Farrel, seorang pustakawan muda yang menjalani hidup sederhana, mulai dihantui oleh perasaan déjà vu yang tak terjelaskan. Ketika ia menemukan liontin berbentuk bintang, kenangan masa lalu dari kehidupan sebelumnya mulai terkuak, membawa pada fakta mengejutkan: ia terjebak dalam siklus novel yang ia ciptakan sendiri. Dalam setiap kehidupan, Farrel selalu gagal menyelamatkan Lyra, cinta sejatinya, dari tragedi yang memilukan.
Berbekal tekad dan petunjuk dari masa lalunya, Farrel berusaha memutus siklus ini, meski harus menghadapi entitas kuat bernama Kairos yang berusaha memanggilnya selamanya. Akankah ia mampu memecahkan lingkaran takdir dan menemukan kebebasan untuk dirinya dan Lyra?
Bab 1: Kilas Balik yang Menghantui
Langit mendung, dan rintik hujan mulai turun ketika Farrel melangkah keluar dari sebuah kafe kecil di sudut kota. Udara dingin menusuk, tetapi pikirannya lebih kacau daripada cuaca. Lagi-lagi, perasaan aneh itu datang. Déjà vu. Segalanya terasa familiar, seolah-olah ia pernah berdiri di tempat yang sama sebelumnya, dengan suasana yang sama, bahkan bau tanah basah yang tercium di udara. Namun, ia tidak ingat kapan atau bagaimana.
Farrel menarik napas dalam-dalam. Dia mencoba mengabaikannya, seperti yang selalu dia lakukan, tetapi hari ini berbeda. Déjà vu itu tidak hanya datang dan pergi seperti biasa. Kali ini, kilasan bayangan menyusup ke dalam benaknya—seorang perempuan dengan senyum lembut, sebuah tawa yang menenangkan, dan kemudian… jeritan.
Ia berhenti di trotoar, memegang kepalanya yang terasa berat. Wajah perempuan itu begitu jelas, tetapi siapa dia? Farrel merasa mengenalnya, meski yakin belum pernah bertemu dengannya. Ia mencoba mengingat, tetapi semakin keras dia berpikir, semakin buram gambar itu. Suatu sensasi aneh menyeruak, seperti ada sesuatu yang terkunci dalam ingatannya.
“Apa yang salah denganku?” gumamnya pelan.
Setibanya di apartemen kecilnya, Farrel melemparkan jaketnya ke sofa dan menyalakan lampu. Ia duduk di depan meja kerja, di mana laptopnya menyala dengan layar penuh artikel yang belum selesai. Ia bekerja sebagai penulis lepas, tetapi malam ini, inspirasi terasa jauh darinya. Pikirannya terus kembali ke bayangan perempuan itu, pada jeritan yang entah kenapa membuat hatinya sakit.
Rasa penasaran membawanya untuk mencari tahu lebih dalam tentang déjà vu. Farrel membuka browser dan mengetik, “Mengapa kita merasakan déjà vu?” Artikel demi artikel menyebutkan teori tentang bagaimana otak terkadang mengacaukan memori baru dengan kenangan lama. Namun, ini terasa lebih dari sekadar kebetulan. Rasanya seperti… potongan kenangan dari kehidupan yang tidak seharusnya dia miliki.
Farrel menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya. Ia memejamkan mata, mencoba membayangkan kembali wajah perempuan itu. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa perempuan itu penting, tetapi dia tidak tahu kenapa. Tiba-tiba, bayangan itu muncul lagi—kali ini lebih jelas.
Farrel berdiri di tengah jalan yang gelap. Di depannya, perempuan itu menangis. Rambutnya terurai, bajunya basah karena hujan, dan matanya penuh ketakutan. Suara mobil terdengar mendekat dengan kecepatan tinggi. Farrel ingin bergerak, ingin menyelamatkannya, tetapi tubuhnya seakan membeku. Lalu semuanya menjadi gelap.
Ia terbangun dengan napas terengah-engah, keringat membasahi dahinya. “Apa ini?” Farrel bergumam. Gambar itu terasa begitu nyata, seolah-olah dia benar-benar ada di sana. Tetapi itu mustahil. Mimpi itu bukan sekadar ilusi; itu adalah potongan memori. Farrel tidak tahu bagaimana, tetapi ia yakin.
Ketika malam semakin larut, Farrel mencoba menenangkan pikirannya dengan membuka laci meja kerjanya. Ia mengeluarkan sebuah benda kecil yang sudah lama ia simpan: sebuah kalung tua dengan liontin berbentuk bintang. Ia tidak tahu asal-usul kalung itu, tetapi sejak kecil, ia selalu memilikinya. Seakan benda itu adalah bagian dari dirinya.
Namun, kali ini, sesuatu terasa berbeda. Ketika Farrel memegang liontin itu, rasa hangat mengalir ke tubuhnya. Kilasan memori itu muncul lagi, kali ini lebih detail. Perempuan itu sedang memegang kalung yang sama, tetapi dia terlihat lebih muda, lebih ceria. Ada tawa di antara mereka, dan Farrel merasa hatinya hangat. Namun, memori itu berubah menjadi suram. Perempuan itu menjauh darinya, menangis. Dan kemudian, suara tabrakan keras mengakhiri semuanya.
Farrel menjatuhkan kalung itu ke meja. Napasnya terengah, dan hatinya terasa berat. “Siapa dia?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Malam itu, Farrel menyadari satu hal: déjà vu yang selama ini ia alami bukanlah kebetulan. Itu adalah pesan. Potongan kenangan dari sesuatu yang lebih besar, lebih penting. Dan dia tahu, ini baru permulaan dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Bab 2: Jejak dalam Fragmen
Keesokan paginya, Farrel terbangun dengan kepala yang terasa berat, seperti habis memikul beban berat semalaman. Namun, kali ini, ada tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya. Mimpi itu—atau mungkin kenangan—terus menghantuinya. Siapa perempuan itu? Mengapa ia merasa begitu terhubung dengannya, meskipun tak pernah mengingat wajahnya sebelumnya?
Farrel memandangi kalung dengan liontin bintang di atas meja. Sejak kecil, benda itu selalu bersamanya. Ibunya pernah bercerita bahwa kalung itu adalah peninggalan keluarga, meski ia tak tahu siapa yang dulu memilikinya. Kini, Farrel merasa bahwa liontin ini lebih dari sekadar perhiasan. Ada rahasia yang tersembunyi di dalamnya.
Sambil mengenakan kalung itu, Farrel keluar dari apartemennya. Ia memutuskan untuk berjalan tanpa tujuan, berharap bahwa sesuatu akan memandu langkahnya. Kota terasa seperti teka-teki besar, dan ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Langkahnya terhenti di depan sebuah toko barang antik yang tampak tua, dengan papan kayu bertuliskan “Artefak dan Kenangan.” Toko itu terlihat tak terlalu istimewa, tapi entah kenapa, Farrel merasa tertarik untuk masuk. Bel berbunyi saat pintu terbuka, dan seorang pria tua dengan rambut memutih menyambutnya dari balik meja kayu.
“Selamat datang,” ujar pria itu dengan senyum ramah. Namun, ekspresinya berubah ketika ia melihat kalung yang dikenakan Farrel. “Kalung itu… dari mana kau mendapatkannya?”
Farrel terkejut dengan reaksi pria itu. “Ini kalung keluargaku. Aku selalu memilikinya sejak kecil,” jawabnya, mencoba menutupi rasa gugup.
Pria itu terdiam sejenak, lalu melangkah keluar dari balik meja. “Ikut aku,” katanya sambil menunjuk ke ruangan kecil di belakang toko. Farrel ragu sejenak, tetapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia mengikuti pria tua itu ke ruangan sempit yang dipenuhi rak-rak berisi buku tua, gulungan peta, dan benda-benda kuno lainnya.
Pria tua itu membuka sebuah buku tebal dengan sampul kulit usang. Ia menunjukkan sebuah halaman dengan gambar yang membuat Farrel tertegun. Di sana tergambar seseorang mengenakan kalung dengan liontin berbentuk bintang, sama persis dengan yang dimilikinya.
“Kalung ini bukan sekadar perhiasan,” ujar pria itu dengan suara serius. “Ini adalah kunci. Kunci untuk membuka pintu kenangan dari kehidupan sebelumnya.”
Farrel menatap pria itu dengan bingung. “Apa maksud Anda? Kehidupan sebelumnya?”
Pria itu menarik napas panjang. “Déjà vu yang kau alami, kilasan-kilasan itu, bukan kebetulan. Itu adalah fragmen ingatan dari kehidupanmu yang dulu. Kalung ini membantumu mengaksesnya, tetapi hanya jika kau cukup kuat untuk menerima kebenaran.”
Kata-kata itu terdengar seperti omong kosong bagi sebagian orang, tetapi bagi Farrel, semua mulai masuk akal. Ia ingat mimpi-mimpinya, kilasan memori yang terasa begitu nyata, dan rasa kehilangan yang terus menghantuinya. “Jika ini benar, bagaimana aku bisa mengakses lebih banyak ingatan? Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi,” katanya, nada suaranya penuh tekad.
Pria tua itu tersenyum tipis. “Itu bukan sesuatu yang mudah. Kalung ini hanya pembuka jalan, tapi perjalananmu harus kau tempuh sendiri. Ada tempat yang bisa membantumu mengingat lebih banyak. Tempat di mana siklus kehidupanmu dimulai.”
Farrel menatap pria itu dengan rasa ingin tahu. “Di mana tempat itu?”
Pria tua itu membuka peta usang dan menunjuk sebuah titik di pinggir kota. “Di sana. Sebuah rumah tua yang ditinggalkan. Banyak orang menganggapnya angker, tapi itu adalah awal dari semua cerita ini.”
Farrel merasa darahnya berdesir. Rumah tua di pinggir kota? Ia tidak pernah mendengar tentang itu sebelumnya, tetapi entah kenapa, tempat itu terdengar familiar, seperti bagian dari mimpinya. “Aku akan pergi ke sana,” katanya tanpa ragu.
Pria tua itu menatap Farrel dengan serius. “Hati-hati, anak muda. Masa lalu memiliki caranya sendiri untuk menguji kita. Tidak semua kenangan layak untuk diingat.”
Farrel mengangguk, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Rahasia yang selama ini mengendap di sudut pikirannya kini mulai terungkap. Dan ia bersumpah, kali ini ia akan menemukan jawaban, apa pun risikonya.
Saat keluar dari toko, Farrel merasa dirinya semakin dekat dengan kebenaran. Namun, ia tidak menyadari bahwa di bayang-bayang jauh, seseorang memperhatikan setiap langkahnya, seseorang yang sudah menunggu pertemuan ini selama berabad-abad.
Bab 3: Perjalanan ke Masa Lalu
Malam mulai jatuh ketika Farrel berdiri di depan rumah tua yang ditunjukkan oleh pria dari toko barang antik. Bangunan itu tampak menyeramkan, dengan dinding yang dipenuhi lumut dan jendela-jendela yang sudah pecah. Pohon-pohon besar mengelilinginya, menambah aura mistis yang membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum mendekat. Namun, bagi Farrel, rasa takut itu kalah oleh rasa penasaran yang menggelora.
Ia melangkah mendekati pintu kayu besar yang terlihat rapuh. Ketika ia mendorongnya, pintu itu berderit, menimbulkan suara yang memecah keheningan malam. Di dalam, aroma debu dan kayu lapuk menyeruak. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela.
Farrel memegang liontin kalungnya, merasakan kehangatan aneh yang mengalir darinya. Kalung itu tampak bersinar samar, seolah-olah merespons keberadaannya di tempat itu. Ia melangkah lebih jauh ke dalam rumah, merasa bahwa sesuatu sedang memanggilnya.
Langkahnya berhenti di sebuah ruangan besar dengan lantai kayu yang retak. Di tengah ruangan, ada lingkaran besar yang diukir di lantai, dipenuhi simbol-simbol kuno yang tidak ia mengerti. Liontin di lehernya mulai bergetar ringan, membuat Farrel yakin bahwa ia berada di tempat yang tepat.
“Ini awal dari segalanya,” gumamnya pelan.
Tiba-tiba, suara langkah terdengar di belakangnya. Farrel berbalik dengan cepat, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Jantungnya berdetak kencang, namun ia mencoba menenangkan diri. “Hanya angin,” pikirnya. Tapi sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara langkah itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat.
“Farrel,” sebuah suara lembut memanggil namanya.
Farrel membeku. Ia mengenali suara itu. Itu adalah suara perempuan dari mimpinya.
“Siapa kau?” tanyanya dengan suara gemetar.
Dari bayangan, muncul seorang perempuan. Wajahnya samar, hampir seperti kabut yang bergerak, tetapi senyumnya begitu familiar. Perasaan hangat dan sedih bercampur jadi satu dalam dada Farrel. Itu dia. Perempuan dari mimpinya.
“Aku Lyra,” jawabnya lembut.
Farrel menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. “Bagaimana mungkin kau ada di sini? Aku… aku pernah melihatmu. Dalam mimpi, atau mungkin kenangan. Siapa kau sebenarnya?”
Lyra melangkah mendekatinya, tetapi kakinya hampir tidak menyentuh tanah. “Kau benar, Farrel. Kau pernah melihatku. Bukan hanya dalam mimpi, tapi dalam kehidupanmu sebelumnya.”
Kata-kata itu membuat Farrel terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Kita pernah bertemu, berkali-kali,” lanjut Lyra. “Dalam setiap kehidupanmu, aku selalu ada. Tetapi nasib kita selalu sama. Aku pergi, dan kau tidak pernah bisa menyelamatkanku.”
Farrel merasakan dadanya sesak. “Kenapa? Kenapa ini terus terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi pada kita?”
Lyra menatapnya dengan tatapan penuh kesedihan. “Karena kau terjebak dalam siklus ini, Farrel. Siklus yang kau buat sendiri.”
Farrel mengernyit. “Aku? Apa maksudmu?”
Sebelum Lyra menjawab, ruangan tiba-tiba bergetar. Simbol-simbol di lantai mulai bersinar, dan cahaya terang menyelimuti mereka. Dalam sekejap, Farrel merasa seperti ditarik ke dalam pusaran angin yang kencang. Saat ia membuka matanya, ia tidak lagi berada di rumah tua itu.
Ia berada di tempat yang asing namun terasa familiar. Sebuah kota besar yang dipenuhi bangunan kuno, dengan orang-orang berpakaian seperti dari abad lampau. Di tengah keramaian, Farrel melihat dirinya sendiri—tetapi lebih muda, dengan pakaian yang berbeda. Di sampingnya, Lyra tertawa, terlihat begitu bahagia.
Farrel menatap pemandangan itu dengan takjub. “Apa ini? Apakah ini… masa lalu?”
Lyra berdiri di sampingnya. “Ini adalah salah satu kehidupanmu. Kau pernah hidup di sini, di kota ini. Dan di sinilah semuanya dimulai.”
Farrel mencoba mendekati dirinya yang ada di masa lalu, tetapi Lyra menahannya. “Kau tidak bisa mengubah apa yang terjadi di sini. Kau hanya bisa melihatnya.”
Farrel menyaksikan dirinya yang lebih muda memegang tangan Lyra. Mereka terlihat begitu bahagia, hingga tiba-tiba keributan terjadi. Seorang pria dengan wajah penuh amarah mendekati mereka, membawa senjata tajam. Dalam sekejap, suasana berubah menjadi kacau. Farrel melihat dirinya mencoba melindungi Lyra, tetapi semuanya berakhir dengan darah.
Lyra yang ada di samping Farrel menunduk. “Inilah takdir kita, Farrel. Kau selalu mencoba melindungiku, tetapi kau selalu gagal. Itulah mengapa siklus ini terus berulang.”
Farrel tidak bisa berkata-kata. Ia merasa marah, sedih, dan putus asa sekaligus. Namun, satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi.
“Aku akan mengubah semuanya,” kata Farrel dengan suara tegas.
Lyra memandangnya dengan senyum tipis. “Kali ini, kau harus siap. Karena kau akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar kenangan.”
Sebelum Farrel sempat bertanya lebih lanjut, semuanya menghilang. Ia kembali ke rumah tua, terjatuh di lantai kayu yang dingin. Napasnya tersengal-sengal, dan liontin di lehernya terasa panas.
Ia tahu, apa pun yang sedang ia hadapi baru saja dimulai. Dan kali ini, ia bersumpah untuk memutus siklus ini, apa pun risikonya.
Bab 4: Bayangan yang Mengintai
Pagi itu, Farrel terbangun dengan kepala berdenyut. Pengalaman semalam terasa begitu nyata hingga sulit dibedakan antara mimpi dan kenyataan. Ingatan tentang kota kuno, dirinya yang lebih muda, dan tragedi yang terjadi membuat dadanya sesak. Namun, yang paling membekas adalah kata-kata Lyra: “Kau terjebak dalam siklus yang kau buat sendiri.”
Farrel menatap liontin di lehernya, yang sekarang terlihat sedikit berbeda. Ada kilauan samar di permukaan bintang itu, seolah-olah benda tersebut menyimpan sesuatu di dalamnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi satu hal yang pasti: ia harus mencari tahu kebenaran tentang siklus ini.
Hari itu, Farrel memutuskan kembali ke toko barang antik. Ketika ia tiba, pria tua pemilik toko menyambutnya dengan ekspresi serius. “Kau pergi ke sana, bukan?” tanya pria itu tanpa basa-basi.
Farrel mengangguk. “Aku melihat sesuatu… fragmen dari masa laluku. Tapi aku tidak mengerti. Lyra mengatakan aku yang menciptakan siklus ini. Apa maksudnya?”
Pria itu menatap Farrel dengan sorot mata penuh simpati. Ia mengambil buku tua dari rak, membukanya, dan menunjuk sebuah halaman dengan gambar lingkaran besar yang dihiasi simbol-simbol kuno. “Ini adalah Siklus Abadi. Legenda mengatakan, mereka yang terlalu terikat pada cinta atau dendam di kehidupan sebelumnya dapat menciptakan siklus reinkarnasi mereka sendiri. Itu semacam… hukuman yang mereka buat tanpa sadar.”
Farrel merasa jantungnya berhenti sesaat. “Jadi, aku melakukan ini pada diriku sendiri?”
“Secara tidak langsung, iya,” jawab pria itu. “Namun, menciptakan siklus ini tidak mudah. Ada sesuatu atau seseorang yang membantumu memperkuat siklus itu. Kau tidak mungkin melakukannya sendiri.”
Farrel terdiam, mencoba mencerna informasi itu. “Seseorang yang membantuku? Siapa?”
Pria itu menghela napas. “Itu sesuatu yang hanya bisa kau temukan sendiri. Tapi berhati-hatilah, Farrel. Siklus ini tidak hanya memengaruhi hidupmu, tapi juga hidup orang lain yang terlibat di dalamnya, termasuk Lyra.”
Farrel menundukkan kepala, merasa bersalah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa keputusannya di masa lalu membawa penderitaan bagi orang lain. Tetapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, bel di pintu toko berbunyi. Seorang pria tinggi dengan jaket hitam masuk. Matanya tajam, dan senyumnya dingin.
Pria tua itu langsung terdiam. Wajahnya berubah tegang. Farrel merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
“Farrel,” pria itu memanggil namanya dengan nada santai, tetapi suara itu membawa rasa dingin yang menjalar ke tulang belakangnya. “Akhirnya kita bertemu.”
“Siapa kau?” tanya Farrel, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
Pria itu melangkah mendekat, senyum dinginnya semakin melebar. “Kau tidak mengingatku, ya? Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dilupakan.” Ia berhenti, menatap liontin di leher Farrel. “Tapi aku di sini untuk mengingatkanmu siapa aku… dan apa yang kau lakukan padaku.”
Farrel menatap pria itu dengan penuh kebingungan. “Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.”
Pria itu tertawa kecil. “Tentu saja kau tidak mengerti. Kau telah menghapus bagian dari kenanganmu sendiri. Tapi biar aku memberimu sedikit petunjuk. Aku adalah bagian dari siklus ini, Farrel. Sama seperti Lyra. Hanya saja, aku tidak memiliki niat baik seperti dia.”
Pria tua pemilik toko mencoba menyela. “Jangan bawa dia ke dalam ini, Kairos. Dia belum siap.”
Farrel langsung menoleh ke pria tua itu. “Kairos? Jadi ini orang yang mengontrol siklus reinkarnasiku?”
Kairos tersenyum dingin. “Mengontrol? Tidak, Farrel. Aku tidak mengontrol siklus ini. Aku hanyalah pengamat. Tetapi aku punya peran penting untuk memastikan bahwa kau tidak akan pernah keluar dari siklus ini.”
Farrel mengepalkan tangannya, merasa amarahnya memuncak. “Apa yang kau inginkan dariku?”
Kairos mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Farrel. “Aku ingin melihatmu gagal… lagi dan lagi. Itu adalah hukuman untuk dosa yang kau lakukan di kehidupan pertama kita.”
Farrel terdiam, mencoba memahami apa yang dikatakan Kairos. “Apa yang kulakukan padamu?”
Kairos tersenyum, tetapi matanya penuh kebencian. “Oh, kau akan tahu pada waktunya. Tapi untuk sekarang, aku akan memberimu satu saran: jangan mencoba melawan siklus ini. Karena setiap kali kau mencoba, orang yang kau cintai akan selalu menjadi korban.”
Sebelum Farrel sempat menjawab, Kairos berbalik dan berjalan keluar dari toko, meninggalkan Farrel dalam kebingungan dan ketakutan. Pria tua itu menepuk bahunya, mencoba menenangkannya. “Farrel, kau harus berhati-hati. Kairos adalah entitas yang berbahaya. Dia membawa kebencian dari masa lalu yang bahkan aku tidak sepenuhnya mengerti.”
Farrel menggenggam liontinnya erat. “Aku tidak peduli siapa dia. Aku akan menemukan cara untuk memecahkan siklus ini, bahkan jika aku harus menghadapi Kairos sekalipun.”
Pria tua itu menatap Farrel dengan cemas. “Kalau begitu, kau harus bersiap menghadapi kenyataan yang paling menyakitkan. Karena semakin dalam kau mencari kebenaran, semakin besar risiko yang harus kau bayar.”
Farrel menatap ke arah pintu yang telah tertutup, dengan pikiran yang semakin kacau. Kini ia tahu bahwa perjuangannya tidak hanya tentang menyelamatkan Lyra, tetapi juga tentang menghadapi bayangan masa lalu yang telah lama ia lupakan. Dan ia bersumpah, ia tidak akan berhenti sampai menemukan kebenaran.
Bab 5: Cinta yang Terkutuk
Malam itu, Farrel duduk di atas tempat tidurnya, memandang liontin bintang yang menggantung di lehernya. Percakapan dengan Kairos terus terngiang di pikirannya. Kata-kata pria itu mengiris hatinya seperti pisau: “Setiap kali kau mencoba, orang yang kau cintai akan selalu menjadi korban.”
Bayangan Lyra muncul di benaknya. Tawanya, senyumnya, dan akhirnya, tangisnya saat ia kehilangan segalanya dalam setiap kehidupan. Farrel tidak mengerti apa yang sebenarnya telah ia lakukan di masa lalu hingga membawa mereka ke dalam siklus penuh penderitaan ini.
Liontin itu mulai bersinar samar, seperti merespons emosi yang berkecamuk di hatinya. Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam gelombang perasaan yang datang. Dalam sekejap, ia merasakan dirinya ditarik ke dalam bayangan masa lalu.
Ketika Farrel membuka mata, ia berada di tempat yang sangat asing. Sebuah taman luas dengan bunga-bunga bermekaran dan angin yang sejuk. Di tengah taman itu, ada seorang perempuan. Lyra.
Dia duduk di atas ayunan kayu, mengenakan gaun putih sederhana. Rambut panjangnya yang terurai tertiup angin, dan matanya yang berbinar menatap Farrel dengan kehangatan. Tetapi di balik senyumnya, Farrel bisa melihat jejak kesedihan yang dalam.
“Lyra,” panggil Farrel, suaranya bergetar.
Lyra menoleh padanya, wajahnya berubah sejenak menjadi terkejut sebelum tersenyum lagi. “Kau selalu datang padaku seperti ini,” katanya pelan.
Farrel mengernyit. “Seperti ini? Maksudmu apa?”
Lyra menatapnya dengan lembut. “Setiap kali kau kembali ke masa lalu, kau selalu menemukanku di tempat ini. Tapi kau selalu lupa apa yang kau cari. Dan akhirnya, siklus itu dimulai lagi.”
Kata-kata itu membuat Farrel membeku. “Aku… selalu melupakanmu?”
Lyra mengangguk. “Itu bagian dari hukumanmu. Setiap kali kau mencoba mengubah takdir, kenangan tentangku perlahan memudar. Hingga pada akhirnya, kau mengulang segalanya tanpa sadar.”
Farrel merasakan hatinya hancur. “Tapi kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi pada kita?”
Lyra menunduk, suaranya nyaris berbisik. “Kau tidak akan bisa mengingatnya, Farrel. Itu adalah bagian dari kutukanmu. Tapi aku akan memberitahumu sesuatu yang mungkin bisa membantumu.”
Farrel mendekat, mendengarkan dengan cermat.
“Kau dan aku… kita terikat oleh sesuatu yang jauh lebih besar dari cinta. Dalam kehidupan pertama kita, kau membuat keputusan yang menghancurkan segalanya. Kau berusaha menyelamatkanku, tetapi caramu salah. Dan sekarang, kita berdua terjebak dalam siklus ini.”
Farrel menggenggam tangannya. “Lyra, aku bersumpah, kali ini aku tidak akan membiarkan siklus ini berulang. Aku akan menyelamatkanmu.”
Lyra tersenyum, tetapi air mata mengalir di pipinya. “Farrel, kau harus tahu bahwa cinta kita… adalah cinta yang terkutuk. Setiap kali kau mencoba mengubah takdir, kau hanya akan membuat segalanya lebih buruk.”
Farrel menggeleng keras. “Aku tidak peduli. Kutukan atau tidak, aku akan menemukan cara untuk memutus siklus ini. Aku akan menyelamatkanmu, apa pun risikonya.”
Tiba-tiba, langit di atas mereka menjadi gelap. Suara gemuruh terdengar dari kejauhan, dan Lyra berdiri dengan panik.
“Mereka tahu kau di sini,” katanya dengan nada cemas.
“Mereka? Siapa?” tanya Farrel.
Namun sebelum Lyra bisa menjawab, bayangan hitam muncul dari segala arah. Mereka seperti kabut pekat yang bergerak dengan cepat, mendekati Farrel dan Lyra.
“Pergi, Farrel!” teriak Lyra. “Kau belum siap untuk menghadapi mereka!”
“Aku tidak akan meninggalkanmu!” balas Farrel.
Lyra menatapnya dengan penuh rasa sakit. “Kalau kau tetap di sini, mereka akan menangkapmu, dan kau tidak akan pernah bisa kembali.”
Farrel merasa tubuhnya mulai ditarik oleh sesuatu yang kuat. Bayangan hitam itu melingkari kakinya, menariknya menjauh dari Lyra. Ia berusaha melawan, tetapi kekuatan itu terlalu besar.
“Farrel!” teriak Lyra, suaranya memudar seiring dengan bayangan yang semakin menelan segalanya.
Farrel terbangun dengan napas terengah-engah. Ia kembali berada di apartemennya, keringat membasahi tubuhnya. Liontin di lehernya terasa panas, tetapi sinarnya sudah meredup.
Ia duduk diam untuk beberapa saat, mencoba menenangkan dirinya. Ingatan tentang Lyra, tentang bayangan hitam itu, terus bermain di kepalanya.
Farrel sadar, musuh yang ia hadapi lebih dari sekadar Kairos. Ada kekuatan lain yang lebih besar, sesuatu yang mencoba menghentikannya untuk memecahkan siklus ini. Namun, tekadnya semakin kuat.
“Aku tidak akan menyerah, Lyra,” bisiknya. “Kali ini, aku akan menyelamatkanmu. Apa pun risikonya.”
Bab 6: Rahasia yang Terkubur
Hari itu, hujan turun deras, menciptakan genangan air di jalanan kota. Farrel berjalan dengan langkah cepat, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Lyra dan ancaman bayangan hitam yang muncul dalam perjalanan ke masa lalu. Kini, ia tahu ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang mengawasinya—lebih besar daripada Kairos, lebih besar dari dirinya sendiri.
Liontin di lehernya terasa lebih berat dari sebelumnya. Kilauan samar yang pernah terlihat kini hilang, seolah-olah energi di dalamnya terkuras habis. Namun, Farrel yakin liontin itu menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang ia bayangkan.
Farrel kembali ke toko barang antik, tempat satu-satunya yang bisa memberinya jawaban. Ketika ia masuk, pria tua pemilik toko langsung menyadari perubahan pada Farrel.
“Kau melihat sesuatu lagi, bukan?” tanya pria itu, tanpa basa-basi.
Farrel mengangguk. “Aku bertemu Lyra. Dia mengatakan sesuatu tentang cinta kami yang terkutuk, dan… tentang keputusan yang menghancurkan segalanya.” Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan. “Dan ada sesuatu, bayangan hitam yang mencoba menangkapku.”
Pria tua itu menghela napas panjang, lalu melangkah ke rak buku di sudut ruangan. Ia mengeluarkan sebuah buku tebal dengan sampul berwarna gelap, penuh ukiran kuno yang menyerupai simbol di lantai rumah tua.
“Ini adalah catatan tentang Siklus Abadi,” katanya, membuka halaman yang dipenuhi tulisan tangan dan sketsa. “Bayangan hitam yang kau lihat adalah penjaga siklus. Mereka adalah bagian dari entitas yang memastikan bahwa siklus ini tetap berjalan. Ia bukan musuhmu, Farrel. hanya penjaga dari aturan yang kau buat sendiri.”
Farrel menatap pria itu dengan penuh kebingungan. “Apa maksudmu aturan yang kubuat sendiri? Aku tidak pernah menciptakan ini!”
Pria tua itu menatapnya serius. “Mungkin kau tidak ingat, tetapi pada kehidupan pertamamu, kau membuat keputusan yang memulai semuanya. Kau menciptakan aturan ini karena kau tidak bisa menerima kehilangan.”
Farrel mencoba mengingat, tetapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan. “Apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan pertamaku? Apa yang membuatku menciptakan siklus ini?”
Pria itu menunjuk liontin di leher Farrel. “Liontin itu adalah kunci. Jika kau ingin tahu kebenaran, kau harus membuka ingatanmu sepenuhnya. Tapi ada harga yang harus kau bayar.”
Farrel mengepalkan tangannya. “Aku tidak peduli dengan harganya. Aku hanya ingin menyelamatkan Lyra dan menghentikan semua ini.”
Pria tua itu terdiam sesaat, lalu membuka bagian lain dari buku itu. “Di dalam liontinmu, ada fragmen dari jiwamu yang terkunci. Itu adalah bagian dari kenanganmu di kehidupan pertama. Tetapi untuk membukanya, kau harus pergi ke tempat di mana semuanya dimulai.”
“Di mana?” tanya Farrel, matanya penuh tekad.
“Di reruntuhan Kuil Takdir,” jawab pria itu. “Tempat itu ada di luar kota ini, di atas bukit yang jarang dikunjungi orang. Kuil itu adalah tempat kau membuat sumpah yang menciptakan siklus ini.”
Farrel mengangguk. “Aku akan pergi ke sana. Kalau itu bisa memberiku jawaban, aku akan melakukannya.”
Pria itu menatap Farrel dengan penuh rasa khawatir. “Farrel, kau harus tahu. Membuka kenangan itu tidak hanya akan mengungkap kebenaran, tetapi juga akan membangkitkan semua hal yang selama ini kau lupakan, termasuk rasa sakit yang membuatmu menciptakan siklus ini.”
Farrel menatap pria itu dengan penuh keyakinan. “Aku harus melakukannya. Kalau aku tidak menghadapinya sekarang, aku akan terus terjebak di sini.”
Perjalanan ke Kuil Takdir bukanlah hal yang mudah. Malam telah tiba ketika Farrel tiba di kaki bukit yang gelap dan sunyi. Hujan telah reda, tetapi udara dingin menusuk tulangnya. Dengan liontin di tangan, ia mulai menaiki jalan setapak yang curam, dikelilingi oleh hutan lebat yang tampak tak berujung.
Ketika ia sampai di puncak bukit, ia melihatnya—reruntuhan Kuil Takdir. Pilar-pilar batu yang telah retak dan runtuh mengelilingi altar besar di tengahnya. Di lantai, ukiran simbol-simbol kuno yang sama seperti yang ia lihat di rumah tua terlihat samar di bawah cahaya bulan.
Farrel melangkah mendekati altar, merasa bahwa liontin di tangannya mulai bergetar lagi. Ia meletakkan liontin itu di atas altar, dan tiba-tiba, sinar terang keluar dari liontin tersebut. Cahaya itu memancar ke langit, menerangi seluruh kuil.
Dan kemudian, ia mendengar suara.
“Farrel…” suara itu memanggil namanya, lembut tetapi penuh kekuatan.
Farrel menoleh, dan di sana berdiri seorang pria. Pria itu terlihat seperti Farrel, tetapi lebih tua, dengan tatapan penuh kebencian dan luka.
“Apa ini?” tanya Farrel, merasa bingung.
Pria itu tersenyum dingin. “Aku adalah dirimu, yaitu bagian dari dirimu yang kau kunci. Kebenaran yang selama ini kau hindari.”
Farrel membeku. “Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?”
Pria itu melangkah mendekat. “Aku adalah dirimu di kehidupan pertama. Dan aku adalah alasan kenapa kau dan Lyra terus terjebak dalam siklus ini. Semua ini adalah karena keputusan bodoh yang kau buat untuk mencoba melawan takdir.”
Farrel merasakan jantungnya berdetak kencang. “Apa yang kulakukan?”
Pria itu menatapnya dengan tajam. “Kau memutuskan untuk melawan kematian. Ketika Lyra seharusnya pergi, kau mencoba mengubah takdirnya. Dan kau gagal. Akibatnya, kau menciptakan siklus ini, berpikir kau bisa menyelamatkannya di kehidupan berikutnya. Tapi setiap kali kau mencoba, kau hanya mengulang kesalahan yang sama.”
Farrel terdiam, merasa tubuhnya lemas. Rahasia yang terkubur selama ini akhirnya terungkap. Ia adalah pencipta dari penderitaan yang dialami oleh dirinya sendiri dan Lyra.
“Kau tidak bisa menyelamatkannya, Farrel,” lanjut pria itu. “Siklus ini akan terus berulang. Itu adalah hukumanmu. Dan tidak ada cara untuk menghentikannya.”
Tetapi Farrel mengepalkan tangannya, matanya penuh dengan tekad. “Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Kalau aku yang menciptakan siklus ini, aku juga bisa menghancurkannya.”
Pria itu tertawa dingin. “Kita lihat saja, Farrel. Tapi kau harus tahu, menghancurkan siklus ini berarti menghapus segalanya—termasuk Lyra.”
Farrel terdiam, menghadapi pilihan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya, ia merasakan ketakutan yang sesungguhnya.
Bab 7: Pertarungan Melawan Takdir
Farrel berdiri mematung di tengah reruntuhan Kuil Takdir, berhadapan dengan dirinya sendiri—sosok dari kehidupan pertamanya yang kini menjadi pengingat nyata akan dosa masa lalunya. Cahaya dari liontin perlahan meredup, tetapi ketegangan di antara mereka terus membesar. Kata-kata pria itu masih terngiang di telinga Farrel: “Menghancurkan siklus ini berarti menghapus segalanya—termasuk Lyra.”
“Aku tidak percaya itu,” ujar Farrel dengan suara tegas. “Selalu ada cara lain. Aku akan menyelamatkan Lyra tanpa harus kehilangan segalanya.”
Sosok itu tertawa dingin, tatapannya menusuk. “Kau naif, Farrel. Sejak awal, cinta yang kau miliki untuk Lyra adalah akar dari semua penderitaan ini. Kau pikir cinta bisa menjadi solusi? Tidak, cinta adalah kutukanmu.”
Farrel mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan mendengarkan omong kosongmu. Aku akan memutus siklus ini, dengan atau tanpa bantuanmu.”
Pria itu tersenyum sinis, lalu melangkah mendekat. “Kalau begitu, buktikan padaku bahwa kau cukup kuat untuk melakukannya.”
Tiba-tiba, suasana di sekitarnya berubah. Reruntuhan kuil memudar, digantikan oleh bayangan-bayangan masa lalu yang kini melingkupi Farrel. Ia melihat fragmen kehidupannya yang terdahulu—wajah-wajah yang familiar, tragedi yang sama, dan setiap upayanya yang gagal menyelamatkan Lyra. Suara tawa, jeritan, dan tangisan bercampur menjadi satu, membuat kepala Farrel terasa berdenyut.
“Ini adalah semua kehidupanmu,” ujar pria itu, suaranya bergema di udara. “Semua kegagalanmu. Setiap kali kau mencoba melawan takdir, kau hanya mengulang kesalahan yang sama.”
Farrel menatap bayangan-bayangan itu dengan penuh rasa bersalah. Ia melihat dirinya mencoba melindungi Lyra, mencoba melawan musuh-musuh yang datang, tetapi hasilnya selalu sama—Lyra selalu mati, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kenapa kau tunjukkan ini padaku?” tanya Farrel dengan suara gemetar.
“Karena kau harus mengerti,” jawab pria itu. “Siklus ini tidak bisa dihentikan tanpa pengorbanan besar. Kau harus memilih: menyelamatkan Lyra dengan menghapus semua kenangan tentangnya, atau terus hidup dalam penderitaan ini.”
Farrel merasa dadanya sesak. Pilihan itu terlalu kejam. Bagaimana mungkin ia harus melupakan seseorang yang menjadi pusat hidupnya? Tetapi jika ia tidak melakukannya, siklus ini akan terus berulang, membawa penderitaan bagi mereka berdua.
Saat Farrel merenung, bayangan hitam mulai muncul dari kegelapan. Mereka adalah penjaga siklus, makhluk-makhluk yang pernah ia lihat sebelumnya. Kali ini, jumlah mereka lebih banyak, dan mereka bergerak dengan agresif, mengelilingi Farrel dari segala arah.
“Mereka datang untuk menghakimimu,” ujar pria itu dengan nada datar. “Jika kau tidak mengambil keputusan sekarang, mereka akan memastikan bahwa kau tidak pernah keluar dari siklus ini.”
Farrel mengambil langkah mundur, memegang liontin di lehernya dengan erat. Cahaya dari liontin kembali menyala, memberikan rasa hangat yang menenangkan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa liontin ini adalah kunci, tetapi ia belum tahu bagaimana cara menggunakannya.
“Sekarang atau tidak sama sekali, Farrel,” desak pria itu. “Buat keputusanmu!”
Tetapi Farrel tidak bisa. Ia tidak ingin memilih antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan. Ia memutuskan untuk bertindak dengan cara lain.
“Kalau kau tidak mau membantuku, aku akan melawan mereka sendiri!” seru Farrel, lalu berlari ke arah bayangan hitam yang semakin mendekat. Dengan liontin yang kini bersinar terang, ia mengarahkannya ke salah satu bayangan. Cahaya dari liontin itu menyentuh bayangan tersebut, membuatnya berteriak sebelum akhirnya lenyap.
Farrel terkejut. Liontin ini bukan hanya kunci, tetapi juga senjata. Ia mulai menggunakan cahaya liontin untuk melawan bayangan-bayangan itu, satu per satu. Namun, jumlah mereka terlalu banyak, dan Farrel merasa kekuatannya semakin terkuras.
“Aku tidak akan menyerah!” teriak Farrel, meskipun tubuhnya mulai lemah. Ia tahu bahwa ini adalah ujian—ujian untuk membuktikan bahwa ia layak memutus siklus ini.
Sosok pria itu menatap Farrel dari kejauhan, dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kau keras kepala, seperti biasanya,” gumamnya. “Tapi mungkin itu yang membuatmu berbeda.”
Ketika Farrel hampir jatuh ke tanah karena kelelahan, tiba-tiba, bayangan-bayangan itu berhenti. Mereka mundur perlahan, dan suasana menjadi hening. Farrel mengangkat kepalanya, terengah-engah, dan melihat sosok pria itu mendekat.
“Kau berhasil membuktikan sesuatu,” ujar pria itu. “Bahwa kau memiliki keberanian untuk melawan, meskipun kau tahu kau bisa kalah. Itu adalah kualitas yang selalu dimiliki oleh diriku yang dulu.”
Farrel menatap pria itu dengan bingung. “Jadi apa artinya ini?”
Pria itu tersenyum tipis. “Artinya, aku akan memberimu satu kesempatan terakhir. Aku akan membantumu, tetapi hanya jika kau benar-benar siap menerima kebenaran. Kau harus menghadapi rasa sakit dari ingatanmu yang sebenarnya.”
Farrel mengangguk, meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. “Aku siap. Aku harus menyelamatkan Lyra, apa pun yang terjadi.”
Pria itu meletakkan tangannya di atas liontin Farrel, dan cahaya yang lebih terang memancar darinya. “Kalau begitu, bersiaplah. Karena kebenaran akan menghancurkanmu sebelum menyelamatkanmu.”
Farrel merasa tubuhnya ditarik ke dalam pusaran cahaya yang begitu kuat. Ingatan-ingatan dari masa lalunya kembali muncul, tetapi kali ini, ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindarinya. Ia harus menghadapi semuanya, bahkan jika itu berarti menghadapi sisi tergelap dari dirinya sendiri.
Bab 8: Harga yang Harus Dibayar
Farrel membuka matanya dengan tubuh yang terasa lemah. Ia berdiri di tempat yang tidak ia kenal sebelumnya—sebuah ruangan yang luas, dengan dinding marmer putih yang bercahaya redup. Udara di sekitarnya terasa berat, seolah-olah tempat ini menampung energi besar yang tak terlukiskan. Di tengah ruangan, terdapat sebuah cermin raksasa dengan bingkai emas berukir simbol-simbol yang sama seperti yang ia lihat di Kuil Takdir.
“Ini di mana?” gumam Farrel, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Dari belakangnya, terdengar langkah kaki yang familiar. Ia menoleh dan melihat dirinya sendiri—versi pria yang lebih tua dari kehidupan pertama, yang selama ini menjadi sosok antagonis dalam hidupnya.
“Kau ada di tempat terakhir di mana semuanya dimulai,” jawab pria itu sambil mendekat. “Cermin ini akan menunjukkan kebenaran. Bukan hanya tentang apa yang kau lakukan, tetapi juga apa yang harus kau korbankan untuk memperbaikinya.”
Farrel menatap cermin itu dengan ragu. “Apa yang akan terjadi jika aku melihat ke dalamnya?”
Pria itu menghela napas, lalu menjelaskan, “Cermin ini tidak hanya menunjukkan kenangan. Ia akan membuatmu merasakan semuanya lagi. Setiap keputusan yang kau buat, setiap rasa sakit, setiap pengorbanan yang kau abaikan… Kau akan menghidupinya kembali.”
Farrel mengepalkan tangannya. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi tentang Lyra. Jika ini adalah satu-satunya cara untuk memutus siklus, maka ia harus melakukannya. Dengan langkah tegas, ia mendekati cermin itu.
“Aku siap,” katanya dengan suara penuh tekad.
Pria itu mengangguk. “Kalau begitu, bersiaplah untuk menghadapi dirimu yang sebenarnya.”
Ketika Farrel menatap ke dalam cermin, ia langsung tersedot ke dalam pusaran kenangan. Semua terasa begitu nyata—seolah-olah ia benar-benar kembali ke kehidupan pertamanya. Ia melihat dirinya, muda dan penuh ambisi, bersama Lyra yang terlihat bahagia. Mereka berdiri di sebuah kota kuno yang dipenuhi kemegahan.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Farrel menyaksikan dirinya yang dulu membuat keputusan fatal. Lyra jatuh sakit, dan kematiannya sudah ditakdirkan. Tetapi Farrel menolak untuk menerimanya. Dalam keputusasaan, ia pergi ke Kuil Takdir, memohon kepada kekuatan yang tidak ia mengerti untuk menyelamatkan Lyra.
“Aku akan melakukan apa saja,” suara Farrel muda bergema di ruangan. “Tidak peduli dengan takdir. Hanya saja aku ingin dia hidup.”
Kuil itu merespons permohonannya. Bayangan hitam yang kini ia kenal sebagai penjaga siklus muncul, menawarkan sebuah perjanjian. Farrel setuju tanpa berpikir panjang, tanpa mengetahui konsekuensi yang menantinya.
Dan di situlah semuanya dimulai. Perjanjian itu memang membawa Lyra kembali, tetapi dengan harga yang terlalu mahal. Siklus reinkarnasi diciptakan, mengikat jiwa mereka berdua dalam lingkaran tanpa akhir. Setiap kali Farrel mencoba melawan takdir, siklus itu hanya memperpanjang penderitaan mereka.
“Tidak…” Farrel berbisik, air mata mengalir di pipinya. “Aku yang menyebabkan semua ini. Aku yang membuat Lyra menderita.”
Kenangan itu terus berlanjut. Farrel melihat setiap kehidupan mereka berikutnya—cinta mereka yang selalu terhalang, tragedi yang selalu terjadi, dan Lyra yang selalu menjadi korban. Rasa bersalah semakin menghantamnya, membuatnya ingin menyerah.
Tetapi di tengah semua rasa sakit itu, ia mendengar suara Lyra. “Farrel… Aku tidak pernah menyalahkanmu. Kau melakukan ini karena kau mencintaiku. Tetapi cinta itu tidak bisa membebaskan kita. Kau harus menerima kenyataan, meskipun itu berarti kehilangan segalanya.”
Farrel terbangun dari kenangan itu, tubuhnya gemetar. Ia kembali berada di ruangan dengan cermin, tetapi kini ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Pria dari kehidupan pertamanya menatapnya dengan mata penuh rasa penasaran. “Kau tahu apa yang harus dilakukan sekarang, bukan?”
Farrel mengangguk. “Aku harus menghancurkan siklus ini. Aku harus memutuskan ikatan kita dengan masa lalu.”
Pria itu tersenyum tipis, tetapi tatapannya dipenuhi rasa iba. “Kau tahu konsekuensinya, kan? Jika siklus ini dihancurkan, semua yang terikat di dalamnya juga akan hilang. Termasuk Lyra.”
Farrel merasakan dadanya sesak. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan paling sulit yang harus ia buat. Tetapi ia juga tahu bahwa melanjutkan siklus ini hanya akan memperpanjang penderitaan mereka.
“Aku mencintainya,” kata Farrel, suaranya bergetar. “Dan karena aku mencintainya, aku harus membebaskannya.”
Pria itu mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi kau harus melakukannya sendiri. Kau harus meletakkan liontin itu di atas cermin dan mengorbankan bagian terakhir dari jiwamu.”
Farrel mengambil liontin di lehernya, memegangnya dengan erat. Ia melangkah ke depan cermin, merasakan berat dari keputusan yang akan ia buat. Dengan tangan yang gemetar, ia meletakkan liontin itu di atas cermin.
Begitu liontin menyentuh permukaan kaca, cahaya terang memenuhi ruangan. Suara gemuruh terdengar, dan Farrel merasakan tubuhnya ditarik ke dalam pusaran energi. Dalam detik-detik terakhir, ia mendengar suara Lyra.
“Terima kasih, Farrel… Aku mencintaimu.”
Farrel tersenyum, meskipun air mata mengalir di pipinya. “Aku juga mencintaimu.”
Ketika cahaya itu menghilang, Farrel menemukan dirinya berdiri sendirian di reruntuhan Kuil Takdir. Cermin itu telah lenyap, begitu pula liontin di lehernya. Ia tahu bahwa siklus telah berakhir. Tetapi di dalam hatinya, ada kekosongan yang tak terlukiskan.
Lyra telah pergi. Tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Farrel merasa bahwa ia telah melakukan hal yang benar.
Bab 9: Kebenaran di Balik Reinkarnasi
Farrel terbangun di tengah hutan yang sunyi, tidak lagi di reruntuhan Kuil Takdir. Udara pagi terasa dingin, dan suara burung-burung yang berkicau mengisi keheningan di sekitarnya. Ia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Liontin di lehernya telah lenyap, begitu pula kenangan tentang Lyra yang sebelumnya begitu jelas dalam pikirannya. Namun, ada sesuatu yang tersisa—sebuah perasaan hangat, seperti secercah cahaya kecil di dalam kegelapan.
Farrel berjalan perlahan, mencoba mencari jalan keluar dari hutan itu. Ia merasa tubuhnya lebih ringan, seolah-olah beban besar yang selama ini menghantuinya telah diangkat. Tetapi ia juga tahu bahwa sesuatu yang penting telah hilang. Lyra, sosok yang menjadi alasan hidupnya selama ini, kini hanyalah bayangan samar yang sulit ia ingat.
Di tengah perjalanan, Farrel menemukan sebuah batu besar dengan ukiran kuno yang menyerupai simbol-simbol dari Kuil Takdir. Ketika ia menyentuh batu itu, suara familiar menggema di kepalanya.
“Farrel…”
Ia langsung mengenali suara itu. “Lyra?” bisiknya, matanya terbelalak.
“Ini adalah pesanku untukmu,” suara Lyra terdengar lembut tetapi penuh emosi. “Jika kau mendengar ini, itu berarti kau telah menghentikan siklus. Kau telah membebaskan kita dari takdir yang tak berujung. Terima kasih, Farrel. Kau telah melakukan sesuatu yang tidak bisa kulakukan sendiri.”
Farrel terdiam, merasakan air mata mengalir di pipinya. Meskipun ia tidak sepenuhnya mengingatnya, suara Lyra membawa rasa damai yang aneh.
“Aku tahu ini tidak mudah untukmu,” lanjut Lyra. “Tapi kau harus tahu satu hal lagi—kebenaran di balik semua ini. Siklus ini bukan hanya ciptaanmu. Ada kekuatan yang lebih besar yang memanfaatkannya.”
Farrel mengernyit. “Kekuatan lebih besar? Apa maksudnya?”
“Kairos,” jawab suara itu. “Dia bukan hanya pengamat. Dia adalah entitas yang memperkuat siklus ini. Bukan untuk menghukummu, tetapi untuk menjaga dirinya tetap ada. Siklus ini memberinya energi, dan selama kau terjebak di dalamnya, dia tidak akan pernah mati.”
Farrel mengepalkan tangannya. Jadi, Kairos adalah bagian dari permainan ini selama ini—bukan hanya sebagai penjaga, tetapi sebagai penggerak siklus itu sendiri.
“Sekarang, kau memiliki pilihan terakhir,” lanjut Lyra. “Kairos masih ada. Jika kau membiarkannya, dia bisa menciptakan siklus baru, menggunakan orang lain sebagai korban. Tetapi jika kau ingin menghentikannya untuk selamanya, kau harus menghadapi dia lagi. Dan kali ini, kau harus menang.”
Suara Lyra perlahan memudar, meninggalkan Farrel dalam kesunyian. Pilihan itu menggantung di hadapannya—apakah ia akan kembali menghadapi Kairos, atau melanjutkan hidupnya yang baru tanpa gangguan.
Beberapa hari kemudian, Farrel kembali ke kota. Dunia terasa berbeda, seolah-olah ia melihatnya untuk pertama kali. Namun, ia tahu bahwa tugasnya belum selesai. Kairos masih ada di luar sana, menunggu saat yang tepat untuk kembali beraksi.
Farrel mulai menyelidiki keberadaan Kairos. Ia mengunjungi tempat-tempat yang dulu menjadi bagian dari siklusnya, mencari jejak entitas itu. Hingga akhirnya, ia menemukan sebuah petunjuk—sebuah nama yang terus muncul di catatan kuno yang ia temukan di toko barang antik: Ruang Waktu Tengah.
Ruang Waktu Tengah adalah sebuah tempat mitos, diyakini sebagai pusat dari semua siklus reinkarnasi. Jika Kairos ada di mana pun, itu pasti di sana.
Farrel akhirnya tiba di tempat itu, sebuah ruang aneh yang berada di antara realitas dan ilusi. Ruangan itu dipenuhi dengan cermin-cermin besar, masing-masing memantulkan bayangan kehidupannya yang berbeda. Di tengah ruangan itu, berdiri Kairos, dengan senyum dingin yang sama.
“Kita bertemu lagi, Farrel,” ujar Kairos dengan nada santai. “Aku tahu kau akan datang. Kau terlalu keras kepala untuk membiarkan semuanya berlalu begitu saja.”
Farrel menatapnya tajam. “Siklus sudah berakhir. Kau tidak bisa lagi menggunakanku untuk mempertahankan eksistensimu.”
Kairos tertawa kecil. “Mungkin siklusmu sudah berakhir. Tetapi dunia ini penuh dengan orang-orang yang putus asa. Selama ada manusia yang tidak menerima takdirnya, aku akan selalu ada.”
Farrel mengepalkan tangannya. “Tidak kali ini. Aku akan menghentikanmu untuk selamanya.”
Kairos menatap Farrel dengan tatapan penuh tantangan. “Kalau begitu, tunjukkan padaku bahwa kau mampu.”
Pertarungan antara mereka pun dimulai. Kairos menggunakan kekuatannya untuk menciptakan ilusi, menampilkan bayangan-bayangan masa lalu Farrel untuk melemahkan tekadnya. Tetapi kali ini, Farrel tidak terpengaruh. Ia telah menghadapi rasa bersalah dan penyesalannya. Kini, ia tidak lagi takut.
Farrel mengarahkan fokusnya pada cermin-cermin di ruangan itu. Ia menyadari bahwa cermin-cermin itu adalah sumber kekuatan Kairos, memantulkan energi dari siklus yang ia ciptakan. Dengan kekuatan tekadnya, Farrel menghancurkan satu cermin demi satu, meskipun Kairos berusaha keras untuk menghentikannya.
Ketika cermin terakhir hancur, Kairos berteriak kesakitan. Energinya mulai memudar, tubuhnya perlahan menghilang. “Kau tidak bisa menghentikan semua ini, Farrel,” ujarnya dengan suara penuh kebencian. “Akan selalu ada siklus baru.”
Farrel menatapnya dengan penuh keyakinan. “Mungkin. Tetapi aku akan memastikan bahwa kau tidak ada untuk memanfaatkannya.”
Dengan satu serangan terakhir, Farrel menghancurkan sisa energi Kairos, membuat ruangan itu runtuh.
Ketika Farrel membuka matanya lagi, ia berada di dunia nyata. Ruang Waktu Tengah telah hilang, begitu pula Kairos. Dunia kini terasa lebih tenang, seperti beban besar telah diangkat darinya.
Farrel tersenyum kecil, meskipun hatinya masih merasakan kehilangan. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang benar. Lyra mungkin tidak lagi bersamanya, tetapi ia telah membebaskan mereka berdua dari siklus yang tidak adil.
Untuk pertama kalinya, Farrel merasa bahwa hidupnya benar-benar miliknya. Dan dengan itu, ia melangkah ke masa depan yang baru, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menghantuinya.
Bab 10: Akhir atau Awal Baru
Langit senja berwarna oranye, memancarkan ketenangan di kota kecil tempat Farrel kini tinggal. Setelah semua yang ia lalui—memecahkan siklus, menghadapi masa lalunya, dan menghancurkan Kairos—Farrel merasa dunia ini akhirnya tenang. Namun, di dalam dirinya, ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Ia telah membebaskan Lyra dan dirinya sendiri, tetapi kehilangan itu tetap terasa menyakitkan.
Ia duduk di bangku taman, memandangi bunga-bunga yang bermekaran di sekitarnya. Pikiran tentang Lyra terus datang, meskipun sosoknya hanya samar-samar dalam ingatan. Yang tersisa hanyalah perasaan hangat setiap kali ia mengingat suara dan senyumnya.
Farrel mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya. Dalam beberapa minggu terakhir, ia mulai menulis kembali—bukan untuk menghidupkan kenangan lama, tetapi untuk memahami apa arti semua yang telah ia alami. Buku itu penuh dengan catatan refleksi, coretan tentang kehidupan, cinta, dan kebebasan.
Namun, hari ini terasa berbeda. Farrel merasakan sesuatu yang tak biasa, seolah-olah angin membawa pesan yang tak terucap. Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang. Dalam keheningan itu, suara yang lembut terdengar di telinganya.
“Farrel…”
Matanya terbuka lebar. Itu suara Lyra. Tapi bagaimana mungkin? Siklus sudah berakhir. Ia menoleh ke sekitar, tetapi taman itu kosong, hanya dihuni oleh beberapa burung yang berkicau di pohon.
“Apakah aku berhalusinasi?” gumamnya.
Tiba-tiba, angin berhembus kencang, membuat halaman buku catatannya terbuka. Di salah satu halaman kosong, sebuah tulisan muncul perlahan, seperti tinta yang mengalir sendiri. Tulisan itu berbunyi:
“Terima kasih, Farrel. Kau telah membebaskanku. Tetapi ini bukan akhir, melainkan awal yang baru. Selalu ingat, cinta tidak pernah benar-benar hilang. Aku akan selalu ada di suatu tempat, di dalam hatimu.”
Farrel merasakan air mata mengalir tanpa ia sadari. Pesan itu tidak hanya memberi kelegaan, tetapi juga harapan. Meski Lyra tidak lagi bersamanya secara fisik, ia tahu bahwa cinta mereka tidak pernah benar-benar hilang.
Hari-hari berlalu, dan Farrel mulai menjalani kehidupan baru. Ia bekerja di sebuah perpustakaan kecil, membantu orang-orang menemukan buku yang mereka cari. Hidupnya kini sederhana, tetapi ia menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil—sebuah kebahagiaan yang sebelumnya sulit ia pahami.
Namun, suatu hari, seorang perempuan muda masuk ke perpustakaan. Ia memiliki rambut panjang dan mata yang berbinar, seperti seseorang yang Farrel kenal, tetapi dengan aura yang berbeda. Perempuan itu tersenyum padanya.
“Maaf, apakah Anda bisa membantu saya mencari buku tentang sejarah kuno?” tanyanya.
Farrel merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam senyuman perempuan itu yang membangkitkan perasaan yang tidak asing.
“Tentu,” jawab Farrel, mencoba menutupi kegugupannya. Ia mengantar perempuan itu ke rak yang penuh dengan buku-buku kuno. Ketika ia menyerahkan buku itu, jari mereka saling bersentuhan.
Perempuan itu menatapnya dan tersenyum. “Terima kasih… Farrel, bukan?”
Farrel tertegun. “Bagaimana kau tahu namaku?”
Perempuan itu tertawa kecil. “Entahlah, rasanya aku pernah mengenalmu sebelumnya.”
Farrel tidak tahu apa yang harus ia katakan. Tetapi di dalam hatinya, ia merasakan secercah harapan baru. Mungkin ini bukan Lyra, tetapi ia merasa bahwa dunia ini telah memberinya kesempatan lain—untuk mencintai, untuk memulai kembali.
Farrel keluar dari perpustakaan sore itu, membawa senyuman di wajahnya. Angin senja meniup lembut, seolah-olah dunia mengucapkan selamat kepadanya. Ia menatap langit, merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Terima kasih, Lyra,” bisiknya pelan. “Aku akan menjalani hidup ini dengan baik, untuk kita berdua.”
Langkahnya tegap menuju masa depan, meninggalkan bayangan masa lalu yang kini telah menjadi bagian dari dirinya, tetapi tidak lagi membebaninya.
Dan dengan itu, Farrel tahu bahwa meskipun siklus telah berakhir, cinta tidak pernah benar-benar hilang. Itu selalu ada, membimbingnya menuju awal yang baru.
Bab 11: Lingkaran Kehidupan yang Baru
Tahun berlalu sejak hari ketika Farrel mengakhiri siklus reinkarnasi yang telah membelenggu hidupnya. Kini, hidupnya berjalan normal, jauh dari konflik dan penderitaan yang pernah ia alami. Perpustakaan kecil tempat ia bekerja menjadi tempat ia menemukan kedamaian, dan dalam setiap buku yang ia baca, Farrel merasa seperti sedang membangun cerita baru untuk dirinya sendiri.
Namun, di suatu pagi yang cerah, saat Farrel tengah merapikan rak buku, sebuah kejadian aneh terjadi. Salah satu buku tua jatuh dari rak tanpa alasan. Ia memungutnya dan melihat judul yang mencengangkan: “Lyra dan Siklus Takdir”. Sampulnya lusuh, tetapi ada sesuatu yang membuat Farrel tidak bisa melepaskan buku itu.
Dengan rasa penasaran, ia membuka buku tersebut. Halaman-halaman awal berisi kisah yang mirip dengan apa yang ia alami: tentang seorang pria yang terjebak dalam siklus reinkarnasi, berjuang untuk menyelamatkan cinta sejatinya. Tetapi semakin jauh ia membaca, cerita itu mulai menyimpang dari apa yang ia tahu.
Di halaman tengah buku, Farrel menemukan sesuatu yang mengejutkan—gambar sebuah cermin dengan ukiran simbol yang sama seperti yang pernah ia lihat di Kuil Takdir. Di bawah gambar itu terdapat sebuah tulisan:
“Cermin ini bukan hanya penghujung siklus, tetapi juga pintu menuju dunia yang baru. Ketika cinta dan takdir bersatu, lingkaran kehidupan dapat dimulai kembali dengan cara yang berbeda.”
Farrel memandang tulisan itu dengan mata yang membelalak. “Pintu menuju dunia yang baru?” gumamnya.
Hari itu, Farrel tidak bisa berhenti memikirkan buku itu. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, meskipun siklus reinkarnasi telah berakhir. Malam harinya, ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia berada di depan cermin yang sama, tetapi kali ini, bayangan di dalam cermin berbeda. Itu bukan dirinya—melainkan Lyra.
“Farrel…” panggil Lyra, suaranya lembut dan penuh rasa rindu.
“Lyra?” Farrel mendekati cermin itu, tetapi kakinya terasa berat. “Apa yang terjadi? Aku pikir segalanya telah berakhir.”
Lyra tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan dalam matanya. “Segalanya memang berakhir, tetapi kehidupan tidak pernah benar-benar selesai. Ada sesuatu yang lebih besar menunggumu, Farrel. Dan kali ini, aku tidak bisa membantumu. Kau harus membuat pilihan.”
Farrel mengerutkan kening. “Pilihan apa?”
Lyra menatapnya dengan penuh harapan. “Pilih untuk melanjutkan, atau memilih untuk kembali. Jika kau melanjutkan, kau akan menemukan hidup baru, cinta baru, tanpa aku. Tetapi jika kau memilih untuk kembali… kita bisa memulai semuanya lagi, meskipun itu berarti menghadapi takdir yang sama.”
Farrel terdiam, hatinya terbelah. Ia tahu apa yang telah ia korbankan untuk membebaskan mereka dari siklus. Tetapi tawaran untuk memulai kembali dengan Lyra terasa begitu menggoda.
“Lyra, aku tidak ingin kehilanganmu lagi,” ujar Farrel dengan suara pelan.
Lyra tersenyum, air mata mengalir di pipinya. “Kau tidak pernah kehilangan aku, Farrel. Aku selalu ada di hatimu. Tetapi hidupmu adalah milikmu. Aku ingin kau bahagia, apa pun pilihanmu.”
Farrel terbangun dengan napas memburu. Ia tahu mimpi itu bukan sekadar imajinasi. Itu adalah pesan—mungkin yang terakhir dari Lyra. Ia memandang buku di meja samping tempat tidurnya, halaman terbuka pada gambar cermin itu.
Hari berikutnya, Farrel memutuskan untuk kembali ke Kuil Takdir, yang kini telah menjadi reruntuhan yang sunyi. Ia membawa buku itu bersamanya, berharap menemukan jawaban yang lebih jelas. Ketika ia tiba, suasana terasa berbeda. Udara terasa lebih hangat, dan reruntuhan kuil tampak lebih hidup, seolah-olah tempat itu mengenal kehadirannya.
Di tengah altar yang dulu ia gunakan untuk menghancurkan siklus, kini berdiri sebuah cermin kecil yang bercahaya. Itu adalah cermin yang sama dalam mimpinya. Farrel mendekati cermin itu dengan hati-hati, liontin yang dulu hilang kini terasa berdenyut samar di dalam dadanya.
“Ini keputusan terakhirku,” gumamnya.
Farrel menatap cermin itu, dan sekali lagi ia melihat bayangan Lyra. Tetapi kali ini, Lyra tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatapnya dengan senyum lembut, seperti menyuruhnya untuk membuat pilihan sendiri.
Farrel mengulurkan tangannya ke cermin, menyentuh permukaannya. Dalam sekejap, ia merasakan tubuhnya ditarik ke dalam pusaran cahaya. Ketika ia membuka matanya, ia tidak lagi berada di kuil. Ia berdiri di sebuah dunia yang berbeda—lebih cerah, lebih damai.
Dan di sana, di bawah pohon besar yang rindang, berdiri Lyra. Ia tampak seperti versi baru dirinya, dengan gaun putih sederhana dan senyum yang menyambut Farrel.
“Kita punya kesempatan kedua,” ujar Lyra, suaranya penuh kehangatan.
Farrel berjalan mendekatinya, merasa hatinya penuh untuk pertama kalinya dalam hidupnya. “Apakah ini nyata?” tanyanya.
Lyra mengangguk. “Ini adalah awal yang baru. Tidak ada siklus, tidak ada takdir yang menunggu. Hanya kita, dan dunia ini.”
Farrel meraih tangannya, merasakan kehangatan yang nyata. Ia tidak tahu bagaimana ia sampai di sini, tetapi ia tahu bahwa ia telah membuat pilihan yang benar. Dunia baru ini adalah milik mereka, sebuah kehidupan di mana mereka akhirnya bisa hidup tanpa belenggu masa lalu.
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.