki keterikatan emosional, karena hal itu dapat menyebabkan ketidakseimbangan pada struktur waktu.”
Alden menatap Lira dengan ekspresi tak percaya.
“Lira… kau bukan manusia biasa.”
Lira menatap layar itu, napasnya memburu. Perlahan, ingatan yang tadinya kabur mulai muncul.
“Aku… aku memang bagian dari Sisa Waktu,” bisiknya.
Alden menggeleng. “Tidak. Kau lebih dari itu. Kau bukan sekadar penjaga kehancuran, Lira. Kau adalah seseorang yang membuatku bertahan selama ini.”
Lira menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Tapi bagaimana kalau aku memang diciptakan untuk menghapus segalanya, Alden? Bagaimana kalau aku adalah alasan dunia ini hancur?”
Alden menggenggam tangannya erat. “Kalau kau memang diciptakan untuk menghapus segalanya… maka aku akan melakukan apa pun untuk menghentikan itu.”
Lira menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu… kita harus menemukan cara untuk mengubah takdirku.”
Alden tersenyum tipis. “Dan kita akan melakukannya bersama.”
Di luar, Penjaga Waktu mulai bergerak menuju mereka.
Dan Lira menyadari satu hal yang mengejutkannya—dia tidak lagi takut.
Karena untuk pertama kalinya, dia memilih melawan takdirnya sendiri.
Bab 4 – Penjaga Waktu
Lira berdiri di depan layar terminal yang masih menyala, membaca ulang kata-kata yang barusan menghancurkan dunianya.
“Subjek LIRA-01 diciptakan sebagai penjaga keseimbangan temporal. Jika waktu runtuh, subjek akan dipanggil untuk memastikan kehancuran berjalan sebagaimana mestinya.”
Tangannya bergetar. Itu berarti… selama ini, dia bukan hanya sekadar seorang penyintas yang tersesat dalam perjalanan waktu bersama Alden.
Dia adalah bagian dari Sisa Waktu.
Bagian dari kehancuran yang selama ini mereka coba hentikan.
“Aku… aku monster,” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.
Alden segera menggenggam tangannya. “Jangan bicara seperti itu. Kau bukan monster, Lira. Kau masih memiliki pilihan.”
Lira menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Pilihan? Aku diciptakan untuk menghancurkan dunia, Alden. Itu berarti setiap kali aku melompat bersamamu, aku justru mempercepat kehancuran jagad raya.”
Alden menggeleng tegas. “Kalau itu benar, maka aku juga ikut bertanggung jawab. Karena aku yang membawamu ke sini. Aku yang menolak menyerah dan terus melompat bersama-sama denganmu.”
Lira menelan ludah. Hatinya ingin mempercayai kata-kata Alden, tapi pikirannya terus dipenuhi oleh kenyataan yang baru saja terungkap.
Sebelum mereka bisa bicara lebih jauh, suara ledakan keras menggema di luar gedung.
Alden bergegas ke jendela, dan apa yang dia lihat membuatnya merinding.
Barisan Penjaga Waktu semakin mendekat. Sosok-sosok hitam dengan mata merah menyala itu bergerak tanpa suara, melayang di udara seolah tak terpengaruh oleh gravitasi.
Tapi kali ini, mereka tidak sendiri.
Di tengah barisan itu, sosok yang mirip dengan Lira berdiri dengan anggun. Ia mengenakan jubah hitam berpendar cahaya biru, dan tatapannya kosong seperti langit tanpa bintang.
Lira menelan ludah, melihat sosok itu.
“Itu aku…” bisiknya.
Alden menoleh padanya. “Bukan. Itu bukan kau.”
Lira menggeleng pelan. “Tidak, Alden. Aku tahu sekarang. Itu adalah diriku yang seharusnya ada. Yang telah menerima takdirnya sebagai Penjaga Waktu.”
Alden mengepalkan tangannya. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi.
“Kita harus pergi dari sini.”
Lira masih terpaku, seolah ada sesuatu yang mengikatnya pada sosok di luar sana. Alden menggenggam tangannya erat dan menariknya menjauh dari layar terminal.
“Lira, dengarkan aku. Kau punya pilihan. Dan aku tidak akan membiarkan mereka mengambilmu.”
Lira menatap Alden dalam-dalam. Dalam sekejap, dia menyadari sesuatu—Alden satu-satunya alasan mengapa dia masih bertahan.
Dia telah melupakan banyak hal selama perjalanan waktu mereka, tapi entah bagaimana, satu hal selalu bertahan di dalam hatinya.
Dia mencintai Alden.
Dan jika itu berarti dia harus melawan takdirnya sendiri, maka dia akan melakukannya.
“Ayo pergi,” katanya dengan suara mantap.
Mereka berlari keluar dari laboratorium, mencoba menghindari Penjaga Waktu yang semakin mendekat. Alden menarik Lira ke dalam lorong bawah tanah, tempat yang seharusnya aman dari deteksi makhluk-makhluk itu.
Namun, langkah mereka terhenti ketika suara lembut namun tegas bergema di belakang mereka.
“Tidak ada tempat untuk bersembunyi, LIRA-01.”
Alden dan Lira berbalik.
Sosok Lira lain itu berdiri di ujung lorong, menatap mereka tanpa ekspresi.
“Kau telah melanggar takdirmu,” katanya, suaranya dingin. “Dan kau tahu apa yang terjadi pada mereka yang menolak takdir.”
Lira menggertakkan giginya. “Aku bukan kau.”
Sosok itu tersenyum tipis. “Kau akan menjadi aku. Cepat atau lambat, ingatanmu akan kembali. Dan kau akan menerima siapa dirimu sebenarnya.”
Alden berdiri di antara Lira dan sosok itu. “Lira punya pilihan. Dan aku tidak akan membiarkanmu mengambilnya darinya.”
Sosok itu menatap Alden dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Menarik. Seorang manusia yang mencoba melawan waktu itu sendiri.”
Lalu, dengan satu gerakan cepat, dia mengangkat tangannya.
Lorong tempat mereka berdiri tiba-tiba mulai bergetar. Cahaya biru menyelimuti ruangan, dan Alden merasa gravitasi di sekeliling mereka mulai berubah.
“Lira!” Alden meraih tangannya, mencoba menariknya menjauh.
Namun, tubuh Lira membeku. Dia merasakan sesuatu yang kuat menariknya, memaksanya untuk mengingat siapa dirinya yang sebenarnya.
Kilasan ingatan mulai bermunculan di kepalanya.
Dia melihat dirinya berdiri di tengah kehancuran jagad raya, menerima perintah dari entitas yang lebih tinggi. Dia melihat dirinya menghapus dunia-dunia yang telah mencapai batasnya. Dia melihat dirinya menjadi sesuatu yang bukan dirinya yang sekarang.
Dan saat itu, dia sadar.
Kalau dia tidak melawan sekarang, maka dia akan kehilangan segalanya.
Termasuk Alden.
Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, Lira menggerakkan tangannya dan melawan gravitasi yang menariknya.
“Tidak!” teriaknya.
Cahaya biru di sekitar mereka meledak, menghancurkan dinding lorong dan membuat sosok Lira lain itu terpental ke belakang.
Alden menarik Lira dan membawanya berlari.
“Kita harus kembali ke kapal!” katanya.
Lira mengangguk, meskipun tubuhnya masih gemetar. Dia telah melihat sekilas siapa dirinya yang sebenarnya, tapi dia tidak peduli.
Dia bukan penjaga kehancuran.
Dia bukan monster.
Dia adalah seseorang yang ingin bertahan.
Dan dia ingin bertahan bersama Alden.
Di belakang mereka, Penjaga Waktu kembali bangkit, mengejar mereka tanpa ragu.
Perlombaan melawan waktu baru saja dimulai.
Bab 5 – Dilema yang Mematikan
Alden dan Lira berlari sekuat tenaga menuju kapal waktu. Napas mereka memburu, detak jantung berpacu seiring langkah kaki yang beradu dengan lantai logam koridor bawah tanah.
Di belakang mereka, Penjaga Waktu terus mengejar, tubuh bayangan mereka bergerak seperti gelombang kegelapan yang siap menelan segalanya.
“Lira, berapa jauh lagi?!” teriak Alden.
Lira menoleh, matanya terarah ke depan. “Lorong ini menuju ke permukaan! Kapal kita hanya beberapa meter lagi!”
Alden menggertakkan gigi. Mereka harus bertahan.
Namun, tiba-tiba lantai di bawah mereka mulai bergetar. Suara retakan terdengar, dan dalam sekejap, tanah runtuh.
“Awas!” Alden menarik Lira ke belakang, tapi terlambat.
Lantai di bawah mereka ambruk, menciptakan lubang besar yang mengarah ke kehampaan. Alden segera mencengkeram tepian lantai, sedangkan Lira tergantung di tangannya.
Lira menatap Alden, matanya penuh ketakutan. “Aku akan jatuh!”
“Aku tidak akan melepaskanmu!” Alden berusaha menariknya ke atas, tapi gravitasi seolah melawan mereka.
Di bawah, kehampaan semakin membesar. Lubang hitam kecil mulai terbentuk, pertanda bahwa Sisa Waktu telah mencapai tempat ini.
Lira menatap Alden dengan mata berkaca-kaca. “Alden… kalau aku jatuh ke dalam sana, mungkin itu takdirku. Aku seharusnya tidak ada di sini.”
“Tidak!” Alden menggeleng keras. “Kau ada di sini karena kau memilihnya. Aku tidak peduli siapa kau dulunya, aku hanya peduli pada siapa kau sekarang.”
Lira menghela napas, menatap tangan Alden yang menggenggamnya erat. “Aku takut… kalau aku terus bersamamu, dunia akan semakin hancur.”
Alden menatapnya dalam-dalam. “Lalu bagaimana kalau aku bilang… aku lebih takut kehilanganmu daripada kehilangan dunia ini?”
Lira terkejut.
Di belakang Alden, Penjaga Waktu semakin dekat. Jika mereka tidak segera bergerak, maka tidak ada jalan keluar lagi.
Lira menggenggam tangan Alden lebih erat. “Baiklah,” katanya lirih. “Tarik aku ke atas.”
Dengan sekuat tenaga, Alden menarik Lira dari jurang kehampaan itu. Begitu dia berhasil membawanya ke tempat aman, mereka segera berlari menuju pintu keluar koridor bawah tanah.
Di depan mereka, cahaya matahari buatan dari kota 3067 menyinari jalanan kosong. Dan di ujung sana, Kapal Waktu Terakhir masih berdiri kokoh.
“Kita berhasil!” Lira berseru.
Namun, Alden merasakan sesuatu yang salah.
Langkah kaki mereka melambat ketika mereka menyadari sesuatu—kapal itu tidak sendiri.
Di depannya, berdiri seseorang yang mereka kenal.
Seseorang yang tidak seharusnya ada di sini.
Seseorang yang memiliki wajah yang sama dengan Lira.
Sosok Penjaga Waktu dalam wujud Lira menatap mereka dengan ekspresi datar, cahaya biru berpendar dari tubuhnya.
“Kalian tidak akan pergi ke mana-mana,” katanya dengan suara dingin.
Alden berdiri melindungi Lira. “Kami akan pergi, apakah kau suka atau tidak.”
Sosok itu tersenyum tipis. “Lira… kau sudah tahu siapa dirimu sebenarnya. Kau tahu bahwa selama kau ada di dunia ini, waktu tidak akan pernah stabil. Kau bisa melawan takdirmu, tapi kau tidak bisa mengubahnya.”
Lira menggigit bibirnya. “Aku memang bagian dari Penjaga Waktu, tapi aku juga lebih dari itu.”
Sosok itu menggeleng. “Tidak. Kau diciptakan untuk memastikan dunia ini berakhir.”
Lira menatapnya tajam. “Dan bagaimana kalau aku memilih untuk tidak menghancurkannya?”
Sosok itu menatapnya lama, lalu berkata, “Jika kau terus hidup, maka dunia ini akan semakin runtuh. Tapi jika kau menyerahkan dirimu… maka Sisa Waktu akan berhenti, dan jagad raya akan stabil kembali.”
Alden terdiam.
Itu berarti…
Lira harus mati agar dunia bisa selamat.
Lira sendiri tampak terguncang. Dia menatap Alden, lalu menatap sosoknya sendiri yang berdiri di hadapannya.
Sebuah pilihan berat muncul di hadapannya.
Jika dia pergi bersama Alden, dunia akan berakhir. Jika dia tetap di sini, maka semua akan kembali normal—tapi dia tidak akan pernah bersama Alden lagi.
Lira menatap Alden, hatinya terasa hancur. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Alden…”
Alden mengepalkan tangannya. “Kita akan menemukan jalan lain.”
Sosok Penjaga Waktu itu mendekat. “Tidak ada jalan lain. Jika kau benar-benar mencintainya, maka kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Lira menutup matanya.
Dia benar-benar tahu jawabannya.
Namun, sebelum dia bisa mengambil keputusan, Alden melakukan sesuatu yang tak terduga.
Dia meraih tangan Lira, menariknya ke dalam Kapal Waktu.
Lira tersentak. “Alden, apa yang kau lakukan?!”
Alden menekan tombol kontrol dengan cepat. “Aku tidak peduli dengan takdir. Aku hanya peduli pada kau.”
Penjaga Waktu di luar kapal menyadari apa yang terjadi dan segera mencoba menghentikan mereka. Namun, Alden sudah mengaktifkan sistem perjalanan waktu.
“Kita akan mencari jalan keluar lain, Lira.”
Lira menatap Alden, air mata mulai menggenang di matanya.
“Apa kau yakin?”
Alden menatapnya dengan serius. “Aku yakin. Selama kau masih di sini, aku akan terus berjuang.”
Lira mengangguk.
Dan dalam sekejap, kapal waktu mereka menghilang dalam kilatan cahaya biru, meninggalkan dunia 3067 yang sebentar lagi akan runtuh.
Tapi di luar sana, Penjaga Waktu hanya tersenyum tipis.
“Lari sejauh yang kalian mau,” katanya pelan. “Pada akhirnya, waktu akan selalu menang.”
Bab 6 – Melawan Takdir
“Takdir adalah ilusi yang diciptakan oleh mereka yang takut akan perubahan. Tapi aku lebih takut kehilanganmu daripada kehilangan dunia ini.” — Alden
Cahaya biru menyelimuti seluruh kapal saat mereka melesat menembus dimensi waktu. Alden berpegangan erat pada panel kontrol, memastikan sistem tetap stabil. Di sebelahnya, Lira duduk diam, menatap kosong ke depan dengan ekspresi penuh pertentangan.
Mereka telah melawan takdir.
Mereka telah melarikan diri.
Tapi… sampai kapan?
“Lira,” Alden berbicara pelan, mencoba menenangkan suasana. “Kita sudah terlalu jauh untuk kembali.”
Lira menghela napas panjang, menoleh padanya. “Alden… bagaimana jika mereka benar? Bagaimana jika aku benar-benar penyebab kehancuran jagad raya?”
Alden menatapnya lekat. “Dan bagaimana jika kau bukan? Bagaimana jika kita bisa menemukan cara untuk menghentikan semuanya tanpa harus kehilanganmu?”
Lira tertawa kecil, getir. “Kau selalu seperti ini. Selalu percaya bahwa ada jalan lain, bahkan saat dunia mengatakan sebaliknya.”
Alden tersenyum tipis. “Karena aku lebih memilih berjuang daripada menyerah.”
Lira menatap matanya, lalu perlahan menggenggam tangannya. “Kau tidak takut?”
Alden menggeleng. “Takdir hanya bisa menang jika kita berhenti berusaha.”
Tiba-tiba, kapal mulai bergetar hebat. Lampu merah berkedip di seluruh ruangan, tanda bahwa sesuatu tidak beres.
Alden segera mengecek sistem. “Sial. Ada anomali di jalur waktu kita.”
Lira menatap layar di depannya dan mendapati sesuatu yang membuatnya merinding.
Koordinat mereka berubah dengan sendirinya.
“Kita sedang ditarik ke suatu tempat,” kata Lira dengan suara tegang.
Alden mengetik cepat di panel kontrol, mencoba mengambil alih sistem. Namun, kekuatan yang menarik mereka terlalu kuat.
“Kita akan mendarat darurat!” seru Alden.
Dan sebelum mereka bisa berbuat apa-apa, cahaya biru menyelimuti kapal, dan mereka jatuh ke dalam pusaran waktu yang tak dikenal.
Ketika Alden dan Lira terbangun, mereka tidak lagi berada di dalam kapal.
Mereka berdiri di sebuah tempat yang tidak dapat dijelaskan—langit di atas mereka kosong, tanpa bintang, tanpa matahari. Tanah di bawah mereka seperti refleksi kaca, memantulkan bayangan mereka sendiri.
Dan di depan mereka…
Seseorang telah menunggu.
Alden menegang. “Tidak mungkin…”
Lira terbelalak melihat siapa yang berdiri di sana.
Itu dirinya sendiri.
Tapi berbeda dengan sebelumnya, sosok itu tampak lebih tua, lebih berwibawa. Matanya tenang, seolah mengetahui segala hal yang akan terjadi.
“Selamat datang di Dunia Tanpa Waktu,” kata sosok itu dengan suara lembut. “Tempat di mana takdir tidak memiliki kuasa.”
Alden melangkah maju, waspada. “Siapa kau sebenarnya?”
Sosok itu tersenyum tipis, lalu menatap Lira dengan penuh arti. “Aku adalah versi dirimu yang telah menerima takdirnya, Lira.”
Lira menegang. “Aku… kau…”
Sosok itu mengangguk. “Aku telah menjalani siklus ini berkali-kali. Aku telah melawan, aku telah menyerah, dan aku telah menerima siapa diriku.”
Lira menggertakkan giginya. “Jadi, bagaimana akhirnya?”
Sosok itu terdiam sesaat sebelum menjawab, “Akhirnya? Aku berhenti melawan. Aku menerima takdirku sebagai Penjaga Waktu, dan jagad raya kembali stabil.”
Lira merasakan hatinya mencelos. “Jadi… kau menyerah?”
Sosok itu menggeleng. “Aku tidak menyerah, aku memilih. Dan kau juga harus memilih.”
Alden meraih tangan Lira, berusaha memberinya kekuatan. “Lira, kau tidak harus memilih jalan yang sama.”
Sosok itu menatap mereka berdua dengan sorot penuh pengertian. “Jika kau tetap hidup, dunia akan hancur. Jika kau menerima takdirmu, dunia akan selamat.”
Lira menatap Alden dengan mata berkaca-kaca. “Apa yang harus kita lakukan?”
Alden menggenggam tangannya lebih erat. “Aku tidak peduli dengan dunia. Aku peduli padamu.”
Sosok itu menghela napas. “Kalau begitu, aku akan bertanya… apakah kau siap menghadapi konsekuensinya?”
Lira menatap Alden, lalu mengangguk. “Ya.”
Sosok itu tersenyum tipis. “Kalau begitu, bersiaplah. Karena dunia tidak akan diam melihat kau melawan takdir.”
Tiba-tiba, tanah di bawah mereka mulai retak. Langit yang tadinya kosong mulai dipenuhi kilatan cahaya.
Sesuatu telah berubah.
Alden merasakan udara di sekeliling mereka bergetar, seolah mereka sedang dihukum karena menolak takdir.
Dan kemudian, sebuah suara menggema di seluruh dimensi.
“Waktu tidak akan menerima pemberontakan.”
Lira merasakan sesuatu di dalam tubuhnya—sebuah kekuatan yang mulai bangkit.
Dia bukan lagi hanya seorang penjaga.
Dia adalah sesuatu yang baru.
“Aku tidak akan menerima takdir yang dipaksakan kepadaku.” — Lira
Dan dengan itu, dunia mulai berubah.
Namun, perubahan selalu datang dengan harga.
Dan mereka belum tahu, seberapa besar harga yang harus mereka bayar.
Bab 7 – Keputusan Terakhir
“Takdir bukan sesuatu yang ditunggu. Takdir adalah sesuatu yang kita ciptakan sendiri.” — Lira
Langit tanpa bintang bergetar, pecahan realitas berjatuhan di sekeliling mereka. Alden merasakan tubuhnya semakin berat, seolah gravitasi dunia ini berubah.
Di sebelahnya, Lira berdiri tegak, matanya penuh tekad. Sosok dirinya yang lebih tua masih menatapnya dengan ekspresi tenang, seolah sudah mengetahui apa yang akan terjadi.
“Jika kau menolak takdirmu, Lira,” katanya pelan, “kau akan melawan sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri.”
Lira tidak mundur. “Aku tidak peduli seberapa besar musuhku. Aku hanya peduli tentang satu hal…”
Dia menoleh ke Alden, menggenggam tangannya erat.
“Aku tidak ingin hidup di dunia tanpa Alden.”
Alden terkejut, tapi sebelum dia bisa merespons, suara gemuruh menggema dari atas.
Dunia mulai runtuh.
Kilatan cahaya biru membelah langit, dan dari dalam kehampaan, sesuatu muncul.
Penjaga Waktu yang sebenarnya.
Sosok mereka lebih besar dari sebelumnya. Mata mereka bersinar merah, tubuh mereka berputar seperti bayangan tanpa bentuk. Mereka bukan hanya pengejar waktu—mereka adalah waktu itu sendiri.
“LIRA-01, KAU TELAH MELANGGAR KESEIMBANGAN. KEMBALILAH KE TAKDIRMU ATAU LENYAPLAH.”
Lira menatap mereka tanpa gentar.
“Tidak.”
Kilatan energi meledak di sekeliling mereka, menciptakan gelombang gravitasi yang mendorong Alden ke belakang.
“Lira!” Alden mencoba menariknya pergi, tapi Lira tetap berdiri di tempatnya.
Sosok Lira yang lebih tua menatapnya dengan ekspresi iba. “Ini yang terjadi ketika kau menolak takdir. Kau harus memilih, Lira.”
Lira mengepalkan tangannya. “Aku sudah memilih.”
Dan dengan itu, dia melangkah maju.
Angin tak kasat mata berputar di sekeliling Lira, menyelimuti tubuhnya dengan cahaya biru yang semakin terang.
Penjaga Waktu melayang mendekat, bersiap menghapus keberadaannya.
Tapi kali ini, Lira tidak lari.
Dia mengangkat tangannya, dan sesuatu yang tidak mungkin terjadi—energi waktu yang seharusnya menghapusnya justru berhenti di udara, tidak bisa menyentuhnya.
Alden menatap dengan mata terbelalak. “Lira… apa yang kau lakukan?”
Lira menoleh kepadanya dan tersenyum. “Aku mengambil kembali kendaliku.”
Dalam sekejap, dunia di sekitar mereka berubah.
Dunia tanpa waktu mulai terpecah, berubah menjadi lapisan-lapisan dimensi yang terhubung satu sama lain. Di depan mereka, berbagai kemungkinan waktu berputar seperti kaca yang pecah—masa lalu, masa kini, dan masa depan bercampur menjadi satu.
Dan kemudian, Lira menutup matanya.
“Aku bukan penjaga kehancuran. Aku adalah penjaga kemungkinan.”
Cahaya biru di sekelilingnya semakin kuat.
Penjaga Waktu meraung marah, berusaha melawannya, tapi mereka mulai melemah.
Alden merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya—seolah gravitasi waktu mulai berubah.
“Lira, hentikan! Kalau kau terlalu jauh, kau bisa—”
Tapi sebelum Alden bisa menyelesaikan kalimatnya, semuanya menjadi putih.
Ketika Alden membuka matanya, dia tidak lagi berada di Dunia Tanpa Waktu.
Dia berdiri di sebuah tempat yang familiar—sebuah kota dengan langit biru yang cerah.
Di sekelilingnya, orang-orang berjalan seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi.
Tidak ada kehancuran. Tidak ada Sisa Waktu.
Tidak ada Lira.
Jantungnya berhenti berdetak sejenak.
“Lira?”
Dia berputar ke segala arah, mencari sosoknya.
Tidak ada.
Dia mulai panik, tapi kemudian, sesuatu membuatnya terdiam.
Di seberang jalan, seorang wanita berdiri.
Seorang wanita dengan rambut hitam panjang dan mata cokelat hangat, menatapnya dengan bingung.
Lira.
Tapi dia terlihat berbeda. Tidak ada aura waktu di sekelilingnya. Tidak ada kekuatan yang membebaninya.
Dia hanyalah… manusia biasa.
Alden mendekatinya perlahan, hatinya berdebar kencang.
Lira menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Hai… aku merasa seperti pernah bertemu denganmu sebelumnya.”
Alden terdiam, lalu tersenyum.
Mungkin, dia harus memulai semuanya dari awal.
Dan mungkin, kali ini mereka akan memiliki akhir yang berbeda.
“Takdir bukan garis lurus. Takdir adalah jalan yang kita buat sendiri, dengan setiap langkah, setiap pilihan, dan setiap cinta yang kita pertahankan.”
Bab 8 – Pengkhianatan Terencana
“Cinta dan pengkhianatan adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya datang dari kepercayaan, dan keduanya bisa menghancurkan.” — Alden
Alden menatap Lira, wanita yang berdiri di depannya.
Dia terlihat sama seperti sebelumnya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada cahaya biru yang menyelimuti tubuhnya, tidak ada aura waktu yang selalu mengikutinya. Dia terlihat… biasa.
Seperti manusia biasa.
Namun, ada satu hal yang mengganjal di hati Alden.
Lira tidak mengingatnya.
Mereka berdiri di tengah kota yang seharusnya sudah lenyap, tapi kini kembali utuh. Orang-orang berlalu lalang, menjalani kehidupan mereka tanpa menyadari bahwa dunia ini pernah berada di ambang kehancuran.
“Aku merasa seperti pernah bertemu denganmu sebelumnya,” kata Lira pelan.
Alden tersenyum kecil, menahan emosinya. “Mungkin kita memang pernah bertemu.”
Lira tertawa kecil. “Tapi anehnya, aku tidak ingat di mana.”
Alden menelan ludah. Dia tahu apa yang telah terjadi.
Lira telah mengorbankan ingatannya untuk menyelamatkan jagad raya.
Dia telah memilih untuk menghapus dirinya sebagai Penjaga Waktu, tapi dengan konsekuensi… dia juga menghapus semua kenangan mereka.
Bagi Lira, Alden hanyalah orang asing.
Tapi bagi Alden… dia adalah seseorang yang telah dia cintai lebih dari siapa pun.
Dan dia harus menerima kenyataan itu.
Alden dan Lira duduk di sebuah kedai kopi kecil. Lira terlihat santai, menikmati minumannya, sementara Alden hanya menatapnya dengan perasaan campur aduk.
“Jadi, siapa namamu?” tanya Lira akhirnya.
Alden menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Alden.”
Lira mengangguk. “Nama yang bagus.”
Hening sejenak.
Lira mengaduk kopinya pelan, lalu menatap Alden dengan ragu. “Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ada sesuatu yang hilang dari ingatanku.”
Alden terkejut. “Apa maksudmu?”
Lira menggigit bibirnya. “Aku merasa… aku seharusnya ada di tempat lain. Aku merasa seharusnya aku mengingat sesuatu yang penting.”
Alden merasakan dadanya sesak.
Dia ingin memberitahu Lira segalanya. Tentang siapa dia sebenarnya. Tentang perjalanan mereka. Tentang cinta yang pernah ada di antara mereka.
Tapi dia tahu… jika dia melakukan itu, dia bisa mengacaukan keseimbangan dunia ini lagi.
Lira telah memilih untuk memulai kembali.
Dan mungkin, dia harus menghormati pilihan itu.
Namun, sebelum Alden bisa menjawab, suara pelan terdengar di telinganya.
Seseorang berbisik.
“Dia tidak boleh mengingatmu, Alden. Jika dia mengingat, dunia ini akan kembali runtuh.”
Alden langsung menoleh ke sekelilingnya, mencari sumber suara itu.
Tapi tidak ada siapa pun.
Dia kembali menatap Lira, yang masih menunggu jawabannya.
Dia menelan ludah, lalu akhirnya berkata, “Mungkin itu hanya perasaanmu saja.”
Lira menatapnya lama, lalu menghela napas. “Mungkin kau benar.”
Tapi Alden tahu… sesuatu sedang terjadi.
Dan seseorang sedang mengawasi mereka.
Malam itu, Alden berjalan sendirian di sepanjang gang sempit kota. Dia merasa ada yang tidak beres.
Dunia ini terasa terlalu sempurna.
Terlalu… dibuat-buat.
Kemudian, dia melihatnya.
Di ujung gang, seorang pria berdiri, mengenakan jas hitam panjang, wajahnya sebagian tertutup bayangan.
Alden mendekatinya dengan waspada. “Siapa kau?”
Pria itu tersenyum tipis. “Kau benar-benar berpikir kau bisa melarikan diri dari waktu?”
Alden merasakan bulu kuduknya berdiri. “Apa maksudmu?”
Pria itu melangkah maju. “Kau pikir dunia ini nyata? Kau pikir Lira benar-benar bebas dari takdirnya?”
Alden mengepalkan tinjunya. “Apa yang kau katakan?”
Pria itu tersenyum lebih lebar. “Ini semua hanyalah ilusi, Alden. Lira tidak benar-benar bebas. Dia hanya dipindahkan ke dalam simulasi yang dibuat untuknya.”
Alden merasakan dadanya mencelos.
“Tidak mungkin…”
Pria itu mengangguk. “Dunia ini hanyalah sangkar emas. Waktu tidak akan pernah membiarkan Penjaga Waktu melarikan diri begitu saja.”
Alden terdiam.
Dia mulai menyadari bahwa semua ini bukanlah akhir…
Ini hanyalah awal dari permainan yang lebih besar.
Dan dia harus mencari jalan keluar sebelum semuanya terlambat.
Di tempat lain, Lira duduk di apartemennya, menatap langit malam dengan perasaan aneh di dadanya.
Dia tidak tahu kenapa…
Tapi dia merasa seseorang telah mengkhianatinya.
Dan dia merasa… seseorang telah menghapus sesuatu yang sangat berharga dari ingatannya.
Tanpa sadar, air matanya jatuh.
Dia tidak tahu untuk siapa atau untuk apa.
Tapi hatinya berkata…
Dia telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti.
Dan dia bersumpah…
Dia akan menemukannya kembali.
“Kadang, pengkhianatan terbesar datang bukan dari musuh, tapi dari takdir itu sendiri.”
Bab 9 – Akhir yang Tak Terduga
“Waktu bisa diubah. Takdir bisa dilawan. Tapi bisakah cinta bertahan di antara keduanya?”
Alden berjalan dengan langkah berat di tengah kota yang terasa begitu asing kini. Setelah percakapannya dengan pria misterius semalam, pikirannya tidak bisa tenang.
Lira tidak bebas. Dunia ini tidak nyata.
Semua ini hanyalah ilusi.
Sebuah sangkar emas yang dibuat untuk memenjarakan Lira dalam kehidupan yang sempurna, tapi tanpa ingatan tentang dirinya.
Dan dia tahu siapa dalangnya.
Di sebuah gedung tua yang terbengkalai, Alden akhirnya menemukan orang yang dia cari.
Pria berjubah hitam itu berdiri di tengah ruangan, menatapnya dengan senyum penuh kemenangan.
“Kau datang lebih cepat dari yang kuduga,” katanya.
Alden mengepalkan tinjunya. “Katakan yang sebenarnya. Apa yang kau lakukan pada Lira?”
Pria itu tertawa kecil. “Aku hanya menyelamatkannya. Dia tidak lagi terikat pada masa lalu, tidak lagi menjadi ancaman bagi waktu.”
Alden menatapnya tajam. “Kau mencuci otaknya.”
Pria itu mengangkat bahu. “Aku memberinya kesempatan untuk hidup tanpa beban. Bukankah itu lebih baik?”
Alden menggeleng. “Tidak jika itu berarti dia kehilangan dirinya sendiri.”
Pria itu terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis. “Kau benar-benar keras kepala, Alden.”
Dia melangkah maju.
“Tapi aku akan memberimu pilihan.”
Alden menahan napas.
Pilihan.
Kata yang sudah terlalu sering dia dengar sejak awal perjalanan ini.
Pria itu menatapnya dalam-dalam. “Kau bisa tetap di dunia ini, bersama Lira, dan menjalani kehidupan normal. Dia tidak akan pernah mengingatmu, tapi setidaknya kau bisa tetap berada di sisinya.”
Alden mengepalkan tinjunya. “Dan pilihan lainnya?”
Pria itu tersenyum samar. “Kau bisa membangunkan ingatan Lira… tapi kau akan menghancurkan keseimbangan dunia ini, dan waktu akan mulai runtuh lagi.”
Alden menahan napas.
Jika dia membangunkan ingatan Lira, maka semua perjuangan Lira untuk menciptakan dunia ini akan sia-sia.
Tapi jika dia membiarkannya… maka Lira tidak akan pernah benar-benar bebas.
Hatinya berdebar.
Apa yang harus dia lakukan?
Di tempat lain, Lira duduk di apartemennya, menatap jendela dengan tatapan kosong.
Hatinya terasa hampa.
Seolah ada sesuatu yang hilang.
Dia mencoba mengingat sesuatu, tapi yang ada hanya kekosongan.
Namun, tanpa sadar, tangannya menggambar sesuatu di atas meja kayu.
Sebuah simbol.
Sebuah pola yang aneh tapi terasa familiar.
Dan tiba-tiba, kepalanya berdenyut.
Kilasan gambar muncul di pikirannya.
Sebuah kapal waktu.
Seorang pria dengan mata tajam dan senyuman hangat.
Seseorang yang pernah sangat berarti baginya.
Alden.
Air matanya jatuh tanpa dia sadari.
“Apa yang terjadi padaku…?” bisiknya.
Dia bangkit, hatinya terasa seperti akan meledak.
Dia harus mencari jawaban.
Alden berdiri di atap gedung, menatap langit yang terasa terlalu sempurna.
Dia harus memilih.
Jika dia tetap di sini, dia bisa hidup bersama Lira, tapi hanya sebagai orang asing di matanya.
Jika dia membangunkan Lira, dia akan mengembalikan semua yang telah hilang… tapi dia juga bisa menghancurkan dunia ini lagi.
Kemudian, dia mendengar langkah kaki.
Dia berbalik, dan jantungnya hampir berhenti.
Lira berdiri di sana.
Tatapan matanya kosong, tapi ada sesuatu di dalamnya—sebuah kebingungan, sebuah pertanyaan yang belum terjawab.
“Alden…” katanya pelan.
Alden menahan napas. “Kau mengingatku?”
Lira menggigit bibirnya, lalu menggeleng. “Aku tidak tahu… tapi aku merasa aku harus menemuimu.”
Alden menatapnya lama.
Dan akhirnya, dia membuat keputusan.
Dia melangkah mendekat, menatap Lira dalam-dalam.
“Lira… aku tidak bisa hidup di dunia ini tanpamu. Aku tidak peduli dengan waktu, tidak peduli dengan takdir. Aku hanya peduli padamu.”
Lira terkejut. “Tapi aku tidak mengingatmu…”
Alden tersenyum kecil. “Maka aku akan membuatmu mengingat.”
Dia meraih tangannya, menekannya di dadanya.
“Lira… kau adalah penjaga waktu. Kau memilih untuk menghapus segalanya demi menyelamatkan dunia ini. Tapi kau juga memilih untuk tetap bersamaku. Karena itu, aku akan mengembalikan semuanya.”
Lira terdiam.
Dan tiba-tiba, kilasan-kilasan ingatan kembali menghantamnya.
Dia melihat Alden, melihat semua perjalanan mereka, semua pertempuran, semua janji yang mereka buat.
Matanya melebar.
“Alden…”
Dan sebelum dia bisa berkata lebih banyak, dunia mulai retak.
Cahaya biru menyelimuti mereka.
Ketika cahaya menghilang, mereka tidak lagi berada di kota itu.
Mereka berdiri di dalam kapal waktu, dengan panel kendali berkedip-kedip seperti biasa.
Alden menatap sekeliling, lalu menoleh pada Lira.
Lira juga melihat sekeliling dengan ekspresi bingung, tapi kali ini… dia menatap Alden dengan tatapan yang berbeda.
Dengan tatapan yang penuh rasa sayang.
“Aku mengingat semuanya,” bisiknya.
Alden merasakan hatinya berdebar kencang.
Lira melangkah maju, menyentuh wajahnya. “Aku mengingatmu, Alden. Aku mengingat semuanya.”
Alden menariknya ke dalam pelukan, menutup matanya. “Kau kembali.”
Lira tersenyum di bahunya. “Dan aku tidak akan pergi lagi.”
Tapi kemudian, suara sistem kapal berbunyi.
Mendeteksi anomali waktu. Keseimbangan belum pulih sepenuhnya.
Alden dan Lira bertukar pandang.
Mereka telah kembali, tapi pertarungan mereka belum selesai.
Dunia masih belum sepenuhnya selamat.
Dan mereka harus menyelesaikannya bersama.
“Cinta melawan takdir. Waktu melawan keabadian. Tapi di antara semua itu, satu hal yang pasti—aku memilih untuk tetap bersamamu.” — Lira
Bab 10 – Cinta di Antara Jagad Raya
“Jika waktu terus berubah, maka aku akan menjadi satu-satunya yang tetap. Untukmu.” — Alden
Lira dan Alden berdiri di dalam Kapal Waktu Terakhir, tatapan mereka tertuju pada layar utama yang menampilkan serangkaian data yang bergerak cepat.
“Mendeteksi anomali waktu. Keseimbangan belum pulih sepenuhnya.”
Kata-kata itu terulang, mengingatkan mereka bahwa pertempuran mereka belum selesai.
Alden menoleh ke Lira, yang kini menatap layar dengan ekspresi penuh tekad.
“Apa yang terjadi?” tanya Alden.
Lira menggerakkan tangannya di atas panel kontrol. “Waktu belum stabil… karena aku masih ada.”
Alden mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Lira menghela napas panjang. “Aku diciptakan sebagai Penjaga Waktu. Bahkan setelah aku menghapus peran itu dari sistem, keberadaanku masih dianggap sebagai anomali.”
Alden menegang. “Jadi… mereka masih menginginkanmu lenyap?”
Lira mengangguk. “Ya. Dan jika aku tetap ada di jagad raya ini, waktu akan terus berusaha menyeimbangkan dirinya dengan cara apa pun—termasuk menghancurkan dunia yang sudah kita selamatkan.”
Alden mengepalkan tangannya. “Tidak. Pasti ada cara lain.”
Lira tersenyum tipis, lalu menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Aku tahu kau akan mengatakan itu.”
Pilihan yang Mustahil
Layar di depan mereka menampilkan dua opsi.
- Menghapus semua jejak Lira dari aliran waktu → Dunia akan stabil, semua yang terjadi akan kembali seperti semula, tetapi Lira akan lenyap selamanya.
- Membiarkan Lira tetap ada → Waktu akan terus mencari cara untuk menghapus ketidakseimbangan, yang berarti dunia bisa kembali runtuh kapan saja.
Lira menatap pilihan-pilihan itu dengan ekspresi kosong. “Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.”
Alden meraih tangannya. “Jangan katakan itu.”
Lira tersenyum lembut. “Alden, ini bukan soal menyerah atau melawan takdir. Ini tentang memastikan bahwa semua yang kita lalui tidak sia-sia.”
Alden menggeleng keras. “Aku tidak peduli dengan dunia ini jika tanpamu, Lira!”
Lira menatapnya lama. “Dan aku tidak ingin dunia ini hancur karena aku.”
Alden mengepalkan tinjunya, hatinya terasa remuk. “Pasti ada cara lain.”
Lira mengusap pipinya lembut. “Kau selalu mencoba mencari jalan lain, Alden. Tapi kali ini, biarkan aku yang membuat pilihan.”
Alden ingin membantah, ingin mengatakan bahwa mereka bisa menemukan solusi lain, tapi Lira sudah menyentuh layar pilihan pertama.
Sistem berbunyi.
“Menghapus anomali LIRA-01. Proses dimulai dalam 60 detik.”
Cahaya mulai menyelimuti tubuh Lira.
Alden panik. “LIRA!”
Lira tersenyum. “Aku tidak akan pernah melupakanmu.”
Alden tidak berpikir panjang. Dia menarik Lira ke dalam pelukannya dan mencium bibirnya dalam-dalam.
Cahaya biru semakin terang, tapi Lira membalas ciumannya, air matanya jatuh tanpa bisa dia tahan.
Saat cahaya semakin kuat, sesuatu terjadi.
Layar kapal berbunyi dengan suara berbeda.
“Anomali mendeteksi koneksi emosional yang lebih kuat dari gravitasi waktu. Menginisialisasi opsi ketiga…”
Alden dan Lira terkejut.
Tiba-tiba, muncul opsi baru di layar.
- Menjalin kembali keberadaan Lira dalam aliran waktu yang baru → Lira tetap ada, tetapi tanpa ancaman waktu yang akan menghapusnya.
Mereka saling bertukar pandang, lalu Lira tertawa kecil sambil menangis. “Kau benar, Alden. Selalu ada jalan lain.”
Alden tersenyum lega. “Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi, Lira.”
Tanpa ragu, mereka menekan opsi ketiga.
Cahaya biru menyelimuti mereka sekali lagi. Tapi kali ini, tidak ada rasa kehilangan.
Hanya ada awal yang baru.
Dunia Baru, Cinta yang Sama
Ketika Alden membuka matanya, dia berdiri di tempat yang berbeda.
Langit biru. Burung-burung beterbangan.
Dan di sebelahnya, Lira berdiri, menatapnya dengan senyum lembut.
Tidak ada kapal waktu.
Tidak ada kehancuran.
Hanya mereka.
Lira menatapnya. “Kita berhasil?”
Alden mengangguk, masih tidak percaya. “Ya.”
Lira tersenyum, lalu menggenggam tangannya erat. “Jadi… apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Alden menatap langit, lalu tersenyum.
“Kita akan hidup. Kita akan menciptakan kisah baru.”
Lira tertawa kecil. “Bersamamu, aku tidak takut akan masa depan.”
Alden menariknya ke dalam pelukan. “Dan bersamamu, aku tahu masa depan layak diperjuangkan.”
Di antara jagad raya yang baru…
Mereka memulai hidup mereka dari awal.
Tanpa takdir yang memisahkan.
Tanpa waktu yang membatasi.
Hanya mereka.
Selamanya.
“Cinta sejati tidak bisa dihapus. Tidak oleh waktu. Tidak oleh takdir. Karena cinta adalah satu-satunya hal yang abadi.” — Lira & Alden
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.