Novel Singkat Pernikahan yang Tak Direncanakan
Novel Singkat Pernikahan yang Tak Direncanakan

Novel Singkat: Pernikahan yang Tak Direncanakan

Ara, seorang editor majalah fashion , dicintai oleh pertunangannya, Reza, di hari pernikahan mereka. Hancur dan kehilangan arah, Ara tanpa sadar menghabiskan malam dengan seorang pria asing yang ternyata adalah Raka , teman SMA yang diam-diam menyukainya sejak dulu.

Demi menghindari rasa malu di depan keluarga, Ara mengajukan kontrak pernikahan dengan Raka sebuah hubungan pura-pura yang seharusnya berakhir ketika semuanya sudah tenang. Namun, Raka yang awalnya hanya ingin membantu, justru benar-benar jatuh cinta pada Ara.

Saat Reza kembali dan menanyakan kesempatan kedua, Ara terjebak dalam dilema. Bolehkah ia memilih cinta lamanya yang telah menyakitinya atau cinta baru yang selalu ada untuknya?

Di tengah konflik batin dan luka masa lalu, Ara harus menghadapi kenyataan bahwa cinta sejati bukanlah tentang yang datang lebih dulu, tapi siapa yang bertahan hingga akhir.

Bab 1: Hari yang Seharusnya Indah

Hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupku. Seharusnya aku berdiri di depan altar, mengenakan gaun putih indah yang kubayangkan sejak kecil, menatap pria yang kucintai dengan mata berbinar. Seharusnya kami mengucapkan janji setia di depan keluarga dan sahabat, lalu hidup bahagia selamanya.

Tapi hidup, seperti biasa, selalu punya cara kejamnya sendiri.

Aku berdiri di ruang rias, menatap bayanganku di cermin. Gaun putih yang seharusnya bersinar kini tampak kelam dalam pandanganku. Tangan gemetar mencengkeram sepucuk surat yang baru saja diberikan oleh sahabatku, Dinda. Surat yang membuat seluruh duniaku hancur dalam sekejap.

“Maaf, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku mencintaimu, tapi tidak cukup untuk menjalani seumur hidup bersama. Kumohon, jangan mencariku. Hidupmu akan lebih baik tanpa aku.”

Tanganku meremas surat itu. Nafasku tersengal, dada terasa sesak. Rasanya seakan seluruh oksigen di ruangan ini menghilang. Tidak. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Reza meninggalkanku di hari pernikahan kami?

“Ara…” Dinda mendekat, suaranya bergetar. “Kita bisa melakukan sesuatu. Mungkin dia hanya bingung, mungkin dia akan kembali—”

Aku tertawa pahit. “Tidak ada yang kembali setelah menuliskan ini, Din. Dia pergi. Dia sudah memilih.”

Dinda terdiam. Aku bisa merasakan sorot matanya penuh simpati, tapi simpati tidak akan mengubah kenyataan. Aku ditinggalkan. Aku dikhianati.

Di luar, suara tamu yang mulai memenuhi gedung semakin jelas. Keluargaku, keluarga Reza, sahabat-sahabat kami, semuanya datang untuk menyaksikan pernikahan yang tidak akan pernah terjadi.

“Apa yang harus kulakukan sekarang?” suaraku bergetar, nyaris tak terdengar.

Dinda menggenggam tanganku. “Kita bisa bilang sesuatu. Kita bisa buat alasan—”

Aku menutup mata, menarik napas dalam, lalu perlahan melepasnya. Tidak. Tidak ada alasan yang bisa menyelamatkan harga diriku saat ini. Semua orang akan tahu. Semua orang akan mengasihani aku, membicarakanku di belakang. Gadis yang ditinggalkan di hari pernikahannya.

Aku tidak mau melihat tatapan mereka. Aku tidak mau mendengar bisikan mereka. Aku harus pergi dari sini.

Tanpa mengatakan apa pun lagi, aku membuka pintu ruang rias dan berjalan cepat ke luar. Langkahku terburu-buru melewati lorong-lorong sepi, gaun panjangku menyeret di lantai marmer. Aku tak peduli. Aku hanya ingin menjauh.

Saat aku mencapai pintu belakang gedung, udara dingin langsung menyambutku. Malam sudah turun, dan langit gelap seperti hatiku saat ini.

Ponsel di genggamanku bergetar. Aku melihat nama Mama di layar. Aku tahu dia pasti panik. Aku tahu dia pasti kecewa, marah, sedih. Tapi aku tidak bisa berbicara dengannya sekarang. Aku tidak bisa berbicara dengan siapa pun.

Aku mematikan ponselku dan berjalan tanpa tujuan. Aku tidak tahu harus ke mana. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Yang kutahu, aku tidak ingin merasakan apa pun saat ini.


Bar itu bukan tempat yang biasa kukunjungi. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku masuk ke tempat seperti ini. Musik berdentum, suara orang-orang yang tertawa dan bercakap-cakap memenuhi ruangan, aroma alkohol menyengat di udara.

Aku duduk di kursi bar, menatap kosong ke deretan botol di hadapanku.

“Apa yang bisa saya buatkan untuk Anda?” tanya bartender, seorang pria berusia tiga puluhan dengan senyum ramah.

Aku tidak tahu. Aku tidak pernah minum sebelumnya. Tapi malam ini, aku hanya ingin melupakan semuanya.

“Yang paling kuat,” jawabku pelan.

Bartender mengangkat alis, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Ia menuangkan cairan bening ke dalam gelas dan meletakkannya di hadapanku. Aku mengambilnya dengan tangan gemetar dan meneguknya tanpa berpikir panjang.

Panas. Membakar tenggorokan. Tapi juga anehnya, menenangkan.

Aku meneguk lagi. Dan lagi. Sampai dunia di sekitarku mulai terasa ringan, sampai beban di dadaku sedikit mereda.

Sampai aku tidak sadar lagi apa yang terjadi.

Ketika aku membuka mata, dunia terasa berputar. Cahaya matahari menyilaukan dari balik jendela, membuatku mengerjap pelan.

Aku mengerang, mencoba mengangkat kepala dari bantal. Kepalaku terasa berat, mulutku kering, tubuhku terasa aneh.

Dan saat aku sepenuhnya sadar, jantungku hampir berhenti berdetak.

Aku tidak sendirian.

Seorang pria berbaring di sampingku, tertidur nyenyak. Tubuhnya hanya ditutupi selimut, dan dadanya naik-turun dengan napas teratur.

Aku membeku.

Astaga, apa yang telah aku lakukan?

Aku menelan ludah, mencoba mengingat sesuatu—apa pun. Tapi kepalaku masih pusing, dan ingatanku kabur.

Aku menoleh perlahan menatap wajah pria itu. Dan saat itu juga, aku tersentak.

Aku mengenalnya.

Dia bukan orang asing.

Dia adalah seseorang dari masa laluku.

Seseorang yang seharusnya sudah kulupakan.

Raka…

Bab 2: Pria Asing dari Masa Lalu

Aku menahan napas, berusaha keras menenangkan diri.

Di sampingku, Raka masih tertidur nyenyak. Cahaya pagi yang menyelinap masuk melalui tirai jendela menyinari wajahnya yang terlihat tenang, seolah tidak ada masalah di dunia ini.

Berbeda denganku.

Pikiranku kacau. Tanganku gemetar saat aku mencoba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Yang terakhir kuingat, aku berada di bar, minum untuk pertama kalinya dalam hidupku, mencoba menghapus rasa sakit yang menghantamku begitu dalam.

Lalu…

Aku mengerang pelan, menekan pelipis dengan jari. Kepalaku berdenyut hebat, dan ingatan semalam masih samar. Tapi satu hal yang jelas—aku tidak sendirian di kamar ini.

Mataku kembali tertuju pada sosok pria di sampingku. Sekarang aku bisa melihatnya dengan lebih jelas. Wajahnya tidak asing. Mata tertutupnya, garis rahangnya yang tajam, rambutnya yang sedikit berantakan. Semua itu membawaku kembali ke masa lalu.

Ke SMA.

Ke seseorang yang dulu pernah menjadi bagian kecil dari hidupku.

Raka.

Aku menghela napas panjang, tubuhku terasa kaku. Sudah bertahun-tahun aku tidak melihatnya. Terakhir kali kami bertemu, mungkin saat kelulusan. Setelah itu, dia menghilang begitu saja dari hidupku.

Dan sekarang, tiba-tiba dia ada di sini.

Dalam satu ranjang denganku.

Astaga.

Aku harus pergi dari sini.

Pelan-pelan aku mengangkat selimut dan mencoba bangkit. Tapi baru saja aku menggerakkan kaki, suara serak dan dalam menghentikan gerakanku.

“Kemana?”

Aku membeku, namun pelan-pelan, aku menoleh.

Raka sudah bangun.

Matanya menatapku, masih sedikit mengantuk, tapi ekspresinya penuh kesadaran. Aku bisa merasakan tatapan itu menembusku, seolah dia bisa membaca semua kegelisahanku.

“Aku…” Aku kehilangan kata-kata. “Aku harus pulang.”

Raka menatapku beberapa detik sebelum menghela napas dan duduk di tempat tidur, meremas rambutnya.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya akhirnya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Baik-baik saja? Tentu saja tidak. Aku baru saja ditinggalkan di altar, mabuk semalaman, dan sekarang terbangun di kamar seorang pria yang sudah bertahun-tahun tidak kulihat.

Aku mengalihkan tatapan. “Apa yang terjadi tadi malam?”

Aku berharap dia akan menjawab dengan sesuatu seperti tidak ada yang terjadi, atau jangan khawatir, aku hanya mengantarmu pulang.

Tapi dia tidak mengatakan itu.

Sebaliknya, dia menatapku dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan sebelum akhirnya berbicara dengan nada pelan.

“Kau mabuk. Aku membawamu ke sini karena kau tidak bisa pulang sendiri.”

Aku menelan ludah, menunggu lanjutannya.

“Kita…” Aku menggigit bibir. “Kita melakukan sesuatu?”

Raka diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Ya.”

Jantungku berdegup kencang.

Aku mengalihkan pandangan, merasa dadaku semakin sesak.

“Tapi bukan karena aku memanfaatkanmu,” lanjutnya cepat. “Kau yang menginginkannya.”

Aku menoleh cepat, menatapnya dengan mata melebar. “Apa?”

Raka menatapku lekat-lekat. “Kau yang menarikku lebih dulu, Ara.”

Aku tidak bisa berkata-kata. Aku tidak ingat. Sama sekali.

Raka menghela napas dan menatap keluar jendela. “Aku tidak tahu kenapa kau melakukan itu. Tapi aku bisa menebak. Kau ingin melupakan seseorang, bukan?”

Aku terdiam.

Aku ingin menyangkal. Aku ingin mengatakan bahwa dia salah. Tapi aku tidak bisa. Karena dia benar.

Aku menunduk, menggigit bibirku sendiri. Rasa sesak itu kembali menghantam.

Reza.

Aku mengerjapkan mata, menahan air mata yang ingin keluar. Aku tidak boleh menangis. Tidak di depan Raka.

“Aku minta maaf,” bisikku pelan.

Raka menoleh, alisnya terangkat. “Kenapa minta maaf?”

“Aku… Aku tidak bermaksud menyeretmu ke dalam masalahku.”

Raka tersenyum kecil. “Kau tidak menyeretku ke mana pun. Aku yang memilih untuk tetap di sini.”

Aku menggigit bibir. Entah kenapa, jawaban itu terasa lebih dalam dari yang seharusnya.

Aku menghela napas panjang, lalu turun dari tempat tidur. Aku harus pergi sebelum situasi ini semakin canggung.

Aku baru saja meraih gaunku yang tergeletak di lantai ketika Raka berbicara lagi.

“Kau mau pulang ke mana?”

Aku terdiam, tubuhku menegang.

Ya… Aku mau pulang ke mana?

Aku tidak mungkin kembali ke rumah orang tuaku. Mereka pasti marah besar, kecewa, atau lebih buruk—mengasihaniku. Aku tidak bisa menghadapi itu sekarang.

Aku juga tidak bisa kembali ke apartemen yang seharusnya kutempati bersama Reza. Semua kenangan tentangnya ada di sana.

Aku tidak punya tempat lain.

Raka masih menatapku, seolah bisa membaca pikiranku.

“Kalau kau tidak tahu harus ke mana…” katanya pelan. “Tinggallah di sini.”

Aku menoleh cepat. “Apa?”

Raka menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, menatapku santai. “Sampai kau tahu harus ke mana.”

Aku mengerjapkan mata, tak percaya. “Aku tidak bisa.”

“Kenapa tidak?”

“Karena… karena ini tidak benar. Aku tidak bisa begitu saja tinggal di tempat seorang pria—”

“Seorang pria?” Raka menyeringai kecil. “Ara, kita sudah tidur bersama. Aku rasa tinggal di sini tidak akan lebih buruk dari itu.”

Aku terdiam. Pipi terasa panas.

Dia benar.

Aku mengalihkan pandangan, berpikir keras. Ini gila. Ini tidak masuk akal. Tapi aku tidak punya pilihan lain.

“Aku akan tinggal sementara.”

Raka tersenyum kecil, dan aku merasakan sesuatu dalam tatapannya.

Seolah dia tahu… bahwa ini bukan sekadar ‘sementara’.

Bab 3: Pernikahan Kontrak

Aku menatap bayangan diriku di cermin kamar mandi. Wajahku pucat, mataku sembab, dan rambutku berantakan. Ini bukan diriku yang biasa.

Aku, Ara, perempuan yang selalu punya rencana dalam hidup, kini terjebak dalam situasi paling absurd.

Semalam aku tidur dengan seseorang yang bertahun-tahun lalu hanya sekadar teman SMA. Dan pagi ini, aku menerima tawarannya untuk tinggal di apartemennya—karena aku tidak punya tempat lain untuk pergi.

Aku menghela napas.

“Apa yang kupikirkan?” gumamku pada diri sendiri.

Dari luar, terdengar suara Raka. “Kau sudah selesai?”

Aku terlonjak. Suaranya begitu dekat, padahal aku baru saja menenangkan diri.

“Sebentar!” Aku buru-buru mencipratkan air ke wajahku, berharap kesadaranku kembali sebelum menghadapi dunia di luar pintu ini.

Begitu aku keluar, Raka sudah berdiri di depan dapur kecilnya, menuangkan kopi ke dalam dua cangkir. Dia masih mengenakan kaus hitam dan celana tidur, terlihat sangat santai, seolah yang terjadi semalam bukan masalah besar baginya.

“Ayo sarapan,” katanya sambil melirikku. “Kau butuh makan setelah drama besar kemarin.”

Aku diam saja, melangkah pelan ke meja makan kecil itu. Duduk berhadapan dengannya, aku bisa mencium aroma kopi yang menenangkan.

“Kau masih syok?” tanyanya, menyesap kopinya dengan tenang.

Aku menghela napas. “Aku masih tidak percaya ini terjadi.”

Raka tersenyum tipis. “Sama.”

Aku menatapnya tajam. “Jadi, kenapa kau mau menolongku? Kau bisa saja mengabaikanku tadi malam.”

Raka mengangkat bahu. “Mungkin aku hanya orang baik.”

Aku mendengus. “Atau mungkin kau hanya ingin melihat bagaimana hidupku berantakan?”

Dia tertawa kecil, tapi matanya tetap serius. “Ara, aku tidak sekejam itu.”

Aku menggigit bibir, menunduk menatap kopi di cangkirku.

Aku masih tidak tahu harus bagaimana dengan hidupku. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Kembali ke rumah orang tuaku? Tidak mungkin. Menghadapi kenyataan bahwa aku ditinggalkan di altar adalah mimpi buruk.

Tiba-tiba, Raka meletakkan cangkirnya dan menatapku serius.

“Aku punya ide,” katanya pelan.

Aku menatapnya waspada. “Ide apa?”

“Pernikahan kontrak.”

Aku terbelalak. “Apa?”

“Kita menikah,” katanya tanpa basa-basi.

Aku hampir menjatuhkan cangkir kopi dari tanganku. “Raka, kau gila?”

Dia tetap tenang. “Dengar, Ara. Aku tahu kau ingin menghindari rasa malu di depan keluargamu. Jika kita menikah, mereka tidak akan melihatmu sebagai perempuan yang ditinggalkan. Kau akan tetap memiliki harga diri. Aku juga tidak rugi apa-apa.”

Aku menatapnya tak percaya. “Kau benar-benar berpikir pernikahan bisa jadi solusi?”

Raka menyandarkan punggungnya, menatapku dengan mata yang sulit ditebak. “Bukan pernikahan sungguhan. Hanya sementara, sampai semuanya tenang.”

Aku menggeleng. “Tidak, ini gila. Aku tidak bisa menikahi seseorang hanya karena kontrak.”

Raka tersenyum kecil. “Tapi kau lebih memilih pura-pura bahagia dengan pria yang meninggalkanmu?”

Aku terdiam.

Kalimat itu menusukku lebih dalam dari yang seharusnya.

Aku menggigit bibir, pikiranku kacau. Benarkah aku harus melakukan ini? Apakah ini satu-satunya jalan keluar?

Raka mengulurkan tangannya ke meja, jari-jarinya menyentuh tanganku dengan lembut. “Aku tidak memaksamu, Ara. Tapi kalau kau butuh seseorang untuk berdiri di sisimu, aku di sini.”

Dadaku sesak.

Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari niat tersembunyi di balik matanya. Tapi aku tidak menemukannya. Yang kulihat hanyalah ketulusan.

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Lalu, jika kita menikah… kapan kita akan berpisah?”

Raka terdiam sesaat sebelum menjawab.

“Sampai kau sudah siap melepaskan masa lalu.”

Aku tidak tahu kenapa, tapi kata-kata itu terdengar seperti sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar pernikahan kontrak.

Dan saat itu juga, aku menyadari sesuatu.

Aku sudah mengambil langkah yang akan mengubah seluruh hidupku.

Bab 4: Peran yang Harus Dijalani

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menyetujuinya.

Mungkin karena aku terlalu lelah menghadapi kenyataan. Yah karena aku tidak ingin melihat tatapan kasihan dari keluargaku. Atau mungkin karena, entah kenapa, ada sesuatu dalam diri Raka yang membuatku merasa… aman.

Namun, meskipun aku sudah menyetujuinya, satu hal tetap menghantui pikiranku: bagaimana aku bisa menjalani pernikahan pura-pura ini?

Pagi ini, aku berdiri di depan cermin dengan kebaya putih yang anggun. Warna yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan dalam pernikahan. Tapi kali ini, pernikahan ini bukanlah tentang cinta. Ini hanyalah kesepakatan antara aku dan Raka.

Di luar, keluargaku dan keluarga Raka sudah berkumpul. Mama menangis haru, Papa menepuk bahu Raka seolah menerima kehadirannya sebagai menantu. Semua orang tersenyum, menganggap hari ini sebagai awal yang indah bagi kami berdua.

Aku ingin tertawa pahit.

Jika saja mereka tahu.

Jika saja mereka tahu bahwa pernikahan ini hanyalah ilusi, bahwa di balik senyumku yang tenang, ada ketakutan besar dalam diriku.

“Kau siap?”

Aku menoleh dan melihat Raka berdiri di ambang pintu. Ia tampak gagah dengan jas hitamnya. Berbeda denganku, ia terlihat begitu tenang.

Aku menatapnya lekat. “Raka… Kau yakin ingin melakukan ini?”

Ia tersenyum, lalu melangkah mendekat. “Aku sudah memikirkan ini dengan matang. Kau?”

Aku menarik napas panjang. Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa mundur sekarang.

Aku mengangguk pelan. “Ya.”

Raka menatapku sejenak sebelum mengulurkan tangannya. “Ayo.”

Tangannya terasa hangat di tanganku yang dingin.

Dan saat kami berjalan keluar, aku merasa seakan memasuki dunia yang bukan milikku.

Akad nikah berjalan begitu cepat. Suara penghulu terdengar sayup di telingaku. Aku bahkan tidak terlalu memperhatikan saat Raka mengucapkan ijab kabul dengan lancar.

Semua orang bertepuk tangan. Mama menangis bahagia.

Sedangkan aku… aku merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis yang bisa putus kapan saja.

Ketika Raka meraih tanganku untuk memasangkan cincin pernikahan, aku sempat melihat sorot matanya. Tidak ada keraguan di sana. Hanya ketenangan.

Dan entah kenapa, itu sedikit membuatku merasa lebih baik.

Malamnya, kami sampai di apartemen Raka tempat yang kini harus kusebut sebagai rumah sementara.

Aku menatap koperku di dekat pintu. Rasanya aneh melihat barang-barangku di sini, di tempat yang bukan milikku.

“Kau lapar?”

Aku menoleh, melihat Raka melepas jasnya dan menggulung lengan kemejanya. Ia berjalan ke dapur seolah semua ini bukanlah sesuatu yang aneh.

Wanita itu segera menggeleng. “Tidak.”

“Kalau begitu, istirahatlah.”

Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar yang sudah disiapkannya untukku. Tapi sebelum aku menutup pintu, suara Raka menghentikanku.

“Ara.”

Kata yang berhasil membuatku menoleh padanya.

Ia menatapku sejenak sebelum berbicara pelan.

“Mulai hari ini, kita adalah suami istri di depan orang lain. Aku tidak akan menuntut apa pun darimu, jadi kau tidak perlu merasa tertekan.”

Aku mengangguk. “Terima kasih, Raka.”

Ia tersenyum tipis. “Selamat datang di hidup barumu.”

Aku masuk ke kamar dan menutup pintu, lalu duduk di tepi ranjang, menatap cincin di jari manisku.

Kenyataan diriku telah menikah dengan seseorang yang tidak kucintai, yaitu menikah dengan pria yang hanya bagian dari masa lalu.

Bab 5: Momen-Momen yang Berbahaya

Sudah seminggu sejak pernikahan kami, dan jujur saja, aku masih merasa canggung.

Aku dan Raka menjalani kehidupan rumah tangga yang terasa seperti sandiwara. Di depan orang lain, kami berperan sebagai pasangan bahagia, tapi saat pintu apartemen tertutup, kami kembali menjadi dua orang asing.

Kami berbicara hanya jika diperlukan. Kami makan di meja yang sama, tetapi tanpa banyak percakapan. Kami tidur di kamar terpisah.

Aku seharusnya merasa lega karena Raka tidak pernah memaksaku melakukan apa pun. Tapi entah kenapa, setiap kali aku melihatnya, ada perasaan aneh yang tidak bisa kujelaskan.

Malam itu, hujan turun deras. Aku duduk di ruang tamu, menatap layar televisi tanpa benar-benar memperhatikan apa yang sedang ditayangkan.

Dari dapur, Raka muncul dengan dua cangkir teh hangat. Ia duduk di sofa di seberangku dan menyodorkan satu cangkir padaku.

“Minumlah. Kau kelihatan lelah.”

Aku menerimanya dengan ragu. “Terima kasih.”

Keheningan menggantung di antara kami. Hanya suara hujan di luar yang mengisi ruangan.

Aku meliriknya sekilas. “Raka…”

“Hm?”

“Apa kau benar-benar tidak menyesal menikahiku?”

Ia menoleh dan menatapku, seolah pertanyaanku menarik perhatiannya. “Kenapa kau bertanya begitu?”

Aku mengangkat bahu. “Aku merasa ini tidak adil untukmu. Aku hanya menjadikanmu pelarian.”

Ia tersenyum kecil. “Aku sudah tahu sejak awal.”

Aku menggigit bibir. “Tapi—”

“Tapi aku tetap melakukannya, kan?” potongnya. “Bukan karena aku bodoh, Ara. Tapi karena aku ingin melakukannya.”

Aku menatapnya lama. “Kenapa?”

Raka menghela napas pelan. Ia menatapku, dan aku bisa melihat sesuatu dalam matanya.

“Ara… kau mungkin tidak sadar, tapi aku menyukaimu sejak SMA.”

Aku terkejut. “Apa?”

Ia tersenyum miring. “Kau tidak pernah menyadarinya, kan? Aku selalu ada di dekatmu, selalu memperhatikanmu. Tapi kau hanya melihat Reza.”

Aku terdiam. Aku tidak pernah tahu. Aku tidak pernah menyadari bahwa ada seseorang di masa lalu yang menyukaiku dalam diam.

“Tapi itu sudah lama berlalu,” lanjutnya, suaranya lebih pelan. “Sekarang aku hanya ingin membantumu, tanpa mengharapkan apa pun.”

Aku tidak tahu kenapa, tapi dadaku terasa sesak mendengar kata-katanya.

Aku menunduk, menatap cangkir teh di tanganku. “Aku tidak tahu harus berkata apa…”

“Kau tidak perlu berkata apa-apa,” katanya pelan.

Aku mengangkat kepala, menatapnya.

Dan saat itu, aku menyadari sesuatu.

Raka bukan sekadar pria yang menikahiku karena kontrak.

Dia adalah seseorang yang benar-benar peduli padaku.

Dan itu… menakutkan.

Karena aku tidak ingin menyakitinya.

Dan karena, perlahan, aku mulai takut pada satu hal.

Aku mulai nyaman bersamanya.

Bab 6: Kembalinya Seseorang dari Masa Lalu

Aku pikir semuanya akan berjalan tenang. Aku pikir setelah menikah, meski hanya pura-pura, aku akan memiliki waktu untuk menyusun ulang hidupku. Aku pikir, aku bisa pelan-pelan melupakan masa lalu.

Tapi hidup selalu punya caranya sendiri untuk membuat segalanya menjadi lebih rumit.

Dan semua itu dimulai ketika seseorang yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupku… kembali.

Hari itu, aku sedang duduk di kafe dekat kantorku, menikmati waktu istirahat siang. Raka sedang sibuk dengan pekerjaannya, dan aku sengaja menyendiri karena ingin menenangkan pikiran.

Namun, ketika aku menoleh ke arah pintu masuk, jantungku hampir berhenti berdetak.

Reza.

Dia berdiri di sana, mengenakan kemeja putih bersih, rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali aku melihatnya. Ia masih sama, tapi juga terasa begitu asing.

Aku membeku di tempatku.

Dan sebelum aku bisa berpikir untuk pergi, mata kami bertemu.

Waktu terasa melambat.

Lalu dia berjalan mendekat.

Aku ingin bangkit, ingin pergi. Tapi kakiku seakan tertanam di lantai.

“Ara,” katanya, suaranya pelan, nyaris berbisik.

Aku menelan ludah. “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku mencarimu.”

Aku tertawa pahit. “Lucu. Setelah menghilang tanpa jejak, sekarang kau tiba-tiba mencariku?”

Reza menghela napas, lalu duduk di depanku. “Aku tahu aku salah, Ara. Aku tahu aku pengecut. Tapi aku benar-benar menyesal.”

Aku mengepalkan tangan di pangkuanku, berusaha menjaga emosiku tetap stabil.

“Kau tahu?” suaraku bergetar. “Kau meninggalkanku di hari pernikahan kita, Reza. Kau bahkan tidak cukup berani untuk mengatakannya langsung padaku. Kau hanya meninggalkan surat.”

Dia menatapku dengan penuh penyesalan. “Aku takut, Ara. Aku merasa belum siap. Tapi itu kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku seharusnya tidak meninggalkanmu.”

Aku menggeleng, tertawa kecil. “Dan sekarang kau kembali? Untuk apa?”

Reza menatapku dengan dalam. “Untuk meminta kesempatan kedua.”

Dadaku terasa sesak.

Aku mengalihkan pandangan, menatap keluar jendela.

“Aku sudah menikah, Reza,” bisikku.

Hening.

Aku bisa merasakan keterkejutan di wajahnya, meskipun aku tidak menatapnya.

“Menikah?” suaranya bergetar.

Aku menoleh, menatapnya dengan dingin. “Ya. Aku menikah setelah kau pergi.”

Reza terlihat begitu terkejut, seolah dia tidak pernah menyangka aku akan melanjutkan hidupku.

“Siapa?” tanyanya pelan.

Aku ingin berbohong. Aku ingin mengatakan bahwa pernikahan ini nyata, bahwa aku bahagia. Tapi lidahku kelu.

Sebelum aku bisa menjawab, suara lain terdengar dari belakangku.

“Suaminya, tentu saja.”

Aku menoleh cepat.

Raka berdiri di sana.

Ekspresinya santai, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku merinding.

Dia berjalan mendekat, lalu tanpa ragu meraih tanganku.

“Aku suami Ara,” katanya, tatapannya tertuju pada Reza.

Aku bisa melihat rahang Reza mengeras. Dia menatap Raka dengan ekspresi sulit ditebak.

Kedua pria ini, orang dari masa laluku dan orang yang kini berdiri di sisiku, saling berhadapan.

Aku bisa merasakan ketegangan yang memenuhi udara.

Saat itu, aku tahu ini belum berakhir.

Masa laluku baru saja kembali. Dan kali ini, ia tidak akan pergi begitu saja.

Bab 7: Luka yang Terulang

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan duduk di sana, di antara dua pria yang kini mengisi hidupku dengan cara yang begitu berbeda.

Raka masih menggenggam tanganku erat, seolah menunjukkan pada dunia bahwa aku miliknya. Sementara Reza, dengan tatapan tajam dan rahang mengeras, menatap kami seakan tidak bisa menerima kenyataan.

Aku menarik tanganku perlahan, tapi Raka tidak langsung melepaskannya. Aku menoleh ke arahnya, dan tatapannya begitu tenang, tapi juga tajam.

“Aku akan mengantar Ara pulang,” kata Raka akhirnya, suaranya datar.

Reza menatapnya penuh ketidakpercayaan. “Kalian benar-benar menikah?”

Raka tersenyum tipis. “Apa menurutmu aku hanya bercanda?”

Reza tidak menjawab. Aku bisa melihat sorot matanya bergetar, seakan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Aku tidak sanggup menghadapi ini lebih lama lagi. “Kita pergi sekarang?” tanyaku pada Raka, suaraku hampir berbisik.

Raka mengangguk. “Ayo.”

Kami bangkit dari kursi, meninggalkan Reza yang masih duduk di sana, terdiam dalam pikirannya sendiri. Aku bisa merasakan tatapannya mengikutiku saat aku melangkah pergi.

Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan pura-pura ini dimulai, aku bersyukur Raka ada di sisiku.

Perjalanan pulang terasa begitu sunyi.

Aku duduk di dalam mobil, menatap keluar jendela, membiarkan lampu kota berlalu begitu saja. Pikiranku kacau.

“Apa kau baik-baik saja?” suara Raka akhirnya memecah keheningan.

Aku menoleh, menatapnya sejenak sebelum kembali menatap ke luar. “Aku tidak tahu.”

Raka tidak langsung menjawab. Ia tetap fokus menyetir, tetapi aku bisa merasakan kehadirannya yang menenangkan.

“Kau masih mencintainya?” tanyanya akhirnya.

Aku terdiam.

Aku ingin mengatakan tidak. Aku ingin mengatakan bahwa Reza hanyalah bagian dari masa lalu yang sudah kutinggalkan. Tapi aku tidak bisa.

“Aku tidak tahu,” jawabku pelan.

Raka mengangguk, seolah memahami. “Kalau dia memintamu kembali, apa yang akan kau lakukan?”

Aku menutup mata. “Aku tidak tahu, Raka.”

Keheningan kembali menyelimuti kami.

Ketika kami sampai di apartemen, aku turun lebih dulu dan berjalan masuk tanpa menunggu Raka. Aku tidak ingin berbicara lebih lama. Aku hanya ingin sendiri.

Namun, saat aku hendak masuk ke kamar, suara Raka menghentikanku.

“Ara.”

Aku berhenti, tapi tidak menoleh.

“Aku tahu aku bukan siapa-siapa bagimu,” katanya pelan. “Tapi aku hanya ingin kau tahu satu hal…”

Aku menelan ludah, menunggu kata-katanya.

“Kalau kau ingin kembali padanya, aku tidak akan menghalangi.”

Aku menoleh cepat, menatapnya dengan mata membesar.

Raka tersenyum kecil, tapi tatapannya kosong. “Aku hanya ingin kau bahagia, Ara. Meskipun itu berarti kau memilih orang lain.”

Aku merasa dadaku mencengkeram begitu erat.

Kenapa kata-katanya begitu menyakitkan?

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar dari bibirku.

Jadi aku hanya diam.

Dan itu… mungkin adalah kesalahan terbesarku malam itu.

Bab 8: Kepergian yang Menyakitkan

Aku tidak tidur semalaman.

Setiap kali aku memejamkan mata, kata-kata Raka terngiang di kepalaku.

“Kalau kau ingin kembali padanya, aku tidak akan menghalangi.”

Aku tidak tahu kenapa kata-kata itu terasa begitu menyakitkan. Bukankah seharusnya aku senang? Bukankah ini yang selama ini aku inginkan?

Kesempatan untuk memperbaiki semuanya dengan Reza.

Kesempatan untuk kembali ke orang yang dulu pernah aku cintai.

Lalu kenapa rasanya… ada sesuatu yang patah di dalam diriku?

Keesokan paginya, aku berjalan ke dapur dan menemukan Raka sudah siap dengan jasnya, bersiap untuk pergi bekerja.

Ia menoleh sekilas ketika melihatku masuk. “Pagi.”

Aku mengangguk kecil. “Pagi.”

Keheningan mengisi ruangan. Biasanya, aku tidak terlalu memikirkan kebiasaan ini, tapi pagi ini, rasanya berbeda.

Aku membuka kulkas, mencoba mencari sesuatu untuk diminum, tapi pikiranku terlalu kacau. Aku bahkan tidak menyadari bahwa aku hanya berdiri diam di depan kulkas tanpa melakukan apa pun sampai suara Raka menyadarkanku.

“Ara.”

Aku menoleh, dan menemukan Raka menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Aku akan pergi hari ini,” katanya tiba-tiba.

Aku mengerutkan kening. “Pergi ke mana?”

Raka menyesap kopinya sebelum menjawab, “Luar kota. Ada proyek yang harus aku tangani.”

Aku menggigit bibir. Aku tidak tahu kenapa, tapi sesuatu dalam diriku menolak mendengar kalimat itu.

“Berapa lama?” tanyaku akhirnya.

Raka menatapku sejenak sebelum menjawab pelan, “Mungkin cukup lama.”

Aku merasakan sesuatu mencengkeram dadaku. “Maksudmu?”

Raka tersenyum kecil, tapi aku bisa melihat ada sesuatu yang ia sembunyikan. “Maksudku, mungkin ini waktu yang tepat untuk kau memikirkan segalanya. Aku tidak akan ada di sini, jadi kau bisa lebih bebas mempertimbangkan perasaanmu.”

Aku terdiam.

Jadi ini yang dia maksud?

Dia benar-benar memberiku ruang untuk memilih.

Tanpa dia.

Aku tidak tahu kenapa, tapi dadaku terasa sesak.

“Aku harus pergi sekarang,” katanya sambil mengambil kunci mobilnya. “Jaga diri, Ara.”

Aku menatap punggungnya saat dia berjalan ke pintu.

Aku ingin menghentikannya.

Aku ingin mengatakan sesuatu.

Tapi bibirku tetap terkatup rapat.

Dan akhirnya, pintu tertutup di belakangnya.

Raka pergi.

Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan pura-pura ini dimulai…

Aku merasa benar-benar sendirian.

Beberapa hari berlalu, dan aku mulai menyadari sesuatu.

Apartemen terasa lebih sunyi tanpa kehadiran Raka. Tidak ada suara gelas kopinya di pagi hari. Tidak ada suara langkah kakinya di dapur. Tidak ada suara TV yang biasanya menyala tanpa ia tonton.

Semuanya terasa kosong.

Aku mulai menyadari bahwa kehadiran Raka selama ini tidak hanya sekadar ‘ada’. Dia mengisi kekosongan yang bahkan tidak kusadari aku miliki.

Dan sekarang, tanpa dia, kekosongan itu terasa begitu nyata.

Aku duduk di sofa, memeluk lututku sendiri kepergian Reza yang menyakitkan.

Tapi ternyata…

Kepergian Raka terasa jauh lebih menyakitkan.

Dan untuk pertama kalinya… Aku mulai mempertanyakan perasaanku sendiri.

Bab 9: Kesadaran yang Terlambat

Aku pikir aku akan baik-baik saja.

Aku pikir aku bisa menghabiskan hari-hariku seperti biasa tanpa merasa kehilangan apa pun.

Tapi aku salah.

Aku duduk di sofa, menatap kosong ke layar televisi yang menyala tanpa suara. Di meja, ada dua cangkir kopi—satu untukku, dan satu lagi… yang seharusnya untuk Raka.

Kebiasaan.

Aku menatap cangkir itu lama. Lalu, dengan perasaan yang semakin berat, aku menyadari sesuatu.

Aku merindukan Raka.

Bukan hanya sekadar merindukan kehadirannya di apartemen ini. Aku merindukan caranya menatapku dengan tenang. Aku merindukan suara napasnya saat dia duduk di sebelahku. Aku merindukan bagaimana dia selalu tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam.

Aku merindukannya.

Dan lebih dari itu…

Aku mulai menyadari, aku tidak ingin dia pergi.

Hari-hari berlalu, dan aku semakin gelisah.

Aku menolak bertemu dengan Reza, meskipun dia terus menghubungiku. Aku tahu apa yang dia inginkan, dan untuk pertama kalinya, aku ragu apakah aku benar-benar menginginkannya kembali.

Dulu, aku pikir Reza adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku bahagia. Tapi sekarang, aku mulai mempertanyakan apakah aku pernah benar-benar bahagia bersamanya.

Aku mulai mengingat hal-hal kecil yang dulu tidak kusadari.

Bagaimana dia sering mengabaikan perasaanku.

Bagaimana dia selalu meminta aku untuk mengerti, tapi jarang mencoba mengerti aku.

Bagaimana aku selalu menjadi orang yang berusaha mempertahankan hubungan kami, sementara dia hanya menikmati kenyamanan yang kuberikan.

Dan saat dia pergi, aku merasa dunialah yang runtuh.

Tapi saat Raka pergi…

Aku merasa aku yang runtuh.

Aku menutup mata, mencoba menenangkan debaran jantungku yang semakin tidak karuan.

Aku tidak bisa terus seperti ini.

Aku harus melakukan sesuatu.

Aku harus menemui Raka.

Aku harus… mengatakannya.

Sebelum semuanya benar-benar terlambat.

Aku menekan bel pintu apartemen Raka dengan jantung berdebar kencang.

Aku tidak tahu apakah dia akan ada di sana. Aku bahkan tidak tahu apakah aku punya hak untuk datang mencarinya.

Tapi aku harus mencobanya.

Pintu terbuka.

Dan di sana, berdiri seseorang yang selama ini memenuhi pikiranku.

Raka.

Dia tampak sedikit terkejut melihatku di depan pintunya. Namun, ia tidak berkata apa-apa.

Aku menelan ludah, lalu menguatkan diri. “Aku ingin bicara.”

Dia menatapku sejenak, lalu mengangguk kecil. “Masuklah.”

Aku melangkah masuk ke dalam apartemennya. Rasanya begitu asing, meskipun aku pernah tinggal di sini.

Ketika kami akhirnya duduk berhadapan, aku merasa sulit untuk berbicara.

Raka menatapku, menunggu.

“Aku…” Aku menggigit bibir, mencari kata-kata.

Aku bisa merasakan sesuatu dalam tatapan Raka—sesuatu yang seakan berkata bahwa dia tidak ingin terluka lagi.

Aku menghela napas panjang.

“Aku pikir aku tahu apa yang kuinginkan sekarang.”

Dia tidak menjawab, tapi ekspresinya berubah.

Aku menatap matanya dalam-dalam. “Aku pikir… aku masih mencintai Reza. Tapi ternyata aku salah.”

Aku bisa melihat bagaimana Raka menegang.

“Aku menyadari sesuatu,” lanjutku. “Ketika Reza pergi, aku merasa hancur. Tapi ketika kau pergi, Raka… aku merasa kehilangan bagian dari diriku.”

Aku menggigit bibir, mencoba menahan emosiku.

“Aku pikir selama ini aku hanya menjadikanmu sebagai pelarian,” bisikku. “Tapi ternyata… aku yang selama ini melarikan diri dari perasaanku sendiri.”

Aku menatapnya dengan harapan yang nyaris putus.

“Aku tidak tahu kapan itu terjadi, tapi aku mencintaimu, Raka.”

Aku bisa melihat bagaimana Raka menahan napas.

Dia menatapku lama.

Lalu akhirnya, dengan suara yang nyaris bergetar, dia bertanya:

“Apakah kau benar-benar mencintaiku, Ara? Atau kau hanya takut sendirian?”

Aku terkejut, dengan perlahan membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar.

Dan saat itu, aku menyadari… Raka sudah terluka terlalu dalam.

Aku mungkin datang terlalu terlambat.

Bab 10: Cinta yang Seharusnya Diperjuangkan

Aku duduk diam di sofa apartemen Raka, menatapnya dengan dada sesak.

Aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Aku sudah mengatakan bahwa aku mencintainya.

Tapi dia…

Dia malah bertanya apakah aku benar-benar mencintainya, atau hanya takut sendirian.

Aku ingin menyangkal. Aku ingin meyakinkannya bahwa perasaanku nyata. Tapi ketika aku menatap matanya, aku tahu bahwa ini bukan sekadar pertanyaan biasa.

Dia takut terluka.

Dia takut aku hanya menjadikannya pilihan kedua.

Aku menghela napas panjang, menundukkan kepala. “Raka… aku tahu aku sudah banyak melakukan kesalahan. Aku terlalu lama terjebak di masa lalu sampai aku tidak menyadari siapa yang benar-benar ada di sisiku.”

Aku mengangkat wajah, menatapnya dalam-dalam.

“Tapi aku tidak takut sendirian, Raka,” lanjutku pelan. “Aku takut kehilanganmu.”

Aku melihat bagaimana rahangnya menegang, tangannya mengepal di atas pahanya. Seolah dia berusaha menahan sesuatu yang ingin dia katakan.

“Dulu, aku selalu berpikir bahwa hanya ada satu orang yang bisa membuatku bahagia. Tapi aku salah.” Aku tersenyum miris. “Aku pikir Reza adalah segalanya bagiku, sampai aku menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya tentang bersama seseorang yang pernah kucintai… tapi bersama seseorang yang membuatku merasa dihargai.”

Aku menelan ludah, suaraku mulai bergetar. “Dan orang itu adalah kau, Raka.”

Keheningan menyelimuti kami.

Aku bisa melihat bagaimana ekspresi Raka berubah. Matanya menatapku dengan begitu dalam, seakan menimbang setiap kata yang baru saja kuucapkan.

Aku menunggu.

Menunggu apakah dia akan mempercayaiku.

Menunggu apakah dia akan menerimaku kembali.

Lalu akhirnya, setelah sekian lama, dia berbicara.

“Kau menyakitiku, Ara.”

Aku tersentak.

“Tapi yang lebih menyakitkan dari itu…” Dia menarik napas panjang, lalu menatapku lekat. “Aku tidak bisa berhenti mencintaimu.”

Jantungku berdegup kencang.

Aku menatapnya tak percaya. “Raka…”

Dia mengulurkan tangannya, menyentuh pipiku dengan lembut. “Aku ingin percaya padamu, Ara. Aku ingin percaya bahwa kali ini, aku bukan hanya pilihan keduamu.”

Aku mengangguk cepat, tanpa ragu. “Kau bukan pilihan keduaku. Kau adalah satu-satunya yang aku inginkan sekarang.”

Raka menatapku lama, lalu akhirnya, senyum kecil terukir di wajahnya.

Dan saat itu, aku tahu.

Aku sudah menemukan rumahku.

Bukan pada seseorang dari masa lalu.

Tapi pada seseorang yang selalu ada untukku.

Seseorang yang kini ada di hadapanku.

Seseorang yang kini aku cintai.

Aku memejamkan mata ketika Raka menarikku ke dalam pelukannya.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa tenang.

Aku tahu ini bukan akhir dari segalanya.

Tapi ini adalah awal yang baru.

Awal dari cinta yang seharusnya kuperjuangkan sejak dulu.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *