Rayhan Alfarez, seorang ilmuwan genetika, menemukan sebuah teknologi revolusioner yang memungkinkan manusia mengakses ingatan masa lalunya melalui DNA. Sebagai orang pertama yang mencobanya, ia dikejutkan oleh visi tentang seorang wanita misterius yang belum pernah ia temui, tetapi hatinya mengenali sosok itu.
Pencariannya membawanya pada Ayla, seorang pianis berbakat, yang tanpa sadar juga mengalami kilasan mimpi dari kehidupan yang terasa begitu nyata. Seiring mereka semakin dekat, ingatan masa lalu mulai terungkap mereka adalah dua jiwa yang telah terikat sejak abad ke-19, tetapi tragisnya terpisah oleh takdir.
Namun, ketika mereka mencoba menantang sejarah dan menulis ulang akhir yang telah ditetapkan, seseorang dari masa lalu mereka kembali dengan niat menghentikan mereka. Mampukah mereka melawan takdir dan bertahan di kehidupan ini? Ataukah mereka hanya akan mengulangi kisah cinta yang berakhir dengan tragedi?
“Jika aku harus melupakanmu untuk mencintaimu kembali, akankah takdir memberiku kesempatan itu?”
Bab 1 – Percikan dari Masa Lalu
Denting suara keyboard terdengar memenuhi ruangan kecil di sudut laboratorium. Cahaya layar komputer menyinari wajah seorang pria yang sejak pagi belum beranjak dari tempat duduknya. Beberapa cangkir kopi kosong berserakan di meja, menandakan betapa banyak waktu yang telah ia habiskan untuk meneliti temuannya.
Rayhan menarik napas panjang, tangannya sedikit gemetar saat mengetikkan baris terakhir kode yang telah ia susun selama berbulan-bulan. Ia menatap layar dengan penuh harap. Jika program ini berjalan sesuai rencana, maka ia telah menemukan sesuatu yang bisa mengubah sejarah manusia selamanya.
“Ayo, ini harus berhasil,” gumamnya, lalu menekan tombol enter.
Sekejap, layar komputer berkedip dan memenuhi ruangan dengan cahaya hijau yang berkedip cepat. Program berjalan, mengakses kode genetik yang telah ia masukkan dalam simulasi. Rayhan menelan ludah, menunggu reaksi pertama.
Namun, tidak ada yang terjadi.
Hening.
Jantungnya berdegup kencang. Ia mengalihkan pandangannya ke tabung transparan di meja eksperimen. Di dalamnya terdapat sepotong kecil jaringan manusia yang telah diolah melalui metode mutakhir. DNA yang telah ia modifikasi seharusnya memberikan hasil yang spektakuler—kemampuan seseorang untuk mengingat dengan sangat jelas semua yang terjadi di masa lalunya.
Bukan sekadar ingatan biasa.
Melainkan potongan sejarah yang selama ini terkubur dalam ketidaksadaran manusia.
Sebuah teknologi yang hanya bisa digunakan sekali seumur hidup.
Rayhan memijit pelipisnya, mencoba berpikir jernih. Ia telah melakukan segalanya dengan benar. Perhitungannya sempurna. Semua teori dan eksperimen sebelumnya telah membuktikan kemungkinan keberhasilannya.
Lalu, kenapa tidak ada reaksi?
Dengan hati-hati, ia membuka sarung tangannya dan menggesekkan jari ke layar kecil di samping tabung, mengaktifkan sensor DNA. Sebuah notifikasi muncul:
Subjek tidak terdeteksi.
Rayhan mengerutkan kening. Ia yakin jaringan itu masih dalam kondisi prima. Mungkinkah ia harus mencobanya langsung pada manusia?
Tapi itu berisiko.
Teknologi ini masih dalam tahap awal. Tidak ada yang tahu efek sampingnya. Apakah otaknya akan kelebihan beban? Apakah memorinya akan bercampur dan membuatnya gila? Atau justru akan menghapus semua yang ia ketahui selama ini?
Namun, ini adalah penemuan terpenting dalam hidupnya. Ia tidak bisa menyerah begitu saja.
Tangan Rayhan bergetar saat ia mengambil sebuah kapsul kecil yang berisi cairan bening. Dalam cairan itu, terdapat hasil dari penelitiannya selama bertahun-tahun—kode genetik yang bisa membangkitkan ingatan paling dalam dari manusia.
Jika ini berhasil, dunia akan berubah selamanya.
Dan jika gagal…
Ia tak ingin memikirkan kemungkinan itu.
Dengan napas tertahan, ia memasukkan kapsul ke dalam suntikan khusus yang telah ia desain. Ia menatap pantulan dirinya di layar komputer. Wajahnya lelah, matanya sedikit merah akibat kurang tidur, tetapi ada tekad kuat di sana.
Lalu, tanpa berpikir panjang lagi, ia menekan suntikan ke lengannya.
Ceklek.
Jarum kecil menembus kulitnya, menyuntikkan cairan itu ke dalam aliran darahnya. Sensasi dingin langsung menyebar di tubuhnya, membuatnya merinding.
Untuk beberapa detik pertama, tidak ada yang terjadi.
Namun, tiba-tiba, kepalanya terasa panas.
Seperti ada sesuatu yang bergerak cepat di dalam otaknya, mengalir, mengitari, dan meresap ke setiap sudut pikirannya. Ia memejamkan mata, berusaha menahan sensasi aneh itu.
Lalu—BOOM!
Seakan ada ledakan dalam kepalanya.
Gambar-gambar mulai bermunculan. Seperti kilasan film yang berputar dengan kecepatan tinggi. Suara-suara asing berdengung di telinganya. Cahaya, warna, dan bentuk-bentuk tak dikenal berkelebat di benaknya.
Dan kemudian…
Ia melihatnya.
Seorang perempuan.
Berdiri di tengah cahaya keemasan, mengenakan gaun putih panjang. Rambutnya hitam kecokelatan, tergerai lembut hingga ke bahunya. Matanya… sepasang mata yang tak bisa ia lupakan, meskipun ia yakin belum pernah melihatnya sebelumnya.
Hatinya mencelos.
Siapa dia?
Kenapa dadanya terasa sesak hanya dengan menatapnya?
Wajah perempuan itu terlihat sedih. Seolah ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa. Bibirnya bergerak perlahan, membentuk kata-kata yang tidak terdengar.
Rayhan mencoba mendekat, tetapi tubuhnya terasa berat. Ia ingin menyentuh perempuan itu, ingin tahu apakah ini hanya ilusi atau sesuatu yang lebih nyata dari sekadar ingatan buatan.
Dan saat akhirnya ia bisa mendengar suaranya, hanya satu kalimat yang keluar.
“Kau menemukanku lagi… tapi apakah kali ini kita bisa bersama?”
Lalu semuanya menghilang.
Rayhan terjatuh ke lantai laboratorium. Napasnya tersengal-sengal, keringat membasahi dahinya. Jantungnya masih berpacu cepat, dan otaknya terasa seperti terbakar.
Tapi ia tidak peduli.
Ia baru saja melihat seseorang yang tak ia kenal… tetapi hatinya mengenali sosok itu.
Dan ia tahu satu hal pasti.
Perempuan itu masih hidup di masa kini.
Bab 2 – Wajah yang Tak Asing
Suara alarm berbunyi nyaring di laboratorium, membuat Rayhan tersentak dari lamunannya. Sensasi dingin masih merayapi punggungnya, sementara pikirannya berusaha mencerna apa yang baru saja ia alami.
Ia melihat seseorang.
Tidak, bukan hanya melihat, tetapi ia merasakannya.
Seolah perempuan itu bukan sekadar potongan memori yang muncul secara acak, melainkan seseorang yang benar-benar memiliki hubungan dengannya. Detak jantungnya masih belum stabil, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang belum bisa ia jawab.
Siapa dia?
Kenapa ia terasa begitu nyata?
Dan yang lebih aneh lagi… mengapa ada perasaan yang begitu kuat dalam dirinya?
Rayhan menekan tombol di meja laboratorium, mematikan alarm yang berbunyi akibat fluktuasi sistem akibat eksperimen yang ia lakukan. Ia memijat pelipisnya, mencoba mengingat kembali detail wajah perempuan itu. Mata kecokelatan yang teduh, rambut bergelombang, dan suara lembut yang nyaris seperti bisikan angin.
“Kau menemukanku lagi… tapi apakah kali ini kita bisa bersama?”
Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.
Dengan langkah goyah, ia berjalan ke depan layar komputer dan mencoba mengakses hasil eksperimen tadi. Namun, layar hanya menampilkan satu peringatan:
Data tidak dikenali.
Rayhan mengernyit. Bagaimana mungkin? Seharusnya sistem bisa merekam semua memori yang diaktifkan oleh teknologi ini. Tetapi kali ini, justru seolah-olah ingatan itu tidak pernah ada.
Ataukah… memang tidak pernah ada?
Ia menelan ludah, mencoba mengabaikan kemungkinan bahwa otaknya baru saja menciptakan ilusi yang tidak nyata. Tetapi tidak, ini lebih dari sekadar mimpi atau halusinasi. Ia merasakan perempuan itu.
Dan ia harus menemukannya.
Dua hari kemudian…
Rayhan duduk di sebuah kafe di pusat kota, menatap kosong ke arah jendela. Sejak kejadian di laboratorium, pikirannya dipenuhi oleh satu hal: mencari perempuan yang muncul dalam ingatannya.
Namun, bagaimana caranya?
Ia bahkan tidak tahu siapa namanya, di mana ia tinggal, atau bahkan apakah perempuan itu benar-benar ada.
Mungkin ia hanya sedang mengalami efek samping dari eksperimennya sendiri.
Mungkin ini adalah permainan otaknya yang mencoba menciptakan sesuatu yang tidak pernah ada.
Namun, perasaan aneh itu tetap ada. Sebuah dorongan di hatinya yang mengatakan bahwa ia harus tetap mencari.
Ia menyeruput kopinya dengan gelisah, kemudian mengeluarkan laptopnya dan mulai mencari sesuatu—apa saja—yang mungkin bisa memberinya petunjuk.
Wajahnya sedikit kusut akibat kurang tidur, rambutnya berantakan karena terlalu sering ia acak-acak sendiri saat berpikir. Namun, saat ia mulai mengetik, sebuah suara lembut terdengar dari dekatnya.
“Maaf, meja ini kosong?”
Rayhan mendongak.
Dan seketika, napasnya terhenti.
Di hadapannya berdiri seorang perempuan yang sangat familiar.
Mata cokelatnya, rambut kecokelatan yang tergerai lembut, dan senyum yang terasa begitu akrab meskipun ini pertama kalinya mereka bertemu.
Dunia di sekeliling Rayhan seakan berhenti berputar.
Jantungnya berdetak kencang.
“Maaf?” Perempuan itu kembali bertanya, tampak ragu karena Rayhan menatapnya terlalu lama.
Rayhan segera sadar dan mengangguk cepat. “Oh, ya… tentu, silakan.”
Perempuan itu tersenyum kecil, lalu duduk di kursi di seberangnya. Ia tampak sibuk membuka buku catatan dan mulai menulis sesuatu, sementara Rayhan masih belum bisa mengalihkan pandangannya.
Ini tidak mungkin kebetulan.
Ia sudah melihat perempuan ini dalam ingatannya.
Ia sudah mencarinya selama dua hari terakhir.
Dan kini, ia ada di sini.
Rayhan mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara. “Maaf… kita pernah bertemu sebelumnya?”
Perempuan itu mengangkat alis, tampak sedikit bingung. “Aku rasa… tidak?”
Rayhan menelan ludah. “Namamu siapa?”
“Ayla,” jawabnya dengan lembut.
Ayla.
Nama yang tidak ia kenal, tetapi terdengar begitu akrab.
Rayhan menggenggam cangkir kopinya erat. Perasaannya bercampur aduk antara takjub dan kebingungan.
Jika ia telah mencintai perempuan ini di masa lalunya, mengapa Ayla tidak mengenalnya?
Dan yang lebih penting…
Jika mereka memang ditakdirkan bertemu lagi, apa yang sebenarnya telah terjadi pada kehidupan mereka sebelumnya?
Bab 3 – Dekat Tapi Jauh
Suara dentingan sendok beradu dengan gelas kopi memenuhi udara di antara mereka. Ayla tampak sibuk menulis sesuatu di buku catatannya, sementara Rayhan masih terpaku, mencoba memproses fakta bahwa perempuan di hadapannya benar-benar nyata.
Bukan sekadar bayangan.
Bukan ilusi atau efek samping dari eksperimennya.
Perempuan yang ia lihat dalam ingatan itu ada di dunia ini—hidup, bernapas, dan kini sedang duduk di hadapannya.
Namun, ada satu hal yang membuatnya gelisah.
Ayla tidak mengenalnya sama sekali.
Rayhan meneguk kopinya dengan tangan sedikit gemetar. “Jadi… kau sering datang ke sini?” tanyanya, mencoba terdengar santai.
Ayla mengangkat pandangannya, tersenyum kecil. “Cukup sering. Aku suka suasananya yang tenang.”
Rayhan mengangguk. Ia harus hati-hati. Tidak mungkin ia langsung mengatakan, ‘Hei, aku melihatmu dalam ingatan masa laluku, dan aku yakin kita punya hubungan di kehidupan sebelumnya.’
Itu terdengar gila.
“Dan kau?” Ayla bertanya balik, menutup bukunya sebentar. “Aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya.”
“Aku baru pertama kali ke sini,” jawab Rayhan jujur. “Sepertinya aku… hanya mengikuti intuisi.”
Ayla tertawa kecil. “Intuisi? Itu menarik.”
Rayhan tersenyum tipis. Ia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan percakapan ini tanpa membuat dirinya terlihat aneh.
Namun, satu hal yang ia sadari—semakin lama ia berada di dekat Ayla, semakin ia merasakan sesuatu yang familiar.
Bukan sekadar ketertarikan biasa.
Melainkan sebuah perasaan mendalam, seakan tubuhnya mengingat sesuatu yang pikirannya belum bisa sepenuhnya cerna.
Hari itu berlalu begitu saja. Rayhan dan Ayla mengobrol tentang hal-hal sederhana—tentang musik, tentang buku yang sedang dibaca Ayla, bahkan tentang hujan yang turun siang itu.
Namun, Rayhan tahu ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar obrolan biasa.
Ia tahu bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.
Dan ia harus mencari tahu alasannya.
Malam itu, Rayhan kembali ke laboratoriumnya.
Ia membuka kembali rekaman eksperimen terakhirnya, tetapi tetap saja—tidak ada data yang tersimpan tentang ingatan yang muncul di dalam kepalanya.
Frustrasi, ia memijat pelipisnya.
Bagaimana mungkin teknologi ini bekerja, tetapi sistemnya tidak merekam apa pun?
Apakah mungkin ini efek dari reaksi biologis yang tidak terduga?
Atau… apakah mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar sains yang sedang terjadi di sini?
Rayhan menarik napas dalam, lalu menutup matanya.
Dan saat itu juga, sebuah kilasan ingatan muncul.
—Gaun putih yang tertiup angin.
—Langkah kaki di taman dengan lampu-lampu redup.
—Sebuah ciuman di bawah bulan purnama.
—Dan suara Ayla… atau mungkin Evelyn, berbicara padanya.
“Jika kita bertemu lagi, apakah kau masih akan mencintaiku?”
Rayhan tersentak, terbangun dari lamunannya. Napasnya memburu, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Ia tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja.
Ia harus menemukan kebenarannya.
Dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan semakin dekat dengan Ayla.
Keesokan harinya, Rayhan kembali ke kafe itu.
Ia berharap bisa bertemu Ayla lagi—dan harapannya terwujud.
Ayla sudah ada di sana, duduk di tempat yang sama, dengan secangkir teh di depannya.
“Rayhan?” Ayla tampak sedikit terkejut saat melihatnya. “Kau datang lagi?”
Rayhan mengangguk, mencoba menyembunyikan debaran di dadanya. “Aku rasa… aku menyukai tempat ini.”
Ayla tersenyum, lalu mengajak Rayhan duduk.
Mereka mengobrol lagi. Kali ini lebih dalam.
Tentang kehidupan. Tentang kenangan masa kecil. Tentang mimpi yang ingin mereka capai.
Dan setiap kali Rayhan menatap Ayla, ia semakin yakin bahwa perasaan yang muncul di dadanya bukanlah sekadar kebetulan.
Ia mungkin tidak bisa menjelaskan bagaimana semua ini terjadi.
Namun, satu hal yang pasti hatinya mengenali Ayla. Meski otak Ayla tidak mengenalinya.
Dan itulah masalahnya.
Rayhan harus mencari cara untuk membuat Ayla mengingatnya.
Atau… apakah memang seharusnya ia membiarkan semuanya berjalan alami?
Karena di balik semua keajaiban ini, ada satu pertanyaan yang belum bisa ia jawab.
Jika memang mereka ditakdirkan untuk bertemu kembali…
Apakah kali ini mereka benar-benar bisa bersama?
Bab 4 – Mimpi yang Menjadi Nyata
Rayhan terbangun dengan napas memburu.
Jantungnya berdetak begitu kencang, keringat dingin membasahi dahinya. Ia baru saja mengalami mimpi yang terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Dalam mimpinya, ia sedang berdiri di tengah taman yang dihiasi lampu-lampu redup. Di depannya, Ayla atau mungkin Evelyn berdiri dengan gaun putih yang melambai tertiup angin. Wajahnya yang lembut menatapnya dengan penuh harapan, namun juga kesedihan yang sulit dijelaskan.
“Aku telah menunggumu…” bisik Evelyn, suaranya terdengar jauh dan dekat sekaligus.
Rayhan ingin menyentuhnya, tetapi setiap kali ia mencoba mendekat, tubuh Evelyn perlahan memudar, seperti kabut yang tertiup angin.
Sebelum ia sempat mengatakan apa pun, dunia di sekelilingnya runtuh, dan ia terbangun di tempat tidurnya kepalanya berdenyut hebat seolah ada sesuatu yang memaksanya mengingat sesuatu yang tidak seharusnya ia ingat.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri.
Ini bukan mimpi biasa.
Ini adalah ingatan.
Dan jika itu benar… maka Ayla bukan hanya sekadar orang asing yang baru ditemuinya.
Mereka pernah bertemu. Mereka pernah saling mencintai.
Namun, sesuatu terjadi di masa lalu yang memisahkan mereka.
Dan sekarang, mereka bertemu lagi.
Tetapi mengapa hanya dia yang mengingatnya?
Hari itu, Rayhan memutuskan untuk menemui Ayla lagi.
Ia tahu mungkin ini terlihat aneh—mendekati seseorang yang baru ia temui hanya karena firasat yang bahkan ia sendiri sulit percaya. Tapi, jika ia tidak melakukan sesuatu, mungkin kesempatan ini akan berlalu begitu saja.
Ketika ia tiba di kafe, Ayla sudah ada di sana, duduk di meja yang sama seperti kemarin. Namun kali ini, ekspresinya terlihat lebih serius, seolah ada sesuatu yang mengganggunya.
Rayhan ragu sejenak, tetapi akhirnya memberanikan diri mendekat.
“Ayla?” panggilnya.
Ayla mengangkat wajahnya dan tampak sedikit terkejut melihat Rayhan.
“Oh, Rayhan… kau datang lagi,” katanya dengan suara yang terdengar lebih lembut dari biasanya.
“Kau baik-baik saja?” Rayhan bertanya, memperhatikan lingkaran hitam di bawah matanya.
Ayla menghela napas dan mengusap pelipisnya pelan. “Aku… aku tidak tahu. Semalam aku mengalami mimpi aneh.”
Jantung Rayhan mencelos.
“Mimpi?”
Ayla mengangguk, terlihat ragu sejenak sebelum melanjutkan. “Aku melihat seseorang… seseorang yang mirip denganmu.”
Rayhan merasa tenggorokannya mengering.
“Kami berada di suatu tempat yang terasa sangat familiar, tapi aku tidak tahu itu di mana. Lalu, dia mengucapkan sesuatu… tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas.”
Rayhan menggenggam cangkir kopinya erat.
Mungkinkah ini…?
“Dan yang lebih aneh lagi,” Ayla melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Aku merasa ada perasaan yang kuat di dalam mimpi itu. Seolah aku benar-benar mengenal orang itu… tapi aku tidak tahu siapa dia.”
Rayhan menatap mata Ayla, mencoba mencari sesuatu di sana.
Ini bukan kebetulan.
Ayla mungkin tidak sepenuhnya mengingat masa lalunya, tetapi mimpinya adalah bukti bahwa sesuatu dari kehidupan sebelumnya mulai muncul ke permukaan.
“Kau percaya pada reinkarnasi?” tanya Rayhan tiba-tiba.
Ayla tampak terkejut dengan pertanyaan itu. “Kenapa kau bertanya seperti itu?”
Rayhan ragu sejenak, tetapi akhirnya menggeleng dan tersenyum kecil. “Hanya penasaran.”
Ayla tertawa kecil, tetapi tatapan matanya masih menyimpan kebingungan. “Aku tidak tahu. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan hal semacam itu. Tapi… entahlah, akhir-akhir ini aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam hidupku.”
Rayhan ingin mengatakan bahwa ia juga merasakan hal yang sama.
Bahwa ini bukan hanya kebetulan.
Namun, bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak bisa ia jelaskan kepada dirinya sendiri?
“Ayla,” katanya akhirnya, suaranya lebih serius dari sebelumnya. “Jika kau bisa bertemu seseorang dari kehidupan sebelumnya… apa yang akan kau lakukan?”
Ayla terdiam, lalu tersenyum samar.
“Aku rasa… aku ingin mengenalnya lagi. Karena jika takdir mempertemukan kami kembali, pasti ada alasan di baliknya.”
Rayhan merasakan sesuatu menghangat di dalam dadanya.
Mungkin ini adalah kesempatan yang diberikan takdir untuk mereka.
Namun, di saat yang sama, ada ketakutan yang perlahan tumbuh dalam dirinya.
Karena semakin banyak ia mengingat… semakin ia merasa bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada mereka di masa lalu.
Dan jika itu benar…
Akankah mereka bisa mengubah akhir yang telah dituliskan sebelumnya?
Atau apakah mereka hanya mengulang kisah yang sama dengan luka yang sama?
Bab 5 – Retakan di Kewarasan
Rayhan menatap layar komputer di hadapannya dengan mata lelah. Sudah berjam-jam ia mencoba mencari penjelasan ilmiah untuk apa yang sedang terjadi, tapi semakin ia berusaha, semakin ia merasa kehilangan arah.
Teknologi yang ia ciptakan seharusnya bekerja secara logis. Dengan modifikasi pada DNA, manusia seharusnya hanya bisa mengakses ingatan masa lalu dalam kehidupannya sendiri—bukan kehidupan sebelumnya.
Tapi yang terjadi padanya?
Ia melihat sesuatu yang jauh lebih dari sekadar kenangan. Ia melihat potongan kehidupan lain. Dunia yang berbeda. Seseorang yang tidak seharusnya ia kenal, tetapi begitu melekat dalam ingatannya.
Dan yang lebih gila lagi—Ayla mulai mengalaminya juga.
Apakah ini bukti bahwa jiwa memang bisa bereinkarnasi?
Atau… apakah pikirannya hanya sedang menciptakan ilusi akibat efek samping dari eksperimen yang ia lakukan?
Rayhan bangkit dari kursinya, menarik napas panjang sebelum berjalan ke rak buku di sudut ruangan. Ia mengambil satu buku tua yang penuh debu, buku yang jarang ia sentuh sejak lama—tentang sejarah genetika dan teori ingatan bawaan.
Ia membuka halaman demi halaman dengan tergesa, mencari sesuatu yang bisa menjelaskan semua ini.
Lalu, ia menemukan sesuatu yang menarik.
“Beberapa teori menyebutkan bahwa DNA tidak hanya menyimpan informasi biologis, tetapi juga fragmen memori dari nenek moyang kita. Namun, teori yang lebih ekstrem menyebutkan bahwa dalam kasus yang sangat jarang terjadi, DNA dapat menyimpan ‘jejak emosional’—perasaan, trauma, dan bahkan cinta yang belum terselesaikan dari kehidupan sebelumnya.”
Rayhan memejamkan mata.
Ini… ini tidak mungkin.
Apakah ia sedang membangkitkan sesuatu yang tidak seharusnya ia bangkitkan?
Ataukah ini semua memang sudah tertulis di dalam DNA mereka sejak awal?
Esoknya, Rayhan kembali bertemu dengan Ayla.
Namun kali ini, Ayla terlihat berbeda. Ada sesuatu di wajahnya—sebuah ekspresi yang sulit dijelaskan, seperti orang yang baru saja mengalami sesuatu yang mengubah hidupnya.
“Kau baik-baik saja?” Rayhan bertanya hati-hati.
Ayla menatapnya lama sebelum mengangguk pelan. “Aku… aku mengalami mimpi itu lagi.”
Rayhan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
“Mimpi seperti apa?”
Ayla menarik napas dalam. “Aku melihat seorang perempuan… yang tampak sepertiku. Tapi dia bukan aku. Aku bisa merasakan emosi dan pikirannya, tapi aku tidak bisa mengendalikan tubuhku.”
Rayhan menahan napas.
“Aku berada di abad yang berbeda,” lanjut Ayla, suaranya bergetar. “Aku mengenakan gaun panjang, dan aku… aku sedang berbicara dengan seseorang. Seorang pria.”
“Siapa pria itu?” Rayhan bertanya pelan.
Ayla menggeleng. “Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi suaranya…”
Ia menatap Rayhan dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Suaranya mirip dengan suaramu.”
Dunia Rayhan seakan berhenti berputar.
Ada sesuatu yang hangat atau mungkin dingin merayapi tubuhnya.
Ayla melihatnya dalam mimpinya. Sama seperti bagaimana ia melihat Ayla dalam ingatannya.
Ini bukan kebetulan.
Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.
“Apa yang terjadi di mimpi itu?” Rayhan bertanya, berusaha menahan kegelisahan di hatinya.
Ayla terdiam sesaat, lalu suaranya merendah.
“Aku mengucapkan sesuatu padanya… sesuatu yang aneh.”
“Apa?”
Ayla menatap matanya dengan dalam sebelum mengucapkan kata-kata yang membuat Rayhan merasakan bulu kuduknya berdiri.
“Aku akan menunggumu… bahkan jika butuh lebih dari satu kehidupan untuk kita bisa bersama.”
Jantung Rayhan berdetak kencang.
Ia pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.
Dalam ingatannya. Dalam mimpinya.
Itu bukan sekadar mimpi.
Itu adalah janji yang tertulis di DNA mereka.
Dan kini, janji itu perlahan mulai terungkap kembali.
Namun, semakin banyak mereka mengingat…
Semakin besar perasaan bahwa ada sesuatu yang hilang di antara mereka.
Sebuah tragedi yang belum mereka ketahui.
Dan jika mereka tidak berhati-hati…
Sejarah yang sama bisa terulang kembali.
Bab 6 – Jejak Masa Lalu
Rayhan duduk diam di laboratoriumnya, menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Kata-kata Ayla masih terngiang di kepalanya.
“Aku akan menunggumu… bahkan jika butuh lebih dari satu kehidupan untuk kita bisa bersama.”
Itu bukan sekadar kebetulan. Itu adalah kalimat yang sama persis seperti yang ia dengar dalam ingatannya.
Tapi bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin dua orang yang hidup di zaman yang berbeda bisa berbagi ingatan yang sama?
Ia kembali membuka data dari eksperimennya, mencoba mencari pola, anomali, atau sesuatu yang bisa menjelaskan semua ini secara ilmiah. Tapi sekali lagi, data tetap kosong. Tidak ada catatan memori yang bisa diverifikasi.
Seolah yang ia alami bukan hasil dari teknologi yang ia ciptakan… melainkan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum bisa dijelaskan oleh sains.
Atau mungkin, sesuatu yang seharusnya tidak pernah ia sentuh.
Hari berikutnya, Rayhan mengajak Ayla ke sebuah perpustakaan tua di pinggiran kota.
“Apa yang kita cari di sini?” tanya Ayla, mengerutkan dahi saat melihat deretan buku-buku berdebu di rak kayu yang tua.
Rayhan menarik napas. “Aku perlu menemukan sesuatu.”
Ia tidak tahu pasti apa yang ia cari. Tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk datang ke tempat ini. Perasaan aneh yang mengatakan bahwa jawaban tentang kehidupan mereka sebelumnya mungkin tersimpan di sini.
Mereka menyusuri lorong-lorong sunyi perpustakaan, hingga akhirnya Rayhan menemukan bagian yang ia cari—arsip sejarah.
Jari-jarinya menelusuri punggung buku-buku tua yang warnanya sudah memudar, hingga ia menarik sebuah buku tebal dengan sampul kulit usang.
Buku itu berjudul:
“Tragedi Cinta yang Hilang dalam Sejarah.”
Jantungnya berdebar.
Ia membukanya dengan hati-hati, menelusuri halaman demi halaman dengan cermat. Hingga akhirnya, tangannya berhenti di satu lembar halaman yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Ada sebuah lukisan di sana.
Lukisan seorang perempuan.
Gaun putih panjang. Rambut kecokelatan yang tergerai lembut.
Wajah yang sangat familiar.
Itu Ayla.
Atau… mungkin Evelyn.
Di bawah lukisan itu, ada keterangan:
Evelyn Beaufort, seorang wanita bangsawan yang hidup pada abad ke-19. Ia dikabarkan memiliki hubungan terlarang dengan seorang ilmuwan muda bernama Adrian Levant.
Namun, sebelum mereka bisa bersama, Evelyn dikabarkan meninggal secara misterius. Adrian menghilang tak lama setelahnya. Hingga kini, kisah mereka tetap menjadi legenda yang belum terpecahkan.
Rayhan merasa darahnya membeku.
Adrian.
Nama itu… terasa begitu dekat.
Ayla yang berdiri di sampingnya membaca tulisan itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. “Ini… ini tidak mungkin.”
Rayhan menelan ludah. “Kau tahu apa yang lebih tidak mungkin?”
Ayla menatapnya.
Rayhan mengangkat tangannya, menunjuk ke arah kaca lemari arsip, di mana pantulan wajah mereka terlihat jelas.
Pantulan Rayhan… berdiri di samping lukisan Evelyn.
Dan jika dilihat dengan seksama… wajahnya memiliki kemiripan yang mencolok dengan seseorang yang berdiri di belakang Evelyn dalam lukisan itu.
Adrian Levant.
Wajah itu adalah wajahnya.
Ayla terdiam lama setelah mereka meninggalkan perpustakaan.
Mereka duduk di tepi danau kecil di taman kota, menikmati angin sore yang bertiup pelan.
“Jika semua ini benar…” Ayla akhirnya berbicara. “Jika kita benar-benar adalah mereka di kehidupan sebelumnya…”
Rayhan menunggu kelanjutan kalimatnya.
Ayla menatap ke kejauhan, suaranya melemah. “Berarti kita tidak pernah bisa bersama.”
Rayhan merasakan dadanya mencengkeram. “Kenapa kau berpikir begitu?”
“Evelyn meninggal sebelum bisa bersama dengan Adrian.” Ayla menelan ludah. “Jika sejarah benar-benar terulang, apa yang akan terjadi padaku kali ini?”
Rayhan meraih tangan Ayla, menggenggamnya erat. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Ayla menatapnya, ekspresinya penuh keraguan.
Rayhan tidak tahu bagaimana caranya, tapi satu hal yang pasti—kali ini, ia tidak akan kehilangan Ayla seperti ia kehilangan Evelyn.
Bahkan jika itu berarti melawan takdir itu sendiri.
Namun, takdir selalu punya caranya sendiri untuk menguji mereka.
Malam itu, Ayla mendapat pesan dari nomor tak dikenal.
“Berhenti mencari masa lalu. Sebelum kau kehilangan masa depan.”
Ayla merasakan bulu kuduknya berdiri.
Siapa yang mengirim pesan ini?
Dan yang lebih penting…
Apa maksudnya?
Bab 7 – Ketika Hati Mengingat
Ayla menatap layar ponselnya dengan jantung berdebar.
“Berhenti mencari masa lalu. Sebelum kau kehilangan masa depan.”
Pesan itu terasa seperti ancaman, tetapi juga seperti peringatan.
Siapa yang mengirim ini? Bagaimana mereka tahu tentang pencariannya bersama Rayhan?
Dengan tangan sedikit gemetar, Ayla menunjukkan pesan itu kepada Rayhan keesokan harinya.
Rayhan membaca pesan itu dengan rahang mengatup rapat. Matanya menyipit, seolah menganalisis setiap kata yang tertulis di sana.
“Kau tahu siapa yang mengirim ini?” tanya Ayla pelan.
Rayhan menggeleng. “Tidak ada nomor atau identitas pengirim?”
Ayla menggeleng. “Hanya nomor tak dikenal. Aku tidak bisa melacaknya.”
Rayhan merasakan firasat buruk menyelinap di hatinya. Sepertinya mereka tidak sendirian dalam pencarian ini. Seseorang, entah siapa, mengetahui apa yang mereka lakukan dan ingin menghentikan mereka.
“Tapi kenapa?” Ayla bergumam, suaranya hampir seperti bisikan. “Kenapa seseorang ingin kita berhenti?”
Rayhan menatapnya, lalu menghela napas panjang. “Mungkin… ada sesuatu dalam masa lalu kita yang tidak boleh kita ketahui.”
Ayla menggigit bibirnya, terlihat ragu. “Tapi kita sudah sejauh ini, Rayhan. Aku tidak bisa berhenti sekarang.”
Rayhan mengangguk pelan. “Aku juga tidak akan berhenti.”
Namun, di dalam hatinya, ada sesuatu yang berbisik bahwa mereka mungkin sedang membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup.
Malam itu, Ayla kembali mengalami mimpi.
Ia berada di sebuah ruangan besar dengan dinding berwarna keemasan, lampu gantung kristal bergoyang pelan di atas kepalanya. Musik klasik mengalun lembut di latar belakang.
Ia mengenakan gaun putih, gaun yang sama seperti yang ia lihat dalam mimpinya sebelumnya.
Dan di seberangnya…
Adrian berdiri.
Atau lebih tepatnya, Rayhan—dengan pakaian khas abad ke-19.
Wajahnya tenang, tetapi matanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
“Jangan pergi,” bisik Adrian—suara yang sama, tetapi terasa lebih berat, lebih dalam.
Ayla merasa hatinya bergetar. “Aku tidak ingin pergi.”
Namun, seketika bayangan hitam muncul di belakang mereka. Sosok-sosok tanpa wajah yang hanya terlihat seperti siluet mengelilingi mereka.
Ayla menoleh panik. “Mereka siapa?”
Adrian menggenggam tangannya erat. “Mereka adalah takdir.”
Sebelum Ayla sempat bertanya lebih jauh, sosok-sosok itu mulai menarik Adrian menjauh.
“Ayla!” teriaknya, mencoba meraih tangannya.
Ayla mencoba berlari, tetapi tubuhnya terasa berat.
Ia ingin menahan Adrian, ingin tetap bersamanya—tetapi semakin ia berusaha, semakin jauh Adrian terseret ke dalam kegelapan.
Hingga akhirnya…
Semua menjadi hitam.
Ayla terbangun dengan teriakan tertahan, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Tangannya gemetar saat meraih ponselnya. Sudah pukul tiga dini hari.
Tanpa berpikir panjang, ia menghubungi Rayhan.
Butuh beberapa detik sebelum suara Rayhan terdengar di ujung telepon.
“Ayla?” Suaranya serak, sepertinya baru saja terbangun.
“Aku… aku bermimpi lagi.” Ayla menarik napas dalam. “Dan kali ini… aku melihat sesuatu yang buruk terjadi padamu.”
Rayhan terdiam.
Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Aku juga bermimpi.”
Ayla mencengkeram selimutnya. “Apa yang kau lihat?”
“Aku melihat kita di kehidupan sebelumnya.” Rayhan menarik napas, suaranya terdengar lebih berat. “Dan aku mati… sebelum bisa bersamamu.”
Dunia Ayla terasa berhenti.
Jadi, itulah yang terjadi pada mereka di masa lalu?
Adrian—atau Rayhan di kehidupan sebelumnya mati sebelum mereka bisa bersama?
Ayla menelan ludah, suaranya gemetar saat bertanya, “Kalau begitu… apakah kita akan mengalami akhir yang sama?”
Rayhan tidak menjawab.
Karena ia tahu dan Ayla juga tahu bahwa takdir mungkin sedang mengarah ke arah yang sama.
Dan jika mereka tidak menemukan cara untuk mengubahnya…
Mereka akan kehilangan satu sama lain.
Lagi.
Bab 8 – Pilihan yang Mustahil
Rayhan menatap ponselnya lama setelah panggilan dari Ayla berakhir.
Tangannya masih gemetar.
Mimpi itu terasa begitu nyata—lebih dari sekadar ilusi atau efek samping eksperimen.
Ia melihat dirinya sebagai Adrian, berdiri di tengah malam berbintang, memegang tangan Evelyn… Ayla… sebelum sesuatu merenggutnya dari dunia.
Dan sekarang, seolah takdir sedang mengulang segalanya.
Ia menutup mata, menghela napas panjang. Jika di kehidupan sebelumnya ia kehilangan Ayla, kali ini ia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Tapi bagaimana caranya melawan sesuatu yang tidak bisa ia lihat?
Keesokan harinya, Ayla datang ke laboratorium Rayhan.
Ia tampak lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya.
“Kau tidak tidur lagi?” tanya Rayhan, menyadari betapa pucat wajahnya.
Ayla tersenyum kecil. “Bagaimana bisa tidur kalau setiap kali aku menutup mata, aku justru melihat kenangan yang bukan milikku?”
Rayhan mengangguk. Ia pun merasakan hal yang sama.
“Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan kita yang lalu,” kata Rayhan.
Ayla menatapnya. “Dan bagaimana caranya?”
Rayhan terdiam sejenak sebelum mengambil sebuah perangkat kecil dari meja kerjanya—sebuah alat berbentuk headset yang ia ciptakan sebagai penghubung antara DNA dan ingatan bawah sadar.
“Aku ingin mencoba sesuatu,” katanya. “Alat ini belum pernah diuji coba sebelumnya. Tapi jika teoriku benar, kita bisa menggali ingatan lebih dalam.”
Ayla ragu sejenak. “Apakah itu aman?”
Rayhan menghela napas. “Aku tidak tahu. Tapi ini satu-satunya cara kita bisa mengetahui kebenaran tanpa menunggu mimpi datang dengan sendirinya.”
Ayla terdiam. Lalu, setelah beberapa detik, ia mengangguk. “Baik. Aku akan mencobanya bersamamu.”
Mereka duduk berhadapan di dalam laboratorium, masing-masing mengenakan headset yang terhubung dengan sistem.
“Ketika aku mengaktifkan alat ini, kau mungkin akan merasakan pusing atau kilasan gambar yang terlalu cepat,” kata Rayhan. “Tapi jangan panik. Fokus saja pada perasaanmu.”
Ayla mengangguk.
Rayhan menarik napas, lalu menekan tombol start.
Dalam sekejap, semuanya berubah.
Rayhan membuka matanya dan mendapati dirinya tidak lagi berada di laboratorium.
Ia berdiri di sebuah ruangan megah dengan dinding emas dan chandelier besar di atasnya.
Di seberangnya, Ayla berdiri—tetapi kali ini, ia bukan Ayla yang dikenalnya.
Ia adalah Evelyn.
Mata Ayla membelalak saat menyadari perubahan itu. “Rayhan…?”
Rayhan menatap ke arah tangannya sendiri dan menyadari bahwa tubuhnya bukan lagi miliknya. Ia mengenakan jas ala abad ke-19, dengan tangan yang terasa berbeda.
Ia adalah Adrian.
Mereka benar-benar kembali ke kehidupan mereka yang lalu.
Sebelum mereka sempat berkata apa-apa, pintu ruangan terbuka dengan keras.
Seorang pria tua dengan wajah murka berdiri di sana—seseorang yang dalam ingatan Rayhan langsung dikenali sebagai ayah Evelyn.
“Kau tidak boleh bersamanya!” suara pria itu menggema di seluruh ruangan.
Evelyn—Ayla—menggenggam tangan Rayhan dengan erat. “Ayah, aku mencintainya!”
“Dia bukan dari keluarga kita!” pria itu berteriak. “Kau adalah bangsawan, Evelyn! Kau akan menikah dengan orang yang setara!”
Rayhan—Adrian—merasakan kemarahan di dalam dirinya.
Ia ingat segalanya sekarang.
Mereka mencintai satu sama lain, tetapi hubungan mereka dilarang.
Dan lebih buruk lagi… mereka telah merencanakan untuk melarikan diri malam itu.
Namun, sebelum mereka sempat melaksanakan rencana itu, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Tiba-tiba, semuanya berputar dengan cepat.
Rayhan merasakan dadanya sesak.
Ia terlempar dari ingatan itu, kembali ke laboratorium, dengan napas terengah-engah.
Ayla juga terbangun, matanya berkaca-kaca.
“Aku ingat sekarang,” bisik Ayla. “Kita mencoba melarikan diri… tapi kita tidak pernah berhasil.”
Rayhan menatapnya dengan serius. “Apa yang terjadi selanjutnya?”
Ayla menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis.
“Adrian dibunuh.”
Rayhan merasakan seluruh tubuhnya menegang.
“Dibunuh?” ulangnya.
Ayla mengangguk, air matanya jatuh. “Ayahku… tidak ingin kita bersama. Dia menyuruh seseorang untuk membunuhmu sebelum kita bisa pergi.”
Rayhan menatap kosong ke depan.
Jadi, begitulah semuanya berakhir?
Ia mati sebelum bisa bersama Evelyn?
Jika sejarah memang berulang…
Apakah itu berarti kali ini, sesuatu juga akan memisahkan mereka?
Ayla menggenggam tangan Rayhan dengan erat. “Kali ini, kita harus melawan takdir.”
Rayhan menatapnya, matanya menyala penuh tekad.
“Kali ini, aku tidak akan kehilanganmu lagi.”
Namun, mereka tidak menyadari satu hal.
Seseorang sedang mengawasi mereka dari kejauhan.
Dan orang itu berbisik pelan,
“Kalian seharusnya tidak membuka luka lama…”
Bab 9 – Kebenaran yang Menyakitkan
Angin malam berhembus pelan, membawa ketenangan yang semu.
Ayla duduk di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berkedip di kejauhan. Kepalanya dipenuhi oleh fragmen ingatan yang terus berputar seperti film lama yang rusak—wajah Adrian yang tersenyum padanya, suara langkah kuda di atas jalan berbatu, dan… darah.
Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghilangkan bayangan mengerikan itu dari pikirannya. Tapi bagaimana bisa?
Ia ingat semuanya sekarang.
Di kehidupan sebelumnya, Adrian… Rayhan… dibunuh oleh keluarganya sendiri.
Dan sekarang, mereka kembali bertemu—tapi apakah mereka bisa mengubah akhir yang telah tertulis?
Ponselnya bergetar, membuatnya tersentak.
Rayhan: “Aku di depan apartemenmu.”
Ayla segera bangkit dan membuka pintu.
Rayhan berdiri di ambang pintu, wajahnya serius. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Ayla tahu bahwa ia juga mengingat segalanya.
Tanpa banyak bicara, Rayhan melangkah masuk dan duduk di sofa. Ayla menutup pintu, lalu menatapnya dengan penuh tanya.
“Bagaimana kalau kita memang tidak bisa mengubah takdir?” tanya Ayla pelan.
Rayhan menatapnya dalam. “Aku tidak percaya pada takdir yang sudah ditentukan. Kalau hidup memberi kita kesempatan kedua, itu berarti kita masih punya pilihan.”
Ayla tersenyum miris. “Tapi di kehidupan sebelumnya, kita juga berpikir seperti itu… dan lihat bagaimana akhirnya.”
Rayhan terdiam. Ia tahu Ayla benar.
Dalam kehidupan sebelumnya, mereka sudah berusaha. Mereka mencoba melarikan diri. Tapi mereka gagal.
Jadi apa yang membuat kali ini berbeda?
“Aku tidak bisa kehilanganmu lagi,” bisik Rayhan akhirnya.
Ayla menunduk, hatinya terasa berat.
Ia juga tidak ingin kehilangan Rayhan. Tapi bagaimana jika ada kekuatan yang lebih besar yang menginginkan mereka tetap terpisah?
Bagaimana jika sejarah akan terus mengulang dirinya sendiri?
Dua hari kemudian, Rayhan menerima pesan tak dikenal di emailnya.
“Berhenti sekarang sebelum terlambat. Jangan ulangi kesalahan yang sama.”
Rayhan merasakan bulu kuduknya berdiri.
Siapa yang mengirim ini?
Apa maksudnya dengan “kesalahan yang sama”?
Apakah ada seseorang di luar sana yang tahu tentang kehidupan masa lalu mereka?
Tanpa pikir panjang, ia segera menghubungi Ayla.
“Kita harus bertemu sekarang,” katanya cepat.
Ayla, yang masih merasa gelisah sejak dua hari lalu, langsung mengiyakan.
Mereka bertemu di taman kecil yang sepi di pinggiran kota. Ayla melihat wajah Rayhan yang penuh ketegangan dan tahu bahwa ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan.
“Apa yang terjadi?” tanyanya.
Rayhan menunjukkan email itu.
Ayla membaca isi pesan itu dan wajahnya langsung pucat. “Ini… ini bukan kebetulan.”
Rayhan mengangguk. “Aku punya firasat buruk tentang ini. Sepertinya ada seseorang yang tahu tentang kita. Tentang kehidupan kita yang dulu.”
Ayla menggeleng, mencoba mencari penjelasan logis. “Tapi siapa? Dan kenapa mereka peduli?”
Rayhan menatapnya tajam. “Mungkin karena mereka juga bagian dari cerita ini.”
Ayla terdiam, mencoba mencerna kata-kata Rayhan.
Mungkinkah… seseorang dari kehidupan mereka yang lalu juga bereinkarnasi?
Mungkinkah ada orang lain yang ingin mengulang sejarah… atau menghentikannya?
Malam itu, saat Ayla kembali ke apartemennya, ia menemukan sebuah amplop di depan pintunya.
Jantungnya berdegup kencang saat ia memungutnya dan membukanya dengan hati-hati.
Di dalamnya ada selembar foto tua.
Foto seorang pria dengan wajah yang sangat ia kenali.
Adrian.
Atau… Rayhan.
Namun yang membuatnya terkejut adalah seseorang yang berdiri di belakang Adrian dalam foto itu.
Seorang pria tua dengan ekspresi dingin, yang wajahnya… mirip dengan seseorang yang sangat ia kenal di kehidupan sekarang.
Ayla hampir menjatuhkan foto itu.
Itu adalah wajah ayahnya.
Di kehidupan sebelumnya, ayah Evelyn adalah orang yang membunuh Adrian.
Dan di kehidupan ini…
Apakah ia akan melakukan hal yang sama?
Bab 10 – Janji yang Tertulis di DNA
Ayla berdiri diam di depan apartemennya, foto tua itu masih dalam genggamannya.
Jantungnya berdegup kencang.
Wajah dalam foto itu… pria yang berdiri di belakang Adrian… itu adalah ayahnya.
Bukan ayahnya yang sekarang, tetapi di kehidupan sebelumnya.
Dunia seolah berputar di sekelilingnya. Jika ayahnya adalah orang yang telah membunuh Adrian di masa lalu… apakah itu berarti sejarah akan terulang?
Tangannya bergetar saat ia meraih ponselnya dan menghubungi Rayhan.
“Ayla?” Suara Rayhan terdengar di ujung telepon, tenang tapi penuh kekhawatiran.
“Aku… aku perlu bertemu denganmu sekarang,” kata Ayla dengan suara serak.
“Ada apa? Kau baik-baik saja?”
Ayla menelan ludah. “Rayhan… aku tahu siapa yang mencoba menghentikan kita.”
Mereka bertemu di apartemen Rayhan. Ayla menunjukkan foto itu tanpa berkata apa-apa.
Rayhan menatapnya dengan ekspresi serius, lalu perlahan mengangkat wajahnya. “Ini…”
“Ayahku,” bisik Ayla.
Rayhan menggenggam foto itu erat. “Kau yakin?”
Ayla mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Di kehidupan sebelumnya, dia adalah orang yang membunuhmu, Rayhan. Dan sekarang… aku takut dia akan melakukan hal yang sama lagi.”
Rayhan menarik napas dalam, mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berputar liar.
“Apakah dia tahu?” tanyanya pelan.
Ayla menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi seseorang mengawasi kita. Seseorang mengirimkan pesan-pesan itu, memberi kita peringatan.”
Rayhan terdiam.
Ini adalah bukti bahwa mereka memang tidak sendirian dalam perjalanan ini. Ada seseorang yang masih ingin mengulang sejarah—atau menghentikannya.
Lalu, ada kemungkinan lain yang lebih mengerikan…
“Ayla,” suara Rayhan melembut, “bagaimana jika ayahmu… juga mulai mengingat?”
Ayla merasakan darahnya berdesir dingin.
Jika ayahnya juga memiliki ingatan dari kehidupan sebelumnya…
Apakah itu berarti ia akan kembali menghalangi mereka?
Atau lebih buruk lagi… apakah ia akan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Adrian di kehidupan sebelumnya?
Dua hari kemudian, Ayla memberanikan diri berbicara dengan ayahnya.
Mereka duduk di ruang tamu rumah keluarga Ayla, dengan secangkir teh di meja di antara mereka.
“Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan, Ayah,” kata Ayla akhirnya.
Ayahnya menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian. “Tentu, apa itu?”
Ayla mengambil napas dalam, lalu mengeluarkan foto tua itu dan meletakkannya di meja.
“Ayah tahu siapa orang-orang di foto ini?” tanyanya hati-hati.
Ayahnya menatap foto itu lama.
Lalu, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Ekspresi wajahnya berubah.
Tidak ada keterkejutan. Tidak ada kebingungan.
Hanya keheningan yang panjang—dan tatapan yang tajam.
Ayla merasakan ketakutan perlahan menjalari tubuhnya.
“Ayah?” panggilnya pelan.
Ayahnya mengangkat wajah, menatapnya langsung. “Dari mana kau mendapatkan ini?”
Suaranya terdengar dalam dan berat.
Ayla menelan ludah. “Itu tidak penting, Ayah. Aku hanya ingin tahu… apakah kau mengenali mereka?”
Ayahnya menghela napas panjang, lalu bersandar ke sofa. “Jadi, kau mulai mengingat juga?”
Dunia Ayla berhenti berputar.
Dia tahu.
Ayahnya juga mengingat kehidupan mereka sebelumnya.
Tangannya mengepal erat di pangkuannya. “Ayah… apa yang sebenarnya terjadi pada Adrian?”
Ayahnya menutup mata sejenak, seolah mengumpulkan keberanian untuk menjawab.
“Lelaki itu mencintaimu lebih dari yang seharusnya,” katanya pelan. “Dan aku… aku melakukan apa yang harus aku lakukan.”
Ayla mencengkeram ujung rok yang ia kenakan. “Kau membunuhnya.”
Ayahnya menatapnya, ekspresinya penuh dengan emosi yang tak bisa dijelaskan.
“Aku tidak akan membiarkanmu mengulangi kesalahan yang sama, Ayla.”
Ayla merasa tubuhnya melemas.
“Kesalahan?” bisiknya. “Cinta bukan kesalahan, Ayah.”
“Ayla.” Ayahnya bersandar ke depan, tatapannya intens. “Ada alasan mengapa aku melakukan itu di kehidupan sebelumnya. Dan jika kau tetap memilih jalan ini… aku takut kau akan mengalami nasib yang lebih buruk.”
Ayla menggeleng. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan sejarah terulang.”
Ayahnya menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Kalau begitu… aku harap kau siap menerima akibatnya.”
Malam itu, Ayla bertemu Rayhan di jembatan yang menghadap sungai kota.
“Ayahku ingat segalanya,” katanya tanpa basa-basi.
Rayhan tidak terlihat terkejut. “Dan dia masih ingin memisahkan kita?”
Ayla mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Dia bilang aku harus siap menerima akibatnya.”
Rayhan menghela napas, lalu meraih tangan Ayla.
“Aku tidak peduli dengan takdir,” katanya pelan. “Aku tidak peduli dengan sejarah. Aku hanya tahu satu hal.”
Ayla menatapnya, menunggu.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” bisik Rayhan.
Ayla menggigit bibir, menahan air matanya.
“Kali ini… kita akan melawan.”
Rayhan mengangguk. “Kita akan menulis ulang takdir kita sendiri.”
Ayla tersenyum kecil, meskipun ketakutan masih menghantui hatinya.
Karena jauh di dalam dirinya, ia tahu satu hal.
Takdir bukan sesuatu yang mudah diubah.
Tapi jika cinta mereka cukup kuat…
Mungkin, hanya mungkin, kali ini mereka bisa menang.
Di kejauhan, seseorang mengamati mereka dari dalam mobil hitam yang terparkir di sisi jalan.
Orang itu menghela napas panjang, lalu mengangkat ponselnya.
“Mereka tidak akan berhenti,” katanya pelan.
Suara di ujung telepon terdengar dingin.
“Kalau begitu… pastikan mereka tidak bisa mengubah apa pun.”
TAMAT (atau mungkin… belum?)
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.