Arya, seorang pianis berbakat yang kehilangan kepercayaan dirinya setelah kegagalan besar di panggung, kini bekerja sebagai pianis kafe dengan identitas yang ia sembunyikan. Hidupnya berubah saat ia bertemu Keira, seorang gadis buta yang mencintai musiknya. Keira melihat dunia melalui melodi yang Arya mainkan, dan perlahan, mereka saling menginspirasi.
Namun, saat Keira mendapat kesempatan untuk menjalani operasi pemulihan penglihatannya, Arya justru menerima kenyataan pahit penyakit langka yang akan membuatnya kehilangan kemampuan bermain piano selamanya. Tak ingin Keira melihatnya hancur, Arya memilih menghilang sebelum gadis itu dapat membuka matanya untuk pertama kali.
Bab 1: Melodi yang Hilang
Langit sore mulai meredup, seolah ikut merasakan kesedihan yang memenuhi hati Arya. Di dalam sebuah apartemen kecil di pusat kota, seorang pria muda duduk di depan piano dengan tangan yang gemetar. Jemarinya melayang di atas tuts, tetapi tak ada satu pun nada yang keluar. Bukan karena ia tak bisa memainkannya, tetapi karena ia takut.
Sudah berbulan-bulan sejak ia terakhir kali menyentuh piano dengan perasaan penuh keyakinan. Arya adalah seorang pianis berbakat yang pernah memukau ribuan penonton dalam konser dan kompetisi musik. Namun, satu kesalahan di panggung telah menghancurkan segalanya.
Saat itu, di sebuah kompetisi tingkat nasional, ia seharusnya memainkan komposisi yang telah ia latih selama bertahun-tahun. Tetapi, entah karena gugup atau tekanan yang begitu besar, jemarinya tiba-tiba membeku di atas tuts. Ia kehilangan irama, kehilangan harmoni, dan kehilangan dirinya sendiri.
Saat itulah ia mendengar tawa kecil di antara penonton, disusul oleh gumaman tak sabar dari para juri. Arya yang dulu percaya diri dan penuh ambisi, kini hanya merasa kosong. Sejak hari itu, ia tak lagi berani bermain di hadapan siapa pun. Musik yang pernah menjadi bagian dari jiwanya kini terasa seperti luka yang belum sembuh.
Hujan turun di luar, menambah suasana kelabu yang sudah memenuhi ruangan. Arya menatap jendela dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang pada pertanyaan yang terus menghantuinya: Apakah aku benar-benar pantas disebut pianis?
Sebuah pesan masuk ke ponselnya, mengalihkan pikirannya sejenak.
— Arya, aku butuh pianis untuk kafe baru yang kubuka. Kamu tertarik? Hanya sekadar musik latar, tanpa perlu tampil di panggung. —
Pesan itu dari seorang teman lama, Dimas. Ia tahu Arya sedang dalam masa sulit dan berusaha membantunya dengan cara yang halus. Tawaran itu terdengar ringan, tetapi bagi Arya, bermain di depan orang lain, sekecil apa pun audiensnya, tetap saja terasa berat.
Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa terus terperangkap dalam rasa takutnya. Dengan enggan, ia mengetik balasan:
— Aku akan coba datang besok. —
Malam itu, Arya berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Tangannya masih terasa dingin, seolah-olah jari-jarinya menolak bekerja sama dengannya.
“Aku hanya perlu bermain sebagai musik latar,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri. “Tidak ada yang akan benar-benar mendengarkan.”
Tetapi di lubuk hatinya, ia tahu bahwa bukan perhatian orang lain yang ia takuti. Yang paling ia takutkan adalah mendengar dirinya sendiri—mendengar betapa kosongnya musik yang ia mainkan sekarang.
Esok harinya, Arya tiba di kafe yang dimaksud. Tempat itu kecil tetapi memiliki suasana hangat. Lampu-lampu gantung dengan cahaya kuning temaram, aroma kopi yang menenangkan, dan suara obrolan pelan di sudut-sudut ruangan.
Di bagian belakang, terdapat sebuah panggung kecil dengan grand piano yang tampak mengilap. Itu bukan tempat pertunjukan besar, tetapi cukup untuk membuat dadanya berdebar kencang.
Dimas menyapanya dengan senyum lebar. “Aku tahu kau akan datang. Piano di sana sudah siap. Kau bisa mulai kapan saja.”
Arya hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Dengan langkah pelan, ia mendekati piano dan duduk di bangku kayu yang dingin. Jemarinya menyentuh tuts, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia mencoba memainkan sebuah melodi sederhana.
Nada pertama terdengar… lalu yang kedua… dan ketiga. Musik itu mengalir perlahan, ragu-ragu, seolah mencari jalannya kembali ke dunia. Tidak ada sorakan penonton, tidak ada kritik juri—hanya dirinya dan piano yang selama ini ia tinggalkan.
Namun, di tengah dentingan yang ragu-ragu itu, tanpa ia sadari, seseorang di sudut ruangan tersenyum lembut. Seorang gadis dengan mata tertutup, duduk diam dengan kepala sedikit miring, seolah menikmati setiap nada yang Arya mainkan.
Malam itu, Arya tidak menyadari bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seseorang mendengarkan musiknya bukan dengan mata, tetapi dengan hati.
Bab 2: Gadis yang Mendengar Cahaya
Dentingan piano memenuhi ruangan, mengalir lembut di antara aroma kopi yang menghangatkan malam. Arya masih belum sepenuhnya nyaman bermain di depan orang lain, tetapi entah bagaimana, di tempat ini, ia merasa sedikit lebih aman. Tidak ada sorotan lampu panggung, tidak ada tatapan kritis juri, hanya ia dan musiknya.
Namun, di tengah permainan yang masih terasa kaku itu, perhatiannya tertuju pada seorang gadis di sudut ruangan.
Ia duduk dengan tenang, mengenakan sweater berwarna biru tua. Rambut panjangnya terurai lembut, dan wajahnya tampak damai. Namun, yang menarik perhatian Arya bukanlah penampilannya, melainkan caranya menikmati musik.
Mata gadis itu terpejam, tetapi ekspresinya begitu hidup, seolah-olah ia bisa melihat setiap nada yang mengalun di udara. Kepalanya bergerak perlahan mengikuti ritme, dan di beberapa bagian melodi, senyum tipis muncul di bibirnya.
Arya merasa aneh. Ia belum pernah melihat seseorang menikmati musiknya seperti itu—dengan begitu tulus, tanpa distraksi.
Saat lagu berakhir, Arya menghela napas, mencoba mengatasi kegugupan yang masih tersisa. Ia bersiap untuk kembali ke belakang kafe, tetapi suara lembut menghentikannya.
“Kau baru pertama kali bermain di sini, ya?”
Arya menoleh. Gadis itu berbicara ke arahnya dengan kepala sedikit menoleh, meskipun matanya tetap tertutup.
“Iya…” jawab Arya ragu.
Gadis itu tersenyum. “Aku bisa mendengarnya. Permainanmu ragu-ragu, tapi nadanya tetap indah.”
Arya terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Sudah lama sejak seseorang memuji permainannya, dan meskipun pujian itu terasa baik, ada sesuatu yang aneh dalam cara gadis itu berbicara.
Gadis itu tertawa pelan, seolah menyadari kebingungan Arya. “Oh, maaf. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Keira.”
Arya mengangguk. “Arya.”
Keira mengulurkan tangan dengan gerakan yang agak hati-hati. Saat Arya menyambutnya, ia baru menyadari bahwa sentuhan Keira terasa lebih eksploratif, seolah-olah ia mencoba ‘melihat’ dengan tangannya.
“Kau buta?” tanyanya tanpa berpikir.
Keira tersenyum lagi, seolah pertanyaan itu bukan hal baru baginya. “Sejak lahir.”
Arya merasa sedikit canggung. Ia tidak terbiasa berbicara dengan seseorang yang tidak bisa melihat. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Keira melanjutkan, “Tapi aku bisa ‘melihat’ musikmu.”
Arya mengernyit. “Maksudmu?”
“Aku bisa merasakan emosi seseorang melalui cara mereka bermain musik.” Keira mengangguk kecil. “Dan musikmu… terdengar seperti seseorang yang sedang tersesat.”
Kata-kata itu membuat Arya terdiam.
Tersesat.
Itulah yang ia rasakan selama ini.
Ia telah kehilangan arah, kehilangan kepercayaan dirinya, dan kehilangan apa yang dulu menjadi bagian dari jiwanya.
Namun, bagaimana Keira bisa mengetahuinya hanya dari musiknya?
Malam itu, Arya tidak langsung pulang setelah selesai bermain. Ia duduk di meja dekat jendela, memandangi hujan yang mulai turun di luar. Keira masih ada di kafe, berbincang dengan seorang pegawai yang tampaknya sudah mengenalnya dengan baik.
Rasa ingin tahu membuat Arya bertanya pada Dimas yang sedang merapikan meja. “Keira sering ke sini?”
Dimas mengangguk. “Dia pelanggan tetap. Selalu datang setiap malam dan duduk di tempat yang sama.”
Arya melirik ke sudut ruangan, tempat Keira biasanya duduk.
“Dia suka musik,” lanjut Dimas. “Terutama musik piano. Katanya, itu satu-satunya cara baginya untuk ‘melihat’ dunia.”
Arya termenung.
Selama ini, ia selalu menganggap musik sebagai sesuatu yang harus sempurna—tanpa kesalahan, tanpa cacat. Tetapi bagi Keira, musik bukan soal teknik atau penampilan di atas panggung.
Musik adalah sesuatu yang bisa dirasakan.
Dan Keira bisa merasakan dirinya yang tersesat.
Saat Arya hendak beranjak pulang, suara Keira menghentikannya lagi.
“Kau akan datang besok?” tanyanya pelan.
Arya menatapnya, ragu. Ia masih belum yakin apakah ia siap untuk kembali ke dunia musik sepenuhnya.
Namun, saat melihat senyum tulus Keira, ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang berubah sedikit—seperti nada pertama yang mulai menemukan melodi berikutnya.
“Ya,” jawabnya akhirnya. “Aku akan datang.”
Di luar, hujan turun semakin deras, tetapi untuk pertama kalinya sejak lama, Arya merasa musik dalam dirinya mulai kembali.
Bab 3: Janji di Bawah Hujan
Hujan turun deras malam itu, mengguyur jalanan dengan suara ritmis yang memenuhi udara. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi kopi dari dalam kafe, menciptakan suasana yang tenang sekaligus melankolis.
Di sudut ruangan, Keira duduk di tempat biasa dengan secangkir teh hangat di hadapannya. Tangan kanannya menggenggam pelan bagian pinggir cangkir, merasakan hangatnya cairan di dalamnya, sementara kepalanya sedikit dimiringkan, mendengarkan alunan nada yang Arya mainkan di piano.
Sejak pertemuan pertama mereka, Arya mulai datang ke kafe setiap malam. Awalnya, ia masih merasa ragu, tetapi perlahan-lahan, ia mulai terbiasa. Musiknya masih penuh dengan keraguan, tetapi di antara dentingan yang tersembunyi itu, ada sesuatu yang perlahan berubah.
Keira mendengarnya.
Ketika Arya selesai memainkan lagu terakhirnya malam itu, ia menghela napas dan melirik ke arah Keira, yang tetap duduk dengan tenang.
“Kau masih di sini?” tanyanya, menghampiri meja tempat Keira duduk.
Keira tersenyum. “Aku selalu di sini.”
Arya menarik kursi dan duduk di hadapannya. Ia masih belum sepenuhnya mengerti bagaimana gadis ini bisa begitu memahami musiknya tanpa pernah melihatnya bermain.
“Kau selalu menikmati hujan?” Arya bertanya setelah beberapa saat hening.
Keira mengangguk. “Aku suka suara hujan. Rasanya seperti lagu yang tidak pernah berhenti. Setiap tetesnya memiliki ritme sendiri.”
Arya menatap jendela. Hujan turun semakin deras, membentuk pola-pola tak beraturan di kaca. Ia tidak pernah berpikir untuk mendengarkan hujan dengan cara seperti itu.
Keira tiba-tiba bangkit dari kursinya. “Ayo keluar.”
Arya menoleh dengan kaget. “Apa?”
Keira tersenyum. “Aku ingin mendengar pianomu di bawah hujan.”
Arya terdiam sejenak. Ia ingin menolak, tetapi ada sesuatu dalam cara Keira berbicara yang membuatnya enggan mengatakan tidak.
Mereka berdiri di bawah teras kafe, menatap hujan yang terus mengguyur jalanan. Keira melepas sandalnya, membiarkan kakinya menyentuh aspal yang basah.
Arya menggeleng, merasa ini ide yang aneh. “Kau yakin ingin kehujanan?”
Keira tertawa. “Aku tidak bisa melihat langit, tapi aku bisa merasakan hujan. Dan aku ingin mendengar musikmu di sini.”
Arya masih ragu, tetapi akhirnya ia menyerah. Dengan perlahan, ia mulai menekan tuts piano yang berada di dekat pintu masuk kafe, memainkan melodi yang tercipta secara spontan.
Di bawah hujan yang deras, dentingan piano terdengar lembut. Bukan nada yang rumit atau megah, tetapi sederhana, seperti bisikan yang menyatu dengan suara hujan.
Keira menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam melodi itu.
Arya, yang semula masih canggung, mulai larut dalam permainannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak berpikir tentang kesempurnaan, tidak takut melakukan kesalahan. Ia hanya bermain, mengikuti aliran hujan dan mengikuti Keira, yang tampak begitu menikmati setiap nadanya.
Saat lagu berakhir, Keira membuka matanya dan tersenyum. “Itu indah.”
Arya menatapnya, terkejut dengan perasaan yang muncul dalam dirinya. Ia belum pernah merasakan kepuasan seperti ini dalam bermain musik. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sorakan, tetapi ada sesuatu yang lebih nyata—seorang pendengar yang benar-benar memahami musiknya.
Keira mengulurkan tangan ke arah Arya, merasakan rintik hujan yang mulai reda. “Arya.”
“Hm?”
“Jangan berhenti bermain.”
Arya terdiam.
Keira melanjutkan, suaranya lembut tetapi penuh keteguhan. “Aku tahu ada sesuatu yang membuatmu takut. Tetapi musikmu… itu punya nyawa. Jangan biarkan ketakutan mengambilnya darimu.”
Arya tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Keira yang tetap tersenyum di bawah hujan, matanya tertutup, tetapi hatinya terbuka lebih lebar dari siapa pun yang pernah ia temui.
Saat itu, ia membuat janji dalam hatinya—janji yang ia sendiri tidak tahu apakah bisa ia tepati.
“Aku akan terus bermain,” katanya pelan. “Selama kau masih ingin mendengarnya.”
Keira mengangguk kecil. “Aku akan selalu mendengar.”
Malam itu, di bawah hujan yang perlahan mereda, Arya menyadari sesuatu.
Ia tidak lagi bermain untuk mengejar kesempurnaan.
Ia bermain karena ada seseorang yang benar-benar mendengar.
Bab 4: Harapan yang Muncul
Malam di kota mulai larut, tetapi kafe tempat Arya bermain masih dipenuhi pelanggan. Sejak ia mulai bermain secara rutin, suasana kafe menjadi lebih hidup. Musik piano yang ia mainkan membawa ketenangan, seolah-olah mengisi kekosongan yang tersembunyi di hati setiap orang yang mendengarnya.
Di sudut ruangan, seperti biasa, Keira duduk dengan ekspresi damai. Tangannya menggenggam cangkir teh hangat, sementara telinganya fokus pada dentingan tuts piano yang dimainkan Arya.
Namun, malam itu, ada sesuatu yang berbeda.
Keira tampak gelisah, sesuatu yang jarang Arya lihat dalam dirinya. Setelah ia menyelesaikan lagu terakhirnya, Arya berjalan menghampiri meja tempat Keira duduk.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan.
Keira terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Aku mendapat kabar hari ini.”
Arya menarik kursi dan duduk di hadapannya. “Kabar apa?”
Keira memainkan jari-jarinya di atas meja, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Aku punya kesempatan untuk menjalani operasi.”
Arya menatapnya dengan kaget. “Operasi?”
Keira mengangguk. “Ada dokter di luar negeri yang bersedia melakukan operasi pemulihan penglihatan. Mereka bilang peluangnya cukup tinggi.”
Arya tidak langsung merespons. Ia tidak tahu harus merasa senang atau… takut.
Keira, yang selalu mengenali dunia melalui suara dan sentuhan, akhirnya punya kesempatan untuk melihat.
Tetapi jika ia bisa melihat… apakah ia masih akan mendengar musik dengan cara yang sama?
Apakah ia masih akan menikmati melodi yang Arya mainkan, seperti saat ia hanya bisa mendengarkan?
Arya menggeleng pelan. Ia tahu pikirannya egois. Ini adalah kabar baik bagi Keira—harapan yang mungkin sudah lama ia tunggu.
“Tapi… kau terlihat ragu.” Suara Arya terdengar hati-hati.
Keira menghela napas. “Aku sudah terbiasa hidup seperti ini. Aku tahu cara menghadapi dunia dalam kegelapan. Tetapi jika aku bisa melihat… apakah semuanya akan berubah?”
Arya mengerti. Rasa takut kehilangan apa yang sudah dikenal adalah sesuatu yang sulit dihadapi.
“Kau ingin menjalani operasi itu?” tanya Arya akhirnya.
Keira tersenyum kecil. “Aku ingin… tetapi aku juga takut.”
Malam itu, mereka berjalan keluar dari kafe, hujan baru saja reda. Jalanan basah, menciptakan aroma khas yang bercampur dengan udara dingin.
“Kau tahu?” Keira berkata, menghentikan langkahnya di trotoar. “Aku selalu membayangkan seperti apa wajahmu.”
Arya menatapnya dengan heran. “Seperti apa yang kau bayangkan?”
Keira menghela napas kecil. “Seseorang yang terlihat tenang, tetapi sebenarnya menyimpan banyak beban. Matamu… pasti menyimpan banyak cerita.”
Arya tidak bisa berkata-kata.
Keira tersenyum. “Aku ingin tahu apakah bayanganku benar. Jika aku menjalani operasi… aku akan bisa melihatmu.”
Arya tiba-tiba merasa ada sesuatu yang berat di dadanya. Jika Keira bisa melihatnya, apakah ia masih akan melihatnya seperti sekarang?
Ataukah ia akan melihat seseorang yang penuh dengan ketakutan dan kegagalan?
Tetapi sebelum ia sempat menjawab, Keira melangkah maju dan meraih tangannya dengan lembut.
“Arya.”
“Hm?”
“Jika suatu hari aku bisa melihat… tetaplah bermain untukku, ya?”
Arya menelan ludah, merasa hatinya berdebar lebih cepat. Ia tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan, tetapi ia tahu satu hal—ia tidak ingin kehilangan Keira.
Maka, dengan suara yang hampir bergetar, ia menjawab,
“Aku akan tetap bermain… selama kau masih ingin mendengar.”
Keira tersenyum, sementara di kejauhan, lampu-lampu kota bersinar lembut.
Tanpa mereka sadari, malam itu adalah awal dari sebuah perubahan besar—bagi Keira, bagi Arya, dan bagi musik yang selama ini menyatukan mereka.
Bab 5: Simfoni yang Hancur
Ironisnya, saat kau mendapatkan harapan baru, aku justru kehilangan harapanku.
Malam itu, hujan turun lebih deras dari biasanya, menciptakan simfoni alam yang menggema di seluruh kota. Arya menatap butiran air yang mengalir di jendela apartemennya, pikirannya melayang pada percakapan dengan Keira tadi malam.
Keira ingin melihat.
Ia ingin menjalani operasi yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.
Arya seharusnya bahagia untuknya, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa berat—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Keira:
— Aku sudah memutuskan. Aku akan menjalani operasinya.
Arya menatap layar, jemarinya ragu sebelum akhirnya ia mengetik balasan.
— Aku senang mendengarnya. Kapan operasinya?
Beberapa detik kemudian, Keira membalas.
— Dua minggu lagi.
Dua minggu.
Hanya dua minggu sebelum Keira bisa melihat dunia.
Dan dalam dua minggu itu, Arya masih harus menyembunyikan rahasia yang ia sendiri belum siap untuk hadapi.
Pagi harinya, Arya pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan kesehatannya. Sudah beberapa bulan terakhir ia sering merasa lelah, tubuhnya sering lemah tanpa alasan yang jelas.
Ia duduk di kursi tunggu, jantungnya berdebar saat seorang dokter menghampirinya dengan amplop berisi hasil pemeriksaan.
“Arya…” Dokter itu menghela napas, ekspresinya tidak menggambarkan sesuatu yang baik. “Saya ingin kamu bersiap untuk menerima ini dengan tenang.”
Arya menegang.
“Kamu didiagnosis mengidap amyotrophic lateral sclerosis (ALS).”
Dunia terasa membeku.
“Kondisi ini akan semakin memburuk seiring waktu. Sistem sarafmu perlahan akan kehilangan fungsinya. Kamu mungkin akan mengalami kesulitan bergerak… dan dalam beberapa bulan ke depan, tanganmu mungkin tidak akan bisa berfungsi dengan baik.”
Arya menatap dokter itu dengan mata kosong.
Tangan.
Tangan yang selama ini menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.
Tangannya yang bermain piano, yang menciptakan musik, yang menghubungkannya dengan Keira.
Dan sekarang, tangan itu akan perlahan kehilangan fungsinya.
“Ada pengobatan?” Suaranya terdengar lemah.
Dokter menggeleng. “Kita bisa memperlambat progresnya, tetapi tidak ada obat yang benar-benar bisa menyembuhkannya.”
Arya menunduk, jemarinya mengepal di atas pahanya.
Dalam dua minggu, Keira akan bisa melihat.
Tetapi dalam beberapa bulan, Arya akan kehilangan kemampuannya untuk bermain piano.
Ironis.
Disaat Keira akhirnya bisa melihatnya, ia justru akan kehilangan bagian dari dirinya yang paling berarti.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan berat. Arya terus bermain di kafe seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, ia mulai dihantui oleh ketakutan yang tak bisa ia ungkapkan.
Keira masih belum tahu.
Dan ia tidak ingin Keira tahu.
Setiap malam setelah selesai bermain, Arya diam-diam melatih jarinya lebih keras dari biasanya. Ia mencoba memastikan bahwa musiknya tidak berubah, bahwa jemarinya masih bisa mengikuti melodi seperti sebelumnya.
Tetapi ia tahu, itu hanya soal waktu.
Suatu malam, saat mereka berjalan pulang bersama di bawah lampu kota yang temaram, Keira menghentikan langkahnya tiba-tiba.
“Arya.”
“Hm?”
“Ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku.”
Arya terdiam.
Keira tersenyum tipis, tetapi ekspresinya penuh dengan keteguhan. “Aku tidak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan. Musikmu terdengar berbeda… seperti seseorang yang berusaha berpura-pura baik-baik saja.”
Arya menelan ludah.
“Apakah ini tentang aku?” Keira bertanya pelan. “Kau takut aku akan berubah setelah aku bisa melihat?”
Arya menggeleng cepat. “Tidak, bukan itu…”
Keira menunggu, tetapi Arya tidak melanjutkan.
Ia tidak bisa mengatakannya.
Ia tidak bisa memberi tahu Keira bahwa di saat gadis itu mendapatkan kembali dunianya, Arya justru akan kehilangan dunianya sendiri.
Maka, ia hanya tersenyum dan berkata, “Aku hanya ingin memastikan kau akan baik-baik saja.”
Keira terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum juga. “Aku akan baik-baik saja… selama kau tetap di sini.”
Arya tidak menjawab.
Karena di lubuk hatinya, ia tahu bahwa suatu hari nanti, ia harus pergi.
Ia harus menghilang sebelum Keira melihatnya hancur.
Bab 6: Nada yang Terputus
Dua minggu berlalu lebih cepat dari yang Arya bayangkan. Hari ini, Keira akan menjalani operasinya.
Di pagi hari, Arya berdiri di depan pintu rumah sakit, melihat Keira tersenyum dengan penuh harapan. Gadis itu menggenggam tangannya erat, sesuatu yang sudah sering ia lakukan, tetapi kali ini terasa lebih bermakna.
“Aku akan bisa melihatmu,” kata Keira dengan suara bergetar.
Arya tersenyum kecil, menahan rasa sakit yang mulai menghantui hatinya. “Ya, dan kau akan melihat dunia dengan semua warnanya.”
Keira mengangguk. “Tapi yang pertama kali ingin kulihat adalah kau.”
Arya terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi itu.
Dalam hatinya, ia tahu bahwa saat Keira membuka matanya untuk pertama kali, ia tidak akan ada di sana.
Operasi berjalan selama beberapa jam. Arya menunggu di luar ruangan dengan perasaan bercampur aduk. Jemarinya menggenggam erat lengan jaketnya, mencoba menahan ketegangan yang melilit pikirannya.
Setiap menit terasa begitu lambat.
Kemudian, seorang dokter keluar dari ruang operasi dan menghampirinya.
“Operasinya berjalan dengan baik,” kata dokter itu. “Dalam beberapa hari, penglihatannya akan mulai pulih.”
Arya mengangguk, tetapi tidak merasa lega seperti seharusnya.
Dalam beberapa hari, Keira akan bisa melihat dunia.
Dan ia… akan menghilang dari dunia Keira.
Malamnya, Arya berjalan sendirian di bawah hujan gerimis. Ia tidak kembali ke rumah sakit.
Keira akan segera sadar.
Ia seharusnya ada di sana.
Tetapi jika ia tetap tinggal, bagaimana jika Keira melihatnya saat tangannya mulai kehilangan fungsinya? Saat ia tak lagi bisa memainkan piano, saat musik yang selama ini menghubungkan mereka perlahan menghilang dari hidupnya?
Ia tidak ingin Keira melihatnya dalam keadaan seperti itu.
Jadi, untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu… Arya memilih pergi.
Ia meninggalkan pesan di meja rumah sakit Keira, hanya berisi satu kalimat sederhana:
“Aku selalu ada dalam musik yang kau dengar.”
Kemudian, ia pergi tanpa menoleh ke belakang.
Saat Keira membuka matanya untuk pertama kali, dunia terlihat kabur.
Cahaya memenuhi ruangan, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dengan hati-hati, ia menggerakkan kepalanya, matanya menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
Perlahan, ia mulai melihat warna.
Bentuk.
Dunia yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.
Dengan penuh harapan, ia menoleh ke samping tempat tidurnya, mencari sosok yang paling ingin ia lihat.
Tetapi ruangan itu kosong.
Tidak ada Arya.
Keira mengerjap, mencoba memahami situasinya. Kemudian, ia melihat secarik kertas di meja kecil di sebelah tempat tidurnya.
Tangannya gemetar saat mengambilnya.
“Aku selalu ada dalam musik yang kau dengar.”
Seketika, dadanya terasa sesak.
Arya tidak ada di sini.
Ia telah pergi.
Dan saat itu, Keira menyadari bahwa meskipun dunia akhirnya terlihat jelas di matanya…
Satu-satunya hal yang paling ingin ia lihat telah menghilang.
Bab 7: Jejak di Balik Nada
Hari-hari setelah operasinya terasa kosong bagi Keira.
Dunia yang selama ini hanya bisa ia bayangkan kini terlihat nyata di hadapannya. Warna-warni langit, bentuk bangunan, orang-orang yang berlalu-lalang—semuanya tampak begitu menakjubkan. Tetapi ada satu hal yang membuatnya merasa hampa.
Arya tidak ada di sini.
Keira duduk di bangku taman, membiarkan angin menyentuh kulitnya. Ia menatap langit sore yang mulai berubah jingga, tetapi tidak merasakan kebahagiaan seperti yang ia bayangkan dulu.
Ketika akhirnya ia bisa melihat, satu-satunya orang yang paling ingin ia lihat justru pergi.
Pesan singkat yang ditinggalkan Arya terus berputar di kepalanya.
“Aku selalu ada dalam musik yang kau dengar.”
Keira menggenggam kertas itu erat.
Tidak. Ia tidak akan membiarkan ini berakhir seperti ini.
Jika Arya tidak ada di sini, maka ia akan mencarinya.
Keira kembali ke kafe tempat Arya dulu bermain. Ia menelusuri sudut-sudut ruangan dengan mata yang masih belum sepenuhnya terbiasa dengan cahaya. Rasanya aneh melihat dunia yang selama ini hanya bisa ia dengar dan sentuh.
Dimas, pemilik kafe, melihatnya dan segera menghampiri. “Keira?”
Keira menoleh. Sekarang, ia bisa melihat wajah Dimas untuk pertama kalinya. Sosok pria dengan rambut sedikit berantakan dan kacamata yang menggantung di hidungnya.
“Dimas,” suaranya sedikit bergetar. “Dimana Arya?”
Dimas terdiam sejenak. “Dia tidak memberitahumu?”
Keira menggeleng. “Dia pergi. Begitu saja. Aku tidak tahu kenapa.”
Dimas menghela napas. “Aku juga tidak tahu pasti. Tapi sebelum dia pergi, dia sempat menitipkan sesuatu untukmu.”
Keira menegakkan tubuhnya. “Apa?”
Dimas berjalan ke belakang meja dan mengambil sebuah buku catatan. Ia menyerahkannya kepada Keira dengan ekspresi penuh pertimbangan.
“Dia bilang kalau suatu hari kau datang mencarinya, aku harus memberikan ini padamu.”
Keira menatap buku itu dengan hati berdebar. Ia membuka halaman pertama, menemukan tulisan tangan Arya yang rapi tetapi sedikit goyah.
“Melodi yang Tak Selesai.”
Jantungnya berdegup lebih cepat.
Ia membalik halaman demi halaman, menemukan lembaran not balok yang penuh dengan coretan-coretan.
Arya telah menulis lagu untuknya.
Tetapi lagu ini belum selesai.
Keira mengepalkan tangannya. Jika ini adalah pesan terakhir Arya untuknya, maka ia akan menemukan jawaban di dalamnya.
Ia akan menemukan Arya.
Malam itu, Keira duduk di depan piano yang biasa dimainkan Arya. Jemarinya yang dulu hanya bisa merasakan tekstur tuts, kini bisa melihat warna hitam dan putihnya dengan jelas.
Ia meletakkan buku catatan Arya di atas piano dan mulai menekan tutsnya, memainkan nada-nada yang tertulis.
Melodi itu terdengar indah, tetapi ada sesuatu yang hilang.
Sama seperti dirinya sekarang.
Keira menutup matanya, mencoba merasakan musik seperti yang biasa ia lakukan. Ia membayangkan Arya duduk di depannya, dengan ekspresi serius saat bermain.
Tetapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan.
Arya… di mana kau?
Air mata mengalir di pipinya.
Untuk pertama kalinya sejak ia bisa melihat, ia merasa lebih buta dari sebelumnya.
Bab 8: Konser Tanpa Nama
Malam itu, Keira duduk di depan piano dengan tatapan kosong. Buku catatan Arya masih terbuka di depannya, halaman-halamannya penuh dengan not balok yang belum selesai.
Melodi yang ia mainkan sore tadi masih terngiang di telinganya, tetapi ada sesuatu yang terasa hampa. Lagu itu indah, tetapi tidak utuh. Sama seperti dirinya.
Keira menatap jemarinya sendiri. Ia telah menghabiskan seluruh hidupnya merasakan dunia melalui suara dan sentuhan, tetapi sekarang, setelah ia bisa melihat, semuanya terasa lebih asing.
Dan yang paling menyakitkan adalah… Arya tidak ada di sini.
Keira kembali ke kafe keesokan harinya, masih membawa buku catatan itu. Dimas menyambutnya dengan ekspresi khawatir.
“Aku harus menemukan Arya,” kata Keira tanpa basa-basi.
Dimas menghela napas. “Keira, aku tidak tahu dia ada di mana. Dia pergi begitu saja, tanpa banyak bicara.”
Keira mengepalkan tangan. “Aku tahu ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Musiknya terasa berbeda sebelum ia pergi. Kau pasti tahu sesuatu.”
Dimas terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Aku tidak tahu banyak, tapi aku tahu dia pergi setelah mengunjungi rumah sakit beberapa kali.”
Jantung Keira berdegup lebih cepat. “Rumah sakit?”
Dimas mengangguk. “Aku tidak tahu untuk apa, tapi dia terlihat tidak sehat belakangan ini.”
Keira merasakan tubuhnya melemah. Ia tidak pernah berpikir bahwa mungkin… Arya pergi bukan karena ia ingin, tetapi karena ia harus.
“Aku harus menemukannya,” gumam Keira.
Dimas menghela napas. “Jika ada satu tempat di mana Arya selalu kembali, itu adalah musiknya.”
Keira mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Dimas menatap buku catatan yang dipegang Keira. “Lagu itu. Lagu yang belum selesai. Mungkin jawabannya ada di sana.”
Keira menatap buku catatan itu lagi. Melodi yang tak selesai. Sebuah lagu yang Arya ciptakan untuknya, tetapi belum sempat ia mainkan hingga selesai.
Ia harus memainkan lagu ini.
Dan jika Arya masih bisa mendengar, ia tahu Arya akan datang.
Dalam waktu seminggu, Keira menghubungi seorang musisi terkenal yang sering datang ke kafe tempat Arya bermain. Dengan bantuan Dimas, mereka mengatur sebuah konser kecil—konser yang tidak mencantumkan nama Keira sebagai pemain utama.
Di poster konser, hanya tertulis satu kalimat:
“Lagu yang Belum Selesai – Untuk Arya.”
Konser itu akan diadakan di aula kecil di pusat kota. Tidak besar, tetapi cukup untuk menarik perhatian mereka yang mengenal Arya dan musiknya.
Pada malam konser, Keira duduk di belakang panggung, menatap jemari yang kini bisa melihat tuts-tuts piano dengan jelas.
Tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa satu-satunya orang yang paling ia harapkan datang… mungkin tidak akan ada di sini.
Lampu panggung menyala. Keira menarik napas dalam dan melangkah maju.
Ia duduk di depan piano, membuka buku catatan Arya di atas stand, dan mulai memainkan melodi pertama.
Nada pertama mengalun dengan lembut, membawa kehangatan ke dalam ruangan. Keira menutup matanya, membiarkan musik membimbingnya.
Setiap nada membawa kenangan—malam pertama ia mendengar Arya bermain, suara hujan di luar kafe, janji mereka di bawah hujan.
Tetapi ketika ia mencapai bagian akhir dari partitur yang tertulis, jemarinya berhenti.
Di halaman terakhir, hanya ada catatan kosong.
Arya tidak pernah menyelesaikan lagu ini.
Keira membuka matanya, menatap tuts di depannya.
Kemudian, tanpa ragu, ia mulai menciptakan nada-nada baru.
Ia mengisi kekosongan yang ditinggalkan Arya.
Karena jika Arya tidak ada di sini untuk menyelesaikannya, maka ia akan melakukannya.
Saat melodi terakhir mengalun, Keira merasakan sesuatu yang berbeda. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat.
Bukan dengan matanya, tetapi dengan hatinya.
Dan di antara penonton, seseorang dengan tubuh lemah dan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Arya.
Ia datang.
Bab 9: Lagu Perpisahan di Bawah Hujan
Dentingan terakhir piano memenuhi aula konser dengan keheningan yang menggantung. Keira membuka matanya perlahan, perasaannya bercampur aduk antara harapan dan ketakutan.
Ia mengangkat kepalanya, matanya menyapu barisan penonton. Dan di sana, di sudut ruangan, berdiri seseorang dengan tubuh yang lebih kurus dari yang ia ingat.
Arya.
Keira merasakan dadanya sesak. Ia ingin berlari ke arahnya, tetapi tubuhnya terasa kaku. Semua emosi yang ia pendam selama ini seakan meledak dalam sekejap.
Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dari kursinya dan berjalan cepat ke arah Arya.
Arya tidak bergerak. Tatapan matanya masih sama seperti dulu—hangat tetapi menyimpan sesuatu yang ia coba sembunyikan.
Saat Keira akhirnya berdiri di hadapannya, ia menahan napas. Untuk pertama kalinya, ia bisa melihat wajah Arya dengan jelas.
Pria dengan mata yang selalu menyimpan kesedihan tersembunyi.
Keira meraih tangannya, tetapi Arya menunduk, menghindari tatapannya.
“Kenapa kau pergi?” suara Keira bergetar.
Arya menghela napas. “Keira… aku tidak ingin kau melihatku seperti ini.”
Keira menggenggam tangannya lebih erat. “Aku sudah buta seumur hidup, Arya. Tapi aku selalu bisa ‘melihatmu’ lebih dari siapa pun.”
Arya menutup matanya, dan untuk pertama kalinya sejak lama, air matanya jatuh.
“Aku sakit, Keira.” Suaranya hampir berbisik. “Aku tidak bisa bermain piano lagi. Tanganku… aku kehilangan semuanya.”
Keira menatapnya dengan mata yang mulai basah. “Aku tidak peduli.”
Arya tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan dalam tawanya. “Kau seharusnya melihat dunia, menikmati semua yang selama ini kau lewatkan… bukan menghabiskan waktumu dengan seseorang yang sedang sekarat.”
Keira menggeleng, air matanya jatuh. “Dulu, aku selalu membayangkan dunia seperti apa yang akan kutemui saat aku bisa melihat.” Ia menatap Arya, suaranya penuh kepastian. “Dan kau adalah hal pertama yang ingin kulihat.”
Arya menelan ludah, matanya mulai bergetar.
Keira melangkah lebih dekat, hingga hanya ada jarak tipis di antara mereka. “Jika aku bisa memilih, aku lebih memilih tetap buta daripada kehilanganmu.”
Saat itu, hujan mulai turun di luar aula.
Arya menatap Keira dengan mata yang penuh kesedihan. “Aku tidak ingin kau mengingatku sebagai seseorang yang lemah.”
Keira tersenyum tipis di antara air matanya. “Aku tidak pernah melihatmu seperti itu. Aku melihatmu sebagai seseorang yang menyelamatkanku.”
Arya terdiam.
Lalu, dengan suara nyaris berbisik, Keira berkata, “Mainkan satu lagu terakhir untukku.”
Arya menatap tangannya sendiri, yang mulai melemah. Ia tahu ini mungkin terakhir kalinya ia bisa bermain. Tetapi bagaimana ia bisa menolak permintaan ini?
Dengan langkah lemah, ia berjalan ke arah piano. Keira mengikutinya, duduk di bangku sebelahnya.
Arya mengangkat tangannya dengan susah payah, jemarinya gemetar. Tetapi saat ia menekan tuts pertama, sesuatu terjadi.
Keira meletakkan tangannya di atas tangan Arya.
“Aku akan membantumu,” bisiknya.
Arya menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak takut.
Pelan-pelan, mereka mulai memainkan lagu itu bersama.
Hujan di luar semakin deras, tetapi di dalam aula kecil itu, hanya ada dua orang yang saling memahami tanpa perlu kata-kata.
Melodi yang belum selesai kini menjadi lengkap.
Dan saat lagu berakhir, Arya menutup matanya, membiarkan air mata terakhirnya jatuh.
Ia tahu waktunya hampir habis.
Tetapi jika ini adalah perpisahan, maka ia ingin menghabiskannya seperti ini—di samping seseorang yang benar-benar mendengar musiknya, bahkan sebelum ia bisa melihat.
Bab 10: Melodi yang Abadi
Langit masih diguyur hujan saat aula konser menjadi saksi bagi melodi terakhir yang Arya dan Keira mainkan bersama.
Saat dentingan terakhir piano menghilang di udara, Arya menghela napas panjang. Ia tahu ini adalah akhir. Tangannya, yang dulu begitu lincah memainkan nada-nada indah, kini hanya mampu bergerak dengan bantuan Keira.
Tapi baginya, itu sudah cukup.
Keira menatap Arya dengan mata yang masih basah oleh air mata. “Jangan pergi,” bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan di luar.
Arya menoleh, menatap wajah Keira yang kini bisa ia lihat dengan jelas. Gadis yang dulu hanya mengenal dunia melalui suara dan sentuhan, kini bisa melihat semua yang selama ini tersembunyi darinya.
Dan itu termasuk dirinya.
“Aku ingin tetap di sini,” Arya berkata dengan suara serak. “Tapi waktuku sudah tidak banyak.”
Keira menggenggam tangannya erat. “Kita bisa mencari cara… kita bisa—”
Arya tersenyum kecil, menghentikan kata-kata Keira dengan satu sentuhan lembut di pipinya.
“Aku sudah tahu sejak lama, Keira.” Ia menatap gadis itu dengan penuh kelembutan. “Tapi aku tidak ingin kau melihatku perlahan menghilang.”
Keira menutup matanya, menahan isakan. “Aku tidak peduli. Aku hanya ingin bersamamu.”
Arya mengangguk. “Dan aku juga ingin bersamamu. Tapi aku ingin kau menjanjikan satu hal padaku.”
Keira membuka matanya, menunggu.
Arya menatapnya dengan penuh kesungguhan. “Jangan berhenti bermain.”
Keira terdiam.
“Aku ingin musikku tetap hidup,” lanjut Arya. “Dan hanya kau yang bisa memastikan itu.”
Keira menggigit bibirnya, menahan emosi yang membanjiri dadanya. Lalu, dengan suara yang hampir tak terdengar, ia mengangguk.
“Aku berjanji.”
Arya tersenyum. “Terima kasih.”
Malam itu, mereka duduk bersama dalam keheningan, hanya mendengar suara hujan yang terus turun.
Dan di pagi hari, saat matahari pertama muncul setelah hujan panjang, Arya pergi.
Beberapa bulan berlalu.
Keira tetap datang ke kafe tempat mereka biasa bertemu. Ia duduk di kursi yang sama, mendengarkan keheningan di mana dentingan piano Arya dulu mengisi ruangan.
Tetapi kali ini, ia tidak hanya mendengar.
Ia memainkan.
Keira mulai tampil di konser-konser kecil, membawakan lagu-lagu yang pernah Arya ciptakan. Ia menyelesaikan lagu terakhir Arya dan menamakannya “Melodi yang Abadi.”
Setiap kali ia memainkan lagu itu, ia menutup matanya.
Dan dalam setiap nada, dalam setiap dentingan piano, ia masih bisa mendengar Arya.
Karena seperti yang Arya katakan padanya—
“Aku selalu ada dalam musik yang kau dengar.”
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.