Bagaimana jika cinta hanya hadir sekali… dalam seribu hari?
Rafi tidak pernah tahu bahwa satu pertemuan singkat bisa mengubah arah hidupnya selamanya. Di balik kesederhanaan kota, di antara senyapnya sore dan sunyinya ruang hati, ia bertemu Aline—gadis yang datang dan pergi seperti bayangan waktu.
Mereka hanya punya satu hari. Tapi hari itu cukup untuk menumbuhkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan: ikatan yang menembus logika, dan rasa yang menolak padam meski waktu terus memisahkan.
Ini bukan kisah cinta biasa.
Ini kisah tentang penantian yang panjang, rahasia yang sunyi, dan keberanian untuk mencintai—meski hanya dalam serpihan waktu. Simak kisahnya dalam cerita novel singkat alias novel pendek ini.
Bab 1: Hari Keseribu yang Ketiga

Langit Jakarta menjelang senja seperti kanvas yang dilukis dengan gradasi jingga dan abu-abu, seolah bersiap menyambut sesuatu yang tidak biasa. Di sebuah sudut kota, tepat di depan kedai buku tua bernama Arsip Kenangan, Rafi berdiri sambil memegang sebatang bunga peony putih. Tangannya gemetar ringan, bukan karena angin sore, tapi karena harapan yang telah ia genggam selama tiga tahun terakhir.
Ia sudah hafal betul hari ini: tanggal, waktu, bahkan arah datangnya angin. Karena setiap seribu hari sekali—Aline akan kembali. Selalu di tempat yang sama. Selalu di bawah jam dinding tua yang tak pernah berdetak lagi.
Hari ini adalah kedatangan Aline yang ketiga. Rafi mengenangnya dengan tepat, seperti menghitung jarak bintang dengan mata telanjang. Pertemuan pertama terjadi secara kebetulan, atau begitulah ia pikir. Seorang gadis dengan gaun biru tua duduk di kursi pojok, membaca Kafka on the Shore sambil tersenyum aneh. Mereka berbincang. Aline tertawa. Aline menangis. Dan kemudian, Aline menghilang—meninggalkan sepucuk surat dan satu janji: “Tunggulah aku. Seribu hari dari sekarang.”
Perpisahan kedua pun serupa. Mereka berjalan sepanjang trotoar kota, bercerita tentang mimpi yang tidak pernah sempat tumbuh. Rafi memohon agar Aline tetap tinggal, tapi tatapan mata gadis itu seperti cermin—memantulkan kebenaran yang belum bisa diucapkan. Ia mencium pipi Rafi, lalu pergi begitu saja, seolah waktu hanya dipinjam, bukan dimiliki.
Kini, seribu hari yang ketiga telah tiba. Rafi mengenakan kemeja yang sama seperti dua kali sebelumnya. Di saku dalamnya, surat-surat dari Aline masih tersimpan, kertasnya mulai menguning. Detik berjalan lambat, menyesakkan dada. Tapi ia tetap berdiri. Menunggu.
Lalu, dari kejauhan, langkah-langkah ringan terdengar. Bukan sekadar gema sepatu di aspal, tapi nada yang telah ia simpan dalam ingatan selama ribuan hari. Aline muncul di balik kerumunan, mengenakan gaun yang kali ini berwarna putih susu. Rambutnya lebih pendek, tapi matanya masih sama: menyimpan rahasia yang belum siap dibagi.
“Aku datang lagi,” katanya dengan suara yang nyaris berbisik. Tapi bagi Rafi, itu terdengar lebih keras dari gemuruh guntur.
Rafi ingin memeluknya, tapi menahan diri. “Kenapa kamu selalu pergi?” tanyanya, bukan dengan marah, melainkan dengan getir.
Aline menunduk. “Aku akan jelaskan… tapi tidak sekarang.”
Rafi mengepalkan tangannya. Ia tahu, waktunya sedikit. Hanya satu hari, seperti dua pertemuan sebelumnya. Tapi meski hanya sebentar, ia memilih untuk tetap percaya.
Sebab bagi Rafi, cinta bukan tentang berapa lama seseorang tinggal. Tapi tentang siapa yang membuatmu terus menunggu—bahkan dalam diam, bahkan dalam luka.
Bab 2: Hari Keseribu yang Pertama
Tiga ribu hari yang lalu, Rafi bukan siapa-siapa. Seorang mahasiswa tingkat akhir yang lebih akrab dengan skripsi tak selesai dan cangkir kopi dingin di meja perpustakaan. Hidupnya berjalan datar—tak ada gairah, tak ada warna. Dunia terasa seperti film hitam-putih yang diputar berulang-ulang. Hingga pada suatu siang yang muram, ia masuk ke kedai buku kecil yang nyaris tak terlihat di gang sempit Jalan Sabang.
Di dalam kedai itu, waktu seperti melambat. Bau kayu tua bercampur aroma kertas usang menyambutnya, dan di pojok ruangan, di kursi rotan yang hampir copot sandarannya, duduk seorang gadis dengan gaun biru tua. Ia membaca dengan serius, tapi matanya tak tampak tegang. Justru sebaliknya, seolah setiap kata dalam buku itu sedang bercakap-cakap dengannya.
Rafi tak tahu kenapa langkah kakinya mendekat. Mungkin karena sepi. Mungkin karena penasaran. Atau mungkin karena cara gadis itu menyelipkan rambut di balik telinganya, seperti kebiasaan seseorang yang sudah akrab dengannya entah dari mimpi atau masa lalu yang ia lupa.
“Kamu suka Murakami?” Rafi membuka percakapan tanpa pikir panjang.
Gadis itu mengangkat kepala perlahan. Bola matanya yang bening menatap Rafi, lalu tersenyum sejenak. “Aku suka tersesat di dunia yang absurd. Rasanya lebih nyaman daripada dunia nyata.”
Jawaban itu membekas seperti tinta di kertas basah.
Mereka mulai berbicara—tentang buku, tentang kesepian, tentang kenapa dunia terasa terlalu cepat padahal hati belum siap. Namanya Aline, katanya. Ia tidak menyebut dari mana asalnya, hanya mengatakan bahwa ia sedang singgah. Sejenak saja. Ia tidak menjelaskan lebih jauh, dan Rafi tidak mendesak. Beberapa orang datang ke hidupmu bukan untuk dijelaskan, tapi untuk dipahami.
Waktu bergulir seperti air di sela jari. Tanpa terasa hari berubah senja, dan langit mulai memudar. Ketika Rafi mengajak Aline untuk berjalan pulang, gadis itu hanya mengangguk. Mereka menyusuri jalanan kota yang lengang, berbagi cerita tanpa batas, seakan telah saling mengenal seumur hidup.
Namun tepat di depan halte bus tua, Aline berhenti.
“Aku harus pergi,” katanya pelan.
Rafi memandangnya, bingung. “Tunggu, aku bahkan belum tahu banyak tentangmu.”
“Kamu akan tahu… nanti.” Ia menyelipkan secarik kertas kecil ke tangan Rafi. “Seribu hari dari sekarang. Di tempat ini. Jika kamu masih ingin bertemu.”
Dan sebelum Rafi sempat berkata apa pun, Aline melangkah masuk ke dalam bus yang datang seperti hantu dari kabut sore.
Rafi berdiri lama. Membuka kertas kecil itu perlahan.
Hanya ada satu kalimat:
“Beberapa pertemuan tak ditakdirkan untuk bertahan, tapi layak untuk ditunggu.”
Bab 3: Hari Keseribu yang Kedua
Seribu hari.
Itu waktu yang cukup lama untuk melupakan seseorang—atau setidaknya membiarkan kenangan memudar seperti warna matahari di sore hari. Tapi tidak bagi Rafi.
Ia menandai setiap harinya dengan tanda silang kecil di kalender dinding kamarnya. Setiap tanggal, setiap musim hujan, setiap momen bahagia atau hancur—semuanya berlalu, tapi satu hal tetap: harapannya.
Dan tepat seribu hari sejak pertemuan pertama itu, Rafi kembali ke kedai buku kecil di Jalan Sabang. Ia tidak tahu apakah Aline akan benar-benar datang, atau apakah pertemuan itu hanyalah kebetulan yang terlalu indah untuk diulang. Tapi ia datang—berpakaian rapi, menyimpan secarik kertas yang dulu Aline beri, dan membawa sebatang bunga lili.
Pukul lima sore, saat cahaya mulai turun perlahan, Aline muncul lagi.
Sama seperti dulu, langkahnya ringan, matanya jernih. Tapi kali ini, wajahnya tampak lebih pucat. Ada sesuatu yang berbeda—bukan dari cara ia berbicara, tapi dari cara ia menyembunyikan sesuatu di balik senyumnya.
“Kamu datang,” ucap Rafi.
Aline menatapnya seolah menatap seseorang yang ia rindukan dalam mimpi panjang. “Tentu saja aku datang. Aku berjanji, bukan?”
Mereka kembali menyusuri jalan yang sama. Kota tidak berubah, tapi rasa di antara mereka tumbuh seperti pohon yang disiram pelan-pelan. Mereka tertawa, berbicara tentang masa depan, meski selalu dalam batas yang samar. Aline menghindari pertanyaan tentang dirinya. Tentang pekerjaannya. Tentang keluarganya. Tapi ketika ditanya mengapa ia hanya muncul setiap seribu hari, ia terdiam lama.
“Karena itu satu-satunya cara aku bisa bertahan,” katanya akhirnya.
Rafi menatapnya. “Apa maksudmu?”
Aline hanya tersenyum samar. “Beberapa orang datang ke dunia ini hanya untuk sementara. Tapi itu tidak berarti mereka tidak bisa mencintai dengan sepenuhnya.”
Rafi merasakan hatinya retak perlahan, seperti es yang mulai mencair di tepi. Ia ingin bertanya lebih jauh, ingin tahu segalanya, tapi waktu mereka—lagi-lagi—terbatas. Saat matahari hampir tenggelam, Aline kembali berhenti di depan halte bus tua yang sama.
“Kau akan pergi lagi?”
Ia mengangguk. “Tapi jika kamu masih ingin menungguku… kita akan bertemu lagi. Di sini. Seribu hari dari sekarang.”
Kali ini, Rafi tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Aline masuk ke dalam bus yang datang seperti adegan yang diulang dari masa lalu.
Dan saat bus itu menghilang dari pandangan, ia merasakan kehampaan yang bahkan lebih menyakitkan dari perpisahan pertama. Tapi di sakunya, Aline menyelipkan sesuatu. Sebuah foto polaroid kecil. Di baliknya tertulis:
“Jika aku tidak kembali… ingatlah aku seperti sore ini—utuh, meski sebentar.”
Bab 4: Jejak yang Tertinggal
Setelah pertemuan kedua, hidup Rafi tidak pernah sama lagi.
Hari-harinya tidak lagi dipenuhi dengan penantian, melainkan dengan pencarian. Ia mulai menyelidiki. Bukan karena rasa tidak percaya—tapi karena cinta yang tumbuh dalam keterbatasan selalu haus akan kepastian.
Ia mulai dari yang paling sederhana: mencari nama Aline di media sosial. Tidak ada hasil. Bahkan dengan kata kunci paling spesifik, tidak ada jejak digital yang cocok. Ia mencoba bertanya pada penjaga kedai buku—tidak ada yang pernah melihat Aline selain dirinya. Seolah gadis itu adalah fragmen dari ingatan yang terlalu indah untuk nyata.
Namun Rafi tahu, ia tidak berhalusinasi.
Bukti itu ada. Foto polaroid yang masih disimpannya, dan secarik kertas dari pertemuan pertama, kini tersimpan rapi dalam sebuah kotak kayu kecil yang ia sebut “Laci Hari Keseribu”. Setiap kali ia ragu, ia membuka kotak itu, menyentuh barang-barang di dalamnya, dan yakin: Aline nyata.
Sampai suatu hari, setahun setelah pertemuan kedua, ia memberanikan diri mengunjungi rumah sakit lama tempat ibunya pernah dirawat. Sebuah kilas balik muncul dalam kepalanya—tentang bagaimana Aline pernah berkata, “Aku sering menghabiskan waktu di tempat seperti ini. Di antara suara mesin dan sunyi yang dalam.”
Rafi bertanya pada resepsionis apakah pernah ada pasien bernama Aline. Perempuan muda. Mungkin sekitar lima tahun lalu.
“Aline?” Resepsionis itu mengernyit. “Banyak pasien bernama Aline, Pak.”
Rafi membuka dompet dan menunjukkan foto polaroid yang Aline beri.
Perempuan itu menatapnya lama, sebelum berkata pelan, “Tunggu sebentar.”
Ia masuk ke dalam ruangan belakang, dan kembali dengan seorang suster paruh baya. Wanita itu tampak lebih ragu, tetapi ketika melihat foto itu, ia menarik napas.
“Dia mirip dengan seorang pasien kami dulu. Tapi itu sudah… sekitar delapan atau sembilan tahun lalu. Gadis itu tidak banyak bicara. Sering membaca buku. Seperti sedang menunggu sesuatu.”
Jantung Rafi berdegup keras. “Apa yang terjadi padanya?”
Suster itu menunduk. “Ia menjalani perawatan paliatif. Tidak banyak pengunjung. Suatu hari… ia pergi begitu saja. Tidak pernah kembali. Kami bahkan tidak tahu apakah ia masih hidup.”
Rafi terduduk. Wajah Aline muncul dalam pikirannya—senyum samar, sorot mata yang seperti menyimpan waktu yang tak cukup. Semua mulai masuk akal, meski terlalu sulit diterima.
Aline mungkin bukan hanya seseorang yang datang dan pergi.
Ia mungkin adalah seseorang yang seharusnya sudah tiada.
Namun jika begitu, siapa yang datang setiap seribu hari itu?
Bab 5: Antara Hidup dan Tidak
Beberapa minggu setelah kunjungannya ke rumah sakit, Rafi mulai hidup dalam dua dunia.
Yang pertama adalah dunia nyata—tempat ia bekerja, berbicara dengan orang, berjalan di trotoar, dan makan nasi bungkus setiap malam. Yang kedua… adalah dunia yang lebih sunyi. Dunia tempat Aline hadir di pikirannya, dalam mimpi-mimpi yang terasa lebih nyata dari pagi yang ia bangun.
Ia mulai sering terbangun di tengah malam. Tubuhnya dingin, keringat membasahi bantal. Di ujung mimpi, Aline selalu berdiri jauh, mengenakan gaun putih, dan berkata, “Jangan cari aku. Tapi jangan lupa aku.”
Rafi tidak tahu apakah ia mulai gila atau justru mulai sadar.
Ia pun mencari sesuatu yang bukan dari dunia biasa. Ia menemui seorang dosen filsafat lama yang dulu pernah membimbingnya, Pak Irawan, pria sepuh yang kini lebih sering mengajar kelas mistisisme Timur daripada logika formal.
“Pak… pernahkah Bapak percaya bahwa seseorang bisa… datang dari dunia lain? Hanya sesekali? Seperti menembus batas waktu?”
Pak Irawan hanya tertawa kecil. “Dulu kamu skeptis. Sekarang kamu bertanya seolah kamu sudah melihatnya sendiri.”
Rafi diam.
“Dunia tidak hanya terdiri dari apa yang bisa dilihat, Rafi. Ada ruang-ruang tipis antara waktu dan kesadaran. Kadang, seseorang yang belum tuntas urusannya di dunia ini… bisa kembali. Tapi tidak sembarangan. Hanya pada waktu-waktu tertentu. Dan hanya jika perasaannya cukup kuat untuk menembus batas.”
“Cinta?” tanya Rafi lirih.
“Bisa jadi,” jawab Pak Irawan. “Tapi cinta juga bisa jadi kutukan jika tak selesai.”
Kata-kata itu menghantui Rafi selama berminggu-minggu. Ia mulai menelusuri cerita-cerita lama—tentang roh yang kembali setiap tanggal yang sama, tentang cinta yang menyeberang kematian. Ia bahkan mengunjungi seorang penulis spiritual yang pernah menulis tentang “fenomena kembalinya jiwa dalam siklus waktu.”
Dan semuanya mengarah pada satu kemungkinan:
Aline tidak sepenuhnya dari dunia ini.
Mungkin ia pernah hidup. Pernah mencintai. Dan mungkin, sesuatu—penyesalan, kerinduan, atau janji yang belum ditepati—membuatnya tetap kembali. Hanya setiap seribu hari.
Ketika Rafi menyadari itu, ia tidak takut.
Ia justru semakin ingin menemuinya lagi.
Bukan untuk jawaban. Tapi untuk menyelesaikan cerita yang mereka berdua mulai—dan belum sempat mereka akhiri.
Ia menatap kalender di dinding.
Hari keseribu yang ketiga hanya tinggal beberapa minggu lagi.
Dan kali ini, Rafi siap.
Apa pun yang terjadi.
Bab 6: Pertemuan yang Tidak Sama
Hari itu datang seperti hujan yang telah lama ditunggu: perlahan, berat, dan pasti.
Rafi berdiri di tempat yang sama—di depan Arsip Kenangan, dengan jas abu-abu dan sepucuk surat di tangannya. Tapi tidak seperti dua pertemuan sebelumnya, hari ini ia tidak hanya membawa bunga. Ia membawa jawaban.
Langit mendung, dan Jakarta terasa lebih lambat dari biasanya. Orang-orang berlalu-lalang, tak sadar bahwa sesuatu yang tak biasa akan terjadi di sudut kecil kota ini. Di saku dalam jaketnya, Rafi menyimpan potongan-potongan petunjuk: foto, catatan dari rumah sakit, kutipan dari buku yang Aline pernah baca, dan pertanyaan yang telah lama mengendap.
Pukul lima lewat lima belas, Aline muncul. Tepat waktu, seperti biasa. Gaunnya masih putih, tapi kali ini tampak lebih pudar warnanya. Wajahnya masih lembut, tapi ada semacam bayangan dalam sorot matanya.
“Aku senang kamu datang lagi,” katanya.
“Aku selalu akan datang,” jawab Rafi. “Tapi kali ini… aku ingin jawaban.”
Aline menunduk.
“Aku sudah tahu,” lanjut Rafi. “Kamu pernah dirawat. Di rumah sakit itu. Kamu menghilang. Orang-orang mengira kamu sudah tiada.”
Aline menggigit bibir bawahnya. Tangannya gemetar sedikit. Lalu ia mengangkat wajah dan menatap langsung ke mata Rafi.
“Aku memang… sudah pergi. Sudah lama.”
Dunia berhenti sejenak.
“Lalu siapa kamu sekarang?”
Aline menarik napas dalam. “Aku tidak tahu jawabannya dengan pasti. Tapi aku merasa… setiap seribu hari, aku seperti terbangun. Tubuhku bukan tubuh manusia biasa, tapi aku merasa nyata. Aku bisa merasakan angin, bisa mendengar suara tawa… bisa mencintaimu.”
Rafi menahan air matanya.
“Aku tak tahu kenapa ini terjadi. Mungkin karena aku mati dengan penyesalan. Meninggalkan dunia tanpa pernah benar-benar mencintai. Tanpa pernah mengatakan padamu… bahwa sejak pertama kali kita bicara, aku tahu aku ingin hidup lebih lama hanya untuk bersamamu.”
Aline menutup matanya, dan satu tetes air mata jatuh ke pipi.
“Rafi… aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Aku tidak tahu apakah ini terakhir kalinya kita bertemu. Tapi aku tahu satu hal: cinta ini nyata. Walau hanya sehari. Walau harus dibayar seribu hari sepi.”
Rafi meraih tangannya. Dingin. Tapi tetap terasa seperti rumah.
“Kalau ini terakhir kalinya,” ucapnya pelan, “aku ingin hari ini abadi.”
Mereka berjalan di sepanjang kota, sekali lagi. Tapi hari ini, mereka tidak terburu-buru. Tidak menyembunyikan pertanyaan. Mereka saling menggenggam erat, mengisi kekosongan ribuan hari yang memisahkan.
Dan ketika malam turun, mereka kembali berdiri di depan halte bus tua itu.
“Kamu harus pergi?” tanya Rafi, meski ia tahu jawabannya.
Aline mengangguk. “Tapi kali ini aku tidak takut. Karena aku tahu kamu akan tetap menungguku… bahkan jika aku tidak bisa kembali.”
Ia menyelipkan sesuatu ke dalam saku Rafi—sebuah liontin kecil berbentuk jam pasir.
“Jika suatu hari waktu tidak lagi memisahkan kita… carilah aku. Bukan di dunia ini, tapi di mana pun cinta bisa menembus batas.”
Bus datang perlahan. Sama seperti dulu. Tapi kali ini, Aline mencium kening Rafi sebelum melangkah masuk. Tidak ada air mata. Tidak ada janji.
Hanya keheningan yang dalam dan pengertian yang sempurna.
Dan ketika bus itu pergi, menghilang ke dalam kabut malam, Rafi tahu satu hal:
Ia belum selesai. Cerita mereka belum selesai.
Bab 7: Jika Waktu Mengizinkan
Tiga tahun telah berlalu.
Tiga ratus enam puluh lima hari dikali tiga, ditambah satu hari kabisat—dan satu hari kosong yang tak pernah Rafi hitung, karena ia tahu Aline takkan muncul lagi.
Kali ini, ia tidak menunggu di depan Arsip Kenangan. Ia tidak lagi memegang bunga, atau berdiri dengan gugup sambil menatap arloji. Karena setelah pertemuan ketiga, Aline tidak pernah kembali. Tidak pada hari keseribu keempat. Tidak dalam mimpi. Tidak dalam bayangan sore.
Dan Rafi pun tidak marah.
Ia tidak menyesal telah menunggu. Karena cinta sejati bukan tentang kehadiran semata, tetapi tentang jejak yang ditinggalkan seseorang di hatimu—dan bagaimana jejak itu terus hidup, meski orangnya telah tiada.
Ia kini tinggal di kota kecil di pinggir laut. Menjadi penulis lepas. Buku pertamanya baru saja terbit—sebuah novel yang ia beri judul Sekali dalam Seribu Hari. Di dalamnya, Aline hidup kembali, berlarian dalam kata-kata, tertawa dalam dialog, dan menangis dalam halaman-halaman terakhir.
Setiap pagi, Rafi berjalan menyusuri tepi pantai, membawa liontin jam pasir yang pernah Aline beri. Ia sering duduk diam, membiarkan angin berbicara, dan laut menjawab.
Kadang, ia merasa Aline ada di sana. Bukan dalam bentuk, tapi dalam perasaan. Dalam getaran udara. Dalam desir ombak yang memanggil namanya tanpa suara.
Suatu hari, saat senja mewarnai laut dengan emas dan tembaga, Rafi membuka liontin itu. Ia menemukan sesuatu yang selama ini tak ia sadari—sehelai kertas kecil tersembunyi di balik dinding logamnya.
Dengan tangan gemetar, ia membukanya.
Tulisannya rapi, khas Aline:
“Jika waktu tak lagi membatasi kita, carilah aku dalam cerita. Di sanalah aku akan tinggal, selamanya.”
Rafi tersenyum. Air matanya jatuh, tapi bukan karena sedih.
Karena kini ia tahu: Aline tidak pernah pergi. Ia hanya berpindah—ke dalam setiap kalimat, setiap halaman, setiap kata yang ditulis dengan cinta.
Dan saat matahari tenggelam untuk kesekian kalinya, Rafi menatap langit dan membisikkan satu kalimat:
“Aku telah menemukanmu.”
TAMAT
Terima kasih telah mengikuti kisah ini. Jika kamu ingin versi e-book, cover desain, atau pengembangan ke naskah novel lengkap, aku bisa bantu. Atau kamu ingin spin-off?
You said:
buatkan narasi pengantar novel di atas, namu tak perlu detailkan plotnya.
ChatGPT said:
Tentu! Berikut adalah narasi pengantar (blurb) untuk novel “Sekali dalam Seribu Hari”. Narasi ini dirancang untuk membangkitkan rasa penasaran pembaca tanpa membocorkan detail plotnya:
Sekali dalam Seribu Hari
Bagaimana jika cinta hanya hadir sekali… dalam seribu hari?
Rafi tidak pernah tahu bahwa satu pertemuan singkat bisa mengubah arah hidupnya selamanya. Di balik kesederhanaan kota, di antara senyapnya sore dan sunyinya ruang hati, ia bertemu Aline—gadis yang datang dan pergi seperti bayangan waktu.
Mereka hanya punya satu hari. Tapi hari itu cukup untuk menumbuhkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan: ikatan yang menembus logika, dan rasa yang menolak padam meski waktu terus memisahkan.
Ini bukan kisah cinta biasa.
Ini kisah tentang penantian yang panjang, rahasia yang sunyi, dan keberanian untuk mencintai—meski hanya dalam serpihan waktu. Selesai, silahkan lanjut ke novel pendek berikutnya.