Aria, seorang vampir muda yang hidup dalam kesepian dan terasing dari dunia manusia, bekerja sebagai penjaga perpustakaan kuno untuk menyembunyikan identitas aslinya. Hidupnya berubah saat bertemu Maya, seorang gadis manusia yang memiliki darah langka yang dapat memperkuat kekuatan vampir. Maya adalah seorang pelajar SMA yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, namun sering sakit-sakitan karena darah langkanya.
Takdir mereka terikat oleh cinta terlarang yang dilarang oleh hukum dunia vampir. Aria berjuang memperjuangkan takdir dan nafsu darahnya untuk melindungi Maya dari ancaman para vampir yang mengincar darah langka tersebut. Dalam para pengungsi, mereka menemukan rahasia tentang asal usul vampir yang mengubah pandangan mereka tentang dunia.
Namun, untuk mengakhiri kutukan vampir, nyawa Maya harus dikorbankan. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk melawan takdir yang kejam? Ataukah pengorbanan adalah satu-satunya jalan menuju kebebasan?
Cinta sejati adalah saat kau rela melepaskan, meski itu menghancurkan hatimu.
Bab 1: Pertemuan di Bawah Bulan Purnama
Angin malam berembus lembut, menyapu dedaunan yang menari dalam hening. Cahaya bulan purnama menerangi taman kota yang sepi, memberikan nuansa magis pada malam yang seolah berhenti dalam waktu. Di tengah keheningan itu, seorang pemuda berdiri dengan tatapan kosong, menatap langit malam yang luas.
Aria, seorang vampir muda dengan rambut hitam legam yang menjuntai hingga bahu, berdiri di bawah pohon besar. Matanya berkilauan dalam bayang-bayang, memantulkan cahaya perak dari bulan. Wajahnya tampan namun dingin, seolah-olah tidak pernah merasakan kehangatan manusia. Sudah berabad-abad ia hidup dalam kesepian, terasing dari dunia manusia maupun dunia vampir.
Malam itu, Aria merasakan kegelisahan yang tak biasa. Suara detak jantung terdengar samar di kejauhan, mengalun lembut seperti melodi yang memanggil. Aroma darah yang manis dan menggoda menguar, menyelinap ke dalam penciumannya yang tajam. Aroma itu begitu kuat, namun tak seperti aroma darah manusia pada umumnya. Aroma itu memiliki kehangatan yang aneh, seakan mengandung kekuatan yang memanggil-manggil dirinya.
Dia mengernyit, mencoba mengabaikan rasa haus yang tiba-tiba muncul. “Apa ini…?” gumamnya, suaranya lirih dan dalam. Aria melompat ringan dari dahan pohon, bergerak secepat angin menuju sumber aroma itu.
Di ujung taman yang sepi, di bawah lampu taman yang temaram, seorang gadis berdiri dengan tenang. Rambut panjang bergelombangnya terurai lembut, berkilauan dalam cahaya bulan. Wajahnya teduh dan damai, dengan mata yang memancarkan kelembutan. Gadis itu tengah menatap bulan dengan senyuman kecil di bibirnya, seolah-olah bulan adalah sahabat yang mengerti segala isi hatinya.
Aria terdiam, memperhatikan dari kejauhan. Dadanya terasa sesak, perasaan aneh menyusup ke dalam jiwanya yang dingin. Detak jantung gadis itu terdengar jelas, berdetak pelan namun teratur, menciptakan irama yang menenangkan.
Maya menghela napas panjang, matanya tak lepas dari bulan purnama yang memancarkan cahaya lembut. “Indah sekali…” bisiknya, suaranya selembut angin malam. Dia merapatkan syal di lehernya, mencoba mengusir dingin yang menggigit kulit.
Namun, saat ia berbalik untuk pergi, tubuhnya terasa limbung. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya ia jatuh berlutut, tangannya gemetar saat memegang dadanya yang terasa nyeri. Aroma darah segar langsung tercium oleh Aria, darah yang keluar dari bibir Maya yang pucat. Aroma yang begitu manis dan menggoda, lebih kuat dari yang pernah dirasakannya.
Tanpa berpikir panjang, Aria muncul di hadapan Maya dalam sekejap, menyambut tubuh lemah itu sebelum terjatuh ke tanah. Mata Maya terbelalak, menatap wajah asing yang begitu dekat dengannya. Mata hitam legam itu menatapnya tajam namun dalam, seolah-olah ingin menyelami jiwanya.
“Kau… siapa?” suara Maya lirih dan lemah.
Aria tidak menjawab. Ia hanya terdiam, menatap wajah gadis itu dengan rasa bingung dan takjub. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, perasaan asing menjalar di dalam dirinya. Gadis ini… berbeda.
“Kenapa… aku merasa… begitu lemah?” Maya berusaha bicara, suaranya terdengar putus-putus. Tubuhnya terasa dingin, seakan darah dalam tubuhnya berhenti mengalir.
Aria merasakan dorongan kuat untuk mendekat, ingin merasakan aroma darah itu lebih dekat lagi. Gigi taringnya perlahan muncul, matanya berubah menjadi merah pekat. Nafsu untuk menggigit dan menghisap darah gadis itu begitu kuat, namun entah kenapa, dia tidak bisa melakukannya.
“Tidak… ini salah,” gumam Aria seraya mengalihkan wajahnya. Ia mencoba mengendalikan hasrat buas yang menguasainya.
Maya terdiam, menatap pemuda di depannya dengan tatapan bingung. Meski wajah pemuda itu terlihat menakutkan dengan mata merahnya, namun Maya tidak merasakan ketakutan. Sebaliknya, ia merasakan kehangatan yang lembut dan aneh dari tatapan pemuda itu. “Matamu… kenapa merah?” tanya Maya pelan.
Aria tersentak. Dia mengerjap, matanya kembali berubah menjadi hitam legam. Ia segera melepaskan tubuh Maya dan mundur beberapa langkah. “Kau… seharusnya tidak berada di sini,” ucap Aria dengan suara dingin namun terdengar getir.
Maya mencoba berdiri, namun tubuhnya masih lemah. “Kenapa? Siapa kau sebenarnya?”
Aria tidak menjawab. Ia hanya menatap gadis itu dalam-dalam, menyimpan semua pertanyaan yang berputar di benaknya. Siapa gadis ini? Mengapa darahnya begitu kuat dan berbeda? Dan kenapa… kenapa dia tidak bisa menyakitinya?
“Pulanglah. Tempat ini berbahaya,” kata Aria dengan nada perintah, meski hatinya tidak ingin gadis itu pergi.
Maya terdiam, menatap pemuda asing itu dengan tatapan heran. “Apa aku… akan bertemu denganmu lagi?” tanyanya spontan.
Aria tercekat. Ia tidak menjawab, hanya menatap Maya dengan pandangan yang dalam dan tajam, sebelum akhirnya menghilang dalam kegelapan malam, secepat angin.
Maya berdiri terpaku, menatap kosong ke arah di mana pemuda itu menghilang. Hatinya terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang tertinggal. Ia memegang dadanya yang masih terasa nyeri, namun tidak separah sebelumnya. Siapa pemuda itu? Mengapa ia merasa terhubung dengannya, meski baru pertama kali bertemu?
Aria berdiri di atas gedung tinggi, mengawasi Maya dari kejauhan. Dadanya terasa sesak, dan pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Gadis itu… bukan manusia biasa. Aroma darahnya terlalu kuat, terlalu menggoda, namun ada kehangatan di dalamnya yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Apa yang terjadi padaku?” Aria menggertakkan giginya, mencoba menenangkan diri. Ia menatap bulan purnama yang bersinar terang, seolah-olah sedang menertawakannya. Malam itu, Aria tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
“Saat mata kita bertemu di bawah cahaya bulan, aku tahu dunia ini tak akan lagi sama.”
Bab 2: Rahasia Darah Langka
Matahari terbit dengan enggan di ufuk timur, mewarnai langit dengan semburat jingga yang lembut. Maya terbangun dari tidurnya dengan perasaan lelah yang aneh. Tubuhnya terasa lemas, dan kepalanya sedikit berdenyut. Dia memegang dadanya, merasakan rasa nyeri yang samar.
“Apa yang terjadi semalam…?” gumam Maya sambil mencoba mengingat. Bayangan seorang pemuda dengan mata merah pekat tiba-tiba terlintas di benaknya. Jantungnya berdetak kencang saat mengingat tatapan tajam pemuda itu yang terasa hangat sekaligus dingin.
Maya menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayangan aneh itu. “Mungkin aku hanya terlalu lelah,” ucapnya pada diri sendiri sebelum beranjak dari tempat tidur.
Di sisi lain kota, Aria berdiri di tepi balkon sebuah gedung tinggi, menatap pemandangan kota yang mulai sibuk. Matanya yang hitam legam memandang jauh ke arah rumah Maya. Sejak pertemuan mereka semalam, pikiran Aria dipenuhi oleh bayangan gadis itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” Aria menggenggam pagar balkon, jarinya mencengkeram kuat hingga logam itu sedikit penyok. Ia tidak mengerti mengapa dirinya begitu tertarik pada Maya. Aroma darah gadis itu terus menghantui pikirannya, namun di saat yang sama, ada perasaan hangat yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Aria menghela napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu perasaannya pada Maya adalah sesuatu yang terlarang. Hukum dunia vampir melarang hubungan dengan manusia, apalagi dengan pemilik darah langka. Tapi, ada sesuatu dalam diri Maya yang berbeda, sesuatu yang membuatnya tidak bisa menjauh.
“Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang gadis itu,” gumam Aria.
Tanpa pikir panjang, Aria melompat dari balkon gedung setinggi tiga puluh lantai. Tubuhnya meluncur cepat seperti angin, dan dalam sekejap, ia sudah berdiri di depan rumah Maya. Dengan gerakan halus, ia melompat ke dahan pohon yang rimbun, menyembunyikan dirinya di balik dedaunan lebat sambil mengamati jendela kamar Maya.
Di dalam kamar, Maya sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah. Dia masih merasa sedikit lemas, namun mencoba mengabaikannya. Saat berdiri di depan cermin, Maya memperhatikan sesuatu yang aneh. Lehernya terlihat sedikit pucat dan ada bekas luka kecil yang samar.
“Apa ini…?” Maya menyentuh bekas luka itu, namun tidak merasakan sakit. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, tapi ingatannya terasa kabur. Yang bisa diingatnya hanyalah pemuda asing dengan mata merah yang menyelamatkannya.
“Siapa dia…?” gumam Maya sambil menatap pantulan dirinya di cermin.
Aria mendengar gumaman itu dari balik dedaunan. Matanya menyipit, mencoba memahami kenapa Maya memiliki bekas luka di lehernya. Ia yakin tidak menggigit Maya semalam, meski nafsu darah begitu kuat. Jika bukan dirinya, lalu siapa yang melakukannya?
Pikiran Aria mulai dipenuhi kecurigaan. “Mungkinkah… ada vampir lain yang mengincarnya?”
Sebelum Aria sempat berpikir lebih jauh, Maya keluar dari rumah dan berjalan menuju halte bus. Aria mengikuti dari kejauhan, bergerak tanpa suara di antara bayang-bayang.
Sepanjang perjalanan, Maya merasa ada yang mengikutinya. Ia menoleh beberapa kali, namun tidak melihat siapapun. Jantungnya berdetak lebih cepat, perasaan takut mulai menjalari tubuhnya.
Saat tiba di halte bus, Maya berdiri dengan gelisah. Dia merasa diawasi, namun tidak tahu oleh siapa. Saat bus datang, Maya bergegas naik dan memilih duduk di dekat jendela, berharap perasaan aneh itu hilang.
Namun, saat menatap ke luar jendela, Maya melihat sekilas bayangan seorang pemuda berdiri di atap gedung di seberang jalan. Rambut hitam legamnya berkibar diterpa angin, dan matanya yang tajam menatap langsung ke arahnya.
Maya tertegun, hatinya berdegup kencang. Itu dia! Pemuda yang menyelamatkannya semalam. Tapi bagaimana mungkin dia bisa berdiri di sana? Dan… bagaimana bisa dia menatapnya dari jarak sejauh itu?
Sebelum Maya sempat mengalihkan pandangannya, bus mulai bergerak dan bayangan pemuda itu menghilang dari pandangan. Maya memegang dadanya yang berdetak keras. “Siapa sebenarnya dia…?”
Di atap gedung, Aria menghela napas lega. Ia berhasil menjaga jarak tanpa diketahui, namun tidak bisa menyembunyikan dirinya sepenuhnya dari tatapan Maya. Ada sesuatu yang membuat Maya bisa merasakan keberadaannya, dan itu membuat Aria semakin penasaran.
“Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang gadis ini…”
Dengan kecepatan luar biasa, Aria melompat dari gedung ke gedung, mengikuti bus yang ditumpangi Maya. Ia bertekad untuk melindungi Maya dari ancaman yang belum ia mengerti sepenuhnya, meski itu berarti harus melanggar hukum dunia vampir.
Di tengah perjalanan, Maya merasakan sakit di dadanya semakin parah. Ia terbatuk pelan, dan saat menutup mulutnya, ia terkejut melihat noda darah di telapak tangannya. Tubuhnya tiba-tiba melemas, pandangannya kabur, dan sebelum ia sempat berteriak minta tolong, tubuhnya jatuh pingsan di kursi bus.
Aria yang mengikuti dari kejauhan terkejut melihat Maya jatuh tak sadarkan diri. Tanpa ragu, ia melompat ke depan bus, menghentikan kendaraan itu dengan kekuatan vampirnya. Semua penumpang terkejut, namun dalam sekejap, Aria sudah berada di dalam bus dan menggendong tubuh Maya yang lemas.
“Aku tidak akan membiarkanmu mati…” bisik Aria pelan, suaranya penuh keteguhan.
Dengan kecepatan luar biasa, Aria membawa Maya pergi dari bus, meninggalkan para penumpang yang kebingungan. Ia membawanya ke sebuah tempat aman di pinggiran kota, tempat di mana tidak ada manusia ataupun vampir lain yang bisa menemukan mereka.
Aria memandangi wajah Maya yang pucat, tangan gemetar saat menyentuh pipi gadis itu. “Kenapa… kenapa aku tidak bisa membiarkanmu pergi?”
Saat itulah, Aria menyadari perasaan yang selama ini dia tolak. Dia tidak hanya tertarik pada darah Maya, tapi juga pada dirinya. Cinta terlarang yang seharusnya tidak pernah terjadi.
“Darahku mungkin mengalir merah seperti manusia lainnya, tapi takdirku berbeda.”
Bab 3: Awal Cinta yang Berbahaya
Maya terbangun dengan kepala yang berat dan pandangan yang kabur. Dia mendapati dirinya berada di dalam ruangan yang asing, dengan dinding batu yang dingin dan cahaya remang dari lilin-lilin kecil yang tersebar di sudut ruangan. Aroma kayu dan kelembaban terasa di hidungnya. Tubuhnya masih terasa lemah, namun rasa nyeri di dadanya mulai mereda.
“Aku… di mana?” gumam Maya lirih, mencoba duduk meski tubuhnya terasa lunglai.
“Jangan bergerak terlalu banyak,” suara lembut namun tegas terdengar dari sudut ruangan.
Maya mengangkat wajahnya dan melihat pemuda yang sama—pemuda yang menyelamatkannya di taman malam itu dan yang ia lihat dari jendela bus. Pemuda dengan rambut hitam legam dan mata tajam yang kini terlihat lebih lembut.
“Kau… siapa?” Maya menatap Aria dengan bingung sekaligus penasaran. “Kenapa kau terus muncul setiap kali aku dalam bahaya?”
Aria terdiam, menatap Maya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya, bahwa dia adalah vampir yang tertarik pada darah Maya yang langka. Namun, sesuatu di dalam dirinya menahan kata-kata itu keluar. Ia tidak ingin menakuti Maya.
“Namaku Aria,” jawabnya singkat. “Aku hanya kebetulan berada di sana saat kau pingsan di bus.”
Maya terdiam, memikirkan jawaban itu. Sesuatu dalam dirinya merasa bahwa Aria tidak berkata jujur. Tapi Maya terlalu lelah untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut. “Terima kasih… kau menyelamatkanku dua kali,” ucapnya lirih.
Aria mengalihkan pandangannya, merasa canggung menerima ucapan terima kasih. “Aku hanya tidak ingin melihatmu mati.”
Maya mengerutkan kening. “Kenapa kau peduli?”
Pertanyaan itu menghantam Aria tepat di hatinya. Kenapa dia peduli? Kenapa dia begitu terobsesi melindungi gadis ini? Dia tidak tahu jawabannya, namun yang dia tahu adalah dia tidak bisa membiarkan Maya terluka.
“Aku tidak tahu…” Aria akhirnya mengaku, suaranya pelan dan penuh kebingungan. “Aku hanya… tidak bisa membiarkanmu pergi.”
Maya terdiam, menatap pemuda di depannya dengan rasa penasaran yang semakin dalam. Matanya yang tajam namun lembut, wajahnya yang tampan namun penuh kesedihan, membuat Maya merasa terhubung secara aneh. “Kau… terlihat kesepian,” gumam Maya tanpa sadar.
Aria tersentak mendengar kata-kata itu. Mata hitam legamnya melembut, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa dipahami. Tidak ada yang pernah mengatakan itu padanya. Tidak ada yang pernah melihat melalui tatapan dinginnya dan menyadari kesepian yang dia sembunyikan selama berabad-abad.
“Kau… aneh,” kata Aria dengan senyum tipis. “Bagaimana bisa kau melihat itu?”
Maya tersenyum kecil, rasa lelahnya perlahan menghilang. “Karena… aku juga merasa kesepian.”
Keduanya terdiam dalam keheningan yang hangat. Untuk pertama kalinya, mereka merasa tidak sendirian.
Namun, momen itu terhenti saat Maya tiba-tiba merasakan nyeri di dadanya lagi. Dia terbatuk keras, dan darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Aroma darah itu memenuhi ruangan, aroma yang begitu manis dan kuat, membuat mata Aria berubah merah dalam sekejap.
“Tidak… tidak sekarang…” Aria berbisik sambil mundur, mencoba menahan diri. Nafsu darah menguasai dirinya, membuat taringnya muncul tajam. Dia ingin menggigit Maya, ingin menghisap darah itu hingga tetes terakhir. Tapi dia tidak bisa melakukannya… dia tidak bisa menyakiti gadis yang telah membuatnya merasakan kehangatan yang sudah lama hilang.
Maya melihat perubahan pada mata Aria, tatapannya yang semula lembut berubah tajam dan liar. Dia teringat dengan jelas warna merah itu—warna yang sama saat mereka bertemu di taman. “Matamu… merah lagi…” gumam Maya ketakutan. “Kau… bukan manusia, kan?”
Aria tersentak mendengar pertanyaan itu. Dia bisa melihat ketakutan di mata Maya, ketakutan yang selama ini dia hindari. “Aku… aku…”
Namun, sebelum Aria bisa menjawab, suara keras terdengar dari luar. Pintu kayu tempat mereka berada hancur berkeping-keping, dan sesosok pria dengan mata merah pekat berdiri di ambang pintu. Tubuhnya kekar dengan tatapan buas yang haus darah.
“Aria… kau benar-benar bodoh,” suara pria itu berat dan dingin. “Kau tahu hukum dunia vampir, tapi kau melindungi manusia dengan darah langka ini?”
Maya terkejut melihat sosok asing itu. “Siapa dia?”
Aria berdiri di depan Maya, melindunginya dengan tubuhnya yang tegap. “Leon… aku seharusnya tahu kau akan datang.”
Leon tersenyum sinis. “Tentu saja. Kau pikir bisa menyembunyikan aroma darah ini dariku? Darah langka yang bisa memperkuat kekuatan vampir… sudah lama aku mencarinya.”
Maya menatap Leon dengan ngeri. “Darahku…?”
Aria mengepalkan tinjunya, marah pada Leon sekaligus pada dirinya sendiri karena telah membahayakan Maya. “Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya.”
Leon menghela napas pura-pura kecewa. “Kau benar-benar keras kepala, Aria. Apa kau sudah lupa siapa yang membawamu ke klan kita?”
Aria terdiam. Dia tidak bisa menyangkal kenyataan bahwa Leon adalah orang yang menyelamatkannya saat dia terbuang dari klan lamanya. Mereka pernah bersahabat dekat, namun ambisi Leon yang haus kekuasaan telah mengubah segalanya.
“Aku tidak akan membiarkanmu menggunakan darah Maya untuk kekuasaan kotormu!” teriak Aria, matanya berubah merah menyala, menunjukkan kekuatan vampirnya.
Leon terkekeh, matanya juga berubah merah. “Baiklah… mari kita lihat apakah kau bisa menghentikanku.”
Dalam sekejap, Leon menyerang dengan kecepatan luar biasa, mengayunkan cakar tajamnya ke arah Maya. Aria bergerak cepat, menangkis serangan itu dengan lengannya yang kuat, melindungi Maya dari bahaya.
“Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya!” teriak Aria dengan amarah membara.
Pertarungan sengit pun dimulai. Kekuatan mereka menghancurkan dinding dan lantai batu, menyebabkan debu dan puing beterbangan ke udara. Maya hanya bisa menyaksikan dengan ketakutan, tubuhnya masih lemah dan tidak berdaya.
Aria bertarung dengan sekuat tenaga, namun Leon jauh lebih kuat. Setiap serangan Leon terasa seperti hantaman batu yang menghancurkan tulang. Namun, Aria tidak mundur. Dia berjuang mati-matian demi melindungi Maya.
“Aku… tidak akan membiarkanmu terluka,” gumam Aria dengan napas terengah-engah.
Maya terdiam, hatinya berdebar melihat pengorbanan Aria. Meskipun dia tidak sepenuhnya mengerti siapa Aria, dia tahu bahwa pemuda itu berjuang untuknya, mempertaruhkan nyawanya demi melindunginya.
“Mencintaimu adalah dosa yang tak bisa kuhindari, meski itu berarti menghancurkan segalanya.”
Bab 4: Pengkhianatan di Dalam Klan
Langit mulai memerah saat matahari terbenam di ufuk barat. Di tengah reruntuhan bangunan tua yang menjadi saksi bisu pertempuran, Aria berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya terluka parah akibat serangan Leon. Darah mengalir dari luka di lengan dan dadanya, membasahi pakaian hitam yang sudah terkoyak. Namun, tatapan matanya tetap tajam, menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan.
Di hadapannya, Leon berdiri dengan ekspresi angkuh. Wajahnya terlihat puas melihat kondisi Aria yang lemah. “Kau tidak pernah bisa menang dariku, Aria. Kau tahu itu, bukan?”
Aria menggeram pelan, mencoba tetap berdiri meski tubuhnya terasa berat. “Aku tidak peduli… selama kau tidak menyentuh Maya.”
Leon terkekeh sinis. “Bodoh. Kau benar-benar jatuh cinta pada manusia itu? Apa kau lupa siapa dirimu? Kau ini vampir, Aria! Hubungan dengan manusia hanya akan membawa kehancuran.”
Aria terdiam, hatinya terasa tercabik. Dia tahu Leon benar, namun perasaannya pada Maya tidak bisa ia sangkal. “Aku… tidak peduli,” suaranya bergetar. “Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya.”
Leon menghela napas panjang, tampak kecewa. “Kau benar-benar keras kepala, Aria. Sayang sekali… aku tidak punya pilihan lain.”
Dengan kecepatan luar biasa, Leon melesat ke arah Aria, mengayunkan cakar tajamnya. Aria mencoba menghindar, namun luka di tubuhnya membuat gerakannya melambat. Cakar Leon berhasil menggores dada Aria, membuatnya terpental ke dinding batu yang runtuh.
“Aria!” teriak Maya yang menyaksikan pertempuran itu dari balik reruntuhan.
Aria terbaring lemah, darah segar mengalir dari lukanya. Dia mencoba berdiri namun tubuhnya sudah terlalu lemah. Pandangannya kabur, namun ia masih bisa melihat Leon yang perlahan mendekati Maya dengan senyum jahat.
“Tidak… jangan…” suara Aria lirih, nyaris tak terdengar.
Leon berdiri di depan Maya yang tubuhnya gemetar ketakutan. “Darah langka… sudah lama aku mencarimu,” ucap Leon sambil mengangkat tangannya, bersiap menghabisi Maya.
Namun, saat cakar tajam Leon hendak menyentuh Maya, sebuah bayangan hitam muncul dengan kecepatan luar biasa dan menendang Leon hingga terlempar jauh.
“Apa-apaan ini?” Leon terkejut dan segera berdiri. Matanya membelalak saat melihat sosok yang berdiri di depannya. “Tidak mungkin… kenapa kau…?”
Aria terkejut saat melihat siapa yang datang. “Kau… Leo…?”
Leo, sahabat Aria sejak kecil, berdiri dengan tatapan dingin yang tak pernah Aria lihat sebelumnya. Tubuhnya tegap dengan mata merah menyala, menunjukkan kekuatan vampirnya yang luar biasa. “Lama tak jumpa, Aria.”
Aria mencoba berdiri meski tubuhnya gemetar. “Leo… kenapa kau di sini?”
Leo tersenyum tipis. “Aku datang untuk mengambil darah langka itu.”
Mata Aria membelalak tak percaya. “Apa maksudmu? Kau… kau ingin darah Maya juga?”
Leo mengangguk tanpa ekspresi. “Tentu saja. Dengan darah langka itu, aku bisa menjadi yang terkuat di antara para vampir. Dan aku tidak akan membiarkan siapapun menghalangiku, termasuk kau.”
Aria merasakan hatinya hancur. Sahabat yang selalu dia percayai, yang selalu dia anggap seperti saudara sendiri, ternyata mengkhianatinya. “Leo… kenapa? Kita sudah seperti saudara…”
Leo tersenyum sinis. “Saudara? Jangan konyol. Sejak kecil, kau selalu lebih kuat dariku, selalu lebih dihormati di klan. Aku muak hidup dalam bayanganmu, Aria. Tapi sekarang… dengan darah langka ini, aku bisa melampauimu.”
Aria terdiam, tubuhnya gemetar bukan karena luka tapi karena pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Dia tidak pernah menyangka Leo akan menghianatinya. “Jadi… selama ini kau hanya berpura-pura?”
“Tidak sepenuhnya,” jawab Leo dengan tenang. “Aku memang menganggapmu sahabat, tapi ambisiku lebih besar daripada ikatan persahabatan kita.”
Leon yang sejak tadi terdiam akhirnya tertawa keras. “Hahaha! Lihat itu, Aria! Bahkan sahabatmu sendiri mengkhianatimu. Kau benar-benar menyedihkan.”
Aria menggertakkan giginya, amarah dan kekecewaan bercampur menjadi satu. “Leo… aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Maya.”
Leo menghela napas panjang. “Sudah kuduga kau akan berkata begitu.” Dalam sekejap, Leo muncul di hadapan Aria dan menendangnya dengan kekuatan penuh. Tubuh Aria terpental jauh dan menghantam reruntuhan, membuat debu dan puing beterbangan.
“Aria!” Maya berlari ke arah Aria yang terbaring tak berdaya. Air matanya jatuh melihat tubuh Aria yang penuh luka. “Kumohon… jangan mati…”
Aria membuka matanya yang mulai kabur. Dia bisa melihat wajah Maya yang penuh kekhawatiran dan kesedihan. Senyuman lemah terukir di bibirnya. “Maaf… aku… tidak bisa melindungimu…”
Maya menggenggam tangan Aria dengan erat. “Tidak… jangan bilang begitu. Kau sudah menyelamatkanku… kau sudah melindungiku.”
Air mata Maya jatuh membasahi tangan Aria yang dingin. Melihat gadis itu menangis membuat hati Aria terasa perih. “Maya… kumohon… lari dari sini…”
Maya menggeleng dengan keras. “Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak peduli siapa dirimu… kau tetap orang yang menyelamatkanku. Kau… tetap Aria yang kukenal.”
Mata Aria membelalak, hatinya terasa hangat mendengar kata-kata itu. Meski dia seorang vampir dan telah melanggar hukum dunia vampir, Maya tetap menerima dirinya apa adanya.
“Dasar bodoh,” ucap Leo yang mendekat dengan tatapan sinis. “Kau benar-benar jatuh cinta pada manusia ini? Betapa menyedihkan.”
Maya berdiri dan menatap Leo dengan berani. “Aku tidak peduli siapa dia. Aria adalah orang yang telah menyelamatkanku dan melindungiku. Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya!”
Leo terdiam sejenak, terlihat sedikit terkejut dengan keberanian Maya. Namun, senyuman sinis kembali muncul di wajahnya. “Luar biasa. Bahkan manusia lemah sepertimu bisa memiliki keberanian seperti itu.”
Leo mengangkat tangannya, bersiap menghabisi Maya. “Sudah cukup drama ini. Selamat tinggal.”
Aria mencoba berdiri, namun tubuhnya sudah terlalu lemah. Dia hanya bisa menatap dengan putus asa saat Leo mengayunkan cakarnya ke arah Maya.
“MAYA!!!” teriak Aria.
Namun, sebelum serangan itu mengenai Maya, cahaya terang tiba-tiba menyelimuti tubuh gadis itu. Cahaya yang begitu kuat dan menyilaukan, membuat Leo dan Leon mundur ketakutan.
“Apa… apa ini?” Leo terkejut.
Cahaya itu bersinar terang, membentuk sayap cahaya yang indah di punggung Maya.
“Cinta sejati adalah saat kau rela melepaskan, meski itu menghancurkan hatimu.”
Bab 5: Pelarian yang Tak Terhindarkan
Cahaya terang yang menyelimuti tubuh Maya perlahan meredup, menyisakan keheningan yang mencekam. Maya berdiri dengan wajah bingung, matanya memandang tangannya sendiri yang sebelumnya bersinar terang. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.
“Apa… yang terjadi padaku?” bisik Maya, suaranya bergetar.
Di sisi lain, Leo berdiri mematung dengan wajah kaget. Matanya yang merah menyala memandang Maya dengan tak percaya. “Itu… kekuatan kuno… mustahil!”
Aria yang terluka parah mencoba bangkit, menatap Maya dengan mata lemah namun penuh kekaguman. Dia belum pernah melihat kekuatan seperti itu sebelumnya. “Maya… kau… siapa sebenarnya?”
Maya menoleh ke arah Aria, air matanya mengalir saat melihat kondisi Aria yang terluka parah. “Aria… aku… aku tidak mengerti…”
Namun, sebelum Maya sempat melangkah ke arah Aria, Leo mengeluarkan suara tawa yang dalam dan dingin. “Hahaha! Jadi ini kekuatan darah langka itu… luar biasa…”
Maya menoleh dengan tatapan ketakutan, melihat Leo yang berjalan mendekatinya dengan tatapan serakah. “Jadi… itulah kekuatan yang selama ini kucari. Sekarang aku mengerti kenapa darahmu sangat diinginkan.”
Aria mencoba berdiri meski tubuhnya bergetar kesakitan. “Jangan… jangan sentuh dia, Leo!”
Leo memandang Aria dengan tatapan meremehkan. “Diamlah, Aria. Kau sudah terlalu lemah untuk melindunginya.”
Dengan kecepatan luar biasa, Leo melesat ke arah Maya, berniat mengambil darahnya. Namun, sebelum dia berhasil menyentuh Maya, sebuah angin kencang berhembus kuat, melemparkannya jauh ke belakang. Leo terhempas ke dinding batu dengan keras, membuat debu dan puing beterbangan.
“Apa… apa ini?” Leo bangkit dengan ekspresi marah. Dia melihat Maya yang dikelilingi cahaya samar yang melindunginya. “Kau… benar-benar spesial, Maya.”
Maya berdiri mematung, tidak mengerti kekuatan apa yang melindunginya. Tubuhnya bergetar ketakutan, namun instingnya memberitahu bahwa dia harus kabur.
Aria yang terbaring lemah menyadari bahaya yang semakin besar. “Maya… lari…”
Maya menoleh ke arah Aria, matanya dipenuhi air mata. “Tapi… bagaimana denganmu?”
“Aku akan… baik-baik saja. Pergilah… sebelum Leo berhasil menangkapmu,” ucap Aria dengan suara bergetar.
Maya menggigit bibirnya, hatinya terasa sakit meninggalkan Aria dalam kondisi seperti itu. Namun, dia tahu dia hanya akan menjadi beban jika tetap di sini.
Dengan air mata yang jatuh tanpa henti, Maya berlari meninggalkan tempat itu, mencoba menyelamatkan diri sesuai permintaan Aria.
Leo berusaha mengejar Maya, namun tiba-tiba tubuhnya terpental lagi oleh kekuatan tak terlihat yang melindungi gadis itu. “Sial! Kekuatan ini… tidak mungkin bisa kutembus.”
Leo menoleh ke arah Aria yang terbaring lemah. “Aria… ini semua salahmu. Jika saja kau tidak melindungi manusia itu, semuanya akan jauh lebih mudah.”
Aria tersenyum lemah, darah segar mengalir dari sudut bibirnya. “Kau… tidak akan pernah bisa menyentuhnya. Aku… tidak akan membiarkanmu.”
Leo menggertakkan giginya marah. “Kau benar-benar keras kepala, Aria.”
Tanpa ampun, Leo menyerang Aria yang sudah tidak berdaya, menghantam tubuhnya dengan kekuatan penuh. Aria tidak melawan, dia hanya menerima semua serangan dengan senyuman lemah di wajahnya.
“Aku sudah bilang… kau tidak akan menyentuh Maya… selama aku masih hidup…” bisik Aria dengan suara hampir tak terdengar.
Leo menatap Aria dengan tatapan marah. “Kau ingin mati demi manusia itu? Kau benar-benar bodoh!”
Dengan kekuatan penuh, Leo menusukkan cakarnya ke dada Aria, menembus kulit dan daging hingga darah menyembur deras. Aria terbatuk, darah keluar dari mulutnya. Tubuhnya bergetar, namun dia tidak menunjukkan ekspresi ketakutan.
“Aku… tidak takut mati… jika itu demi melindunginya…” ucap Aria dengan suara lemah.
Leo menatap Aria dengan marah, namun ada sedikit kekaguman dalam tatapannya. “Kau benar-benar vampir yang aneh, Aria.”
Setelah memastikan Aria tidak bisa bergerak lagi, Leo berdiri dan menatap ke arah di mana Maya melarikan diri. “Tunggu saja… aku akan menangkapmu dan menggunakan kekuatan darahmu untuk menjadi yang terkuat.”
Dengan kecepatan luar biasa, Leo melesat pergi, meninggalkan Aria yang terbaring lemah di tengah reruntuhan.
Aria menatap langit yang mulai gelap, tubuhnya terasa sangat dingin dan lemah. Dia bisa merasakan nyawanya perlahan menghilang.
“Aku… tidak bisa… melindungimu… Maya…” air mata mengalir dari sudut matanya.
Namun, sebelum kesadarannya sepenuhnya menghilang, dia merasakan kehangatan di dadanya. Cahaya lembut berpendar dari liontin perak yang tergantung di lehernya.
Cahaya itu menyelimuti tubuh Aria, menyembuhkan luka-lukanya perlahan. Detak jantungnya yang hampir berhenti mulai berdetak lagi. Aria membuka matanya dengan pandangan bingung. “Apa… yang terjadi?”
Suara lembut terdengar dari liontin itu, suara yang penuh kehangatan. “Aria… kau tidak boleh mati sekarang. Takdirmu belum selesai.”
Aria tertegun. “Suara ini… suara ibuku?”
Cahaya lembut itu memeluk tubuh Aria, memberikan kekuatan baru. Luka-lukanya sembuh dengan cepat, dan darah yang mengalir berhenti sepenuhnya. Aria merasakan energi yang luar biasa, kekuatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
“Aku… hidup?” Aria memandang tangannya sendiri, tak percaya dengan kekuatan yang mengalir di tubuhnya.
Liontin itu bersinar terang, memancarkan aura perlindungan. “Lindungilah gadis itu, Aria. Dia adalah kunci untuk mengakhiri kutukan dunia vampir.”
Aria terdiam, hatinya berdegup kencang. “Kunci… untuk mengakhiri kutukan?”
Sebelum cahaya itu menghilang, suara lembut itu berbisik pelan. “Lindungi Maya… karena takdirmu terikat padanya…”
Aria mengepalkan tinjunya, matanya menyala penuh tekad. “Aku tidak akan membiarkan Leo menyakitinya.”
Dengan kekuatan baru yang mengalir di tubuhnya, Aria melesat pergi, mengejar Maya yang sedang dalam bahaya.
“Tak ada tempat yang aman bagi cinta kita, kecuali dalam pelukan satu sama lain.”
Bab 6: Rahasia Asal Usul Vampir
Maya berlari sekuat tenaga, menyusuri jalan setapak yang gelap dan berliku di tengah hutan. Napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa lemah namun insting bertahan hidup memaksanya untuk terus bergerak. Dia tidak tahu ke mana harus pergi, namun yang dia tahu adalah dia harus menjauh sejauh mungkin dari Leo.
Langit semakin gelap, angin dingin berembus kencang, menerpa wajah Maya yang basah oleh keringat dan air mata. Ketakutan menyelimuti hatinya, namun dia mencoba bertahan. Pikirannya terus melayang ke wajah Aria yang terluka parah saat melindunginya. “Aria… kumohon… tetaplah hidup…”
Namun, sebelum Maya sempat melangkah lebih jauh, kakinya tersandung akar pohon yang menjulur di tanah. Tubuhnya terhuyung ke depan dan jatuh dengan keras. Lutut dan telapak tangannya lecet, darah segar mengalir dari luka yang perih.
Maya menggigit bibirnya, menahan rasa sakit. Dia mencoba berdiri, namun tubuhnya terasa terlalu lemah. Pandangannya mulai kabur, dan dadanya terasa nyeri lagi. “Tidak… jangan sekarang…”
Saat itulah, suara langkah kaki terdengar mendekat. Maya menoleh dengan ketakutan, berharap itu adalah Aria, namun yang dilihatnya adalah sosok Leo yang berjalan pelan dengan senyum licik di wajahnya.
“Kau tidak bisa lari dariku, Maya. Aku akan menangkapmu, dan aku akan mengambil darahmu yang berharga itu,” ucap Leo dengan suara dingin.
Maya mundur perlahan, punggungnya menabrak batang pohon besar. Tubuhnya gemetar ketakutan. “Jangan… kumohon… jangan lakukan ini…”
Leo tersenyum sinis. “Tidak ada gunanya memohon. Dengan darahmu, aku akan menjadi yang terkuat di dunia vampir.”
Dengan kecepatan luar biasa, Leo melompat ke arah Maya, bersiap menghabisinya. Maya menutup mata, pasrah pada takdir yang mengerikan. Namun, saat cakaran Leo hampir menyentuhnya, angin kencang berhembus dan sosok lain muncul di hadapannya.
“Tidak akan kubiarkan!” suara itu dalam dan tegas.
Mata Maya terbuka lebar saat melihat Aria berdiri di depannya dengan mata merah menyala dan aura kekuatan yang luar biasa. Luka di tubuhnya sudah sembuh sepenuhnya, dan wajahnya menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan.
“Aria… kau… kau hidup?” air mata Maya mengalir tanpa sadar.
Aria menoleh, tersenyum lembut pada Maya. “Aku sudah berjanji untuk melindungimu, bukan?”
Leo terkejut melihat Aria yang seharusnya sudah mati kini berdiri dengan kekuatan baru. “Bagaimana… bagaimana bisa kau sembuh secepat itu? Dan… kekuatan ini… ini mustahil!”
Aria mengepalkan tinjunya, aura pelindung menyelimutinya. “Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Maya. Takdirku adalah melindunginya.”
Leo menggertakkan giginya, amarah memuncak di wajahnya. “Huh! Tidak peduli seberapa kuat kau sekarang, aku tidak akan kalah!”
Dengan kecepatan luar biasa, Leo menyerang Aria, mencakar dengan kekuatan penuh. Namun, Aria dengan mudah menangkis serangan itu dan membalas dengan tendangan yang membuat Leo terpental jauh, menghantam pohon hingga tumbang.
Maya tercengang melihat kekuatan Aria yang jauh lebih hebat dari sebelumnya. “Bagaimana… bisa sekuat ini?”
Aria berdiri tegap, tatapannya dingin dan tajam. “Aku telah menemukan kekuatan asliku. Dan aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu, Maya.”
Leo bangkit dengan wajah kesakitan. Dia tidak percaya bahwa Aria bisa melawannya dengan mudah. “Kau… kau monster!”
Aria menatap Leo dengan tatapan dingin. “Kau yang monster, Leo. Kau mengkhianati persahabatan kita, dan mencoba menggunakan darah Maya untuk kekuasaanmu.”
Leo tersenyum sinis, darah mengalir dari sudut bibirnya. “Dan kau rela mengorbankan segalanya demi manusia itu? Betapa bodohnya kau, Aria.”
Aria menghela napas panjang. “Jika itu disebut bodoh, maka biarlah aku menjadi bodoh. Karena aku tidak akan mengkhianati hatiku sendiri.”
Pertarungan sengit kembali terjadi. Kekuatan mereka menghancurkan pepohonan dan membuat tanah bergetar. Namun, kali ini Aria jauh lebih kuat dan cepat, hingga Leo tidak mampu mengimbangi serangannya.
Dengan satu pukulan telak, Aria menghantam Leo hingga jatuh ke tanah. Leo terbaring tak berdaya, tubuhnya penuh luka dan darah.
Aria berdiri di atasnya, menatap sahabat lamanya dengan tatapan sedih. “Kenapa kau memilih jalan ini, Leo? Kita bisa melindungi Maya bersama…”
Leo tertawa pahit, matanya penuh kebencian. “Karena aku tidak ingin hidup dalam bayanganmu lagi, Aria… aku muak selalu kalah darimu…”
Air mata mengalir dari mata Aria. “Kau bodoh, Leo… aku tidak pernah menganggapmu lebih lemah dariku…”
Namun sebelum Aria sempat mengatakan lebih banyak, tubuh Leo mulai membara. Mata Leo melebar, wajahnya menunjukkan rasa sakit yang luar biasa. “Apa… apa yang terjadi…?”
Maya yang menyaksikan dari jauh terkejut melihat tubuh Leo perlahan menghilang menjadi abu. “Tidak… ini tidak mungkin…”
Aria menggenggam liontin di lehernya yang bersinar terang. “Kutukan ini… darah Maya adalah kunci untuk mengakhiri kutukan vampir…”
Dengan air mata yang jatuh, Aria melihat sahabatnya menghilang menjadi abu yang tertiup angin. “Selamat tinggal… Leo…”
Maya berlari menghampiri Aria, tubuhnya bergetar melihat kepergian Leo yang tragis. “Aria… apa yang sebenarnya terjadi?”
Aria menatap Maya dengan wajah sedih. “Vampir… adalah manusia yang terkutuk. Dan darahmu… adalah kunci untuk mengakhiri kutukan ini…”
Maya terkejut, hatinya berdebar tak menentu. “Darahku… adalah kunci?”
Aria mengangguk pelan. “Namun, untuk mengakhiri kutukan ini… nyawamu harus dikorbankan…”
Maya membelalak tak percaya. Tubuhnya gemetar dan air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Tidak… tidak mungkin…”
“Kadang, takdir datang dengan cara yang paling menyakitkan.”
Bab 7: Pilihan yang Menyakitkan
Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah dari hutan yang sunyi. Maya berdiri dengan tubuh gemetar, air matanya mengalir tanpa henti. Kata-kata Aria terus terngiang di kepalanya, mengguncang hatinya dengan rasa takut dan kebingungan.
“Nyawaku… harus dikorbankan?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Aria berdiri di hadapannya, wajahnya terlihat penuh rasa bersalah dan kesedihan. Mata hitam legamnya yang dulu tajam kini terlihat lelah dan terluka. “Aku… tidak ingin kau mati, Maya… tapi darahmu adalah satu-satunya kunci untuk mengakhiri kutukan ini.”
Maya menatap Aria dengan tatapan tidak percaya. “Jadi… selama ini kau melindungiku… hanya untuk mengorbankanku?”
Aria terkejut mendengar nada suara Maya yang penuh kekecewaan. Dia mencoba meraih tangan Maya, namun gadis itu mundur, menghindar dari sentuhannya. “Tidak, bukan begitu… Aku… aku melindungimu karena aku peduli padamu… bukan karena darahmu…”
Maya menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit di hatinya. “Lalu kenapa kau tidak memberitahuku dari awal? Kenapa kau menyembunyikan semuanya dariku?”
Aria menundukkan kepalanya, tak mampu menatap Maya. “Aku… tidak ingin membuatmu takut… dan aku juga tidak ingin kehilanganmu…”
Maya terdiam, hatinya bergejolak antara rasa sakit dan cinta yang dalam pada Aria. Dia mengingat semua kenangan indah yang mereka lalui bersama, senyuman Aria yang lembut, tatapan hangatnya, dan cara dia selalu melindunginya.
Namun, kenyataan pahit bahwa nyawanya adalah kunci untuk mengakhiri kutukan dunia vampir membuatnya merasa hancur. “Jadi… aku hanyalah alat untuk mengakhiri kutukan ini?”
“Tidak!” Aria menggelengkan kepalanya keras. “Kau bukan alat, Maya… kau adalah orang yang kucintai…”
Jantung Maya berdetak kencang mendengar kata-kata itu. Dia tahu bahwa perasaan Aria padanya adalah nyata, namun takdir mereka terlalu kejam. “Kalau begitu… apa yang harus kulakukan, Aria?” Maya terisak. “Apa yang harus kulakukan ketika takdirku adalah kematian?”
Aria merasa hatinya hancur mendengar isak tangis Maya. Dia ingin menyelamatkan Maya, ingin melindunginya dari takdir yang kejam ini. Namun, dia tahu bahwa menghindari takdir ini hanya akan memperpanjang kutukan dunia vampir.
“Aku… tidak tahu…” suara Aria bergetar. “Aku ingin menyelamatkanmu… tapi aku juga ingin mengakhiri kutukan ini… aku… tidak bisa memilih…”
Maya menutup wajahnya dengan kedua tangan, air matanya tak terbendung. “Kenapa… kenapa semuanya jadi seperti ini?”
Aria menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit di dadanya. Dia ingin memeluk Maya, ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun dia tidak bisa memberikan janji kosong.
Keheningan yang menyakitkan menyelimuti mereka, hingga suara langkah kaki terdengar dari arah hutan. Mereka menoleh dan melihat seorang wanita tua dengan jubah hitam panjang muncul dari balik pepohonan. Matanya yang tajam dan dalam memandang mereka dengan penuh rasa iba.
“Kalian benar-benar pasangan yang malang…” suara wanita itu serak namun lembut.
Maya dan Aria berjaga-jaga, tatapan mereka penuh kecurigaan. “Siapa kau?” tanya Aria dengan nada waspada.
Wanita tua itu tersenyum tipis. “Aku adalah penjaga rahasia dunia ini. Dan aku datang untuk memberitahumu kebenaran tentang kutukan ini.”
Maya dan Aria terkejut mendengar kata-kata itu. “Kebenaran… tentang kutukan ini?” tanya Maya dengan suara bergetar.
Wanita tua itu mengangguk. “Kutukan ini diciptakan oleh leluhur para vampir yang ingin abadi. Namun, keabadian itu datang dengan harga yang sangat mahal… kehilangan jiwa mereka.”
Maya dan Aria terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu.
“Darah langka yang mengalir dalam tubuhmu, Maya… adalah darah keturunan dewi yang dikutuk oleh leluhur vampir untuk mempertahankan keabadian mereka. Itulah mengapa darahmu bisa mengakhiri kutukan ini… karena darahmu adalah darah kesucian yang bisa memulihkan jiwa yang hilang.”
Maya terkejut mendengar kebenaran itu. “Jadi… darahku bisa memulihkan jiwa vampir?”
Wanita tua itu mengangguk. “Ya… namun, untuk melakukannya, hidupmu harus dikorbankan. Dan ketika darahmu digunakan dalam ritual pemulihan, seluruh vampir akan kembali menjadi manusia… termasuk Aria.”
Maya terdiam, menatap Aria yang juga terlihat terkejut. “Aria… kau bisa menjadi manusia lagi?”
Aria tidak tahu harus merasa senang atau sedih. Seumur hidupnya, dia ingin menjadi manusia lagi, ingin merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang dirasakan manusia. Namun, jika itu harus dibayar dengan nyawa Maya… dia tidak ingin menjadi manusia.
“Aku… tidak peduli menjadi manusia atau tidak… aku tidak bisa hidup tanpa dirimu, Maya,” ucap Aria dengan suara gemetar.
Maya terisak, hatinya terasa sesak. Dia ingin hidup, namun dia juga tidak ingin Aria menderita selamanya sebagai vampir.
Wanita tua itu menatap mereka dengan tatapan penuh iba. “Pilihan ada di tangan kalian… akhiri kutukan ini dan kehilangan cinta kalian, atau biarkan kutukan ini tetap ada dan hidup dalam dosa.”
Maya menutup matanya, air matanya mengalir deras. Pilihan ini terlalu menyakitkan, terlalu kejam. Dia mencintai Aria dengan seluruh hatinya, namun jika takdir mereka adalah pengorbanan… apakah dia bisa melakukannya?
Aria berdiri di hadapannya, wajahnya terlihat begitu terluka dan bingung. “Aku… tidak bisa memilih, Maya. Aku… tidak bisa hidup tanpa dirimu…”
Maya menghapus air matanya dan tersenyum lembut. “Aria… jika takdirku adalah untuk mengakhiri kutukan ini… aku akan melakukannya… untukmu…”
Aria terbelalak, tubuhnya gemetar. “Tidak… jangan katakan itu…”
Maya mengangguk pelan. “Aku mencintaimu, Aria… dan jika dengan kematianku kau bisa hidup sebagai manusia… aku rela…”
Aria memeluk Maya erat, air matanya jatuh tanpa henti. “Tidak… aku tidak mau… aku tidak ingin kehilanganmu…”
Maya membalas pelukan itu dengan erat. “Jika kita tidak bisa bersama di dunia ini… aku akan menunggumu di dunia berikutnya…”
“Cinta sejati adalah saat kau rela melepaskan, meski itu menghancurkan hatimu.”
Bab 8: Pertarungan Terakhir
Langit mendung menyelimuti hutan yang sunyi, menciptakan suasana suram yang menekan. Angin berhembus kencang, membawa aroma kematian yang menggantung di udara. Di tengah-tengah reruntuhan kuil kuno yang terlupakan waktu, Maya berdiri di atas altar batu dengan tatapan tegar, meski tubuhnya gemetar ketakutan.
Di hadapannya, Aria berdiri dengan wajah penuh kesedihan dan kebingungan. Matanya yang hitam legam menatap Maya dalam-dalam, seolah-olah mencoba menghafal setiap garis wajah gadis itu. “Maya… kau benar-benar ingin melakukannya?” suaranya terdengar berat dan penuh luka.
Maya mengangguk pelan, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. “Aku tidak ingin meninggalkanmu, Aria… tapi aku tidak bisa membiarkanmu hidup dalam kutukan ini selamanya.”
Aria mengepalkan tinjunya, rasa sakit di dadanya tak tertahankan. “Tidak bisakah kita… menemukan cara lain?”
Maya tersenyum lemah. “Jika ada cara lain, aku pasti memilihnya… tapi inilah takdirku.”
Aria menggigit bibirnya, menahan air mata yang ingin jatuh. “Aku… tidak bisa kehilanganmu, Maya…”
Maya melangkah maju, mendekati Aria dan memegang wajahnya dengan kedua tangan. “Kita tidak benar-benar berpisah, Aria… hatiku akan selalu bersamamu… selamanya…”
Aria memejamkan matanya, merasakan kehangatan tangan Maya yang lembut. Dia ingin mengingat kehangatan itu selamanya, namun rasa takut kehilangan Maya membuatnya ingin melawan takdir.
Namun, sebelum mereka bisa berkata lebih banyak, suara langkah kaki terdengar dari arah reruntuhan. Aria segera berdiri di depan Maya, melindunginya dari ancaman yang datang.
Dari balik bayang-bayang reruntuhan, Leo muncul dengan wajah penuh kebencian. Matanya merah menyala, menunjukkan kekuatan vampir yang mengalir di tubuhnya. “Kalian benar-benar bodoh… menyerahkan diri di altar pengorbanan ini. Kalian memudahkan pekerjaanku.”
Maya terkejut melihat Leo masih hidup. “Leo… kau…?”
Leo tersenyum sinis. “Kalian pikir aku akan mati semudah itu? Aku tidak akan membiarkan darah langka ini terbuang sia-sia. Aku akan menggunakan darahmu, Maya… dan menjadi penguasa dunia vampir!”
Aria menggeram marah. “Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh Maya!”
Leo tertawa keras. “Oh, sungguh? Kau tidak punya pilihan, Aria. Satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan ini adalah dengan mengorbankan Maya… dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan mengambil darahnya dan menggunakan kekuatannya untuk menjadi yang terkuat!”
Aria berdiri tegap, matanya menyala penuh kemarahan. “Aku tidak peduli seberapa kuat kau, Leo… aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Maya!”
Leo menyeringai. “Bagus… mari kita akhiri semua ini sekarang.”
Dengan kecepatan luar biasa, Leo melesat ke arah Aria, mengayunkan cakar tajamnya. Aria menangkis serangan itu dan balas menyerang dengan kekuatan penuh. Pertarungan sengit pun dimulai, menghancurkan reruntuhan kuil dan mengguncang tanah di bawah mereka.
Maya hanya bisa berdiri di altar batu, tubuhnya gemetar melihat pertarungan brutal di hadapannya. Dia tahu bahwa pertarungan ini adalah pertarungan hidup dan mati, dan takdir dunia vampir ada di tangan mereka.
Serangan demi serangan dilancarkan, menyebabkan ledakan energi yang menghancurkan. Aria dan Leo bertarung dengan kekuatan penuh, masing-masing tidak mau kalah. Namun, Leo terlihat lebih kuat dan lebih cepat, kekuatan jahat mengalir dalam dirinya.
“Kau tidak bisa mengalahkanku, Aria!” teriak Leo sambil menyerang dengan cakar tajam yang menyambar udara. “Aku terlahir untuk menjadi yang terkuat!”
Aria menangkis serangan itu, namun tubuhnya terpental jauh, menghantam dinding batu hingga retak. Dia terbatuk, darah segar keluar dari mulutnya. Tubuhnya penuh luka, namun matanya tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah.
“Aku… tidak akan kalah… aku harus melindungi Maya…” Aria berdiri dengan susah payah, napasnya terengah-engah.
Leo menyeringai kejam. “Kau benar-benar keras kepala. Tapi itu akan menjadi kelemahan terbesarmu!”
Dengan kecepatan luar biasa, Leo melesat ke arah Maya yang berdiri di atas altar. “Sekarang… aku akan mengambil darah langkamu!”
Maya menjerit ketakutan, tubuhnya tidak bisa bergerak. Serangan Leo begitu cepat, dan dia tidak punya waktu untuk menghindar. Namun, tepat saat cakar Leo hampir menyentuhnya, tubuh Aria muncul di depannya, menerima serangan itu dengan tubuhnya sendiri.
“ARIA!!!” teriak Maya dengan air mata yang jatuh deras.
Cakar tajam Leo menembus tubuh Aria, darah segar menyembur deras. Aria terbatuk, namun dia tidak menunjukkan rasa sakit. Sebaliknya, dia tersenyum lemah pada Maya. “Aku… sudah berjanji… akan melindungimu…”
Maya menggenggam tangan Aria yang dingin, air matanya jatuh tanpa henti. “Tidak… jangan lakukan ini… kumohon…”
Aria tersenyum lembut, matanya yang hitam legam bersinar penuh kasih. “Maya… kau adalah cahaya dalam kegelapanku… aku… tidak menyesal… mencintaimu…”
Dengan kekuatan terakhirnya, Aria memeluk Maya erat, tubuhnya perlahan menghilang menjadi cahaya yang lembut dan hangat. “Selamat tinggal… Maya…”
Cahaya itu menyelimuti tubuh Maya, menyembuhkan luka di tubuhnya dan memberinya kekuatan yang luar biasa.
Maya menjerit kesakitan saat merasakan kekuatan yang luar biasa mengalir dalam tubuhnya. Cahaya itu bersinar terang, membentuk sayap cahaya di punggungnya. Matanya berubah menjadi emas, menunjukkan kekuatan dewi yang terbangun.
Leo mundur ketakutan. “Apa… apa ini?”
Maya berdiri tegak dengan kekuatan dewi yang menyelimutinya. “Kau tidak akan menyakiti siapa pun lagi… Leo…”
Dengan kekuatan penuh, Maya mengangkat tangannya dan memanggil kekuatan cahaya yang menghancurkan kegelapan. Serangan itu menghantam Leo dengan kekuatan luar biasa, menghancurkan tubuhnya menjadi abu yang tertiup angin.
Saat cahaya itu perlahan meredup, Maya jatuh terduduk di altar batu, tubuhnya gemetar dan lelah. Dia menatap tangannya yang masih bersinar, air matanya jatuh tanpa henti. “Aria… kau benar-benar pergi?”
Angin berhembus lembut, membawa suara pelan yang penuh kehangatan. “Aku… selalu bersamamu… di dalam hatimu…”
Maya tersenyum lemah, air matanya jatuh perlahan. “Aku mencintaimu… Aria…”
“Jika ini akhir dari segalanya, setidaknya aku memilih untuk tetap di sisimu.”
Bab 9: Pengorbanan Cinta
Langit berwarna ungu senja, menandakan akhir dari pertempuran yang mengubah segalanya. Maya duduk di atas altar batu dengan tubuh lelah dan wajah penuh kesedihan. Di dalam hatinya, ada kekosongan yang tak bisa dijelaskan, seolah-olah sebagian dari jiwanya telah pergi bersama Aria.
Air matanya jatuh perlahan, menetes di atas altar batu yang dingin. “Aria… kau benar-benar pergi?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga malam yang harum. Cahaya senja menyinari wajah Maya yang pucat, menciptakan bayangan lembut di wajahnya yang penuh luka dan air mata. Dia memandang ke langit, berharap melihat wajah Aria yang tersenyum padanya. Namun yang terlihat hanyalah awan kelabu yang bergulung pelan.
“Kenapa… kenapa harus seperti ini?” Maya menggenggam liontin perak yang tergantung di lehernya, liontin yang diberikan Aria sebagai simbol perlindungan. Namun kini, liontin itu terasa begitu berat, seolah-olah menyimpan kenangan yang menyakitkan.
Sementara itu, di tempat yang jauh dan tersembunyi dari dunia manusia, Aria berdiri di tepi tebing dengan tubuh transparan. Matanya yang hitam legam memandang ke arah Maya yang menangis di atas altar. Hatinya terasa sakit melihat gadis yang dicintainya menangis sendirian.
“Aku… ingin memelukmu… ingin menghapus air matamu…” bisik Aria lirih, suaranya terdengar getir.
Namun, tubuhnya yang kini hanyalah roh tidak bisa menyentuh Maya. Dia tidak bisa lagi merasakan kehangatan tangan Maya, tidak bisa lagi mendengar suara lembutnya yang selalu membuatnya tenang.
Aria mengepalkan tinjunya, rasa sakit di dadanya semakin dalam. “Kenapa… kenapa takdir kita harus seperti ini?”
Dari balik bayang-bayang tebing, wanita tua yang menjaga rahasia dunia vampir muncul dengan senyum lembut di wajahnya. “Karena cinta kalian terlalu kuat… hingga melawan takdir yang kejam.”
Aria menoleh, menatap wanita tua itu dengan tatapan bingung. “Apa maksudmu?”
Wanita tua itu mendekat, matanya yang dalam memandang Aria dengan penuh kebijaksanaan. “Cinta kalian telah mengubah segalanya. Kau telah memberikan nyawamu untuk melindungi Maya… namun kekuatan darahnya yang suci menyelamatkan jiwamu dari kehampaan.”
Aria terdiam, tidak mengerti apa yang dikatakan wanita tua itu. “Aku… tidak mengerti…”
Wanita tua itu tersenyum lembut. “Kutukan vampir telah berakhir. Seluruh vampir telah kembali menjadi manusia berkat pengorbanan Maya dan kekuatan suci yang diwarisinya. Namun, kau… kau tidak bisa kembali menjadi manusia karena kau mengorbankan jiwamu untuk melindunginya.”
Aria tertegun, tubuhnya terasa ringan namun hampa. “Jadi… aku tidak akan pernah bisa bersamanya lagi?”
Wanita tua itu menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kesedihan. “Benar… tubuhmu telah hancur, dan yang tersisa hanyalah rohmu yang terikat pada kenangan dan cinta yang tak bisa kau lepaskan.”
Aria merasakan air mata jatuh dari matanya yang transparan. “Tidak… ini tidak adil… Maya… dia tidak pantas menderita seperti ini…”
Wanita tua itu menatap Maya yang masih menangis di atas altar. “Cinta sejati selalu datang dengan pengorbanan. Namun, cinta yang sejati tidak pernah benar-benar pergi… ia tetap hidup dalam hati mereka yang ditinggalkan.”
Aria memejamkan matanya, mengingat senyuman Maya, suara tawanya, dan tatapan lembut yang selalu membuat hatinya berdebar. “Aku… mencintainya… lebih dari apapun di dunia ini…”
Wanita tua itu mengangguk pelan. “Dan itulah yang membuat jiwamu tetap ada… meski tanpa tubuh fisik.”
Aria menatap Maya dari kejauhan, rasa rindu yang tak tertahankan menghancurkan hatinya. “Jika… aku tidak bisa menyentuhnya… tidak bisa bersamanya… setidaknya… biarkan aku berada di sisinya… meski hanya sebagai bayangan…”
Wanita tua itu tersenyum lembut, matanya bersinar penuh kebijaksanaan. “Jika itu yang kau inginkan… maka aku akan memberimu kekuatan untuk tetap di sisinya… sebagai penjaga yang tak terlihat… sebagai angin yang selalu melindunginya…”
Aria tersenyum lemah, air matanya jatuh perlahan. “Itu sudah cukup bagiku…”
Dengan suara lembut seperti nyanyian angin, tubuh roh Aria berubah menjadi partikel cahaya yang halus dan lembut. Partikel cahaya itu melayang ke arah Maya yang masih menangis di atas altar, menyelimuti tubuhnya dengan kehangatan yang menenangkan.
Maya merasakan hembusan angin yang hangat, seolah-olah seseorang sedang memeluknya dengan lembut. Dia memejamkan matanya dan tersenyum dalam kesedihan. “Aria… apakah kau masih di sini?”
Angin berhembus lembut, membawa suara bisikan yang penuh cinta. “Aku… selalu di sisimu… selamanya…”
Maya terisak pelan, namun senyuman lembut tetap terpancar di wajahnya. Dia tahu bahwa Aria tidak benar-benar pergi, bahwa cinta mereka tetap hidup meski dipisahkan oleh dunia yang berbeda.
Matahari mulai terbenam, menciptakan cahaya jingga yang indah di langit. Maya berdiri di atas altar batu, menatap langit dengan tatapan penuh kerinduan dan cinta.
“Aku… akan hidup dengan baik… agar kau bisa tenang di sana…” ucap Maya dengan suara pelan namun penuh keteguhan.
Angin berhembus lembut, seolah-olah menjawab janjinya.
“Cintaku takkan hilang, bahkan ketika kau menjadi bintang di langit malam.”
Bab 10: Cahaya di Antara Dua Dunia
Matahari terbit dengan lembut di ufuk timur, menyinari dunia yang baru saja terbebas dari kutukan yang mengekangnya selama berabad-abad. Embun pagi berkilauan di atas daun-daun hijau, mencerminkan keindahan alam yang damai. Namun, di tengah keindahan itu, Maya berdiri di atas bukit dengan wajah sendu, menatap ke arah langit yang cerah.
Sudah satu tahun berlalu sejak pertempuran terakhir di altar pengorbanan. Dunia vampir telah lenyap, dan para vampir yang tersisa telah kembali menjadi manusia. Namun, Maya tetap merasakan kekosongan yang dalam di hatinya. Kehilangan Aria meninggalkan luka yang tak bisa disembuhkan oleh waktu.
“Aku merindukanmu, Aria…” bisik Maya lirih, suaranya terbawa angin yang berhembus lembut.
Dia menggenggam liontin perak di lehernya, liontin yang menjadi satu-satunya kenangan yang tersisa dari Aria. Setiap kali dia menyentuh liontin itu, dia merasakan kehangatan yang lembut, seolah-olah Aria masih berada di sisinya.
Maya menghapus air matanya dan tersenyum lemah. “Aku sudah menepati janjiku… aku hidup dengan baik, Aria… tapi tetap saja… aku tidak bisa berhenti merindukanmu…”
Angin berhembus lebih kencang, menyapu rambut panjang Maya dengan lembut. Di antara hembusan angin itu, Maya bisa mendengar suara yang begitu dikenalnya. “Aku… selalu di sisimu…”
Maya terbelalak, jantungnya berdetak kencang. Dia melihat sekeliling, namun tidak ada siapa-siapa. “Aria…? Apakah kau… benar-benar di sini?”
Angin berputar lembut di sekelilingnya, membawa aroma yang begitu akrab dan hangat. Aroma yang selalu membuat Maya merasa aman. “Tidak… aku tidak mungkin salah…”
Air mata Maya jatuh tanpa bisa ditahan. Dia memejamkan matanya, merasakan kehangatan itu menyelimutinya. “Jika kau di sini… kumohon… tunjukkan dirimu… walau hanya sekali…”
Langit tiba-tiba menjadi terang, cahaya lembut turun dari langit dan membentuk sosok transparan yang berdiri di hadapannya. Mata Maya melebar saat melihat wajah yang begitu dirindukannya. Wajah yang tersenyum lembut dengan mata hitam legam yang selalu menatapnya penuh cinta.
“Aria…?” suara Maya bergetar, tubuhnya gemetar melihat sosok di depannya.
Aria tersenyum lembut, tatapannya hangat dan penuh kasih. “Maya… aku merindukanmu…”
Air mata Maya mengalir deras, tubuhnya bergetar tak percaya. “Ini… ini bukan mimpi, kan? Kau… kau benar-benar ada di sini?”
Aria mengangguk pelan, senyumnya tetap lembut. “Aku tidak bisa menyentuhmu… tapi aku selalu di sisimu… sebagai angin yang melindungimu…”
Maya menutup mulutnya dengan tangan, isak tangisnya tak tertahankan. “Aria… aku… aku sangat merindukanmu…”
Aria menatap Maya dengan mata yang berkilauan. “Aku juga… selalu merindukanmu, Maya…”
Maya mencoba meraih tangan Aria, namun yang dirasakannya hanyalah angin yang lembut dan dingin. Tubuh Aria transparan seperti bayangan, tidak nyata namun terlihat begitu hidup.
“Aku… ingin memelukmu… ingin merasakan kehangatanmu lagi…” isak Maya dengan hati yang hancur.
Aria tersenyum sedih, tatapannya penuh kepedihan. “Maafkan aku… aku tidak bisa menyentuhmu… karena aku hanyalah bayangan… roh yang terikat pada cinta yang tak bisa kulepaskan…”
Maya menatap Aria dengan air mata yang terus mengalir. “Kenapa… kenapa kau harus pergi? Kenapa takdir kita begitu kejam?”
Aria menghela napas panjang, wajahnya terlihat begitu terluka. “Karena cinta kita terlalu kuat… hingga melawan takdir yang kejam…”
Maya terisak, hatinya terasa begitu sakit. “Aku tidak ingin berpisah darimu, Aria… aku ingin bersamamu… selamanya…”
Aria mengangguk pelan, senyumnya lembut namun penuh kesedihan. “Aku juga ingin bersamamu, Maya… tapi takdir kita berbeda… aku tidak bisa berada di dunia ini lagi…”
Cahaya di sekitar tubuh Aria perlahan memudar, menunjukkan bahwa waktunya semakin singkat.
Maya melihat cahaya itu memudar dan hatinya terasa hancur. “Tidak… jangan pergi… kumohon… jangan tinggalkan aku lagi…”
Aria memandang Maya dengan tatapan penuh cinta. “Aku tidak pernah meninggalkanmu, Maya… aku selalu berada di dalam hatimu… dan aku akan selalu melindungimu… selamanya…”
Maya menggenggam liontin di lehernya dengan erat, merasakan kehangatan yang lembut. “Aria… aku mencintaimu… selamanya…”
Aria tersenyum hangat, air mata jatuh dari matanya yang hitam legam. “Aku juga mencintaimu… lebih dari apapun di dunia ini…”
Cahaya di tubuh Aria semakin memudar, bayangannya semakin transparan. “Selamat tinggal… Maya… hiduplah dengan baik… dan jangan pernah melupakanku…”
Maya menjerit penuh kesakitan saat tubuh Aria menghilang menjadi partikel cahaya yang terbawa angin. “ARIA!!!”
Angin berhembus lembut, menyelimuti tubuh Maya yang jatuh berlutut di atas bukit. Dia menangis tanpa suara, air matanya jatuh di atas rumput yang lembut. “Aria… kumohon… kembalilah…”
Namun yang tersisa hanyalah angin yang berhembus lembut dan cahaya matahari yang mulai terbit.
Maya memejamkan matanya, merasakan kehangatan yang lembut menyelimuti tubuhnya. Meski Aria tidak lagi di dunia ini, dia bisa merasakan kehadirannya dalam angin yang menyentuh pipinya, dalam cahaya yang menyinari wajahnya.
“Aku… akan hidup dengan baik… seperti janjiku padamu… dan aku tidak akan melupakanmu… selamanya…”
Angin berhembus lembut, membawa suara bisikan yang penuh cinta. “Aku selalu di sisimu… selamanya…”
Maya tersenyum dalam air matanya, hatinya terasa hangat meski penuh kerinduan. Dia berdiri dan menatap langit yang cerah, berharap suatu hari nanti dia bisa bertemu lagi dengan Aria… di dunia yang berbeda.
“Meski ragamu tiada, cintamu akan selalu hidup dalam jiwaku.”
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.