Alea, seorang asisten peneliti di Genesis Corporation , menemukan fakta mengejutkan bahwa perusahaan tempatnya bekerja diam-diam melakukan eksperimen genetika pada manusia. Ketika ia bertemu Riven , subjek eksperimen yang melarikan diri, hidupnya berubah drastis.
Mereka berdua berusaha mengungkap kebenaran, tetapi pengucilan dari orang-orang terdekat mengancam segalanya. Saat Genesis semakin dekat untuk menciptakan senjata manusia sempurna, Alea dihadapkan pada pilihan yang menyakitkan menyelamatkan cinta pertamanya atau menghancurkan sistem yang telah menciptakannya.
Bab 1: Awal yang Tak Terduga
Dentingan jam dinding menggema di seluruh ruangan laboratorium. Lampu neon berkelap-kelip di atas kepala Alea, menyoroti layar komputer yang menampilkan serangkaian data yang terasa janggal. Ia mengerutkan dahi, tangannya bergerak lincah di atas keyboard, mencoba memahami apa yang baru saja ditemukannya.
“Subjek Omega.”
Nama itu muncul berulang kali dalam laporan eksperimen terbaru. Namun, tidak ada catatan resmi tentang keberadaannya. Sebagai seorang asisten peneliti di Genesis Corporation, perusahaan bioteknologi terbesar di negara itu, Alea sudah terbiasa melihat proyek rahasia. Tapi kali ini, firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar eksperimen genetika biasa.
Ia menggigit bibir, membaca detail laporan dengan lebih seksama.
Nama: Tidak Diketahui
Kode: Omega-01
Status: Tidak Teridentifikasi
Kondisi: Tidak Stabil
Alea menyandarkan punggungnya pada kursi, mencoba mencerna informasi ini. Tidak ada data DNA, tidak ada rekam medis, seolah-olah subjek ini tidak pernah ada.
Tiba-tiba, suara pintu terbuka membuatnya tersentak. Ia buru-buru menutup layar komputernya dan berbalik.
“Lembur lagi?”
Seorang pria berambut pirang berdiri di ambang pintu, mengenakan jas laboratorium yang sedikit kusut. Elias, salah satu peneliti senior, tersenyum tipis padanya. Alea mengangguk, berusaha bersikap santai meski hatinya masih berdebar karena ketakutan ketahuan.
“Hanya mengecek data tambahan untuk laporan besok,” katanya, menutup laptopnya dengan cepat.
Elias mendekat, matanya meneliti meja kerja Alea sebelum kembali menatapnya dengan penuh arti. “Jangan menggali terlalu dalam, Alea. Beberapa hal lebih baik dibiarkan menjadi rahasia.”
Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kuduk Alea meremang. Elias bukan tipe orang yang suka bicara misterius, tetapi kata-katanya kali ini terasa seperti peringatan.
Alea mengangguk pelan. “Aku mengerti.”
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak akan berhenti di sini.
Pukul satu dini hari. Langit gelap tanpa bintang, hanya diterangi lampu jalan yang berkedip-kedip. Alea berjalan pulang dengan langkah cepat, berusaha mengusir kegelisahan yang masih mengendap di dadanya.
Hatinya masih terpaku pada Subjek Omega.
Bagaimana mungkin ada seseorang tanpa identitas, tanpa rekam jejak, tetapi muncul dalam laporan eksperimen terbesar yang pernah ia lihat?
Saat pikirannya melayang, tiba-tiba suara gaduh terdengar dari gang di sebelahnya. Alea berhenti.
Dari kejauhan, ia bisa melihat beberapa pria berbadan besar berkumpul mengelilingi seseorang.
“Kau tidak seharusnya ada di sini.”
Suara berat itu terdengar mengancam. Alea mundur selangkah, tetapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia bersembunyi di balik dinding, mengintip ke dalam gang.
Seseorang berdiri di tengah kepungan itu.
Seorang pria, mengenakan jaket hitam yang sudah sobek di beberapa bagian, napasnya tersengal. Rambutnya hitam pekat, sedikit berantakan, dan wajahnya dipenuhi luka lebam. Namun, yang membuat Alea terpaku adalah matanya.
Mata berwarna perak.
Mata yang sama dengan yang muncul dalam laporan eksperimen tadi.
Subjek Omega.
Jantung Alea berdegup kencang.
Pria itu si Subjek Omega menatap para pengepungnya dengan tajam.
“Aku tidak ingin bertarung,” katanya dengan suara rendah.
Namun, salah satu pria di depannya menyerang tanpa peringatan. Tinju melayang ke arah wajahnya, tetapi dalam satu gerakan cepat, Subjek Omega menghindar dan menangkap tangan lawannya.
Lalu, sesuatu yang mustahil terjadi.
Dalam hitungan detik, tubuh pria itu terlempar ke udara, menghantam dinding seolah ada kekuatan tak terlihat yang mendorongnya. Alea menahan napas.
Orang-orang lain tampak ketakutan, tetapi mereka tidak mundur. Mereka menarik sesuatu dari balik jaket mereka—senjata setrum.
“Kita selesaikan ini sekarang.”
Salah satu pria menekan tombol, dan listrik biru menyambar ke arah Subjek Omega.
Alea ingin berteriak memperingatkan, tetapi sebelum kata-kata keluar dari mulutnya, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.
Subjek Omega mengangkat tangannya, dan seketika arus listrik itu membelok, berputar di udara, lalu kembali ke arah penyerangnya sendiri.
Kilatan cahaya menerangi gang itu. Alea menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan teriakannya.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti seumur hidup, suasana kembali hening. Para pria tadi tergeletak tak sadarkan diri, sementara Subjek Omega berdiri di tengah mereka dengan tatapan kosong.
Perlahan, pria itu berbalik.
Dan matanya langsung bertemu dengan mata Alea.
Alea membeku.
Subjek Omega menatapnya dalam diam, seolah sedang menimbang sesuatu.
Lalu, dalam sekejap, ia bergerak.
Sebelum Alea bisa bereaksi, pria itu sudah berdiri tepat di depannya. Nafasnya berat, tetapi matanya tetap tajam.
“Kau melihatnya,” katanya pelan.
Alea tidak bisa menjawab. Kakinya terasa kaku, otaknya berusaha mencari cara untuk melarikan diri, tetapi tubuhnya menolak untuk bergerak.
Subjek Omega menyipitkan mata, lalu tiba-tiba ia mundur selangkah.
“Kau bukan bagian dari mereka.”
Alea masih tidak bisa berbicara.
Setelah beberapa saat, pria itu menghela napas panjang. “Aku Riven.”
Nama itu terdengar asing, tetapi entah kenapa terasa familiar di telinga Alea.
“Dan sekarang kau dalam bahaya.”
Alea akhirnya menemukan suaranya. “Apa maksudmu?”
Riven menatap ke arah tubuh-tubuh tak sadarkan diri di belakangnya. “Mereka tidak akan berhenti sampai mereka menangkapku. Dan sekarang, karena kau melihat ini semua, kau juga jadi target.”
Alea merasa darahnya membeku.
“Tunggu, aku hanya—”
Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara sirene mendekat dari kejauhan.
Riven menatapnya sejenak sebelum menarik tangannya dengan cepat. “Kita harus pergi. Sekarang.”
Dan sebelum Alea bisa menolak atau memahami apa yang sebenarnya terjadi, ia sudah berlari bersamanya, menuju kegelapan malam yang penuh dengan bahaya.
Bab 2: Rahasia yang Dikunci
Alea masih bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat saat ia berlari mengikuti Riven. Nafasnya memburu, kakinya nyaris tersandung di jalan berbatu yang gelap. Lampu-lampu jalan berkelap-kelip seakan ikut menyaksikan pelariannya.
“Kita mau ke mana?!” serunya, berusaha mengimbangi langkah cepat Riven.
“Tempat aman.”
Itu satu-satunya jawaban yang ia dapatkan sebelum tiba-tiba Riven menariknya ke dalam sebuah gang sempit. Alea hampir kehilangan keseimbangan, tetapi Riven menahannya dengan satu tangan.
Dari kejauhan, suara sirene semakin mendekat.
Riven melepaskan tangannya, lalu dengan cepat menyentuh panel tersembunyi di dinding bata. Sesuatu berbunyi klik, dan pintu kecil terbuka di hadapan mereka.
“Masuk.”
Alea ragu sejenak. Tempat aman? Apa dia bisa mempercayai Riven?
Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki mendekat dari ujung gang.
Ia tidak punya pilihan lain.
Dengan napas tertahan, ia masuk ke dalam ruangan gelap itu. Riven menyusulnya dan menutup pintu dengan pelan, meninggalkan mereka dalam kegelapan total.
Setelah beberapa detik, lampu redup menyala, mengungkap ruangan kecil dengan tembok beton kasar. Tidak ada perabot mewah, hanya tumpukan kertas, layar monitor yang berkedip, dan peralatan elektronik yang terlihat seperti hasil rakitan sendiri.
“Apa ini?” tanya Alea, suaranya bergetar.
Riven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke meja dan mengambil sebuah botol air, lalu meneguknya dengan cepat sebelum akhirnya menatap Alea.
“Tempat persembunyian.”
Alea mendengus. “Itu sudah jelas. Tapi dari siapa kau bersembunyi?”
Riven menatapnya dalam diam, seolah menimbang-nimbang apakah ia harus menjawab. Akhirnya, ia membuka mulut.
“Genesis Corporation.”
Dunia Alea seakan berhenti berputar. “Perusahaan tempat aku bekerja?”
Riven mengangguk. “Dan kau seharusnya tahu bahwa mereka menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang terlihat di permukaan.”
Alea mundur selangkah, berusaha memproses semuanya. Ia tahu Genesis terlibat dalam penelitian genetika, tetapi perusahaan itu selalu mengklaim bahwa semua eksperimen mereka dilakukan secara etis dan terkontrol.
Namun, setelah melihat apa yang terjadi malam ini, ia tidak yakin lagi.
“Apa yang mereka lakukan padamu?”
Riven tersenyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan dalam ekspresinya. “Mereka menciptakanku.”
Riven berjalan ke layar monitor dan menyalakannya. Tampilan penuh dengan data yang bergerak cepat, tetapi yang menarik perhatian Alea adalah folder yang bertuliskan “Proyek Omega”.
Dengan satu klik, layar menampilkan deretan nama dengan kode di sampingnya.
Omega-01: Riven
Omega-02: Tidak diketahui
Omega-03: Tidak diketahui
Alea menelan ludah. “Berarti ada lebih dari satu?”
Riven mengangguk. “Aku bukan satu-satunya. Tapi aku satu-satunya yang berhasil kabur.”
Alea masih tidak bisa memahami sepenuhnya. “Lalu… kekuatanmu? Itu juga hasil eksperimen mereka?”
Riven menghela napas panjang. “Ya. Mereka menciptakan manusia dengan mutasi genetik buatan. Kami lebih cepat, lebih kuat, dan memiliki kemampuan di luar batas manusia normal.”
Alea menatapnya dengan campuran rasa takut dan penasaran. “Tapi kenapa kau kabur?”
Riven menatap lurus ke dalam matanya, dan untuk pertama kalinya, Alea melihat sesuatu yang tidak pernah ia duga—kesedihan.
“Karena kami tidak diciptakan untuk menjadi manusia, Alea. Kami diciptakan untuk menjadi senjata.”
Ruangan itu mendadak terasa lebih dingin. Alea menelan ludah, pikirannya berputar dengan cepat.
Genesis Corporation bukan sekadar perusahaan bioteknologi biasa. Mereka menciptakan senjata hidup dalam wujud manusia.
“Jadi, mereka memburumu karena kau kabur?”
Riven tertawa kecil, tetapi terdengar pahit. “Bukan hanya aku. Mereka memburu siapa pun yang tahu terlalu banyak.”
Alea merasakan sesuatu yang mengganjal di dadanya. Jika yang dikatakan Riven benar, berarti…
“Aku juga dalam bahaya.”
Riven tidak berkata apa-apa, tetapi tatapannya cukup untuk menjawab segalanya.
Alea merasa tubuhnya melemah. Hidupnya yang biasa—kerja di laboratorium, menikmati kopi setiap pagi, mengeluh tentang deadline—tiba-tiba hancur dalam satu malam.
“Kau punya dua pilihan,” kata Riven akhirnya. “Lupakan semuanya dan kembali ke hidupmu… atau cari tahu kebenaran dan hadapi konsekuensinya.”
Alea menutup mata sejenak. Ini bukan hanya tentang dirinya.
Jika Genesis benar-benar melakukan eksperimen ilegal, jika ada lebih banyak “Riven” di luar sana, bukankah itu berarti lebih banyak nyawa yang dipertaruhkan?
Alea membuka matanya, tekad mulai tumbuh dalam dirinya. “Aku ingin tahu kebenarannya.”
Riven menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk.
“Kalau begitu, kita harus mulai bergerak sebelum mereka menemukan kita duluan.”
Namun, sebelum mereka sempat merencanakan langkah selanjutnya, suara dering ponsel tiba-tiba memenuhi ruangan.
Alea melihat layar ponselnya. Nomor tidak dikenal.
Tangan gemetar, ia mengangkatnya. “Halo?”
Sebuah suara dingin terdengar dari seberang.
“Kami tahu kau bersama dia, Alea. Berhenti sekarang, atau kau akan bernasib sama seperti mereka.”
Darah Alea membeku.
Mereka sudah menemukan jejaknya.
Dan sekarang, tidak ada jalan untuk kembali.
Bab 3: Luka yang Tak Terlihat
Alea menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Suara dingin dari seberang masih terngiang di telinganya.
“Kami tahu kau bersama dia, Alea. Berhenti sekarang, atau kau akan bernasib sama seperti mereka.”
Jantungnya berdegup kencang. Tangannya secara refleks menekan tombol merah di layar, memutuskan panggilan itu.
“Siapa itu?” tanya Riven, suaranya tajam dan penuh kewaspadaan.
Alea menelan ludah, mencoba menguasai dirinya sendiri. “Mereka tahu. Mereka tahu aku bersamamu.”
Riven menyipitkan mata, lalu dengan cepat berjalan ke arah komputer dan mulai mengetik dengan kecepatan luar biasa. Layar menampilkan barisan kode yang bergerak cepat.
“Mereka melacak ponselmu,” gumamnya.
Alea mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia lupa? Jika Genesis Corporation memang memiliki teknologi canggih, tentu mereka bisa melacak keberadaannya hanya dengan satu panggilan.
Tanpa berpikir panjang, Riven meraih ponselnya dan melemparkannya ke lantai. Alea hanya bisa menatap saat pria itu menginjak ponselnya hingga pecah berkeping-keping.
“Apa yang kau lakukan?!” serunya kaget.
“Menyelamatkan nyawamu.”
Alea menahan napasnya. Riven berbalik menatapnya, kali ini dengan ekspresi serius. “Mereka tidak akan berhenti sampai mereka menangkap kita. Kita harus pergi sekarang.”
Alea ingin membantah. Ia ingin mengatakan bahwa mungkin masih ada cara lain. Tetapi, tatapan Riven membuatnya sadar bahwa ini bukan lagi tentang kemungkinan. Ini adalah kenyataan yang harus mereka hadapi.
Dan dalam hitungan detik, mereka kembali berlari.
Mereka keluar dari tempat persembunyian melalui lorong sempit yang hanya cukup untuk satu orang. Udara dingin malam menusuk kulit, tetapi itu bukan masalah bagi Alea.
Masalahnya adalah suara langkah kaki yang menggema di kejauhan.
Riven berhenti sejenak, menempelkan tubuhnya ke dinding, menarik Alea agar tetap diam. Dari balik bayangan, Alea bisa melihat sosok-sosok berseragam hitam dengan logo Genesis Corporation di lengan mereka.
Mereka datang.
Alea menahan napasnya.
Riven menatapnya sejenak sebelum berbisik, “Ikuti aku. Jangan melawan kecuali aku bilang.”
Alea mengangguk.
Dalam hitungan detik, mereka berlari ke arah yang berlawanan.
Mereka menyusuri lorong gelap di antara bangunan tua, melewati gang yang nyaris tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Alea merasa napasnya semakin berat, tetapi Riven tetap berlari tanpa melambat sedikit pun.
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar.
Alea tersentak. Sebuah peluru menembus dinding tepat di sebelahnya.
Mereka menembak?!
Alea hampir kehilangan keseimbangan, tetapi Riven menarik tangannya dan membawanya berbelok ke sebuah gedung tua yang tampak sudah lama ditinggalkan. Mereka naik tangga dengan cepat, menuju lantai atas.
Namun, sebelum mereka bisa mencapai atap, suara langkah kaki terdengar dari bawah.
Mereka terjebak.
Alea menatap Riven dengan panik. “Apa yang harus kita lakukan?”
Riven tidak menjawab. Matanya menelusuri ruangan itu, mencari celah untuk melarikan diri.
Lalu, tiba-tiba, ia menarik Alea ke belakang sebuah dinding beton yang setengah runtuh.
“Jangan bergerak.”
Langkah kaki semakin dekat.
Alea bisa merasakan detak jantungnya yang tak terkendali.
Lalu, seseorang berbicara.
“Kita tahu kalian ada di sini. Keluar sekarang, dan kami akan mempertimbangkan untuk tidak menyakiti kalian.”
Suara itu… terdengar familiar.
Alea menahan napas. Ia mengenal suara itu.
Dengan hati-hati, ia mengintip dari balik tembok.
Dan yang ia lihat membuat darahnya membeku.
Di antara para agen Genesis, berdiri seseorang yang selama ini ia percaya.
Elias.
Alea tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Elias…?
Pria yang selama ini bekerja bersamanya, pria yang selalu memperingatkannya untuk tidak menggali terlalu dalam, ternyata adalah bagian dari semua ini.
Matanya terpaku pada seragam hitam yang dikenakan Elias. Itu bukan seragam laboratorium seperti yang biasa ia lihat. Ini adalah seragam militer, dengan logo Genesis yang sama seperti yang dikenakan para pemburu itu.
Alea merasakan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ia ingin percaya bahwa ini hanya kebetulan. Bahwa Elias ada di sini karena alasan lain.
Namun, semua harapan itu sirna ketika ia mendengar suara pria itu lagi.
“Bawa mereka hidup-hidup. Mereka masih berguna.”
Riven menegang di sebelahnya. Ia menatap Alea dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Kau mengenalnya?” bisik Riven pelan.
Alea hanya bisa mengangguk dan saat itu juga, ia menyadari sesuatu.
Genesis Corporation sudah mengetahui semuanya sejak awal.
Ini bukan sekadar kebetulan. Ini bukan sekadar pelacakan ponsel.
Mereka sudah mengawasinya sejak lama.
Alea merasa dirinya ingin muntah.
“Kita harus pergi,” bisik Riven.
Alea mengangguk, tetapi sebelum mereka sempat bergerak, sesuatu terjadi.
Elias menoleh ke arah tempat persembunyian mereka.
Dan dalam sekejap, mata mereka bertemu.
Alea merasakan detak jantungnya berhenti.
Mata Elias melebar sejenak, seolah ia tidak percaya melihatnya.
Tetapi, hanya butuh beberapa detik sebelum ekspresinya kembali dingin.
“Di sana! Tangkap mereka!”
Pelarian yang Gagal
Suara langkah kaki bergema di seluruh ruangan. Alea dan Riven tidak punya pilihan lain mereka harus lari.
Mereka berlari menaiki tangga menuju atap gedung. Alea hampir kehilangan keseimbangan beberapa kali, tetapi Riven terus menariknya ke depan.
Namun, saat mereka hampir mencapai pintu keluar ke atap, suara tembakan lain terdengar.
Alea merasakan sesuatu yang panas menyentuh lengannya.
Ia terhuyung.
Darah.
Darahnya sendiri.
Ia tertembak.
Dunia berputar di sekelilingnya, dan sebelum semuanya menjadi gelap, hal terakhir yang ia lihat adalah wajah Riven yang penuh dengan keputusasaan.
Lalu, segalanya menjadi hitam.
Bab 4: Di Antara Dua Pilihan
Kegelapan menyelimuti Alea. Kepalanya terasa berat, pikirannya berkabut. Ia mencoba membuka mata, tetapi kelopak matanya terasa seperti diikat beban yang tak terlihat.
Perlahan, suara-suara samar mulai masuk ke telinganya. Suara bising mesin, langkah kaki, dan—sesuatu yang lebih dekat.
“Dia sadar?”
Suara itu terdengar akrab, tetapi juga dingin.
Alea mengerang pelan, matanya akhirnya terbuka sedikit. Cahaya putih menyilaukan menyambutnya. Tubuhnya terasa lemah, dan rasa sakit di lengannya membuatnya tersadar kembali pada kenyataan.
Ia tertembak.
Dengan kesulitan, ia mencoba menggerakkan tangan, tetapi pergelangannya terikat.
Dimana aku?
Panik mulai menyerangnya. Napasnya tersengal saat ia menyadari bahwa ia tidak berada di tempat persembunyian Riven.
Ia berada di laboratorium.
Namun, ini bukan laboratorium Genesis biasa yang selama ini ia kenal. Tidak ada ruangan kerja dengan meja rapi atau peralatan biasa yang digunakan untuk eksperimen medis.
Tempat ini… lebih menyerupai fasilitas militer.
Dan di sana, berdiri seseorang yang paling tidak ingin ia lihat.
Elias.
Alea menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Ia mencoba menarik tangannya, tetapi borgol logam yang mengikat pergelangannya ke kursi membuatnya tak bisa bergerak.
“Lepaskan aku!” suaranya serak, tetapi penuh kemarahan.
Elias hanya menatapnya tanpa ekspresi. “Tenang, Alea. Aku tidak akan menyakitimu.”
Alea tertawa sinis. “Oh, tentu saja. Setelah kau menembakku dan menangkapku?”
Elias tidak bereaksi. Ia hanya berjalan mendekat, menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku tidak ingin ini terjadi, Alea. Aku mencoba memperingatkanmu. Aku menyuruhmu untuk tidak menggali terlalu dalam.”
“Jadi selama ini kau bagian dari mereka,” Alea mendesis. “Aku mempercayaimu, Elias. Aku pikir kau temanku.”
“Aku melakukan ini untuk melindungimu.”
Alea menatapnya tajam. “Omong kosong! Melindungiku dari apa? Dari kebenaran?”
Elias menutup mata sejenak sebelum berbisik, “Dari mereka yang tidak peduli apakah kau hidup atau mati.”
Hening.
Alea menelan ludah, merasakan sesuatu yang tidak nyaman di dalam dadanya. Ia tahu Elias tidak sekadar bicara kosong. Tapi itu tidak menghapus pengkhianatannya.
Ia mengalihkan pandangannya. “Di mana Riven?”
Elias menghela napas sebelum menjawab. “Dia menyerahkan diri.”
Alea menegang. “Apa?”
Elias menatapnya dalam-dalam. “Riven membuat kesepakatan. Dia akan bekerja sama dengan Genesis sebagai imbalan agar kau tetap hidup.”
Dunia Alea berputar.
Riven… menyerahkan diri?
Riven, yang selama ini melawan Genesis dengan segala cara, kini justru memilih untuk menyerahkan diri demi dirinya?
Alea menggelengkan kepala, tidak ingin percaya. “Itu bohong. Kau pasti berbohong!”
Elias tetap tenang. “Aku berharap aku memang berbohong, Alea. Tapi kenyataannya tidak. Dia sekarang berada di tangan mereka.”
Alea menundukkan kepalanya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.
“Kenapa…?” suaranya bergetar. “Kenapa dia melakukan itu?”
“Karena dia mencintaimu, Alea.”
Hening menyelimuti ruangan itu. Alea menggigit bibir, menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
Elias akhirnya berbicara lagi. “Kau punya dua pilihan.”
Alea mendongak. “Apa maksudmu?”
Elias menatapnya serius. “Kau bisa tetap di sini dan menunggu mereka menghancurkanmu. Atau… kau bisa bekerja sama denganku untuk menyelamatkan Riven.”
Alea mengerutkan kening. “Kau mau membantuku? Setelah kau menangkapku dan membawaku ke tempat ini?”
Elias menarik napas dalam. “Aku memang bekerja untuk Genesis. Tapi aku bukan mereka. Aku tidak ingin melihat Riven mati… dan aku juga tidak ingin kehilanganmu.”
Alea menatapnya dalam diam, mencoba membaca ekspresinya.
“Kenapa aku harus percaya padamu?”
Elias menatapnya balik tanpa ragu. “Karena kalau aku mengkhianatimu lagi, kita semua akan mati.”
Alea terdiam.
Ia tahu bahwa tidak ada pilihan yang benar-benar aman. Tetapi jika ada kesempatan untuk menyelamatkan Riven, ia tidak bisa hanya duduk diam.
Ia menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Aku akan bekerja sama denganmu.”
Elias tersenyum tipis. “Bagus. Kita tidak punya banyak waktu.”
Tapi sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, pintu ruangan itu terbuka.
Dan seseorang yang tidak mereka duga berdiri di sana.
Dr. Kieran.
Pria yang selama ini hanya terdengar sebagai legenda di Genesis Corporation, pemimpin utama Proyek Omega—berdiri di depan mereka dengan senyum dingin di wajahnya.
“Bagus. Sepertinya kita punya banyak hal untuk dibicarakan.”
Alea merasakan bulu kuduknya meremang.
Mereka baru saja memasuki permainan yang jauh lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan.
Bab 5: Pengkhianatan di Balik Bayangan
Alea menatap pria yang berdiri di ambang pintu dengan jantung berdebar kencang. Dr. Kieran.
Sosok yang selama ini hanya ia dengar dalam desas-desus di laboratorium Genesis Corporation. Ilmuwan jenius yang menciptakan Proyek Omega—dan juga monster yang telah mengubah hidup banyak orang menjadi neraka.
Pria itu melangkah masuk dengan tenang, jas lab putihnya begitu rapi seolah ia baru saja keluar dari rapat, bukan dari ruang eksperimen yang penuh dengan darah dan penderitaan. Senyumnya dingin, matanya tajam seperti sedang menguliti seseorang hanya dengan tatapan.
“Lama tidak bertemu, Alea,” katanya, seolah mereka adalah teman lama.
Alea mengerutkan kening. “Aku tidak mengenalmu.”
Senyum Dr. Kieran semakin melebar. “Benarkah?” Ia menoleh sekilas ke Elias. “Sepertinya kau belum memberitahunya.”
Alea melirik Elias dengan tatapan bertanya. Pria itu hanya diam, ekspresinya sulit ditebak.
“Memberitahuku apa?”
Dr. Kieran berbalik menatapnya dengan tatapan penuh teka-teki. “Bahwa kau bukan sekadar ilmuwan biasa. Kau adalah bagian dari eksperimen ini sejak awal.”
Dunia Alea seakan berhenti. “Apa?”
“Kau tidak ingat, bukan?” lanjut Dr. Kieran, melangkah lebih dekat. “Tentu saja tidak. Kami memastikan kau tidak akan mengingat apa pun.”
Alea merasa darahnya membeku. “Kau berbohong.”
Dr. Kieran menghela napas, seolah ia sedang berbicara dengan anak kecil yang tidak mengerti sesuatu yang sederhana. “Kau adalah bagian dari Proyek Omega sejak lahir, Alea. Kau bukan manusia biasa. Kau adalah—”
BRAK!
Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Elias bergerak lebih dulu. Dalam satu gerakan cepat, ia menarik pistol dari sabuknya dan mengarahkannya ke kepala Dr. Kieran.
“Cukup. Kita tidak perlu menjelaskan ini sekarang.”
Dr. Kieran hanya mengangkat alis, tampak sama sekali tidak terancam. “Ah, jadi kau akhirnya menunjukkan warna aslimu, Elias?”
Elias tidak menjawab. Tatapannya tajam, penuh perhitungan. “Kita keluar dari sini. Sekarang.”
Alea masih terkejut dengan semua yang baru saja didengarnya, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak punya waktu untuk berpikir. Dengan cepat, Elias melepaskan borgol di tangannya dan menariknya berdiri.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, Dr. Kieran berbicara lagi.
“Jika kau pergi sekarang, Alea, kau tidak akan pernah tahu kebenaran tentang dirimu sendiri. Dan Riven…”
Alea berhenti. “Apa maksudmu?”
Dr. Kieran tersenyum tipis. “Dia sedang dalam proses terakhir eksperimen. Jika kau tidak menghentikannya sekarang, kau tidak akan bisa mengenalinya lagi.”
Alea merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Proses terakhir? Apa yang dia lakukan pada Riven?
Elias menarik tangannya. “Jangan dengarkan dia. Kita harus pergi.”
Alea ragu. Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Jika dia benar-benar bagian dari eksperimen ini sejak awal, kenapa dia tidak pernah ingat? Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Dan apa yang terjadi pada Riven?
Tetapi ia tidak punya waktu untuk berpikir.
Tiba-tiba, suara alarm berbunyi keras di seluruh fasilitas.
“Mereka tahu kita di sini.”
Elias segera menarik Alea keluar dari ruangan, meninggalkan Dr. Kieran yang hanya tersenyum puas di belakang mereka.
Lorong fasilitas itu panjang dan dipenuhi lampu merah yang berkedip-kedip. Suara alarm memekakkan telinga, tanda bahwa pasukan keamanan sudah dalam perjalanan.
Alea berlari secepat mungkin, mengikuti Elias yang tampaknya tahu betul ke mana mereka harus pergi.
“Kita harus menemukan Riven dulu!” teriaknya.
Elias menggeleng. “Tidak ada waktu. Jika kita terlalu lama di sini, kita tidak akan keluar hidup-hidup!”
Alea menggigit bibirnya. Tidak. Aku tidak bisa meninggalkannya.
Dan sebelum Elias bisa menghentikannya, ia berbelok ke lorong lain.
“Alea! Jangan bodoh!” Elias berteriak, tetapi Alea sudah berlari lebih dulu.
Ia tidak tahu apa yang menunggunya di depan.
Yang ia tahu hanyalah satu hal: ia tidak akan meninggalkan Riven.
Alea akhirnya tiba di ruangan dengan pintu baja besar. Ada dua penjaga bersenjata di depannya.
Ia tidak berpikir panjang. Dengan tekad penuh, ia mengambil tabung gas kecil dari sabuk yang tadi ia ambil dari ruang senjata, lalu melemparkannya ke lantai.
Dentuman keras terdengar, asap putih menyebar.
Para penjaga terbatuk-batuk, kehilangan pandangan. Alea mengambil kesempatan itu untuk menerobos masuk.
Pintu terbuka.
Dan yang ia lihat di dalam membuatnya terhenti.
Di tengah ruangan, Riven terikat di kursi logam dengan kabel dan alat-alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Matanya tertutup, napasnya berat.
Tetapi yang paling mengejutkan Alea adalah sosok yang berdiri di sampingnya.
Elias.
Bukan Elias yang bersamanya tadi. Tetapi Elias yang mengenakan jas lab hitam dengan logo Genesis di dadanya.
Alea membeku. “Apa…?”
Elias menatapnya dengan ekspresi yang berbeda. Bukan ekspresi sekutu, tetapi ekspresi seseorang yang selama ini telah berbohong kepadanya.
“Kau datang juga,” katanya dengan nada datar.
Alea menatapnya dengan mata penuh kebingungan dan kemarahan. “Apa maksudnya ini, Elias?”
Elias menghela napas panjang, seolah ia baru saja menghadapi sesuatu yang melelahkan. “Aku sudah mencoba mengarahkanmu ke jalan yang benar, Alea. Tapi kau terlalu keras kepala.”
Jantung Alea berdegup kencang. “Jadi… kau memang bekerja untuk Genesis sejak awal?”
Elias menatapnya tanpa ekspresi. “Ya.”
Alea merasa dunianya runtuh.
Tetapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun lagi, Riven tiba-tiba mengerang pelan. Matanya terbuka perlahan, dan yang Alea lihat membuatnya semakin hancur.
Mata Riven… tidak lagi seperti dulu.
Mereka berkilat dengan warna merah darah.
Riven… telah berubah.
Bab 6: Identitas yang Terungkap
Alea berdiri terpaku di ambang pintu, matanya tak lepas dari Riven yang kini terikat di kursi logam. Tubuhnya masih sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Mata peraknya yang dulu penuh dengan kehidupan kini bersinar merah darah, kosong, seolah jiwanya telah direnggut.
Di sampingnya, Elias menatapnya tanpa ekspresi.
“Kau terlambat, Alea.”
Alea menggeleng, menolak menerima kenyataan. “Apa yang kau lakukan padanya?” suaranya bergetar, marah sekaligus putus asa.
Elias memasukkan tangannya ke saku jas lab hitamnya. “Aku hanya menyelesaikan apa yang seharusnya terjadi. Riven bukan manusia biasa. Dia adalah eksperimen yang belum sempurna. Dan sekarang… dia sudah menjadi versi terbaik dari dirinya.”
“Kau bohong!” Alea menatap Riven, berharap dia akan memberikan respons, berharap dia masih mengenalinya. “Riven! Lihat aku! Kau mengenaliku, kan?”
Kelopak mata Riven berkedut, seolah dia sedang berusaha keras untuk kembali sadar. Tetapi ketika dia membuka mulutnya, yang keluar hanyalah satu kata:
“Target… terkunci.”
Jantung Alea seakan mencelos.
Bukan ini yang diinginkannya.
Bukan ini yang harus terjadi.
Elias menghela napas. “Aku sudah memperingatkanmu, Alea. Tapi kau tetap memaksa datang ke sini. Sekarang, aku tidak punya pilihan lain.”
Dia menekan sesuatu di tablet kecil di tangannya. Seketika itu juga, tubuh Riven menegang. Kabel-kabel yang terhubung dengannya bergetar, dan dalam hitungan detik… dia bangkit dari kursinya.
Tanpa ragu. Tanpa emosi.
Alea melangkah mundur. “Tidak… tidak… ini tidak benar!”
Elias menatapnya dengan tenang. “Riven kini adalah senjata yang sempurna. Dan misinya sederhana.”
“Menghabisimu.”
Alea tidak punya waktu untuk berpikir. Dalam sekejap, Riven sudah bergerak.
Dia menyerang dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Alea nyaris tidak bisa menghindar saat Riven mengayunkan lengannya—tidak, lengannya sekarang lebih kuat, seolah terbuat dari baja.
Pukulan itu menghantam dinding di belakangnya, menciptakan lubang besar.
Alea tercekat.
Riven tidak lagi menahan diri.
Dia benar-benar akan membunuhnya.
“Riven, kumohon, sadarlah!” Alea berteriak, berusaha menjangkaunya.
Namun, Riven tidak merespons. Dia hanya melangkah mendekat lagi, siap menyerang.
Alea berlari ke arah meja kontrol di sisi ruangan, mencoba mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya. Tetapi sebelum dia bisa menyentuhnya, Riven sudah berada di belakangnya.
Tangannya mencengkeram bahunya dan dalam satu gerakan cepat, dia melemparkannya ke sisi ruangan.
Alea menghantam dinding keras, rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya.
Aku akan mati di sini.
Pikiran itu melintas di benaknya.
Tetapi kemudian, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Saat Alea terhuyung berdiri, Riven tiba-tiba membeku.
Dia tidak bergerak. Matanya yang bersinar merah perlahan mulai redup.
Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Alea menatapnya dengan napas tersengal. “Riven?”
Seketika, kilatan memori menyerang kepalanya.
Gambar-gambar aneh muncul dalam pikirannya.
– Seorang anak kecil di dalam ruang kaca, menangis sendirian.
– Seorang ilmuwan berbicara dengan suara lembut, tetapi dingin.
– Tangan kecilnya menggenggam tangan seorang anak laki-laki lain yang juga ada di sana…
Alea terhuyung. Apa ini?
Sementara itu, Riven masih berdiri diam, wajahnya menunjukkan konflik internal yang luar biasa.
Elias mengerutkan kening. “Tidak mungkin…”
Alea menatap Riven lagi. “Kau mengenaliku, bukan? Aku bukan musuhmu.”
Mata Riven bergetar, seperti sedang berjuang melawan sesuatu di dalam dirinya.
“Alea…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar.
Elias tampak panik. “Sial! Dia tidak boleh mengingat!”
Dia menekan sesuatu di tablet kontrolnya, tetapi Alea sudah lebih dulu bergerak.
Dengan sisa tenaganya, dia melompat ke arah Riven dan meraih tangannya.
Dan saat itu juga, semuanya berubah.
Kilatan ingatan yang lebih jelas mengalir ke kepala Alea.
Dia melihat dirinya… lebih muda.
Dia dan Riven, dalam sebuah ruangan putih yang luas. Mereka tidak sendirian—ada anak-anak lain di sana.
Mereka bukan hanya subjek eksperimen.
Mereka tumbuh bersama.
Mereka… keluarga.
Air mata menggenang di mata Alea. “Kita… kita dulu bersama di sini…”
Riven akhirnya menatapnya dengan ekspresi yang tidak lagi dingin. “Aku… aku ingat.”
Dan saat itu juga, tubuhnya mulai melemah. Sistem kontrol yang mengikat pikirannya mulai runtuh.
Tetapi Elias tidak akan membiarkan itu terjadi.
Tanpa peringatan, Elias mengeluarkan pistol dari balik jasnya dan mengarahkannya ke Alea.
“Cukup sudah.”
Alea tidak punya waktu untuk bereaksi.
Suara tembakan menggema di ruangan itu.
Darah berceceran di lantai.
Alea membeku, menatap pemandangan di depannya dengan ngeri.
Bukan dirinya yang tertembak.
Riven—dengan sisa kesadarannya—bergerak lebih cepat dan melindunginya.
Peluru itu menembus bahunya.
Riven jatuh berlutut, napasnya berat. Alea meraih tubuhnya sebelum dia jatuh ke lantai.
“Riven!”
Elias tampak terkejut. Dia tidak menyangka Riven masih memiliki kesadaran untuk melakukan hal seperti itu.
Tetapi Alea tidak peduli.
Dia menekan luka di bahu Riven, tetapi darah terus mengalir. “Kau akan baik-baik saja. Kau akan selamat. Kita bisa keluar dari sini!”
Riven tersenyum samar. “Aku tidak yakin… aku bisa pergi bersama kalian.”
“Jangan bicara seperti itu!” Alea berteriak, suaranya bergetar.
Namun, Elias sudah menarik senjatanya lagi, siap menembak mereka berdua.
“Aku tidak bisa membiarkan kalian pergi.”
Alea menggertakkan giginya. “Sialan kau, Elias.”
Tapi sebelum Elias bisa menarik pelatuknya, suara dentuman keras terdengar di luar.
Alarm semakin keras. Sesuatu sedang terjadi di luar fasilitas ini dan saat itu juga, pintu meledak terbuka.
Sebuah tim penyelamat menerobos masuk.
Dan di antara mereka, seseorang yang tak terduga muncul.
Dr. Kieran.
“Sudah cukup pertunjukannya. Waktunya berakhir.” katanya sambil tersenyum dingin.
Alea menatapnya dengan kaget.
Elias juga membeku di tempatnya.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?
Bab 7: Cinta atau Kehidupan?
Ruangan dipenuhi suara alarm yang semakin keras. Lampu merah berkedip, menyoroti wajah-wajah yang kini dipenuhi ketegangan.
Alea masih berlutut di samping Riven, menekan luka di bahunya yang terus mengeluarkan darah. Elias berdiri tak jauh, masih memegang senjatanya, tetapi sekarang ragu. Dan di ambang pintu, Dr. Kieran berdiri dengan ekspresi puas, seolah-olah dia telah merencanakan semua ini sejak awal.
“Waktunya berakhir,” kata Dr. Kieran dengan nada ringan.
Elias menoleh ke arahnya. “Apa maksudmu?”
Dr. Kieran tersenyum tipis. “Aku sudah membiarkan kalian bermain cukup lama. Sekarang, aku akan mengambil kendali kembali.”
Alea menggertakkan giginya. “Apa yang kau inginkan?”
“Aku?” Dr. Kieran menoleh dengan ekspresi terkejut palsu. “Aku hanya ingin memastikan bahwa eksperimen ini berjalan seperti yang seharusnya.”** Dia menatap Riven dengan penuh minat. “Kau sudah hampir sempurna. Sayang sekali jika kau berakhir di tangan mereka.”
Alea merasakan amarah membara di dalam dirinya. “Dia bukan eksperimen! Dia manusia!”
Dr. Kieran tertawa kecil. “Alea, kau masih belum mengerti? Kalian berdua bukan manusia biasa. Kau dan Riven adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari yang pernah kau bayangkan.”
Alea mengepalkan tangannya. “Aku tidak peduli! Aku tidak akan membiarkanmu mengambilnya!”
Dr. Kieran menghela napas, seolah-olah berbicara dengan seorang anak kecil. “Sayangnya, kau tidak punya pilihan.” Dia menoleh ke timnya. “Ambil Riven. Bunuh yang lainnya jika perlu.”
Dalam hitungan detik, para agen Genesis menyerbu masuk.
Elias langsung bereaksi, melepaskan tembakan ke arah mereka. Alea, dengan tangan gemetar, meraih pistol dari salah satu penjaga yang telah jatuh dan berdiri melindungi Riven.
“Aku tidak akan membiarkan mereka membawamu!” katanya dengan suara tegas.
Riven, meski terluka, berusaha berdiri. “Kita harus pergi…” suaranya lemah, tetapi tekadnya masih sama kuat.
Elias menatap Alea. “Aku bisa menahan mereka, tapi kau harus membawa Riven keluar dari sini.”
Alea menatapnya dengan ragu. “Kenapa kau melakukan ini?”
Elias tersenyum miris. “Mungkin aku sudah memilih pihak yang salah terlalu lama.”
Alea ingin mempercayainya, tetapi tidak ada waktu untuk berpikir.
Riven menarik tangannya. “Alea… kita harus pergi…”
Dengan berat hati, Alea mengangguk. Mereka berlari menuju pintu belakang, sementara suara tembakan terus bergema di belakang mereka.
Mereka berhasil keluar dari fasilitas itu, tetapi alarm masih berbunyi.
Udara malam menyambut mereka, dingin dan menegangkan. Di kejauhan, mereka bisa melihat kendaraan Genesis mendekat.
Alea berusaha menopang tubuh Riven yang semakin melemah. “Kita hampir sampai! Bertahanlah!”
Tetapi tiba-tiba, Riven menghentikan langkahnya.
“Alea… dengarkan aku.”
Alea menoleh, matanya penuh kecemasan. “Apa? Kita harus terus bergerak!”
Riven menatapnya dengan penuh rasa sakit, tetapi juga dengan kelembutan. “Aku tidak bisa pergi bersamamu.”
Alea membeku. “Apa maksudmu?”
Riven tersenyum samar. “Aku sudah berubah. Mereka sudah terlalu jauh mengubahku. Jika aku tetap hidup… aku akan menjadi ancaman.”
Alea menggeleng dengan keras. “Jangan bicara seperti itu! Kita bisa mencari cara! Kita bisa menghentikan mereka bersama-sama!”
Tetapi Riven hanya menatapnya dalam-dalam, lalu dengan lembut menyentuh wajahnya.
“Aku mencintaimu, Alea.”
Air mata menggenang di mata Alea. “Kalau kau mencintaiku, jangan tinggalkan aku!”
Tetapi sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Riven mendorongnya dengan lembut.
Dan dalam hitungan detik, dia berbalik dan melangkah ke arah kendaraan Genesis yang mendekat.
“RIVEN! TIDAK!” Alea berlari untuk menghentikannya, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah.
Riven menoleh untuk terakhir kalinya. “Aku akan menghancurkan mereka dari dalam. Aku berjanji.”
Dan kemudian, dengan langkah mantap, dia menyerahkan dirinya.
Alea jatuh berlutut, air matanya mengalir deras.
Dia ingin mengejarnya. Dia ingin menghentikannya. Tetapi dia tahu, Riven telah membuat keputusan.
Elias akhirnya muncul di sampingnya, napasnya berat. “Kita harus pergi, Alea.”
Alea menatapnya dengan tatapan penuh duka. “Aku tidak bisa meninggalkannya.”
Elias menghela napas panjang. “Kalau kau tetap di sini, semuanya akan sia-sia. Kau ingin menyelamatkannya? Maka bertahanlah.”
Alea mengepalkan tangannya. Ia tahu Elias benar. Jika ia mati di sini, maka tidak ada lagi harapan.
Dengan hati yang hancur, Alea bangkit dan berlari menjauh, meninggalkan satu-satunya orang yang pernah benar-benar ia cintai.
Bab 8: Kebenaran yang Menyakitkan
Alea berlari tanpa menoleh ke belakang. Suara sirene dan tembakan yang sebelumnya memenuhi udara kini mulai meredup, tertinggal jauh di belakangnya. Tubuhnya lelah, pikirannya berkecamuk, tetapi rasa sakit di dadanya lebih besar dari luka fisik mana pun.
Riven telah menyerahkan dirinya.
Elias berlari di sampingnya, sesekali menoleh untuk memastikan mereka tidak diikuti. Setelah melewati beberapa lorong sempit di antara gedung-gedung tua, akhirnya mereka berhenti di sebuah gudang kosong yang tampaknya sudah lama ditinggalkan.
Alea terhuyung, tubuhnya terasa lemas. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak.
Dia pergi.
Dia menyerahkan diri.
Untuk menyelamatkan dirinya.
“Alea,” suara Elias terdengar pelan, nyaris seperti bisikan.
Alea menatapnya, matanya dipenuhi air mata yang belum sempat jatuh. “Aku tidak bisa meninggalkannya di sana, Elias.”
Elias menghela napas panjang. “Aku tahu. Tapi dia membuat pilihan. Dan kita harus menghormatinya.”
Alea mengepalkan tangannya. “Lalu aku harus apa? Duduk diam dan menunggu mereka menghancurkannya?”
Elias menatapnya lama sebelum menjawab, “Tidak. Kita mencari cara untuk mengalahkan mereka.”
Alea menatapnya dengan mata penuh amarah dan kepedihan. “Kau masih berpikir kita bisa menang?”
Elias tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke sebuah meja tua di gudang itu dan menyalakan layar holografik yang tampaknya sudah ia siapkan sejak lama.
Di layar itu, tampak peta fasilitas Genesis. Seluruh struktur organisasi, proyek rahasia, dan kelemahan sistem keamanan.
Alea membelalakkan mata. “Dari mana kau mendapatkan ini?”
Elias menatapnya dengan ekspresi penuh arti. “Aku sudah lama merencanakan ini, Alea. Aku memang bekerja untuk Genesis, tapi bukan berarti aku percaya pada mereka.”
Alea tidak bisa berkata-kata.
Elias melanjutkan, “Kita masih punya kesempatan. Tapi kita harus melakukannya dengan cara yang benar. Dan itu berarti… kita harus menyelamatkan Riven sebelum mereka benar-benar mengubahnya.”
Sementara itu, di dalam fasilitas Genesis, Riven duduk di sebuah ruangan tanpa jendela, tangannya terborgol dengan alat yang tidak bisa dihancurkannya.
Dr. Kieran berdiri di depannya, tersenyum puas.
“Kau membuat keputusan yang bijak, Riven.”
Riven tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu dengan mata dingin.
Dr. Kieran berjalan mengelilinginya. “Aku tahu kau berpikir ini adalah pengorbanan, tetapi percayalah… ini adalah evolusi.”
Riven mendengus. “Evolusi? Dengan mengubahku menjadi monster?”
Dr. Kieran tersenyum tipis. “Kau sudah menjadi lebih dari sekadar manusia sejak lama, Riven. Kau adalah kesempurnaan yang kami cari.”
Riven mengepalkan tangannya. “Aku bukan senjata kalian.”
Dr. Kieran mendekat, menatapnya langsung. “Oh, tapi kau adalah milik kami. Dan tidak peduli seberapa keras kau berjuang, pada akhirnya… kau akan menjadi bagian dari kami lagi.”
Lalu, tanpa peringatan, Dr. Kieran menekan tombol di tangannya.
Sekejap, listrik mengalir melalui tubuh Riven. Ia berteriak kesakitan, seluruh sarafnya seakan terbakar.
Dr. Kieran menatapnya dengan puas. “Prosesnya akan segera dimulai. Selamat datang kembali, Subjek Omega.”
Alea menatap peta holografik dengan mata penuh determinasi.
“Bagaimana kita bisa masuk?”
Elias menunjuk salah satu titik di fasilitas itu. “Ada jalur bawah tanah yang bisa membawa kita langsung ke ruang eksperimen utama. Tapi masalahnya, kita harus melewati sistem keamanan yang lebih ketat dari sebelumnya.”
Alea mengepalkan tangannya. “Aku tidak peduli. Aku akan menyelamatkan Riven, apapun yang terjadi.”
Elias menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Baik. Maka kita mulai sekarang.”
Alea menarik napas dalam.
Ia tahu ini adalah misi bunuh diri.
Tetapi jika ada satu hal yang pasti, ia tidak akan membiarkan Riven menjadi senjata mereka.
Dan kali ini, ia akan menghancurkan Genesis dari dalam.
Bab 9: Perpisahan yang Tak Terhindarkan
Udara di terowongan bawah tanah terasa lembab dan pengap. Alea berjalan cepat di belakang Elias, napasnya teratur, meskipun hatinya berdegup kencang. Setiap langkah yang mereka ambil mendekatkan mereka ke Riven, tetapi juga semakin dalam ke sarang musuh.
“Kita hampir sampai,” bisik Elias, menunjuk ke ujung terowongan yang tertutup oleh pintu baja besar. “Di balik ini, ada jalan menuju laboratorium utama tempat Riven ditahan.”
Alea mengangguk, berusaha menenangkan pikirannya. “Bagaimana kita membukanya?”
Elias mengeluarkan sebuah perangkat kecil dari sakunya, menghubungkannya ke panel akses di samping pintu. Beberapa detik berlalu sebelum terdengar bunyi klik.
“Kita hanya punya beberapa menit sebelum alarm menyala,” katanya sambil menarik Alea masuk ke dalam lorong berikutnya.
Di ujung lorong, sebuah jendela kaca besar memperlihatkan pemandangan yang membuat darah Alea membeku.
Riven… terikat di tengah ruangan.
Tubuhnya dikelilingi oleh kabel dan alat-alat medis canggih. Mata merahnya menyala dalam cahaya redup, tetapi ekspresinya kosong, seolah-olah ia sudah kehilangan dirinya.
Dan di sampingnya, Dr. Kieran berdiri dengan ekspresi puas.
Alea mengepalkan tangannya. “Kita harus cepat.”
Di dalam laboratorium, Riven mendengar suara langkah kaki mendekat.
“Mereka datang untukmu, kau tahu.” Dr. Kieran berkata sambil menatap layar monitor. “Gadis itu… Alea. Dia akan melakukan apa saja untuk menyelamatkanmu.”
Riven berusaha berbicara, tetapi tubuhnya terasa berat. Pikiran-pikirannya kabur. Setiap kali ia mencoba mengingat sesuatu, rasa sakit menyerang otaknya.
Dr. Kieran melangkah lebih dekat. “Kau bisa memilih, Riven. Kembali menjadi dirimu sendiri, atau menerima siapa dirimu sebenarnya.”
Riven menggertakkan giginya. “Aku tahu siapa diriku.”
Dr. Kieran tersenyum. “Benarkah?” Ia menekan sesuatu di layar monitor, dan tiba-tiba rasa sakit menyerang tubuh Riven.
Kenangan mulai berkelebat di kepalanya.
– Alea tertawa bersamanya saat mereka masih kecil.
– Tangan mereka saling menggenggam di ruang putih laboratorium.
– Janji yang ia buat kepadanya… bahwa ia akan selalu melindunginya.
Mata Riven kembali menyala merah, tetapi kali ini… bukan karena kontrol Genesis.
Tetapi karena ia mengingat segalanya.
Dan ia menolak menjadi senjata mereka.
Tiba-tiba, suara ledakan terdengar dari luar ruangan.
Pintu laboratorium terbuka dengan paksa.
Alea dan Elias menerobos masuk.
Dr. Kieran tidak terkejut. Ia hanya tersenyum tipis. “Akhirnya kau datang, Alea.”
Alea tidak memedulikannya. “Riven!” Ia berlari menuju pria itu, tetapi sebelum ia bisa mendekat, Dr. Kieran menekan tombol di tangannya.
Sekejap, Riven mengangkat kepalanya—dan matanya kembali kosong.
“Target terkunci.”
Alea membeku. “Tidak… tidak, ini tidak benar!”
Dr. Kieran tertawa kecil. “Dia bukan lagi Riven yang kau kenal. Dia milik Genesis sekarang.”
Elias mengangkat pistolnya. “Lepaskan dia, atau aku akan menghabisimu sekarang juga.”
Dr. Kieran hanya mengangkat bahu. “Silakan. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun.”
Dan tiba-tiba, Riven bergerak.
Dengan kecepatan luar biasa, ia menyerang.
Alea terpaksa menghindar, sementara Elias melepaskan tembakan yang meleset di udara.
Riven benar-benar telah menjadi senjata mereka.
Alea mencoba mendekatinya, matanya dipenuhi air mata. “Riven! Kumohon, dengarkan aku!”
Tetapi Riven hanya menyerangnya lagi, dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan dinding di belakangnya.
Dr. Kieran tersenyum puas. “Lihat? Dia sudah sempurna.”
Elias berteriak. “Kita tidak punya waktu! Kita harus menghentikannya!”
Alea menatap Riven, matanya penuh keputusasaan.
Ia harus memilih.
Alea tahu bahwa jika mereka tidak menghentikan Riven sekarang, ia akan terus menjadi senjata yang dimanfaatkan Genesis.
Tetapi… bagaimana mungkin ia bisa melukai seseorang yang ia cintai?
“Alea, cepat!” Elias berteriak, mencoba menahan Riven dengan tembakan lain yang hanya berhasil memperlambatnya.
Alea menutup matanya, air mata mengalir di pipinya.
“Maafkan aku, Riven.”
Lalu, dengan tangan gemetar, ia mengangkat senjatanya.
Dan ia menembak langsung ke jantung Riven.
Bab 10: Takdir yang Terkhianati
Waktu terasa melambat.
Alea berdiri dengan tangan masih gemetar, senjatanya mengarah ke Riven yang kini terhuyung mundur.
Darah merah pekat mengalir dari dadanya, membasahi lantai laboratorium. Mata merahnya yang semula penuh dengan kekosongan kini mulai memudar, perlahan kembali ke warna perak yang dulu ia kenal.
“Alea…” suara Riven nyaris seperti bisikan.
Alea melepaskan senjatanya. Ia berlari dan menangkap tubuh Riven sebelum jatuh ke lantai. “Tidak, tidak… aku tidak ingin ini berakhir seperti ini!”
Air mata mengalir di pipinya. Napas Riven berat, tetapi ia tersenyum samar.
“Kau melakukannya… kau menyelamatkanku…”
“Bodoh!” Alea menekan luka di dada Riven, mencoba menghentikan darah yang terus mengalir. “Aku ingin menyelamatkanmu, bukan membunuhmu!”
Di belakang mereka, Dr. Kieran hanya berdiri dengan ekspresi puas. “Sungguh menyedihkan, bukan? Kau harus menghancurkan satu-satunya orang yang kau cintai untuk menyelamatkannya.”
Elias menoleh dengan wajah penuh kemarahan. “Kau akan membayar untuk semua ini.”
Tanpa ragu, ia menekan pelatuknya dan menembak Dr. Kieran tepat di dadanya.
Pria itu terhuyung, lalu jatuh ke lantai tanpa suara.
Alea tidak peduli. Hanya satu hal yang ada di pikirannya Riven tidak boleh mati.
“Bertahanlah, kumohon!” suaranya bergetar. “Kita bisa keluar dari sini!”
Riven menggeleng lemah. “Tidak ada waktu…”
Matanya yang perlahan kehilangan cahaya menatap wajah Alea dengan lembut. “Kau ingat janjiku dulu? Aku akan selalu melindungimu… sampai akhir.”
Alea menangis. “Tidak, tidak seperti ini! Aku membutuhkanmu!”
Riven tersenyum. “Dan aku… mencintaimu, Alea.”
Lalu, napasnya terhenti.
Alea terdiam.
Tangannya mencengkeram baju Riven, mengguncangnya dengan panik. “Tidak! Tidak, Riven! Kumohon, jangan tinggalkan aku!”
Tetapi tubuhnya kini tak bergerak lagi.
Dunia Alea hancur.
Elias berdiri di sampingnya, menatap tubuh Riven dengan ekspresi serius.
“Kita harus pergi.”
Alea menggeleng. “Aku tidak akan meninggalkannya di sini.”
Elias menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku tahu. Tapi Riven tidak ingin kau mati di sini.”
Alea menatap wajah Riven yang damai, meski tubuhnya berlumuran darah. Ia tahu Elias benar. Tetapi bagaimana bisa ia meninggalkan seseorang yang begitu ia cintai?
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari seluruh laboratorium.
Elias menoleh. “Sial. Sistem penghancuran otomatis telah diaktifkan.”
Alea mengepalkan tangannya. Genesis harus dihancurkan. Semua ini harus diakhiri.
Dengan berat hati, ia menyentuh wajah Riven untuk terakhir kali, lalu berdiri. “Kita pergi.”
Mereka berlari keluar dari fasilitas yang mulai runtuh. Api dan ledakan mengiringi langkah mereka.
Dan ketika mereka akhirnya mencapai permukaan, gedung Genesis runtuh di belakang mereka, menandai akhir dari organisasi yang telah menghancurkan begitu banyak kehidupan.
Tetapi hati Alea tetap hancur.
Karena orang yang paling ia cintai tidak ikut bersamanya keluar dari sana.
Berbulan-bulan berlalu.
Genesis Corporation tidak ada lagi. Semua eksperimen mereka dihancurkan, semua data dihapus. Pemerintah berusaha menutupi kebenaran, tetapi Elias dan Alea menyebarkan informasi yang mereka miliki, memastikan dunia tahu apa yang telah terjadi.
Tetapi bagi Alea, kemenangan ini terasa kosong.
Ia duduk di sebuah bukit, menatap langit malam dengan mata yang dipenuhi kenangan. Di sini, ia dan Riven dulu sering berbicara tentang kebebasan. Tentang dunia di luar Genesis.
Namun, hanya ia yang berhasil melihat dunia itu sekarang.
Angin berhembus pelan, membawa suara yang nyaris seperti bisikan.
“Aku selalu bersamamu, Alea.”
Alea tersenyum pahit, lalu menutup matanya.
Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya berakhir, ia menangis tanpa menahan diri.
Tamat.Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.