Novel Singkat Seribu Langkah Menuju Kematian
Novel Singkat Seribu Langkah Menuju Kematian

Novel Singkat: Seribu Langkah Menuju Kematian

Leon, seorang pemburu bayaran yang ingin pensiun, menerima misi terakhirnya: menangkap seorang wanita bernama Alana yang dikabarkan memiliki informasi tentang harta karun legendaris. Namun, pada saat itu, ia justru terjebak dalam jebakan besar yang mengancam nyawa mereka berdua. Alana bukanlah target biasa—dia adalah kunci dari sebuah rahasia yang bisa mengubah dunia.

Dikejar oleh kelompok bayangan yang ingin membunuh mereka, Leon dan Alana harus bertarung melewati gurun yang mematikan, menghadapi pengkhianatan, dan membuat pilihan sulit antara hidup, mati, dan cinta. Dengan waktu yang terus berjalan dan musuh yang semakin dekat, mereka harus mengambil keputusan yang akan menentukan akhir perjalanan mereka.

Bab 1: Misi Terakhir

Hembusan angin malam membawa aroma debu dan besi tua, menyelinap di antara gang-gang sempit kota perbatasan yang berpendar dalam cahaya neon redup. Leon menyesap rokok terakhirnya, membiarkan asapnya menari sebelum lenyap di udara. Tangannya—kokoh dan penuh bekas luka—meremas kertas kecil berisi detail misinya. Nama targetnya tertulis di sana, dengan bayaran yang cukup besar untuk membuatnya bisa menghilang dari dunia yang penuh darah ini.

Alana Reyes.

Seorang wanita yang konon menyimpan informasi tentang harta karun legendaris. Sesuatu yang dicari banyak orang, dari para pencuri kelas teri hingga organisasi bawah tanah yang tak segan membunuh demi mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun, Leon bukan sekadar pemburu bayaran biasa. Dia memilih pekerjaannya, dan dia selalu menyelesaikan misi tanpa jejak.

Malam itu, ia berdiri di sebuah balkon reyot di atas bar tua, mengamati targetnya yang duduk di sudut ruangan. Alana berbeda dari yang ia bayangkan. Bukan wanita lemah yang butuh perlindungan, bukan juga seorang informan murahan. Rambutnya hitam, tergerai acak, dengan sorot mata yang tajam namun menyimpan sesuatu yang sulit diuraikan—ketakutan atau keteguhan? Ia mengenakan jaket kulit yang sudah lusuh, sepatu bot yang menandakan dirinya lebih sering berlari daripada menetap.

‘Kenapa seseorang sepertinya menjadi target sebesar ini?’ pikir Leon.

Ia sudah lama berhenti mempertanyakan moralitas pekerjaannya. Namun, ada sesuatu tentang misi ini yang terasa… salah.

Leon turun dari balkon, berjalan memasuki bar yang penuh dengan aroma alkohol dan kebisingan. Ia mengambil tempat di meja dekat pintu belakang, cukup jauh untuk tidak menarik perhatian, tetapi cukup dekat untuk mengamati setiap gerak-gerik Alana.

Sebuah suara lirih terdengar dari earphone kecil di telinganya.

“Target dikonfirmasi. Tangkap hidup-hidup. Jangan ada saksi.”

Perintah dari pemberi kerja terdengar dingin seperti biasa. Leon tidak bertanya lebih jauh. Dia hanya butuh pembayaran dan pergi jauh dari kehidupan ini.

Saat ia bersiap mendekat, sekelompok pria dengan seragam hitam masuk ke bar. Mereka tidak berusaha menyembunyikan niat mereka. Mata mereka tertuju langsung pada Alana.

Sial.

Leon refleks menarik napas dalam, menilai situasi. Jika kelompok ini berasal dari organisasi yang sama dengannya, itu berarti sesuatu telah berubah—mereka tidak hanya menginginkan Alana, mereka ingin menghabisinya.

Sebelum dia bisa mengambil keputusan, salah satu pria itu mengeluarkan pistol berperedam suara. Suara tembakan kecil meletup, kaca botol di meja Alana pecah, membuat wanita itu refleks melompat dari kursinya.

Sekejap, bar yang tadinya penuh musik dan tawa berubah menjadi kekacauan.

Alana menarik belati dari jaketnya, gerakannya gesit seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi situasi hidup dan mati. Dengan satu ayunan cepat, dia menebas tangan pria bersenjata yang mencoba menarik pelatuk lagi. Darah mengucur, sementara pria itu meraung kesakitan.

Leon hanya bisa mendecak.

“Sepertinya kau bukan gadis biasa, ya?” gumamnya.

Tanpa berpikir panjang, ia bergerak cepat, meraih pergelangan tangan Alana sebelum wanita itu bisa menyerangnya juga. Matanya bertemu dengan mata Alana—tajam, penuh kewaspadaan.

“Kau siapa?” desis Alana.

“Orang yang baru saja menyelamatkanmu,” jawab Leon santai, meskipun dia tahu betul dialah yang seharusnya menangkap wanita ini.

Alana ragu sejenak, tapi melihat lebih banyak pria bersenjata masuk, dia tidak punya pilihan lain selain percaya pada pria asing ini.

“Keluar dari sini dulu. Aku tak suka berutang budi,” ucap Alana sebelum menarik Leon ke pintu belakang.

Mereka berlari menembus gang-gang gelap, napas terengah di antara suara tembakan yang mulai terdengar dari belakang.

Saat mereka bersembunyi di balik reruntuhan bangunan tua, Alana menatap Leon dengan sorot mata penuh kecurigaan.

“Aku tahu tipe orang sepertimu. Pria yang tak peduli pada apa pun kecuali dirinya sendiri. Pemburu bayaran, bukan?”

Leon hanya terkekeh, menyulut rokok lain, meskipun tangannya masih mencengkeram pistolnya.

“Mungkin. Tapi aku juga tahu tipe orang sepertimu. Mereka yang terlalu lama melarikan diri, sampai lupa kapan harus berhenti.”

Alana menatapnya tajam.

“Dan kau pikir aku harus berhenti?”

Leon menghembuskan asap pelan.

“Tidak. Aku hanya ingin tahu apa yang kau larikan sebenarnya. Karena dari caramu bertarung tadi, kau bukan hanya seseorang yang ingin bertahan hidup. Kau seseorang yang menyembunyikan sesuatu lebih besar dari dirimu sendiri.”

Suasana menjadi hening sesaat.

Alana menatap langit, lalu berkata dengan suara lirih, “Bukan aku yang melarikan diri. Tapi dunia yang ingin menghapusku.”

Leon menatap wanita itu lebih lama dari yang seharusnya. Untuk pertama kalinya, misi ini terasa lebih rumit dari sekadar menangkap seseorang.

Dan mungkin, ini bukan lagi sekadar pekerjaan.

Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Namun, jauh di dalam hatinya, dia tahu—apapun yang ada di ujung perjalanan ini, entah itu kematian atau kebenaran, dia tak akan pernah bisa kembali ke kehidupannya yang lama.

Karena setelah seribu langkah menuju kematian, hanya ada satu jalan: terus maju atau mati di tempat.

Bab 2: Wanita yang Tak Bisa Ditangkap

Dingin malam menyelimuti lorong-lorong kota perbatasan yang sunyi. Napas Alana masih terengah saat ia dan Leon bersembunyi di balik dinding batu tua, menunggu langkah-langkah berat para pemburu yang mengejar mereka berlalu.

Leon, dengan sikapnya yang santai seperti biasa, hanya bersandar di tembok, menyulut rokok dan mengisapnya perlahan.

“Aku tak butuh bantuanmu,” bisik Alana dengan suara yang tajam, matanya masih mengamati sekeliling dengan penuh kewaspadaan.

Leon menatapnya sekilas, lalu mengembuskan asap ke udara. “Lucu. Kalau begitu, kenapa aku masih di sini?”

Alana mendengus, merasa tak perlu menjawab. Dia sudah cukup lama hidup dalam pelarian untuk tahu satu hal—tak ada orang baik yang tiba-tiba datang membantu tanpa alasan.

Leon menegakkan tubuhnya, menyimpan rokoknya lalu menarik senjata dari pinggangnya. “Dengar, aku juga tak ingin terlibat lebih jauh. Awalnya aku memang datang untuk menangkapmu, tapi sekarang aku berubah pikiran.”

Alana membeku. “Menangkapku?”

Leon tersenyum tipis. “Sial, aku seharusnya tidak mengatakan itu, ya?”

Tak ada waktu untuk berdebat. Dari kejauhan, suara langkah kaki mendekat. Alana melirik lorong kecil di samping mereka dan memberi isyarat.

“Kita harus pergi. Ada tempat aman di dekat sini.”

Leon mengikutinya, meskipun ia tahu bahwa kata ‘tempat aman’ tidak pernah benar-benar ada dalam dunia seperti ini.

Mereka tiba di pasar bawah tanah, tempat orang-orang yang lebih memilih bersembunyi daripada hidup di permukaan berkumpul. Cahaya lampu neon redup menerangi gang-gang yang dipenuhi kios kecil menjual barang-barang ilegal—senjata, narkoba, informasi, bahkan identitas palsu.

Namun, baru saja mereka menginjakkan kaki di dalam, suasana berubah tegang. Beberapa pria berotot dengan tato khas organisasi kriminal lokal mulai menatap mereka dengan curiga.

Alana menggigit bibirnya. “Brengsek.”

Leon melirik ke arahnya. “Apa kau baru saja menyeretku ke sarang musuh?”

Sebelum Alana bisa menjawab, seseorang berseru, “Dia di sini! Tangkap dia!”

Tiba-tiba, pasar bawah tanah berubah menjadi arena pertempuran.

Leon mengumpat sebelum menarik pistolnya, menembak lampu di atas mereka hingga ruangan menjadi gelap. Alana, tanpa ragu, meraih belati dari jaketnya dan melompat ke arah pria pertama yang mencoba menangkapnya. Dalam sekali tebasan, ia menjatuhkan lawannya.

Leon mengamati dengan alis terangkat.

“Baiklah,” gumamnya, “aku semakin tertarik denganmu.”

Saat mereka bersembunyi di salah satu kios yang terbengkalai setelah berhasil melarikan diri, Alana menatap Leon dengan ekspresi penuh kemarahan.

“Kau datang untuk menangkapku. Aku tak tahu siapa yang mengirimmu, tapi aku bukan orang bodoh.”

Leon, yang tengah memeriksa peluru di pistolnya, hanya tersenyum tipis.

“Aku tahu kau bukan orang bodoh. Justru itu masalahnya.”

Alana mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”

Leon menyeringai.

“Biasanya, targetku mudah diprediksi. Mereka melawan atau menyerah. Tapi kau? Kau berbeda. Kau bertarung seperti seseorang yang tahu dia tidak punya jalan keluar. Seperti seseorang yang sudah lama kehilangan segalanya, tapi masih memilih untuk berjuang.”

Alana terdiam.

Matanya menatap jauh ke lorong yang gelap, seolah mengingat sesuatu dari masa lalunya.

Kemudian, dengan suara lirih, ia berbisik, “Aku bukan pejuang. Aku hanya seseorang yang tidak ingin mati sebelum waktunya.”

Leon menatapnya lama.

Malam ini, ia semakin yakin.

Misi ini lebih dari sekadar menangkap seorang wanita.

Ia baru saja melibatkan dirinya dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia duga.

Saat fajar mulai menyingsing, Alana dan Leon meninggalkan pasar bawah tanah dengan tubuh penuh luka dan napas terengah.

Namun, perjalanan mereka baru saja dimulai.

Di kejauhan, seorang pria dengan setelan rapi mengangkat ponselnya.

“Leon mengkhianati kita.”

Suara di seberang telepon terdengar dingin.

“Hancurkan mereka.”

Bab 3: Tawaran yang Berbahaya

Denting lonceng samar terdengar dari kejauhan, menandai fajar pertama setelah malam panjang yang hampir merenggut nyawa mereka. Leon dan Alana berjalan perlahan di sepanjang jalanan berdebu, jauh dari hiruk-pikuk kota perbatasan yang kini penuh dengan orang-orang yang ingin membunuh mereka.

Alana sesekali menoleh ke belakang, memastikan mereka tidak sedang diikuti. Sementara Leon, dengan gaya santainya yang khas, hanya memasukkan tangan ke dalam saku jaketnya seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Tinggalkan aku di sini,” kata Alana tiba-tiba, suaranya terdengar dingin.

Leon meliriknya sekilas. “Oh? Dan membiarkanmu mati dalam hitungan jam?”

Alana mendengus, lalu berhenti melangkah. “Dengar, aku tidak tahu siapa yang mengirimmu untuk menangkapku, tapi aku tahu satu hal—kau masih bisa selamat jika kau pergi sekarang.”

Leon menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Dan membiarkanmu mati di gurun ini sendirian? Aku pikir kau lebih pintar dari itu.”

Alana menggertakkan giginya. “Aku tidak butuh penyelamat.”

Leon terkekeh, menyalakan rokoknya. “Dan aku bukan penyelamat. Aku hanya ingin tahu apa yang membuatmu begitu berharga sampai orang-orang ingin membunuhmu.”

Alana terdiam.

Dia tahu saat ini dia tidak punya banyak pilihan. Jika Leon meninggalkannya, dia akan menjadi target empuk bagi para pemburu lain. Tapi jika dia terus membiarkannya ikut, semakin besar risiko pria itu tahu terlalu banyak.

Akhirnya, dia menghela napas. “Kita harus pergi ke perbatasan gurun.”

Leon menaikkan sebelah alisnya. “Oh? Apa yang ada di sana?”

“Jawaban,” jawab Alana singkat. “Dan mungkin, sesuatu yang lebih berbahaya dari orang-orang yang mengejarku.”

Leon tersenyum. “Kedengarannya menarik.”

Mereka menyelinap ke sebuah bengkel tua di pinggiran kota, tempat seorang pria tua dengan bekas luka di wajahnya menatap mereka dengan penuh kewaspadaan.

“Kau membawa masalah, Alana,” kata pria itu sambil menyilangkan tangan.

Alana mendekat. “Kami butuh kendaraan.”

Pria itu mendesah, lalu menggeleng. “Kau tahu, setiap kali kau datang, ada mayat yang tersisa setelahnya.”

“Kali ini tidak,” jawab Alana yakin.

Pria itu menatap Leon dengan tajam. “Siapa dia?”

“Bukan urusanmu,” kata Alana cepat.

Leon hanya terkekeh. “Oh, jangan khawatir, Pak Tua. Aku hanya seseorang yang sedang menikmati perjalanan menuju kematiannya.”

Pria itu mendengus. “Kau memilih wanita yang salah untuk menemani perjalananmu, Nak.”

Leon tersenyum tipis. “Aku mulai menyadarinya.”

Saat pria itu berbalik untuk mengambil kunci mobil, sesuatu terasa tidak beres.

Insting Leon berteriak, dan sebelum dia bisa bergerak—

DOR!

Sebuah peluru menembus bahu pria tua itu, membuatnya jatuh ke lantai dengan erangan kesakitan.

Alana berbalik cepat, mencabut belatinya, tapi sudah terlambat.

Di ambang pintu, seorang pria dengan setelan jas abu-abu berdiri dengan pistol berasap di tangannya.

“Alana Reyes,” katanya dengan suara tenang. “Akhirnya aku menemukanku.”

Alana mengepalkan tangannya.

Leon, yang berdiri di sampingnya, hanya menyipitkan mata. “Dan kau siapa?”

Pria itu tersenyum tipis. “Orang yang akan mengakhiri permainan ini.”

Alana berbisik pelan, “Dia—”

Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, pria itu menarik pelatuknya.

Leon bergerak cepat, menarik Alana ke belakang meja besi untuk berlindung saat peluru mulai berhamburan.

Di tengah suara tembakan dan kaca pecah, Leon berbisik pada Alana.

“Aku tahu sejak awal bahwa kau adalah masalah.”

Alana meliriknya tajam. “Kalau begitu, pergilah.”

Leon terkekeh di antara desingan peluru.

“Dan melewatkan semua kesenangan ini? Tidak, aku sudah terlanjur jatuh ke dalam neraka ini, dan aku ingin tahu apa yang ada di ujungnya.”

Alana menggigit bibirnya. “Kau bodoh.”

Leon tersenyum, mengisi ulang pistolnya.

“Mungkin. Tapi lebih baik bodoh dan tetap hidup, daripada pintar dan mati sendirian.”

Alana menatapnya lama, sebelum akhirnya berbisik, “Kau benar-benar gila.”

Leon mengangkat bahu. “Aku lebih suka menyebutnya… penasaran.”

Setelah pertarungan sengit, mereka berhasil keluar dari bengkel dengan sebuah jeep tua yang melaju ke arah gurun.

Dari kaca spion, Alana melihat pria dengan setelan abu-abu itu berdiri di tengah jalan, menatap mereka pergi dengan senyum tipis.

Dia tidak mengejar.

Tidak sekarang.

Dan itu membuat Alana jauh lebih takut.

Karena dia tahu—musuh sebenarnya belum menunjukkan taringnya.

Bab 4: Jejak di Pasir

Angin gurun berembus kencang, membawa debu yang menempel di kulit dan pakaian mereka. Jeep tua yang mereka tumpangi melaju kencang, meninggalkan jejak panjang di pasir yang tak berujung. Matahari mulai naik, membakar punggung mereka dengan panas yang tak kenal ampun.

Leon memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain menggenggam pistol. Matanya tetap waspada, mengamati cakrawala yang kosong. Tak ada yang bisa dipercaya di gurun ini, termasuk sunyi yang terasa terlalu mencurigakan.

Di sebelahnya, Alana duduk diam, menatap peta usang yang ia genggam. Tangan kirinya membelai bekas luka di bahunya, sementara pikirannya melayang jauh.

“Berapa lama lagi kita harus bertahan di neraka ini?” tanya Leon, mengusap keringat di dahinya.

“Beberapa jam lagi,” jawab Alana tanpa mengalihkan pandangannya dari peta. “Jika kita beruntung.”

Leon tertawa kecil. “Aku bukan orang yang beruntung.”

Alana menghela napas. “Aku juga.”

Mereka kembali terdiam.

Leon melirik ke arahnya. “Jadi, apa yang sebenarnya kita cari?”

Alana menggigit bibirnya. Dia tahu cepat atau lambat Leon akan bertanya.

“Sesuatu yang lebih dari sekadar harta karun,” katanya akhirnya. “Ini tentang sejarah yang ingin dihapus.”

Leon menaikkan alisnya. “Sejarah?”

Alana menatapnya, matanya menyala penuh keyakinan. “Kau pikir ini hanya tentang emas dan permata? Tidak, Leon. Ini tentang sesuatu yang bisa mengubah dunia. Sesuatu yang terlalu berbahaya untuk dibiarkan jatuh ke tangan yang salah.”

Leon tertawa sinis. “Dan kau pikir kau bisa menjaganya?”

Alana terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku harus.”

Gurun semakin panas, dan mereka terus melaju.

Leon melihat sesuatu di kejauhan—debu yang berputar liar di cakrawala. Dia menyipitkan mata. Itu bukan angin biasa.

“Masalah datang,” gumamnya.

Alana mengangkat kepalanya, melihat apa yang dimaksud Leon.

“Konvoi.”

Tiga kendaraan bergerak cepat, mengejar mereka dengan kecepatan tinggi.

“Mereka menemukan kita lebih cepat dari yang kuduga,” ucap Alana.

Leon menginjak pedal gas lebih dalam, tapi jeep tua mereka bukanlah kendaraan tercepat.

“Tahan kemudi,” perintah Leon.

Alana mengernyit. “Apa yang akan kau lakukan?”

Leon hanya tersenyum sebelum memanjat ke kursi belakang, mengambil senapan yang tersimpan di bawah kursi.

Alana menggertakkan giginya, berusaha menjaga laju jeep tetap stabil saat suara tembakan pertama terdengar.

Peluru menembus udara, mengenai kaca spion mereka hingga pecah berkeping-keping.

Leon membalas, menembak salah satu kendaraan pengejar. Ban mobil itu meledak, membuatnya terguling di pasir.

Satu jatuh.

Dua lagi tersisa.

Di tengah pertempuran sengit, Leon berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari musuh.

“Kau tahu apa yang lucu?” katanya sambil mengisi ulang peluru.

“Apa?” tanya Alana, masih sibuk mengendalikan jeep.

“Aku mengambil pekerjaan ini karena kupikir ini akan mudah. Tangkap seorang wanita, bawa dia ke tuanku, lalu pensiun dengan tenang.”

Alana tertawa kecil di antara desingan peluru. “Dan sekarang?”

Leon menembak, mengenai pengemudi salah satu mobil musuh. Mobil itu kehilangan kendali dan menabrak batu besar, meledak dalam kobaran api.

“Dan sekarang aku berada di tengah gurun, dikejar oleh orang-orang bersenjata, berusaha melindungi seorang wanita yang bahkan aku tak tahu apakah bisa kupercaya atau tidak.”

Alana tersenyum tipis. “Itu namanya karma.”

Leon hanya menggeleng. “Lebih seperti nasib buruk.”

Mobil terakhir semakin dekat, dan Leon bersiap menembaknya. Tapi sebelum dia sempat menarik pelatuk, sesuatu terjadi.

Sebuah ledakan dari bawah tanah mengguncang mereka, menyebabkan jeep mereka terpental ke udara.

Dunia berputar, pasir beterbangan, dan segalanya menjadi hitam.

Suara Alana terdengar samar di telinga Leon sebelum semuanya menghilang.

“Leon… bangun…”

Tapi dia tak bisa merespons.

Gelap.

Bab 5: Dikejar Bayangan Masa Lalu

Debu masih beterbangan ketika Leon mulai sadar. Kepalanya berdenyut hebat, dan rasa perih menjalar dari luka di pelipisnya. Dunia masih berputar, tapi satu hal yang langsung ia sadari—jeep mereka terbalik.

Alana.

Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, berusaha bangkit dari pasir yang terasa semakin menenggelamkannya. Matanya mencari sosok Alana di antara puing-puing kendaraan yang kini teronggok di tengah gurun yang sunyi.

Tiba-tiba, suara langkah terdengar.

“Bangun, Leon,” suara itu berat, dingin, dan penuh nada kemenangan.

Leon membeku. Suara itu lebih dari sekadar familiar. Itu suara seseorang yang seharusnya sudah lama mati.

Ia mendongak, dan matanya bertemu dengan wajah yang tak pernah ia bayangkan akan dilihat lagi.

Dante.

Dante berdiri di sana, mengenakan seragam hitam dengan emblem organisasi bayangan yang selama ini hanya Leon dengar dalam bisik-bisik dunia bawah tanah. Senyumannya tipis, tapi matanya penuh amarah yang tertahan.

“Sudah lama, kawan,” katanya santai.

Leon menelan ludahnya, lalu berusaha bangkit. “Aku kira kau sudah mati.”

Dante mengangkat bahu. “Begitu juga aku tentangmu. Tapi dunia ini aneh, bukan? Kadang yang seharusnya mati justru bertahan, dan yang seharusnya bertahan justru mati.”

Leon mendengus. “Jadi kau sekarang bekerja untuk mereka?”

Dante berjalan mendekat, menatap Leon dengan ekspresi penuh makna. “Aku tidak bekerja untuk mereka, Leon. Aku adalah mereka.”

Itu bukan sekadar pernyataan. Itu adalah pukulan keras bagi Leon.

Mereka dulu adalah saudara. Mereka berjuang bersama, bertarung bersama. Tapi sesuatu di masa lalu telah memisahkan mereka, membuat Dante menghilang tanpa jejak, meninggalkan Leon dengan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

Kini, mereka berdiri di sisi yang berlawanan.

Sebelum Leon bisa mengatakan sesuatu, suara batuk lirih terdengar.

Alana.

Dante melirik ke arah wanita itu, yang kini duduk bersandar pada batu dengan darah mengalir dari pelipisnya.

“Jadi ini dia wanita yang membuat semua orang tergila-gila,” gumam Dante. “Aku bisa mengerti kenapa.”

Alana mendongak, menatap Dante dengan mata penuh kebencian. “Dan kau pasti orang yang dikirim untuk membunuhku.”

Dante tersenyum. “Sebenarnya tidak.”

Leon menyipitkan mata. “Lalu apa maumu?”

Dante berjongkok, menatap Leon lebih dekat.

“Aku ingin menawarkan kesepakatan.”

Leon tertawa sinis. “Kesepakatan? Sejak kapan kau mulai bernegosiasi, Dante?”

Dante tidak tertawa. “Sejak aku tahu bahwa ini bukan hanya tentang harta karun atau uang, Leon. Ini lebih besar dari kita. Ini tentang sesuatu yang bisa mengubah dunia—atau menghancurkannya.”

Alana menggertakkan giginya. “Dan aku yakin kau memilih penghancuran, bukan?”

Dante hanya tersenyum.

Saat suasana semakin tegang, Dante menatap Leon dengan ekspresi yang sulit diartikan.

“Kau tahu, Leon, dunia ini penuh dengan dua jenis orang,” katanya pelan.

Leon menatapnya tajam. “Dan aku yakin kau punya teori tentang itu.”

Dante mengangguk. “Mereka yang tahu kapan harus bertahan, dan mereka yang tahu kapan harus menghancurkan segalanya untuk bertahan.”

Alana menyela dengan nada penuh kemarahan. “Dan kau pasti berada di sisi yang kedua.”

Dante tersenyum tipis. “Terkadang, kehancuran adalah satu-satunya cara untuk membangun sesuatu yang baru.”

Leon menggeleng. “Dan terkadang, orang seperti itu hanya sedang mencari alasan untuk menjadi monster.”

Hening sejenak.

Dante berdiri, menarik pistolnya, dan mengarahkannya ke Alana.

“Jadi, Leon, ini kesepakatannya. Serahkan dia, dan kau bisa pergi bebas. Aku akan memastikan kau mendapatkan cukup uang untuk menghilang selamanya. Atau…”

Dante menekan pelatuknya sedikit.

“Atau kita lihat siapa yang lebih cepat menarik pelatuk.”

Leon menatap Dante.

Pilihan ada di tangannya.

Angin gurun berembus, membawa ketegangan yang hampir tak tertahankan.

Leon menatap pistol di tangan Dante, lalu menatap Alana yang terengah di tanah.

Pilihan yang salah, dan seseorang akan mati hari ini.

Pilihan yang benar…

Tapi apa sebenarnya pilihan yang benar dalam dunia seperti ini?

Leon menarik napas dalam.

Lalu, dia mengambil keputusan.

Bab 6: Pengkhianatan di Tengah Malam

Dante masih berdiri dengan pistol terarah ke Alana, matanya tak berkedip menunggu jawaban dari Leon. Angin gurun berembus pelan, membawa ketegangan yang semakin menyesakkan.

Leon tak segera menjawab. Tangannya perlahan mengendur dari gagang pistol yang tergantung di pinggangnya, tapi matanya tetap waspada.

“Apa jaminanku kalau aku menyerahkannya padamu?” tanyanya akhirnya.

Dante tersenyum tipis. “Kau akan hidup. Itu sudah cukup, bukan?”

Leon tertawa kecil. “Lucu. Aku ingat dulu kau pernah bilang kita harus mati berdiri daripada hidup berlutut.”

Dante mengangkat bahu. “Waktu mengubah orang, Leon. Dan aku memilih untuk hidup.”

Alana, yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara. “Kau pikir dunia akan membiarkanmu hidup setelah ini?”

Dante menoleh padanya. “Kau terlalu percaya diri, Alana. Kau pikir kau yang memegang kendali, tapi sebenarnya kau hanya bidak di papan catur yang lebih besar.”

Alana menatapnya tajam, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.

Leon menghela napas. Dia harus memilih.

Tapi sebelum dia bisa mengambil keputusan, Alana bertindak lebih dulu.

Dalam sekejap, Alana meraih segenggam pasir dan melemparkannya ke wajah Dante.

Dante terbatuk, refleks mengangkat tangannya untuk melindungi matanya. Itu cukup waktu bagi Alana untuk bergerak cepat, menarik belati dari jaketnya dan menebas pistol dari tangan Dante.

Leon langsung bereaksi, menarik pistolnya dan menodongkannya ke kepala Dante yang kini kehilangan kendali.

Dante mengumpat, mundur selangkah. “Sialan! Kau selalu punya kejutan, ya?”

Alana berdiri tegak di sebelah Leon. “Dan kau selalu meremehkan orang lain.”

Leon masih menodongkan pistolnya ke Dante, tapi matanya berbinar penuh perhitungan. “Aku punya ide. Kenapa kita tidak bernegosiasi sekarang?”

Dante tertawa kecil, meskipun posisinya tidak menguntungkan. “Aku tidak tahu apakah aku harus menghormatimu atau mengutukmu, Leon.”

Leon menyeringai. “Mungkin sedikit dari keduanya.”

Di tengah ketegangan yang masih terasa pekat, Dante menatap Leon dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Kau tahu apa bedanya kita, Leon?” tanyanya pelan.

Leon tidak menjawab, hanya menunggu.

Dante melanjutkan, suaranya sedikit berbisik.

“Kau masih percaya pada sesuatu. Kau masih punya batasan. Tapi dunia ini tidak butuh orang seperti itu.”

Alana menyela. “Dan kau? Apa yang kau percaya?”

Dante tersenyum dingin. “Aku percaya bahwa satu-satunya cara bertahan adalah dengan membunuh lebih dulu sebelum kau yang terbunuh.”

Leon mendesah, menurunkan sedikit pistolnya. “Mungkin itu sebabnya aku tak pernah bisa benar-benar percaya padamu.”

Dante menatapnya, lalu tersenyum miring. “Dan mungkin itu sebabnya kau akan kalah pada akhirnya.”

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari balik bukit pasir.

Banyak.

Dante tersenyum. “Kalian lambat sekali menyadarinya.”

Leon mengumpat. Mereka telah masuk perangkap.

Dari balik kegelapan, lusinan pria bersenjata muncul, mengepung mereka dari segala arah.

Alana menegang. Leon menguatkan genggaman pistolnya.

Dante melangkah mundur dengan percaya diri. “Sepertinya pilihanmu sudah dibuat, Leon.”

Malam itu, gurun menjadi saksi bahwa tidak ada tempat untuk kepercayaan dalam dunia mereka.

Dan Leon harus menemukan cara untuk keluar sebelum fajar menyingsing—atau mati mencoba.

Bab 7: Kebenaran yang Tersembunyi

Angin gurun bertiup kencang, mengangkat debu dan pasir yang membuat mata perih. Langit malam tampak pekat, seakan menekan mereka dari segala arah.

Leon berdiri tegak di samping Alana, matanya mengamati lusinan pria bersenjata yang mengepung mereka. Di antara mereka, Dante berdiri dengan senyum puas di wajahnya.

“Aku sudah memperingatkanmu, Leon,” kata Dante dengan nada santai. “Pada akhirnya, kau selalu berada di pihak yang kalah.”

Leon tidak menjawab. Ia hanya mengetukkan jarinya di gagang pistol, berpikir secepat mungkin bagaimana keluar dari situasi ini tanpa membuatnya atau Alana mati.

Sementara itu, Alana menatap musuh-musuh di sekelilingnya, menghitung peluang. Tidak ada jalan keluar yang mudah.

“Kau ingin membunuh kami sekarang?” tanya Leon akhirnya.

Dante tertawa kecil. “Tidak, aku lebih suka kau melihat sendiri bagaimana semuanya berakhir. Kau terlalu menarik untuk mati begitu saja.”

Alana mengepalkan tangannya. “Apa yang sebenarnya kau inginkan?”

Dante menatapnya, lalu berjalan mendekat. “Kau masih tidak mengerti, ya? Ini bukan hanya tentang kau atau Leon. Ini tentang apa yang kau simpan, Alana. Rahasia yang selama ini kau lindungi.”

Alana terdiam.

Leon menatapnya dengan tajam. “Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?”

Alana mengalihkan pandangannya. “Bukan saatnya membicarakan itu.”

Dante tersenyum puas. “Persis seperti yang kuduga. Kau lebih memilih mati daripada mengungkapkan kebenaran, bukan?”

Alana menatapnya penuh kebencian. “Lebih baik mati dengan rahasia daripada hidup dan membiarkannya jatuh ke tangan yang salah.”

Dante mendesah. “Kau selalu begitu keras kepala.”

Sebuah mobil besar mendekat dari kejauhan, lampunya menyorot langsung ke arah mereka.

Pintu terbuka, dan seorang pria tua dengan setelan rapi keluar.

Leon dan Alana sama-sama membeku.

“Astaga,” bisik Alana, matanya membelalak.

Leon menyipitkan mata, mencoba mengenali wajah pria itu.

Dante tertawa kecil. “Akhirnya, dia muncul.”

Pria tua itu berjalan mendekat dengan langkah tenang, tangannya disembunyikan di balik jasnya.

“Lama tidak berjumpa, Alana,” ucapnya.

Alana mundur selangkah, matanya penuh kemarahan. “Aku seharusnya tahu kau ada di balik semua ini.”

Leon menatap Alana. “Kau mengenalnya?”

Alana mengepalkan tangan. “Dia yang membunuh keluargaku.”

Leon membeku.

Pria tua itu hanya tersenyum tipis. “Jangan berlebihan, anakku. Aku hanya memastikan agar rahasia itu tetap aman.”

Dante mengangguk. “Dan sekarang, kita bisa menyelesaikan ini dengan cara yang benar.”

Alana tertawa dingin. “Kau pikir aku akan menyerah?”

Dante mendesah. “Aku harap begitu, tapi aku tahu kau lebih keras kepala dari itu.”

Leon, yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara. “Seseorang bisa menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?”

Alana menatapnya. “Rahasia yang mereka cari bukan hanya tentang harta karun. Itu sesuatu yang bisa menghancurkan dunia jika jatuh ke tangan yang salah.”

Leon mengerutkan dahi. “Dan kau tahu di mana itu?”

Alana tidak menjawab.

Dante tersenyum. “Kau baru menyadari, Leon? Kita semua hanya bidak dalam permainan ini. Dan sekarang, kau harus memilih—berpihak pada kami, atau mati bersama Alana.”

Leon menatap Dante lama sebelum berbicara.

“Kau tahu, aku pernah berpikir dunia ini hanya tentang bertahan hidup. Lakukan pekerjaanmu, dapatkan uang, lalu menghilang.”

Dante tersenyum miring. “Dan sekarang?”

Leon menghela napas. “Sekarang aku sadar bahwa beberapa rahasia memang seharusnya tidak diungkap. Dan beberapa orang… memang pantas untuk diperjuangkan.”

Alana menatapnya dengan mata terkejut.

Dante terkekeh. “Kalau begitu, kau baru saja memilih jalan yang salah, Leon.”

Leon mengangkat pistolnya. “Mungkin. Tapi kalau aku mati malam ini, aku ingin mati dengan pilihan yang benar.”

Sebelum siapa pun sempat bereaksi, Leon menarik pelatuknya lebih dulu.

Peluru pertama melesat mengenai salah satu anak buah Dante.

Kemudian, semuanya pecah dalam kekacauan.

Suara tembakan meledak di udara, gurun yang sunyi kini berubah menjadi medan perang.

Alana menarik Leon ke belakang kendaraan untuk berlindung. “Kita harus keluar dari sini!”

Leon mengisi ulang pistolnya. “Punya rencana?”

Alana menatap pria tua itu di kejauhan. “Ya. Kita tidak perlu mengalahkan mereka. Kita hanya perlu mengambil sesuatu yang lebih berharga.”

Leon menyeringai. “Aku suka caramu berpikir.”

Dan dengan itu, mereka bersiap menghadapi pertempuran yang akan mengubah segalanya.

Bab 8: Musuh yang Sebenarnya

Suara tembakan masih menggema di tengah gurun. Pasir beterbangan, bercampur dengan bau mesiu yang menyengat. Leon dan Alana berlindung di balik kendaraan tua yang tertinggal, napas mereka terengah-engah.

“Kita harus keluar dari sini sebelum mereka mengepung kita sepenuhnya,” ujar Alana sambil mengisi ulang peluru di pistolnya.

Leon mengintip ke arah Dante yang kini berdiri di sisi pria tua itu, memberikan perintah pada anak buahnya. Mereka tidak terburu-buru. Mereka tahu mereka sedang menang.

“Aku tidak suka perasaan ini,” gumam Leon.

Alana meliriknya. “Perasaan apa?”

Leon menghela napas. “Perasaan seperti sedang berada dalam permainan seseorang.”

Alana menggertakkan giginya. “Itu karena memang begitu.”

Tepat saat salah satu anak buah Dante bergerak mendekat, Alana menarik Leon dan berlari ke arah bukit pasir di sisi lain.

Tembakan mulai terdengar di belakang mereka.

Leon berlari secepat yang ia bisa, tubuhnya meluncur di pasir yang terus bergerak. Alana lebih dulu sampai ke puncak, lalu menoleh ke belakang.

“Kita tidak bisa lari terus,” katanya.

Leon mendongak, melihat sekeliling mereka. Jarak pandang terbatas oleh badai pasir kecil yang mulai terbentuk.

“Kalau begitu, kita buat mereka kehilangan jejak kita.”

Alana mengangguk, lalu meraih sesuatu dari kantongnya—sebuah granat asap.

“Siap?” tanyanya.

Leon hanya tersenyum. “Selalu.”

Alana menarik pin granat dan melemparkannya ke arah kelompok musuh yang mengejar mereka. Dalam sekejap, asap putih tebal memenuhi udara.

“Turun sekarang!” seru Leon.

Mereka berdua meluncur turun dari sisi lain bukit pasir, tubuh mereka hampir tertimbun pasir yang bergeser.

Saat asap mulai memudar, mereka sudah menghilang.

Mereka menemukan sebuah gua kecil tersembunyi di antara bebatuan gurun. Alana segera masuk, Leon menyusul di belakangnya.

Setelah memastikan tidak ada yang mengikuti mereka, Leon akhirnya menatap Alana dengan tajam.

“Baiklah, kita sudah sejauh ini,” katanya. “Sekarang aku ingin tahu semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Alana duduk di atas batu, mengusap wajahnya yang penuh pasir dan keringat.

“Apa yang mereka cari… bukan sekadar harta karun,” katanya akhirnya. “Ini tentang sebuah penemuan lama yang disembunyikan selama bertahun-tahun. Sesuatu yang bisa mengubah dunia, atau menghancurkannya.”

Leon menyipitkan mata. “Maksudmu?”

Alana menatapnya dengan serius. “Sebuah dokumen yang berisi rahasia tentang energi tak terbatas. Teknologi yang bisa menghapus ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil. Itu yang selama ini mereka kejar.”

Leon terdiam sejenak.

“Lalu kenapa kau yang membawanya?”

Alana tersenyum pahit. “Karena keluargaku dulu adalah bagian dari orang-orang yang melindungi rahasia ini. Dan mereka semua mati karena itu.”

Leon menatap Alana lama sebelum akhirnya berbicara.

“Jadi kau bertarung bukan untuk dirimu sendiri. Tapi untuk sesuatu yang lebih besar.”

Alana tersenyum tipis. “Aku tidak pernah peduli tentang menyelamatkan dunia, Leon. Aku hanya tidak ingin kematian keluargaku sia-sia.”

Leon mendesah, menatap langit-langit gua. “Dante tidak akan berhenti. Orang seperti dia… selalu punya rencana cadangan.”

Alana mengangguk. “Itulah sebabnya kita harus lebih dulu menemukannya sebelum mereka melakukannya.”

Leon menatapnya dengan mata penuh perhitungan.

“Jadi sekarang kita tidak hanya kabur.”

Alana mengangguk. “Sekarang kita berburu.”

Di kejauhan, Dante berdiri di atas bukit pasir, menatap jejak yang mereka tinggalkan sebelum badai pasir menghapusnya.

Seorang anak buahnya mendekat. “Mereka menghilang.”

Dante hanya tersenyum tipis.

“Mereka bisa lari, tapi mereka tidak bisa bersembunyi selamanya.”

Lalu, dengan suara pelan, dia berbisik,

“Permainan baru saja dimulai.”

Bab 9: Seribu Langkah Menuju Kematian

Angin malam membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Gua tempat Leon dan Alana bersembunyi terasa semakin sempit, seakan waktu mendesak mereka untuk segera bergerak.

Leon duduk bersandar di dinding batu, mengamati Alana yang tengah memeriksa peta tua yang lusuh. Cahaya dari lampu kecil di tangannya membuat bayangan wajahnya tampak lebih dalam—mata penuh tekad, rahang mengeras.

“Kita harus mencapai lokasi ini sebelum mereka,” ujar Alana, menunjuk sebuah titik di peta.

Leon mencondongkan tubuhnya, memperhatikan. “Apa ini?”

“Reruntuhan kuno,” jawab Alana. “Di situlah dokumen itu disembunyikan.”

Leon menghela napas. “Dan berapa banyak orang yang akan mencoba membunuh kita sebelum kita sampai ke sana?”

Alana tersenyum tipis. “Cukup banyak untuk membuat perjalanan ini menarik.”

Leon tertawa kecil, meskipun dia tahu ini bukan lelucon.

Mereka berangkat sebelum fajar, meninggalkan gua dengan hati-hati. Langit masih gelap, hanya ada bintang-bintang yang menjadi penerang jalan mereka.

Dengan senjata terisi penuh dan perbekalan seadanya, mereka berjalan melintasi gurun yang semakin terasa tak bersahabat.

“Jadi,” kata Leon saat mereka berjalan, “kenapa keluargamu menyembunyikan dokumen itu?”

Alana terdiam sesaat sebelum menjawab.

“Mereka percaya bahwa teknologi itu lebih berbahaya daripada yang dibayangkan dunia,” katanya pelan. “Bisa digunakan untuk menyelamatkan manusia, tapi juga bisa menjadi senjata paling mematikan yang pernah ada.”

Leon mengangguk. “Dan tentu saja, orang-orang seperti Dante hanya peduli pada bagian keduanya.”

Alana mengepalkan tangannya. “Itulah sebabnya aku tidak bisa membiarkan mereka menemukannya lebih dulu.”

Leon menatapnya lama. “Dan aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu.”

Alana menoleh padanya, ekspresinya sedikit melembut.

“Kenapa kau melakukan ini, Leon?” tanyanya pelan.

Leon tersenyum samar. “Mungkin aku hanya ingin melakukan satu hal yang benar sebelum semuanya berakhir.”

Alana menatap Leon dalam-dalam.

“Aku tidak pernah meminta siapa pun untuk menyelamatkanku,” katanya.

Leon menghela napas. “Aku tahu. Tapi terkadang, seseorang harus menyelamatkanmu, bahkan saat kau tidak memintanya.”

Alana terdiam sesaat, lalu berbisik,

“Dan kau? Siapa yang akan menyelamatkanmu, Leon?”

Leon tersenyum kecil, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.

“Mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk diselamatkan.”

Ketika mereka hampir mencapai reruntuhan, Leon tiba-tiba berhenti.

Alana menoleh. “Ada apa?”

Tapi sebelum Leon bisa menjawab, suara tembakan terdengar.

Peluru menghantam pasir di dekat mereka, membuat mereka langsung berlindung di balik bebatuan.

Dari kejauhan, sosok Dante muncul, berdiri dengan santai di atas sebuah bukit pasir.

“Kalian benar-benar membuatku bekerja keras,” katanya, suaranya terdengar jelas meskipun jarak mereka masih cukup jauh.

Di belakangnya, pasukan bersenjata sudah siap, jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya.

Alana mencengkram pistolnya erat. “Bagaimana mereka bisa menemukan kita?”

Leon menatap Dante dengan tajam.

“Lihat di sekelilingmu, Alana,” katanya pelan. “Kita tidak pernah bisa lepas dari mereka. Sejak awal, kita hanya diberi kesempatan untuk berlari sampai mereka siap menangkap kita.”

Dante mengangkat tangannya, memberi isyarat.

“Ini akhir perjalanan kalian.”

Leon dan Alana saling berpandangan.

Tidak ada lagi jalan keluar.

Tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi.

Hanya ada satu pilihan—bertarung sampai napas terakhir atau menyerah kepada musuh yang sudah menunggu di depan.

Alana menarik napas dalam-dalam. “Jika ini memang akhirnya…”

Leon mengangkat pistolnya, menatap Dante tanpa gentar.

“Kalau begitu, kita pastikan mereka menyesal telah menemukan kita.”

Dan dengan itu, pertempuran terakhir dimulai.

Bab 10: Akhir yang Tak Terduga

Angin gurun berhembus kencang, membawa butiran pasir yang beterbangan seperti pecahan kaca di udara. Langit mulai memerah, menandakan fajar segera tiba. Namun bagi Leon dan Alana, ini bukanlah awal yang baru—ini adalah akhir dari perjalanan mereka.

Dante berdiri di atas bukit pasir bersama pasukan bersenjatanya. Matanya menatap Leon dan Alana seperti pemburu yang sudah mengunci buruannya.

“Tak ada jalan keluar,” ucap Dante dengan suara yang tenang, tapi penuh keyakinan. “Menyerahlah, Leon.”

Leon menyeringai kecil, meskipun matanya tajam seperti pisau. “Kau masih berpikir aku akan menyerah?”

Dante menghela napas. “Kalau begitu, ini kematian yang kau pilih sendiri.”

Dalam sekejap, pertempuran pecah.

Leon menarik Alana ke belakang sebuah batu besar sebagai perlindungan. Tembakan berhamburan di sekitar mereka, menciptakan percikan pasir yang beterbangan liar.

“Kita butuh rencana,” ujar Alana, matanya penuh tekanan.

Leon mengisi ulang pelurunya dengan cepat. “Rencana kita hanya satu: jangan mati.”

Alana mendengus, lalu mengangkat senjatanya dan menembak dua musuh yang terlalu dekat. “Rencana yang payah.”

Leon tersenyum. “Tapi sejauh ini masih berhasil.”

Mereka bertarung mati-matian, tapi jumlah musuh terlalu banyak. Sedikit demi sedikit, ruang gerak mereka semakin menyempit.

Dante tetap diam, mengawasi dari kejauhan, menunggu saat yang tepat untuk memberikan pukulan terakhir.

Lalu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Sebuah ledakan mengguncang tanah, mengejutkan semua orang.

Alana menoleh, matanya melebar. “Apa yang—”

Saat itulah dia melihatnya.

Leon berdiri di tengah asap, tubuhnya tertutup luka dan debu. Tapi yang paling mengejutkan adalah granat yang ada di tangannya—pin pengamannya sudah dicabut.

“Leon, jangan!” teriak Alana.

Leon menatapnya lama, seolah mengukir wajahnya dalam ingatannya untuk terakhir kali.

“Jalankan rencanamu, Alana,” katanya pelan.

Dante menyadari apa yang akan terjadi dan wajahnya berubah tegang. “Jangan lakukan ini, Leon!”

Tapi sudah terlambat.

Leon melempar granat itu ke arah pusat pasukan Dante, menciptakan ledakan dahsyat yang menghancurkan segalanya.

Tubuhnya terpental, tapi dia tidak menyesal.

Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia membuat pilihan yang benar.

Sebelum segalanya berubah gelap, suara Alana menggema di telinganya.

“Kau bisa bertahan! Jangan tinggalkan aku!”

Leon tersenyum samar, meskipun darah mengalir dari bibirnya.

“Alana… kadang seseorang tidak perlu diselamatkan. Kadang… mereka hanya perlu memastikan seseorang yang mereka sayangi bisa terus hidup.”

Alana menggenggam tangannya erat. “Kumohon… jangan pergi.”

Leon menatapnya dengan penuh rasa tenang.

“Tidak ada yang benar-benar pergi, selama mereka tetap ada dalam ingatanmu.”

Lalu, segalanya menjadi gelap.

Matahari terbit di atas gurun yang kini sunyi.

Alana berdiri di atas bukit pasir, menatap ke kejauhan. Luka di tubuhnya belum sembuh, tapi luka di hatinya lebih dalam.

Di tangannya, ia menggenggam sesuatu—senjata Leon yang kini tidak akan pernah digunakan lagi.

Dia menghela napas dalam, lalu berbalik.

Perjalanan ini belum selesai.

Dunia masih mengejarnya, dan dia masih punya janji yang harus ditepati.

Dengan langkah mantap, Alana berjalan pergi, meninggalkan jejak kaki yang perlahan menghilang di pasir.

Seribu langkah menuju kematian telah dilalui.

Kini, ia harus berjalan sendiri menuju kehidupan.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *