Novel Singkat Bunga yang Berbisik dalam Waktu
Novel Singkat Bunga yang Berbisik dalam Waktu

Novel Singkat: Bunga yang Berbisik dalam Waktu

Arga, seorang arsitek muda yang berbakat namun kesepian, menemukan bunga misterius di padang rumput yang dapat mengirimkan pesan ke masa depan. Melalui bunga waktu itu, ia mulai berkomunikasi dengan Mira, seorang gadis dari tahun 2125 yang hidup di dunia futuristik yang canggih namun kesepian.

Pesan demi pesan membuat mereka jatuh cinta meski tanpa pernah bertemu. Namun, setiap kali Arga mencoba mengubah takdir untuk bertemu dengan Mira, kematian tragis selalu menjemput gadis itu dengan cara yang berbeda.

Demi menyelamatkan wanita yang dicintainya, Arga harus mencari Penjaga Takdir dan menemukan takdir yang benar. Namun, kenyataan pahit terungkap: Mira adalah keturunannya sendiri dari masa depan, dan setiap perubahan takdir bisa menghapus keberadaan Arga dari sejarah.

Dihadapkan pada pilihan yang tak terhindarkan, Arga rela menjadi bayangan yang tak terlihat dalam hidup Mira, mencintainya dari kejauhan tanpa pernah diingat.

“Jika cinta sejati tak bisa diingat, biarkan ia hidup dalam angin yang tak pernah hilang.” Ini adalah kisah cinta yang melampaui waktu, tentang pengorbanan, takdir, dan cinta yang abadi dalam keheningan angin.

Bab 1: Bunga di Antara Celah Waktu

Angin senja bertiup lembut, mengelus wajah Arga yang berdiri di tepi jurang kecil di pinggiran kota. Di bawah sana, hamparan padang rumput yang luas menguning diterpa cahaya matahari yang mulai tenggelam. Tempat ini selalu menjadi pelarian Arga setiap kali hatinya resah. Namun, sore itu berbeda. Ia tidak hanya datang untuk menenangkan diri, tetapi juga karena rasa penasaran yang membakar.

Legenda tentang bunga waktu sudah lama beredar di desa ini. Konon, di celah waktu yang tersembunyi di padang rumput ini, tumbuh bunga yang bisa mengirimkan pesan ke masa depan. Bunga yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang hatinya penuh harapan dan kerinduan.

Arga tidak pernah percaya pada dongeng. Baginya, cerita itu hanya akal-akalan orang tua untuk menarik wisatawan. Namun, hari itu, ia datang untuk membuktikan sendiri. Ada sesuatu yang memanggilnya, sesuatu yang membuat hatinya tak tenang.

Langkahnya perlahan menuruni lereng berbatu, berhati-hati agar tidak terpeleset. Saat mencapai padang rumput, matanya menyapu sekeliling, mencari bunga yang konon sangat berbeda dari bunga lainnya. Namun, yang terlihat hanyalah ilalang tinggi yang melambai pelan ditiup angin.

“Ah, mungkin ini memang hanya cerita bohong,” gumam Arga, sedikit kecewa.

Namun, saat hendak berbalik pulang, kilatan cahaya lembut menarik perhatiannya. Di antara ilalang yang menjulang, tampak sekuntum bunga kecil dengan kelopak berwarna biru keperakan. Cahaya keemasan senja membuatnya bersinar lembut, seolah-olah memanggil namanya.

Arga mendekat perlahan, matanya tak lepas dari keindahan bunga itu. Kelopaknya berpendar lembut, berkilauan seperti bintang yang jatuh ke bumi. Bentuknya sederhana, namun pesonanya begitu memikat. Ia berlutut dan mengulurkan tangan, menyentuh kelopak bunga yang terasa hangat dan lembut di ujung jarinya.

“Apakah ini… bunga waktu?” bisiknya tak percaya.

Saat jari-jarinya menyentuh kelopak, cahaya keperakan itu berpendar lebih terang. Sejenak, dunia seolah berhenti. Angin yang tadinya berhembus pelan mendadak menghilang, dan suara alam yang biasa terdengar lenyap begitu saja. Semua terasa hening, sunyi, dan tenang.

Di tengah keheningan itu, Arga mendengar suara lembut. Suara perempuan yang sangat halus, seakan datang dari kejauhan namun terdengar jelas di telinganya.

“Siapa kamu? Apakah kau bisa mendengar suaraku?”

Jantung Arga berdegup kencang. Ia melihat sekeliling, namun tak ada siapa pun di sana. Hanya dirinya dan bunga waktu yang terus bersinar lembut.

“A-aku? Siapa kau?” jawab Arga dengan suara bergetar.

Tidak ada balasan. Hanya hembusan angin lembut yang kembali berhembus, membawa aroma bunga yang manis dan menenangkan. Arga menatap bunga itu lagi. Sekarang, di antara kelopaknya yang berpendar, ia melihat sekeping kertas kecil yang terlipat rapi.

Dengan hati-hati, Arga mengambil kertas itu. Rasanya hangat di tangannya, seolah-olah baru saja dijemur di bawah sinar matahari. Saat membukanya, ia melihat tulisan tangan yang indah dan rapi. Tulisan yang membuatnya merinding seketika.

“Aku di sini, menunggu di masa depan. Bisakah kau mengirimkan pesan balasan?”

Pesan itu sederhana, namun memiliki kehangatan yang aneh. Arga menatap tulisan itu dalam-dalam, mencoba meresapi maknanya. Siapa yang menulis ini? Dan bagaimana mungkin pesan ini datang dari masa depan?

Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan, namun rasa penasarannya jauh lebih besar. Ia mengeluarkan pulpen dari sakunya dan mulai menulis balasan di bagian belakang kertas itu.

“Siapa namamu? Bagaimana bisa pesan ini sampai padaku?”

Setelah menulis, ia melipat kertas itu dengan rapi dan meletakkannya kembali di kelopak bunga. Saat kertas itu menyentuh kelopak, cahaya keperakan kembali menyala terang, menyilaukan mata Arga. Ia terpaksa memejamkan mata sejenak, dan saat membukanya, kertas itu telah lenyap tanpa jejak.

“Hilang…?” Arga terkejut, mencoba mencari-cari di sekitar bunga, namun tak menemukannya. Seolah kertas itu diserap oleh bunga dan lenyap ke dalam waktu.

Hatinya berdegup tak karuan. Antara takjub dan bingung, Arga hanya bisa terduduk di samping bunga waktu itu. Ia menatap langit senja yang mulai gelap, memikirkan hal-hal aneh yang baru saja terjadi.

“Apakah ini benar-benar bunga waktu?” pikirnya sambil menghela napas panjang.

Saat itu, angin berhembus lagi, membawa aroma manis yang sama. Seolah-olah bunga itu tersenyum dan berbisik padanya.

“Kata-kata yang tertinggal di antara kelopak bunga, menghubungkan hati yang terpisah oleh waktu.”

Senja semakin meredup, dan malam mulai menyelimuti padang rumput. Namun, di hatinya, sebuah harapan kecil mulai tumbuh. Harapan untuk menerima balasan dari seseorang di masa depan.

Dengan langkah berat namun hati yang bersemangat, Arga meninggalkan tempat itu, berjanji untuk kembali esok hari. Ia tak tahu apa yang akan terjadi, namun satu hal yang pasti: hidupnya tak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan bunga yang berbisik dalam waktu.

Bab 2: Percakapan Tanpa Suara

Arga tak bisa tidur malam itu. Bayangan bunga waktu dan pesan misterius yang diterimanya terus berputar di pikirannya. Ia berulang kali memikirkan bagaimana mungkin pesan itu datang dari masa depan. Lebih aneh lagi, siapa sosok di balik pesan itu?

Pagi menjelang dengan matahari yang malu-malu muncul di ufuk timur. Tanpa berpikir panjang, Arga segera berlari menuju padang rumput tempat bunga waktu berada. Detak jantungnya berdegup kencang, dipacu oleh rasa penasaran dan harapan untuk mendapatkan balasan.

Sesampainya di sana, bunga biru keperakan itu masih berdiri anggun di tengah ilalang, bersinar lembut di bawah sinar matahari pagi. Arga mendekat dengan napas memburu. Matanya berbinar saat melihat kertas kecil yang terlipat rapi di antara kelopak bunga.

Dengan hati-hati, ia mengambil kertas itu. Tangannya sedikit gemetar saat membuka lipatannya. Tulisan yang sama, dengan gaya yang lembut dan anggun, menyambutnya.

“Namaku Mira. Apakah kau benar-benar ada di masa lalu? Jika iya, ini keajaiban yang belum pernah kualami.”

Jantung Arga berdegup lebih kencang. Jadi, ini bukan hanya khayalannya. Seseorang bernama Mira benar-benar mengirimkan pesan dari masa depan. Ia terdiam sejenak, membayangkan seperti apa sosok Mira di masa yang jauh itu.

Ia segera mengeluarkan pulpen dari saku dan menuliskan balasan:
“Ya, aku ada di masa lalu. Tahun 2025. Kau di tahun berapa? Bagaimana mungkin kita bisa saling mengirim pesan melalui bunga ini?”

Setelah melipat kertas itu dengan rapi, Arga meletakkannya kembali di kelopak bunga. Seperti kemarin, cahaya keperakan berpendar terang, menyilaukan matanya. Ketika cahaya itu meredup, kertas itu sudah lenyap tanpa jejak.

Arga menunggu dengan cemas. Ia berdiri di sana, menatap bunga itu tanpa berkedip, berharap balasan datang secepat mungkin. Namun, waktu berlalu dan tak ada yang terjadi. Hatinya mulai diliputi kegelisahan. Apakah bunga itu hanya bisa mengirim pesan sekali sehari?

Dengan berat hati, ia meninggalkan tempat itu, berharap esok hari akan mendapat balasan lagi.


Hari berikutnya, Arga kembali dengan semangat yang sama. Sejak menemukan bunga waktu, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Mira. Siapakah dia? Bagaimana rupanya? Kenapa ia bisa berada di masa depan? Semua pertanyaan itu menghantuinya setiap detik.

Saat tiba di padang rumput, ia segera melihat kertas kecil yang terlipat di kelopak bunga. Jantungnya berdegup kencang. Ia membuka kertas itu dan membaca dengan saksama.

“Aku di tahun 2125. Dunia ini sangat berbeda dari yang kau tahu. Segalanya lebih canggih, tapi terasa sepi. Apakah di masamu hidup terasa lebih hangat?”

Tahun 2125? Berarti Mira hidup seratus tahun di masa depan! Arga tertegun membaca kalimat itu. Bagaimana mungkin mereka bisa terhubung melewati seratus tahun waktu?

Namun, yang lebih mengejutkan adalah kalimat terakhir Mira yang terasa begitu sendu. Apakah di masa depan kebahagiaan sulit ditemukan? Arga merasa hatinya terenyuh.

Tanpa berpikir panjang, ia menulis balasan:
“Di masaku, segalanya terasa sederhana tapi hangat. Jika kita bisa bertemu, aku akan menunjukkan tempat-tempat indah di dunia ini. Apa kau mau?”

Ia menaruh kertas itu di kelopak bunga dan cahaya keperakan kembali menyala, menghilangkan kertas itu dalam sekejap.


Hari-hari berlalu dengan cepat. Arga dan Mira saling berkirim pesan setiap hari melalui bunga waktu. Mereka mulai berbagi kisah hidup masing-masing, mengenal satu sama lain dengan cara yang tak biasa.

Mira bercerita tentang dunia masa depan yang begitu canggih namun dingin dan penuh kesepian. Tak ada lagi kehangatan dalam interaksi manusia karena semua serba otomatis dan digital. Ia merasa terkurung dalam kemewahan yang hampa.

Sementara itu, Arga berbagi tentang kehidupan sederhananya di tahun 2025. Tentang sekolah, sahabat-sahabatnya, dan tentang kota kecil tempat ia tinggal yang penuh dengan kehangatan manusia.

Mira seringkali mengungkapkan keinginannya untuk merasakan kehangatan yang Arga ceritakan. Ia ingin melihat matahari terbenam di padang rumput, merasakan angin yang bertiup sepoi-sepoi, dan mendengar suara burung yang berkicau bebas.

Arga tak bisa menahan perasaannya yang semakin dalam pada Mira. Meski belum pernah bertemu, ia merasa begitu dekat dengannya. Namun, keinginan untuk bertemu semakin kuat dan tak tertahankan.

Suatu hari, Arga memberanikan diri menulis pesan yang berbeda:
“Mira, aku ingin bertemu denganmu. Apakah mungkin kita bisa bertemu di celah waktu ini?”

Ia menaruh kertas itu di bunga waktu dan menunggu dengan cemas. Kali ini, bunga waktu bersinar lebih terang dari biasanya. Cahaya keperakan itu menyilaukan matanya, dan saat ia membuka matanya kembali, kertas balasan sudah muncul di kelopak bunga.

Dengan tangan gemetar, Arga membuka kertas itu. Namun, pesan kali ini berbeda. Tulisan tangan Mira terlihat lebih tergesa-gesa, seperti terburu-buru dan diliputi ketakutan.

“Jangan coba-coba datang ke masaku! Setiap kali kau mencoba mengubah takdir, aku selalu mati dengan cara yang berbeda. Jika kau mencintaiku, jangan pernah mencoba datang!”

Pesan itu terasa seperti petir yang menyambar jantung Arga. Ia terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya.

Bagaimana mungkin pesan yang ditulisnya bisa menyebabkan kematian Mira? Dan kenapa kematian itu selalu terulang dengan cara berbeda?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, menambah kebingungan dan rasa takut. Namun satu hal yang pasti: perasaannya pada Mira tak bisa dipadamkan begitu saja. Ia harus menemukan cara untuk bertemu tanpa menyebabkan kematian tragis yang terus berulang.

Bab 3: Kepingan Masa Depan

Arga berdiri di hadapan bunga waktu yang masih bersinar lembut, namun hatinya terasa berat. Pesan terakhir dari Mira terus terngiang di kepalanya:

“Jika kau mencintaiku, jangan pernah mencoba datang!”

Bagaimana mungkin keinginannya untuk bertemu malah menyebabkan kematian bagi gadis yang dicintainya? Apa yang sebenarnya terjadi di masa depan?

Dengan langkah gontai, Arga kembali ke rumah, membawa kegelisahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia tak bisa lagi menulis pesan sembarangan pada bunga itu tanpa memahami sepenuhnya kekuatannya.

Keesokan harinya, Arga memutuskan untuk mencari jawaban. Ia pergi ke perpustakaan tua di pinggir kota, tempat yang terkenal menyimpan berbagai buku sejarah dan legenda yang sudah lama terlupakan.

Ia menyusuri rak-rak kayu yang dipenuhi debu, mencari buku yang mungkin bisa menjelaskan tentang bunga waktu. Setelah berjam-jam mencari, pandangannya tertuju pada sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah kusam. Judulnya terukir samar: “Legenda Bunga Waktu dan Kutukan Takdir”.

Jantung Arga berdegup kencang. Dengan hati-hati, ia membuka buku itu dan mulai membaca. Halaman-halamannya penuh dengan ilustrasi bunga keperakan yang mirip dengan bunga waktu yang ditemukannya.

Menurut legenda, bunga waktu hanya tumbuh di celah antara masa lalu dan masa depan. Bunga ini memiliki kekuatan untuk mengirimkan pesan melintasi waktu, namun dengan harga yang sangat mahal: “Setiap pesan yang mengubah takdir akan membawa kematian pada sang penerima.”

Arga merasakan tubuhnya bergetar. Kutukan ini menjelaskan kenapa setiap pesan yang dikirimkannya selalu menyebabkan kematian Mira. Setiap kali ia mencoba mengubah masa depan, takdir merespons dengan cara yang kejam.

Namun, di halaman berikutnya, tertulis sesuatu yang lebih mengejutkan:
“Kutukan ini akan terus berulang hingga takdir yang benar ditemukan. Hanya dengan menemukan takdir yang sebenarnya, kematian dapat dihentikan.”

“Takdir yang sebenarnya?” gumam Arga pelan. Apakah itu berarti ada cara untuk menyelamatkan Mira? Tapi bagaimana ia bisa menemukan takdir yang benar di antara berbagai kemungkinan yang terus berubah?

Arga melanjutkan membaca hingga menemukan bagian yang menjelaskan tentang “Penjaga Takdir”, makhluk misterius yang bertugas menjaga keseimbangan waktu. Hanya mereka yang bisa memberikan petunjuk tentang takdir yang sebenarnya.

Masalahnya, tidak ada petunjuk di mana Penjaga Takdir itu berada. Arga menggigit bibirnya, merasa frustrasi. Namun, ia tak bisa menyerah begitu saja. Ia harus menemukan mereka, demi menyelamatkan Mira.


Keesokan harinya, Arga kembali ke padang rumput dengan tekad yang lebih kuat. Ia menatap bunga waktu dengan tatapan penuh harapan dan kebingungan. Bagaimana ia bisa menemukan Penjaga Takdir tanpa mengubah masa depan lagi?

Dengan hati-hati, ia menulis pesan pada kertas kecil:
“Mira, apakah di masa depan ada legenda tentang Penjaga Takdir?”

Ia meletakkan kertas itu di kelopak bunga dan cahaya keperakan kembali menyala terang. Arga menunggu dengan cemas, berharap balasan segera datang.

Tak lama kemudian, kertas balasan muncul di antara kelopak bunga. Tangan Arga bergetar saat membuka lipatannya. Tulisan Mira terlihat tergesa-gesa dan penuh kekhawatiran.

“Penjaga Takdir? Ya, ada legenda tentang mereka. Mereka adalah makhluk abadi yang menjaga keseimbangan waktu. Namun, tidak ada yang tahu di mana mereka berada. Arga, kenapa kau menanyakan ini? Apakah kau mencoba mengubah takdirku lagi?”

Arga terdiam sejenak. Ia bisa merasakan ketakutan dalam pesan Mira. Namun, ia harus menjelaskan niatnya.

“Aku ingin menyelamatkanmu tanpa mengubah takdirmu. Aku ingin menemukan takdir yang benar, agar kematianmu tidak lagi terjadi.”

Setelah menulis balasan itu, Arga menaruh kertasnya di kelopak bunga dan kembali menunggu. Jantungnya berdegup kencang. Kali ini, balasan datang lebih cepat dari biasanya.

“Arga… aku takut. Setiap kali takdirku diubah, kematian selalu datang dengan cara yang lebih kejam. Namun, jika kau bisa menemukan takdir yang benar… aku akan menunggu di sini. Tapi, berhati-hatilah. Penjaga Takdir bukan sekadar legenda. Mereka makhluk yang tidak terikat oleh waktu dan bisa memanipulasi takdir sesuai kehendak mereka.”

Arga mengepalkan tangannya. Jika itu yang harus dihadapinya, ia siap. Ia tak peduli seberapa kuat atau berbahayanya Penjaga Takdir. Selama ada harapan untuk menyelamatkan Mira, ia akan melawan takdir itu sendiri.

Dengan tekad yang semakin membara, Arga meninggalkan padang rumput, siap memulai perjalanan untuk menemukan Penjaga Takdir dan mengungkap misteri di balik kutukan bunga waktu.

“Takdir mungkin sudah dituliskan, tapi cinta adalah kekuatan yang mampu menantang waktu.”

Bab 4: Jejak Takdir yang Terulang

Arga mengembuskan napas panjang saat berdiri di tepi padang rumput. Angin sore menyapu wajahnya dengan lembut, membawa aroma bunga waktu yang manis dan misterius. Setelah mengetahui tentang kutukan bunga waktu dan keberadaan Penjaga Takdir, tekadnya semakin bulat untuk menyelamatkan Mira.

Namun, saat ini ia menghadapi dilema yang tak terhindarkan: bagaimana caranya mencari Penjaga Takdir tanpa mengubah takdir Mira yang selalu berujung pada kematian tragis?

Langkah pertamanya adalah mengunjungi rumah tua di ujung desa, milik seorang pria bijak bernama Ki Sura, yang dikenal sebagai penjaga legenda dan mitos kuno. Konon, Ki Sura memiliki pengetahuan tentang celah waktu dan makhluk yang hidup di dalamnya.

Sesampainya di sana, Arga mengetuk pintu kayu yang sudah rapuh. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dan seorang lelaki tua dengan rambut putih panjang muncul, tatapannya tajam namun penuh kebijaksanaan.

“Ah, Arga. Aku tahu kau akan datang,” ucap Ki Sura dengan senyuman misterius. “Kau sudah menyentuh bunga waktu, bukan?”

Arga terperangah. “Bagaimana kau tahu, Ki?”

Ki Sura tertawa kecil. “Bunga itu hanya muncul untuk mereka yang memiliki kerinduan mendalam, yang rela melawan takdir demi cinta.”

Arga merasa tubuhnya merinding. Perkataannya begitu tepat, seolah-olah Ki Sura bisa membaca pikirannya. “Aku… aku ingin menyelamatkan seseorang dari masa depan. Tapi setiap kali aku mencoba mengubah takdirnya, kematian selalu datang dengan cara yang berbeda. Bagaimana cara menghentikannya, Ki?”

Mata Ki Sura terlihat sedih. Ia menghela napas dalam sebelum menjawab, “Itulah kutukan bunga waktu. Setiap perubahan takdir akan dibayar dengan kematian. Takdir yang diubah akan mencari keseimbangannya sendiri, meski dengan cara yang kejam.”

“Tapi… pasti ada cara untuk menghentikannya, kan? Pasti ada takdir yang benar yang bisa menyelamatkannya!” Arga bersikeras, suaranya gemetar.

Ki Sura menatapnya dalam-dalam. “Takdir yang benar hanya bisa ditemukan dengan bantuan Penjaga Takdir. Tapi hati-hati, mereka adalah makhluk yang tidak terikat oleh waktu. Mereka bisa melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan sekaligus. Mereka akan mengujimu dan menghadapimu dengan kenyataan yang mungkin tak sanggup kau terima.”

Arga mengepalkan tinjunya. “Aku siap menghadapi apapun demi menyelamatkan Mira.”

Ki Sura tersenyum tipis. “Kalau begitu, pergilah ke Hutan Bayang. Di sana, di antara pepohonan yang tak pernah berubah oleh waktu, kau akan menemukan jalan menuju Alam Penjaga Takdir.”


Arga bergegas menuju Hutan Bayang, tempat yang terkenal sebagai kawasan terlarang karena selalu diselimuti kabut tebal. Konon, hutan itu adalah tempat di mana waktu berhenti. Siapa pun yang masuk tanpa izin akan tersesat selamanya di dalamnya.

Namun, demi menyelamatkan Mira, Arga tidak gentar. Ia memasuki hutan dengan langkah mantap, meski kabut tebal mulai menyelimutinya. Suasana di dalam hutan begitu sunyi, tidak ada suara burung ataupun hewan lain. Semuanya terasa beku, seolah-olah waktu benar-benar berhenti di sini.

Saat melangkah lebih dalam, Arga melihat pohon-pohon tinggi dengan bentuk aneh, seakan-akan batang dan cabangnya melengkung mengikuti aliran waktu yang terdistorsi. Di tengah kabut, ia melihat bayangan samar seseorang.

“Halo? Siapa di sana?” panggil Arga.

Bayangan itu bergerak cepat, melesat di antara pohon-pohon sebelum berhenti tepat di depannya. Sosok itu tampak seperti manusia namun wajahnya kabur, tidak memiliki bentuk yang jelas. Tubuhnya diselimuti jubah hitam yang melayang tanpa pijakan di tanah.

“Aku adalah Penjaga Takdir. Kau yang datang untuk mengubah takdir, bukan?” Suara makhluk itu menggema, terdengar dari segala arah.

Arga menelan ludah, mencoba menguasai rasa takutnya. “Ya. Aku ingin menyelamatkan Mira dari kematian yang terus berulang. Kumohon, tunjukkan padaku takdir yang benar!”

Penjaga Takdir tertawa pelan, suara tawanya bergema di seluruh hutan. “Setiap takdir yang diubah memiliki konsekuensi. Jika kau ingin menyelamatkannya, kau harus membayar harganya.”

“Aku rela membayar harga apapun!” jawab Arga tegas.

Makhluk itu mendekat, wajahnya yang kabur menjadi semakin jelas. Namun, Arga terkejut saat melihat bahwa wajah itu adalah wajahnya sendiri, dengan ekspresi kesedihan yang mendalam.

“Apakah kau rela mengorbankan eksistensimu sendiri? Jika takdirnya berubah, maka kau tidak akan pernah ada.”

Arga terdiam, terkejut dengan kenyataan pahit itu. Jika ia menyelamatkan Mira, maka takdir keturunannya juga akan berubah. Ia takkan pernah dilahirkan, takkan pernah bertemu Mira, dan takkan pernah jatuh cinta padanya.

“Apa… apa tidak ada cara lain?” suaranya bergetar, hatinya terasa hancur.

“Tidak ada cara lain. Takdir yang benar adalah saat kau tidak pernah ada di hidupnya. Jika kau tetap ada, maka kematiannya akan terus berulang, karena takdir berusaha memperbaiki keseimbangan yang kau rusak.”

Arga merasa tubuhnya lemas. Ia jatuh berlutut, menatap tanah dengan mata berkaca-kaca. Selama ini, ia berpikir bisa menyelamatkan Mira tanpa harus mengorbankan apapun. Namun, kenyataan ini terlalu kejam.

Jika ia menyelamatkan Mira, ia akan menghilang dari ingatan dan hati wanita yang dicintainya. Ia akan menjadi hampa, tak pernah ada, tak pernah dikenal, dan tak pernah dicintai.

“Apakah kau tetap ingin mengubah takdirnya?” tanya Penjaga Takdir dengan suara yang menggema.

Arga terdiam lama sebelum menjawab dengan suara lirih, “Jika itu satu-satunya cara agar dia hidup bahagia… maka aku rela tak pernah ada di hidupnya.”

Penjaga Takdir mengangguk pelan. “Maka, kau akan menjadi bayangan yang hilang dalam waktu. Cinta yang tak pernah ada. Hati yang tak pernah diingat.”

Dengan gerakan lembut, Penjaga Takdir mengulurkan tangannya, dan kabut tebal menyelimuti tubuh Arga. Perlahan, tubuhnya mulai memudar, menjadi bayangan yang semakin samar.

Di saat-saat terakhirnya, Arga mengingat senyum Mira yang selalu hangat meski dalam pesan-pesan singkat mereka. Ia tersenyum tipis dan berbisik pelan

“Jika mencintaimu berarti harus dilupakan, maka biarkan aku menjadi kenangan yang tak pernah ada.”

Dan dalam sekejap, Arga menghilang dari waktu, dari takdir, dan dari ingatan Mira.

Bab 5: Janji di Antara Waktu

Mira berdiri di tepi jendela kamarnya, menatap langit senja yang mulai memerah. Angin lembut berhembus masuk, menggoyangkan kelopak bunga waktu yang ia letakkan di dalam vas kaca. Bunga itu selalu bersinar lembut saat senja tiba, seakan menyimpan cahaya matahari di dalam kelopaknya.

Namun, hari ini sinarnya terasa redup. Seperti sesuatu yang hilang dari dalamnya. Seperti ada kekosongan yang tak bisa dijelaskan.

Mira menyentuh kelopak bunga itu dengan lembut, merasakan kehangatan yang familiar. Namun, ia tak mengerti kenapa hatinya terasa hampa setiap kali melihat bunga itu. Seolah-olah ada seseorang yang seharusnya ia ingat, namun tak bisa ia ingat sama sekali.

“Aneh… kenapa hatiku terasa kosong?” gumamnya pelan.

Ia menatap bunga itu lebih dalam, mencoba mencari jawaban di dalam kilauan keperakan yang memudar. Namun, yang terlihat hanyalah pantulan dirinya sendiri, berdiri sendirian di tepi jendela.


Hari-hari berlalu dengan cepat, namun perasaan kosong itu tak pernah hilang. Mira mencoba menjalani hidupnya seperti biasa, namun setiap kali melihat bunga waktu itu, hatinya selalu terasa hampa.

Suatu hari, saat senja tiba, bunga itu kembali bersinar lembut. Cahaya keperakan menyelimuti kelopak bunga, dan di sana, di antara kelopak yang terbuka, terlihat sekeping kertas kecil yang terlipat rapi.

Jantung Mira berdegup kencang. Ia meraih kertas itu dengan tangan gemetar, membuka lipatannya dengan hati-hati. Tulisan tangan yang indah dan rapi menyambutnya:

“Jika mencintaimu berarti harus dilupakan, maka biarkan aku menjadi kenangan yang tak pernah ada.”

Mata Mira membelalak. Tulisan ini… terasa begitu dekat di hatinya, seolah-olah ia pernah mengenal seseorang yang menulisnya. Namun, tak peduli seberapa keras ia mencoba mengingat, bayangan orang itu tak pernah muncul di benaknya.

“Siapa… yang menulis ini?” bisik Mira, air matanya mengalir tanpa ia sadari. Hatinya terasa nyeri, namun ia tak tahu kenapa.

Saat air matanya jatuh dan menyentuh kelopak bunga, cahaya keperakan menyala lebih terang. Kilatan cahaya itu menyilaukan matanya, dan saat ia membuka matanya kembali, ia berada di tempat yang asing.

Ia berdiri di padang rumput yang luas, di bawah langit senja yang merah keemasan. Angin berhembus lembut, membawa aroma manis bunga waktu yang mekar di sekelilingnya.

Mira berjalan pelan di antara bunga-bunga yang bersinar lembut, hatinya merasa tenang namun hampa di saat yang sama. Seolah-olah tempat ini pernah menjadi bagian dari hidupnya, namun ia tak bisa mengingat kapan.

Saat berjalan lebih jauh, ia melihat seseorang berdiri di ujung padang rumput, membelakanginya dan menatap matahari yang mulai tenggelam. Sosok itu terasa begitu familiar, namun wajahnya tidak terlihat jelas.

Mira melangkah mendekat, hatinya berdegup kencang. Namun, saat ia mencoba menyentuh bahu sosok itu, tubuhnya menembus seperti bayangan. Sosok itu memudar perlahan, hanya menyisakan suara yang berbisik lembut di telinganya:

“Terima kasih telah hidup bahagia… meski tanpa mengingatku.”

Mira terdiam, air matanya jatuh lagi tanpa bisa ia tahan. Ia tak mengerti kenapa hatinya begitu sedih, kenapa rasa hampa itu semakin kuat. Ia tak mengerti kenapa suara itu terasa begitu akrab, seakan berasal dari seseorang yang pernah sangat ia cintai.

“Siapa… kau?” teriak Mira, suaranya menggema di padang rumput yang mulai diliputi kabut tipis.

Namun, tak ada jawaban. Hanya angin yang berhembus lembut, membawa aroma manis bunga waktu yang semakin memudar.

Kabut tipis menyelimuti pandangannya, dan saat kabut itu menghilang, Mira kembali berada di kamarnya. Ia berdiri di tepi jendela dengan bunga waktu di tangannya. Cahaya keperakan yang tadinya bersinar terang kini meredup, perlahan-lahan memudar hingga kelopak bunga itu berubah menjadi warna putih pucat.

Mira menggenggam bunga itu erat-erat, air matanya jatuh membasahi kelopak yang layu.

“Mengapa… hatiku terasa sangat sakit?” bisiknya pelan, tubuhnya gemetar.

Namun, tak peduli seberapa keras ia mencoba mengingat, sosok itu tetap tak muncul di benaknya. Hanya suara lembut yang terus berbisik di hatinya, seakan meninggalkan janji yang tak pernah terucap.

Beberapa hari kemudian, bunga waktu itu benar-benar layu dan berubah menjadi abu di tangan Mira. Ia hanya bisa menatap abu itu dengan tatapan kosong, tak mengerti kenapa hatinya terasa begitu hancur.

Namun, saat angin bertiup dan membawa abu itu pergi, sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya. Senyuman yang tak ia mengerti alasannya, namun terasa begitu hangat.

“Mungkin… aku pernah mencintai seseorang… di antara waktu yang tak bisa kuingat,” gumamnya sambil menatap langit senja yang merah keemasan.

Dan di antara angin yang berhembus lembut, terdengar suara samar yang berbisik, “Selamat tinggal, Mira… terima kasih telah hidup bahagia.”

Mira tersenyum samar, tanpa menyadari air matanya jatuh lagi. Ia berbalik meninggalkan jendela, namun perasaan hangat itu tetap tinggal di hatinya, meski tanpa ingatan yang tersisa.

Bab 6: Rahasia Bunga yang Terlarang

Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma bunga waktu yang samar dan nyaris tak tercium. Di tengah padang rumput yang luas, Arga berdiri dengan tubuh yang hampir transparan, seperti bayangan yang tersisa di antara waktu.

Ia menatap bunga waktu yang pernah menghubungkannya dengan Mira, namun sekarang bunga itu hanya bersinar redup, seolah-olah sedang meratap dalam keheningan. Tubuh Arga tidak sepenuhnya ada di dunia ini, namun kesadarannya masih kuat. Ia sadar telah mengorbankan eksistensinya demi menyelamatkan Mira, namun hatinya tetap merasa kosong.

“Aku sudah menghilang dari hidupmu… tapi kenapa rasa rindu ini tetap ada?” bisik Arga, suaranya menggema tanpa ada yang mendengar.

Ia mengira dengan menghilang dari takdir Mira, segalanya akan menjadi lebih baik. Namun, kenyataannya, hatinya tetap merindukan senyuman Mira, tawa lembutnya, dan cara gadis itu menulis pesan-pesan singkat yang selalu menghangatkan hatinya.

Dengan tubuh yang semakin transparan, Arga berlutut di samping bunga waktu yang layu, menyentuh kelopaknya dengan jari yang nyaris tak terlihat. Saat itu, suara lembut berbisik di telinganya.

“Kau masih terikat oleh janji yang belum terpenuhi. Kau masih ingin berada di sisinya, bukan?”

Arga terkejut. Ia berdiri dan mencari sumber suara itu. Di depannya, muncul sosok berjubah hitam dengan wajah yang tak terlihat. Tubuhnya melayang tanpa menyentuh tanah, dan suara yang keluar dari tubuhnya terdengar bergema dari segala arah.

“Kau… Penjaga Takdir?” tanya Arga dengan suara bergetar.

Makhluk itu mengangguk perlahan. “Takdirmu belum sepenuhnya hilang karena kau masih memiliki keinginan yang kuat untuk berada di sisinya. Cinta yang tak terpenuhi itulah yang mengikatmu di antara waktu.”

Arga mengepalkan tinjunya. “Aku… aku ingin melihatnya lagi, meski hanya sekali saja. Aku ingin memastikan bahwa dia benar-benar bahagia tanpaku.”

Penjaga Takdir tertawa kecil. “Hati manusia memang rumit. Bahkan setelah mengorbankan segalanya, kau tetap ingin bersamanya.”

“Aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin melihat senyumnya lagi,” ucap Arga, air matanya jatuh namun lenyap sebelum menyentuh tanah.

Penjaga Takdir mendekat, tubuhnya yang melayang menatap bunga waktu yang layu. “Ada satu cara untuk kembali ke hidupnya tanpa mengubah takdir. Namun, kau harus membayar harga yang jauh lebih mahal.”

“Apa itu?” tanya Arga penuh harap.

“Jika kau ingin kembali ke hidupnya, kau harus menjadi bayangan tanpa nama, tanpa ingatan, dan tanpa keberadaan. Kau bisa berada di sisinya, tapi dia takkan pernah melihatmu, takkan pernah mengenalmu, dan takkan pernah mencintaimu. Kau hanya akan menjadi angin yang berhembus di sekitarnya, melindunginya tanpa pernah bisa menyentuhnya.”

Jantung Arga terasa nyeri mendengar persyaratan itu. “Menjadi bayangan… yang tak pernah terlihat?”

Penjaga Takdir mengangguk. “Hanya dengan begitu, kau bisa memastikan takdirnya tetap berjalan tanpa kematian yang berulang. Namun, kau harus rela menjadi kenangan yang tak pernah ada dalam hidupnya.”

Arga terdiam lama. Hatinya bergejolak antara keinginan untuk berada di sisi Mira dan kesadaran bahwa dirinya takkan pernah diingat.

Namun, ia tak bisa menyangkal perasaannya. Meskipun tak terlihat, meskipun tak dikenal, ia ingin tetap melindungi Mira dari jauh.

“Baiklah… aku terima,” jawab Arga dengan suara tegas. “Aku rela menjadi bayangan asalkan bisa melihatnya bahagia.”

Penjaga Takdir mengangkat tangannya yang panjang dan kurus. Dalam sekejap, bunga waktu yang layu itu menyala terang, kelopaknya terbuka lebar, memancarkan cahaya keperakan yang menyelimuti tubuh Arga.

Arga merasa tubuhnya mulai berubah, menjadi semakin transparan, semakin ringan, dan semakin tak terlihat. Namun, kesadarannya tetap ada. Ia bisa merasakan angin yang berhembus dan aroma bunga waktu yang manis.

Penjaga Takdir berbisik pelan sebelum lenyap ke dalam kabut:
“Bayangan tak pernah terlihat, namun selalu ada di dekat yang dicintainya.”


Saat kabut menghilang, Arga menemukan dirinya berada di dekat jendela kamar Mira. Ia bisa melihat gadis itu duduk sendirian, menatap langit senja dengan senyuman tipis yang menyimpan kesedihan.

“Kenapa… hatiku terasa kosong?” gumam Mira sambil menyentuh dada kirinya. “Seolah-olah ada seseorang yang sangat penting… yang pernah kucintai… namun tak bisa kuingat siapa dia.”

Arga berdiri di samping Mira, melihat wajahnya dari dekat. Hatinya terasa nyeri mendengar kata-kata Mira, namun ia tahu bahwa inilah satu-satunya cara agar gadis itu bisa hidup bahagia.

“Aku di sini, Mira… aku selalu di sini,” bisik Arga pelan, namun suaranya tak bisa didengar oleh Mira. Ia hanyalah bayangan tanpa suara, tanpa wujud, dan tanpa keberadaan.

Mira memejamkan matanya, merasakan angin lembut yang berhembus di sekelilingnya. “Angin ini… terasa hangat… seperti pelukan yang melindungiku,” gumamnya pelan sambil tersenyum.

Arga tersenyum tipis. Meskipun tak bisa menyentuhnya, meskipun tak bisa bicara dengannya, ia senang bisa berada di sisi Mira. Ia senang bisa menjadi angin yang melindungi gadis yang dicintainya.

“Cinta sejati tak selalu harus terlihat. Terkadang, ia bersembunyi dalam hembusan angin yang melindungi dari jauh.”

Saat matahari mulai tenggelam, Arga tetap berdiri di sana, menjadi bayangan yang setia di sisi Mira. Ia telah memenuhi janji untuk mencintainya tanpa mengubah takdirnya. Dan meski namanya tak pernah diingat, cintanya akan selalu ada di setiap hembusan angin yang menyentuh wajah Mira.

Bab 7: Pertemuan di Ujung Waktu

Senja mulai merona di langit barat, menciptakan semburat warna jingga yang indah. Angin berhembus pelan, menggoyangkan tirai jendela kamar Mira. Di dalam kamar yang hangat, Mira duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kelopak bunga waktu yang telah layu namun tak pernah ia buang.

Setiap kali melihat bunga itu, hatinya terasa hampa. Ada rasa rindu yang tak bisa dijelaskan, seolah-olah ia pernah mencintai seseorang yang tak bisa diingatnya.

“Aneh… kenapa hatiku selalu terasa kosong saat melihat bunga ini?” gumamnya sambil menyentuh kelopak bunga yang mulai rapuh.

Di dekatnya, Arga berdiri dalam wujud bayangan yang tak terlihat. Ia mengamati Mira dengan tatapan lembut yang menyimpan kerinduan mendalam. Meskipun tak bisa menyentuhnya, meskipun tak bisa berbicara dengannya, Arga tetap setia berada di sisi Mira, menjadi angin yang selalu melindunginya.

“Mira… maafkan aku karena tak pernah bisa hadir dalam ingatanmu,” bisik Arga pelan, namun suaranya tak terdengar oleh siapapun.


Hari-hari berlalu dengan cepat. Mira menjalani hidupnya seperti biasa, namun perasaan hampa itu tetap bertahan. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, namun tak tahu apa yang hilang.

Suatu sore, saat sedang berjalan di taman dekat rumahnya, angin lembut berhembus, membawa aroma bunga waktu yang samar. Mira menutup matanya, merasakan kehangatan yang aneh di dadanya.

“Angin ini… selalu terasa hangat,” bisiknya pelan.

Arga berdiri di sampingnya, menatap wajah Mira yang damai namun menyimpan kesedihan. Ia ingin menyentuhnya, ingin menyeka air mata yang jatuh di pipi Mira, namun tubuh bayangannya tak bisa menyentuh apapun.

Mira melangkah pelan, mengikuti arah angin yang berhembus lembut. Langkahnya berhenti di tepi padang rumput yang luas, tempat bunga waktu pertama kali muncul. Ia menatap hamparan ilalang yang melambai lembut di bawah sinar matahari senja, hatinya berdebar tanpa alasan yang jelas.

“Tempat ini… kenapa terasa begitu familiar?” gumam Mira sambil melangkah masuk ke padang rumput.

Arga mengikutinya dari belakang, hatinya berdegup kencang. Tempat ini adalah tempat di mana segalanya dimulai. Tempat di mana ia pertama kali menemukan bunga waktu dan mengirimkan pesan pertamanya kepada Mira.

Saat mereka tiba di tengah padang rumput, angin berhembus lebih kencang, membawa aroma manis yang sama seperti dulu. Di sana, di antara ilalang yang melambai, terlihat bunga waktu yang mekar dengan indah, kelopaknya berpendar keperakan di bawah sinar senja.

Mata Mira membulat saat melihat bunga itu. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tidak mengerti kenapa hatinya terasa begitu hangat saat melihat bunga itu, seolah-olah ia bertemu kembali dengan seseorang yang sangat dirindukannya.

“Bunga ini… kenapa terasa begitu akrab?” bisiknya sambil menyentuh kelopak bunga yang bersinar lembut.

Saat jari-jarinya menyentuh kelopak, kilatan cahaya keperakan menyala terang, menyelimuti tubuh Mira dan Arga. Angin bertiup kencang, membawa kabut tipis yang menyelimuti pandangan mereka.

Di tengah kabut yang tebal, Mira melihat bayangan samar seseorang berdiri di depannya. Sosok itu tinggi dengan rambut yang tertiup angin, namun wajahnya tidak terlihat jelas.

“Siapa… kau?” tanya Mira dengan suara bergetar.

Bayangan itu menoleh perlahan, menunjukkan wajah Arga yang tersenyum lembut padanya. Mata Arga terlihat sayu namun penuh kasih, seolah-olah menyimpan perasaan yang tak pernah terucap.

Mira terdiam, tubuhnya gemetar saat melihat wajah itu. Wajah yang terasa begitu akrab namun tak bisa diingatnya. Air matanya mengalir tanpa ia sadari, hatinya terasa nyeri melihat senyuman sedih di wajah Arga.

“Kau… siapa?” tanya Mira lagi, suaranya bergetar. “Kenapa hatiku terasa sakit saat melihatmu?”

Arga tetap tersenyum, langkahnya perlahan mendekat. Ia ingin mengusap air mata di pipi Mira, namun tangannya hanya menembus tubuh Mira tanpa bisa menyentuhnya.

“Aku… adalah bayangan yang tak pernah bisa kau ingat. Aku adalah cinta yang terlupakan di antara waktu,” ucap Arga pelan, suaranya terdengar lirih namun jelas di telinga Mira.

Mata Mira semakin berkaca-kaca. “Kenapa… hatiku terasa sangat sakit? Apakah… aku pernah mengenalmu?”

Arga mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Ya, kau pernah mengenalku. Kau pernah mencintaiku. Namun, takdir memisahkan kita dan menghapus namaku dari ingatanmu.”

Mira menggigit bibirnya, hatinya terasa hancur mendengar kata-kata itu. “Kalau begitu… kenapa kau datang sekarang? Kenapa memperlihatkan dirimu jika aku takkan pernah bisa mengingatmu?”

Air mata Arga jatuh perlahan, namun lenyap sebelum menyentuh tanah. Ia menatap Mira dengan penuh kerinduan dan penyesalan.

“Karena aku ingin melihat senyumanmu lagi… meski aku takkan pernah bisa menjadi alasan di balik senyuman itu.”

Tubuh Arga perlahan memudar, bayangannya semakin transparan dan nyaris tak terlihat. Mira berusaha meraih tangannya, namun yang dirasakan hanyalah angin yang berhembus pelan.

“Jangan pergi! Siapapun kau… jangan pergi!” teriak Mira dengan suara parau.

Arga tersenyum tipis, senyuman yang menyimpan kesedihan yang mendalam. “Maafkan aku… karena tak bisa menjadi kenangan dalam hidupmu.”

Sebelum tubuhnya benar-benar menghilang, Arga berbisik pelan:
“Jika aku harus menjadi bayangan yang tak terlihat, biarkan aku tetap di sisimu sebagai angin yang melindungimu.”

Mata Mira membelalak, air matanya mengalir deras saat tubuh Arga lenyap di antara kabut yang terbawa angin. Ia berlari mengejar bayangan itu, namun yang tersisa hanyalah angin yang berhembus pelan, menyentuh pipinya dengan lembut.

Di bawah langit senja yang mulai gelap, Mira berdiri sendirian di tengah padang rumput, menangis tanpa tahu kenapa. Hatinya terasa hancur, seolah-olah ia baru saja kehilangan seseorang yang sangat dicintainya.

Namun, saat angin berhembus pelan, terdengar bisikan lembut yang menyelimuti hatinya, “Selamat tinggal, Mira… aku akan selalu di sisimu, meski tanpa kau sadari.”

Bab 8: Kenyataan yang Terungkap

Senja mulai meredup, meninggalkan semburat jingga di langit barat. Mira duduk di tepi jendela kamarnya, menatap cakrawala yang mulai gelap. Angin lembut berhembus, membawa aroma manis bunga waktu yang samar.

Sejak pertemuan aneh di padang rumput beberapa hari yang lalu, perasaan kosong itu semakin dalam. Setiap kali angin bertiup, ia merasa seolah-olah seseorang sedang memeluknya dengan kehangatan yang tak bisa dijelaskan.

Namun, tak peduli seberapa keras ia mencoba mengingat, wajah itu tetap kabur dalam ingatannya. Sosok yang muncul di tengah kabut, yang berbicara dengan suara lembut namun penuh kesedihan.

“Siapa… dia?” gumam Mira sambil menyentuh dada kirinya yang terasa nyeri setiap kali mengingat senyum sedih itu.

Ia menutup matanya, membiarkan angin membelai wajahnya dengan lembut. Saat itu, sekelebat bayangan muncul di benaknya. Bayangan seorang pemuda dengan senyuman hangat dan mata yang penuh kasih.

“Ar… ga…?” bisik Mira pelan, namanya terucap tanpa ia sadari.

Jantungnya berdegup kencang. Nama itu terasa begitu akrab, seolah-olah pernah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, ingatannya tak bisa menjangkau lebih jauh.

“Apa aku… pernah mengenalnya?”


Hari-hari berlalu dengan perasaan hampa yang semakin kuat. Mira tak bisa melupakan bayangan pemuda itu, senyuman hangat yang selalu terlintas di pikirannya. Ia mulai mencari jawaban, mencoba mengingat siapa Arga sebenarnya.

Tak hanya itu dia bertanya pada teman-temannya, namun tak ada yang mengenal nama itu. Ia mencari di album foto lama, namun tak ada satu pun foto yang menunjukkan wajah Arga.

“Kenapa… tidak ada yang mengingatnya? Apakah aku hanya berkhayal?” Mira mulai meragukan kewarasannya. Namun, setiap kali angin berhembus dan menyentuh wajahnya, ia merasa seolah-olah seseorang sedang menyentuhnya dengan lembut.

Suatu sore, Mira memutuskan untuk pergi ke perpustakaan tua di pinggir kota. Ia ingat pernah membaca legenda tentang bunga waktu di sana. Mungkin, bunga itu menyimpan jawaban tentang kenangan yang hilang dari ingatannya.

Ia menyusuri rak-rak buku yang penuh debu, mencari buku yang pernah dilihatnya dulu. Setelah beberapa saat, ia menemukan sebuah buku tua dengan sampul kulit kusam: “Legenda Bunga Waktu dan Kutukan Takdir”.

Mata Mira berbinar saat membuka halaman demi halaman buku itu. Ia membaca dengan cermat, mencoba memahami setiap kata yang tertulis di sana.

Menurut legenda, bunga waktu hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki kerinduan mendalam. Bunga itu bisa mengirimkan pesan ke masa lalu atau masa depan, namun dengan konsekuensi yang berat: “Setiap pesan yang mengubah takdir akan membawa kematian pada sang penerima.”

Jantung Mira berdetak lebih kencang. Kutukan ini terdengar sangat familiar, seolah-olah ia pernah terlibat dalam kutukan itu. Ia melanjutkan membaca hingga menemukan bagian yang mengejutkan:

“Jika takdir yang diubah bertentangan dengan keseimbangan waktu, maka sang pengubah takdir akan menghilang dari ingatan dan eksistensi, menjadi bayangan yang tak pernah ada.”

Mata Mira membelalak. Tubuhnya gemetar saat membaca kalimat itu. Apakah itu berarti… seseorang telah mengorbankan keberadaannya demi mengubah takdir?

Nama Arga kembali terlintas di benaknya. Apakah Arga yang menghilang dari hidupnya? Apakah dia yang menjadi bayangan yang tak pernah ada?

Air mata mengalir di pipi Mira tanpa bisa ia tahan. Hatinya terasa hancur meski ingatannya tetap kabur. “Kenapa… kenapa rasanya begitu sakit?”

Saat itu, angin bertiup pelan, membawa aroma manis bunga waktu yang lembut. Aroma yang selalu membuat hatinya terasa hangat namun hampa di saat yang sama.

Mira berdiri dengan gemetar, menggenggam buku tua itu erat-erat. Ia tahu harus kemana untuk mencari jawaban.


Senja mulai tiba saat Mira tiba di padang rumput tempat bunga waktu berada. Angin bertiup lembut, menggoyangkan ilalang yang melambai pelan.

Di tengah padang rumput, bunga waktu itu masih berdiri anggun, bersinar keperakan di bawah sinar senja. Cahaya lembutnya berpendar seperti bintang yang jatuh ke bumi.

Mira berjalan pelan ke arah bunga itu, matanya tak lepas dari kelopaknya yang bersinar indah. Saat mendekat, aroma manis itu semakin kuat, menyelimuti hatinya dengan kehangatan yang menyakitkan.

“Apa yang terjadi padaku… padamu… Arga?” bisik Mira sambil menyentuh kelopak bunga waktu dengan lembut.

Saat itu, kilatan cahaya menyala terang dari kelopak bunga. Angin berhembus kencang, membawa kabut tipis yang menyelimuti padang rumput.

Mira memejamkan matanya karena cahaya yang menyilaukan. Ketika membuka matanya kembali, ia melihat dirinya berdiri di tempat yang berbeda.

Ia berada di padang rumput yang sama, namun suasananya terasa berbeda. Langit senja yang tadi berwarna jingga kini berubah menjadi keemasan dengan semburat ungu yang memukau.

Di depannya, ia melihat bayangan samar seseorang yang berdiri membelakanginya. Sosok itu tinggi dengan rambut hitam yang tertiup angin, tubuhnya hampir transparan seperti kabut yang melayang.

“Arga…?” panggil Mira dengan suara bergetar.

Bayangan itu menoleh perlahan, menunjukkan wajah Arga yang tersenyum lembut padanya. Matanya terlihat sedih namun penuh kehangatan, seolah-olah menyimpan perasaan yang tak pernah bisa diucapkan.

Mira merasa tubuhnya gemetar. Ia berjalan pelan mendekat, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. “Kau… benar-benar ada? Kenapa… aku tak pernah bisa mengingatmu?”

Arga menatapnya dengan tatapan sayu. “Karena aku menghilangkan namaku dari ingatanmu… demi menyelamatkan hidupmu.”

Mira terdiam, tubuhnya lemas mendengar kata-kata itu. “Kenapa…? Kenapa kau melakukan itu? Bukankah… kita saling mencintai?”

Air mata Arga jatuh perlahan. “Karena takdir selalu membawamu pada kematian setiap kali kau mengingatku. Aku memilih menjadi bayangan yang tak pernah ada… agar kau bisa hidup bahagia.”

Mira menutup mulutnya, terisak tanpa suara. Hatinya terasa hancur, namun juga hangat di saat yang sama. “Arga… aku mencintaimu… meski tak bisa mengingatmu.”

Arga tersenyum tipis. “Terima kasih… Mira. Itu sudah cukup bagiku.”

Tubuh Arga perlahan memudar, berubah menjadi kabut yang tertiup angin. Sebelum menghilang sepenuhnya, ia berbisik pelan:
“Selamat tinggal, cintaku… meski tak pernah diingat, cintaku akan selalu hidup dalam hatimu.”

Bab 9: Pilihan yang Tak Terhindarkan

Angin malam berhembus pelan di padang rumput yang sunyi, membawa aroma manis bunga waktu yang semakin memudar. Mira berdiri di tengah ilalang yang melambai pelan, matanya masih basah oleh air mata. Bayangan Arga yang baru saja menghilang terasa begitu nyata, namun tubuhnya tak bisa disentuh, suaranya tak bisa diingat.

Mira menatap bunga waktu yang berdiri anggun di depannya, kelopaknya berpendar lembut di bawah cahaya bulan. Ia berjalan pelan, jantungnya berdegup kencang saat menyentuh kelopak bunga itu.

“Bunga waktu… tolong kembalikan dia padaku,” bisik Mira dengan suara bergetar.

Saat itu, cahaya keperakan menyala terang dari kelopak bunga, menyelimuti tubuh Mira dengan lembut. Angin berhembus kencang, membawa kabut tipis yang menyelubungi pandangannya.

Mira memejamkan mata karena silau cahaya itu. Saat membuka matanya kembali, ia berada di tempat yang berbeda. Di depannya berdiri seorang lelaki berjubah hitam dengan wajah yang tak terlihat, tubuhnya melayang di udara tanpa menyentuh tanah.

“Kau… Penjaga Takdir?” tanya Mira dengan suara lirih.

Penjaga Takdir mengangguk pelan. “Kau datang untuk meminta takdirnya kembali?”

Mira mengepalkan tangannya. “Ya. Aku ingin mengembalikan ingatanku tentangnya. Aku ingin Arga kembali.”

Penjaga Takdir tertawa pelan, suaranya menggema di tengah kabut yang mengelilingi mereka. “Arga mengorbankan keberadaannya untuk menyelamatkanmu. Jika kau mengembalikannya, takdir kematian akan mengejarmu lagi. Apakah kau siap menerima konsekuensi itu?”

Mira terdiam, tubuhnya gemetar mendengar kata-kata itu. Ia ingat bagaimana Arga menghilangkan namanya dari ingatannya demi menyelamatkan hidupnya. Semua pengorbanan itu dilakukan karena cinta yang dalam.

Namun, semakin ia mencoba menerima kenyataan itu, semakin hancur hatinya. Ia tak bisa melupakan bayangan Arga yang berdiri di depannya dengan senyuman sedih, senyuman yang menyimpan rindu dan kesedihan yang mendalam.

“Aku tak peduli. Jika takdirku adalah kematian, biarkan itu terjadi. Lebih baik aku mati dengan mengingatnya daripada hidup dalam kehampaan tanpa dirinya,” ucap Mira tegas, suaranya bergetar namun penuh keteguhan.

Penjaga Takdir terdiam sejenak sebelum tertawa lagi. “Manusia memang makhluk yang keras kepala. Tapi cinta yang rela mengorbankan hidupnya… adalah cinta yang paling kuat di antara waktu.”

Cahaya keperakan menyala dari tubuh Penjaga Takdir, membentuk lingkaran di sekeliling Mira. Lingkaran itu bersinar terang, menyelimuti tubuhnya dan membuatnya melayang di udara.

“Kau akan kembali mengingatnya. Namun, takdir akan terus mengejarmu. Bersiaplah menghadapi kematian yang telah ditakdirkan untukmu,” suara Penjaga Takdir menggema sebelum tubuhnya menghilang di antara kabut.

Mata Mira terpejam saat cahaya keperakan menyelimutinya, membawa ingatan yang selama ini hilang kembali ke dalam hatinya. Dalam sekejap, semua kenangan tentang Arga kembali seperti air yang mengalir deras.

Ia mengingat pertemuan pertama mereka melalui bunga waktu, percakapan tanpa suara yang membuatnya jatuh cinta, janji yang tak pernah bisa dipenuhi, dan pengorbanan Arga yang rela menghilang dari hidupnya demi menyelamatkannya.

Air mata mengalir deras di pipinya saat ingatan itu mengalir tanpa henti. Hatinya terasa nyeri, namun juga hangat di saat yang sama. Ia akhirnya mengingat Arga, seseorang yang selalu ia cintai meski tak bisa diingat.

Saat membuka matanya, Mira berdiri kembali di padang rumput. Di depannya, Arga berdiri dengan tatapan tak percaya.

“Mira… kau… mengingatku?” suara Arga terdengar parau, matanya berkaca-kaca.

Mira tersenyum sambil mengangguk. “Ya, aku mengingatmu. Aku mengingat segalanya… Arga.”

Arga tak bisa menahan air matanya yang jatuh tanpa henti. Ia ingin memeluk Mira, namun tubuhnya yang transparan tak bisa menyentuh apapun. Ia masih menjadi bayangan yang tak terlihat.

Mira berjalan mendekat, tangannya terulur untuk menyentuh wajah Arga. Saat jari-jarinya menyentuh kulit Arga, kehangatan yang nyata terasa di ujung jarinya.

Arga terkejut saat tubuhnya perlahan kembali nyata. Transparansi tubuhnya memudar, berubah menjadi daging dan darah yang nyata. Ia bisa merasakan sentuhan lembut tangan Mira di pipinya, kehangatan yang telah lama dirindukannya.

“Mira… aku… benar-benar kembali?” ucap Arga dengan suara bergetar.

Mira tersenyum sambil mengangguk. “Ya, kau kembali… dan aku takkan pernah melupakanmu lagi.”

Matahari mulai terbenam, sinarnya yang keemasan menyinari padang rumput yang dipenuhi bunga waktu yang mekar indah. Angin berhembus lembut, membawa aroma manis yang menyelimuti mereka berdua.

Namun, saat mereka saling menatap penuh kebahagiaan, angin tiba-tiba berhembus kencang, membawa kabut hitam yang menyelimuti mereka.

Di tengah kabut itu, terdengar suara mengerikan yang menggema di udara:
“Takdir yang diubah harus dibayar dengan kehidupan. Kematian akan menjemputmu… Mira.”

Tubuh Mira terasa berat, kakinya tak bisa bergerak. Ia menoleh ke arah Arga yang terlihat ketakutan.

Arga mencoba meraih tangan Mira, namun tubuhnya terasa dingin dan kaku. Bayangan hitam muncul dari tanah, membungkus tubuh Mira perlahan-lahan.

“Tidak! Mira! Jangan pergi!” teriak Arga sambil berusaha menarik tubuh Mira dari bayangan hitam yang melingkupinya.

Mira tersenyum tipis, air matanya jatuh perlahan. “Maaf… Arga. Sepertinya… aku tak bisa melawan takdir.”

Bayangan hitam itu menelan tubuh Mira sepenuhnya, menghilangkannya dari pandangan Arga. Di tengah kabut yang semakin tebal, suara Mira terdengar pelan:
“Jika ini akhirnya… terima kasih telah mencintaiku, Arga.”

Air mata Arga jatuh tanpa henti, tubuhnya bergetar menahan kesedihan yang mendalam. Ia berdiri sendirian di tengah padang rumput yang sunyi, merasakan kehilangan yang lebih menyakitkan dari apapun.

“Jika takdir tak mengizinkan kita bersama, setidaknya biarkan cintaku hidup dalam ingatan yang takkan pernah pudar.”

Bab 10: Bayangan yang Tak Pernah Hilang

Padang rumput yang dulu dipenuhi bunga waktu kini terlihat sunyi dan kelam. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma manis yang samar, seakan-akan bunga-bunga itu sedang meratapi kepergian seseorang yang begitu berharga.

Arga berdiri di tengah padang rumput, matanya kosong menatap tempat terakhir kali ia melihat Mira menghilang ditelan bayangan hitam. Hatinya terasa hancur, seolah-olah separuh jiwanya telah pergi bersama angin yang melintas pelan.

“Mira… kau tak seharusnya pergi. Seharusnya aku yang menghilang, bukan kau,” bisik Arga dengan suara parau.

Air mata mengalir tanpa bisa ia tahan. Setiap hembusan angin terasa membawa sisa-sisa kehangatan Mira yang perlahan memudar. Ia jatuh berlutut, tubuhnya bergetar menahan kesedihan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Bunga waktu di depannya bersinar redup, kelopaknya layu seperti menangisi nasib Mira yang tragis. Arga meraih bunga itu dengan tangan gemetar, menggenggamnya erat-erat di dadanya.

“Jika aku harus mengorbankan apapun… bahkan nyawaku sekalipun… kembalikan Mira padaku,” teriak Arga dengan suara yang menggema di tengah padang rumput yang sunyi.

Saat itu, cahaya keperakan menyala terang dari bunga waktu, menyelimuti tubuh Arga dengan kilauan yang menyilaukan. Angin berhembus kencang, membawa kabut tipis yang menyelimuti pandangannya.

Di tengah kabut yang tebal, suara lembut terdengar dari kejauhan. Suara yang sangat dirindukannya.

“Arga…?”

Arga tersentak, matanya membelalak saat mendengar suara itu. Ia berlari ke arah suara yang semakin jelas, hatinya berdegup kencang penuh harapan.

Di tengah kabut yang mulai menipis, ia melihat sosok Mira berdiri membelakanginya, rambutnya tertiup angin dengan lembut. Tubuh Mira terlihat transparan, seperti bayangan yang nyaris tak terlihat.

“Mira!” teriak Arga sambil berlari mendekat. Namun, saat ia mencoba menyentuh bahu Mira, tangannya menembus tubuhnya tanpa bisa menyentuh apapun.

Mira berbalik perlahan, wajahnya terlihat pucat dengan mata yang berkaca-kaca. “Arga… kenapa kau ada di sini? Bukankah aku sudah pergi?”

Arga terdiam, tubuhnya gemetar melihat wajah Mira yang penuh kesedihan. “Tidak… tidak mungkin. Kau tidak bisa pergi, Mira. Aku tidak bisa hidup tanpamu.”

Mira tersenyum tipis, senyuman yang menyimpan kesedihan yang mendalam. “Aku sudah mati, Arga. Takdir kematian telah menjemputku.”

Kata-kata itu menghantam hati Arga seperti petir yang menyambar. Tubuhnya terasa lemas, namun hatinya tetap menolak kenyataan itu.

“Tidak… aku tidak peduli dengan takdir. Aku akan mengubahnya lagi… meski harus mengorbankan nyawaku sendiri,” ucap Arga dengan suara bergetar namun penuh tekad.

Mata Mira berkaca-kaca. “Jika kau mengubah takdir lagi… maka kau akan menghilang selamanya. Kau akan menjadi bayangan yang tak pernah ada… takkan pernah bisa bersamaku.”

Arga mengepalkan tinjunya, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Aku rela menjadi bayangan… asalkan bisa berada di sisimu.”

Mira menggeleng pelan. “Jika kau menghilang… maka aku juga takkan pernah mengingatmu. Cinta kita akan lenyap dari waktu… takkan pernah ada dalam sejarah.”

Arga menunduk, tubuhnya gemetar menahan kesedihan yang mendalam. “Kalau begitu… biarkan aku mengingatmu. Biarkan cintaku hidup meski tak pernah diingat.”

Mata Mira semakin berkaca-kaca. “Kau rela mencintaiku meski aku takkan pernah mengingatmu?”

Arga mengangguk pelan, air matanya jatuh membasahi pipi. “Ya. Karena cintaku tak pernah mengharapkan balasan. Cintaku hanya ingin melihatmu hidup dan bahagia… meski tanpa diriku.”

Mira terdiam lama sebelum tersenyum lembut. “Kalau begitu… aku akan menerima takdirku. Tapi… bisakah kau memelukku untuk terakhir kalinya?”

Arga tertegun, tubuhnya kaku mendengar permintaan itu. Ia tahu tubuh Mira sudah tak bisa disentuh, namun hatinya tetap ingin mencoba. Ia melangkah maju, merentangkan tangannya perlahan.

Saat itu, tubuh Mira berubah menjadi kabut tipis yang menyelimuti tubuh Arga dengan hangat. Seolah-olah pelukan terakhir yang tak bisa diwujudkan dalam bentuk nyata.

“Aku mencintaimu, Arga… meski tak bisa mengingatmu,” bisik Mira dengan suara lembut yang terdengar lirih di telinga Arga.

Air mata Arga jatuh lebih deras. Ia merasakan kehangatan Mira yang perlahan memudar, seperti embun yang menguap saat matahari terbit.

“Selamat tinggal, Mira… cintaku akan selalu hidup dalam waktu,” bisik Arga pelan, suaranya bergetar menahan isak tangis.

Saat tubuh Mira sepenuhnya menghilang, bunga waktu di tangan Arga bersinar terang untuk terakhir kalinya. Kelopaknya terbuka lebar, menyebarkan cahaya keperakan yang menyelimuti seluruh padang rumput.

Arga menatap bunga itu dengan senyuman tipis, air matanya masih mengalir tanpa henti. “Jika takdir memisahkan kita… biarkan cintaku hidup dalam keabadian waktu.”

Cahaya keperakan semakin terang, menelan tubuh Arga sepenuhnya. Dalam sekejap, tubuhnya berubah menjadi bayangan yang tak terlihat, melayang di udara sebagai angin yang berhembus lembut.

Bunga waktu perlahan layu, kelopaknya jatuh satu per satu, terbawa angin yang berhembus ke arah langit senja yang mulai gelap.


Di tepi jendela kamarnya, Mira terbangun dengan mata yang sembab dan hati yang terasa hampa. Ia berdiri menatap langit senja yang merah keemasan, angin berhembus lembut menyentuh wajahnya.

“Aneh… kenapa hatiku terasa hampa?” gumam Mira pelan, air matanya jatuh tanpa ia sadari.

Ia tidak ingat apapun tentang Arga, tidak ingat apapun tentang bunga waktu. Namun, hatinya selalu terasa kosong setiap kali angin berhembus pelan.

“Jika cinta sejati tak bisa diingat, biarkan ia hidup dalam angin yang tak pernah hilang.”

Mira tersenyum tipis, tanpa menyadari bahwa angin yang menyentuh wajahnya adalah bayangan Arga yang selalu melindunginya tanpa pernah terlihat.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *