Novel Singkat Dua Dunia, Satu Cinta
Novel Singkat Dua Dunia, Satu Cinta

Novel Singkat: Dua Dunia, Satu Cinta

Rama, seorang pelukis jalanan berbakat yang hidup dalam kesederhanaan, jatuh cinta pada Alina, pewaris keluarga kaya yang terkurung dalam aturan ketat keluarganya. Meski berasal dari dunia yang berbeda, cinta mereka tumbuh dengan tulus. Namun, hubungan mereka ditentang keras oleh ayah Alina yang memandang rendah status sosial Rama.

Tekad Rama untuk membuktikan dirinya tidak mudah goyah. Ia berjuang keras untuk sukses sebagai pelukis, sementara Alina melawan tekanan keluarganya demi mempertahankan cinta mereka. Namun, perjodohan dengan Arya, pria ambisius yang penuh tipu daya, menjadi rintangan terbesar bagi mereka.

Di tengah ancaman, luka, dan pengkhianatan, Rama dan Alina terus memperjuangkan cinta mereka yang terhalang tembok kasta. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melampaui perbedaan dunia yang memisahkan mereka?

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

Langit sore mulai memerah, matahari beranjak pulang di ujung cakrawala. Jalanan ramai dengan hiruk-pikuk manusia yang berlalu-lalang, namun di sudut trotoar yang sepi, seorang pria muda tengah asyik melukis. Rambut hitamnya sedikit berantakan tertiup angin, namun fokusnya tak tergoyahkan. Tangan kokohnya bergerak lincah, menggoreskan kuas ke kanvas lusuh yang berdiri di atas tripod tua.

Rama, itulah namanya. Seorang pelukis jalanan yang mengandalkan bakat dan imajinasinya untuk bertahan hidup. Ia melukis tidak hanya dengan kuas dan cat, tapi dengan hati yang penuh emosi. Setiap goresan warnanya bercerita, setiap lukisan memiliki jiwa.

Hari itu, Rama sedang menyelesaikan lukisan senja. Warna oranye dan ungu bertabrakan di langit, menciptakan nuansa kehangatan yang menenangkan. Namun, baginya senja adalah lambang perpisahan—sesuatu yang selalu membuatnya merasa kosong.

Di tengah konsentrasinya, terdengar suara lembut yang menghentikan gerakan kuasnya.

“Indah sekali… Bagaimana kamu bisa menangkap keindahan senja dengan begitu nyata?”

Rama menoleh dan melihat seorang wanita berdiri di sampingnya. Rambut panjangnya terurai dengan indah, matanya bersinar dengan rasa kagum. Pakaiannya elegan dan mahal, jelas terlihat bahwa dia bukan berasal dari dunia yang sama dengannya. Namun, tatapan matanya begitu tulus, tanpa kesombongan.

“Ah… hanya sekadar goresan warna,” jawab Rama dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya. “Senja selalu punya cerita, dan aku hanya berusaha menyampaikannya lewat lukisan.”

Wanita itu tersenyum tipis. “Kau melukis dengan perasaan… terlihat jelas dari hasilnya.”

Rama hanya mengangguk pelan. “Kadang, perasaan lebih mudah diungkapkan lewat warna daripada kata-kata.”

Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana senja yang kian meredup. Wanita itu masih memandang lukisan Rama dengan kagum, seolah-olah terhipnotis oleh keindahannya.

“Aku Alina,” ucap wanita itu, sambil mengulurkan tangan.

“Rama,” jawabnya sambil menyambut uluran tangan lembut itu. Saat telapak tangan mereka bersentuhan, ada perasaan aneh yang menyelinap di hati Rama. Perasaan hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Mereka berbincang cukup lama. Alina ternyata seorang wanita yang cerdas dan humoris. Meskipun terlihat anggun dan berkelas, ia sangat sederhana dalam berbicara. Tidak ada kesombongan dalam kata-katanya, hanya rasa ingin tahu yang tulus.

“Aku iri padamu, Rama,” kata Alina tiba-tiba.

Rama mengernyitkan dahi, bingung. “Iri? Padaku? Kenapa?”

“Kamu bisa bebas melakukan apa yang kamu cintai tanpa peduli apa kata orang. Sementara aku… hidupku sudah diatur sejak kecil. Aku tidak pernah bisa memilih apa yang kuinginkan.”

Rama terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ia mengagumi kemewahan Alina. Tapi di sisi lain, ia bisa melihat kesedihan di balik senyumnya.

“Kau tahu, Rama… Seandainya aku bisa memilih, aku ingin hidup bebas seperti lukisanmu. Tanpa batasan, tanpa aturan.”

Rama tersenyum tipis. “Kau bisa… Jika kau cukup berani untuk melawan batasan itu.”

Alina terdiam sejenak, memandangi lukisan senja yang hampir selesai. “Mungkin suatu hari nanti… aku akan menemukan keberanian itu.”

Mata mereka bertemu dalam keheningan senja yang semakin temaram. Ada sesuatu yang mengalir di antara mereka. Sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun terasa sangat kuat.

“Terkadang, kebahagiaan ditemukan dalam hal-hal yang paling sederhana.”

Saat malam mulai menyelimuti kota, Alina pamit pulang. Namun, sebelum pergi, ia menatap Rama dengan senyuman yang lembut. “Aku akan datang lagi… untuk melihat lukisan-lukisanmu yang lain.”

Rama hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan debaran di dadanya. Saat Alina melangkah pergi, angin malam bertiup lembut, seolah membawa pergi sebagian hatinya.

Di malam itu, Rama menyadari satu hal: Pertemuan singkat itu telah mengubah hidupnya. Dan tanpa ia sadari, cintanya mulai tumbuh dalam diam… Cinta yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Bab 2: Cinta yang Mulai Tumbuh

Hari-hari berlalu, namun bayangan Alina terus menghantui pikiran Rama. Setiap kali ia melukis, senyuman lembut dan tatapan penuh kekaguman Alina terbayang di kanvas putih di depannya. Tak pernah ia merasa seperti ini sebelumnya—begitu bersemangat namun sekaligus cemas.

Di lain sisi, Alina pun tak dapat melupakan pertemuan mereka. Dunia yang ditunjukkan Rama begitu berbeda dari kehidupannya yang serba teratur. Ia merindukan kebebasan yang terpancar dari setiap goresan kuas Rama.

Tak butuh waktu lama, Alina kembali mengunjungi Rama di sudut jalan tempatnya melukis. Hari itu, ia mengenakan gaun sederhana, jauh dari kemewahan yang biasa ia kenakan. Ia ingin menyatu dengan dunia Rama, setidaknya untuk sementara.

“Rama…” Suara lembutnya membuyarkan konsentrasi pria itu.

Rama menoleh dan hatinya berdegup kencang saat melihat Alina berdiri di sana. Senyumannya yang hangat seakan membawa sinar matahari yang cerah. “Alina… Kau datang lagi?”

Alina tersenyum malu-malu. “Kau bilang setiap lukisan punya cerita… Aku ingin mendengar ceritanya.”

Rama tersenyum tipis dan mengangguk. Ia menunjukkan lukisan yang sedang dikerjakannya—lukisan seorang anak kecil yang bermain di bawah hujan. Wajahnya ceria, tangannya terbuka lebar menikmati tiap tetes hujan yang turun.

“Anak ini… mengingatkanku pada masa kecilku,” ujar Rama lirih. “Saat hujan datang, aku akan berlari keluar dan menari di bawahnya. Rasanya… bebas. Tak ada kekhawatiran, tak ada beban.”

Alina terdiam, matanya berkaca-kaca. “Aku tak pernah melakukan itu… Sejak kecil, aku selalu diajarkan untuk menjaga sikap, menjaga penampilan. Bahkan saat hujan, aku tak boleh keluar dan bermain. Hidupku penuh aturan.”

Rama menatap Alina dalam-dalam. Ia baru menyadari bahwa di balik senyuman anggunnya, Alina menyimpan luka yang dalam. Luka dari kehidupan yang tak pernah ia pilih.

“Kau tahu, Alina…” suara Rama pelan namun tegas, “kebahagiaan itu sederhana. Kadang, hanya dengan menari di bawah hujan, kita bisa merasa bebas.”

Alina tersenyum tipis. “Aku ingin merasakannya… kebebasan itu.”

Sejak saat itu, Alina semakin sering datang. Mereka berbicara tentang mimpi, harapan, dan ketakutan yang mereka pendam. Alina merasa bebas menjadi dirinya sendiri saat bersama Rama. Ia bisa tertawa lepas tanpa takut dihakimi.

Sementara itu, Rama menyadari bahwa Alina membawa warna baru dalam hidupnya. Ia yang dulu hanya hidup dalam kesederhanaan, kini merasakan kebahagiaan yang tak terjelaskan. Setiap kali Alina datang, dunia di sekitarnya terasa lebih indah.

Suatu hari, Alina datang membawa kotak bekal. “Aku tidak pandai memasak, tapi… aku ingin mencoba memasak untukmu,” ucapnya dengan malu-malu.

Rama tertegun. Ia tak pernah disiapkan makanan oleh siapa pun selain ibunya yang telah lama tiada. Perhatian kecil ini membuat hatinya berdesir. “Terima kasih, Alina… Aku sangat menghargainya.”

Mereka duduk di trotoar sambil menikmati bekal sederhana yang Alina buat. Tawa mereka berbaur dengan hiruk-pikuk jalanan.

Saat matahari mulai terbenam, Alina berdiri dan membuka kedua tangannya lebar-lebar, menatap langit senja yang indah. “Rama… Aku ingin bebas… Seperti senja ini… Seperti lukisanmu.”

Rama menatap Alina dengan perasaan yang sulit ia ungkapkan. Ia tahu, perasaannya mulai tumbuh. Ia jatuh cinta pada wanita ini—wanita yang berbeda dunia dengannya.

Namun, Rama sadar tembok besar berdiri di antara mereka: kasta dan status sosial.

“Cinta tak pernah memilih tempat untuk berlabuh, ia hanya mengikuti suara hati yang tulus.”

Senja itu, di bawah langit yang berwarna jingga, Rama berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan menjaga perasaan ini, meski hanya dalam diam.

Mereka berdiri berdampingan, menatap cakrawala yang perlahan ditelan malam. Di saat itulah Rama menyadari bahwa cintanya pada Alina adalah sesuatu yang tidak bisa ia hindari. Dan di saat yang sama, Alina menyadari bahwa bersama Rama, ia menemukan kebebasan yang selama ini ia cari.

Namun, mereka tak tahu bahwa cinta mereka akan diuji oleh kenyataan pahit yang akan datang.

Bab 3: Kenyataan yang Menampar

Hari itu, Alina pulang dengan senyum yang tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Perasaan ringan dan bahagia menyelimuti hatinya. Ia baru saja menghabiskan waktu dengan Rama, mendengarkan cerita-cerita indah di balik setiap lukisan yang dibuat dengan penuh perasaan.

Namun, senyumnya seketika memudar saat melihat ayahnya berdiri di depan pintu dengan wajah tegas dan dingin. Pria itu menatapnya dengan sorot mata tajam yang membuat jantung Alina berdegup kencang.

“Alina, kemana saja kau?” suaranya dalam dan berwibawa, penuh kecurigaan.

Alina terdiam, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Aku… aku hanya jalan-jalan, Ayah.”

Ayahnya mendekat, menatapnya tajam. “Jalan-jalan? Sampai bertemu dengan pelukis jalanan itu?”

Wajah Alina seketika pucat. “Bagaimana Ayah tahu?”

“Anak buahku melihatmu. Kau sering mengunjungi pelukis jalanan di sudut kota. Apa yang kau lakukan dengannya?!” suara ayahnya mulai meninggi, penuh amarah.

“Ayah… Dia hanya teman. Kami hanya berbicara dan…”

“Cukup!” Ayahnya membentak. “Teman? Dengan pria miskin seperti itu? Apakah kau lupa siapa dirimu, Alina? Kau adalah pewaris keluargaku! Kau tidak boleh bergaul dengan orang rendahan seperti dia!”

Alina merasakan hatinya terluka oleh kata-kata ayahnya. “Dia bukan orang rendahan… Dia orang baik, Ayah. Dia penuh bakat dan…”

“Diam!” suara ayahnya semakin keras. “Aku tidak peduli sebaik apa pun dia. Kau tidak akan bertemu dengannya lagi, titik!”

Alina tertegun. “Ayah… Ayah tidak bisa mengatur dengan siapa aku berteman!”

Ayahnya mendekat, sorot matanya semakin dingin. “Aku bisa, dan aku akan melakukannya. Mulai sekarang, kau tidak diizinkan keluar tanpa pengawalan. Aku tidak mau keluargaku dipermalukan karena ulahmu yang berteman dengan orang tak berkelas.”

Air mata mulai mengalir di pipi Alina. “Kenapa Ayah begitu kejam? Kenapa Ayah selalu mengatur hidupku?”

Ayahnya menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. “Kau akan segera dijodohkan dengan putra keluarga Wijaya. Itu sudah menjadi kesepakatan bisnis antara dua keluarga besar. Jangan nodai nama baik kita dengan bergaul dengan orang tidak jelas.”

Mata Alina membelalak. “Dijodohkan? Dengan siapa? Aku bahkan tidak mengenalnya!”

“Kau tidak perlu mengenalnya sekarang. Kau hanya perlu menurut. Semua ini demi masa depanmu dan kehormatan keluarga kita.”

Alina merasa dunianya runtuh. Ia tidak hanya dipisahkan dari Rama, tetapi juga dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Ia berlari ke kamarnya, mengunci pintu, dan menangis sejadi-jadinya.

Di dalam kamar, Alina menatap bayangannya di cermin. Ia melihat sosok yang cantik dan anggun, namun kosong dan terluka. Ia merasa seperti boneka yang dikendalikan oleh tali-tali tak kasat mata.

Sementara itu, Rama masih menunggu di sudut jalan tempat biasa mereka bertemu. Hari mulai gelap, namun Alina tak kunjung datang. Rama mencoba menghubungi Alina, namun tidak ada jawaban. Perasaannya mulai tidak tenang.

Keesokan harinya, Rama kembali menunggu di tempat yang sama, namun Alina tetap tidak muncul. Begitu pula keesokan harinya dan hari-hari setelahnya.

Rama mulai cemas dan gelisah. Ia merasa kehilangan sesuatu yang berharga. Perasaan rindu dan cemas bercampur menjadi satu, membuat dadanya terasa sesak.

Suatu hari, saat ia sedang melukis dengan pikiran yang melayang jauh, seorang pria berbadan tegap berdiri di depannya. Wajah pria itu keras dan tidak bersahabat.

“Kau Rama?” tanya pria itu dengan suara dingin.

Rama mengangguk, “Iya, ada yang bisa saya bantu?”

Pria itu menyodorkan amplop putih kepadanya. “Ini dari Tuan Arman, ayah Alina. Dia memintamu untuk menjauhi putrinya.”

Rama terkejut. Ia membuka amplop itu dan mendapati sejumlah uang yang sangat banyak. Lebih banyak dari yang pernah ia dapatkan dari menjual lukisan.

“Apa maksudnya ini?” tanya Rama dengan suara gemetar.

Pria itu menjawab dengan tegas, “Tuan Arman tidak ingin putrinya berhubungan dengan pelukis jalanan sepertimu. Ambil uang ini, dan jangan pernah temui Alina lagi.”

Hati Rama terasa remuk. Ia merasa terhina dan marah. “Aku tidak butuh uang ini. Aku hanya ingin tahu kabar Alina.”

Pria itu menyeringai sinis. “Dia baik-baik saja, dan kau tidak perlu mencemaskan dia lagi. Ingat, jauhi dia, atau hidupmu akan hancur.”

Rama mengepalkan tangan, menahan amarah yang meluap di dadanya. Ia menyadari satu hal: tembok yang memisahkan dirinya dan Alina jauh lebih besar dari yang ia kira.



Alina sebenarnya sedang dalam tekanan besar dan berusaha melawan keinginannya untuk bertemu Rama. Namun, demi keluarga dan nama baiknya, ia memilih untuk menjauh sementara, meski hatinya menangis.

Malam itu, Rama duduk di sudut jalan yang sunyi, memandangi kanvas kosong di depannya. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan inspirasi.

Ia tahu perasaannya pada Alina tidak akan mudah dilupakan, namun ia tak bisa melawan kenyataan yang memisahkan mereka.

Dengan tangan gemetar, Rama mulai melukis wajah Alina—senyuman yang selalu memberinya kehangatan dan semangat. Namun, senyuman itu kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau.

“Senja yang indah tak pernah abadi, begitu pula kebahagiaan yang kutemukan dalam dirimu.”

Rama menyadari, cintanya pada Alina tak akan mudah pudar. Namun, ia juga tahu bahwa cinta itu kini terhalang tembok kasta yang tak bisa ia runtuhkan dengan mudah.

Bab 4: Perjuangan Rama

Langit pagi mulai terang saat Rama membuka matanya. Ia menatap langit-langit kamar sempitnya yang retak dan pudar. Suara bising dari jalanan mulai terdengar, mengingatkannya pada kenyataan pahit yang harus ia hadapi.

Alina. Nama itu terus menghantui pikirannya. Sudah berminggu-minggu ia tidak melihat gadis itu, dan setiap hari terasa semakin menyakitkan. Rasa rindu bercampur dengan kesedihan yang mendalam.

Ia teringat dengan amplop berisi uang yang diberikan oleh utusan ayah Alina. Amplop itu masih tergeletak di sudut kamar, tak tersentuh. Uang itu terasa kotor dan penuh penghinaan. Namun, di dalam hati kecilnya, Rama tahu mengapa mereka memberinya uang.

Karena ia tidak cukup pantas untuk Alina.

Pagi itu, Rama memutuskan satu hal: Ia akan menjadi seseorang yang pantas untuk Alina. Ia akan mengubah hidupnya, bukan demi harga diri, tetapi demi cintanya yang tulus pada gadis itu.

Tanpa membuang waktu, Rama mulai bekerja lebih keras dari biasanya. Ia menjual lukisannya di lebih banyak tempat, bahkan sampai ke pasar seni yang ramai dan penuh persaingan. Ia mengasah kemampuannya dengan belajar teknik melukis baru dari buku-buku bekas yang ia beli di toko loak.

Tak jarang ia begadang hingga larut malam, menghabiskan waktu berjam-jam di depan kanvas untuk menyempurnakan setiap detail lukisan. Meski lelah, ia terus berjuang, mengingat senyuman Alina yang memberinya kekuatan.

“Ketika cinta menjadi alasan, tak ada lelah yang tak terbayar oleh harapan.”

Di saat yang sama, Alina merasa hidupnya semakin hampa. Hari-hari berlalu dengan rutinitas membosankan, terkurung dalam aturan yang membelenggu kebebasannya. Ia tidak pernah bisa keluar tanpa pengawalan, dan setiap gerak-geriknya diawasi dengan ketat.

Namun, yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia tidak bisa bertemu dengan Rama. Ia merindukan tawa hangatnya, pandangan matanya yang tulus, dan cerita-cerita sederhana yang selalu membuatnya merasa hidup.

Suatu hari, saat duduk di balkon kamarnya, Alina menatap langit senja yang berwarna jingga kemerahan. Ia teringat pada lukisan Rama yang menggambarkan keindahan senja dengan begitu nyata. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.

“Aku merindukanmu… Rama…” bisiknya lirih.

Namun, Alina sadar bahwa cintanya pada Rama adalah sesuatu yang tidak akan diterima oleh keluarganya. Ia berada di antara dua pilihan yang sama sulitnya: Membuat keluarganya kecewa atau mengorbankan cintanya.

Sementara itu, perjuangan Rama mulai membuahkan hasil. Lukisan-lukisannya mulai dikenal di kalangan kolektor seni lokal. Ia bahkan diundang untuk mengikuti pameran seni kecil-kecilan di galeri seni kota.

Di pameran itu, Rama berdiri di antara para pelukis ternama yang jauh lebih berpengalaman. Ia merasa gugup dan canggung, namun tekadnya lebih besar dari rasa takutnya. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa berhasil, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Alina.

Tak disangka, seorang kurator seni mendekatinya dan mengagumi lukisan-lukisannya yang penuh emosi. “Kau punya bakat yang luar biasa. Lukisanmu berbeda… Ada jiwa di dalamnya.”

Rama tersenyum tipis. “Setiap lukisan punya cerita… dan aku melukis dengan hati.”

Kurator itu menawarkan untuk menjual lukisan-lukisan Rama di galeri ternama. Rama hampir tak percaya, namun ia menerima tawaran itu dengan penuh syukur.

Sejak saat itu, nama Rama mulai dikenal sebagai pelukis muda yang berbakat. Lukisan-lukisannya terjual dengan harga yang cukup tinggi, dan ia mulai menghasilkan lebih banyak uang. Ia menggunakan uang itu untuk memperbaiki hidupnya dan membantu tetangga-tetangga yang kesulitan.

Namun, meski kesuksesan mulai menghampirinya, Rama masih merasa ada kekosongan di hatinya. Semua perjuangan ini ia lakukan demi Alina, namun gadis itu masih belum ia temui.

Suatu malam, saat berdiri di depan kanvas kosong, Rama memejamkan mata dan membayangkan wajah Alina. Senyuman lembut dan sorot mata penuh harapan yang selalu memberinya kekuatan.

“Alina… aku akan menjadi seseorang yang pantas untukmu. Aku berjanji.”

“Cinta bukan hanya perasaan, tapi juga perjuangan untuk menjadi yang terbaik bagi yang dicintai.”

Dengan semangat yang berkobar, Rama mulai melukis wajah Alina. Setiap goresan kuasnya penuh dengan kerinduan dan harapan. Ia tahu, suatu hari nanti, Alina akan melihat lukisan ini dan mengerti betapa besar cintanya.

Namun, Rama tidak tahu bahwa di balik kesuksesan yang mulai diraihnya, ada rencana jahat yang sedang disusun oleh ayah Alina.


Ayah Alina mengetahui kesuksesan Rama dan berencana menghancurkan kariernya sebelum Rama bisa mencapai status yang setara dengan keluarga mereka. Ia menyewa orang untuk menyabotase pameran berikutnya agar reputasi Rama hancur di dunia seni.

Malam itu, Rama menyelesaikan lukisan wajah Alina yang terlihat begitu nyata. Senyuman gadis itu terpancar begitu indah, seolah-olah Alina sedang menatapnya dengan penuh cinta.

Namun, Rama tidak menyadari bahwa badai besar sedang menghampiri hidupnya. Badai yang akan menguji keteguhan cintanya pada Alina dan perjuangannya untuk menjadi pantas bagi gadis itu.

Bab 5: Pertemuan Rahasia

Senja mulai meredup ketika Alina berhasil menyelinap keluar dari rumah mewahnya. Hatinya berdegup kencang, penuh kegelisahan dan harapan yang bercampur aduk. Ia tahu bahwa perbuatannya sangat berisiko. Jika ketahuan, hukuman dari ayahnya pasti berat. Tapi kerinduannya pada Rama terlalu kuat untuk ditahan.

Dengan langkah hati-hati, Alina menyusuri jalanan kecil yang sepi, menyembunyikan wajahnya di balik syal tebal. Angin sore menerpa wajahnya, membawa aroma kebebasan yang sudah lama ia rindukan.

Ketika sampai di sudut jalan tempat Rama biasa melukis, Alina tertegun melihat pria itu sedang berdiri di depan kanvas, melukis senja dengan penuh konsentrasi. Tangan Rama bergerak lincah, menyapukan warna oranye dan merah muda ke kanvas, menciptakan keindahan senja yang begitu nyata.

“Rama…” panggil Alina dengan suara lirih.

Rama terkejut dan hampir menjatuhkan kuasnya. Ia berbalik dan melihat Alina berdiri di sana, tersenyum dengan tatapan lembut yang selalu ia rindukan.

“Alina… Kau datang?” suara Rama bergetar, antara bahagia dan tak percaya.

Alina mengangguk pelan. “Aku sangat merindukanmu… Aku tidak peduli dengan semua aturan itu. Aku hanya ingin melihatmu.”

Rama menatap Alina dengan sorot mata penuh kehangatan. “Aku pikir… aku takkan pernah melihatmu lagi.”

Mereka berdiri dalam keheningan yang begitu dalam, seolah-olah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua. Di balik rasa rindu yang meluap-luap, Rama merasakan ketakutan akan kenyataan pahit yang memisahkan mereka.

“Aku tahu ini berbahaya… Tapi aku tidak peduli. Aku ingin bersamamu, Rama,” ucap Alina sambil menatap dalam-dalam ke mata Rama.

Rama terdiam sejenak. “Alina… aku tidak ingin kau dalam masalah karena aku. Keluargamu… mereka pasti tidak akan menyetujui hubungan kita.”

Alina mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah dan kesedihannya. “Aku lelah, Rama. Aku lelah hidup dalam aturan dan batasan. Hanya bersamamu, aku merasa bebas… merasa hidup.”

Rama merasakan hatinya bergetar. Ia tahu perasaan Alina tulus, sama seperti perasaannya yang begitu dalam pada gadis itu.

“Aku juga mencintaimu, Alina… Tapi dunia kita terlalu berbeda. Aku hanya pelukis jalanan, sementara kau adalah pewaris keluarga terpandang.”

Alina menggenggam tangan Rama erat-erat. “Cinta tidak peduli tentang kasta atau status sosial, Rama. Cinta hanya peduli pada hati.”

“Cinta sejati adalah keberanian untuk melawan dunia demi satu hati yang berharga.”

Rama terdiam, terharu oleh keteguhan hati Alina. Ia tahu bahwa gadis ini siap menghadapi apa pun demi cinta mereka.

Mereka duduk di bangku kayu yang berada di bawah pohon besar, berbagi cerita dan tawa yang begitu dirindukan. Senja mulai berubah menjadi malam, namun kehangatan di antara mereka tidak memudar.

“Aku ingin hidup bebas bersamamu, Rama… Tanpa batasan, tanpa aturan,” bisik Alina sambil menyandarkan kepalanya di bahu Rama.

Rama menghela napas panjang. “Jika kau benar-benar menginginkan itu, aku berjanji akan memperjuangkan kita… Apapun yang terjadi.”

Alina tersenyum bahagia. “Aku percaya padamu, Rama.”

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Dari kejauhan, seorang pria berjas hitam memperhatikan mereka dengan tatapan tajam. Ia mengambil ponsel dari sakunya dan berbicara dengan nada serius.

“Tuan Arman… Saya menemukan Nona Alina. Dia bersama pelukis jalanan itu.”

Seketika, kebahagiaan Alina dan Rama berubah menjadi ancaman yang nyata. Mereka tidak tahu bahwa ayah Alina telah mengutus orang untuk mengawasi setiap gerak-geriknya.

Keesokan harinya, Alina dipanggil ke ruang kerja ayahnya. Pria itu berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan wajah keras. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan semalam?”

Alina merasa dadanya berdegup kencang. “Ayah…”

“Berani sekali kau melanggar perintahku dan menemui pria miskin itu! Kau benar-benar mengecewakanku, Alina!” suaranya keras dan penuh kemarahan.

Alina mencoba membela diri. “Ayah, aku mencintainya… Rama bukan orang jahat. Dia pria yang baik dan tulus.”

Ayahnya berbalik, menatap Alina dengan sorot mata tajam. “Cinta? Apa yang kau tahu tentang cinta? Cinta tidak akan memberimu masa depan! Pria itu tidak pantas untukmu!”

“Ayah… Cinta tidak memandang status atau kekayaan! Kenapa Ayah tidak bisa mengerti?” Alina mulai menangis.

“Tutup mulutmu! Mulai sekarang, kau tidak diizinkan keluar rumah sampai hari pernikahanmu tiba!”

Alina terkejut. “Pernikahan? Ayah… tidak mungkin… Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak kucintai!”

Ayahnya menghentakkan kakinya dengan keras. “Pernikahan ini adalah untuk kepentingan bisnis keluarga kita! Kau tidak punya pilihan!”

Alina jatuh terduduk. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia dipaksa menikah dengan pria yang tidak ia cintai dan dipisahkan dari Rama selamanya.

“Terkadang, cinta adalah perjuangan melawan takdir yang sudah digariskan oleh dunia.”

Malam itu, Alina menangis dalam kesepian. Ia merasa terperangkap dalam sangkar emas yang tak bisa ia hancurkan.

Sementara itu, Rama menunggu di sudut jalan dengan hati penuh harapan. Ia percaya pada janji mereka untuk memperjuangkan cinta. Namun, Alina tak pernah datang lagi.

Di sudut malam yang sunyi, Rama menyadari satu hal: Cinta mereka tidak hanya terhalang oleh kasta, tapi juga oleh takdir yang kejam.

Namun, Rama tidak akan menyerah. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus memperjuangkan cinta ini, meski harus melawan dunia yang tidak berpihak pada mereka.

Bab 6: Ancaman dan Pengorbanan

Hari-hari berlalu dalam kesunyian yang menyakitkan bagi Rama. Setiap sore ia duduk di sudut jalan yang sama, menunggu kehadiran Alina yang tak pernah datang lagi. Hatinya terasa hampa, seolah-olah sebagian jiwanya hilang bersama gadis itu.

Namun, Rama tidak menyerah. Ia terus bekerja keras, melukis dengan segenap perasaan yang bercampur aduk—rindu, sedih, dan harapan yang mulai memudar.

Di tengah kesibukannya melukis, seorang pria berdiri di depannya. Pria berjas hitam yang pernah datang membawa amplop berisi uang dan ancaman. Kali ini, wajah pria itu terlihat lebih dingin dan menakutkan.

“Kau masih belum mengerti, ya?” suara pria itu rendah namun penuh ancaman. “Sudah kubilang, jauhi Alina.”

Rama mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah yang membara di dadanya. “Aku tidak peduli dengan ancamanmu. Aku mencintainya.”

Pria itu tersenyum sinis. “Cinta? Cinta tidak akan menyelamatkan hidupmu, anak miskin.”

Tanpa peringatan, pria itu meraih kanvas yang sedang dikerjakan Rama dan merobeknya dengan brutal. Cat yang masih basah tumpah, mencoreng-coreng jalanan dengan warna-warna yang kacau.

Rama terperangah. “Apa yang kau lakukan?!”

“Kau pikir kau bisa terus melukis dan bertemu dengan Alina?” Pria itu melanjutkan, menghancurkan semua kanvas yang ada di sana. “Kau tak akan bisa jadi pelukis terkenal. Kau tak akan pernah cukup pantas untuknya!”

Hati Rama terasa seperti ditusuk ribuan pisau. Semua usahanya, semua lukisannya, dihancurkan dalam sekejap. Ia merasa marah, sedih, dan tidak berdaya.

Pria itu menatap Rama dengan sorot mata dingin. “Ini peringatan terakhir. Jika kau masih mencoba bertemu Alina… Kami tidak akan segan-segan menghancurkan hidupmu.”

Setelah berkata demikian, pria itu pergi, meninggalkan Rama yang terduduk lemas di tengah kanvas-kanvas robek yang berserakan. Air mata jatuh dari sudut matanya.

Di tempat lain, Alina terkurung di dalam kamarnya. Ayahnya mengawasi setiap gerak-geriknya dengan ketat. Ia bahkan tidak diizinkan keluar rumah. Setiap hari, Alina hanya bisa menatap jendela kamarnya, berharap bisa melihat Rama sekali lagi.

Namun, kenyataan yang dihadapinya jauh lebih pahit. Ia tidak hanya dipisahkan dari Rama, tapi juga dipaksa menikah dengan pria yang tidak ia cintai.

Suatu malam, Alina mencoba kabur dari rumah. Ia memanjat jendela dan melompati pagar belakang dengan susah payah. Tapi sebelum ia bisa pergi jauh, para penjaga mengepung dan menangkapnya.

“Apa yang kau pikirkan, Alina? Berani-beraninya kau melawan kehendakku?” Ayahnya membentak dengan suara penuh kemarahan.

“Ayah… Kumohon… Jangan pisahkan aku dengan Rama. Aku mencintainya…” Alina menangis sambil memohon.

Ayahnya menatapnya dengan sorot mata tajam. “Kau tidak tahu apa yang terbaik untukmu. Aku melakukan ini untuk kebaikanmu. Pria itu hanya akan menghancurkan masa depanmu.”

“Ayah salah… Rama adalah pria baik. Dia mencintaiku dengan tulus…” Alina mencoba meyakinkan, namun ayahnya tetap tidak peduli.

“Mulai sekarang, kau tidak akan meninggalkan rumah ini sampai hari pernikahanmu tiba!” Ayahnya mengunci Alina di dalam kamar dan memasang penjaga di depan pintu.

Alina jatuh terduduk di lantai, menangis dalam keputusasaan. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas yang tak pernah bisa terbang bebas.

Di tengah malam yang sunyi, Alina berdiri di balik jendela, menatap langit malam yang penuh bintang. “Rama… Maafkan aku… Aku tidak bisa melawan takdir yang memisahkan kita.”

Sementara itu, Rama mulai kehilangan semangat. Ia merasa terpuruk dan tak berdaya. Lukisan-lukisan yang selama ini menjadi pelariannya kini hancur berantakan.

Namun, di tengah keputusasaannya, Rama mengingat janji yang pernah ia ucapkan pada Alina. Janji untuk memperjuangkan cinta mereka, apa pun yang terjadi.

Ia tidak bisa menyerah sekarang. Cinta yang ia miliki terlalu kuat untuk dikalahkan oleh ancaman atau kekayaan.

Keesokan harinya, Rama bangkit dengan tekad yang lebih besar. Ia mulai melukis lagi, meski tanpa kanvas dan cat yang layak. Ia menggunakan sisa-sisa bahan yang masih bisa dipakai.

Rama bahkan melukis di dinding-dinding jalanan, mencurahkan semua perasaannya dalam setiap goresan. Wajah Alina terpampang di sana, terlihat begitu nyata dengan senyum lembut yang selalu memberinya kekuatan.

Suatu hari, saat sedang melukis di dinding kota, seorang kolektor seni melihat karyanya dan terpesona oleh keindahan lukisan tersebut. “Siapa yang melukis ini?” tanya pria itu penuh kekaguman.

Orang-orang mulai mencari tahu tentang pelukis jalanan yang penuh bakat itu. Nama Rama mulai dikenal luas sebagai seniman jalanan yang penuh emosi dan cerita di balik setiap lukisannya.

Namun, ancaman datang lagi. Pria berjas hitam datang untuk kedua kalinya, kali ini dengan cara yang lebih kejam. Mereka merusak dinding-dinding yang dilukis Rama, mencoret-coret dengan cat hitam untuk menghancurkan karyanya.

Melihat semua lukisannya dirusak, Rama merasa hancur. Ia mulai merasa bahwa perjuangannya sia-sia. Namun, saat hendak menyerah, ia menemukan sebuah surat di dinding yang berhasil diselamatkan dari kerusakan. Surat dari Alina yang menyatakan bahwa ia tidak akan pernah menyerah pada cinta mereka, meski dunia menentang mereka.

Rama menangis haru. Surat itu memberinya kekuatan baru. Ia berjanji akan terus melukis dan memperjuangkan cinta mereka, meski harus melawan dunia.

“Cinta bukan tentang seberapa kuat kau bertahan, tapi seberapa besar kau berani memperjuangkannya.”

Dengan semangat yang berkobar, Rama melukis kembali di dinding yang sama. Ia melukis wajah Alina dengan senyuman yang lebih indah dari sebelumnya.

Cinta mereka mungkin terhalang tembok kasta, tapi tidak ada yang bisa menghalangi perasaan mereka yang begitu kuat.

Rama sadar, perjuangannya masih panjang, namun ia siap menghadapi apa pun demi Alina. Cinta mereka tidak akan pernah padam, meski dunia berusaha memadamkannya.

Bab 7: Luka yang Dalam

Hari itu, hujan turun dengan derasnya. Langit kelabu seolah-olah turut merasakan kepedihan di hati Rama. Ia berdiri di depan dinding yang dulu dipenuhi lukisan wajah Alina, namun kini telah dihancurkan dengan coretan hitam yang brutal.

Rama merasakan dadanya sesak. Semua usahanya untuk memperjuangkan cinta mereka seakan sia-sia. Ia merasa dipermainkan oleh takdir yang kejam.

Namun, meski lukisannya hancur, cinta Rama pada Alina tidak pernah pudar. Ia tahu bahwa Alina pun sedang berjuang melawan tekanan keluarganya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Rama menoleh dan mendapati seorang pria muda berdiri di belakangnya. Pria itu terlihat rapi dengan setelan jas mahal.

“Kau Rama?” tanya pria itu dengan suara tenang namun penuh kewibawaan.

“Iya. Siapa kau?” Rama menjawab dengan nada waspada.

Pria itu tersenyum tipis. “Aku Arya… tunangan Alina.”

Darah Rama seketika berdesir. Kata ‘tunangan’ terasa seperti pisau yang menusuk jantungnya. “Tunangan…?”

Arya mengangguk. “Ya, aku akan menikahi Alina bulan depan. Kau pasti tahu tentang perjodohan ini, bukan?”

Rama menggertakkan gigi, mencoba menahan emosinya. “Aku tahu… Tapi Alina tidak mencintaimu.”

Arya tersenyum sinis. “Cinta? Kau pikir cinta bisa mengubah kenyataan? Alina adalah pewaris keluarga terpandang, dan aku adalah pasangan yang tepat baginya. Kau hanyalah pelukis jalanan. Jangan bermimpi terlalu tinggi.”

“Aku tidak peduli dengan status atau kekayaan. Yang aku tahu, aku mencintainya, dan dia mencintaiku!” Rama berseru dengan suara bergetar penuh emosi.

“Aku tidak peduli seberapa besar cinta kalian. Pada akhirnya, Alina akan menjadi milikku.” Arya mendekat, menatap Rama dengan tatapan meremehkan. “Kau harus tahu diri. Alina tidak pantas untukmu.”

Rama mengepalkan tangan, namun ia tahu bahwa perkelahian tidak akan menyelesaikan apa pun. “Aku akan terus memperjuangkan Alina… Apapun yang terjadi.”

Arya tersenyum dingin. “Baiklah… Kalau begitu, lihat saja bagaimana aku menghancurkan hidupmu.”

Tanpa berkata-kata lagi, Arya pergi dengan angkuh, meninggalkan Rama yang terduduk lemas di bawah hujan deras.

Di tempat lain, Alina terkurung di kamarnya. Ia merasa seperti tahanan di rumahnya sendiri. Pernikahannya dengan Arya sudah ditentukan dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menolaknya.

Alina teringat senyuman hangat Rama, tawa lepasnya yang selalu membuat hatinya tenang. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merindukan pria itu lebih dari apapun di dunia ini.

Namun, kenyataan yang dihadapinya terlalu pahit. Ia tidak hanya dipisahkan dari Rama, tapi juga dipaksa menikah dengan pria yang tidak ia cintai.

Malam itu, Alina duduk di samping jendela, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. “Rama… Maafkan aku… Mungkin kita memang tidak ditakdirkan bersama.”

Sementara itu, Rama berusaha melupakan pertemuannya dengan Arya. Ia mencoba melukis lagi, namun pikirannya terus dibayang-bayangi oleh kata-kata Arya yang penuh penghinaan.

Di tengah keputusasaan, seorang pria datang menghampirinya. Pria yang sama yang pernah datang membawa ancaman dari ayah Alina.

“Kau tidak pernah menyerah, ya?” Pria itu menatap Rama dengan tatapan dingin. “Kau benar-benar keras kepala.”

Rama berdiri dengan tegas. “Aku tidak akan menyerah… Aku mencintai Alina.”

Pria itu menghela napas panjang. “Kau benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti. Baiklah, ini peringatan terakhir.”

Tanpa peringatan, pria itu mendorong Rama hingga jatuh tersungkur. Kemudian, pria itu mengeluarkan pisau dan menggores tangan Rama dengan cepat. Darah mengalir deras dari luka di lengannya.

Rama meringis kesakitan, namun ia tidak menjerit. Ia menatap pria itu dengan sorot mata penuh kebencian. “Kau pikir luka ini bisa menghentikanku?”

Pria itu menyeringai. “Tidak… Tapi ini bisa menghancurkan karirmu. Kau takkan bisa melukis lagi dengan tangan yang terluka.”

Setelah berkata demikian, pria itu pergi, meninggalkan Rama yang tergeletak di tanah dengan tangan berlumuran darah.

Malam itu, Rama menahan rasa sakit sambil menatap tangan kanannya yang terluka parah. Ia mencoba menggenggam kuas, namun tangannya gemetar dan rasa sakit yang luar biasa menyengat sarafnya.

Rama menyadari satu hal: Mereka tidak hanya mencoba memisahkannya dari Alina, tapi juga menghancurkan impiannya sebagai pelukis.

Hatinya hancur berkeping-keping. Ia merasa tidak hanya kehilangan Alina, tetapi juga kehilangan mimpinya.

Sementara itu, Alina tidak tahu bahwa Rama terluka parah dan sedang berjuang sendirian. Ia hanya bisa mendoakan kebahagiaan untuk pria yang selalu ia cintai, meski tak bisa bersamanya.

Di malam yang gelap dan sunyi, dua hati yang saling mencintai terpisah oleh tembok kasta yang tak terlihat, namun begitu kuat menghancurkan impian mereka.

Alina menemukan surat dari Rama yang disembunyikan oleh ayahnya. Dalam surat itu, Rama menuliskan janjinya untuk memperjuangkan cinta mereka. Alina sadar bahwa cinta mereka terlalu kuat untuk dikalahkan oleh aturan dunia yang kejam.

Dengan tekad yang bulat, Alina berencana melarikan diri dan mencari Rama. Namun, saat ia berhasil kabur, ia menemukan Rama dalam keadaan terluka dan patah semangat.

“Cinta sejati bukan tentang selalu bersama, tapi tentang memperjuangkan kebahagiaan orang yang kau cintai.”

Pertemuan mereka yang penuh air mata dan rasa sakit menjadi awal dari perjuangan yang lebih besar. Mereka berjanji untuk saling memperjuangkan cinta ini, meski dunia terus berusaha memisahkan mereka.

Bab 8: Kebenaran yang Terungkap

Alina duduk di tepi ranjang dengan hati yang gelisah. Matanya sembab akibat tangisan yang tak pernah berhenti. Pikirannya terus melayang pada Rama, pria yang ia cintai namun tak bisa ia temui. Ia merasa terperangkap dalam sangkar emas yang semakin hari semakin menghimpit kebebasannya.

Suatu hari, saat Alina sedang termenung di balkon kamarnya, seorang pelayan datang membawakan teh hangat. Pelayan itu adalah Nisa, sahabat kecil Alina yang sudah bekerja di rumah keluarganya sejak lama. Nisa tahu semua rahasia Alina, termasuk tentang Rama.

“Nona Alina… Mengapa Anda terlihat begitu sedih?” tanya Nisa dengan nada khawatir.

Alina menghela napas dalam-dalam. “Nisa… Aku merindukan Rama. Aku ingin bertemu dengannya, tapi Ayah mengurungku di sini…”

Nisa terdiam sejenak sebelum akhirnya berbisik pelan, “Nona… Ada sesuatu yang perlu Anda ketahui.”

Alina menatap Nisa dengan tatapan penasaran. “Apa itu?”

Nisa membuka sebuah surat lusuh dari saku bajunya dan memberikannya kepada Alina. “Saya menemukan surat ini di kamar kerja Tuan Arman. Sepertinya dari Tuan Rama.”

Dengan tangan gemetar, Alina membuka surat itu dan mulai membaca. Setiap kata yang tertulis di sana membuat hatinya berdebar kencang.

Alina,
Aku tidak tahu apakah surat ini akan sampai kepadamu, tapi aku harus mencoba.
Aku tidak peduli dengan perbedaan kasta atau status sosial. Yang aku tahu, aku mencintaimu dengan segenap hatiku.
Jika kau merasakan hal yang sama, temui aku di tempat biasa kita bertemu.
Aku akan menunggumu, Alina… Seberat apa pun rintangan yang menghadang, aku tidak akan menyerah.
Dengan cinta yang tak pernah pudar,
Rama

Air mata Alina jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia merasakan perasaan bahagia sekaligus sedih yang membingungkan. “Rama… Dia tidak pernah meninggalkanku. Dia masih berjuang untukku…”

Nisa mengangguk pelan. “Tuan Arman menyembunyikan surat itu agar Nona tidak bisa bertemu Tuan Rama. Maafkan saya karena baru memberitahukannya sekarang.”

Alina merasakan amarah yang membara di dadanya. Ayahnya telah membohonginya dan berusaha memisahkannya dari Rama dengan cara yang kejam.

“Aku harus menemuinya… Aku harus pergi ke sana,” tekad Alina bulat. Ia tak peduli dengan semua aturan yang mengikatnya. Cinta Rama memberinya kekuatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Dengan bantuan Nisa, Alina menyelinap keluar dari rumahnya saat malam tiba. Mereka berhasil mengelabui para penjaga dan berlari menuju tempat biasa Alina dan Rama bertemu.

Namun, saat sampai di sana, Alina terkejut melihat Rama terduduk lemas di sudut jalan, dengan tangan kanannya yang terbalut perban berdarah. Wajahnya pucat dan terlihat sangat lemah.

“Rama!” Alina berlari menghampirinya, tak kuasa menahan tangis saat melihat kondisi Rama yang terluka parah.

Rama mendongak dengan lemah dan terkejut melihat Alina berdiri di depannya. “Alina… Kau… datang?”

Alina menangis sambil memeluk Rama dengan erat. “Maafkan aku… Maafkan aku karena tidak datang lebih cepat. Aku baru tahu tentang suratmu…”

Rama tersenyum tipis meski rasa sakit menusuk tangannya. “Aku pikir… kau sudah melupakanku.”

“Aku tidak pernah melupakanmu, Rama. Aku mencintaimu… Aku selalu mencintaimu,” suara Alina bergetar penuh emosi.

Rama menghela napas lega. “Aku juga mencintaimu, Alina… Tapi dunia kita terlalu berbeda…”

Alina menggenggam tangan Rama erat-erat. “Aku tidak peduli dengan perbedaan itu. Kita bisa melawan dunia ini bersama-sama.”

Namun, Rama terdiam. Ia ingat dengan ancaman dari Arya dan ayah Alina yang terus menghantuinya. Ia tahu bahwa memperjuangkan cinta mereka berarti menantang kekuasaan dan kekayaan yang tak bisa ia lawan.

“Alina… Kau tidak tahu seberapa besar kekuasaan keluargamu. Mereka sudah menghancurkan hidupku… Mereka merusak lukisanku dan melukai tanganku agar aku tidak bisa melukis lagi…”

Alina terkejut dan merasa bersalah. “Apa? Siapa yang melakukan ini padamu?”

“Tunanganmu… Arya,” jawab Rama dengan suara lirih.

Mata Alina membelalak tak percaya. “Tidak… Tidak mungkin… Ayah bilang Arya adalah pria baik… Tapi dia menyakitimu…”

Rama mengangguk pelan. “Dia bilang, kau hanya miliknya… Dan aku tidak pantas untukmu.”

Alina merasa amarahnya semakin membara. Ia tidak menyangka bahwa orang yang dijodohkan dengannya adalah pria licik yang menghancurkan hidup Rama.

“Aku tidak akan menikah dengannya. Aku tidak akan menyerah pada cinta kita, Rama. Kita akan melawan mereka… Bersama-sama,” tekad Alina semakin kuat.

“Cinta bukan tentang selalu bersama, tapi tentang memperjuangkan kebahagiaan orang yang kau cintai.”

Mereka saling menatap dalam keheningan malam yang syahdu. Di bawah cahaya bulan yang redup, dua hati yang terluka menemukan kekuatan dalam cinta mereka yang tak tergoyahkan.

Namun, mereka tidak menyadari bahwa dari kejauhan, Arya memperhatikan mereka dengan tatapan penuh kebencian.

“Jadi kau masih berani menemui pria itu, Alina? Baiklah… Kalau begitu, aku akan menghancurkan kalian berdua.”

Arya berencana untuk menjebak Rama dengan tuduhan pencurian lukisan mahal. Ia bekerja sama dengan ayah Alina untuk menjatuhkan Rama secara hukum dan memisahkan mereka selamanya.

“Cinta sejati akan selalu menemukan jalan, meski harus melalui kegelapan yang paling dalam.”

Malam itu, Alina dan Rama berjanji untuk melawan dunia yang menentang cinta mereka. Mereka tidak tahu seberapa besar rintangan yang harus dihadapi, namun mereka siap menghadapinya bersama-sama.

Cinta mereka mungkin terhalang tembok kasta, namun tidak ada yang bisa menghentikan hati yang saling mencintai.

Bab 9: Melawan Tembok Kasta

Hari mulai beranjak siang ketika Alina memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya. Ia memasuki ruang kerja yang megah dengan hati yang penuh keberanian. Di dalam, ayahnya sedang duduk dengan wajah serius, membaca dokumen bisnis yang tebal.

“Ayah…” suara Alina lirih namun tegas.

Ayahnya mengangkat wajah, menatap Alina dengan sorot mata dingin. “Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat tegang?”

Alina menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan seluruh keberanian yang ia miliki. “Aku tidak mau menikah dengan Arya.”

Ayahnya terdiam, kemudian tertawa kecil dengan nada mengejek. “Apa katamu? Tidak mau menikah dengan Arya? Kau pikir ini permainan, Alina? Pernikahan ini adalah keputusan yang sudah aku buat untuk kebaikan keluarga kita.”

Alina mengepalkan tangan erat-erat, berusaha menahan emosinya. “Kebaikan keluarga? Atau hanya untuk menjaga reputasi dan kekayaan?”

Tatapan ayahnya berubah tajam. “Jaga bicaramu! Pernikahan ini bukan hanya soal kekayaan, tapi juga kehormatan. Keluarga kita tidak akan dipermalukan oleh skandal yang kau buat dengan pria miskin itu!”

“Ayah! Rama bukan pria jahat! Dia pria yang baik, pekerja keras, dan tulus! Dia mencintaiku dengan sepenuh hati!” Alina bersikeras, suaranya mulai bergetar.

Ayahnya berdiri dari kursi, menghentakkan tangannya ke meja dengan keras. “Kau tidak tahu apa yang terbaik untukmu! Pria itu tidak punya masa depan! Dia hanya pelukis jalanan yang tidak punya apa-apa!”

Air mata mulai mengalir di pipi Alina. “Mengapa Ayah selalu melihat seseorang dari harta dan status sosial? Mengapa Ayah tidak bisa melihat hati yang tulus?”

“Dunia ini kejam, Alina! Cinta tidak akan memberimu kehormatan atau kekayaan! Hanya kekuasaan dan status yang bisa membuatmu dihormati!” suara ayahnya bergetar penuh emosi.

Alina menggelengkan kepala dengan putus asa. “Jika itu yang Ayah anggap sebagai kebahagiaan, aku tidak mau hidup seperti itu! Aku ingin hidup dengan kebebasan… Dengan orang yang kucintai…”

Ayahnya terdiam sejenak, kemudian menatap Alina dengan tatapan dingin. “Jika kau memilih pria itu, kau bukan lagi putriku. Aku akan mencoret namamu dari keluarga kita, dan kau tidak akan mendapat apa pun.”

Hati Alina terasa remuk. Ia tidak pernah menyangka ayahnya akan setega itu padanya. Namun, cinta yang ia rasakan pada Rama terlalu kuat untuk dikalahkan oleh ancaman.

“Baiklah… Jika itu harga yang harus kubayar untuk cintaku pada Rama, aku rela. Aku akan pergi dari rumah ini dan menjalani hidupku sendiri.”

Ayahnya terkejut mendengar keputusan Alina. “Alina! Kau tidak tahu apa yang kau katakan! Tanpa dukungan keluargamu, kau tidak akan bisa hidup!”

Alina tersenyum pahit. “Aku lebih baik hidup dalam kesederhanaan namun penuh cinta, daripada terkurung dalam kemewahan tanpa kebahagiaan.”

Tanpa berkata-kata lagi, Alina berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerja ayahnya. Setiap langkahnya terasa berat, namun ia tidak menoleh ke belakang. Ia telah memilih jalannya sendiri.

Sementara itu, Rama berjuang untuk melanjutkan hidupnya. Tangannya masih terluka dan belum sepenuhnya pulih, namun semangatnya tidak pernah padam. Ia terus melukis meski dengan kesulitan, mencoba membuktikan pada dunia bahwa ia tidak akan kalah oleh keadaan.

Suatu sore, Alina datang ke tempat Rama biasa melukis. Mata mereka bertemu, dan tanpa berkata apa-apa, mereka saling berlari dan berpelukan erat.

“Aku meninggalkan segalanya untukmu, Rama… Keluarga, kekayaan, dan statusku… Semua itu tidak ada artinya tanpa dirimu di sisiku.” Alina menangis dalam pelukan Rama.

Rama terharu dan memeluk Alina lebih erat. “Alina… Aku tidak bisa memberimu kemewahan, tapi aku akan memberikan seluruh cintaku untukmu.”

“Cinta bukan tentang status atau harta, tapi tentang hati yang saling memperjuangkan.”

Mereka berdua sadar bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, namun cinta mereka memberi kekuatan untuk melawan segala rintangan.

Namun, di saat yang sama, Arya marah besar saat mengetahui bahwa Alina kabur dan memilih Rama. Dengan kekuasaan dan koneksi yang dimilikinya, Arya menjebak Rama dengan tuduhan pencurian lukisan mahal yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan.

Polisi datang dan menangkap Rama di depan Alina. Dengan tangan terborgol, Rama menatap Alina dengan tatapan sedih namun penuh cinta. “Aku tidak bersalah, Alina… Percayalah padaku.”

Alina menangis histeris. “Aku percaya padamu, Rama! Aku akan membebaskanmu! Aku janji…”

Namun, Rama dibawa pergi dan dipenjara dengan tuduhan pencurian yang direkayasa oleh Arya.

Alina berjuang sendirian untuk membersihkan nama Rama. Ia mendatangi semua galeri seni yang pernah memajang lukisan Rama dan meminta bantuan para kolektor seni yang mengenal karya-karya Rama.

Setelah perjuangan panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit, Alina berhasil menemukan bukti bahwa Arya yang menjebak Rama. Ia membawanya ke pengadilan dan membongkar semua kebohongan yang dibuat oleh Arya.

Arya akhirnya ditangkap dan dihukum atas kejahatannya, sementara Rama dibebaskan dari semua tuduhan.

Di hari kebebasan Rama, Alina menyambutnya dengan pelukan hangat dan air mata kebahagiaan. “Aku bilang kita akan melawan dunia ini bersama-sama, dan kita berhasil melakukannya…”

Rama tersenyum dan menghapus air mata di pipi Alina. “Kau adalah kekuatanku, Alina… Tanpamu, aku takkan bisa bertahan.”

“Cinta sejati bukan tentang selalu bersama, tapi tentang bertahan dalam badai dan tetap saling memperjuangkan.”

Di bawah langit senja yang indah, mereka berdiri berdua, menghadap masa depan yang masih penuh ketidakpastian.

Namun, mereka tidak takut lagi. Bersama-sama, mereka siap menghadapi apa pun yang datang.

Tembok kasta mungkin masih berdiri kokoh, namun cinta mereka telah melampaui batasan itu. Cinta yang tidak peduli pada status, kekayaan, atau kehormatan duniawi.

Cinta yang hanya peduli pada satu hal: Kebahagiaan bersama orang yang dicintai.

Bab 10: Cinta yang Melampaui Kasta

Hari itu, matahari bersinar cerah di langit biru yang luas. Angin bertiup sepoi-sepoi, membawa kehangatan yang menyelimuti kota. Alina berdiri di depan galeri seni yang megah dengan perasaan gugup sekaligus bahagia.

Galeri itu penuh dengan lukisan yang dipajang dengan indah di dinding-dinding putih bersih. Semua lukisan memiliki tema yang sama—kisah cinta yang melawan dunia, terlukis dalam warna-warna cerah yang penuh emosi.

Rama berjalan mendekati Alina dengan senyum lembut. “Terima kasih sudah datang… Pameran ini tidak akan lengkap tanpamu.”

Alina tersenyum bahagia, matanya berbinar. “Lukisan-lukisan ini… Semuanya tentang kita, ya?”

Rama mengangguk pelan. “Ya… Tentang kita yang melawan tembok kasta, tentang cinta yang tidak menyerah pada dunia yang kejam.”

Mereka berjalan beriringan, melihat satu per satu lukisan yang bercerita tentang perjalanan cinta mereka. Ada lukisan saat pertama kali mereka bertemu di sudut jalan, saat mereka saling tersenyum dalam kesederhanaan yang hangat.

Ada juga lukisan tentang perpisahan yang menyakitkan, tentang air mata dan perjuangan yang tak pernah berhenti. Namun, di ujung galeri, ada satu lukisan besar yang mencuri perhatian Alina.

Lukisan itu menggambarkan sepasang kekasih yang berdiri di bawah langit senja, saling menggenggam tangan dengan erat. Di belakang mereka, tembok tinggi yang retak dan hancur, melambangkan tembok kasta yang akhirnya runtuh oleh kekuatan cinta mereka.

Air mata mengalir di pipi Alina saat menatap lukisan itu. “Rama… Ini indah sekali…”

Rama tersenyum lembut sambil mengusap air mata di wajah Alina. “Karena kamu adalah inspirasiku… Tanpamu, aku tidak akan pernah bisa melukis dengan hati.”

Mereka berdiri berdua di depan lukisan itu, merasa bangga pada perjuangan yang telah mereka lalui. Semua pengorbanan, air mata, dan luka akhirnya terbayar dengan kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan harta atau kekuasaan

“Tembok kasta runtuh oleh cinta yang tak pernah lelah memperjuangkan kebahagiaan.”

Pameran seni itu sukses besar. Rama dipuji sebagai pelukis muda berbakat dengan karya-karya yang penuh emosi dan cerita yang menyentuh hati. Namanya mulai dikenal di dunia seni, dan ia berhasil meraih impiannya sebagai pelukis terkenal.

Namun, di balik kesuksesan itu, Rama tahu bahwa pencapaian terbesarnya adalah bisa memperjuangkan cintanya pada Alina.

Di malam yang syahdu, di bawah langit berbintang, Rama berdiri di tepi balkon bersama Alina. Angin malam bertiup lembut, membawa harum bunga yang mekar di taman.

Rama mengeluarkan kotak kecil dari sakunya dan membukanya di depan Alina. Di dalamnya, sebuah cincin sederhana dengan permata kecil yang berkilau.

“Alina… Aku mungkin tidak bisa memberimu kemewahan seperti yang dulu kau miliki. Hidup kita mungkin tidak akan mudah. Tapi aku berjanji akan selalu mencintaimu dan melindungimu seumur hidupku.”

Mata Alina berkaca-kaca. Ia menatap Rama dengan penuh cinta dan kebahagiaan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

“Rama… Kemewahan tidak pernah membuatku bahagia. Hanya cinta dan ketulusanmu yang bisa mengisi kekosongan di hatiku. Ya… Aku mau menikah denganmu.”

Rama menyematkan cincin itu di jari manis Alina, dan mereka berpelukan erat di bawah langit malam yang indah.

Di tengah kebahagiaan mereka, ayah Alina datang menghampiri. Pria tua itu terlihat lebih tenang dan damai daripada sebelumnya. Ia menatap putrinya dengan tatapan lembut yang belum pernah terlihat sebelumnya.

“Alina… Rama… Maafkan aku.” suaranya bergetar penuh penyesalan. “Aku terlalu keras dan egois. Aku tidak pernah mengerti arti kebahagiaan yang sebenarnya. Tapi sekarang, setelah melihat kalian berjuang dan saling memperjuangkan… Aku sadar bahwa cinta kalian lebih kuat dari apa pun di dunia ini.”

Alina terkejut, tak percaya mendengar kata-kata ayahnya. “Ayah… Kau… merestui kami?”

Ayahnya mengangguk pelan, air mata jatuh di pipinya. “Ya… Kalian pantas bahagia. Maafkan aku karena selama ini menjadi tembok yang memisahkan kalian.”

Rama membungkuk hormat. “Terima kasih, Pak… Aku janji akan menjaga Alina dengan sepenuh hati.”

Ayah Alina mengangguk sambil tersenyum. “Aku percaya padamu, Rama… Kau adalah pria yang kuat dan penuh ketulusan. Alina beruntung memilikimu.”

Malam itu, tembok kasta yang selama ini menghalangi cinta mereka runtuh sepenuhnya. Mereka merayakan kebebasan dan cinta yang akhirnya bisa bersatu tanpa batasan status sosial.

“Cinta yang diperjuangkan hingga akhir akan selalu menemukan jalan menuju kebahagiaan.”

Beberapa bulan kemudian, Rama dan Alina menikah dalam upacara sederhana namun penuh kebahagiaan. Mereka memilih untuk hidup dalam kesederhanaan, namun hati mereka selalu penuh cinta dan ketulusan.

Rama melanjutkan kariernya sebagai pelukis terkenal, sementara Alina mendukungnya dengan penuh kebanggaan. Mereka menjalani hidup dengan saling melengkapi dan memperjuangkan kebahagiaan bersama.

Di bawah langit senja yang berwarna jingga kemerahan, Rama dan Alina berdiri berdampingan di tepi pantai. Mereka menatap cakrawala yang indah sambil menggenggam tangan satu sama lain dengan erat.

“Tembok kasta tidak bisa mengalahkan cinta kita, Rama…” bisik Alina sambil tersenyum.

Rama menatap Alina dengan penuh kasih. “Karena cinta kita lebih kuat dari apa pun di dunia ini.”

Mereka berpelukan di bawah langit senja yang memukau, membuktikan bahwa cinta sejati bisa melampaui tembok kasta dan perbedaan dunia.

Cinta yang mereka perjuangkan hingga akhir membawa mereka pada kebahagiaan yang abadi.

“Ketika cinta dan keberanian bersatu, tak ada tembok yang bisa menghalangi kebahagiaan.”

Tamat.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *