Asha, seorang jurnalis investigasi, hidupnya berubah setelah kehilangan suaminya, Damar, dalam kecelakaan misterius. Namun, ia mulai menyadari bahwa sebagian besar kenangannya tentang Damar telah dihapus secara paksa. Bersama Rian, seorang hacker, Asha mengungkap teknologi gelap yang memungkinkan manipulasi ingatan manusia.
Saat ia menemukan fakta bahwa Damar masih hidup dan menjadi subjek eksperimen rahasia, Asha harus menghadapi konspirasi besar yang mengancam dunia. Dihadapkan pada pilihan sulit, ia harus memilih antara menyelamatkan suami atau menghancurkan teknologi berbahaya yang dapat mengendalikan umat manusia.
Bab 1: Ingatan yang Hilang
Langit mendung menggantung di atas kota, memberikan suasana yang serupa dengan hati Asha yang penuh kekosongan. Sudah tiga bulan sejak kecelakaan tragis yang merenggut nyawa suaminya, Damar. Kehidupannya yang dulu penuh dengan warna berubah menjadi monoton dan tanpa arah. Namun, ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya—sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Kenangannya tentang Damar terasa kabur, seolah-olah beberapa bagian telah terhapus begitu saja.
Hari ini, Asha duduk di sofa ruang tamunya, menatap bingkai foto yang ada di tangannya. Foto itu diambil di pantai dua tahun lalu, saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan pertama mereka. Tetapi ada yang aneh. Biasanya, ia dapat mengingat setiap detail momen itu—bagaimana Damar tertawa saat pasir menempel di wajahnya, atau bagaimana mereka berbicara tentang masa depan sambil memandangi matahari terbenam. Sekarang, kenangan itu hanya muncul seperti bayangan buram yang sulit ia jangkau.
“Kenapa aku tidak bisa mengingat?” gumamnya pelan, suaranya bergetar oleh frustrasi.
Ponselnya berbunyi, menginterupsi lamunannya. Itu adalah panggilan dari Lila, sahabatnya. “Halo, Asha? Kamu baik-baik saja?” tanya Lila dari seberang telepon. Suaranya penuh perhatian, tetapi Asha merasa ada nada yang sedikit berbeda kali ini—seperti Lila menyembunyikan sesuatu.
“Aku baik,” jawab Asha singkat, meski jelas-jelas itu bohong. “Aku hanya… Aku merasa ada yang aneh dengan ingatanku. Aku tidak bisa mengingat banyak tentang Damar. Bahkan momen-momen penting kami, seperti hilang begitu saja.”
Lila terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, “Mungkin itu hanya trauma, Sha. Kamu baru saja kehilangan seseorang yang sangat berarti. Wajar kalau memorimu sedikit kacau.”
Namun, Asha merasa jawaban itu tidak memuaskan. Ini bukan sekadar trauma. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih mendalam. Ia bisa merasakannya.
Setelah panggilan itu berakhir, Asha memutuskan untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa membantunya mengembalikan ingatan. Ia membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan album foto mereka. Halaman demi halaman ia telusuri, tetapi setiap kali ia melihat wajah Damar, ia merasa ada sesuatu yang salah. Beberapa foto tampak asing, seolah-olah ia bukan bagian dari kenangan itu.
Kemudian, di antara tumpukan kertas di laci, Asha menemukan sebuah surat kecil. Surat itu tidak memiliki amplop, hanya sebuah kertas yang dilipat. Tulisan tangan Damar tertera di sana, tetapi isinya membuat bulu kuduk Asha berdiri.
“Asha, jika sesuatu terjadi padaku, jangan percaya siapapun. Cari ‘Memoria.’ Mereka akan mencoba menghapus segalanya.”
Tangan Asha gemetar saat membaca surat itu. Kata “Memoria” terdengar asing, tetapi entah kenapa terasa mengancam. Ia mencoba mengingat kapan Damar menulis surat itu, tetapi sama sekali tidak ada ingatan tentangnya. Apa itu “Memoria”? Dan kenapa Damar begitu khawatir sampai-sampai meninggalkan pesan seperti ini?
Malam itu, Asha nyaris tidak bisa tidur. Surat itu mengusik pikirannya tanpa henti. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari dirinya, sesuatu yang besar. Pikirannya berputar-putar, mencoba menghubungkan potongan-potongan kecil yang ia miliki, tetapi tidak ada yang masuk akal.
Keesokan paginya, Asha memutuskan untuk mencari bantuan. Ia mengunjungi seorang psikolog, berharap sesi terapi dapat membantunya menggali ingatan yang hilang. Di ruangan yang tenang dengan aroma lavender, Asha menceritakan segalanya kepada psikolog bernama Dr. Sarah.
“Ada kemungkinan ingatanmu terkubur karena trauma,” kata Dr. Sarah dengan tenang sambil mencatat di buku. “Tetapi jika kau merasa ada sesuatu yang lebih, mungkin kita bisa mencoba terapi memori untuk membantu.”
Namun, saat Asha akan menjelaskan lebih lanjut tentang surat Damar, ia melihat sesuatu di meja Dr. Sarah—sebuah logo kecil di sudut buku catatan. Logo itu berbentuk lingkaran dengan garis-garis menyerupai otak manusia di tengahnya. Asha merasa pernah melihat logo itu sebelumnya, tetapi tidak ingat di mana.
“Dok, logo itu…” ujar Asha sambil menunjuk. “Apa itu?”
“Oh, ini?” Dr. Sarah tersenyum kecil. “Ini logo perusahaan tempat aku dulu bekerja, Memoria Corp. Kami fokus pada penelitian tentang ingatan manusia.”
Asha merasakan detak jantungnya melompat. Nama itu. Memoria. Sama seperti yang disebut dalam surat Damar.
“Apakah kau masih bekerja di sana?” tanya Asha, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
“Tidak, aku sudah keluar beberapa tahun lalu. Tapi mereka masih menjalankan banyak proyek besar. Kenapa kau bertanya?”
“Tidak, tidak apa-apa,” jawab Asha cepat. Tetapi dalam hatinya, ia tahu ini bukan kebetulan. Memoria Corp. pasti terhubung dengan semua ini—ingatan yang hilang, surat Damar, dan bahkan kematiannya.
Saat keluar dari ruangan Dr. Sarah, Asha merasakan semangat baru. Ia tidak akan berhenti sampai menemukan jawaban. Jika Memoria benar-benar berperan dalam semua ini, maka ia harus menggali lebih dalam, meskipun itu berarti mempertaruhkan segalanya.
Langkah Asha semakin mantap. Ia mungkin tidak punya banyak petunjuk, tetapi ia tahu satu hal pasti: ini baru permulaan.
Bab 2: Pesan Misterius
Hujan mengguyur deras malam itu. Asha duduk di depan laptopnya, mencoba mencari informasi tentang Memoria Corp. Setelah pertemuannya dengan Dr. Sarah, rasa penasarannya semakin membuncah. Ia mengetik kata kunci itu di mesin pencari, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Sebagian besar artikel yang muncul hanyalah tentang teknologi modern, tanpa menyebutkan apapun yang berkaitan dengan ingatan manusia.
Ketika ia hampir menyerah, sebuah pesan anonim tiba-tiba muncul di layar laptopnya. Itu bukan email, melainkan pesan yang langsung muncul dalam bentuk jendela pop-up, seperti seseorang sedang meretas perangkatnya. Tulisan di layar itu membuat jantung Asha berdegup kencang:
“Jika kau ingin tahu yang sebenarnya tentang Memoria, datanglah ke alamat ini: Jalan Timur 17, Gudang 3, pukul 10 malam. Jangan bawa siapapun.”
Asha tertegun. Tangannya gemetar, tetapi ia tidak bisa berpaling dari layar. Siapa yang mengirim pesan ini? Dan bagaimana mereka tahu dia sedang mencari informasi tentang Memoria? Rasa penasaran bercampur dengan ketakutan menyelimuti pikirannya. Namun, dorongan untuk menemukan kebenaran tentang Damar lebih besar dari segalanya.
Malam itu, meskipun rasa takut terus menghantuinya, Asha memutuskan untuk pergi ke alamat yang diberikan. Ia menyembunyikan surat Damar di saku jaketnya sebagai bentuk pengingat bahwa ia melakukan semua ini untuk suaminya. Ia tiba di lokasi—sebuah gudang tua yang tampak terlantar di pinggiran kota. Tempat itu gelap dan hanya diterangi oleh lampu jalan yang berkelap-kelip.
Asha melangkah perlahan ke pintu gudang, tetapi sebelum ia sempat mengetuk, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Di dalamnya, seorang pria dengan hoodie hitam berdiri di depan layar komputer besar. Wajahnya tertutup sebagian oleh bayangan, tetapi tatapan matanya yang tajam langsung tertuju pada Asha.
“Kau Asha, kan?” tanya pria itu tanpa basa-basi.
Asha mengangguk. “Siapa kau? Dan kenapa kau tahu tentang aku?” tanyanya, mencoba terdengar tegas meskipun suaranya sedikit bergetar.
Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Rian, seorang mantan teknisi yang bekerja untuk Memoria Corp. “Aku tahu karena aku memantau mereka,” katanya sambil menunjuk ke layar yang menampilkan serangkaian data dan rekaman. “Aku sudah lama keluar dari organisasi itu, tetapi aku tahu apa yang mereka lakukan, dan aku tahu kau adalah bagian dari salah satu eksperimen mereka.”
Asha terperanjat. “Eksperimen? Aku? Apa maksudmu?”
Rian menghela napas panjang sebelum menjelaskan. “Memoria Corp. tidak hanya mengembangkan teknologi untuk menghapus atau memodifikasi ingatan. Mereka juga menggunakannya untuk mengontrol orang-orang tertentu. Orang-orang yang dianggap sebagai ancaman atau yang memiliki informasi penting. Damar—suamimu—adalah salah satu subjek mereka.”
“Tidak mungkin!” sergah Asha. “Damar hanya seorang ilmuwan biasa. Dia tidak punya urusan dengan teknologi ini.”
Rian menggeleng. “Kau tidak tahu segalanya tentang Damar, Asha. Dia adalah bagian dari tim penelitian yang merancang teknologi ini, tetapi dia menentangnya ketika mereka mulai menggunakannya untuk tujuan gelap. Saat dia mencoba membongkar rahasia itu, mereka menghapusnya. Bukan hanya dari ingatan orang-orang, tetapi juga dari hidupmu.”
Asha merasa kepalanya berputar. Ia mundur beberapa langkah, mencoba mencerna semua yang baru saja ia dengar. “Jadi… ingatanku yang hilang tentang Damar bukan karena trauma? Mereka sengaja menghapusnya?”
“Benar,” jawab Rian. “Dan bukan hanya itu. Mereka memalsukan kematiannya untuk menyembunyikan fakta bahwa dia masih hidup. Mereka membutuhkan dia untuk melanjutkan penelitian.”
Air mata Asha mulai mengalir, tetapi ia segera menghapusnya. “Di mana dia sekarang? Apa kau tahu?” tanyanya dengan suara penuh emosi.
Rian diam sejenak sebelum menunjuk layar di belakangnya. “Aku melacak lokasi fasilitas tempat mereka menahan subjek. Damar mungkin ada di salah satu dari mereka, tetapi aku tidak bisa memastikan yang mana. Aku butuh akses lebih dalam ke jaringan mereka, dan itu akan membutuhkan waktu.”
Ketika Asha mencoba menenangkan dirinya, Rian tiba-tiba memberikan sebuah flash drive kecil. “Ambil ini,” katanya. “Di dalamnya ada data yang kubocorkan dari server Memoria. Ini bisa membantu kita mengidentifikasi lebih banyak tentang mereka. Tetapi hati-hati, jika mereka tahu kau memiliki ini, kau akan jadi target.”
Asha menggenggam flash drive itu erat-erat. “Kenapa kau melakukan ini? Apa untungnya untukmu?” tanyanya, masih belum sepenuhnya percaya pada Rian.
Rian tersenyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan dalam senyumnya. “Aku punya urusanku sendiri dengan Memoria. Anggap saja ini balas dendam pribadi. Tapi ingat, semakin jauh kau melangkah, semakin besar risikonya.”
Asha tahu risiko itu besar, tetapi ia tidak peduli. Jika Damar masih hidup, ia harus menemukannya. Ia harus mendapatkan kembali kenangan yang telah diambil darinya, apa pun yang terjadi.
Saat Asha meninggalkan gudang, ia merasakan dinginnya malam yang menusuk kulitnya. Tetapi lebih dari itu, ia merasa bayangan seseorang mengikutinya. Sesekali ia menoleh, tetapi jalan itu kosong. Namun, firasatnya mengatakan bahwa langkahnya kini sedang diawasi.
Di rumah, ia duduk dengan flash drive di tangannya, mencoba menguatkan diri. Saat ia menyambungkannya ke laptopnya, file pertama yang muncul adalah sebuah video. Tangannya gemetar saat memutar video itu. Di layar, ia melihat wajah yang sangat dikenalnya—Damar. Wajahnya terlihat lelah dan penuh luka, tetapi ia masih hidup.
“Jika kau melihat ini, Asha, aku ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah meninggalkanmu. Mereka memaksaku untuk melakukan ini. Aku mencintaimu, dan aku akan terus berjuang untuk keluar dari sini.”
Air mata Asha mengalir deras. Rasa sedih, rindu, dan marah bercampur menjadi satu. Ia tahu sekarang bahwa perjalanannya baru saja dimulai.
Bab 3: Ingatan yang Dimanipulasi
Pagi hari terasa begitu sunyi bagi Asha, tetapi pikirannya penuh dengan kebingungan dan rencana yang tidak menentu. Video Damar yang ia lihat semalam masih terputar di benaknya. Wajah suaminya yang lelah tetapi tetap menunjukkan kekuatan membuatnya sadar bahwa ia tidak bisa berhenti di sini. Ia harus melanjutkan pencarian.
Flash drive yang diberikan Rian masih terhubung di laptopnya. Ada banyak file di dalamnya, kebanyakan berupa dokumen teknis yang sulit dimengerti Asha. Grafik, data, dan istilah ilmiah berserakan di layar, tetapi satu file menarik perhatiannya: “Proyek Memoria_Subjek101”. Dengan rasa ingin tahu, Asha membuka file itu.
Isinya adalah laporan eksperimen yang sangat terperinci. Dokumen itu menyebutkan bahwa Subjek 101, yang belakangan ia pahami sebagai Damar, adalah salah satu orang yang berhasil mempertahankan stabilitas ingatan setelah dilakukan manipulasi. Di laporan itu, tertulis:
“Subjek 101 menunjukkan resistensi tingkat tinggi terhadap penghapusan memori total. Hasilnya memaksa tim untuk menggunakan metode isolasi dan rekalibrasi memori sebagian. Potensi subjek untuk menjadi ancaman tetap tinggi, namun penahanan emosional terhadap individu tertentu menjadi kunci keberhasilannya.”
Hati Asha mencelos. “Individu tertentu” itu pasti dirinya. Mereka tidak hanya memanipulasi ingatannya, tetapi juga menjadikan hubungan emosionalnya dengan Damar sebagai alat eksperimen. Ia merasa marah, tetapi juga terluka. Betapa kejamnya mereka mempermainkan kehidupan seseorang seperti itu.
Asha memutuskan untuk menemui Rian lagi. Kali ini ia tidak ingin hanya menunggu jawaban; ia ingin berbuat sesuatu. Di sore hari, ia kembali ke gudang tempat Rian bekerja. Pria itu tampak sedang sibuk di depan komputer, jarinya bergerak cepat di atas keyboard, mengakses data yang entah dari mana.
“Kau kembali,” kata Rian tanpa menoleh, seolah sudah menduga kedatangan Asha. “Kuduga kau sudah melihat sesuatu yang membuatmu marah.”
“Marah tidak cukup menggambarkan apa yang kurasakan sekarang,” jawab Asha dengan nada tegas. “Aku ingin tahu segalanya. Apa sebenarnya yang terjadi pada Damar? Kenapa mereka melakukan ini?”
Rian akhirnya berbalik menghadapnya. Wajahnya serius, tanpa jejak candaan. “Memoria Corp. tidak hanya berusaha memanipulasi ingatan individu. Mereka sedang mengembangkan teknologi yang memungkinkan mereka mengendalikan populasi besar. Subjek seperti Damar hanyalah uji coba awal.”
Asha merasa tenggorokannya mengering. “Populasi besar? Kau maksud, mereka akan mencoba mengontrol ingatan semua orang?”
“Benar,” jawab Rian singkat. “Bayangkan jika mereka bisa menghapus kenangan tentang pemberontakan, kebohongan pemerintah, atau bahkan keberadaan kelompok tertentu. Dunia akan berada di bawah kendali mereka. Damar tahu itu, dan dia mencoba menghentikannya. Tapi kau tahu apa yang terjadi pada orang yang menentang mereka.”
Asha terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja ia dengar. Di satu sisi, ia merasa kecil dibandingkan dengan besarnya konspirasi ini. Tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa Damar telah mempertaruhkan segalanya demi kebenaran. Ia tidak bisa membiarkan pengorbanan suaminya sia-sia.
“Kau bilang kemarin bahwa ada beberapa fasilitas tempat mereka menahan subjek,” kata Asha, memecah keheningan. “Bisakah kau mempersempit lokasi? Aku harus menemukannya.”
Rian mengangguk dan kembali menatap layar komputernya. “Aku sedang bekerja untuk memecahkan enkripsi data lokasi mereka. Tapi itu tidak mudah. Sistem keamanan mereka sangat ketat.”
Asha mendekat, memperhatikan layar yang penuh dengan kode yang bergerak cepat. Ia tidak mengerti apa-apa, tetapi ia bisa melihat kesungguhan Rian. Setelah beberapa saat, Rian berhenti mengetik dan menunjuk ke peta yang muncul di layar.
“Ada tiga kemungkinan lokasi,” kata Rian. “Fasilitas utama mereka ada di daerah terpencil. Salah satunya adalah laboratorium di Pegunungan Timur. Lokasi itu paling mungkin digunakan untuk eksperimen besar seperti ini. Namun, itu juga yang paling berbahaya untuk disusupi.”
“Aku tidak peduli seberapa berbahaya. Aku harus pergi ke sana,” jawab Asha dengan tegas.
Rian menatapnya, lalu menghela napas. “Kau keras kepala, ya. Baiklah, aku akan membantumu. Tapi kita harus punya rencana. Kau tidak bisa begitu saja masuk ke tempat seperti itu tanpa persiapan.”
Kenangan yang Mulai Kembali
Saat malam tiba, Asha kembali ke apartemennya. Rasa lelah mulai menyerangnya, tetapi pikirannya terus berputar. Ia memandangi foto Damar yang masih tersimpan di mejanya. Wajah pria itu tampak tersenyum, tetapi Asha tahu di balik senyuman itu, ada beban besar yang ia bawa sendirian.
Ketika Asha menutup matanya, sebuah kilasan memori tiba-tiba muncul. Ia melihat Damar berdiri di ruang tamu mereka, berbicara dengan seseorang yang wajahnya tidak terlihat jelas. Percakapan itu terdengar samar, tetapi ada satu kalimat yang Asha tangkap:
“Jika terjadi sesuatu padaku, kau harus mencari seseorang bernama Rian.”
Asha terbangun dengan napas terengah-engah. Memori itu terasa nyata, tetapi ia tidak yakin apakah itu benar-benar ingatan atau hanya bayangan yang diciptakan oleh pikirannya yang lelah. Namun, satu hal yang pasti: Damar telah merencanakan ini jauh sebelum ia menghilang.
Keesokan harinya, Asha bertemu dengan Rian lagi. Mereka mulai merencanakan cara untuk menyusup ke fasilitas di Pegunungan Timur. Rian menunjukkan cetak biru gedung yang ia dapatkan melalui jaringan ilegal, tetapi ia memperingatkan Asha tentang tingkat keamanan yang tinggi.
“Ada kamera di setiap sudut dan penjaga yang dilatih dengan baik. Jika kita tertangkap, tidak akan ada jalan keluar,” kata Rian.
“Aku tahu risikonya,” jawab Asha. “Tapi aku tidak akan mundur.”
Rian menatap Asha dengan penuh penghargaan. “Baiklah. Kita akan memulainya besok malam. Tapi ingat, jika ada sesuatu yang salah, kau harus mendengarkanku. Aku tidak akan membiarkanmu mati sia-sia.”
Asha hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa tidak ada yang akan menghentikannya untuk menemukan Damar—bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi risiko terbesar dalam hidupnya.
Bab 4: Di Balik Proyek Reconnect
Langit malam di Pegunungan Timur gelap dan tanpa bintang. Asha dan Rian memarkir mobil mereka jauh dari fasilitas, di sebuah area hutan kecil yang terlindungi oleh bayangan pepohonan. Angin dingin menusuk kulit, tetapi Asha tidak peduli. Detak jantungnya berpacu seiring langkah kakinya yang mantap menuju misi paling berbahaya dalam hidupnya.
Fasilitas yang disebut Rian menjulang megah seperti benteng modern. Bangunan itu dikelilingi pagar tinggi dengan kawat berduri, kamera pengawas yang bergerak setiap beberapa detik, dan penjaga bersenjata yang berpatroli dengan pola yang sangat teratur.
“Fasilitas ini adalah salah satu tempat paling rahasia milik Memoria Corp.,” bisik Rian sambil memeriksa laptop kecil yang ia bawa. “Aku sudah meretas jaringan mereka untuk mempelajari pola patroli. Jika kita bergerak sekarang, kita punya waktu dua menit untuk mencapai pintu belakang sebelum penjaga berbalik.”
Asha mengangguk, meskipun tubuhnya terasa tegang. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. “Damar ada di sini, kan?” tanyanya, suaranya hampir bergetar.
Rian menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Menurut data yang aku dapat, kemungkinan besar dia ada di dalam. Tapi kita tidak tahu kondisinya. Jangan berharap terlalu banyak.”
Asha hanya terdiam. Baginya, tidak ada hal lain yang lebih penting selain menemukan Damar, meskipun itu berarti menghadapi yang terburuk.
Mereka mulai bergerak dalam diam. Langkah kaki Asha terasa berat saat mereka mendekati pagar. Rian dengan cekatan memotong kawat menggunakan alat pemotong kecil, lalu menyelinap masuk melalui celah yang cukup untuk tubuh mereka.
Saat mencapai pintu belakang, Rian mengeluarkan perangkat kecil yang menyerupai ponsel. “Ini akan mematikan sistem alarm selama 90 detik. Kita harus bergerak cepat,” katanya sebelum mengetikkan beberapa perintah di layar. Pintu logam besar itu perlahan terbuka dengan suara mendesis pelan.
Di dalam, koridor panjang dengan lampu neon yang dingin menyambut mereka. Dindingnya putih bersih, tetapi terasa tidak manusiawi, seperti tempat yang diciptakan tanpa rasa empati. Asha merasakan udara di dalam ruangan itu lebih berat, penuh dengan ketegangan yang tak terlihat.
Rian menuntun Asha ke arah ruang kendali berdasarkan cetak biru yang ia pelajari sebelumnya. Mereka harus mengambil akses data di ruangan itu untuk mengetahui di mana Damar ditahan. Tetapi saat mereka hampir mencapai tujuan, suara langkah kaki mendekat.
“Berhenti,” bisik Rian sambil menarik Asha ke dalam ruang penyimpanan kecil. Mereka bersembunyi di balik rak-rak berisi perlengkapan laboratorium, menahan napas saat dua penjaga lewat dengan obrolan santai.
“Mereka bilang kita akan kedatangan ‘klien besar’ minggu depan. Entah apa lagi proyek gila yang sedang mereka siapkan,” salah satu penjaga berkata.
“Yah, aku cuma berharap kita dapat bonus. Aku tidak peduli apa yang mereka lakukan di sini, selama aku digaji.”
Langkah kaki itu menjauh, dan suasana kembali sunyi. Rian memberi isyarat agar Asha mengikutinya, dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ruang kendali.
Begitu tiba di ruang kendali, Rian segera bekerja di komputer utama, jarinya menari cepat di atas keyboard. Asha berdiri di dekat pintu, berjaga-jaga kalau ada orang yang datang.
“Aku masuk,” kata Rian akhirnya, senyum puas di wajahnya. “Sekarang kita lihat di mana Damar.”
Layar komputer menampilkan daftar subjek eksperimen, masing-masing dengan nomor identifikasi. Nama Damar muncul di sana dengan kode Subjek 101. Menurut catatan, ia ditempatkan di “Zona Isolasi”, sebuah area khusus yang digunakan untuk subjek yang dianggap berbahaya atau sulit dikendalikan.
Namun, saat Rian menggali lebih dalam, sebuah file lain muncul di layar, berjudul “Proyek Reconnect: Tujuan dan Dampak”. Rian dan Asha saling bertukar pandang sebelum Rian membuka file itu.
Isi file tersebut membuat Asha terkejut. Proyek Reconnect bukan hanya tentang manipulasi ingatan individu. Tujuan utamanya adalah mengembangkan teknologi untuk “menghubungkan” ingatan manusia ke dalam sistem jaringan global. Pemerintah dan korporasi dapat mengontrol tidak hanya kenangan, tetapi juga pikiran dan emosi seluruh populasi.
“Ini… gila,” gumam Asha dengan suara serak. “Mereka ingin mengubah manusia menjadi boneka tanpa pikiran.”
Rian mengangguk, rahangnya mengeras. “Dan mereka menggunakan Damar sebagai percobaan awal. Dia adalah kunci untuk menyempurnakan teknologi ini. Tanpa dia, mereka tidak bisa melanjutkan.”
Rian berhasil menemukan peta fasilitas dan lokasi Zona Isolasi. Namun, data itu disertai dengan peringatan: area tersebut dijaga ketat dan hanya bisa diakses dengan izin khusus. Rian mencoba meretas sistem untuk membuka akses, tetapi sebuah alarm tiba-tiba berbunyi.
“Mereka tahu kita di sini,” kata Rian dengan panik. “Kita harus bergerak sekarang!”
Mereka berlari keluar dari ruang kendali, tetapi langkah mereka terhenti oleh suara pintu logam yang terbuka. Seorang pria bertubuh besar dengan seragam hitam berdiri di depan mereka, senjata di tangannya terangkat. “Berhenti di tempat!” teriaknya.
Asha merasakan tubuhnya membeku. Namun, sebelum penjaga itu sempat bertindak, Rian mengeluarkan alat kecil dari sakunya dan melemparkannya ke lantai. Alat itu mengeluarkan kilatan cahaya yang menyilaukan, membuat penjaga itu terjatuh sementara.
“Ikut aku!” teriak Rian, menarik Asha keluar dari lorong.
Mereka terus berlari, mengikuti peta yang Rian unduh dari komputer. Setelah melewati beberapa pintu dan koridor, mereka akhirnya tiba di Zona Isolasi. Pintu besi besar berdiri di depan mereka, tetapi aksesnya terkunci dengan sistem biometrik.
“Aku butuh waktu untuk membukanya,” kata Rian sambil mengeluarkan perangkat hacking-nya lagi.
“Ayo cepat, Rian,” desak Asha, mendengar suara alarm semakin keras di belakang mereka.
Beberapa detik terasa seperti selamanya, tetapi akhirnya pintu itu terbuka. Di dalam, Asha melihat Damar—terikat di kursi dengan kabel-kabel yang terhubung ke kepalanya. Wajahnya terlihat pucat dan lelah, tetapi matanya terbuka, menatap kosong ke depan.
“Damar!” Asha berlari ke arahnya, air mata mengalir di wajahnya. Namun, saat ia menyentuh bahunya, Damar tidak bereaksi.
“Dia… tidak sadar sepenuhnya,” kata Rian sambil memeriksa kabel-kabel yang terhubung ke kepala Damar. “Mereka memanipulasi ingatannya, mungkin membuatnya lupa siapa dia.”
“Aku tidak peduli,” jawab Asha tegas. “Kita harus membawanya pergi dari sini.”
Namun, sebelum mereka sempat bertindak lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pasukan keamanan sudah mengepung mereka, dan jalan keluar tampak semakin mustahil.
“Apa rencanamu sekarang?” tanya Asha dengan nada penuh tekanan.
Rian menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Kita harus bertaruh pada satu hal: menghancurkan sistem ini dari dalam.”
Bab 5: Jejak yang Tersembunyi
Suasana di dalam Zona Isolasi terasa mencekam. Suara langkah kaki dari penjaga semakin mendekat, sementara Asha berdiri di samping Damar, mencoba mengabaikan rasa paniknya. Wajah suaminya yang lelah dan tatapan kosong itu membuatnya semakin yakin bahwa ia harus melawan, apapun risikonya.
“Kita tidak punya waktu,” desak Rian sambil menatap monitor kecil di tangannya. Ia sedang mencoba meretas sistem utama yang mengontrol kabel-kabel yang terhubung ke Damar. “Aku bisa memutus sambungan ini, tapi butuh waktu beberapa menit.”
Asha mengangguk, meskipun tubuhnya tegang. Ia menatap pintu besar di belakang mereka yang mulai bergetar karena pukulan dari luar. Penjaga sudah berada di sana. “Apa yang bisa kulakukan untuk membantu?” tanyanya dengan nada mendesak.
“Jaga agar mereka tidak masuk!” jawab Rian tanpa menoleh, jemarinya terus bergerak cepat di atas keyboard kecil. “Kita harus mendapatkan Damar keluar dari sini, atau dia akan hilang selamanya.”
Sementara Rian bekerja, Asha mendekati Damar. Ia berlutut di hadapan pria yang dulu menjadi pusat kehidupannya, tetapi sekarang hanya menjadi bayangan dari dirinya sendiri. Tangannya menyentuh wajah Damar dengan lembut, berharap sentuhannya bisa membawa kembali kenangan mereka.
“Damar… ini aku, Asha,” bisiknya pelan, suaranya gemetar. “Aku tahu kau masih ada di sana. Aku tahu mereka mencoba mengambil segalanya darimu, tapi kau harus bertahan.”
Air matanya mengalir tanpa henti. Dalam hati, ia merasa putus asa, tetapi ia tidak mau menyerah. Ia menggenggam tangan Damar erat-erat, berharap ada keajaiban yang bisa menyentuh pria yang ia cintai. Saat itu, Damar tiba-tiba berkedip dan menatapnya sekilas. Tatapannya kosong, tetapi ada sesuatu yang berubah.
“Asha…?” Damar berbisik pelan, suaranya serak. Mata Asha melebar. Itu pertama kalinya ia mendengar suaminya menyebut namanya sejak “kematiannya.”
“Ya, aku di sini!” jawab Asha penuh harap. “Aku di sini, Damar. Aku akan membawamu keluar.”
Namun, momen itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum Damar kembali menunduk, tatapannya kembali kosong. Kabel-kabel di kepalanya tampak berdenyut pelan, seolah memanipulasi pikirannya kembali ke dalam kendali sistem.
Rian memperhatikan dari sudut matanya. “Sinyal pengendali mereka masih aktif. Jika aku bisa menghancurkan server utama, dia mungkin bisa pulih.”
Serangan yang Tak Terduga
Pintu logam akhirnya terbuka, dan beberapa penjaga masuk dengan senjata di tangan. Asha berlari untuk bersembunyi di balik meja sementara Rian mengeluarkan sebuah alat kecil berbentuk bulat dari tasnya.
“Granat suara,” bisik Rian. “Tutup telingamu.”
Asha mengikuti perintah itu tanpa berpikir dua kali. Rian melemparkan granat itu ke arah para penjaga. Dalam hitungan detik, suara ledakan yang memekakkan telinga memenuhi ruangan, membuat para penjaga terjatuh sambil memegang kepala mereka.
“Kita punya waktu sebentar!” kata Rian sambil menarik kabel terakhir yang menghubungkan Damar ke mesin. “Ayo, bawa dia keluar dari sini!”
Asha membantu Damar berdiri, meskipun tubuh pria itu lemas dan tidak seimbang. Bersama-sama, mereka bergerak keluar dari ruangan itu, tetapi perjalanan mereka tidak semudah yang dibayangkan. Sirene keamanan berbunyi semakin keras, dan suara langkah kaki dari penjaga lainnya terdengar di setiap sudut.
“Rian, kita tidak bisa terus lari!” sergah Asha ketika mereka hampir mencapai pintu keluar. “Jika kita hanya kabur, Memoria akan tetap ada. Mereka akan terus mengejar kita, dan teknologi ini tidak akan berhenti.”
Rian terdiam, menatap Asha dengan ragu. “Kau tahu apa yang kau minta? Jika kita mencoba menghancurkan server utama, peluang kita untuk keluar hidup-hidup sangat kecil.”
“Aku tahu,” jawab Asha tegas. “Tapi aku tidak peduli. Aku tidak bisa hidup dalam dunia di mana mereka memiliki kekuatan sebesar ini.”
Rian menghela napas panjang, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Server utama ada di lantai paling bawah. Kita harus memutar arah.”
Dengan cepat, mereka membawa Damar yang masih lemah menuju ruang server. Ruangan itu dijaga lebih ketat daripada area lain di fasilitas tersebut. Namun, Rian memiliki trik terakhirnya: ia menggunakan perangkat hacking untuk mengalihkan perhatian para penjaga dengan memicu alarm palsu di sisi lain gedung.
“Cepat, kita punya waktu beberapa menit sebelum mereka sadar,” kata Rian sambil membuka pintu ke ruang server.
Di dalam ruang server, pemandangan deretan mesin besar dan lampu berkedip memenuhi ruangan. Suara dengungan mesin hampir menutupi suara langkah kaki mereka. Rian segera mulai bekerja, menyusup ke sistem keamanan dan mencari cara untuk menghancurkan jaringan utama.
“Aku butuh waktu lima menit,” katanya sambil mengetik dengan cepat.
Namun, waktu itu terasa seperti selamanya. Penjaga mulai menemukan mereka, dan Asha terpaksa mengambil senjata salah satu penjaga yang ia kalahkan sebelumnya untuk melindungi Rian dan Damar. Ia tidak pernah membayangkan harus bertarung seperti ini, tetapi adrenalin dan tekadnya membuatnya tetap berdiri.
“Aku hampir selesai!” teriak Rian.
Saat itu, seorang pria berseragam berbeda muncul di pintu. Ia tampak lebih berkuasa daripada penjaga biasa, dengan senjata yang lebih besar dan sikap yang lebih mengintimidasi. “Berhenti sekarang, atau kalian semua mati di sini,” katanya dingin.
Asha berdiri di depan Damar, melindunginya dengan tubuhnya. “Kami tidak akan berhenti,” jawabnya tegas. “Kalian sudah mengambil terlalu banyak dari kami.”
Pria itu tersenyum tipis. “Itu pilihanmu.” Ia mengangkat senjatanya, tetapi sebelum ia sempat menarik pelatuk, sebuah ledakan kecil terjadi di dalam sistem server. Rian berhasil menyusup ke dalam jaringan dan memicu penghancuran otomatis.
“Lari!” teriak Rian. “Semuanya akan runtuh dalam dua menit!”
Dengan segala kekuatan yang tersisa, Asha membantu Damar keluar dari ruang server sementara Rian menutupi mereka. Ledakan kecil mulai terjadi di sepanjang fasilitas, menandakan kehancuran teknologi yang selama ini menjadi alat kekuasaan Memoria.
Mereka berhasil mencapai pintu keluar tepat saat api mulai melahap bagian dalam gedung. Udara malam yang dingin menyambut mereka, tetapi Asha hampir tidak merasa lega. Damar masih lemah, dan mereka masih dalam bahaya.
Ketika mereka mencapai tempat mobil Rian diparkir, Asha menoleh ke arah fasilitas yang kini terbakar. Ia tahu bahwa perjuangan ini belum selesai, tetapi setidaknya mereka telah menghancurkan bagian terpenting dari Memoria.
“Asha…” suara pelan Damar memanggilnya, membuatnya menoleh. Tatapan pria itu mulai memancarkan kesadaran. “Apa… yang terjadi?”
Asha tersenyum tipis, air matanya mengalir lagi. “Aku akan menjelaskannya nanti. Yang penting sekarang, kita aman. Aku janji akan membawamu pulang.”
Bab 6: Kebenaran yang Mulai Terungkap
Udara pagi yang dingin terasa menusuk kulit saat Asha, Rian, dan Damar akhirnya berhenti di sebuah gubuk tua yang berada di tengah hutan. Tempat itu adalah lokasi persembunyian yang Rian siapkan sebelumnya jika terjadi keadaan darurat. Gubuk itu sederhana, hampir roboh, tetapi cukup untuk berlindung dari ancaman luar.
Asha membantu Damar duduk di atas dipan kayu yang ada di dalam gubuk. Wajah Damar masih terlihat lemah, matanya kosong, tetapi ada secercah kesadaran yang perlahan mulai kembali. Ia sesekali memandangi Asha, tetapi tanpa ekspresi yang jelas. Seolah-olah ia sedang mencoba mengingat sesuatu yang penting, tetapi tidak tahu apa.
“Apa yang sebenarnya mereka lakukan padanya?” tanya Asha kepada Rian. Suaranya penuh emosi, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang.
Rian meletakkan laptopnya di atas meja kecil yang sudah reyot. Ia menyalakan perangkat itu dan mulai memeriksa data yang berhasil ia unduh dari fasilitas Memoria sebelum mereka melarikan diri. “Mereka memanipulasi ingatan Damar secara mendalam. Tidak hanya menghapus kenangannya, tetapi juga mengubah cara otaknya memproses informasi. Mereka membuatnya lupa siapa dirinya, siapa kau, bahkan tujuannya dalam hidup.”
Asha menggenggam tangan Damar, mencoba memberikan rasa aman. “Apakah dia bisa pulih?”
Rian terdiam sejenak, lalu menatap Asha dengan pandangan serius. “Itu tergantung. Teknologi mereka sangat canggih, tetapi ada kemungkinan ingatannya bisa kembali jika kita menemukan cara untuk membalikkan proses manipulasi. Masalahnya, itu akan memakan waktu. Dan sementara itu, kita harus bersiap menghadapi konsekuensi.”
“Konsekuensi apa maksudmu?” Asha menatap Rian dengan tatapan penuh tanya.
“Mereka pasti tahu kita yang menghancurkan fasilitas itu. Aku yakin mereka akan mengejar kita,” jawab Rian. “Kita telah menghancurkan salah satu proyek terbesar mereka. Mereka tidak akan tinggal diam.”
Malam itu, ketika Rian sibuk memeriksa data di laptopnya, Asha duduk di samping Damar. Ia mencoba berbicara kepadanya, berharap suaminya memberikan respons yang lebih jelas.
“Damar,” panggilnya pelan. “Kau ingat aku, kan? Aku Asha. Istrimu. Kita menikah lima tahun lalu. Kau selalu bilang aku orang paling keras kepala yang pernah kau temui.”
Damar tidak merespons. Ia hanya menatap lurus ke depan, seolah mendengarkan, tetapi tidak benar-benar memproses apa yang dikatakan Asha. Namun, ketika Asha menyebut tentang ulang tahun pernikahan mereka yang dirayakan di pantai, sesuatu dalam ekspresi Damar berubah. Ia memiringkan kepalanya sedikit, lalu berkata dengan suara pelan, hampir tidak terdengar.
“Pantai… senja…”
Asha terkejut, tetapi juga merasa harapan mulai muncul. “Ya, senja di pantai. Kau ingat? Kau bilang ingin menghabiskan sisa hidup kita di tempat seperti itu.”
Damar tidak menjawab, tetapi ia menutup matanya sejenak, seolah mencoba menggali sesuatu dari dalam pikirannya. Asha tahu ini adalah tanda kecil bahwa ingatan Damar masih ada di suatu tempat, tersembunyi di balik manipulasi yang dilakukan Memoria.
Keesokan harinya, Rian menemukan sesuatu yang mengejutkan di dalam data yang ia unduh. “Asha, aku menemukan sesuatu,” katanya dengan nada mendesak. “Proyek Memoria bukan hanya tentang manipulasi ingatan individu. Mereka memiliki rencana cadangan.”
Asha mendekat untuk melihat layar laptop Rian. Di sana terdapat dokumen rahasia berjudul “Proyek Omega”. Menurut dokumen itu, Memoria memiliki teknologi yang dapat memanipulasi ingatan dalam skala besar melalui sinyal yang disiarkan dari satelit.
“Mereka bisa menghapus atau memodifikasi kenangan seluruh populasi menggunakan satelit ini,” jelas Rian. “Fasilitas yang kita hancurkan hanyalah bagian kecil dari proyek mereka. Ini jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.”
Asha merasa darahnya membeku. “Jadi, bahkan jika kita berhasil menghentikan mereka di fasilitas itu, mereka masih bisa melanjutkan rencana mereka?”
“Benar,” jawab Rian. “Tapi ini kabar baik juga. Aku menemukan lokasi pusat kendali satelit mereka. Jika kita bisa menghancurkan sistem itu, kita bisa menghentikan proyek ini sepenuhnya.”
Asha mengangguk, meskipun ia tahu itu berarti menghadapi risiko yang jauh lebih besar. “Lalu, bagaimana dengan Damar? Apa dia harus ikut dalam misi ini?”
Rian menghela napas. “Dia masih lemah, tapi… kita tidak punya pilihan. Dia mungkin menjadi kunci untuk menghentikan sistem itu. Dia adalah bagian dari proyek awal, dan mungkin satu-satunya orang yang bisa menonaktifkannya dari dalam.”
Dengan sedikit persiapan dan tanpa waktu untuk menunggu, Asha, Rian, dan Damar memulai perjalanan menuju lokasi pusat kendali satelit yang terletak di sebuah kompleks bawah tanah di luar kota. Sepanjang perjalanan, Asha terus mencoba berkomunikasi dengan Damar, meskipun responsnya masih terbatas.
Namun, saat mereka hampir mencapai tujuan, Damar tiba-tiba berbicara dengan nada yang lebih jelas. “Mereka tidak akan berhenti, Asha. Bahkan jika kita menghancurkan satelit, mereka akan mencari cara lain.”
Asha terkejut mendengar suaminya berbicara. “Damar… kau ingat sesuatu?”
Damar mengangguk perlahan. “Aku tidak ingat semuanya, tapi aku tahu apa yang mereka rencanakan. Mereka ingin menghapus kebebasan manusia. Mereka ingin dunia ini diatur sesuai keinginan mereka. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi.”
Kata-kata Damar membuat semangat Asha semakin membara. Ia meremas tangan suaminya dengan penuh keyakinan. “Kita akan menghentikan mereka. Bersama-sama.”
Bab 7: Pengkhianatan yang Tak Terduga
Malam itu, mereka tiba di pinggiran kompleks bawah tanah yang menjadi pusat kendali satelit Proyek Omega. Tempat itu tidak berbeda dengan fasilitas sebelumnya—terlindungi pagar kawat tinggi, penjaga bersenjata, dan kamera keamanan yang memantau setiap sudut. Namun, kali ini penjagaan jauh lebih ketat.
Asha berdiri di belakang pepohonan bersama Damar dan Rian. Mereka mengamati gerakan penjaga melalui teropong yang Rian bawa. Damar tampak lebih sadar dibandingkan sebelumnya, meskipun ia masih lemah. Ia menatap fasilitas itu dengan ekspresi kosong, seperti mengenal tempat itu tetapi tidak bisa mengingat apa yang terjadi di sana.
“Kita tidak bisa menyerbu tempat ini tanpa rencana matang,” bisik Rian. “Aku akan masuk lebih dulu melalui jalur utilitas. Setelah aku mematikan beberapa sistem keamanan, kalian bisa masuk dari pintu samping.”
Asha mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran. “Kau yakin jalur itu aman?” tanyanya.
Rian hanya tersenyum kecil. “Tidak ada jalur yang aman, Asha. Tapi ini satu-satunya cara.”
Rian menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Asha dan Damar di tempat persembunyian sementara. Beberapa menit berlalu dengan sunyi, hanya terdengar suara angin yang berhembus. Asha merasa waktu bergerak terlalu lambat, tetapi akhirnya, ia mendengar suara di alat komunikasi kecil yang diberikan Rian.
“Sistem keamanan sudah ku-hack sebagian. Kamera di sisi barat mati selama lima menit. Masuk sekarang!” suara Rian terdengar jelas di telinga Asha.
Tanpa membuang waktu, Asha membantu Damar bangkit, dan mereka bergerak menuju pintu samping fasilitas. Seperti yang dikatakan Rian, kamera-kamera di sepanjang jalur itu tidak aktif. Mereka berhasil menyelinap masuk tanpa menarik perhatian.
Namun, begitu mereka masuk ke dalam fasilitas, perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti Asha. Tempat itu sangat sunyi, terlalu sunyi untuk sebuah pusat kendali yang seharusnya sibuk. Ia memegang tangan Damar lebih erat, merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Rian, kami sudah di dalam,” kata Asha melalui alat komunikasinya. “Di mana kau sekarang?”
“Aku di ruang kendali utama,” jawab Rian. “Ikuti tanda di dinding menuju Control Room 1. Aku akan menunggu di sana.”
Asha dan Damar mengikuti petunjuk itu. Lorong-lorong di fasilitas itu terasa tak berujung, dihiasi dengan lampu neon yang dingin. Suasana semakin mencekam, dan Asha tidak bisa menghilangkan firasat buruk yang terus menghantuinya.
Ketika mereka tiba di ruang kendali utama, Rian sudah berdiri di depan konsol besar dengan layar-layar monitor yang menampilkan data satelit. Ia menoleh ketika melihat mereka masuk, dan senyumnya terlihat aneh—bukan senyum hangat yang biasa Asha lihat darinya.
“Kalian berhasil,” katanya dengan nada yang terdengar dingin. “Lebih cepat dari yang kuduga.”
Asha merasa ada sesuatu yang salah. “Rian, apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa tempat ini begitu sunyi?”
Rian tidak menjawab langsung. Ia justru menatap Damar, yang berdiri diam di samping Asha. “Damar, kau ingat tempat ini, kan?” tanyanya, tetapi nada suaranya penuh dengan sindiran.
Damar memandang sekeliling dengan tatapan bingung. “Aku… merasa pernah berada di sini,” jawabnya pelan. “Tapi aku tidak ingat apa yang terjadi.”
Rian tertawa kecil, tetapi ada nada sinis dalam tawanya. “Tentu saja kau tidak ingat. Itu bagian dari rencana mereka. Tapi jangan khawatir, aku akan memastikan kau ingat semuanya.”
“Rian, apa maksudmu?” Asha bertanya, suaranya penuh kecurigaan.
Saat itu, beberapa pria bersenjata masuk ke dalam ruangan. Asha terkejut, segera berdiri di depan Damar untuk melindunginya. “Apa yang kau lakukan, Rian?” sergahnya dengan nada marah.
Rian menatap Asha dengan ekspresi dingin. “Maaf, Asha, tapi ini bukan tentang Damar. Ini tentang aku. Aku tidak pernah peduli dengan kehancuran Memoria atau misi idealismemu. Aku hanya ingin teknologi mereka untuk diriku sendiri.”
“Apa?!” Asha merasa seluruh dunianya runtuh. “Kau memanfaatkan kami?”
“Benar,” jawab Rian tanpa ragu. “Kalian hanyalah alat untuk membantuku masuk ke sini. Aku membutuhkan data ini untuk menjualnya kepada pihak yang lebih kuat. Kau tahu berapa banyak yang akan membayar untuk teknologi ini? Dunia akan tunduk di bawah kekuasaanku.”
Asha tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar. Selama ini, ia mengira Rian adalah sekutunya, seseorang yang berjuang untuk tujuan yang sama. Tetapi ternyata, ia hanyalah seorang oportunis yang tidak peduli pada kehancuran yang akan terjadi.
Saat para pria bersenjata mendekat, Damar yang sebelumnya terlihat lemah tiba-tiba berdiri tegap. Matanya yang kosong kini memancarkan sorot tajam, seolah sesuatu dalam dirinya telah aktif kembali.
“Rian, kau tidak akan menang,” kata Damar dengan suara rendah tetapi penuh keyakinan. “Aku tahu apa yang kau inginkan, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Rian terkejut, tetapi ia segera menutupi keterkejutannya dengan tawa kecil. “Kau pikir kau bisa menghentikanku? Kau bahkan tidak ingat siapa dirimu.”
Namun, Damar tersenyum tipis. “Kau salah. Aku mungkin kehilangan sebagian ingatanku, tetapi aku tahu satu hal—teknologi ini tidak boleh jatuh ke tanganmu.”
Dalam hitungan detik, Damar bergerak cepat, meraih salah satu senjata dari penjaga yang lengah. Dengan keahlian yang mengesankan, ia melumpuhkan beberapa penjaga sebelum mereka sempat bereaksi. Asha hanya bisa berdiri terpana melihat perubahan drastis pada suaminya.
Rian panik. Ia mencoba mengunci sistem kontrol, tetapi Damar berhasil mendekatinya sebelum ia sempat menyelesaikan prosesnya. Mereka terlibat dalam perkelahian sengit di depan konsol utama. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, Damar menunjukkan keterampilan yang luar biasa.
“Damar, hentikan!” teriak Rian sambil mencoba melawan. “Kita bisa bekerja sama. Kau bisa mendapatkan kembali ingatanmu sepenuhnya. Aku punya cara untuk memulihkannya!”
“Tapi itu tidak sepadan jika aku harus mengorbankan dunia,” jawab Damar tegas.
Dalam satu gerakan cepat, Damar berhasil menjatuhkan Rian. Ia segera mendekati konsol utama, mencoba menonaktifkan sistem satelit. Namun, Rian tertawa kecil meskipun berada di lantai. “Kau pikir kau bisa menghentikannya semudah itu? Sistem ini sudah diatur untuk berjalan otomatis.”
Damar menatap layar dengan serius. “Mungkin tidak mudah, tapi aku akan mencoba.”
Saat Damar berjuang menonaktifkan sistem, Asha berlari mendekatinya. “Damar, apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?” tanyanya.
Damar menatapnya sejenak, lalu berkata, “Ada satu cara untuk menghentikan ini, tapi risikonya besar. Jika aku menghubungkan diriku ke sistem ini, aku bisa menghancurkan programnya dari dalam. Tapi itu bisa membunuhku.”
“Tidak!” Asha langsung menolak. “Kita akan menemukan cara lain!”
“Tidak ada waktu, Asha,” jawab Damar tegas. “Kita harus menghentikan ini sekarang. Kau harus percaya padaku.”
Asha merasa hatinya hancur, tetapi ia tahu Damar benar. Dengan berat hati, ia mengangguk, air mata mengalir di wajahnya. “Aku percaya padamu.”
Damar memasang kabel ke kepalanya, menghubungkan dirinya ke sistem. Sementara itu, alarm mulai berbunyi, menandakan bahwa fasilitas itu akan meledak karena program penghancuran otomatis yang ia aktifkan.
Bab 8: Pilihan yang Menentukan
Damar duduk di kursi di depan konsol utama, dengan kabel-kabel terpasang di kepalanya. Wajahnya terlihat tegang, tetapi tatapannya penuh determinasi. Asha berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya erat seolah berusaha memberikan keberanian terakhir.
“Damar, kau yakin ini satu-satunya cara?” tanya Asha, suaranya bergetar.
Damar mengangguk tanpa ragu. “Sistem ini terlalu kompleks untuk dihancurkan dari luar. Jika aku masuk ke dalam jaringan, aku bisa menemukan inti programnya dan menghancurkannya sebelum mereka meluncurkan sinyal dari satelit.”
“Tapi apa yang akan terjadi padamu?” Asha memandangnya dengan air mata yang menggenang. “Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”
Damar menatap Asha, matanya melembut. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku harus mencoba. Kalau kita tidak melakukan ini sekarang, dunia akan jatuh ke tangan mereka.”
Sebelum Asha sempat membalas, Rian yang masih terduduk di lantai, dengan tangan terikat, tertawa kecil. “Kau terlalu optimis, Damar,” katanya sinis. “Sistem itu tidak dirancang untuk dimatikan oleh manusia biasa. Begitu kau masuk, kau tidak akan bisa keluar. Mereka akan menyerap seluruh kesadaranmu.”
Damar tidak menggubrisnya. Ia hanya memejamkan mata dan menarik napas panjang. “Jika itu harganya untuk menghentikan mereka, aku akan menerimanya.”
Damar menekan tombol terakhir di konsol, dan seketika, tubuhnya terlihat kaku. Matanya terbuka lebar, tetapi tidak fokus pada apa pun di ruangan itu. Asha mundur selangkah, merasa ngeri sekaligus takut. Damar kini berada dalam jaringan sistem Memoria.
Di dalam pikirannya, Damar merasa seperti terlempar ke dimensi lain. Ia berdiri di tengah ruang virtual yang dipenuhi aliran data berwarna biru dan hijau. Suara bising seperti dengungan mesin memenuhi ruang itu. Di depannya, sebuah bola cahaya besar yang berputar cepat menjadi pusat dari sistem jaringan.
“Inilah inti dari Proyek Omega,” pikir Damar. Ia tahu bahwa bola cahaya itu adalah program utama yang mengendalikan sinyal satelit.
Namun, saat ia mendekat, sistem pertahanan jaringan mulai aktif. Gumpalan-gumpalan data muncul seperti bayangan hitam, menyerangnya dari segala arah. Setiap kali salah satu dari bayangan itu menyentuhnya, ia merasakan sakit yang luar biasa di tubuhnya, meskipun ia tahu rasa sakit itu hanya ilusi yang diciptakan oleh sistem.
“Aku tidak bisa berhenti sekarang,” gumamnya, mencoba bertahan.
Sementara itu, di dunia nyata, Asha terus mengawasi Damar dengan cemas. Tubuh suaminya mulai berkeringat deras, dan otot-ototnya tampak tegang. Monitor di konsol menunjukkan data yang bergerak cepat, tetapi Asha tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
“Apa yang sedang terjadi padanya?” tanya Asha pada Rian, yang masih terikat tetapi terlihat santai seolah menikmati kekacauan ini.
“Dia sedang melawan sistem keamanan di jaringan,” jawab Rian sambil menyeringai. “Tapi seperti yang kubilang, dia tidak akan menang. Sistem itu dirancang untuk menyerap kesadarannya. Begitu dia kalah, dia akan menjadi bagian dari jaringan itu selamanya.”
Asha merasakan dadanya sesak. Ia tahu Damar menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu. Namun, ia menolak untuk menyerah. Ia menatap monitor dan mencoba memahami apa yang bisa ia lakukan.
Di salah satu layar, ia melihat sebuah tombol dengan tulisan “Overload Protocol”. Asha tidak tahu pasti apa yang akan terjadi jika ia menekan tombol itu, tetapi ia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan jaringan jika Damar gagal.
“Rian, apa ini?” tanyanya, menunjuk tombol itu.
Rian mendengus. “Itu adalah tombol penghancuran diri. Kalau kau menekannya, seluruh jaringan akan meledak, termasuk sistem yang ada di kepala Damar. Kalau kau menekan itu, kau akan membunuhnya.”
Asha merasa tubuhnya lemas. Ia kini dihadapkan pada pilihan yang mustahil: menunggu Damar menghancurkan jaringan dari dalam, atau menekan tombol itu untuk menghentikan semuanya dengan risiko kehilangan Damar selamanya.
Pertarungan Terakhir Damar
Di dalam jaringan, Damar berhasil mendekati bola cahaya yang menjadi inti sistem. Namun, ia semakin lemah. Bayangan hitam terus menyerangnya, dan setiap kali ia bertahan, tubuhnya terasa semakin berat.
“Aku tidak bisa berhenti sekarang,” gumamnya sambil mengulurkan tangannya ke arah bola cahaya itu. Namun, saat ia hampir menyentuhnya, sebuah suara muncul di dalam pikirannya—suara Asha.
“Damar, kau tidak sendiri. Aku di sini. Aku percaya padamu.”
Suara itu memberikan kekuatan baru bagi Damar. Ia menggenggam bola cahaya itu dengan kedua tangannya, dan seketika, seluruh ruang virtual dipenuhi kilatan cahaya yang menyilaukan. Ia merasakan panas yang luar biasa di tubuhnya, tetapi ia tidak melepaskan genggamannya.
“Aku harus menghancurkan ini,” katanya dengan suara tegas. “Untuk Asha. Untuk dunia.”
Di dunia nyata, monitor di konsol tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda bahwa jaringan mulai runtuh. Asha melihat layar itu dengan penuh harapan, tetapi di saat yang sama, ia melihat tubuh Damar mulai melemah. Detak jantungnya yang terpampang di monitor medis perlahan menurun.
“Damar, bertahanlah!” teriak Asha, air matanya mengalir deras. “Kau bisa melakukannya!”
Namun, ketika jaringan akhirnya benar-benar runtuh, tubuh Damar terkulai lemas di kursi. Kabel-kabel yang terhubung ke kepalanya terputus, dan ruangan itu hening seketika.
“Tidak… tidak mungkin,” bisik Asha sambil berlari ke arah suaminya. Ia mengguncang tubuh Damar, mencoba membangunkannya, tetapi tidak ada respons. “Damar, bangun! Aku membutuhkanmu!”
Air mata Asha terus mengalir, tetapi di dalam hatinya, ia merasa bangga. Ia tahu Damar telah melakukan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang lain. Ia telah menyelamatkan dunia dengan mengorbankan dirinya.
Saat Asha hampir kehilangan harapan, sebuah keajaiban terjadi. Damar perlahan membuka matanya. Nafasnya lemah, tetapi ia tersenyum kecil saat melihat wajah Asha.
“Asha…” bisiknya pelan. “Aku… aku kembali.”
Asha terisak, memeluk Damar dengan erat. “Aku pikir aku kehilanganmu,” katanya dengan suara bergetar.
“Kau tidak akan pernah kehilangan aku,” jawab Damar dengan lembut. “Aku berjanji untuk selalu kembali kepadamu.”
Rian, yang menyaksikan momen itu dari sudut ruangan, hanya mendengus. “Kalian beruntung. Tapi ingat, ini belum berakhir. Dunia ini tidak akan berubah hanya dengan menghancurkan satu proyek.”
Asha menatapnya tajam. “Dan aku akan memastikan tidak ada lagi yang seperti ini.”
Bab 9: Cahaya di Tengah Kegelapan
Fasilitas itu kini menjadi puing-puing yang diam, menyisakan hanya asap dan reruntuhan. Asha membantu Damar berjalan perlahan ke luar gedung yang hampir hancur. Langit malam yang dingin terasa seperti kelegaan setelah semua yang terjadi. Namun, langkah mereka terasa berat, bukan hanya karena lelah, tetapi juga karena kesadaran bahwa perjuangan mereka mungkin belum benar-benar selesai.
Damar masih lemah, meskipun matanya mulai menunjukkan kesadaran penuh. Ia merasakan tubuhnya lelah luar biasa, seolah-olah seluruh energinya telah terkuras habis. Asha terus menggenggam tangannya, memastikan ia tetap teguh meski mereka baru saja melewati neraka.
“Kita berhasil menghentikan mereka, kan?” tanya Asha pelan, suaranya penuh keraguan.
Damar mengangguk, meskipun dengan sedikit keraguan di wajahnya. “Proyek Omega dihancurkan. Satelit dan jaringan mereka tidak lagi berfungsi. Tapi seperti yang Rian katakan, mereka mungkin masih punya rencana lain.”
Asha menggeleng pelan, tidak ingin memikirkan itu sekarang. “Yang penting kita menghentikan mereka hari ini. Itu sudah cukup.”
Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya. Saat mereka berjalan menuju tempat persembunyian sementara, ia terus memikirkan Rian. Pria itu adalah simbol pengkhianatan, seseorang yang memanfaatkan kepercayaan mereka untuk ambisi pribadinya. Tetapi Asha juga tahu, Rian tidak bertindak sendirian. Memoria Corp. adalah jaringan besar, dan menghentikan satu fasilitas mungkin tidak cukup untuk menjatuhkan mereka sepenuhnya.
Ketika mereka akhirnya tiba di tempat persembunyian, suasana mencekam menyelimuti ruangan kecil itu. Rian duduk di kursi kayu, tangannya masih terikat, tetapi ekspresi wajahnya jauh dari seorang tawanan. Ia justru tampak santai, seolah-olah ia sudah memprediksi semuanya.
“Aku harus mengakui, kalian luar biasa,” katanya sambil tersenyum tipis. “Menghancurkan sistem seperti itu tidak mudah. Tapi jangan terlalu percaya diri.”
Asha menatapnya tajam, penuh kebencian. “Apa maksudmu, Rian? Apa lagi yang kau sembunyikan?”
Rian tertawa kecil. “Memoria bukan hanya tentang satu proyek. Mereka memiliki puluhan, mungkin ratusan fasilitas di seluruh dunia. Omega hanyalah permulaan. Apa yang kau lakukan hari ini, meskipun mengesankan, hanya akan memperlambat mereka sementara. Cepat atau lambat, mereka akan bangkit kembali.”
Asha mengeraskan rahangnya. Ia tahu ada kebenaran dalam kata-kata Rian, tetapi ia tidak ingin menyerah pada rasa takut. “Kalau begitu, kami akan menghentikan mereka lagi.”
“Kalian?” Rian menatap Damar, lalu kembali ke Asha. “Damar bahkan hampir tidak bertahan. Dan kau? Kau hanya seorang wanita yang berjuang tanpa senjata atau pengalaman. Apa yang membuatmu berpikir kau bisa melawan mereka?”
Asha mendekati Rian, tatapannya dingin dan penuh tekad. “Karena aku tidak akan membiarkan siapa pun lagi kehilangan orang yang mereka cintai. Kalau itu artinya aku harus melawan Memoria sampai akhir, aku akan melakukannya.”
Rian tertawa lagi, tetapi kali ini ada nada kagum dalam tawanya. “Kau keras kepala, Asha. Tapi aku menyukai itu.”
Setelah memastikan Rian tetap terikat, Asha duduk di samping Damar yang beristirahat di atas dipan. Wajahnya terlihat tenang, tetapi Asha tahu pikirannya sedang berperang dengan ingatannya sendiri. Ia meraih tangan suaminya, berharap bisa memberinya kekuatan.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Asha lembut.
Damar membuka matanya perlahan, menatap wajah Asha yang dipenuhi kekhawatiran. “Aku merasa seperti terbangun dari mimpi panjang. Ada banyak hal yang masih buram, tapi aku ingat satu hal dengan jelas.”
“Apa itu?” Asha menahan napas, berharap jawaban yang ia dengar bisa sedikit mengobati luka hatinya.
“Aku ingat bagaimana aku mencintaimu,” jawab Damar dengan senyum kecil. “Dan aku tahu bahwa cinta itulah yang membuatku bertahan selama ini.”
Air mata Asha mengalir, tetapi kali ini bukan karena kesedihan. Ia memeluk Damar erat, merasa bahwa setidaknya satu bagian dari kehidupannya kembali utuh. Namun, ia tahu perjalanan mereka belum selesai. Ingatan Damar mungkin kembali perlahan, tetapi luka yang mereka alami akan membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh.
Di pagi hari, ketika Asha sedang mempersiapkan makanan sederhana untuk mereka, Damar mendekati laptop yang ditinggalkan Rian di atas meja. Ia mulai memeriksa data yang tersisa di perangkat itu, mencari tahu lebih banyak tentang Memoria dan operasi mereka di tempat lain.
“Ada sesuatu di sini,” kata Damar, memanggil Asha. “Rian tidak berbohong. Memoria memiliki jaringan global. Tapi aku menemukan lokasi lain yang tampaknya menjadi pusat utama mereka.”
Asha mendekatinya, membaca data di layar. “Pusat utama? Di mana itu?”
“Di Eropa,” jawab Damar. “Tempat ini tampaknya menjadi inti dari semua proyek mereka. Jika kita bisa menghancurkan pusat itu, kita mungkin bisa menghentikan mereka sepenuhnya.”
Asha menatap suaminya dengan ragu. “Kau yakin kita bisa melakukannya? Kita bahkan hampir tidak selamat kali ini.”
Damar menggenggam tangan Asha. “Aku tidak tahu. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan hidup kita lagi. Kita harus mencoba.”
Asha mengangguk, meskipun ia tahu risiko yang akan mereka hadapi. “Kalau begitu, kita harus mulai bersiap.”
Bab 10: Akhir yang Tak Terduga
Langit Eropa yang mendung menyambut Asha dan Damar saat mereka tiba di lokasi yang disebut sebagai pusat utama operasi Memoria. Perjalanan panjang telah menguras tenaga mereka, tetapi tekad untuk menyelesaikan apa yang mereka mulai membuat mereka tetap teguh. Pusat operasi ini tidak seperti fasilitas sebelumnya—bangunannya tersembunyi di bawah tanah, di balik hutan lebat yang nyaris tak tersentuh manusia. Hanya sebuah menara kecil yang menyembul dari tanah menjadi penanda keberadaan fasilitas tersebut.
Damar memeriksa kembali data di laptop Rian. “Jika informasi ini benar, pusat kendali utama berada di ruang terdalam di bawah tanah. Itu inti dari semua jaringan mereka. Kita harus menghancurkan sistem itu agar mereka tidak bisa bangkit kembali.”
Asha memandang Damar dengan campuran kekhawatiran dan keyakinan. “Bagaimana kita bisa memastikan ini yang terakhir?”
“Kita harus mengambil risiko,” jawab Damar dengan tegas. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi ini kesempatan terbaik kita.”
Penyusupan ke dalam fasilitas terasa jauh lebih menegangkan daripada sebelumnya. Penjagaan di tempat ini jauh lebih ketat, dengan kamera pengawas canggih dan patroli bersenjata yang bergerak dalam pola yang sulit diprediksi. Damar dan Asha harus bergerak perlahan, memanfaatkan setiap bayangan untuk menghindari deteksi.
Mereka berhasil mencapai pintu masuk menuju ruang bawah tanah setelah melalui beberapa jalur sempit. Namun, di depan mereka, seorang penjaga berdiri berjaga di dekat panel akses. Asha mengambil napas dalam-dalam, lalu mendekat perlahan, menggunakan ketenangan yang telah ia latih selama perjalanan mereka. Dalam hitungan detik, ia berhasil melumpuhkan penjaga itu tanpa suara.
Damar tersenyum kecil. “Aku tidak ingat kau punya kemampuan itu.”
Asha hanya tersenyum balik. “Ada banyak hal yang mungkin belum kau ingat.”
Mereka memasuki pintu dan menuruni tangga panjang yang berliku, hingga akhirnya tiba di ruangan besar dengan dinding-dinding yang dipenuhi layar monitor dan panel kontrol. Di tengah ruangan, sebuah perangkat besar berbentuk kubus bersinar dengan cahaya biru terang—itulah inti sistem Memoria, otak dari seluruh operasi mereka.
Saat Damar mendekati konsol utama, suara langkah kaki menggema dari belakang mereka. Asha dan Damar berbalik, hanya untuk melihat Rian berdiri di sana, ditemani beberapa pria bersenjata. Ia tampak puas, seperti seseorang yang baru saja memenangkan permainan besar.
“Rian,” kata Asha dengan nada dingin. “Bagaimana kau bisa sampai di sini?”
Rian tersenyum lebar. “Kalian pikir aku akan membiarkan kalian menghancurkan semua ini? Aku tahu kalian tidak akan menyerah, jadi aku memanfaatkan perjalanan kalian untuk membawa diriku ke pusat operasi ini. Terima kasih atas petunjuknya.”
Damar menggeram, tetapi ia tetap tenang. “Apa yang kau inginkan, Rian? Teknologi ini? Kekuasaan?”
Rian mengangkat bahunya. “Keduanya. Dunia ini butuh seseorang yang memegang kendali, dan aku adalah orang yang tepat untuk itu. Jika kalian menyerahkan kendali sistem ini padaku, aku mungkin akan membiarkan kalian hidup.”
Asha menatap Rian dengan marah. “Kau gila jika berpikir kami akan menyerahkan dunia ke tanganmu.”
Rian menghela napas. “Sayang sekali. Kalau begitu, aku tidak punya pilihan lain.”
Pertarungan di Ruang Kendali
Tanpa peringatan, Rian memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk menyerang. Asha dan Damar segera berlindung di balik konsol, mencari celah untuk melawan. Damar menemukan senjata kecil yang tersimpan di salah satu laci konsol dan memberikannya kepada Asha. “Kita harus menghentikan mereka sekarang.”
Pertarungan sengit terjadi di dalam ruangan itu. Tembakan dan suara kaca pecah memenuhi udara, sementara Asha dan Damar berusaha melindungi diri mereka sambil melawan balik. Meski kalah jumlah, mereka menggunakan taktik cerdas untuk melumpuhkan lawan satu per satu.
Namun, Rian tidak tinggal diam. Ia berlari menuju panel utama, berusaha mengambil alih kendali sistem. Damar melihat itu dan segera mengejarnya. Mereka terlibat dalam perkelahian tangan kosong di depan kubus bersinar itu, saling bertarung untuk menentukan siapa yang akan menang.
“Aku tidak akan membiarkanmu menang, Rian,” kata Damar sambil berusaha merebut kontrol panel.
Rian tertawa sinis. “Kau terlalu lemah untuk menghentikanku.”
Sementara Damar dan Rian bertarung, Asha melihat panel kontrol utama yang masih aktif. Di sana, terdapat opsi untuk menghancurkan sistem secara total. Namun, perintah itu membutuhkan seseorang untuk tetap terhubung secara langsung dengan kubus—dan itu berarti orang yang melakukannya tidak akan bisa keluar hidup-hidup.
Asha menyadari apa yang harus dilakukan. Ia menatap Damar yang masih bertarung dengan Rian, lalu menatap panel itu. “Damar, aku mencintaimu,” bisiknya pelan, meskipun ia tahu Damar tidak akan mendengarnya.
Ia mendekati panel dan memasukkan kode yang diperlukan untuk memulai penghancuran sistem. Begitu ia menekan tombol terakhir, kubus bersinar semakin terang, dan ruangan mulai bergetar. Rian dan Damar berhenti bertarung, keduanya menyadari apa yang terjadi.
“Asha, apa yang kau lakukan?!” teriak Damar, berlari ke arahnya.
“Ini satu-satunya cara,” jawab Asha sambil tersenyum, air matanya mengalir. “Aku tidak bisa kehilanganmu lagi, Damar. Dunia butuhmu.”
Damar mencoba menghentikan proses itu, tetapi sudah terlambat. Cahaya dari kubus semakin kuat, dan suara ledakan kecil mulai terdengar dari dalam perangkat. Rian, yang menyadari kekalahannya, mencoba melarikan diri, tetapi runtuhan dari atap menimpanya, membuatnya terjebak.
Saat sistem akhirnya meledak, Asha terdorong oleh gelombang energi yang besar. Damar berhasil menangkapnya sebelum tubuhnya terbanting ke lantai. Ia memeluk Asha erat, matanya dipenuhi air mata.
“Asha, bertahanlah,” bisiknya. “Aku tidak bisa kehilanganmu.”
Asha membuka matanya perlahan, tersenyum lemah. “Kita berhasil, Damar. Ini sudah cukup.”
“Tidak, aku tidak akan membiarkanmu pergi,” jawab Damar, suaranya penuh emosi. Ia membawa Asha keluar dari ruangan itu, meskipun fasilitas mulai runtuh di sekitar mereka. Dengan segala kekuatan yang tersisa, ia berhasil membawa mereka keluar ke udara terbuka tepat sebelum fasilitas itu meledak sepenuhnya.
Beberapa minggu kemudian, Asha dan Damar duduk di sebuah rumah kecil di tepi danau yang tenang. Dunia kini lebih aman, meskipun ancaman dari organisasi seperti Memoria mungkin tidak pernah sepenuhnya hilang. Asha masih dalam proses pemulihan, tetapi ia merasa damai.
“Kita berhasil,” kata Asha pelan, menatap Damar yang duduk di sampingnya.
Damar menggenggam tangannya. “Kita berhasil karena kau. Kau menyelamatkan dunia, Asha.”
Asha tersenyum. “Tidak. Kita melakukannya bersama.”
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.