Novel Singkat Labirin Cinta di Kota Bawah Tanah
Novel Singkat Labirin Cinta di Kota Bawah Tanah

Novel Singkat: Labirin Cinta di Kota Bawah Tanah

Alea Rachman, seorang detektif swasta, mendapat tugas menyelidiki hilangnya Profesor Farhan, seorang arkeolog yang dikabarkan menemukan kota bawah tanah tersembunyi di Turki. Dalam pencariannya, ia bertemu dengan Rafael, seorang pria misterius yang menawarkan bantuannya.

Namun, semakin dalam mereka menyelidiki, semakin banyak rahasia yang terungkap termasuk hubungan Rafael dengan kota tersebut. Dikejar oleh makhluk-makhluk berbahaya dan terperangkap dalam labirin kuno, Alea dan Rafael harus menemukan kebenaran sebelum terlambat. Namun, ketika takdir dan cinta saling bertabrakan, akankah mereka bisa keluar bersama, atau harus memilih jalan yang berbeda?

Bab 1: Jejak yang Hilang

Hujan turun membasahi jalanan kota, menciptakan genangan di trotoar sempit. Cahaya lampu jalan berpendar di permukaan basah, menciptakan kilatan samar yang hampir menyerupai bayangan. Alea Rachman menarik napas panjang, memeluk erat mantel kulitnya, berusaha mengusir dingin yang merayapi kulitnya. Malam ini terasa lebih kelam dari biasanya, seolah langit menyimpan rahasia yang ingin disembunyikan darinya.

Sudah tiga hari sejak Profesor Farhan, arkeolog ternama yang dikenal dengan obsesinya terhadap reruntuhan kuno, menghilang tanpa jejak. Pesan terakhirnya berbunyi singkat: “Aku menemukan sesuatu. Jika aku tidak kembali dalam tiga hari, temui seseorang bernama Rafael di desa Kayseri.”

Dan di sinilah Alea, berdiri di depan sebuah penginapan tua di pinggiran desa Kayseri, Turki. Bangunan itu terlihat usang, dengan papan kayu yang nyaris lapuk dan jendela yang bergetar setiap kali angin bertiup. Tidak ada orang di sekitar, hanya suara serangga malam yang bersahut-sahutan.

Alea mendorong pintu kayu yang berderit, masuk ke dalam ruangan kecil yang remang-remang. Bau tanah lembap bercampur dengan aroma kayu tua memenuhi udara. Seorang pria tua yang duduk di belakang meja resepsionis menatapnya dengan mata tajam.

“Apa kau mencari seseorang, Nona?” suaranya berat, terdengar penuh kehati-hatian.

Alea mengangguk, menurunkan tudung mantelnya. “Aku mencari Rafael.”

Pria itu tak segera menjawab. Matanya menatap Alea seolah menimbang apakah ia bisa dipercaya atau tidak. Kemudian, dengan anggukan kecil, ia menunjuk ke arah lorong di sisi kanan ruangan.

“Kamar paling ujung.”

Tanpa membuang waktu, Alea melangkah ke lorong tersebut. Setiap langkahnya menggema, menciptakan ketegangan yang semakin menyesakkan dada. Begitu tiba di depan pintu kayu yang disebutkan, ia mengetuknya dua kali. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras.

Suara langkah kaki terdengar dari dalam, diikuti bunyi kunci yang diputar. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan sepasang mata tajam berwarna abu-abu yang menatapnya penuh selidik.

“Siapa kau?” suara pria itu dalam, nyaris berbisik.

“Aku Alea. Profesor Farhan mengirimku.”

Tatapan pria itu berubah sekilas, tapi hanya dalam sekejap. Ia membuka pintu lebih lebar, membiarkan Alea masuk.

Ruangan itu kecil dan sederhana, hanya berisi satu tempat tidur dan meja kayu dengan beberapa lembar peta tua yang berserakan di atasnya. Di sudut ruangan, ada ransel besar dan beberapa botol air minum.

“Profesor Farhan menghilang,” Alea memulai, memperhatikan ekspresi pria itu. “Dia meninggalkan pesan untukku agar menemui seseorang bernama Rafael. Jika kau Rafael, maka kau pasti tahu sesuatu.”

Pria itu mengamati Alea dalam diam, sebelum akhirnya berjalan ke meja, meraih salah satu peta yang terlihat sudah tua dan kusut. Ia menghela napas panjang.

“Kalau begitu, kau sudah masuk terlalu dalam,” ucapnya pelan, sambil meliriknya tajam. “Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar hilangnya seorang profesor. Dan kau tidak akan bisa keluar begitu saja.”

Alea menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”

Rafael tidak langsung menjawab. Ia mengangkat peta itu, menunjukkannya kepada Alea. “Apa yang kau lihat?”

Alea memperhatikan dengan saksama. Peta itu menggambarkan jalur-jalur bawah tanah yang berliku, menyerupai labirin raksasa. Di bagian tengah, ada sebuah simbol aneh yang tidak dikenalnya.

“Ini bukan hanya reruntuhan biasa,” Rafael melanjutkan. “Kota bawah tanah ini… menyimpan sesuatu yang seharusnya tidak ditemukan.”

Sebelum Alea bisa bertanya lebih lanjut, suara ledakan keras terdengar dari luar penginapan. Getaran hebat mengguncang ruangan, membuat debu beterbangan dari langit-langit.

Alea dan Rafael bertukar pandang.

Mereka tidak sendirian.

Suara ledakan itu tidak hanya menghancurkan kesunyian malam, tetapi juga menggetarkan seluruh penginapan. Alea secara refleks meraih pistol di pinggangnya, matanya waspada menatap ke arah pintu. Rafael, yang tadinya tampak tenang dan penuh rahasia, kini menunjukkan ekspresi yang lebih serius.

“Cepat, kita harus keluar dari sini,” bisiknya tajam.

Alea masih berdiri di tempatnya. “Tunggu. Siapa yang mengejar kita?”

Rafael melirik ke jendela, lalu kembali menatap Alea. “Bukan kita yang mereka cari. Tapi Profesor Farhan. Dan kalau kau benar-benar datang atas namanya, itu berarti sekarang kau juga dalam bahaya.”

Sebelum Alea sempat bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar mendekat. Tidak hanya satu atau dua, tetapi beberapa orang. Cahaya senter berpendar di balik jendela, dan dari balik pintu, suara langkah berat terdengar semakin dekat.

Rafael bergerak cepat. Ia meraih ranselnya, menyampirkan ke bahu, lalu menarik lengan Alea. “Kita tidak punya waktu.”

Alea menepis tangannya. “Aku tidak akan kabur tanpa tahu siapa mereka.”

Tepat saat itu, suara pintu utama penginapan didobrak. Jeritan pria tua di resepsionis menggema, diikuti suara gedebuk keras—seperti tubuhnya dilempar ke lantai. Alea dan Rafael hanya punya beberapa detik sebelum orang-orang itu tiba di kamar mereka.

“Percaya padaku, atau kau akan menyesal,” Rafael berkata cepat.

Alea mengumpat pelan, tapi akhirnya mengalah. Jika orang-orang di luar memang berbahaya, menghadapi mereka secara langsung di ruang sempit ini bukan pilihan yang cerdas.

Rafael menarik karpet di tengah ruangan, memperlihatkan pintu kayu tersembunyi di lantai. Dengan cepat, ia membukanya, memperlihatkan tangga batu yang mengarah ke bawah tanah.

“Kau benar-benar sudah menyiapkan semua ini, ya?” Alea menyipitkan mata.

“Aku selalu bersiap untuk yang terburuk.”

Tanpa menunggu lebih lama, Rafael turun lebih dulu, diikuti Alea yang menutup pintu di atas mereka. Begitu mereka mencapai lorong bawah tanah yang lembap dan gelap, suara pintu kamar didobrak terdengar di atas.

Suara langkah kaki menggema, dan salah satu pria berseru, “Dia sudah kabur! Cari ke luar!”

Alea menahan napas, mendengar suara mereka berlarian di atas.

Rafael menyalakan senter kecil dari sakunya, sinarnya membelah kegelapan. Alea memperhatikan sekeliling. Dinding batu kasar mengelilingi mereka, dan lorong itu terlihat sempit, seolah sudah lama tidak digunakan.

“Mau sampai kapan kita bersembunyi di sini?” Alea berbisik.

Rafael tersenyum kecil. “Ini bukan tempat persembunyian, Alea.”

Alea menatapnya curiga. “Lalu?”

Rafael mengarahkan sinar senternya ke depan, memperlihatkan sebuah lorong panjang yang seakan tak berujung. “Ini adalah jalan masuk ke kota bawah tanah yang mereka cari.”

Dada Alea berdebar. Ia datang ke sini untuk mencari Profesor Farhan, dan sekarang, ia justru masuk lebih dalam ke misteri yang jauh lebih besar.

Di belakang mereka, suara langkah kaki masih terdengar di atas tanah.

Di depan mereka, labirin gelap menanti.

Dan Alea tahu, tidak ada jalan untuk kembali.

Bab 2: Tawaran yang Mencurigakan

Lorong bawah tanah yang sempit dan gelap itu terasa lebih menekan daripada yang Alea bayangkan. Udara di dalamnya lembap, dan bau tanah bercampur dengan debu membuat napasnya sedikit berat. Di depan, Rafael melangkah dengan mantap, seolah sudah mengenal jalan ini dengan baik.

“Apa ini memang rencanamu sejak awal?” Alea bertanya, suaranya sedikit berbisik, tapi tajam.

Rafael menoleh sekilas, sinar senternya memantulkan cahaya ke wajah Alea. “Rencana? Aku tidak tahu akan bertemu denganmu hari ini, kalau itu yang kau maksud.”

Alea menyipitkan mata. “Tapi kau tahu tentang lorong ini.”

Rafael tersenyum kecil. “Tentu saja. Kau pikir aku datang ke desa ini tanpa persiapan?”

Alea mendesah, tapi sebelum ia bisa membalas, suara samar dari atas tanah kembali terdengar. Langkah-langkah kaki, lebih banyak dari sebelumnya. Sepertinya orang-orang yang mengejar mereka tidak menyerah begitu saja.

“Kita harus bergerak lebih cepat,” ujar Rafael.

Mereka melangkah lebih dalam ke dalam lorong, hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan kecil dengan langit-langit yang lebih tinggi. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja batu besar, dengan ukiran simbol-simbol aneh di sekelilingnya. Di dinding, beberapa obor tua yang sudah lama padam masih terpasang di sana.

Alea meraba meja batu itu, merasakan tekstur kasar dari ukiran simbol-simbolnya. “Tempat apa ini?”

“Ruang persiapan,” jawab Rafael. “Dulu, ini digunakan oleh para penjaga kota bawah tanah sebelum mereka memasuki bagian utama. Di sini mereka akan memastikan mereka layak untuk masuk.”

Alea menatap Rafael dengan curiga. “Dan kau tahu semua ini dari mana?”

Alih-alih menjawab, Rafael membuka ranselnya, mengeluarkan selembar peta tua yang sebelumnya ia tunjukkan di penginapan. Alea mendekat, memperhatikan jalur-jalur yang tergambar di atasnya.

“Peta ini,” Rafael menjelaskan, “menunjukkan jalur yang bisa membawa kita ke dalam kota bawah tanah tanpa perlu masuk lewat pintu utama.”

Alea menyilangkan tangan. “Dan kenapa aku merasa kau sudah punya rencana sendiri sebelum aku datang?”

Rafael menghela napas, lalu menatapnya lurus-lurus. “Karena aku memang sudah lama mencari tempat ini. Dan sepertinya Profesor Farhan menemukannya lebih dulu.”

Alea terdiam sesaat, mencoba mencerna informasi itu. “Jadi, kau tahu di mana Profesor Farhan?”

“Aku tidak tahu pasti,” jawab Rafael, “tapi jika dia menghilang setelah menemukan sesuatu di kota bawah tanah, maka kemungkinan besar dia ada di dalam.”

Alea menggigit bibirnya. Pikirannya mulai dihantui oleh berbagai skenario buruk. Apa Profesor Farhan tersesat di dalam? Atau lebih buruk lagi—apa dia tertangkap oleh orang-orang yang mengejar mereka tadi?

“Tunggu,” Alea mendadak sadar. “Kalau kau sudah tahu cara masuk, kenapa kau tidak masuk lebih dulu?”

Rafael terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan nada tenang, “Karena aku tidak bisa melakukannya sendirian.”

Mata Alea menyipit. “Jadi itu alasanmu membawaku ke sini?”

Rafael tersenyum tipis. “Aku hanya menawarkan kerja sama, Alea. Kita berdua ingin menemukan Profesor Farhan. Aku butuh seseorang yang bisa membantuku bertahan di dalam, dan kau butuh seseorang yang tahu jalannya.”

Alea berpikir sejenak. Ia tidak suka diperalat, tapi Rafael punya poin. Ia bukan tipe yang gegabah masuk ke tempat berbahaya tanpa peta atau rencana. Sementara itu, Rafael sudah memiliki keduanya.

Namun, sebelum Alea bisa memberi jawaban, suara di atas semakin mendekat. Terdengar bunyi batu berjatuhan, lalu suara seseorang berteriak, “Mereka ada di bawah sini! Temukan jalan masuk!”

Alea dan Rafael saling berpandangan.

“Pilihan ada padamu,” Rafael berkata cepat. “Bertahan di sini dan menghadapi mereka… atau masuk lebih dalam ke kota bawah tanah.”

Alea menghela napas dalam-dalam. Ia tahu pilihannya sudah jelas.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi jika kau mencoba mengkhianatiku, aku tidak akan ragu menarik pelatuk.”

Rafael tersenyum kecil. “Tentu saja.”

Tanpa membuang waktu, Rafael membuka sebuah celah di dinding yang tersembunyi di balik ukiran batu. Sebuah tangga batu menurun ke dalam kegelapan.

“Selamat datang di labirin,” ujar Rafael, sebelum ia melangkah masuk.

Alea menatap ke dalam kegelapan lorong itu, merasakan bulu kuduknya meremang.

Ia baru saja masuk ke dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang ia duga.

Bab 3: Pintu Gerbang ke Dunia yang Terlupakan

Langkah kaki mereka bergema di dalam lorong sempit itu. Setiap pijakan terasa berat, seolah-olah mereka semakin menjauh dari dunia nyata dan masuk ke dalam dimensi lain yang penuh misteri. Bau tanah lembap memenuhi udara, bercampur dengan aroma batu yang telah terkubur selama berabad-abad.

Alea berjalan di belakang Rafael, matanya waspada terhadap setiap sudut lorong yang mereka lalui. Dinding-dinding batu di sekeliling mereka dipenuhi ukiran kuno yang sebagian sudah aus dimakan waktu. Beberapa di antaranya terlihat seperti simbol, sementara yang lain tampak seperti kisah yang diukir dalam gambar.

“Kau yakin ini jalannya?” tanya Alea, suaranya bergema pelan.

Rafael menoleh sekilas, mengangkat peta di tangannya. “Menurut peta ini, kita hanya perlu mengikuti lorong utama sampai kita menemukan gerbang kota.”

Alea menghela napas. “Kedengarannya mudah.”

“Tapi tidak semudah yang kau pikirkan,” jawab Rafael sambil tetap berjalan. “Kota ini tidak ingin ditemukan. Ada alasan kenapa ia tetap tersembunyi selama ribuan tahun.”

Alea meliriknya tajam. “Dan kau tahu semua ini dari mana?”

Rafael tidak segera menjawab. Ia hanya memberikan senyuman samar sebelum akhirnya berkata, “Aku pernah mendengar cerita tentang kota ini sejak kecil.”

Alea tidak percaya begitu saja. Ada sesuatu yang Rafael sembunyikan, dan ia berniat mencari tahu. Tapi sebelum ia bisa menekan Rafael lebih jauh, lorong di depan mereka terbuka ke dalam sebuah ruangan besar yang dipenuhi pilar-pilar batu menjulang tinggi.

Alea menahan napas. Ruangan itu seperti aula megah yang terkubur di dalam tanah. Dinding-dindingnya dihiasi ukiran rumit, dan di bagian tengah ruangan, sebuah gerbang raksasa berdiri kokoh, tertutup rapat.

“Inilah dia,” Rafael berbisik. “Gerbang masuk ke kota bawah tanah.”

Alea melangkah mendekat, mengamati gerbang batu yang dipenuhi ukiran simbol-simbol aneh. Ia meraba permukaannya, mencoba memahami pola yang terukir di sana.

“Ada tulisan di sini,” gumamnya, memperhatikan ukiran di bagian bawah gerbang. “Ini bukan bahasa modern.”

Rafael mengangguk. “Bahasa kuno dari peradaban yang hilang.”

Alea mengernyit. “Kalau begitu, bagaimana kita membukanya?”

Rafael mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah medali tua dengan ukiran serupa yang ada di gerbang. Ia menatap benda itu sejenak sebelum memasangkannya ke celah di tengah gerbang.

Detik berikutnya, suara berderak terdengar. Gerbang batu itu mulai bergetar, mengeluarkan debu dari celah-celahnya. Alea mundur selangkah, bersiap jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Lalu, perlahan-lahan, gerbang itu mulai terbuka.

Dari celah yang terbentuk, cahaya redup berpendar, berasal dari sesuatu di dalam kota. Alea memegang pistolnya lebih erat, hatinya berdebar.

Namun sebelum mereka bisa melangkah masuk, suara langkah kaki terdengar dari belakang.

Alea menoleh cepat. Dari lorong yang baru saja mereka lewati, beberapa sosok muncul—pria-pria bersenjata dengan wajah tertutup kain hitam.

Mereka telah ditemukan.

“Sepertinya kita punya tamu,” bisik Rafael.

Alea mengangkat pistolnya, bersiap menghadapi mereka. Tapi sebelum ia bisa menarik pelatuk, salah satu pria itu berbicara dengan suara berat dan tegas.

“Kami bukan musuh,” katanya. “Kami penjaga kota ini.”

Alea melirik Rafael, mencari kepastian. Tapi ekspresi Rafael tetap netral, sulit ditebak.

“Kalau kalian penjaga,” Alea berkata dingin, “kenapa kalian mengejar kami?”

Pria itu melangkah maju, memperlihatkan wajahnya yang penuh bekas luka.

“Kota ini menyimpan sesuatu yang seharusnya tidak ditemukan,” katanya. “Dan kalian baru saja membuka jalan menuju bencana.”

Sebelum Alea bisa memahami apa maksudnya, tanah di bawah mereka tiba-tiba bergetar.

Dari dalam kota bawah tanah yang baru saja mereka buka, terdengar suara geraman pelan, seperti sesuatu yang telah lama tertidur kini mulai terbangun.

Bab 4: Bayang-Bayang di Kegelapan

Tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat, menyebabkan debu dan serpihan kecil batu jatuh dari langit-langit gua. Alea segera menyeimbangkan tubuhnya, sementara Rafael tetap tenang, matanya terpaku pada celah gerbang yang semakin melebar.

Suara geraman itu semakin jelas, bergema di lorong gelap yang terbuka di balik gerbang. Alea menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. Ini bukan hanya suara angin atau resonansi batu—ini sesuatu yang hidup.

Di sisi lain, pria dengan wajah penuh luka yang mengaku sebagai penjaga kota melangkah maju dengan ekspresi serius.

“Apa yang kalian lakukan?” suaranya bergetar. “Kalian tidak tahu apa yang ada di dalam.”

Rafael menatapnya tajam. “Kami hanya mencari Profesor Farhan.”

Pria itu menggeleng. “Kalau begitu, kalian sudah terlambat.”

Alea menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”

Penjaga itu membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi sebelum kata-kata keluar, sesuatu bergerak dari balik gerbang.

Sebuah bayangan besar melesat dengan cepat, secepat kilat. Alea hanya melihat sekilas sosoknya—sesuatu yang menyerupai manusia, tapi dengan tubuh yang jauh lebih besar dan gerakan yang tidak wajar. Dalam sekejap, dua pria yang berdiri di belakang sang penjaga tersentak mundur, lalu tubuh mereka terhempas ke dinding dengan kekuatan luar biasa.

Darah muncrat, menyisakan jeritan singkat sebelum keheningan yang mengerikan mengambil alih.

Alea mundur selangkah, napasnya tercekat.

Rafael juga menegang, tangannya sudah meraih belati yang terselip di pinggangnya.

Bayangan itu melangkah keluar dari kegelapan. Wujudnya samar dalam pencahayaan yang minim, tetapi Alea bisa melihat dengan jelas matanya—dua bola mata merah menyala, menatap mereka seperti pemangsa yang mengawasi mangsanya.

“Apa itu?” bisik Alea.

Sang penjaga tampak pucat. “Itu adalah…”

Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, makhluk itu melompat ke arahnya.

Dalam sepersekian detik, Rafael menarik Alea ke belakang, menghindari serangan cepat yang nyaris menghantam mereka. Sang penjaga berusaha melawan, tetapi cakar makhluk itu menembus tubuhnya dengan mudah, membuatnya terhuyung sebelum akhirnya jatuh ke tanah tanpa suara.

Darah mengalir, membasahi batu di bawahnya.

Alea mengangkat pistolnya, menembak dua kali. Peluru menghantam tubuh makhluk itu, tetapi hanya menghasilkan suara dentingan kecil—seolah peluru hanya mengenai logam keras.

“Tidak mempan…” gumam Alea, matanya melebar.

“Lari!” seru Rafael.

Mereka berdua langsung berbalik dan berlari menuju lorong lain yang bercabang dari aula besar itu. Alea bisa merasakan hembusan angin dari belakang—makhluk itu mengejar mereka, bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar.

Mereka berlari secepat mungkin, melewati jalur-jalur sempit yang penuh ukiran kuno. Di beberapa tempat, cahaya samar dari kristal di dinding memberikan penerangan minimal, cukup untuk melihat jalan.

“Tangga!” seru Rafael, menunjuk ke arah lorong sempit dengan anak tangga batu yang menurun tajam.

Tanpa berpikir panjang, mereka berdua melompat ke dalam lorong itu. Alea hampir tergelincir, tetapi Rafael meraih lengannya dan menariknya ke bawah. Begitu mereka melewati celah sempit di ujung tangga, Rafael menarik sebuah tuas yang tersembunyi di dinding.

Tiba-tiba, sebuah batu besar jatuh dari atas, menutup pintu masuk di belakang mereka.

Suara hentakan keras terdengar dari sisi lain batu, diikuti geraman frustrasi.

Alea terengah-engah, tangannya masih mencengkeram pistolnya erat-erat. “Apa itu tadi?!”

Rafael menyandarkan punggungnya ke dinding, napasnya kasar. “Aku tidak tahu… tapi kalau kita terus di sini tanpa persiapan, kita akan mati.”

Alea berusaha menenangkan napasnya. Mereka kini berada di ruangan yang lebih kecil, dengan langit-langit yang lebih rendah. Dindingnya dipenuhi ukiran yang berbeda—lebih halus dan detail, seolah menggambarkan kisah tentang sesuatu.

Alea berjalan mendekat, menyentuhkan jari-jarinya pada ukiran yang tampak lebih menonjol dari yang lain. Saat ia menyadari apa yang tergambar di sana, tubuhnya menegang.

“Ini…” gumamnya.

Gambaran di dinding menunjukkan sosok makhluk yang baru saja menyerang mereka—tetapi bukan hanya satu.

Ada puluhan.

Rafael ikut melihatnya, rahangnya mengeras. “Mereka bukan satu-satunya.”

Alea berusaha menelan rasa takut yang mulai menjalari tubuhnya. Mereka baru saja memasuki tempat yang jauh lebih berbahaya dari yang mereka duga.

Dan yang lebih buruk lagi, Profesor Farhan mungkin masih ada di dalam.

Bab 5: Rahasia Rafael

Hening.

Setelah kejadian tadi, hanya suara napas Alea dan Rafael yang terdengar di ruangan bawah tanah ini. Cahaya redup dari dinding batu membuat ukiran kuno terlihat lebih jelas—gambar makhluk-makhluk dengan mata merah yang mengintai dalam kegelapan.

Alea mengusap wajahnya, mencoba meredam ketegangan yang masih menyelimuti pikirannya. Ia baru saja melihat sesuatu yang seharusnya tidak ada. Sesuatu yang lebih dari sekadar legenda atau cerita rakyat.

“Kau mau menjelaskan sekarang?” suaranya dingin, matanya menatap Rafael tajam.

Rafael menoleh, ekspresinya tetap datar. “Menjelaskan apa?”

Alea mendekat, jaraknya hanya beberapa inci dari wajah Rafael. “Tentang semua ini. Tentang kota bawah tanah ini. Tentang kenapa kau seakan tahu lebih banyak dari yang kau akui.”

Rafael terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Aku memang tahu lebih banyak, Alea. Tapi aku tidak tahu semuanya.”

Alea melipat tangan di dadanya. “Mulai dari mana kau tahu?”

Rafael menatap ukiran di dinding, jemarinya menyentuh salah satu simbol yang berbentuk seperti mata. “Kau tahu, aku bukan hanya seorang petualang biasa.”

Alea mendengus. “Sudah kuduga.”

Rafael tersenyum tipis sebelum melanjutkan, “Kakek buyutku adalah bagian dari kelompok arkeolog yang pertama kali menemukan jejak kota bawah tanah ini. Tapi saat mereka mulai menggali lebih dalam, mereka menghilang… semuanya. Kakekku adalah satu-satunya yang selamat.”

Alea menyipitkan mata. “Dan kau percaya mereka hilang karena makhluk-makhluk itu?”

“Bukan percaya,” Rafael menatapnya tajam. “Aku tahu mereka ada.”

Alea merinding. “Jadi selama ini kau ke sini bukan hanya untuk mencari Profesor Farhan?”

Rafael mengangguk. “Aku ingin menemukan apa yang sebenarnya terjadi pada keluargaku. Aku ingin tahu kenapa tempat ini begitu berbahaya… dan sekarang, kita sudah melihat sendiri jawabannya.”

Alea menghela napas dalam. Semua ini semakin rumit. Ia datang hanya untuk menyelidiki hilangnya Profesor Farhan, tapi kini ia malah terjebak dalam misteri yang lebih besar—sebuah legenda yang nyata.

“Ada satu hal lagi,” lanjut Rafael. “Profesor Farhan… dia tidak hanya menemukan kota ini. Dia menemukan sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan semuanya.”

Alea mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Rafael berjalan ke sisi lain ruangan, di mana ada sebuah altar batu kecil yang tertutup debu. Ia menyingkirkan debu itu dengan cepat, memperlihatkan simbol lain yang lebih rumit.

“Profesor meninggalkan sesuatu sebelum menghilang,” katanya, lalu mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku jaketnya. Itu adalah potongan batu berbentuk bulat, dengan ukiran aneh di permukaannya.

Alea menatap benda itu dengan penuh kewaspadaan. “Apa itu?”

“Potongan dari kunci gerbang utama,” jawab Rafael. “Aku menemukannya di penginapan, tersembunyi di bawah papan lantai kamar tempat Profesor menginap. Sepertinya dia tahu sesuatu yang lebih besar… sesuatu yang membuatnya menjadi target.”

Alea menelan ludah. “Jadi Profesor Farhan mungkin masih hidup?”

“Kalau dia sudah mati,” Rafael menjawab, “kenapa ada yang masih mengejar kita?”

Kata-kata itu membuat Alea semakin yakin bahwa ada lebih banyak rahasia yang belum terungkap.

Namun, sebelum mereka bisa mendiskusikannya lebih lanjut, suara samar terdengar dari lorong di sebelah mereka.

Suara langkah kaki.

Alea langsung mengangkat pistolnya, sementara Rafael meraih belatinya. Mereka saling berpandangan sebelum perlahan bergerak ke arah sumber suara.

Ketika mereka mengintip dari balik pilar batu, jantung Alea hampir berhenti berdetak.

Di ujung lorong, dengan pakaian compang-camping dan wajah penuh debu, berdiri seorang pria yang selama ini mereka cari.

Profesor Farhan.

Tapi ada sesuatu yang aneh.

Profesor itu tampak berdiri kaku, matanya kosong, dan bibirnya bergerak seolah-olah ia menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang tak bisa dimengerti.

Dan di belakangnya, bayangan hitam lain bergerak di antara lorong-lorong.

Mereka tidak sendirian.

Bab 6: Kota yang Tersembunyi

Alea menahan napas. Cahaya redup dari lorong bawah tanah membuat wajah Profesor Farhan terlihat lebih menyeramkan. Pakaian yang lusuh, wajah penuh debu, dan mata kosongnya membuat Alea merasa ada sesuatu yang salah.

Profesor itu berdiri di sana, mulutnya bergerak perlahan, menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang tidak dikenali. Kata-katanya terdengar seperti mantra kuno, bergema di lorong sempit yang dingin.

Rafael menempelkan punggungnya ke dinding, berbisik, “Ada yang tidak beres.”

“Tentu saja ada yang tidak beres,” bisik Alea kembali, matanya masih terpaku pada profesor.

Tiba-tiba, tubuh Profesor Farhan bergerak kaku ke depan, seolah-olah ia digerakkan oleh sesuatu yang tidak terlihat. Tangannya terangkat sedikit, dan dari dalam lorong gelap di belakangnya, sesuatu bergerak.

Bayangan hitam, tinggi dan berwujud seperti manusia, muncul satu per satu. Mata merah mereka menyala dalam kegelapan.

Jantung Alea berdegup kencang.

“Mereka datang lagi,” bisik Rafael.

Alea mengangkat pistolnya, siap menembak, tapi Rafael menahan tangannya. “Jangan! Senjata biasa tidak akan mempan.”

“Lalu kita harus apa?!” Alea berbisik tajam.

Rafael berpikir cepat. “Satu-satunya cara adalah masuk lebih dalam. Kota bawah tanah ini mungkin menyimpan sesuatu yang bisa membantu kita.”

Mereka tidak punya pilihan lain. Makhluk-makhluk itu mulai bergerak maju, sementara Profesor Farhan tetap berdiri diam, matanya masih kosong.

Rafael meraih tangan Alea dan menariknya ke sisi lain lorong, menemukan jalan turun yang lebih gelap.

Mereka berlari menuruni anak tangga batu yang curam, suara langkah kaki mereka bergema di antara lorong-lorong kuno. Dari belakang, suara erangan rendah terdengar, semakin mendekat.

Setelah beberapa menit berlari tanpa henti, mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan besar.

Dan pemandangan di hadapan mereka membuat Alea terkejut.

Di tengah ruangan, sebuah kota bawah tanah terbentang luas. Bangunan-bangunan batu berjejer, beberapa di antaranya tampak masih utuh, sementara yang lain sudah tertutup reruntuhan. Cahaya keemasan dari kristal besar yang tertanam di langit-langit gua menerangi seluruh tempat, menciptakan suasana magis dan menakutkan sekaligus.

Rafael menatapnya dengan takjub. “Ini dia… kota yang tersembunyi.”

Alea melangkah maju, menatap sekeliling dengan waspada. “Tapi di mana penduduknya?”

Saat itulah mereka menyadari—tempat ini mungkin tidak sepi.

Di salah satu bangunan besar yang tampak seperti kuil utama, terdengar suara langkah kaki yang berat. Lalu, dari balik pintu batu yang tinggi, muncul sosok tinggi berkulit pucat dengan mata yang sama merahnya seperti makhluk-makhluk yang mengejar mereka.

Tapi kali ini, sosok itu tidak berbentuk bayangan.

Ia memiliki wujud manusia—seorang pria tinggi dengan jubah panjang berwarna gelap, wajahnya dipenuhi ukiran seperti tato kuno, dan auranya memancarkan kekuatan yang luar biasa.

Pria itu menatap mereka dengan ekspresi datar, seolah-olah sudah lama menunggu kedatangan mereka.

“Akhirnya,” suaranya dalam dan bergema di seluruh ruangan. “Seseorang yang pantas menemukan kota ini.”

Alea dan Rafael saling berpandangan.

Mereka baru saja masuk lebih dalam ke misteri kota bawah tanah ini.

Dan orang di hadapan mereka… mungkin adalah kunci dari semua jawaban.

Bab 7: Konspirasi Kuno

Alea menggenggam pistolnya lebih erat, sementara Rafael berdiri tegap di sampingnya. Mata mereka terpaku pada sosok pria berjubah gelap dengan tatapan tajam dan ukiran aneh di wajahnya. Sosok itu tampak tenang, bahkan seolah menikmati pertemuan ini.

“Siapa kau?” Alea akhirnya bertanya, suaranya tetap tegas meskipun jantungnya berdebar kencang.

Pria itu melangkah maju, jubahnya yang panjang menyapu lantai batu kota bawah tanah yang megah. “Aku adalah Atarax, penjaga kota ini. Yang terakhir dari keturunan penguasa yang seharusnya tetap tersembunyi.”

Alea menyipitkan mata. “Penjaga? Lalu apa yang terjadi pada Profesor Farhan? Kami datang mencarinya.”

Atarax tersenyum kecil, tapi senyuman itu lebih menyeramkan daripada menenangkan. “Profesor Farhan… Dia sudah membuka sesuatu yang tidak seharusnya dibuka.”

Rafael menegang. “Apa maksudmu?”

Atarax mengangkat tangannya, dan di saat itu, dinding di belakangnya mulai berpendar. Cahaya biru keemasan muncul dari ukiran kuno yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang. Saat cahaya itu semakin terang, sosok Profesor Farhan terlihat di dalam sebuah bilik batu, tubuhnya masih berdiri tegak dengan mata tertutup, seolah sedang tertidur.

Alea menahan napas. “Dia masih hidup.”

“Tapi tidak lama lagi,” kata Atarax dengan tenang.

Alea dan Rafael langsung bersiap, bersiaga dengan senjata masing-masing.

“Kau menyanderanya?” Alea bertanya tajam.

Atarax menggeleng. “Tidak. Dia sendiri yang masuk ke dalam perangkap ini. Dia berpikir dia bisa mengungkap rahasia kota ini, seperti yang dilakukan manusia lainnya sebelum dia. Dan seperti mereka… dia gagal.”

Alea melirik ke arah Rafael, yang kini tampak lebih waspada.

“Kota ini menyimpan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar reruntuhan kuno,” lanjut Atarax. “Kota ini adalah peradaban yang dilupakan, tempat di mana kehidupan dan kematian tidak lagi mengikuti aturan dunia atas.”

Alea mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Atarax menatapnya dalam-dalam. “Manusia berpikir mereka telah menaklukkan dunia, tetapi mereka tidak tahu bahwa ada dunia lain yang berjalan di bawahnya. Kota ini adalah pusat dari sesuatu yang lebih besar—sumber kehidupan yang tidak bisa mati.

Rafael, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara, suaranya dingin. “Jadi legenda tentang kota ini memang benar. Kota ini bukan hanya tempat kuno yang hilang… tapi juga pusat kekuatan yang telah dijaga selama ribuan tahun.”

Atarax mengangguk. “Dan siapapun yang mencoba menguasainya… akan dihancurkan.”

Alea merasakan bulu kuduknya meremang. “Jadi makhluk-makhluk itu… mereka adalah bagian dari perlindungan kota ini?”

“Atau mungkin…” Atarax tersenyum tipis. “Mereka adalah manusia yang mencoba mengambil kekuatan kota ini… dan gagal.”

Jantung Alea berdegup lebih cepat. Jika itu benar, maka Profesor Farhan bisa saja berubah menjadi salah satu dari mereka.

“Kami tidak datang untuk mengambil apapun,” Alea berkata dengan suara lebih rendah, berusaha tetap tenang. “Kami hanya ingin membawa Profesor Farhan keluar.”

Atarax menatapnya lama, lalu melirik ke arah Rafael. “Aku percaya kau tidak akan menyerah semudah itu, Rafael. Bagaimana kabar keluargamu?”

Rafael langsung menegang. Alea bisa melihat rahangnya mengeras dan matanya dipenuhi kemarahan.

“Kau mengenalnya?” Alea menoleh ke Rafael dengan kecurigaan yang semakin besar.

Atarax tertawa pelan. “Tentu saja. Karena darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah orang biasa.”

Rafael melangkah maju dengan tatapan tajam. “Aku tidak punya urusan denganmu, Atarax.”

“Tapi kau punya urusan dengan kota ini,” jawab Atarax, ekspresinya serius. “Karena keluargamu adalah bagian dari mereka yang seharusnya melindungi tempat ini.”

Alea menatap Rafael dengan terkejut. “Apa maksudnya ini, Rafael?”

Rafael mengepalkan tangan, lalu menoleh ke arah Alea. “Aku tidak pernah memberitahumu karena aku tidak yakin… Tapi keluargaku memang memiliki keterkaitan dengan kota ini.”

Alea tidak percaya. “Jadi kau bukan hanya sekadar petualang yang ingin menemukan kota ini? Kau memiliki warisan di sini?”

Rafael mengangguk perlahan, tapi sebelum ia bisa menjelaskan lebih lanjut, suara keras terdengar dari bilik batu di mana Profesor Farhan berada.

Cahaya yang menyelubungi tubuh profesor tiba-tiba berpendar lebih terang, dan dalam sekejap, Profesor Farhan membuka matanya—namun kini, matanya tidak lagi seperti mata manusia.

Mata itu bersinar merah.

Alea menegang.

“Atarax,” bisiknya pelan. “Apa yang terjadi padanya?”

Atarax menatap Profesor Farhan tanpa ekspresi. “Sepertinya… dia sudah menjadi bagian dari kota ini.”

Alea menyadari sesuatu. Profesor Farhan bukan hanya terperangkap di sini.

Dia telah menjadi bagian dari kutukan kota ini.

Dan waktu mereka semakin menipis.

Bab 8: Pelarian Berbahaya

Alea tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Profesor Farhan. Mata pria tua itu yang dulu penuh semangat kini bersinar merah—bukan merah alami seperti mata seseorang yang lelah, tetapi merah pekat, seperti cahaya yang berasal dari dalam tubuhnya.

Profesor itu berdiri kaku, tubuhnya sedikit gemetar. Kemudian, bibirnya bergerak, mengeluarkan suara serak yang tidak sepenuhnya manusiawi.

“Aku… melihat… semuanya…”

Suaranya bergema, membuat bulu kuduk Alea meremang.

“Apa yang terjadi padanya?” bisik Alea pada Atarax, yang masih berdiri dengan tenang di samping mereka.

Atarax menatap profesor dengan ekspresi netral. “Dia telah tersentuh oleh inti kekuatan kota ini. Dan sekarang… dia sedang berada di antara hidup dan mati.”

Alea menoleh ke Rafael, berharap ada jawaban yang lebih masuk akal. Tapi ekspresi Rafael tidak lebih baik. Rahangnya mengeras, matanya dipenuhi kehati-hatian.

“Jika kita tidak segera membawanya keluar, dia akan berubah,” kata Rafael pelan.

Alea mengernyit. “Berubah jadi apa?”

Atarax menyeringai kecil. “Seperti mereka.”

Alea langsung tahu siapa yang dimaksud Atarax—makhluk-makhluk bayangan dengan mata merah yang mengejar mereka sebelumnya.

“Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,” kata Alea tegas.

Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju, meraih tangan Profesor Farhan. Pria tua itu berkedip, seolah kesadarannya sedikit kembali.

“Profesor, ayo kita keluar dari sini,” kata Alea.

Tetapi begitu ia menariknya, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Tangan profesor tiba-tiba mencengkeram pergelangan Alea dengan kekuatan yang tak masuk akal. Napas Alea tercekat saat merasakan cengkeraman yang begitu kuat, jari-jari profesor seperti baja yang menghimpit kulitnya.

“Kota ini… tidak akan membiarkan siapa pun pergi…”

Alea menahan napas. “Profesor… tolong lepaskan aku.”

Tapi profesor tidak bergerak. Matanya yang merah semakin menyala, dan tubuhnya mulai bergetar hebat.

Rafael segera bereaksi. Dengan cepat, ia menarik Alea menjauh dengan paksa, membuat tangan profesor terlepas dari cengkeramannya. Alea jatuh terduduk di lantai batu, mengusap pergelangannya yang kini memerah.

Profesor Farhan mengeluarkan suara erangan pelan, lalu tubuhnya mulai berubah.

Kulitnya menghitam seperti batu, urat-uratnya menonjol dengan cahaya merah samar. Postur tubuhnya yang dulu rapuh kini semakin kokoh dan tinggi.

Alea langsung tahu—mereka sudah terlambat.

Profesor Farhan bukan lagi manusia.

Atarax tersenyum tipis. “Sepertinya dia sudah menjadi bagian dari kota ini sepenuhnya.”

Alea segera meraih pistolnya dan membidik profesor, meskipun dalam hatinya, ia merasa berat melakukan ini.

“Rafael,” katanya tanpa mengalihkan pandangan. “Apa kita masih bisa menyelamatkannya?”

Rafael terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Tidak.”

Alea menggigit bibir. Ia tidak ingin percaya. Profesor Farhan adalah alasan kenapa mereka ada di sini. Jika mereka kehilangan dia… maka semuanya akan sia-sia.

Tetapi profesor yang berdiri di hadapan mereka bukan lagi sosok yang mereka kenal.

Tiba-tiba, makhluk itu melompat ke arah mereka dengan kecepatan yang mengejutkan.

Alea dan Rafael langsung menghindar ke samping. Makhluk yang dulunya Profesor Farhan menghantam lantai batu dengan keras, menciptakan retakan besar.

“Lari!” teriak Rafael.

Tanpa berpikir panjang, mereka berdua langsung berlari menuju lorong lain yang mengarah keluar dari aula besar. Atarax hanya berdiri diam, mengamati mereka dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.

Saat mereka memasuki lorong sempit, suara geraman dan langkah berat mengikuti mereka dari belakang. Makhluk itu mengejar mereka, dan kini ia lebih cepat serta lebih kuat.

Jantung Alea berdetak kencang saat ia melihat cahaya samar di ujung lorong. Itu adalah satu-satunya jalan keluar mereka.

“Tangga! Ke atas!” seru Rafael.

Mereka menaiki tangga batu dengan cepat, tetapi sebelum mereka mencapai puncaknya, sesuatu menghantam dinding di belakang mereka dengan keras. Lorong itu mulai runtuh, batu-batu besar jatuh dari langit-langit, memisahkan mereka dengan makhluk yang mengejar mereka.

Alea menoleh ke belakang. Debu tebal memenuhi udara, dan di balik reruntuhan, mata merah itu masih bersinar.

Tapi mereka tidak punya waktu.

Mereka terus berlari, menembus lorong yang semakin menyempit hingga akhirnya mereka tiba di pintu keluar kota bawah tanah—sebuah gerbang batu besar yang tampaknya merupakan jalur utama yang dulu digunakan penduduk kota ini.

Namun ada satu masalah.

Pintu gerbang itu tertutup rapat.

Alea berbalik ke Rafael, napasnya terengah-engah. “Bagaimana kita membukanya?”

Rafael mengeluarkan benda kecil dari sakunya—potongan kunci batu yang ia temukan di penginapan tempat Profesor Farhan menghilang.

“Ini satu-satunya cara.”

Ia berlari ke arah panel di samping pintu, memasukkan kunci batu ke dalam celah yang sesuai.

Detik berikutnya, suara mekanisme kuno terdengar. Batu-batu besar mulai bergeser perlahan.

Tetapi dari balik reruntuhan, terdengar suara geraman keras.

Mereka tidak punya waktu.

“Cepat! Pintu mulai terbuka!” seru Alea.

Celah di pintu gerbang semakin membesar. Rafael segera menarik Alea, dan mereka berdua berlari melewati celah tersebut.

Begitu mereka berada di luar, Rafael menarik tuas lain yang ada di sisi luar pintu. Mekanisme di dalamnya bekerja, dan pintu batu itu tertutup kembali dengan keras—meninggalkan kegelapan dan segala yang ada di dalamnya.

Hening.

Alea terjatuh ke tanah, berusaha mengatur napasnya.

Rafael berdiri di sampingnya, wajahnya penuh debu dan keringat.

Mereka berhasil keluar.

Tapi sesuatu di dalam kota bawah tanah itu masih hidup.

Dan mereka tahu… ini belum berakhir.

Bab 9: Kebenaran yang Menyakitkan

Alea masih terduduk di tanah, napasnya terengah-engah. Debu menempel di wajahnya, tangannya sedikit gemetar setelah pelarian yang nyaris merenggut nyawanya. Di sampingnya, Rafael berdiri diam, menatap pintu batu besar yang baru saja mereka tutup—pintu yang kini mengurung Profesor Farhan selamanya di dalam kota bawah tanah.

Hening.

Mereka berhasil keluar. Tapi itu tidak berarti mereka menang.

Alea menunduk, merasakan beban yang begitu berat menekan dadanya. Ia datang ke sini untuk menyelamatkan Profesor Farhan, tetapi sekarang… dia bukan lagi manusia.

“Kita tidak seharusnya meninggalkannya,” suara Alea terdengar pelan, hampir seperti bisikan.

Rafael menghela napas dalam. “Alea… dia sudah tidak bisa diselamatkan.”

Alea mendongak, menatapnya dengan mata penuh amarah dan kesedihan. “Kita bahkan tidak mencoba! Bagaimana kalau ada cara untuk membawanya kembali?”

“Dan bagaimana kalau tidak ada?” Rafael menatapnya dalam. “Bagaimana kalau yang kita hadapi tadi bukan lagi Profesor Farhan, tapi makhluk lain yang hanya menggunakan tubuhnya?”

Alea terdiam. Ia ingin membantah, tapi kenyataannya sudah jelas. Profesor Farhan telah menjadi bagian dari kutukan kota itu.

“Aku… tidak bisa menerimanya,” bisiknya.

“Tapi kita harus.” Rafael berjongkok di hadapannya, suaranya lebih lembut. “Kalau kita memaksa kembali ke dalam, kita hanya akan menemui nasib yang sama.”

Alea menggigit bibirnya, menahan emosi yang berkecamuk. Ia datang untuk menyelamatkan seseorang, tapi malah kehilangan dia sepenuhnya.

Apa semua ini sia-sia?

Namun, sebelum ia bisa larut dalam pikirannya, sebuah suara mengejutkannya.

CLAP! CLAP! CLAP!

Suara tepuk tangan menggema di lorong tempat mereka berada.

Alea dan Rafael langsung berdiri sigap, senjata mereka terangkat. Dari bayangan, seseorang berjalan mendekat dengan langkah santai.

Atarax.

Pria itu tersenyum kecil, ekspresinya tampak puas. “Luar biasa. Aku pikir kalian tidak akan bisa keluar dari sana hidup-hidup.”

Alea menatapnya dengan curiga. “Apa maksudmu?”

Atarax mengangkat bahu. “Aku hanya mengamati. Lagi pula, aku ingin tahu… apakah darah yang mengalir dalam diri Rafael cukup kuat untuk membawanya keluar.”

Alea menoleh ke Rafael, yang kini berdiri tegang.

“Apa kau sudah tahu ini sejak awal?” Rafael bertanya dingin.

“Tentu saja,” jawab Atarax dengan tenang. “Aku sudah tahu siapa kau sejak pertama kali melihatmu.”

Alea mengernyit. “Apa maksudnya?”

Atarax tersenyum tipis. “Rafael bukan hanya seorang petualang biasa, Alea. Dia adalah keturunan dari salah satu pendiri kota bawah tanah itu.”

Jantung Alea berdegup keras. “Apa?”

Rafael mengepalkan tangannya. “Aku tidak peduli dengan darah yang mengalir dalam tubuhku.”

“Tapi kota itu peduli.” Atarax melangkah lebih dekat. “Dan itulah alasan kenapa kau tidak pernah bisa menghindarinya. Kau dipanggil kembali ke sana.”

Alea masih berusaha mencerna semuanya. “Jadi… kota bawah tanah itu bukan hanya legenda? Kau bilang keluarga Rafael adalah bagian dari pendirinya?”

Atarax mengangguk. “Bukan hanya bagian dari pendirinya, tapi juga penjaganya. Kota itu dulu dibangun sebagai tempat perlindungan, tapi kemudian menjadi kutukan bagi mereka yang berusaha mengambil apa yang bukan miliknya.”

Alea mulai memahami sesuatu. “Itu sebabnya Profesor Farhan berubah?”

Atarax tersenyum. “Benar. Mereka yang mencoba mengambil kekuatan kota itu… akan dihancurkan olehnya.”

Alea merasakan hatinya semakin berat. Ini berarti Profesor Farhan tidak pernah memiliki kesempatan sejak awal.

Dia bukan hanya tidak bisa diselamatkan.

Dia sudah ditakdirkan untuk menjadi bagian dari kota itu sejak ia menemukannya.

Rafael melangkah maju, menatap Atarax dengan penuh ketegangan. “Jadi, kenapa kau membiarkan kami pergi?”

Atarax menyeringai kecil. “Karena aku ingin melihat pilihanmu.”

Alea menatap Rafael dengan penuh kebingungan. “Pilihan apa?”

Atarax melipat tangannya di dada. “Rafael punya dua pilihan. Tetap hidup sebagai manusia biasa dan melupakan kota itu… atau kembali ke dalam dan menjadi bagian dari takdirnya.”

Alea langsung merasa dadanya mencelos. “Tidak… kau tidak akan mempertimbangkan itu, kan?”

Rafael terdiam. Ia tidak langsung menjawab, dan itu membuat Alea semakin panik.

“Aku bisa merasakan panggilannya,” kata Rafael akhirnya. “Aku bisa merasakan sesuatu menarikku kembali.”

Alea menggenggam tangannya. “Jangan lakukan ini.”

Rafael menatapnya dengan ekspresi rumit. “Bagaimana kalau ini memang takdirku, Alea?”

“Terserah padamu,” kata Atarax. “Tapi ketahuilah satu hal—kota itu tidak akan berhenti memanggilmu. Seberapa jauh pun kau berlari, ia akan selalu ada dalam dirimu.”

Alea menggeleng. “Jangan dengarkan dia, Rafael. Kita bisa pergi dari sini. Kita bisa kembali ke kehidupan normal.”

“Tapi aku tidak pernah punya kehidupan normal,” Rafael berkata pelan. “Aku selalu bertanya-tanya kenapa aku tertarik ke kota ini. Kenapa aku selalu merasa aku harus menemukannya.”

Alea merasakan dadanya semakin sesak.

“Kau tidak harus kembali,” bisiknya. “Kau bisa memilih untuk tetap di sini… denganku.”

Rafael menatapnya lama. “Alea…”

Atarax tersenyum kecil. “Kau punya waktu untuk berpikir. Tapi tidak banyak.”

Rafael akhirnya menarik napas dalam dan mengangguk. “Aku akan membuat keputusan sebelum matahari terbit.”

Atarax tampak puas. Ia memberi salam kecil dengan kepalanya, lalu perlahan berjalan menjauh, kembali ke dalam kegelapan.

Kini hanya Alea dan Rafael yang tersisa di lorong itu.

Alea menggenggam tangan Rafael lebih erat. “Jangan lakukan ini.”

Rafael tidak menjawab. Ia hanya menatap kota yang baru saja mereka tinggalkan… seolah-olah hatinya masih tertinggal di sana.

Dan Alea tahu… ia mungkin akan kehilangannya.

Bab 10: Labirin Cinta yang Tak Berujung

Langit mulai berubah warna, dari gelap pekat menjadi semburat keemasan. Matahari mulai terbit di balik pegunungan, menciptakan siluet menakjubkan di cakrawala. Alea berdiri di tepi jurang kecil, menatap ke arah reruntuhan kota bawah tanah yang tersembunyi di balik bebatuan.

Di sampingnya, Rafael berdiri diam. Ia sudah memikirkan segalanya sejak mereka keluar dari kota itu. Dan sekarang, ia harus memilih.

Alea menatapnya. “Kau benar-benar akan kembali?”

Rafael tidak langsung menjawab. Ia hanya menutup matanya sejenak, merasakan angin dingin yang berhembus.

“Aku tidak tahu,” katanya akhirnya. “Tapi aku tahu satu hal… kota itu masih memanggilku.”

Alea mengepalkan tangannya. “Kau tidak harus mendengarkannya, Rafael.”

“Tapi kalau aku pergi sekarang, aku tidak akan pernah tahu kebenarannya.” Rafael menoleh padanya, matanya penuh keraguan. “Aku tidak ingin menjalani hidupku dengan pertanyaan yang terus menghantuiku.”

Alea menggigit bibirnya. Ia tahu Rafael keras kepala. Tapi kali ini, ia tidak bisa membiarkannya kembali.

“Kota itu mengubah orang, Rafael,” katanya pelan. “Kau melihat sendiri apa yang terjadi pada Profesor Farhan.”

Rafael menatap tanah. “Aku tidak seperti Profesor Farhan.”

“Tapi kau juga tidak kebal,” kata Alea tegas.

Hening.

Alea merasa dadanya sesak. Ia tidak pernah menyangka perjalanan ini akan berakhir seperti ini. Ia datang untuk menyelamatkan seseorang, tapi malah menemukan seseorang yang benar-benar membuatnya peduli.

Seseorang yang bisa ia cintai.

Rafael menatap matanya dalam-dalam, seolah bisa membaca pikirannya. “Alea…”

Alea menggeleng, air mata hampir jatuh dari matanya. “Jangan pergi.”

Rafael menghela napas, lalu menyentuh pipinya dengan lembut. Sentuhannya hangat, kontras dengan dinginnya pagi yang mulai menyelimuti mereka.

“Aku ingin tinggal bersamamu,” bisiknya.

Alea merasa harapan muncul di hatinya. “Lalu tetaplah.”

Tapi Rafael tersenyum pahit. “Aku juga ingin tahu siapa diriku sebenarnya.”

Hatinya mencelos. Ia tahu jawabannya sebelum Rafael mengatakannya.

Rafael perlahan melepaskan genggamannya, lalu mundur selangkah. “Aku janji… aku akan kembali.”

Alea tidak bisa berkata-kata. Hanya matanya yang berbicara, penuh dengan luka dan ketakutan akan kehilangan.

Rafael menatapnya satu kali lagi sebelum berbalik. Ia mulai berjalan menjauh, kembali ke jalur yang akan membawanya ke kota bawah tanah itu.

Alea ingin menghentikannya, ingin memanggil namanya sekali lagi. Tapi ia tahu… ini adalah sesuatu yang harus Rafael lakukan.

Dan ia hanya bisa menunggu.

Saat Rafael menghilang di balik reruntuhan, Alea berdiri diam di tempatnya.

Angin berhembus lembut, membawa bisikan yang entah dari mana.

Ia tidak tahu apakah Rafael akan benar-benar kembali.

Tapi di hatinya, ia akan selalu menunggu.

Dan labirin ini…

Labirin cinta yang tak berujung… kini menjadi bagian dari hidupnya.

(Tamat.)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *