Novel Singkat Cinta di Balik Tirai Dimensi
Novel Singkat Cinta di Balik Tirai Dimensi

Novel Singkat: Cinta di Balik Tirai Dimensi

Aurel terus dihantui mimpi tentang Kaelan, pria dari dunia lain yang selalu muncul dalam bayangannya. Ketika ia menemukan cermin kuno, ia terseret ke Eldara—dunia penuh keajaiban dan rahasia. Namun, cinta antara Aurel dan Kaelan mengancam keseimbangan kedua dunia.

Di sisi lain, Raka, sahabat yang selalu ada, berusaha membawa kembali ke kenyataan. Terjebak di antara cinta sejati dan kenyataan, Aurel harus menghadapi pengorbanan besar untuk menentukan takdir hidup dan menjaga hati mereka yang terhubung di dua dimensi berbeda.

Bab 1: Bayangan dalam Mimpi

Udara dingin subuh menyelimuti kamar Aurel. Tirai tipis di jendela bergoyang pelan, membiarkan remang fajar menyusup masuk. Gadis itu terbangun dengan napas tersengal, wajahnya basah oleh keringat dingin. Ia meremas selimut dengan erat, seolah mencari pegangan setelah terseret dalam mimpi yang selalu sama.

Teringat samar dalam mimpinya, ia berdiri di padang luas yang berkabut. Langit di atasnya berwarna ungu temaram, dan di hadapannya berdiri seorang pria dengan tatapan penuh kehangatan, tetapi menyimpan misteri. Mata pria itu berwarna perak dengan kilauan redup seperti bulan purnama. Rambut hitamnya berantakan, namun anehnya ia terlihat begitu megah. Aurel selalu merasa jantungnya berdebar setiap kali melihatnya. Namun, seperti mimpi-mimpi sebelumnya, tepat ketika ia hendak berbicara, kabut tebal menyelimuti mereka.

“Aurel…” Suaranya lembut, namun menggema seperti angin di antara lembah.

Aurel mengerjapkan mata. Namun, sebelum ia bisa membalas, sosok itu memudar. Ia terbangun dengan rasa kehilangan yang sama.

Pagi Hari di Kafe

Aurel merapikan rambutnya dan mencoba menepis rasa gelisah. Hari ini adalah giliran kerjanya di kafe kecil tempat ia bekerja paruh waktu. Langkah kakinya terasa berat, tetapi ia berusaha tersenyum saat bel pintu berbunyi.

“Selamat pagi, Aurel!” Raka menyapanya ceria dari balik meja kasir.

Raka adalah teman terbaiknya sejak SMA—pria dengan senyum hangat dan tatapan teduh. Dengan rambut hitam pendek dan tubuh atletis, ia selalu menjadi sosok yang mudah dikenali. Banyak pelanggan wanita yang diam-diam memerhatikannya. Namun, Aurel tahu bahwa di balik pesona itu, ada seseorang yang memendam rasa untuknya sejak lama.

“Kamu kelihatan lelah lagi,” kata Raka sambil menyodorkan segelas kopi. “Mimpi itu lagi?”

Aurel tersenyum lemah dan mengangguk.

“Kali ini lebih jelas,” ujarnya pelan sambil menatap jendela kafe. “Dia… menyebut namaku.”

Raka terdiam sejenak sebelum berkata, “Mungkin kamu terlalu sering memikirkannya sampai terbawa ke alam bawah sadar.”

Aurel hanya mengangkat bahu. “Entahlah. Rasanya seperti dia… nyata.”

Raka menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Namun, rasa khawatirnya bertambah. Ia sudah lama menyimpan perasaan untuk Aurel, tapi gadis itu tampak terpaut pada sesuatu yang tidak bisa ia sentuh.

Kehadiran yang Mengusik

Sepanjang hari, Aurel merasa pikirannya melayang. Ia berusaha melayani pelanggan dengan baik, tetapi suara itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. “Aurel…” Suara itu memanggilnya dengan kelembutan yang tak biasa.

Di sela lamunan itu, Raka memperhatikan setiap gerak-geriknya. Ia tahu ada sesuatu yang mengganggu Aurel, sesuatu yang tak bisa ia pahami.

“Kau tahu,” kata Raka tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana. “Kalau aku jadi pria dalam mimpimu, aku nggak akan bikin kamu bingung. Aku akan langsung ada di sini.”

Aurel tersenyum kecil, tetapi rasa bersalah merayap di hatinya. Ia tahu Raka menyukai dirinya, tetapi ia tak ingin memberi harapan palsu.

Malam yang Aneh

Malam itu, Aurel duduk di depan cermin besar di kamarnya. Cermin itu bukan cermin kuno yang ia beli—itu hanya cermin biasa yang ada sejak kecil. Tapi kali ini, pantulan dirinya terlihat berbeda. Ia menatap bayangannya, dan tiba-tiba wajah Kaelan muncul dalam kilatan sekejap. Kaelan? Yah nama pria yang terus muncul dalam mimpinya. Aurel mengingat samar mimpinya pria itu memperkenalkan diri dan berkata namanya Kaelan.

Aurel terkejut dan mundur selangkah. Ia mengusap matanya, memastikan dirinya tidak sedang berhalusinasi. Namun, kilatan itu menghilang secepat datangnya. Ia memegang dadanya yang berdegup kencang.

Ia memutuskan untuk tidur lebih awal, berharap menemukan jawaban di alam mimpi. Dan benar saja, malam itu ia kembali bermimpi.

Pertemuan yang Menggetarkan

Di dalam mimpi itu, Kaelan berdiri lebih dekat dari sebelumnya. Ia mengenakan jubah gelap yang berkibar lembut oleh angin.

“Aurel,” ucapnya dengan suara yang begitu nyata hingga Aurel merasa dirinya tak lagi bermimpi.

“Kamu… siapa?” bisik Aurel.

Kaelan menatapnya dengan senyum yang lembut. “Namaku Kaelan.” Lagi pria itu memperkenalkan dirinya.

Hening menyelimuti mereka. Angin dingin membelai rambut Aurel, tetapi ia tidak merasakan takut. Hanya rasa penasaran dan… kerinduan yang aneh.

“Kenapa aku selalu memimpikanmu?” tanya Aurel pelan.

Kaelan mendekat dan berkata, “Karena takdir menghubungkan kita… meski ada jarak yang tak terlihat.”

Namun sebelum ia bisa melanjutkan, Aurel menangkap bayangan lain di sudut matanya. Bayangan itu berdiri di kejauhan, memperhatikan mereka dengan tatapan penuh rahasia.

Aurel terkejut ketika menyadari bahwa sosok itu… mirip Raka.

Aurel terbangun dengan keringat dingin. Namun kali ini, rasa penasaran dalam dirinya semakin dalam. Siapa sebenarnya Kaelan? Dan kenapa sosok seperti Raka muncul di dalam mimpinya?

Bab 2: Cermin di Toko Antik

Hari itu, cuaca terasa lebih dingin dari biasanya. Aurel memutuskan berjalan kaki melewati gang sempit menuju pusat kota. Ia butuh udara segar untuk mengalihkan pikirannya dari mimpi yang terus menghantui. Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa—sebuah toko antik tua yang baru saja buka.

Pintu kayunya sedikit lapuk, dan papan namanya nyaris tak terbaca karena tertutup debu. Di etalase toko, terlihat barang-barang lama dengan nuansa misterius. Ada perhiasan vintage, jam tua, hingga patung kayu kecil. Namun, yang menarik perhatian Aurel adalah sebuah cermin besar berbingkai ukiran rumit berbentuk bunga mawar dan paku duri. Cermin itu memancarkan kilauan samar meskipun ruangan sekitar redup.

“Aneh sekali,” gumam Aurel, merasa seperti cermin itu memanggilnya.

Bel pintu berbunyi ketika Aurel masuk. Bau kayu tua dan dupa samar memenuhi ruangan. Di balik meja kasir, seorang lelaki tua dengan janggut putih dan mata setajam elang duduk sambil membalik halaman sebuah buku usang.

“Kamu tertarik pada sesuatu?” tanya pria itu tanpa mengangkat kepala.

Aurel tersentak, lalu menunjuk cermin besar yang berdiri di sudut ruangan. “Cermin itu… berapa harganya?”

Pria tua itu menutup bukunya dan menatap cermin tersebut lama, seakan menimbang sesuatu. “Cermin itu bukan barang biasa, Nak. Ia membawa cerita yang panjang dan… mungkin beban.”

Aurel mengerutkan alisnya. “Beban?”

Pria itu mengangguk pelan. “Cermin ini disebut Tirai Dimensi. Konon, ia dapat menghubungkan dunia yang terpisah.”

Aurel menahan napas, merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Kata-kata pria itu seperti merangkum mimpi-mimpi yang ia alami.

“Apakah Anda tahu siapa yang dulu memilikinya?” tanya Aurel dengan suara bergetar.

Pria tua itu mengangkat bahu. “Seorang wanita bernama Araleth. Ia dipercaya sebagai penyihir yang hidup ratusan tahun lalu. Dan legenda mengatakan, ia mencintai seseorang dari dunia lain.”

Aurel terpaku, tidak mampu berkata-kata. Hatinya seakan mengerti bahwa ini bukan kebetulan.

Keputusan yang Tak Terduga

Meski cerita itu terdengar aneh dan tidak masuk akal, Aurel merasa cermin itu memiliki hubungan erat dengannya. Setelah tawar-menawar singkat, ia memutuskan membelinya dan membawa cermin itu pulang. Pria tua itu hanya menatapnya dengan sorot mata penuh peringatan.

“Sebelum kau pergi, ingatlah satu hal,” katanya sebelum Aurel keluar dari toko. “Jangan pernah berdiri di depan cermin itu saat bulan purnama jika hatimu ragu.”

Aurel hanya mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya paham maksud peringatan tersebut.

Saat tiba di apartemennya, Aurel meletakkan cermin itu di sudut kamar. Ia menatap bingkai ukirannya yang begitu detail dan indah. Namun sebelum ia bisa merenung lebih jauh, suara ketukan pintu mengagetkannya.

“Aurel? Ini aku, Raka.”

Aurel membuka pintu dan melihat wajah Raka yang tampak khawatir.

“Kenapa kamu beli barang antik kayak gitu?” tanya Raka sambil melirik cermin besar di kamar.

Aurel tersenyum tipis. “Aku nggak tahu… cermin itu seolah memanggilku.”

Raka mendekat dan menyentuh bingkai cermin. Wajahnya sedikit mengerut. “Rasanya dingin, ya?”

Aurel mengangguk. Mereka berdiri dalam keheningan, dan Aurel menangkap bayangan mereka di cermin. Namun, sesaat kemudian, bayangan Kaelan muncul di antara pantulan mereka.

Aurel terkejut dan menoleh cepat ke arah cermin, tetapi bayangan itu menghilang.

“Kenapa?” tanya Raka, bingung melihat Aurel yang tiba-tiba pucat.

Aurel menggeleng cepat. “Nggak apa-apa.”

Malam harinya, Aurel duduk di depan cermin dengan rasa cemas bercampur rasa penasaran. Peringatan pria tua itu terngiang di telinganya. Namun, suara hati Aurel terus memanggil Kaelan.

Ketika ia menatap cermin itu lebih lama, cermin tersebut tiba-tiba bergetar perlahan. Kabut lembut muncul di permukaannya. Dari balik kabut, wajah Kaelan muncul dengan jelas.

“Aurel…” bisiknya.

Aurel memejamkan mata, menahan rasa takut dan haru yang bercampur jadi satu. Ia tahu, hidupnya tidak akan sama lagi sejak hari ini.

Cermin itu bukan sekadar benda antik. Aurel menyadari bahwa ia telah membuka gerbang ke dunia lain. Namun, apa yang akan ia temui di balik tirai dimensi itu masih menjadi misteri yang penuh risiko.

Bab 3: Sosok di Balik Cermin

Pagi yang Sunyi

Mentari pagi menembus jendela kamar Aurel, menciptakan pantulan keemasan di permukaan cermin. Namun, Aurel sama sekali tak merasakan kehangatan sinar matahari. Malam sebelumnya, sosok Kaelan muncul lagi, lebih jelas daripada sebelumnya. Suaranya begitu nyata, begitu dekat. Ia terjaga hingga fajar hanya untuk memastikan bahwa itu bukan sekadar khayalan.

Aurel duduk di tepi tempat tidur, matanya menatap cermin dengan tatapan penuh tanya. Siapa sebenarnya Kaelan? Mengapa ia terperangkap di dunia yang hanya bisa ia lihat lewat pantulan cermin?

Ketukan di pintu apartemen membuyarkan lamunannya. Raka muncul dengan senyum lebar dan sekotak roti isi di tangannya.

“Pagi! Aku bawain sarapan,” ujar Raka ceria.

Aurel mencoba tersenyum. “Terima kasih, Raka.”

Namun, tatapan Raka langsung tertuju pada cermin di sudut kamar. Aura cermin itu seolah menarik perhatian siapa pun yang melihatnya.

“Aku masih nggak ngerti kenapa kamu bawa benda itu ke sini,” kata Raka sambil menaruh sarapan di meja. “Cermin itu… bikin aku nggak nyaman.”

Aurel menoleh dan menatap Raka dengan lembut. “Aku nggak bisa menjelaskannya, Rak. Tapi… ada sesuatu yang menghubungkan aku dengan cermin ini.”

Raka menghela napas. Ia duduk di sebelah Aurel dan menatapnya serius. “Kalau ada sesuatu yang bikin kamu takut atau bahaya, bilang ke aku, oke?”

Aurel mengangguk pelan. Namun, di balik kata-kata penuh perhatian Raka, ia tahu bahwa pria itu menyembunyikan sesuatu—perasaan yang lebih dalam dari sekadar rasa khawatir sebagai teman.

Setelah Raka pergi, Aurel kembali duduk di depan cermin. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengusap permukaan cermin dengan jari-jarinya. Seketika, kabut lembut kembali muncul, dan wajah Kaelan perlahan terlihat.

“Hai…” bisik Aurel, suaranya gemetar.

Kaelan tersenyum, kali ini lebih jelas daripada sebelumnya. “Kau bisa mendengarku.”

Aurel mengangguk. “Siapa kamu sebenarnya?”

Kaelan menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab. “Aku berasal dari Eldara, dunia di balik tirai dimensi ini. Sudah lama aku terperangkap di sini. Dan entah kenapa, hanya kau yang bisa melihatku.”

Aurel menggigit bibirnya, mencoba mencerna semua yang ia dengar. “Kenapa aku?”

Kaelan tersenyum sendu. “Karena kau… adalah bagian dari takdir yang terhubung denganku.”

Kaelan mulai menceritakan kehidupannya. Ia adalah seorang penjaga pelindung dimensi yang ditugaskan menjaga keseimbangan antara dunia Eldara dan dunia manusia. Namun, sesuatu terjadi bertahun-tahun lalu. Seorang wanita dari dunia manusia pernah jatuh cinta padanya, dan cintanya membuat pintu antara dua dunia retak.

“Wanita itu adalah Araleth,” ucap Kaelan dengan suara penuh penyesalan.

Aurel tertegun. Nama itu sama dengan yang disebutkan oleh pria tua di toko antik.

“Araleth menyerahkan segalanya untukku,” lanjut Kaelan. “Tapi pengorbanannya memicu kutukan yang membuatku terperangkap di sini. Aku tak bisa kembali, dan cermin ini menjadi satu-satunya penghubung.”

Bayangan Raka di Antara Mereka

Di tengah percakapan itu, bayangan lain mulai muncul samar di permukaan cermin. Kali ini, bukan hanya Kaelan. Bayangan itu terlihat lebih buram, tetapi Aurel mengenali sosoknya. Itu Raka—tatapannya redup, penuh kesedihan.

Aurel terdiam. “Kenapa Raka ada di sini?” bisiknya.

Kaelan menatap bayangan itu dengan mata tajam. “Dia… memikirkanmu terlalu dalam. Ketika seseorang mencintai seseorang yang terhubung dengan dunia paralel, pikirannya bisa merambat ke dimensi ini.”

Aurel menutup mulutnya dengan tangan, terkejut mendengar penjelasan Kaelan.

“Raka…” ucapnya pelan.

Aurel kini sadar bahwa ia berada di antara dua cinta yang berbeda. Kaelan, sosok misterius dari dunia lain yang selalu ia impikan, dan Raka, pria nyata yang selalu ada di sisinya di dunia ini.

Namun, Aurel tahu satu hal—hubungannya dengan Kaelan tidak akan pernah mudah. Terlalu banyak rahasia dan kutukan yang melibatkan dunia mereka.

Kaelan menatap Aurel dengan tatapan penuh harapan. “Aurel, apa pun yang terjadi, aku akan melindungimu.”

Mata Aurel memanas, tetapi ia tersenyum tipis. “Tapi… siapa yang akan melindungimu?”

Di balik pantulan cermin, takdir mulai bergerak. Bayangan cinta yang tak terucap dan rahasia yang belum terungkap perlahan menarik Aurel lebih dalam ke dunia di antara dua dimensi.

Bab 4: Dunia yang Terbelah Dimensi

Malam itu, Aurel memutuskan untuk tidur lebih awal meskipun pikirannya penuh dengan tanya. Ia berharap bisa bertemu Kaelan lagi di alam mimpi. Dan tepat seperti dugaannya, ia kembali berdiri di padang kabut ungu itu.

Namun kali ini, Kaelan menunggunya dengan ekspresi yang lebih serius. Di belakangnya, Aurel melihat pemandangan luar biasa—sebuah dunia dengan gunung kristal yang berkilauan, pohon-pohon bercahaya biru, dan sungai yang memancarkan sinar keperakan. Itu adalah dunia Eldara.

“Ini… indah sekali,” bisik Aurel dengan mata terbelalak.

Kaelan tersenyum tipis. “Ini rumahku. Eldara.”

Aurel terdiam, terpesona oleh keindahan dunia yang terlihat seperti lukisan hidup. Namun keindahan itu menyimpan aura kelam yang tersembunyi.

“Kenapa aku bisa melihat semua ini?” tanya Aurel.

Kaelan menatapnya lama sebelum menjawab. “Karena takdirmu bukan sekadar kebetulan. Cermin itu bukan hanya portal, tapi jembatan antara dua jiwa yang saling terhubung.”

Kaelan mulai menjelaskan tentang dunia Eldara. Dunia itu tidak seperti dunia manusia. Di Eldara, waktu mengalir dengan cara yang berbeda. Ada makhluk-makhluk magis yang menjaga keseimbangan dimensi, tetapi ada juga kekuatan yang mengancamnya.

Kaelan menjelaskan bahwa ia pernah menjadi penjaga dimensi sebelum Araleth mengorbankan dirinya. Namun sejak pengorbanan itu, batas antara Eldara dan dunia manusia melemah, menciptakan celah yang membuat Kaelan terjebak di antara kedua dunia.

“Tapi ada yang lebih berbahaya daripada retakan dimensi ini,” lanjut Kaelan. “Sang Penjaga Bayang tidak akan tinggal diam jika tahu kau terhubung denganku. Mereka menganggap hubungan antar dimensi sebagai pelanggaran yang harus dihukum.”

Aurel bergidik. “Apa yang akan terjadi jika mereka tahu?”

Kaelan menatapnya penuh kekhawatiran. “Kau akan dihancurkan… atau dilupakan oleh dunia ini.”

Aurel terbangun dengan keringat dingin membasahi pelipisnya. Sinar bulan purnama mengintip dari balik tirai kamarnya, dan bayangan cermin terlihat begitu nyata, seolah memanggilnya untuk kembali.

Ketukan pintu terdengar. Aurel membuka pintu dan menemukan Raka berdiri di sana, wajahnya penuh kecemasan.

“Aku tahu ini aneh,” kata Raka tanpa basa-basi. “Tapi… aku mimpi buruk tentang kamu. Seperti ada yang mencoba menarikmu menjauh dariku.”

Aurel terdiam. Mimpi Raka dan bayangan yang ia lihat di cermin membuatnya sadar bahwa Raka terhubung lebih dalam dengan dirinya daripada yang ia sadari.

“Aku nggak ngerti, Rak…” bisik Aurel, suaranya gemetar.

Raka menghela napas panjang. “Aurel, aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi aku nggak mau kehilangan kamu.”

Aurel menatap Raka dengan tatapan bimbang. “Aku juga nggak tahu harus gimana. Ada sesuatu… atau seseorang yang membuatku merasa seperti terbelah dua.”

Raka mengepalkan tangan, menahan rasa sakit. “Apapun itu, aku akan tetap di sini.”

Tirai Dimensi yang Mulai Retak

Saat Raka pulang, Aurel kembali berdiri di depan cermin. Permukaannya terasa dingin seperti es. Ia menyentuhnya, dan kilauan cahaya biru muncul di sekitar cermin. Tiba-tiba, sebuah retakan kecil terbentuk di permukaan, memancarkan sinar redup seperti bintang pecah.

Dari retakan itu, Aurel bisa melihat Kaelan berdiri di balik kabut.

“Aurel, waktumu tidak banyak,” suara Kaelan terdengar putus asa. “Eldara semakin melemah. Jika dunia ini hancur, kau juga akan ikut terseret.”

Air mata mengalir di pipi Aurel. “Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku nggak bisa meninggalkan semuanya.”

Kaelan menggenggam tangan Aurel dari balik cermin, meski mereka terpisahkan kaca yang dingin. “Aurel, aku akan mencari cara agar kau tetap aman… meski aku harus mengorbankan diriku.”

Namun, saat genggaman mereka bertahan beberapa detik lebih lama, Aurel melihat bayangan gelap mulai muncul di kejauhan. Kabut menjadi lebih pekat, dan suara angin terdengar seperti bisikan yang penuh amarah.

“Itu mereka,” bisik Kaelan, wajahnya penuh ketakutan.

Aurel merasakan ketakutan merambat di seluruh tubuhnya. Penjaga Bayang akhirnya menemukan mereka.

Kaelan memandangnya dengan sorot mata penuh kesedihan. “Kita harus mengakhiri ini sebelum mereka menghancurkanmu.”

Aurel menyadari bahwa ia terjebak di antara dua dunia yang saling bertarung untuk mempertahankan keseimbangan. Di satu sisi, ada Kaelan yang mencintainya dan dunia penuh keajaiban Eldara. Di sisi lain, ada Raka yang mencintainya di dunia nyata. Cinta dan takdirnya bergantung pada keputusannya. Namun, ancaman dari Penjaga Bayang membuat waktu mereka semakin menipis.

Bab 5: Pesan dari Masa Lalu

Keesokan harinya, Aurel duduk termenung di hadapan cermin besar yang kini memiliki retakan halus di permukaannya. Jari-jarinya menyentuh bingkai ukiran cermin, dan tanpa sengaja, ia merasakan sesuatu yang longgar di sudut bingkai. Penasaran, ia menarik bagian itu dan menemukan sebuah gulungan kertas tua yang tersembunyi di dalamnya.

Dengan hati-hati, ia membuka gulungan tersebut. Tulisannya berwarna kecokelatan, seolah sudah menua termakan waktu. Tulisan tangan itu rapi namun penuh emosi.

Isi Surat:
“Untuk yang menemukan cermin ini, ketahuilah bahwa cinta yang kau jalani tidak akan mudah. Aku adalah Araleth, wanita yang kehilangan segalanya demi seseorang dari Eldara. Dunia kita tidak pernah dirancang untuk bersatu. Namun, jika kau tetap bertahan, maka kau harus siap mengorbankan sesuatu yang paling berharga.”

Aurel membaca surat itu dengan tangan gemetar. Nama Araleth kini bukan hanya legenda dari cerita Kaelan—ia nyata. Surat ini menjadi bukti bahwa ada seseorang yang pernah merasakan hal yang sama dengannya.

“Pengorbanan…” bisik Aurel pelan.

Kehadiran Raka di Waktu yang Tepat

Ketukan di pintu mengagetkan Aurel. Ia buru-buru menyembunyikan surat itu sebelum membuka pintu dan melihat Raka berdiri dengan wajah penuh rasa khawatir.

“Kamu nggak apa-apa? Aku lewat sini tadi dan ngerasa kamu nggak terlihat baik,” ujar Raka sambil masuk tanpa menunggu izin.

Aurel mencoba tersenyum, meskipun jelas terlihat raut wajahnya masih tegang. “Aku baik-baik aja, cuma… terlalu banyak yang kupikirkan.”

Raka menatap Aurel dalam-dalam, lalu duduk di sofa kecil di sampingnya. “Kamu tahu kamu bisa cerita apa aja ke aku, kan?”

Aurel mengangguk pelan. Ia tahu Raka tulus, tetapi ada sesuatu dalam hatinya yang tak bisa diungkapkan dengan mudah. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa dirinya terjebak antara dunia nyata dan dunia Eldara?

Kenangan Araleth dan Pengorbanan Kaelan

Saat malam tiba, Aurel kembali duduk di depan cermin, memegang surat Araleth di tangannya. Ia memanggil Kaelan dengan suara lembut. Seketika, bayangan Kaelan muncul di balik cermin, wajahnya muram tetapi penuh ketegasan.

“Aurel, kau menemukan suratnya?” tanya Kaelan dengan nada rendah.

Aurel mengangguk. “Dia… benar-benar ada. Araleth. Dia mencintaimu, bukan?”

Kaelan menghela napas panjang, tatapannya penuh luka lama. “Ya. Araleth adalah wanita yang sangat aku cintai. Tapi dia mengorbankan segalanya agar aku tetap hidup.”

Aurel menunduk, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Apakah aku akan bernasib sama seperti dia?”

Kaelan mendekat ke permukaan cermin, menatap Aurel dengan penuh kepedihan. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.”

Namun, sebelum percakapan mereka selesai, permukaan cermin bergetar hebat. Kabut tebal menyelimuti pantulan Kaelan, dan sosok lain mulai terlihat—bayangan seseorang yang sangat dikenali Aurel. Itu Raka.

“Kenapa Raka ada di sini?” tanya Aurel, panik.

Kaelan mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Pikirannya sudah terseret lebih dalam. Hatinya terlalu kuat mengingatmu, dan itu menariknya ke Eldara.”

Aurel merasa seluruh tubuhnya bergetar. Ini lebih dari sekadar cinta segitiga—ini adalah koneksi jiwa yang dapat menghancurkan batas antara dua dunia.

Sebuah Keputusan yang Berat

Kaelan memandang Aurel dengan tatapan penuh rasa bersalah. “Aurel, jika ini terus terjadi, bukan hanya aku yang akan terperangkap. Raka juga bisa terseret ke sini. Dan jika dia masuk ke Eldara… dia mungkin tidak akan pernah bisa kembali.”

Aurel membekap mulutnya. Pikiran kehilangan Raka membuat dadanya terasa sesak. Namun, meninggalkan Kaelan juga terasa seperti menghancurkan bagian terpenting dalam dirinya.

“Aku… harus memilih?” bisik Aurel dengan suara parau.

Kaelan mengangguk pelan. “Kau tidak bisa menyelamatkan kami berdua.”

Surat Araleth menjadi peringatan bahwa cinta antar dimensi selalu memiliki harga yang mahal. Namun, Aurel belum siap menerima kenyataan bahwa ia harus membuat pilihan. Di satu sisi, ada Kaelan yang memberinya dunia penuh keajaiban. Di sisi lain, ada Raka yang selalu menjaganya di dunia nyata. Namun, waktu terus berjalan, dan bayangan Penjaga Bayang semakin dekat.

Bab 6: Simfoni Rahasia Eldara

Aurel duduk di depan cermin selama beberapa menit, menatap retakan halus yang kini terasa seperti simbol kebimbangan hatinya. Di dunia nyata, Raka selalu ada untuknya, menjadi sandaran di saat segalanya terasa berat. Namun, di balik cermin itu, Kaelan memanggil jiwanya dengan kekuatan yang sulit ia jelaskan.

Satu-satunya jalan untuk menemukan kebenaran adalah melangkah lebih jauh.

“Aku ingin melihat Eldara,” bisik Aurel.

Mata Kaelan melebar sejenak. “Itu berbahaya. Eldara tidak seperti dunia manusia. Begitu kau masuk, kau mungkin tidak bisa kembali.”

Aurel menegakkan tubuhnya, menatap Kaelan penuh keyakinan. “Kalau aku terus diam, aku akan kehilangan keduanya. Tunjukkan padaku jalan ke Eldara.”

Kaelan menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi kau harus percaya padaku sepenuhnya.”

Perjalanan Melintasi Tirai Dimensi

Kaelan mengangkat tangannya ke permukaan cermin, dan retakan itu mulai bersinar seperti untaian bintang yang membentuk jembatan cahaya. Aurel merasa tubuhnya ditarik oleh pusaran lembut yang menghisap seluruh kesadarannya.

Ia terjatuh ke padang rumput yang luas dan berkilauan, persis seperti yang ia lihat dalam mimpi. Di kejauhan, gunung kristal memantulkan sinar jingga matahari Eldara. Angin sejuk membawa aroma bunga-bunga bercahaya biru yang mekar di sekitar mereka.

“Eldara…” Aurel memandang takjub. “Dunia ini… seperti mimpi yang menjadi nyata.”

Kaelan tersenyum tipis. “Tapi jangan terlena. Di sini, waktu berjalan dengan cara yang berbeda.”

Saat mereka berjalan, suara lembut seperti alunan musik terdengar di udara. Suara itu indah tetapi membawa rasa sedih yang mendalam.

“Itu suara mereka,” kata Kaelan sambil menunjuk ke arah hutan kecil di depan mereka. “Pohon-pohon penyimpan kenangan leluhur kami. Mereka mengalunkan simfoni dari semua perasaan yang pernah ada—cinta, kehilangan, pengorbanan.”

Aurel berhenti sejenak, membiarkan alunan itu mengisi telinganya. Seolah suara itu mengisahkan cerita tentang Araleth dan Kaelan—sebuah kisah cinta yang penuh luka.

Namun, di sela-sela keindahan itu, Aurel merasakan sesuatu yang mengawasi mereka dari balik bayangan pohon.

Tiba-tiba, kabut tipis mengelilingi mereka. Dari balik kabut, muncul seorang pria tua berjubah ungu dengan tongkat kristal di tangannya. Matanya bercahaya keemasan, dan senyumnya penuh teka-teki.

“Kaelan, akhirnya kau kembali,” ujarnya dengan nada berat. “Dan kau membawa seorang manusia…”

Kaelan berdiri di depan Aurel, melindunginya. “Elydrin, kami membutuhkan bantuanmu.”

Elydrin mengangkat alisnya. “Kau tahu risikonya. Menghubungkan manusia dan Eldara akan mengundang Penjaga Bayang. Apa kau siap mengorbankan segalanya lagi, Kaelan?”

Kaelan mengangguk tegas. “Aku akan melakukan apa pun agar Aurel tetap aman.”

Aurel maju selangkah, menatap Elydrin. “Jika ada cara untuk menyelamatkan Eldara tanpa kehilangan siapa pun… aku ingin mengetahuinya.”

Elydrin menatap Aurel dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. “Ada satu cara… tetapi itu melibatkan sesuatu yang tidak pernah berhasil sebelumnya.”

Ritual Simfoni Jiwa

Elydrin menjelaskan tentang “Simfoni Jiwa”—ritual kuno yang dapat menyatukan dunia manusia dan Eldara, tetapi hanya jika jiwa manusia memiliki kekuatan cinta yang cukup kuat untuk menahan retakan dimensi.

“Namun, hanya ada satu manusia yang pernah mencoba… dan gagal,” ujar Elydrin sambil menatap Kaelan.

Aurel merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Araleth?” tanyanya pelan.

Elydrin mengangguk. “Dia terlalu banyak mengorbankan dirinya hingga jiwanya hancur.”

“Ritual ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga kepercayaan dan pengorbanan,” lanjut Elydrin. “Jika ada keraguan di hati kalian, retakan itu akan menelan kalian berdua.”

Aurel menatap Kaelan, dan Kaelan menatap balik dengan keyakinan. Namun, di sudut hatinya, bayangan Raka muncul. Raka yang selalu ada di sisinya, yang mencintainya tanpa syarat di dunia nyata.

“Apa yang terjadi jika aku gagal?” tanya Aurel.

Elydrin menatapnya serius. “Jiwamu akan terbelah. Kau tidak akan bisa kembali ke dunia mana pun.”

Aurel berdiri di persimpangan yang penuh risiko. Eldara menawarkan keajaiban yang tak bisa ia temukan di dunia nyata, tetapi cinta dan kesetiaan Raka terus memanggilnya dari jauh. Ritual Simfoni Jiwa bisa menjadi jawaban atas segalanya… atau menjadi akhir dari kisah cintanya dengan Kaelan dan dunianya sendiri.

Bab 7: Retakan di Antara Dua Dunia

Hari mulai gelap di Eldara, dan suasana menjadi semakin sunyi. Aurel dan Kaelan berdiri di depan Elydrin, merenungkan ritual “Simfoni Jiwa” yang baru saja dijelaskan. Namun, di dalam hati Aurel, keraguan mulai muncul.

Bayangan Raka kembali menghantuinya. Ia mengingat wajahnya yang selalu tersenyum dan tatapan penuh perhatian setiap kali mereka berbicara. Meski Aurel merasa terhubung dengan Kaelan, ia tidak bisa memungkiri bahwa Raka adalah bagian besar dari hidupnya di dunia nyata.

Elydrin menatap Aurel dengan sorot mata tajam, seolah bisa membaca pikirannya. “Keraguan adalah musuh terbesar dalam ritual ini, Aurel. Kau harus yakin pada pilihanmu.”

Kaelan menggenggam tangan Aurel dari balik cermin magis yang memisahkan mereka. “Aku tahu ini berat. Tapi aku percaya padamu.”

Kehadiran Sang Penjaga Bayang

Malam itu, saat mereka beristirahat di padang rumput Eldara, suara angin berubah menjadi bisikan yang menakutkan. Kaelan terbangun dengan insting tajamnya. Ia mendapati kabut gelap perlahan mendekat, membawa hawa dingin yang mematikan.

“Mereka datang,” gumam Kaelan, wajahnya memucat.

Aurel terbangun dan melihat sosok-sosok hitam melayang di udara, mata mereka berkilauan merah seperti bara api. Elydrin segera muncul dengan tongkat kristalnya, menciptakan penghalang pelindung di sekitar mereka.

“Penjaga Bayang tidak akan membiarkanmu melanggar aturan dimensi ini, Aurel!” seru Elydrin. “Mereka bisa merasakan kelemahanmu.”

Aurel merasa tubuhnya gemetar. Sosok-sosok itu mengelilingi mereka, mengintimidasi dengan suara serak yang menggema di udara.

“Manusia tidak seharusnya berada di sini,” ujar salah satu Penjaga Bayang. “Kau telah melanggar aturan dan harus membayar harga.”

Kaelan berdiri di depan Aurel, melindunginya dengan tubuhnya. “Dia tidak bersalah. Jika kalian ingin seseorang untuk dihukum, hukum aku!”

Namun, Penjaga Bayang hanya tertawa. “Kau bukan lagi penjaga dimensi, Kaelan. Kau adalah penyebab retakan ini. Dan gadis itu adalah ancaman bagi keseimbangan dunia kita.”

Di tengah ketegangan, Aurel merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Retakan kecil di hatinya—keraguan antara memilih Kaelan atau kembali ke dunia nyata bersama Raka—mulai memengaruhi cermin yang menghubungkan mereka.

Cermin di Eldara mulai bergetar hebat, dan retakan yang sebelumnya kecil kini menyebar dengan cepat.

“Aurel, kau harus segera membuat keputusan!” teriak Elydrin.

Aurel berdiri di antara dua pilihan: menyerahkan dirinya kepada Penjaga Bayang untuk menyelamatkan Eldara, atau kembali ke dunia nyata dan melupakan semuanya. Namun, hatinya menolak keduanya.

“Aku tidak bisa memilih!” serunya putus asa.

Kemunculan Raka di Eldara

Tiba-tiba, retakan cermin memancarkan cahaya terang, dan sosok Raka muncul dari dalamnya. Ia tampak kebingungan tetapi segera menyadari keberadaan Aurel.

“Aurel! Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di sini?” teriak Raka, wajahnya penuh kebingungan dan ketakutan.

Kaelan terkejut melihat Raka. “Dia tidak seharusnya berada di sini!”

Elydrin memegang tongkatnya dengan erat. “Ini karena koneksi jiwamu, Aurel. Kau membawa pikirannya ke Eldara karena hatimu terbelah antara dia dan Kaelan!”

Penjaga Bayang semakin mendekat, terlihat puas dengan kekacauan yang terjadi. “Manusia lain ini membuat segalanya lebih mudah. Kami akan menghancurkan kalian semua untuk mengembalikan keseimbangan.”

Kaelan maju ke depan, menatap Elydrin dengan tatapan penuh tekad. “Apa ada cara untuk menyelamatkan mereka?”

Elydrin terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. “Kau bisa menyerahkan energimu kepada cermin. Itu akan memutus koneksi antara kedua dunia, tetapi kau tidak akan bertahan.”

Aurel terkejut. “Tidak! Kau tidak bisa melakukannya, Kaelan!”

Kaelan menoleh padanya, senyumnya penuh kepedihan. “Ini satu-satunya cara. Kau layak hidup dengan bahagia, Aurel. Dan Raka… dia selalu mencintaimu lebih dari apa pun.”

Air mata mengalir di pipi Aurel. Ia ingin menghentikannya, tetapi cermin semakin tidak stabil. Kaelan meletakkan tangannya di permukaan cermin, memulai ritual terakhir.

Cahaya dari cermin menyelimuti Eldara, mengusir Penjaga Bayang dan menutup retakan antara dua dunia. Namun, ketika cahaya itu memudar, Kaelan menghilang bersama Eldara yang perlahan memudar dari pandangan Aurel.

Aurel dan Raka terbangun di dunia nyata, tetapi hati Aurel terasa hampa. Ia tahu bahwa Kaelan telah memberikan segalanya untuk menyelamatkan mereka, tetapi cinta dan pengorbanannya akan tetap hidup di dalam hatinya selamanya.

Bab 8: Pengorbanan Sang Penjaga Waktu

Aurel terbangun di kamar apartemennya dengan tubuh lemah dan kepala yang masih berdenyut. Ia menatap sekeliling—tidak ada jejak Eldara, tidak ada cahaya cermin yang bersinar, dan yang paling menyakitkan, tidak ada Kaelan.

Di sampingnya, Raka duduk dengan wajah penuh kecemasan. “Aurel, kamu baik-baik saja?”

Aurel hanya mampu mengangguk pelan. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu segalanya tidak akan pernah sama lagi. Pengorbanan Kaelan membayangi pikirannya. Dia tidak hanya menghilang—dia menyerahkan segalanya demi menyelamatkan dirinya dan Raka.

“Kaelan…” bisiknya dengan suara parau.

Raka tertegun mendengar nama itu. Ia tahu bahwa di balik raut lelah Aurel, ada luka yang dalam—luka yang tidak bisa ia sembuhkan hanya dengan kata-kata penghiburan.

Hari-hari yang Sepi

Waktu berlalu, tetapi Aurel merasa terjebak dalam kehampaan. Ia mencoba kembali menjalani rutinitasnya—bekerja di kafe, bertemu Raka, berbicara seperti biasa—namun pikirannya selalu kembali ke Eldara dan Kaelan.

Raka tetap berada di sisinya dengan penuh kesabaran. Ia tahu Aurel masih mencintai seseorang yang tidak ada di dunia ini. Meskipun menyakitkan, Raka memilih untuk tetap bertahan karena cintanya pada Aurel.

“Aku nggak akan pergi ke mana-mana, Aurel,” ujar Raka suatu hari. “Walaupun kamu masih mengingat dia, aku akan tetap di sini.”

Aurel menatap Raka dengan air mata di sudut matanya. Ia tahu bahwa Raka tulus, tetapi hatinya terbelah.

Suatu malam, saat Aurel duduk sendiri di kamarnya, sebuah angin dingin menyapu ruangan. Tirai bergerak pelan, dan suara lembut yang begitu dikenal Aurel berbisik di telinganya.

“Aurel…”

Aurel terperanjat dan menoleh ke arah cermin yang kini retaknya sudah hilang. Namun, permukaannya tetap terlihat kosong. Ia merasakan kehadiran Kaelan, tetapi tidak bisa melihat sosoknya.

“Kaelan?!” Aurel memanggil dengan suara gemetar.

Namun, yang ia dapatkan hanyalah keheningan.

Ketika Aurel hampir menyerah, tiba-tiba cahaya lembut muncul di permukaan cermin. Bayangan Elydrin terlihat samar, memancarkan aura tenang.

“Aurel…” suaranya terdengar lembut namun penuh wibawa.

Aurel menatap cermin dengan mata membelalak. “Elydrin? Apa yang terjadi? Kaelan… dia benar-benar hilang?”

Elydrin mengangguk perlahan. “Kaelan telah melakukan pengorbanan besar untuk melindungimu. Tetapi kau harus tahu, cinta yang begitu kuat tidak akan pernah hilang sepenuhnya.”

Aurel menggenggam dadanya yang terasa sesak. “Apakah aku akan bertemu dengannya lagi?”

Elydrin menatapnya dengan penuh rasa simpati. “Waktu dan ruang bisa memisahkan tubuh, tetapi jiwa yang terikat oleh cinta sejati akan selalu menemukan jalannya.”

Setelah pesan Elydrin menghilang, Aurel berdiri di depan cermin untuk waktu yang lama. Ia menyadari satu hal—Kaelan tidak benar-benar pergi. Keberaniannya, cintanya, dan pengorbanannya akan selalu hidup dalam dirinya.

Keesokan harinya, Aurel memutuskan untuk menjalani hidupnya dengan cara yang baru. Ia membuka lembaran baru, bukan untuk melupakan, tetapi untuk menghormati apa yang telah Kaelan lakukan.

Raka dan Cinta yang Tersisa

Raka tetap setia di sisi Aurel, meskipun ia tahu Aurel masih merindukan Kaelan. Namun, ia tidak memaksakan apa pun.

“Aku nggak meminta kamu melupakan apa yang sudah terjadi,” kata Raka suatu malam. “Tapi aku harap… aku bisa menjadi alasan kamu bertahan di sini.”

Aurel tersenyum kecil. “Kamu selalu jadi alasanku bertahan, Raka.”

Namun, dalam hatinya, Aurel tahu bahwa Raka bukan pengganti Kaelan. Cinta mereka berbeda, tapi bukan berarti salah satu lebih rendah dari yang lain.

Aurel akhirnya menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidupnya. Meskipun ia kehilangan Kaelan di dunia nyata, ia percaya bahwa suatu saat, entah bagaimana, mereka akan bertemu lagi. Di dunia mana pun, di dimensi apa pun, cinta sejati mereka akan menemukan jalannya.

Bab 9: Antara Cinta dan Keabadian

Langkah yang Penuh Kenangan

Waktu berjalan, tetapi bayangan Kaelan tidak pernah benar-benar hilang dari hati Aurel. Meski ia berusaha melanjutkan hidup, setiap sudut kota mengingatkannya pada kenangan yang tidak pernah terjadi di dunia nyata—hanya ada di Eldara dan mimpinya.

Raka tetap mendampingi Aurel dengan kesabaran yang luar biasa. Mereka sering berjalan di taman bersama, berbicara tentang mimpi dan masa depan. Namun, di antara tawa mereka, selalu ada keheningan yang menggantung—sebuah jarak yang tak kasat mata.

Suatu sore, Aurel berkata dengan suara pelan, “Raka, aku lelah membohongi diriku sendiri.”

Raka menghentikan langkahnya. “Apa maksudmu?”

Aurel menghela napas panjang. “Hatiku masih berada di dua tempat yang berbeda. Aku mencintaimu… tapi sebagian diriku tidak bisa meninggalkan Kaelan.”

Raka terdiam. Ia menundukkan kepala, merasakan perih yang sudah ia duga sejak lama.

Malam itu, Aurel kembali duduk di depan cermin yang kini terlihat tenang tanpa retakan. Ia menatap bayangannya sendiri, bertanya-tanya apakah Kaelan masih bisa merasakan keberadaannya.

Tiba-tiba, sebuah getaran halus terasa, dan cermin mulai berkilau lembut seperti cahaya bintang. Suara Kaelan kembali terdengar, sangat pelan namun jelas.

“Aurel…”

Air mata mengalir di pipi Aurel. “Kaelan, apakah kau ada di sana?”

“Selalu,” bisik suara itu. “Cinta sejati tidak terikat oleh waktu atau dunia. Aku akan selalu menjadi bagian dari hidupmu.”

Aurel menyentuh permukaan cermin dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia tidak akan bisa bertemu Kaelan seperti dulu, tetapi cintanya tetap hidup di dalam jiwanya.

Pilihan di Persimpangan Takdir

Keesokan harinya, Aurel bertemu Raka di kafe tempat mereka biasa bertemu. Raka menatap Aurel dengan tatapan penuh kejujuran dan cinta.

“Aku tahu apa yang kamu rasakan,” ucap Raka dengan suara lembut. “Aku tahu aku tidak bisa menghapus jejak Kaelan dalam hidupmu. Tapi aku tidak akan pernah memaksamu untuk memilih.”

Aurel terdiam, menatap Raka yang selalu menerima dirinya apa adanya. Di dalam hatinya, ia tahu Raka adalah seseorang yang pantas mendapatkan cinta yang utuh, bukan cinta yang terbelah dua.

“Raka, kamu pantas mendapatkan seseorang yang bisa mencintaimu sepenuhnya… bukan seseorang yang masih terjebak dalam bayangan cinta masa lalu,” bisik Aurel.

Raka tersenyum pahit, tetapi matanya tidak menyiratkan penyesalan. “Mungkin kamu benar. Tapi aku tetap memilih untuk ada di sini, bersamamu, meskipun bayangannya selalu ada.”

Cahaya Baru di Ujung Dimensi
Di malam yang sama, Aurel berdiri di depan cermin sekali lagi. Kali ini, ia tidak lagi merasakan kesedihan yang menusuk—hanya rasa tenang yang mengalir di hatinya.

“Aku akan selalu mencintaimu, Kaelan,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus hidup di dunia ini. Karena itu adalah keinginan terakhirmu.”

Cermin memantulkan kilauan lembut, seolah-olah Kaelan mendengar dan merestui keputusannya.

Beberapa minggu kemudian, Aurel memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat yang selalu ingin ia kunjungi—sebuah puncak bukit di luar kota yang penuh dengan bunga liar. Tempat itu terasa seperti tempat di mana dunia nyata dan Eldara hampir bersinggungan.

Ia duduk di sana sambil menikmati hembusan angin dan suara alam. Perlahan, Aurel mulai merasa damai. Meski Kaelan tidak ada secara fisik, ia selalu merasa kehadiran sosoknya di setiap keindahan dunia.

Di sisi lain, Raka memutuskan untuk memberikan Aurel waktu dan ruang yang ia butuhkan. Meskipun rasa cintanya tidak berubah, ia sadar bahwa kebahagiaan Aurel adalah hal terpenting.

Aurel tidak lagi merasa terjebak di antara dua dunia. Ia memilih untuk menjalani hidupnya sepenuh hati, menghargai kenangan bersama Kaelan tanpa melupakan cinta tulus Raka. Di tengah pilihan yang sulit, ia menyadari bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki—kadang cinta sejati berarti merelakan dan tetap melangkah ke depan dengan keikhlasan.

Bab 10: Cinta di Ujung Dimensi

Hari Baru, Langkah Baru

Beberapa bulan berlalu sejak malam ketika Aurel berdiri di depan cermin dan mengucapkan selamat tinggal pada Kaelan. Meski rasa kehilangan itu tidak pernah sepenuhnya hilang, ia mulai belajar bahwa cinta sejati bukan selalu soal kebersamaan, tetapi tentang merelakan dan menghargai momen yang pernah ada.

Pagi itu, Aurel bangun dengan hati yang lebih ringan. Matahari pagi menyinari kamarnya, menyusup lembut di sela-sela tirai. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian yang sudah lama ia lupakan.

Ketika ia bersiap menuju kafe, Raka sudah menunggu di depan pintu dengan senyum khasnya. “Siap untuk hari baru?” tanyanya ceria.

Aurel membalas senyum itu. “Siap.”

Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan kecil menuju kafe. Meski hubungan mereka tidak seperti dulu—tanpa rasa canggung atau keharusan memberi harapan—kehadiran Raka tetap menjadi penguat bagi Aurel.

Namun, di dalam dirinya, ada sesuatu yang berbisik lembut. Sebuah harapan kecil yang mengatakan bahwa Kaelan tetap ada di suatu tempat, memandangnya dengan senyum lembut seperti biasa.

Tiba-tiba, ia mendengar suara lembut yang bergema di telinganya, seperti bisikan yang dibawa angin.

“Aurel…”

Suara itu sangat familiar. Ia membeku sejenak, lalu berdiri dan berputar mengelilingi bukit. “Kaelan?” panggilnya dengan suara bergetar.

Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya angin yang berhembus lembut. Namun, ia tahu suara itu nyata—bukan ilusi atau angan-angan semata.

“Jika kau mendengarku… aku baik-baik saja,” bisik Aurel, membiarkan air matanya mengalir. “Aku hidup seperti yang kau inginkan.”

Ia menutup matanya, membayangkan sosok Kaelan berdiri di sisinya, tersenyum penuh kehangatan.

Merasa tertarik, Aurel mengajak Raka untuk pergi bersamanya ke acara itu. Di dalam galeri, Aurel menemukan banyak benda antik—lukisan kuno, perhiasan berhias batu langka, dan patung-patung unik. Namun, di sudut ruangan, sesuatu menarik perhatiannya—sebuah cermin besar dengan bingkai yang mirip dengan cermin yang dulu ia miliki.

Aurel terpaku di tempatnya. Jantungnya berdegup kencang. Raka yang melihat perubahan wajah Aurel segera menghampirinya.

“Ada apa, Aurel?” tanyanya khawatir.

Aurel menggeleng, meskipun hatinya yakin bahwa cermin itu memiliki koneksi dengan Eldara. Ia mendekat, menyentuh permukaannya dengan lembut. Tidak ada kilauan cahaya atau suara bisikan, tetapi kehangatan yang familier mengalir dari cermin tersebut.

Aurel tertegun. Sosok itu… sangat mirip dengan Kaelan.

“Aurel?” pria itu memanggil dengan suara lembut yang membuat bulu kuduknya meremang.

Aurel mendekat dengan langkah gemetar. “K…Kaelan?”

Pria itu tersenyum tipis. “Namaku Kai… aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa kita pernah bertemu sebelumnya.”

Air mata mengalir di pipi Aurel. Meskipun nama dan pakaiannya berbeda, tatapan itu adalah tatapan Kaelan yang ia kenal. Jiwanya tahu bahwa pria ini adalah reinkarnasi Kaelan, kembali ke dunia manusia dengan memori yang tersembunyi di dalam hatinya.

Raka mendekat dan melihat keheningan yang penuh makna di antara mereka. Tanpa berkata apa pun, ia mundur perlahan, memberikan ruang bagi Aurel. Ia tahu, saat ini bukan tentang persaingan cinta—ini tentang jawaban dari penantian panjang Aurel.

Aurel tersenyum sambil menahan tangis. “Mungkin… kamu mencari dirimu sendiri.”

Kai menatapnya dengan penuh kehangatan. “Atau mungkin… aku mencari dirimu.”

Angin lembut berhembus dari jendela galeri, membawa aroma bunga liar yang harum. Aurel merasakan kehadiran Eldara dalam momen itu—seolah dunia paralel merestui pertemuan mereka.

Beberapa bulan kemudian, Aurel dan Kai sering menghabiskan waktu bersama, mengenal satu sama lain dengan cara yang baru. Meskipun Kai tidak memiliki ingatan penuh sebagai Kaelan, cinta di antara mereka tumbuh dengan kuat, seolah-olah takdir memberikan kesempatan kedua bagi mereka.

Raka, meskipun hatinya masih terluka, mulai memahami arti cinta sejati. Ia tahu bahwa melepaskan Aurel adalah bukti bahwa ia benar-benar mencintainya. Ia menemukan kedamaian dalam langkah barunya dan merelakan dirinya membuka hati untuk masa depan yang baru.

Di ujung dimensi yang berbeda, Elydrin tersenyum melihat Aurel dan Kai dari kejauhan. Kaelan telah kembali, dan dunia Eldara kembali damai.

“Cinta sejati tidak akan pernah terhapus oleh ruang dan waktu. Ia selalu menemukan jalannya untuk bersatu kembali.”

Tamat

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *