Novel Singkat Cinta yang Tak Bisa Dimiliki
Novel Singkat Cinta yang Tak Bisa Dimiliki

Novel Singkat: Cinta yang Tak Bisa Dimiliki

Aileen, seorang desainer interior, menjalani pertunangan yang telah diatur oleh keluarganya dengan Dimas, pria yang mapan dan ideal menurut banyak orang. Namun, hatinya justru terpaut pada Arka, seorang fotografer lepas yang tak lain adalah sahabat baik Dimas.

Mereka berdua saling mencintai, tetapi menekan perasaan demi kebahagiaan orang lain. Ketika akhirnya Aileen memberanikan diri untuk melawan takdir dan membatalkan pertunangannya, sebuah tragedi menghancurkan segalanya. Arka mengalami kecelakaan fatal sebelum mereka sempat memperjuangkan cinta mereka.

Kini, Aileen harus menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang bagaimana seseorang tetap hidup dalam kenangan.

Bab 1: Pertemuan yang Tak Disangka

Suara riuh tawa dan denting gelas bersulang memenuhi ruangan. Malam itu, keluarga Dimas mengadakan acara makan malam besar untuk merayakan pertunangan putra mereka dengan Aileen. Restoran mewah yang disewa khusus untuk acara ini tampak penuh dengan tamu undangan dari kalangan keluarga dan kolega bisnis.

Aileen berdiri di sisi Dimas, tersenyum sopan saat menerima ucapan selamat dari para tamu. Gaun biru lembut yang membalut tubuhnya membuatnya tampak anggun, meski di dalam hatinya ada perasaan yang sulit ia jelaskan. Ia memang menyayangi Dimas, tetapi entah mengapa, ada sesuatu yang membuat hatinya terasa kosong.

Saat ia sedang larut dalam pikirannya, suara berat seorang pria membuyarkan lamunannya.

“Bro, selamat! Akhirnya lo resmi bertunangan juga,” ujar seorang pria tinggi dengan senyum ramah.

Dimas langsung merangkulnya dengan akrab. “Arka! Lo akhirnya datang juga!”

Aileen menoleh, menatap pria yang baru saja datang itu. Sosoknya tinggi dengan rahang tegas, senyum yang hangat, dan mata tajam yang tampak menyimpan banyak cerita.

“Kenalin, ini Arka, sahabat gue sejak kecil. Gue sering cerita tentang dia ke kamu, kan?” ujar Dimas.

Aileen mengangguk sopan, lalu mengulurkan tangan. “Aileen,” katanya singkat.

Arka tersenyum, menjabat tangannya dengan mantap. “Arka. Akhirnya bisa ketemu juga. Dimas sering banget ngomongin lo.”

Aileen tersenyum tipis. “Semoga yang dia ceritakan hal baik semua.”

Dimas tertawa. “Pasti dong!”

Percakapan mereka terus berlanjut, tetapi entah mengapa, Aileen merasa ada sesuatu yang berbeda saat ia berbicara dengan Arka. Cara pria itu menatapnya—tidak seperti pria lain yang biasa ia temui. Tatapan itu hangat, dalam, tetapi tidak mencoba memiliki.

Di tengah acara, saat Dimas sibuk berbincang dengan keluarganya, Aileen dan Arka tanpa sengaja berakhir duduk di meja yang sama. Mereka mengobrol ringan, mulai dari pekerjaan hingga hobi.

“Jadi, lo udah lama kenal Dimas?” tanya Aileen, memainkan garpu di tangannya.

“Sejak kecil,” jawab Arka. “Kami udah kayak saudara sendiri. Dia selalu jadi yang lebih ceroboh, gue yang sering bantu nutupin kesalahannya.”

Aileen tertawa kecil. “Iya, aku bisa membayangkannya. Dimas memang selalu punya energi berlebih.”

Arka ikut tersenyum, lalu matanya sedikit mengamati ekspresi Aileen. “Lo bahagia sama dia?” tanyanya pelan, seolah takut merusak suasana.

Aileen terdiam sejenak. Pertanyaan itu sederhana, tapi entah kenapa, sulit ia jawab dengan tegas.

“Ya… tentu,” jawabnya akhirnya, meski hatinya ragu.

Arka menatapnya dalam, seolah bisa membaca keraguan di balik kata-katanya. Namun, ia memilih untuk tidak berkomentar lebih lanjut.

Saat itu, Aileen tidak menyadari bahwa pertemuan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih rumit. Sebuah perasaan yang seharusnya tidak pernah ada mulai muncul tanpa bisa dihentikan.

Bab 2: Rasa yang Mulai Bersemi

Sejak malam itu, Aileen dan Arka semakin sering bertemu—bukan karena kesengajaan, melainkan karena Dimas kerap mengajak Arka dalam berbagai acara keluarga atau sekadar pertemuan santai.

Aileen mencoba menganggap kehadiran Arka sebagai hal yang biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda setiap kali pria itu berada di dekatnya. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Arka berbicara dengan tenang, cara dia mendengarkan tanpa menyela, cara dia memahami sesuatu tanpa harus dijelaskan panjang lebar.

Hari itu, Dimas mengundang Arka untuk makan siang bersama mereka di sebuah kafe. Cuaca cukup cerah, tetapi entah mengapa, Aileen merasa sedikit gugup saat tahu bahwa Arka akan datang.

“Lo lama banget sih, Ka?” Dimas berseru saat Arka akhirnya datang.

“Maaf, macet,” jawab Arka santai. Ia lalu menarik kursi dan duduk di samping mereka. Tatapannya sekilas bertemu dengan mata Aileen sebelum ia mengalihkan pandangan.

Percakapan mereka berlangsung santai. Dimas, seperti biasa, lebih banyak bicara, sementara Arka lebih banyak mendengarkan. Namun, yang membuat Aileen tak nyaman adalah bagaimana ia dan Arka sesekali saling mencuri pandang.

Saat Dimas sibuk dengan ponselnya, Arka tiba-tiba berbisik, “Lo suka makan di sini?”

Aileen terkejut sejenak, lalu mengangguk. “Iya, tempatnya nyaman.”

Arka mengangguk pelan. “Kayaknya lo tipe orang yang suka tempat yang nggak terlalu ramai, ya?”

Aileen mengangkat alis. “Kok lo bisa tahu?”

Arka tersenyum tipis. “Nggak tahu, cuma nebak aja.”

Percakapan singkat itu membuat Aileen berpikir sepanjang hari. Bagaimana mungkin Arka bisa membaca dirinya lebih baik daripada Dimas?

Beberapa hari kemudian, Aileen kembali bertemu dengan Arka di rumah Dimas. Saat itu, Dimas sedang berbicara dengan ayahnya, sementara Aileen dan Arka tanpa sengaja bertemu di halaman belakang.

“Lo sering main ke sini?” tanya Aileen, mencoba mencairkan suasana.

Arka menatapnya, lalu mengangguk. “Dulu sering. Tapi sekarang lebih sibuk.”

Aileen mengangguk pelan. “Sibuk dengan pekerjaan?”

Arka tersenyum kecil. “Sibuk dengan kehidupan.”

Aileen menatapnya, merasa ada sesuatu di balik kata-kata itu. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Arka tiba-tiba berkata, “Lo bahagia, kan?”

Aileen terdiam. Pertanyaan itu kembali muncul—pertanyaan yang sama seperti yang Arka tanyakan saat pertama kali mereka bertemu.

“Kenapa lo nanya gitu?” Aileen akhirnya balik bertanya.

Arka menatapnya dalam. “Nggak tahu. Kayaknya lo selalu kelihatan bahagia di depan orang lain, tapi gue nggak yakin apakah itu bahagia yang lo rasain, atau bahagia yang lo tunjukin.”

Jantung Aileen berdebar. Ia ingin menyangkal, tetapi tatapan Arka membuatnya sulit untuk berbohong.

“Semuanya baik-baik saja,” jawabnya akhirnya, meskipun ia sendiri tidak yakin dengan kata-katanya.

Arka tersenyum tipis. “Kalau gitu, gue ikut senang.”

Aileen tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa kecewa dengan jawaban itu. Seolah-olah ia mengharapkan Arka mengatakan sesuatu yang berbeda.

Dan saat itu, ia mulai menyadari—perasaannya terhadap Arka bukan lagi sekadar perasaan biasa.

Bab 3: Dilema Hati

Aileen duduk di depan cermin di kamarnya, menatap pantulan dirinya sendiri. Wajahnya tampak seperti biasa—tersenyum lembut, tanpa ekspresi yang mencolok. Tapi hatinya? Penuh dengan kebingungan.

Sudah beberapa hari sejak percakapan terakhirnya dengan Arka di halaman belakang rumah Dimas, tetapi kata-katanya masih terngiang di kepalanya. Apakah aku benar-benar bahagia?

Pertanyaan itu membuatnya gelisah. Ia sudah bertunangan dengan Dimas, pria yang dikenalnya sejak lama, pria yang keluarganya anggap sebagai pasangan sempurna untuknya. Seharusnya tidak ada keraguan. Seharusnya ia bahagia. Tapi, mengapa setiap kali ia melihat Arka, hatinya terasa berbeda?

Hari itu, Aileen kembali bertemu dengan Arka di acara makan malam yang diadakan oleh keluarga Dimas. Awalnya, ia mencoba menghindari terlalu banyak berinteraksi dengannya. Tapi, seolah takdir terus mempertemukan mereka, mereka akhirnya berada di tempat yang sama—dapur rumah Dimas—ketika Aileen hendak mengambil air minum.

“Lo baik-baik aja?” tanya Arka tiba-tiba.

Aileen menoleh dan mendapati pria itu berdiri tak jauh darinya, bersandar di meja dapur dengan tatapan yang sulit ia artikan.

“Aku baik,” jawab Aileen cepat.

Arka mengangguk pelan, tetapi ekspresinya tidak menunjukkan bahwa ia percaya sepenuhnya. “Kalau lo baik, kenapa lo terlihat seperti seseorang yang lagi menyembunyikan sesuatu?”

Aileen tersenyum kecil, berusaha menutupi kegelisahannya. “Kenapa lo selalu bertanya hal yang sulit dijawab?”

Arka menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Mungkin karena gue lebih suka denger jawaban jujur daripada yang dibuat-buat.”

Aileen terdiam. Jujur? Apa yang bisa ia katakan? Bahwa ia mulai merasa sesuatu yang lebih terhadap Arka? Bahwa setiap kali pria itu berbicara dengannya, dunia di sekitarnya terasa menghilang? Bahwa ia merasa lebih dihargai dan dipahami dalam obrolan singkat dengan Arka dibandingkan dalam hubungan bertahun-tahun dengan Dimas?

Tiba-tiba suara Dimas terdengar dari arah ruang tamu, membuat Aileen dan Arka tersadar dari dunia mereka sendiri.

“Hei, kalian di mana?”

Aileen buru-buru mengambil gelasnya dan beranjak pergi, meninggalkan Arka tanpa jawaban.

~

Beberapa hari kemudian, Aileen mengajak Dimas untuk bertemu di sebuah kafe. Ia ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja antara mereka. Bahwa ia hanya terlalu banyak berpikir, dan mungkin, perasaannya terhadap Arka hanyalah kebingungan sesaat.

“Dimas, menurut kamu… kita ini benar-benar cocok?” tanyanya tiba-tiba.

Dimas menatapnya bingung. “Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?”

Aileen menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku cuma… ingin tahu apa kamu benar-benar bahagia dengan pertunangan ini?”

Dimas tertawa kecil. “Tentu aja aku bahagia. Aku suka kamu, dan aku yakin kita akan jadi pasangan yang hebat.”

Jawaban itu seharusnya membuat Aileen lega. Seharusnya. Tapi kenapa rasanya justru semakin sesak?

Ia tersenyum samar, mengangguk tanpa berkata-kata.

Tapi dalam hatinya, ia sadar—jawaban Dimas tidak sama seperti jawaban yang mungkin akan diberikan oleh Arka.

Dan itu cukup untuk membuatnya semakin takut dengan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya.

Aileen mulai menyadari sesuatu yang ia coba hindari selama ini: ia mencintai seseorang yang tak seharusnya ia cintai.

Bab 4: Rahasia yang Tersembunyi

Dimas menatap Arka dengan penuh tawa saat mereka duduk di balkon apartemennya. Malam itu, ia mengundang sahabatnya untuk sekadar minum dan mengobrol santai.

“Lo tahu nggak, Ka? Gue beneran nggak sabar buat nikahin Aileen,” ujar Dimas sambil menuangkan minuman ke gelasnya.

Arka tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan sesuatu di balik ekspresi datarnya. “Bagus kalau lo bahagia.”

Dimas mengangguk antusias. “Ya iyalah. Dia cewek yang sempurna. Kadang gue masih nggak percaya bisa bertunangan sama dia.”

Arka hanya tersenyum, meneguk minumannya tanpa berkomentar. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Rasa bersalah, rasa cemburu, dan rasa sakit yang perlahan-lahan menggerogoti dirinya.

Setelah beberapa saat, Dimas melanjutkan, “Tapi gue ngerasa dia agak beda akhir-akhir ini.”

Arka mengangkat alis, mencoba terlihat tidak terlalu tertarik. “Beda gimana?”

Dimas menghela napas, menatap langit malam. “Gue nggak tahu… kadang gue merasa kayak dia ada di dekat gue, tapi pikirannya entah ke mana.”

Arka merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat. Ia mencoba terlihat santai, tetapi di dalam kepalanya, ia tahu persis apa yang Dimas maksud.

“Lo mungkin cuma overthinking,” jawab Arka, berusaha meredakan kekhawatiran sahabatnya.

Dimas tertawa kecil. “Mungkin. Tapi… lo pernah nggak sih ngerasa kayak lo deket sama seseorang, tapi ada sesuatu yang kayak ngganjel?”

Pertanyaan itu membuat Arka terdiam. Ia tahu persis bagaimana rasanya—karena itulah yang ia rasakan setiap kali bertemu Aileen.

Tapi ia tidak bisa mengatakan itu pada Dimas.

Jadi, ia hanya tersenyum kecil. “Gue rasa itu wajar. Semua pasangan pasti punya momen kayak gitu.”

Dimas mengangguk, meski ekspresinya masih terlihat ragu.

Sementara itu, Arka hanya bisa menelan perasaannya sendiri, menyadari bahwa ia tengah menyembunyikan sebuah rahasia yang tidak boleh diketahui siapa pun.

~

Di sisi lain, Aileen duduk di ruang tamunya dengan tatapan kosong. Sejak pertemuannya dengan Arka di dapur rumah Dimas beberapa hari lalu, pikirannya terus dipenuhi oleh pria itu.

Ia berusaha mengabaikan perasaannya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah kekaguman sesaat. Tapi semakin ia berusaha menepis, semakin kuat perasaan itu tumbuh.

Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Dimas.

Dimas: Lagi ngapain, sayang? Gue abis nongkrong sama Arka tadi.

Jantung Aileen berdegup lebih kencang. Entah kenapa, setiap kali nama Arka disebut, perasaannya selalu berantakan.

Ia mengetik balasan cepat.

Aileen: Oh ya? Ngobrolin apa?

Tak butuh waktu lama, Dimas membalas.

Dimas: Ngobrol random aja. Tapi gue sempet curhat dikit sih, tentang lo.

Aileen menggigit bibirnya, merasa tidak nyaman.

Aileen: Curhat apa?

Dimas: Gue bilang ke Arka kalau gue ngerasa lo sedikit beda akhir-akhir ini.

Napas Aileen tercekat. Tangannya sedikit gemetar saat membaca pesan itu.

Aileen: Terus dia bilang apa?

Dimas: Dia bilang itu wajar. Semua pasangan pasti ada fase kayak gitu. Lo nggak perlu khawatir, ya?

Aileen menghela napas panjang, merasa lega dan sekaligus bersalah.

Arka berusaha menutupinya. Ia tidak mengatakan apa pun pada Dimas.

Namun, itu justru membuat Aileen semakin takut.

Karena itu berarti Arka juga merasakan hal yang sama.

Dan mereka berdua tengah menyembunyikan sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada.

Bab 5: Menekan Perasaan

Hari itu, Aileen duduk di sebuah kafe yang tak terlalu ramai. Ia menatap secangkir cappuccino di hadapannya, tetapi pikirannya melayang ke tempat lain. Sejak percakapan dengan Dimas semalam, perasaannya semakin kacau.

Ia tahu dirinya harus berhenti. Ia harus menjaga jarak dari Arka sebelum semuanya menjadi semakin rumit. Tapi, bagaimana caranya? Setiap kali ia mencoba melupakan pria itu, ada sesuatu di dalam dirinya yang justru ingin mendekat.

Suara langkah kaki menghentikan lamunannya. Ia mendongak dan melihat Arka berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Aileen?” suara Arka terdengar ragu.

Aileen terkejut. Ia tidak mengira akan bertemu Arka di sini.

“Arka? Kenapa lo di sini?” tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.

Arka tersenyum kecil. “Harusnya gue yang nanya. Tapi kalau lo butuh waktu sendiri, gue bisa pergi.”

Aileen menelan ludah. Ia bisa saja meminta Arka pergi, tetapi entah kenapa, ia justru berkata, “Nggak apa-apa. Duduk aja.”

Arka menarik kursi dan duduk di depannya. Sejenak, mereka hanya saling diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Aileen,” akhirnya Arka membuka suara. “Gue tahu ini salah, tapi gue nggak bisa pura-pura nggak ngerasain apa yang gue rasain.”

Jantung Aileen berdetak lebih cepat. Ia tahu arah pembicaraan ini, tetapi ia tak berani mendengarnya.

Arka melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Gue udah coba untuk nggak mikirin lo, untuk tetap melihat lo sebagai tunangan sahabat gue sendiri. Tapi gue gagal.”

Aileen menunduk, tangannya meremas ujung lengan bajunya. Ia merasakan hal yang sama, tetapi mendengarnya dari mulut Arka membuat segalanya terasa lebih nyata.

“Arka, kita nggak bisa kayak gini,” suara Aileen nyaris berbisik. “Gue udah bertunangan. Lo sahabat Dimas.”

“Aileen,” Arka menatapnya lekat. “Kalau lo bisa memilih, apa lo akan tetap bertahan?”

Pertanyaan itu menusuk hati Aileen. Jika ia bisa memilih, ia tahu jawabannya. Tapi kenyataannya tidak semudah itu.

“Aku nggak tahu,” jawabnya jujur.

Arka menundukkan kepala, lalu menghela napas panjang. “Gue juga nggak tahu harus gimana. Tapi kalau kita terus kayak gini, salah satu dari kita bakal terluka lebih dalam.”

Aileen menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Jadi, apa yang harus kita lakuin?”

Arka tersenyum pahit. “Mungkin gue harus pergi. Mungkin kita harus pura-pura kalau semua ini nggak pernah terjadi.”

Aileen merasakan dadanya sesak. Ia ingin menghentikan Arka, tetapi ia tahu itu keputusan yang benar.

“Kalau itu yang terbaik,” katanya pelan.

Arka mengangguk, lalu bangkit dari kursinya. Ia menatap Aileen untuk terakhir kali sebelum beranjak pergi, meninggalkan Aileen sendirian dengan perasaannya yang masih berantakan.

Saat melihat punggung Arka menjauh, Aileen menyadari sesuatu.

Bab 6: Keputusan yang Menyakitkan

Aileen duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya terasa lebih gelap dari itu. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Arka, ia mencoba menekan perasaannya, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi semakin ia berusaha melupakan, semakin ia merasa kehilangan.

Sudah beberapa hari sejak Arka benar-benar menjaga jarak. Ia tak lagi datang saat Dimas mengajaknya berkumpul, tak lagi mengirim pesan seperti dulu. Dimas pun mulai menyadari perubahan itu.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam bersama, Dimas tiba-tiba berkata, “Lo sadar nggak sih, belakangan ini Arka kayak ngejauh?”

Aileen terdiam, tangannya berhenti memotong makanan di piringnya.

“Gue juga ngerasa gitu,” lanjut Dimas. “Padahal biasanya dia selalu ada setiap gue ajak nongkrong.”

Aileen mencoba menanggapi dengan santai. “Mungkin dia lagi sibuk.”

Dimas menggeleng. “Nggak mungkin. Gue udah kenal dia sejak kecil. Ada sesuatu yang dia sembunyikan dari gue.”

Aileen merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menunduk, takut Dimas akan menyadari sesuatu dari ekspresinya.

“Gue akan tanya langsung ke dia besok,” ujar Dimas mantap.

Aileen menahan napas. Jika Dimas bertanya pada Arka, apa yang akan pria itu katakan? Apa Arka akan jujur? Atau tetap menyembunyikan semuanya?

~

Keesokan harinya, Aileen memutuskan untuk menemui ibunya. Ia berpikir bahwa mungkin, berbicara dengan orang yang lebih dewasa bisa membantunya menemukan jawaban.

“Bu,” katanya pelan, setelah mereka berbincang beberapa lama. “Apa ibu percaya bahwa jodoh itu bisa ditentukan?”

Ibunya menatapnya dengan lembut. “Maksud kamu?”

Aileen menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum melanjutkan. “Bagaimana kalau seseorang sudah bertunangan, tapi kemudian dia menyadari bahwa hatinya menginginkan orang lain?”

Ibunya terdiam, lalu tersenyum samar. “Kamu bicara tentang dirimu sendiri, Aileen?”

Aileen terkejut. “Bagaimana ibu tahu?”

Ibunya menghela napas. “Ibu adalah ibumu. Ibu bisa melihat kalau kamu tidak benar-benar bahagia.”

Aileen menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Aku nggak tahu harus bagaimana, Bu. Aku nggak ingin mengecewakan keluarga. Tapi… aku juga nggak ingin terus berpura-pura.”

Ibunya menggenggam tangannya lembut. “Sayang, kebahagiaan tidak bisa dipaksakan. Tapi kamu juga harus siap dengan konsekuensinya. Apapun yang kamu pilih, akan ada seseorang yang terluka.”

Kata-kata itu semakin menambah beban di hati Aileen. Ia tahu bahwa jika ia memilih Arka, Dimas akan terluka. Tapi jika ia tetap bersama Dimas, ia akan menyakiti dirinya sendiri.

~

Malam itu, setelah berjam-jam merenung, Aileen akhirnya membuat keputusan.

Ia akan berbicara dengan keluarganya dan membatalkan pertunangannya.

Ia tak bisa lagi berpura-pura mencintai Dimas seperti dulu.

Dengan langkah berat, ia mengambil ponselnya dan menghubungi Arka.

Arka menjawab setelah beberapa nada dering. Suaranya terdengar ragu. “Aileen?”

“Aku udah mutusin sesuatu,” kata Aileen tanpa basa-basi.

Arka terdiam sejenak sebelum berkata, “Apa?”

“Aku mau membatalkan pertunangan ini,” suaranya bergetar. “Aku nggak bisa terus membohongi diriku sendiri.”

Di seberang telepon, Arka terdiam lama.

“Aileen… lo yakin?”

Aileen menutup matanya, mengingat semua perasaan yang selama ini ia tekan.

“Aku yakin.”

Dan dengan itu, takdir mulai bergeser ke arah yang tak mereka duga.

Bab 7: Kejujuran yang Terlambat

Aileen duduk di ruang tamu rumah keluarganya, jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuannya. Jantungnya berdegup kencang saat ia bersiap untuk mengutarakan keputusannya kepada kedua orang tuanya.

Di hadapannya, ayah dan ibunya duduk dengan ekspresi serius, seolah sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan putri mereka.

“Aku ingin membatalkan pertunangan dengan Dimas,” kata Aileen akhirnya, suaranya bergetar.

Ayahnya menghela napas panjang, sementara ibunya menatapnya dengan penuh perhatian.

“Aileen, kamu sadar apa yang kamu katakan?” tanya ayahnya dengan nada tenang, tetapi ada tekanan dalam suaranya.

Aileen mengangguk, meskipun tangannya gemetar. “Aku sadar, Ayah. Aku sudah memikirkan ini baik-baik.”

“Apa alasannya?” tanya ibunya, lebih lembut.

Aileen menggigit bibirnya. Ia bisa saja berkata bahwa ia dan Dimas memang tidak cocok, atau bahwa ia merasa pertunangan ini terlalu cepat. Tetapi ia tahu, jika ingin jujur, ia harus mengatakan yang sebenarnya.

“Aku tidak mencintainya,” akhirnya ia mengaku.

Ayahnya menggelengkan kepala dengan ekspresi kecewa. “Aileen, perjodohan ini bukan hanya tentang kamu. Ini juga menyangkut hubungan keluarga kita dengan keluarga Dimas.”

“Aku tahu,” kata Aileen, menunduk. “Tapi aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai, Ayah.”

Ibunya menatapnya dalam, seolah mencari kepastian. “Apakah ini tentang orang lain?”

Aileen terdiam. Sekali lagi, ia dihadapkan pada pilihan: tetap menyembunyikan perasaannya, atau mengatakannya dengan jujur.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia berkata dengan lirih, “Ya.”

Ayahnya tampak semakin kecewa. “Siapa?”

Aileen menghela napas dalam. “Arka.”

Ruangan itu menjadi sunyi. Ibunya tampak terkejut, sementara ayahnya mengusap wajahnya dengan kasar.

“Dimas tahu?” tanya ibunya akhirnya.

Aileen menggeleng. “Belum.”

Ayahnya menghela napas berat. “Aileen, kamu sadar kalau Arka itu sahabat Dimas? Apa kamu tahu betapa hancurnya dia kalau mendengar ini?”

Aileen menunduk dalam rasa bersalah. “Aku tahu… dan itu yang membuat aku menahan perasaanku selama ini. Tapi semakin aku berusaha, semakin aku sadar bahwa aku tidak bisa hidup dalam kebohongan.”

Ibunya menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Kalau itu memang keputusanmu, kami tidak bisa memaksa. Tapi kamu harus siap menghadapi konsekuensinya, Aileen.”

Aileen menelan ludah. “Aku siap.”

~

Keesokan harinya, Aileen bertemu dengan Dimas di sebuah taman yang biasa mereka kunjungi. Ia tahu ini akan menjadi percakapan yang paling sulit dalam hidupnya.

Dimas tersenyum saat melihatnya, tetapi Aileen bisa melihat kelelahan di matanya.

“Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Dimas, meskipun ia terlihat sudah menebak jawabannya.

Aileen menarik napas panjang. “Dimas… aku nggak bisa lanjut dengan pertunangan ini.”

Dimas menatapnya lama, ekspresinya berubah. Senyum itu perlahan menghilang.

“Apa ini karena Arka?” tanyanya akhirnya, suaranya lebih datar dari biasanya.

Aileen menegang. “Kamu sudah tahu?”

Dimas tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Aku bukan orang bodoh, Aileen. Aku lihat cara lo ngeliat dia. Cara dia ngeliat lo.”

Aileen merasa dadanya semakin sesak. “Dimas, aku minta maaf.”

Dimas menatapnya dengan mata yang berkilat penuh emosi. “Lo tahu nggak, yang paling nyakitin itu bukan karena lo jatuh cinta sama dia. Tapi karena lo berusaha nyembunyiin itu dari gue.”

Aileen terdiam, air matanya mulai menggenang.

Dimas menghela napas panjang, lalu tersenyum miris. “Kalau lo emang nggak bahagia sama gue, gue nggak akan maksa. Gue cuma berharap lo nggak akan nyesel.”

Aileen menunduk, merasa bersalah lebih dari yang bisa ia ungkapkan.

Dan dengan itu, pertunangan mereka berakhir.

Tetapi ia belum tahu, bahwa meskipun ia dan Arka akhirnya bebas untuk bersama, takdir masih menyimpan tragedi yang akan menghancurkan segalanya.

Bab 8: Kebenaran yang Terungkap

Aileen berdiri di depan apartemen Arka, tangannya gemetar saat mengetuk pintu. Setelah percakapan emosional dengan Dimas, ia ingin bertemu Arka, ingin memberi tahu bahwa mereka akhirnya bisa memperjuangkan perasaan mereka tanpa harus merasa bersalah lagi.

Tak butuh waktu lama sebelum pintu terbuka, memperlihatkan sosok Arka dengan ekspresi terkejut.

“Aileen?” Suaranya terdengar ragu, seolah tak percaya bahwa Aileen benar-benar ada di sana.

Aileen tersenyum tipis. “Boleh aku masuk?”

Arka mengangguk dan memberi jalan. Aileen melangkah masuk, jantungnya berdebar keras. Ini adalah pertama kalinya ia mengunjungi tempat tinggal Arka, dan entah kenapa, semuanya terasa begitu nyata sekarang.

Setelah mereka duduk di sofa, Arka menatapnya penuh tanda tanya. “Apa yang terjadi?”

Aileen menarik napas panjang sebelum berkata, “Aku sudah bicara dengan Dimas. Aku membatalkan pertunangan ini.”

Mata Arka membelalak. “Lo serius?”

Aileen mengangguk. “Aku nggak bisa terus membohongi diri sendiri. Aku tahu perasaan ini salah sejak awal, tapi semakin aku berusaha menekan, semakin aku sadar bahwa aku nggak bisa hidup tanpa lo, Ka.”

Arka mengusap wajahnya, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Aileen… gue nggak tahu harus bilang apa.”

Aileen menatapnya, matanya penuh harapan. “Bilang aja kalau lo juga merasakan hal yang sama.”

Arka menatapnya lama, lalu akhirnya tersenyum kecil. “Gue nggak akan bohong. Gue juga nggak bisa jauh dari lo.”

Aileen tersenyum lega, perasaannya yang selama ini tertekan akhirnya menemukan tempatnya. Mereka akhirnya bisa bersama, tanpa ada rahasia atau kebohongan lagi.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.

~

Keesokan harinya, Aileen menerima telepon dari Dimas. Ia ragu untuk mengangkatnya, tetapi akhirnya ia melakukannya.

“Lo bisa ketemu gue sebentar?” suara Dimas terdengar datar, tidak seperti biasanya.

Aileen menghela napas. “Dimas, aku—”

“Aileen, ini penting,” potong Dimas. “Tolong.”

Aileen terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baik. Aku akan ke sana.”

Mereka bertemu di kafe yang dulu sering mereka datangi. Dimas sudah menunggu di sana, menatap Aileen dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Begitu Aileen duduk, Dimas langsung berkata, “Lo tahu kalau Arka nyimpen sesuatu dari lo?”

Aileen mengerutkan kening. “Maksud lo?”

Dimas menghela napas panjang. “Arka selalu bilang dia pergi dari hidup lo karena dia nggak mau nyakitin gue, tapi itu nggak sepenuhnya benar.”

Jantung Aileen mulai berdetak cepat. “Apa maksud lo?”

Dimas menatapnya dalam. “Arka udah tahu sejak lama kalau gue sadar perasaan dia ke lo. Tapi dia tetap berusaha menjaga jarak, bukan cuma karena gue, tapi juga karena dia nggak mau lo terluka.”

Aileen merasa kepalanya mulai pusing. “Dimas, lo ngomong apa sih?”

Dimas menggigit bibirnya sebelum berkata, “Arka punya penyakit jantung, Aileen. Dan kondisinya semakin memburuk.”

Dunia Aileen terasa berhenti sejenak.

“Apa?” suaranya bergetar.

Dimas menatapnya dengan penuh kesedihan. “Dia nggak pernah mau bilang ke lo karena dia nggak mau lo ngorbanin hidup lo buat dia. Dia selalu bilang dia baik-baik aja, tapi gue tahu dia sering ke dokter dan minum obat diam-diam.”

Air mata menggenang di mata Aileen. “Kenapa dia nggak bilang?”

Dimas menggeleng. “Karena dia sayang sama lo.”

Aileen merasa dadanya sesak. Semua perasaan bahagia yang baru saja ia rasakan kini berubah menjadi kepanikan dan ketakutan.

Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari keluar kafe, berusaha menemukan Arka sebelum semuanya terlambat.

Tapi ia tidak tahu bahwa takdir telah menyiapkan kejutan yang lebih menyakitkan lagi.

Bab 9: Tragedi yang Memisahkan

Aileen mengemudikan mobilnya dengan panik, tangannya gemetar saat memegang setir. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.

Arka sakit… dan aku tidak tahu apa-apa.

Hatinya terasa hancur. Selama ini, ia berpikir bahwa Arka menjauh darinya karena rasa bersalah terhadap Dimas. Tapi ternyata, ada alasan yang jauh lebih menyakitkan.

Ponselnya berdering. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya dan melihat nama Arka di layar.

Tanpa ragu, ia menjawab. “Arka…” suaranya bergetar.

“Lo di mana?” suara Arka terdengar lelah, tetapi masih mengandung kehangatan yang selalu membuat Aileen merasa aman.

“Aku mau ketemu lo,” ujar Aileen cepat. “Tolong jangan pergi ke mana-mana. Aku butuh bicara sama lo.”

Arka terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab pelan, “Gue juga pengen ketemu lo, Aileen.”

Aileen mengangguk, meskipun Arka tak bisa melihatnya. “Aku akan ke tempat lo sekarang.”

Tapi sebelum ia sempat melanjutkan perjalanan, suara benturan keras terdengar di telepon, diikuti suara klakson panjang yang memekakkan telinga.

“Arka?” Aileen memanggil, tetapi tidak ada jawaban.

Jantungnya berdebar kencang. “Arka?! Lo di mana?”

Masih tidak ada jawaban.

Ketakutan menyelimuti tubuhnya. Dengan tangan gemetar, ia menekan gas dan melaju lebih cepat.

~

Saat Aileen tiba di lokasi, ia melihat kerumunan orang mengelilingi sesuatu di tengah jalan. Lampu mobil-mobil yang berhenti menerangi pemandangan mengerikan di hadapannya.

Ia keluar dari mobil dengan kaki yang lemas, mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya.

Dan saat ia melihat ke tengah kerumunan, dunianya runtuh.

Di sana, tergeletak tubuh Arka yang berlumuran darah, wajahnya pucat, dan matanya setengah terbuka.

“Arka!” Aileen berteriak, berlari menghampiri pria itu.

Arka tersenyum lemah saat melihatnya. “Lo… datang…”

Aileen menggeleng, air matanya jatuh deras. “Tolong bertahan, Arka. Ambulans pasti segera datang.”

Arka mencoba mengangkat tangannya yang gemetar dan menyentuh wajah Aileen dengan lembut. “Gue nggak nyangka… kita akhirnya bisa jujur… tapi… mungkin ini hukuman buat gue…”

Aileen menggeleng kuat, menggenggam tangan Arka erat-erat. “Jangan ngomong gitu! Kita masih bisa bersama! Kita baru aja mulai!”

Arka tersenyum tipis, matanya mulai kehilangan fokus. “Gue… udah nggak punya banyak waktu, Aileen.”

Aileen menangis lebih keras. “Nggak! Lo bakal baik-baik aja! Lo janji sama gue!”

Arka menatapnya dalam, seolah ingin menghafal wajah Aileen untuk terakhir kalinya. “Gue sayang sama lo, Aileen…”

Dan dalam hitungan detik, genggaman tangan Arka melemah.

Napasnya berhenti.

Matanya tertutup perlahan.

Dunia Aileen runtuh seketika.

“Arka?” suaranya bergetar. Ia mengguncang tubuh pria itu. “Arka, bangun! Lo nggak boleh ninggalin gue!”

Namun, Arka tidak lagi merespons.

Aileen menjerit, merasakan sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Cinta yang baru saja ingin ia perjuangkan kini hancur dalam sekejap.

Takdir telah merenggut segalanya dari mereka.

Bab 10: Cinta yang Tak Pernah Mati

Aileen berdiri di depan batu nisan itu, jemarinya menggenggam erat setangkai bunga lili putih. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan.

Nama Arka Adinata terukir jelas di nisan, bersama tanggal lahir dan kematiannya. Sudah sebulan sejak kejadian itu, tetapi semuanya masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.

Aileen menatap nisan itu dengan mata yang masih sembab. “Hei, Ka…” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.

Ia berlutut di depan pusara, meletakkan bunga yang dibawanya dengan hati-hati. “Aku masih nggak percaya lo udah nggak ada.”

Air matanya mengalir perlahan.

“Aku harusnya bisa menemukan lo lebih cepat. Aku harusnya tahu kalau lo sakit. Aku harusnya nggak buang-buang waktu buat menyangkal perasaan aku.”

Aileen menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Tapi lo tahu? Gue akhirnya sadar sesuatu.”

Ia tersenyum kecil, meskipun matanya masih dipenuhi kesedihan. “Cinta itu bukan soal memiliki. Lo mungkin nggak ada di sini lagi, tapi perasaan ini nggak akan pernah hilang.”

Tangannya menyentuh batu nisan itu dengan lembut. “Lo pernah bilang, kalau kita terus kayak gini, salah satu dari kita bakal terluka lebih dalam. Ternyata lo bener, Ka.”

Suaranya semakin pelan. “Tapi yang lo nggak tahu… luka ini nggak akan pernah sembuh.”

Hening. Hanya suara angin dan dedaunan yang berbisik pelan di sekelilingnya.

Aileen mengusap air matanya. Ia tahu, Arka mungkin tidak ingin melihatnya terus bersedih.

Ia menghela napas panjang sebelum berkata, “Gue bakal baik-baik aja, Ka. Gue janji.”

Meski ia tahu, sebagian dari hatinya akan selalu mati bersama kepergian Arka.

~

Beberapa bulan kemudian, Aileen memutuskan untuk meninggalkan kota itu. Terlalu banyak kenangan yang menghantuinya, terlalu banyak luka yang tak bisa ia hapus.

Sebelum pergi, ia mengunjungi makam Arka untuk terakhir kalinya.

“Aku akan pergi, Ka,” bisiknya. “Tapi aku nggak akan pernah melupakan lo.”

Ia tersenyum kecil. “Karena lo adalah cinta yang nggak bisa gue miliki, tapi tetap akan gue jaga di hati gue selamanya.”

Dan dengan itu, Aileen melangkah pergi, meninggalkan kisah yang tak pernah bisa dimiliki—tetapi akan selalu hidup dalam kenangannya.

Di suatu tempat, di antara langit dan bumi, Arka tersenyum melihat Aileen melangkah dengan tegar.

Ia tidak lagi merasa sakit.

Ia hanya berharap, suatu hari nanti, mereka bisa bertemu lagi—di waktu dan tempat yang lebih baik.

SELESAI

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *