Skip to content

Baca Novel Singkat Di sini

Menu
  • Home
  • Pilihan Novel
    • Romansa
    • Fiksi Ilmiah
    • Petualangan
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Terms and Conditions
Menu
novel pendek try begging simfoni untuk sang tuan

Novel Pendek: Try Begging – Simfoni untuk Sang Tuan

Posted on July 7, 2025

Try Begging. Itulah dua kata yang pernah kau lontarkan dengan angkuh di balkon istana, tepat ke wajahku, ketika aku memohon agar kau mendengarkan simfoni yang kususun hanya untukmu. Dua kata yang menancap lebih dalam daripada nada-nada terkelam dalam sonataku.

Kini, setelah waktu dan takdir merampas semua kebesaranmu, kau berdiri di hadapanku — dan giliranmu untuk merasakannya. ikuti kisahnya di web novel singkat.

Bab 1  Novel Try Begging

Try Begging. Dua kata itu menggaung dalam ingatan sang komposer, bahkan bertahun-tahun setelah ia pertama kali mendengarnya dari bibir Lady Amalia. Dua kata yang kala itu terdengar bagai cambuk, memukul harga dirinya yang rapuh. Malam itu, di musim dingin Wina yang berkilau oleh pesta dansa dan cahaya lilin istana, ia berdiri di bawah balkon agung, memegang lembaran nada yang bergetar di tangan karena gemetar, bukan hanya oleh dingin tetapi juga oleh harapan yang ia pupuk terlalu tinggi.

Ia hanya seorang pemuda sederhana, murid dari seorang maestro yang bahkan namanya jarang disebut dalam salon-salon musik para bangsawan. Namun di dalam dirinya tumbuh kecintaan yang tak dapat ia kendalikan kepada Lady Amalia, putri tertua keluarga von Altenburg yang terkenal kaya raya dan terpandang. Ia melihat dalam diri wanita itu bukan hanya kecantikan yang membius seantero kota, tetapi juga kekuatan yang lembut seperti nada biola dalam adagio. Semua cintanya ia rangkum dalam sebuah simfoni — karya terbaik yang pernah ia hasilkan — dan ia persembahkan kepadanya di hadapan semua orang malam itu.

Namun balasan yang ia terima hanya senyuman tipis bercampur ejekan, diikuti oleh dua kata itu: Try Begging. Seolah-olah perasaannya hanyalah mainan kecil bagi seorang bangsawan yang tak pernah merasakan getirnya kekurangan, seolah-olah ia hanyalah orang miskin lain yang harus merangkak memohon pada kaki keluarga terhormat. Ia pergi malam itu tanpa kata, membawa pulang simfoninya yang robek oleh angin musim dingin, sambil menelan perih yang tak dapat ia luapkan pada siapa pun.

Sejak malam itu, hidupnya berubah. Ia berhenti memainkan nada-nada manis, berhenti menulis melodi yang ringan. Musiknya menjadi berat, penuh dengan kehampaan, namun di situlah para penikmat musik mulai mengenalnya. Karya-karyanya tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan di Wina, memenuhi aula konser dengan nada-nada muram yang entah mengapa justru memikat telinga para bangsawan yang dulu mencemoohnya. Tanpa ia sadari, sakit hati dan dendamnya telah membentuknya menjadi komposer besar yang karya-karyanya tak lagi bisa diabaikan.

Di kejauhan, jauh dari matanya, keluarga von Altenburg mulai runtuh perlahan. Perang dan utang memperkecil kekayaan mereka, lalu satu per satu harta terjual demi mempertahankan nama baik keluarga. Namun kabar itu hanya ia dengar sepintas, dan tak pernah ia pedulikan. Sampai suatu hari, bertahun-tahun setelah malam penghinaan itu, seseorang mengetuk pintu rumah besarnya yang baru direnovasi, tepat ketika hujan musim gugur turun membasahi kota.

Dan di depan pintu itu, ia melihatnya. Lady Amalia, dengan gaun lusuh yang basah kuyup, rambut terurai, dan tatapan penuh keraguan. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Ia hanya berdiri menatap wanita yang pernah meremukkan hatinya itu, kini datang kepadanya dengan wajah penuh harap.

Di dalam kepalanya, dua kata itu berputar kembali, seperti gema dari masa lalu.

Bab 2 Novel Try Begging

Hujan mengguyur Wina tanpa henti malam itu, seolah kota tua itu sedang menangisi sesuatu yang tak pernah bisa diperbaiki. Dari jendela besar ruang kerjanya, sang komposer memandang butiran air yang berkilau di bawah lampu jalan. Di balik kaca, aroma kertas partitur yang lembap bercampur dengan kayu tua memenuhi ruangan, menyelimuti dirinya yang berdiri kaku menatap ke arah pintu yang belum lama ini diketuk seseorang dari masa lalunya.

Lady Amalia. Nama itu saja sudah cukup untuk mengaduk-aduk perasaannya yang selama ini ia simpan rapi, terkubur di bawah tumpukan kerja keras dan kesuksesan. Ia tak pernah lupa malam penghinaan itu, ketika hujan juga turun, membasahi jalanan berbatu yang ia lintasi sambil menahan perih di dada. Malam ketika musiknya yang paling tulus dianggap lelucon, dan cintanya dicampakkan dengan sepasang mata dingin.

Dan kini, entah karena permainan takdir atau sekadar kebetulan yang kejam, hujan yang sama membawanya kembali. Sosok Lady Amalia berdiri di depan pintunya seperti bayangan masa lalu, namun bukan lagi wanita yang sama. Tak ada lagi kilau permata di lehernya, tak ada lagi kain sutra yang menjuntai lembut di gaunnya. Wajahnya pucat, tubuhnya lunglai, seolah seluruh beban dunia kini dipikul sendiri oleh wanita yang dulu selalu berdiri anggun di atas balkon istana.

Ia sendiri hanya diam waktu itu, membiarkan wanita itu masuk ke ruang tamunya yang hangat tanpa sepatah kata. Ia menarik kursi untuknya, menuangkan teh hangat ke cangkir porselen, lalu duduk di kursinya sendiri sambil menatap wanita itu yang kini menunduk tak berani bertemu matanya. Suara hujan di luar menjadi satu-satunya nada yang mengisi ruang di antara mereka.

Banyak hal ingin ia katakan malam itu, namun semuanya tertahan di ujung lidah. Ia bisa saja mengingatkan wanita itu pada kata-kata yang pernah menusuknya dulu. Ia bisa saja menyuruhnya pergi, seperti yang dulu dilakukan padanya. Namun ia memilih diam, menikmati pemandangan yang dulu hanya bisa ia bayangkan: Lady Amalia duduk di ruangnya sendiri, tanpa jarak, tanpa tirai sutra atau deretan pengawal.

Hujan terus turun, deras dan tanpa jeda, seperti tak mau berhenti sebelum seluruh kota benar-benar basah. Sang komposer memandang wanita itu lama-lama, menyadari bahwa hidup kadang memberi jawaban dengan cara yang paling halus sekaligus paling kejam. Ia mengingat lagi malam di bawah balkon itu, malam ketika ia diminta untuk mencoba memohon, mencoba merendahkan diri.

Kini, yang memohon bukan lagi dirinya.

Dan malam itu, dalam hati kecilnya, ia merasa nada-nada yang pernah hilang mulai kembali, perlahan-lahan menyusun diri menjadi simfoni baru — sebuah lagu yang tak pernah ia sangka akan ia tulis.

Bab 3 Novel Try Begging

Malam itu berakhir tanpa satu pun kata dari sang komposer, dan tanpa satu pun permintaan dari Lady Amalia. Mereka hanya duduk, membiarkan kehangatan ruangan melawan dingin yang merasuk dari luar. Hingga akhirnya, ketika malam menipis, ia memutuskan untuk memanggil pelayan untuk menyiapkan kamar tamu di lantai atas. Lady Amalia menurut, melangkah pelan menaiki tangga kayu sambil tetap menunduk, seakan malu oleh dirinya sendiri.

Pagi harinya, hujan sudah reda. Kabut tipis menutupi halaman rumah besar itu, dan kota Wina terlihat seolah masih tertidur di bawah selimut abu-abu musim gugur. Sang komposer sudah duduk di ruang kerjanya sejak fajar. Di hadapannya tergeletak lembaran kosong, sementara pena sudah terisi tinta. Ia memandangi kertas itu lama, seakan berharap nada-nada akan mengalir dengan sendirinya, seperti dulu. Namun hanya keheningan yang menjawab.

Lalu, dari ujung koridor, terdengar langkah pelan mendekat. Ia tak menoleh ketika Lady Amalia berdiri di ambang pintu, meski bisa merasakan kehadirannya. Wanita itu berdiri lama tanpa suara, lalu menuruni anak tangga menuju ruang makan di bawah. Setelah ia pergi, sang komposer menutup matanya, menarik napas panjang, lalu mulai menggoreskan pena di atas kertas. Sebuah nada lahir di benaknya. Nada itu lambat, rendah, tapi penuh keyakinan. Seperti derap langkah seseorang yang pernah jatuh namun tetap berdiri.

Hari-hari berikutnya berjalan begitu saja. Lady Amalia tetap tinggal di rumah itu, seolah rumah besar itu kini juga menjadi perlindungannya. Ia jarang bicara, lebih sering duduk di kursi dekat jendela memandangi taman yang mulai meranggas. Kadang ia membantu pelayan merapikan meja makan, kadang hanya berjalan menyusuri lorong-lorong panjang dengan kepala tertunduk.

Bagi sang komposer, keberadaannya membawa perasaan yang sulit ia uraikan. Ada sisi dirinya yang ingin membalas dendam, ingin membuat Lady Amalia merasakan setiap perih yang dulu ia tanggung sendirian. Namun ada sisi lain yang justru merasakan damai melihat wanita itu kini terlepas dari segala topeng kemewahan. Ia bukan lagi putri di atas balkon malam itu, melainkan seorang manusia yang pernah salah langkah, seperti dirinya juga.

Setiap malam, ia kembali duduk di depan piano, memainkan nada-nada yang terpendam selama bertahun-tahun. Simfoni yang pernah ia tulis untuk Lady Amalia dulu kini terdengar berbeda. Ia mengubahnya pelan-pelan, menambahkan melodi baru yang lebih berat, lebih nyata, namun tetap menyimpan jejak lembut dari cinta pertama.

Simfoni itu belum selesai. Namun setiap pagi ketika ia melihat Lady Amalia duduk di ruang makan dengan gaun sederhana dan rambut yang dibiarkan terurai, ia tahu bahwa nada-nada yang ia cari semakin dekat.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak lagi terburu-buru untuk menyelesaikannya.

Bab 4 Novel Try Begging

Hari itu, hujan sudah berhenti sejak pagi. Matahari musim gugur memancar lemah di antara awan, cukup untuk membuat taman di belakang rumahnya berkilau oleh embun. Sang komposer duduk di teras, membawa setumpuk partitur yang belum rampung. Di depannya, Lady Amalia berdiri memandang bunga-bunga yang hampir layu, tangannya sesekali meraba kelopaknya yang lembut namun rapuh.

Beberapa pekan telah berlalu sejak ia datang mengetuk pintu rumah itu. Selama itu pula, wanita yang dulu anggun dan jauh terasa menjadi sosok baru yang nyaris asing. Ia lebih banyak diam, namun sesekali pandangannya menerawang jauh, seolah ia sedang memandang masa lalu yang tak bisa lagi ia genggam.

Siang itu, untuk pertama kalinya Lady Amalia bicara. Suaranya lirih, hampir kalah oleh suara burung di kejauhan. Ia menceritakan semuanya, perlahan-lahan, seperti seseorang yang akhirnya menyerah pada beban yang terlalu berat untuk disembunyikan.

Ia bercerita tentang keluarganya yang dulu disegani seantero Wina, tentang pesta-pesta megah yang setiap minggu menghiasi aula istana mereka. Lalu datang perang, datang krisis, datang utang yang menumpuk tak lagi terbayar. Satu per satu aset keluarga dijual. Perhiasan, lukisan, bahkan tanah kebanggaan mereka di luar kota, semuanya habis untuk mempertahankan sisa harga diri yang perlahan-lahan pudar juga. Dan pada akhirnya, mereka semua pergi — saudara-saudaranya ke luar negeri, ayahnya jatuh sakit, ibunya meninggal dalam kesepian.

Ia sendiri yang tertinggal, terlalu keras kepala untuk ikut pergi, terlalu malu untuk benar-benar meminta tolong pada siapa pun. Hingga akhirnya ia tak punya siapa-siapa lagi, tak punya apa-apa lagi selain gaun lusuh di tubuhnya dan keberanian untuk mengetuk pintu seseorang yang pernah ia sakiti.

Sang komposer mendengarkan tanpa berkata-kata. Dalam hatinya, cerita itu seperti nada-nada baru yang menggema, menyusun bagian lain dari simfoni yang selama ini ia cari. Ia bisa merasakan kesedihan yang sama dalam dirinya dulu — perasaan terbuang, diremehkan, diabaikan oleh dunia yang hanya peduli pada mereka yang berkilau. Namun kali ini ia tidak lagi berada di bawah. Kali ini, ia berada di sisi yang berbeda.

Lady Amalia berhenti bercerita, lalu kembali menatap bunga di taman. Ia tampak lebih ringan setelah itu, meski kesedihan masih jelas tergambar di matanya. Sang komposer hanya menatapnya lama, menyadari bahwa dendam yang ia pupuk selama bertahun-tahun perlahan berubah bentuk.

Di dalam pikirannya, nada-nada yang dulu penuh kemarahan kini terdengar lebih lembut, meski tetap membawa luka. Simfoni yang tertunda itu kini memiliki satu bagian baru: kisah seorang wanita yang akhirnya merasakan getirnya dunia, seperti dirinya dulu.

Dan di antara embun yang mulai menguap dari kelopak bunga, ia merasa bahwa akhirnya ia menemukan cara untuk menutup kisah lama mereka — tidak dengan kebencian, tetapi dengan melodi yang lebih jujur.

Bab 5 Novel Try Begging

Malam itu, aula konser penuh oleh para undangan penting kota Wina. Lampu gantung kristal berkilau, barisan kursi terisi hingga ke barisan belakang, dan aroma parfum mahal bercampur dengan kayu tua memenuhi udara. Di tengah panggung, sebuah piano besar berdiri di bawah sorotan cahaya, dikelilingi para pemain orkestra yang siap dengan alat musik mereka.

Sang komposer berdiri di belakang tirai, mengenakan jas hitam sederhana, namun sorot matanya penuh keteguhan. Di tangannya, partitur yang selama ini ia susun dengan sabar. Simfoni yang pernah ia tulis untuk Lady Amalia bertahun-tahun lalu, kini lahir kembali dalam wujud baru. Nada-nada lama yang dulu penuh kepahitan kini disusun ulang, lebih matang, lebih jujur, dan lebih indah — hasil dari perjalanan panjang yang mereka berdua tempuh, meski dengan jalan yang berbeda.

Di antara hadirin malam itu, ia melihatnya. Lady Amalia duduk di barisan tengah dengan gaun biru sederhana yang jauh dari gemerlap masa lalunya. Namun justru di situlah pesonanya terasa lebih nyata. Wajahnya tak lagi tertutup topeng keangkuhan, melainkan kelembutan yang muncul setelah badai panjang. Ketika tatapan mereka bertemu, sang komposer tersenyum tipis. Dan untuk pertama kalinya, ia melihat senyum balasannya bukan sebagai ejekan, melainkan sebagai ucapan terima kasih yang diam-diam.

Konduktor mengangkat tongkatnya, dan ruang aula hening. Nada pertama mengalun, lembut namun penuh tenaga. Malam itu, kota Wina mendengar kisah yang selama ini hanya mereka berdua yang tahu — kisah tentang cinta yang pernah dihinakan, luka yang pernah dipendam, kejatuhan yang membangunkan, dan pengampunan yang datang di saat yang tepat.

Simfoni itu bergerak seperti sungai, membawa penonton ke dalam gelombang perasaan yang kompleks. Ada kesedihan di dalamnya, namun juga harapan. Ada luka, namun juga pengertian. Di bagian akhir, nada-nada meninggi, seolah melambungkan semua perasaan mereka ke udara, membiarkan segalanya luruh seperti daun musim gugur yang jatuh perlahan.

Ketika nada terakhir berhenti, aula hening untuk beberapa detik. Lalu, tepuk tangan bergema, memenuhi seluruh ruangan. Semua orang berdiri, memberikan penghormatan pada karya yang baru saja mereka saksikan lahir. Sang komposer menunduk pelan, menyambut penghargaan itu, namun matanya tetap tertuju pada satu orang di tengah kerumunan.

Lady Amalia berdiri, bertepuk tangan dengan tatapan yang tak bisa lagi disembunyikan: sebuah pengakuan diam-diam bahwa ia salah dulu, sebuah permohonan maaf yang tak diucapkan dengan kata-kata.

Dan bagi sang komposer, itu sudah cukup.

Malam itu, di atas panggung, ia menyadari bahwa dendamnya telah selesai. Ia tak lagi ingin melihat wanita itu tersiksa, tak lagi ingin membuatnya menunduk di hadapannya. Yang ia inginkan hanyalah membebaskan diri dari bayang-bayang masa lalu. Dan melalui musiknya, ia telah melakukannya.

Malam itu, Wina menyaksikan akhir dari satu kisah, dan awal dari kehidupan baru yang lebih tenang.

Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, sang komposer menatap masa depan dengan hati yang ringan.

Try Begging — Pesan Moral di Balik Simfoni

Try Begging bukan hanya tentang merendahkan diri di hadapan orang lain, tetapi tentang belajar memahami getirnya kehidupan dari sudut pandang yang berbeda. Kisah ini mengajarkan bahwa keangkuhan tak pernah abadi, dan mereka yang pernah dipandang rendah bisa bangkit lebih tinggi ketika waktunya tiba. Di sisi lain, mereka yang pernah berada di puncak pun bisa jatuh, belajar bahwa semua manusia pada akhirnya sama di hadapan ujian hidup.

Melalui perjalanan sang komposer dan Lady Amalia, kita diingatkan bahwa dendam memang terasa manis di awal, namun pengampunan membawa ketenangan yang lebih dalam. Dan cinta, ketika sudah mampu melewati luka dan kejatuhan, menjadi lebih murni, lebih tulus.

Try Begging mengajarkan: jangan pernah menganggap diri terlalu tinggi untuk belajar merendah, dan jangan pernah menganggap orang lain terlalu kecil untuk dihormati. Sebab roda kehidupan selalu berputar, dan pada akhirnya, hanya kebaikan hati yang akan abadi.

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Novel Terbaru

  • Novel Singkat: Cinta di Ujung Sajadah
  • Novel Singkat: Lantai 38 – Antara Merger Perusahaan, Rumah Mewah
  • Senja di Balkon Penthouse – Novel Singkat 7 Bab
  • Novel Pendek: Istri Kontrak Sang Sultan
  • Novel Pendek: Try Begging – Simfoni untuk Sang Tuan

Arsip

  • August 2025
  • July 2025
  • June 2025
  • May 2025
  • April 2025
  • March 2025
  • February 2025
  • January 2025

Kategori

  • Fiksi Ilmiah
  • Petualangan
  • Romansa

Tentang Kami

Tentang Kami

aksi cinta dan kehilangan cinta dan pengorbanan Cinta dan Takdir cinta lintas dimensi cinta pertama cinta segitiga cinta sejati Cinta Terlarang cinta yang terlupakan dunia paralel eksperimen genetika Eksperimen Rahasia identitas ganda Ilmuwan kehilangan kisah cinta kisah cinta emosional kisah cinta menyedihkan kisah cinta sedih kisah cinta tragis konspirasi Misteri novel emosional novel fiksi ilmiah Novel Romantis pengkhianatan Pengorbanan Pengorbanan Cinta penjaga waktu perjalanan waktu Petualangan petualangan dimensi realitas paralel reinkarnasi romansa Romansa Cinta romansa tragis Romantis Romantis gelap romantis tragis teknologi canggih thriller thriller psikologis Thriller Waktu

Genre Favorit

  • Fiksi Ilmiah
  • Petualangan
  • Romansa
©2025 Baca Novel Singkat Di sini | Design: Newspaperly WordPress Theme