Novel Singkat Arah Pulang yang Tidak Pernah Ada
Novel Singkat Arah Pulang yang Tidak Pernah Ada

Novel Singkat: Arah Pulang yang Tidak Pernah Ada

Rae, seorang ilmuwan muda jenius di bidang fisika realitas alternatif, tengah menguji ciptaannya: mesin realitas lipat, alat yang mampu memutar ulang eksistensi bukan waktu. Namun eksperimen itu gagal. Rae terbangun di dunia asing, tempat dirinya tidak pernah dilahirkan. Tak ada identitas, rumah, ataupun ibu yang mengandungnya. Ia bukan siapa-siapa di dunia yang berjalan sempurna tanpa dirinya.

Saat dunia mulai melupakannya, hanya satu orang yang mengingat Rae: Eshan, seorang pria sepi yang mengaku telah bermimpi tentang Rae setiap malam selama dua belas tahun. Ia mencintai Rae bahkan sebelum mereka bertemu, dan percaya Rae adalah jawaban dari doanya yang paling dalam.

Namun semakin Rae dan Eshan saling mendekat, realitas mulai menolak keberadaan Rae. Tubuhnya kehilangan bayangan, cermin tak lagi memantulkannya, dan orang-orang perlahan melupakannya. Rae harus memilih: kembali ke dunia asalnya yang mungkin sudah hancur, atau bertahan bersama Eshan dengan risiko dunia menghapus Eshan sebagai harga dari ketidakseimbangan eksistensi.

Bab 1 – Dunia Tanpa Nama

Langit mendung menyelimuti kota asing saat Rae membuka matanya di atas ranjang yang bukan miliknya. Udara di kamar itu terlalu hening, seperti dunia sedang menahannya untuk tetap diam. Ia duduk perlahan, memegang kepala yang berat dan leher yang kaku, mencoba mengingat bagaimana ia bisa sampai di tempat ini. Tapi tidak ada yang datang. Tidak ada memori yang menempel.

Langkah pertamanya menjejak lantai kayu dingin, dan suara detaknya terdengar asing. Ia berjalan menyusuri lorong rumah itu, menemukan bingkai-bingkai foto yang menampilkan wajah-wajah yang tidak ia kenali. Ia mengira sedang bermimpi. Atau mungkin salah masuk rumah. Tapi saat membuka pintu depan dan menyaksikan jalanan yang penuh lalu lintas dan orang-orang beraktivitas seperti biasa, Rae tahu—ini bukan mimpi.

Ia kembali ke dalam, mencari cermin. Begitu menemukannya di kamar mandi, ia menatap pantulan dirinya. Tapi yang muncul adalah bayangan kabur, samar, seolah cermin pun tidak yakin harus memantulkan siapa. Ia mengangkat tangannya, gerakan yang seharusnya spontan, tapi pantulan itu tertinggal sepersekian detik.

Namanya adalah Rae. Itu satu-satunya hal yang ia ingat pasti. Dan bahwa ia adalah ilmuwan. Ia mengingat alat itu—mesin realitas lipat. Mesin yang diciptanya bukan untuk menjelajah waktu, tapi untuk menjelajah kemungkinan. Teori tentang mengulang eksistensi, tentang bagaimana satu keputusan kecil bisa menciptakan dunia baru. Dunia alternatif.

Namun sekarang, dunia ini terasa bukan miliknya. Ia mengetik namanya di ponsel yang ia temukan di tas yang ikut bersamanya. Hasil pencarian: nihil. Tidak ada akun, tidak ada identitas. Bahkan akta lahirnya tidak terdaftar. Ia menelpon nomor yang dulu ia hafal: rumah ibunya.

Yang menjawab adalah suara pria tua. Bingung, hangat, dan jelas bukan suara siapa pun yang pernah ia kenal.

“Maaf, siapa?” tanya pria itu.

“Saya mencari… Ibu Liana. Rumah ini dulu milik—”

“Maaf, Bu. Rumah ini kami tempati sejak dua puluh tahun lalu. Saya rasa Anda salah sambung.”

Telepon terputus. Rae diam di tempat, dunia seakan menghantamnya tanpa ampun. Ia menelusuri jalan pulang—tempat ia biasa berbelok saat masih kecil, gang di dekat toko roti, taman tempat ia membaca buku. Tapi tak ada yang mengenalnya. Bahkan toko rotinya kini jadi restoran Korea. Dan taman itu sudah berubah jadi parkiran mobil.

Di tengah keputusasaan, Rae berjalan tanpa arah sampai langit mulai gelap. Ia ingin bertanya kepada seseorang, siapa pun, agar merasa tidak gila. Tapi setiap orang yang ia sapa hanya melihat ke arahnya sebentar… lalu pandangan mereka beralih, seolah ia hanya tiupan angin lewat.

Saat itulah, seseorang mendekatinya dari sisi kanan trotoar. Seorang pria muda, berjaket abu-abu dengan ransel hitam di punggungnya. Ia berhenti tepat di depan Rae dan menatapnya lama. Tatapannya bukan sekadar mengenali—tapi seperti seseorang yang baru saja menemukan bagian dirinya yang hilang.

“Kau Rae?” suaranya pelan, tapi yakin.

Rae terpaku. “Siapa kamu?”

“Aku Eshan.”

“Maaf, aku…”

“Aku tahu ini terdengar gila. Tapi aku… aku sudah memimpikanmu selama dua belas tahun. Setiap malam. Nama, wajah, suara, caramu tertawa. Aku tahu kamu nyata. Dan aku tahu kamu tidak dari dunia ini.”

Rae tertawa hambar. “Jadi aku benar-benar gila.”

“Tidak,” kata Eshan cepat. “Kau nyata. Tapi dunia ini tidak dibuat untuk mengingatmu.”

Mereka duduk berdua di bangku taman kosong. Eshan menceritakan mimpi-mimpinya. Bagaimana sejak usia belasan tahun, ia selalu melihat seorang gadis bernama Rae dalam tidurnya. Ia tumbuh dewasa bersama bayangan Rae dalam kepala. Ia tahu Rae suka teh hangat saat gelisah. Rae punya luka kecil di pergelangan tangan kiri—karena dulu pernah jatuh dari sepeda. Semua itu benar. Terlalu benar.

Rae memegang pergelangan tangannya sendiri. Luka itu memang ada.

“Kenapa aku di sini?” bisiknya.

“Entahlah,” Eshan menjawab jujur. “Tapi aku yakin kamu bukan ilusi. Kamu… nyata. Bahkan jika dunia ini tidak bisa membuktikannya.”

Hujan turun. Tapi anehnya, tubuh Rae tetap kering. Rintik air menembus tubuhnya, jatuh ke tanah seolah dia tak punya fisik. Eshan melihatnya dengan mata berkaca. “Kau mulai menghilang.”

Rae memeluk dirinya sendiri. Ia ingin menangis, tapi air matanya pun menolak jatuh. Dunia ini benar-benar bukan tempatnya. Ia tidak punya sejarah di sini. Tidak ada akar, tidak ada fondasi eksistensial.

Tapi Eshan ada. Dan Eshan mengenalnya.

Malam itu, Rae tidur di sofa rumah Eshan. Ia tak sanggup kembali ke rumah yang tak pernah menjadi rumah. Sebelum tidur, ia berbisik lirih, nyaris seperti doa pada dirinya sendiri.

“Andai aku bisa pulang…”

Namun dalam hatinya yang sunyi, Rae tahu. Arah pulang itu… mungkin memang tidak pernah ada.

Bab 2 – Pria yang Mencintai dalam Tidur

Rae terbangun dengan kepala berat dan napas tak beraturan. Cahaya pagi menyusup dari sela jendela rumah Eshan, membentuk pola-pola lembut di lantai. Aroma kopi menyapa dari dapur, menenangkan sekaligus asing. Ia belum terbiasa dengan ketenangan seperti ini—terlalu tenang untuk seseorang yang tidak seharusnya ada.

Eshan sedang menuang air panas ke dalam dua cangkir. Saat melihat Rae duduk di ujung sofa, ia tersenyum.

“Pagi. Aku buatkan teh, bukan kopi. Kau lebih suka teh saat cemas, kan?”

Rae menatapnya ragu, lalu mengambil cangkir yang disodorkan. Jemarinya gemetar sedikit.

“Bagaimana kau tahu semua hal itu?”

Eshan duduk di kursi seberang, memandangi Rae seperti seseorang yang tengah menonton film favorit yang nyaris dihapus dari bioskop.

“Sudah kubilang… aku bermimpi tentangmu. Setiap malam. Di setiap mimpi, kamu nyata. Kamu bicara, tertawa, menangis, dan terkadang, kamu hanya duduk di sampingku sambil diam. Tapi aku selalu merasa… utuh ketika kamu ada di sana.”

“Kenapa aku?” Rae bertanya, bukan menuntut, hanya ingin mengerti.

Eshan terdiam. “Aku juga tidak tahu. Tapi semakin aku dewasa, mimpiku tentangmu juga tumbuh. Kamu jadi lebih jelas, lebih nyata. Aku tahu kamu seorang ilmuwan. Aku tahu kamu sering begadang membaca data. Aku bahkan tahu kamu punya tahi lalat kecil di bawah telinga kanan. Aku hafal semuanya. Tapi… aku tak pernah tahu kamu nyata, sampai kemarin.”

Rae menyentuh telinganya. Tahi lalat itu memang ada.

Ia menunduk. Rasanya seperti menjadi karakter dalam cerita yang tak pernah ia tulis. Seperti hidupnya kini milik orang lain—atau lebih tepatnya, mimpi orang lain.

“Apa kamu yakin aku nyata?” Rae berbisik.

Eshan menatapnya, mata hitam itu penuh kesungguhan yang menyakitkan.

“Aku lebih yakin pada keberadaanmu daripada keberadaanku sendiri.”

Kalimat itu membungkam Rae. Hening menggantung di antara mereka, bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena keduanya sedang perlahan memahami apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi.

“Dunia ini tidak mengenalmu,” lanjut Eshan pelan, “tapi aku mengenalmu. Dan selama aku ingat kamu, kamu ada.”

“Masalahnya,” Rae berkata sambil menatap cermin kecil di dinding, “pantulan di cermin mulai melupakanku. Dunia ini sedang mencoba menghapusku.”

Ia berdiri perlahan, membawa cangkir tehnya ke jendela. Di luar, anak-anak berlarian. Orang tua menyusuri trotoar. Semuanya terasa normal… dan itu menyesakkan. Karena tidak ada satu pun dari mereka yang bisa melihat betapa Rae sedang memudar.

“Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyanya tanpa menoleh.

“Kamu ingin pulang?”

“Bagaimana caranya pulang… jika tak ada yang menungguku di sana? Aku bahkan tak tahu apakah dunia asalku masih utuh. Atau aku sudah hancurkan semuanya waktu mesin itu rusak.”

“Kamu tidak hancur,” Eshan menjawab dengan yakin. “Kamu hanya… tersesat.”

Rae menelan ludahnya. Kata ‘tersesat’ terdengar begitu dalam saat keluar dari mulut Eshan. Seolah itu bukan sekadar kondisi, tapi status eksistensial. Ia bukan bagian dari mana pun. Bukan di sini. Mungkin juga bukan di dunia asalnya.

Eshan berdiri mendekat. Ia mengambil kertas kosong dan pensil dari meja kecil di dekat jendela. Lalu ia mulai menggambar wajah Rae dengan tangan gemetar, seperti seseorang yang takut kehilangan detail.

“Kau tahu,” katanya sambil terus menggambar, “setiap kali aku menggambarmu di mimpi, gambarmu hilang saat aku bangun. Tapi kali ini aku ingin melihat apakah kamu tetap ada.”

Rae menatapnya. Ada sesuatu yang aneh di dada kirinya. Sejenis kehangatan yang pelan-pelan menekan sesak.

“Kenapa kamu melakukan semua ini untukku?”

Eshan berhenti menggambar. Ia mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu.

“Karena kau adalah satu-satunya hal yang tak pernah menghilang dalam hidupku.”

Kata-kata itu menghantam Rae lebih dari apa pun. Di dunia tempat ia bahkan tak punya nama, ada seseorang yang mengingatnya lebih baik dari dirinya sendiri. Tapi justru karena itulah ia takut. Karena setiap langkah yang ia ambil di sini membuat jejaknya semakin nyata… dan dunia semakin retak.

Hari itu berlalu seperti kabut. Rae tidak berbicara banyak. Ia duduk, berpikir, menulis di buku kosong, mencoret-coret rumus tentang realitas, kemungkinan, dan eksistensi. Tapi setiap rumus hanya membawa satu hasil: Rae bukan bagian dari persamaan.

Saat malam tiba, Eshan menyiapkan kamar untuk Rae. Tapi Rae memilih tidur di sofa, lebih dekat ke jendela. Di luar, langit gelap pekat. Tapi ada satu titik cahaya kecil, tak seharusnya ada—sebuah bintang yang tampak hanya di atas kepala Rae.

“Mungkin semesta masih mengenalmu sedikit,” kata Eshan sambil berdiri di pintu.

“Jika aku memudar sepenuhnya, apa kamu masih akan mengingatku?”

“Ya,” jawabnya. “Sampai tidak ada lagi aku yang tersisa.”

Rae menutup matanya, dan dalam gelap, ia merasa tubuhnya mulai menghilang pelan. Tapi sebelum itu terjadi, ia mendengar satu suara terakhir dari Eshan.

“Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa sampai ke sini, Rae. Tapi jika kamu datang karena doaku… aku takkan pernah berhenti berdoa agar kamu tetap di sini.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Rae bermimpi. Tapi bukan tentang pulang. Melainkan tentang seorang pria… yang mencintainya sebelum ia sempat hadir.

Bab 3 – Bayangan yang Hilang

Pagi itu, matahari menembus tirai tipis seperti biasa. Tapi Rae tahu, sesuatu telah berubah.

Ia berdiri di depan cermin besar di kamar mandi Eshan. Menatapnya lekat-lekat. Ia mengangkat tangan kanan—dan tidak melihat apa pun. Cermin itu tak memantulkan apa pun. Seolah ia tak pernah berdiri di sana.

“Eshan?” panggilnya dari balik pintu, suaranya terdengar sedikit gemetar.

Tak lama, Eshan muncul. “Kenapa?”

Rae menunjuk cermin. “Apa kau bisa melihatku di sini?”

Eshan menatap bayangan Rae, lalu ke cermin, lalu kembali ke Rae. Ia terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Tidak. Tapi kamu ada di sini.”

Rae duduk di lantai, lututnya terlipat. “Cermin pun menolakku sekarang.”

Eshan jongkok di sampingnya, mencoba menyentuh bahunya—tapi untuk sepersekian detik, tangannya seperti menembus kulit Rae. Ia terkejut. Rae pun menyadarinya.

“Kau merasakan itu?” bisik Rae.

“Ya.”

“Berarti bukan cuma pantulan. Tubuhku… mulai menghilang juga.”

Mereka tidak berkata-kata cukup lama. Hanya napas mereka yang mengisi ruang, dan keheningan yang makin berat.

Setelah beberapa saat, Eshan akhirnya berkata, “Aku pernah baca teori… tentang eksistensi yang tertolak. Bahwa jika seseorang tidak memiliki ‘akar sejarah’ dalam satu dunia, maka keberadaannya akan ditolak perlahan. Mulai dari pantulan, hingga keberadaan fisik.”

“Kau bicara seperti aku ini virus.”

“Bukan virus,” ujar Eshan lembut. “Tapi sesuatu yang terlalu murni, terlalu tidak tercatat, sehingga semesta bingung harus menyimpanmu di mana.”

Rae memejamkan matanya. Dunia ini terus mengikisnya, menghapusnya tanpa suara. Dan hanya Eshan yang mampu mengingat.

Mereka keluar rumah siang itu, mencari jejak Rae di tempat yang kemarin sempat mereka lewati. Rae yakin masih ada sisa dirinya di sana—setidaknya secuil. Mereka pergi ke taman, tempat Rae duduk semalam. Bangku masih ada. Tapi ukiran namanya yang kemarin ia gores dengan kuku… sudah hilang. Seperti waktu telah menghapus setiap percobaan Rae untuk “meninggalkan jejak.”

Lalu mereka ke toko kue kecil yang sempat Rae datangi malam sebelumnya. Rae memberanikan diri bertanya kepada pemiliknya.

“Permisi… apakah kemarin Anda melihat saya masuk ke toko ini? Saya berdiri di dekat rak roti.”

Wanita paruh baya itu tersenyum sopan. “Maaf, Nona. Saya tidak ingat.”

Padahal Rae ingat betul. Ia menyentuh kue coklat yang dipajang di sana. Ia bahkan mencium aromanya. Tapi sekarang… tidak ada satu pun yang mengingat.

Saat mereka berjalan pulang, langit mulai kelabu. Angin dingin menerpa wajah Rae, tapi ia tak merasa apa-apa. Kulitnya mati rasa. Ia meremas tangan Eshan untuk memastikan bahwa ia masih ada.

“Kalau semua jejakku hilang… apakah kita masih bisa menciptakan jejak baru?” tanya Rae pelan.

Eshan menghentikan langkah. Menatapnya dengan mata yang mulai lelah karena mencoba percaya sesuatu yang terus-menerus direnggut dari tangannya.

“Aku ingin percaya bisa. Tapi mungkin bukan di dunia ini.”

Mereka berdiri di bawah pohon tua, di tepi jalan sepi. Daun-daun berguguran, jatuh perlahan, namun tak satu pun menyentuh Rae. Semuanya tertiup menjauh, seolah udara pun enggan bersinggungan dengannya.

“Kalau aku pergi dari dunia ini,” Rae bergumam, “kamu akan kehilangan aku, kan?”

Eshan tidak menjawab. Ia hanya menunduk.

Dan itu sudah cukup.

Malam harinya, Rae mencoret-coret papan tulis kecil di ruang tamu. Rumus-rumus tentang lipatan realitas, frekuensi kuantum, dan titik penyusup dimensi ia tulis dengan cepat. Di tengah semuanya, ia menggambar diagram yang aneh: sebuah siluet tubuh, di tengah pusaran ruang, dengan tulisan kecil:

“Jika aku tidak bisa kembali ke dunia asal, dan dunia ini tak bisa menampungku… ke mana aku harus pergi?”

Ia menatap tulisan itu lama, lalu menambahkan satu kalimat kecil di pojok:

“Atau… aku harus berhenti eksis?”

Eshan membaca tulisan itu dari jauh. Lalu ia maju perlahan, menghapus kata terakhir, dan menuliskan sesuatu yang baru:

“Atau… aku menciptakan dunia untukmu.”

Rae menoleh. “Apa maksudmu?”

“Bagaimana kalau… selama ini kamu memang datang bukan karena kecelakaan? Tapi karena ada sesuatu dalam diriku yang memanggilmu. Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku merasa… kamu selalu menuju ke sini. Ke aku.”

“Eshan…”

“Aku mencintaimu bahkan sebelum tahu kamu nyata. Dan sekarang kamu di sini, dan aku tidak akan menyerah hanya karena dunia lupa padamu.”

Hening kembali mengisi ruangan. Tapi kali ini bukan hening yang sunyi, melainkan hening yang hangat. Seperti dua jiwa sedang mencoba menemukan tempat mereka di semesta yang menolak.

Rae mendekat dan menempelkan dahinya ke dada Eshan.

“Jika aku hilang suatu hari nanti… ingatlah bahwa aku pernah ada di sini. Di dadamu. Bahkan jika tidak ada yang bisa melihatku.”

Eshan menutup matanya. “Aku akan mengingatmu bahkan saat aku sendiri sudah tidak ada.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Rae tidak lagi takut. Ia tahu, sekalipun bayangannya dihapus dari cermin… ia tetap nyata di mata satu orang. Dan mungkin, hanya itu yang ia butuhkan untuk bertahan sedikit lebih lama.

Bab 4 – Teori Eksistensi Ganda

Hujan turun tanpa suara pagi itu. Aneh. Butir air menghantam jendela, tapi tidak ada denting, tidak ada suara gemericik seperti biasanya. Seolah dunia sedang belajar menjadi senyap.

Rae duduk di meja kerja Eshan, dikelilingi lembar-lembar kertas dan papan tulis penuh coretan. Wajahnya serius, namun matanya kosong. Beberapa angka ditulis lalu dicoret, diganti dengan simbol-simbol yang tampak seperti percampuran fisika dan harapan.

Eshan berdiri di dekat pintu, menyandarkan tubuh pada dinding, menatap Rae seperti seseorang yang sedang menyaksikan seseorang lainnya perlahan larut dari dunia.

“Kenapa kamu terus menulis rumus itu?” tanyanya akhirnya. “Kamu bahkan tidak yakin realitas ini bisa dipetakan.”

Rae menghela napas. “Aku mencoba mencari cara… bukan untuk kembali. Tapi untuk menemukan di mana seharusnya aku berada.”

Ia menatap sebuah diagram yang rumit, menunjukkan garis-garis dunia sejajar. Dalam setiap garis, ada bayangan dirinya—tapi satu demi satu disilang merah.

“Dulu aku pikir ada satu dunia untuk satu jiwa. Tapi sekarang… aku mulai yakin, mungkin ada lebih dari satu aku. Hanya saja, aku yang ini… datang terlalu jauh.”

Eshan berjalan perlahan mendekat. Ia membaca coretan di papan:

Eksistensi Ganda: jika dua entitas berbagi frekuensi jiwa yang sama, salah satunya harus lenyap… atau keduanya akan runtuh.

“Ini yang kamu maksud dengan ‘eksistensi ganda’?” tanya Eshan.

Rae mengangguk. “Jika aku berasal dari dunia lain dan masuk ke sini, tapi versi ‘aku’ di dunia ini tidak pernah lahir, maka aku adalah bagian yang tidak lengkap. Aku bisa hidup, tapi dunia ini akan menolakku… perlahan. Karena tak ada tempat untukku.”

Eshan menatapnya dalam. “Kalau begitu, mungkin jawabannya bukan kembali… tapi menciptakan tempat itu.”

“Kamu bicara seperti aku bisa menulis ulang hukum semesta.”

“Kau Rae. Kau ilmuwan yang bisa menciptakan mesin pemutar realitas. Jika orang seperti kamu saja tidak percaya kemungkinan itu, siapa lagi?”

Rae tertawa kecil, pahit. “Kau benar-benar satu-satunya yang masih percaya aku nyata.”

“Mungkin karena kau adalah satu-satunya yang membuatku merasa nyata.”

Kata-kata itu membuat Rae berhenti menulis. Ia menatap Eshan. Matanya kini lembut, sedikit berkabut.

“Kenapa kamu begitu yakin padaku, Eshan?”

“Karena… setiap orang di dunia ini berpura-pura mengenal diriku. Tapi kamu adalah satu-satunya yang benar-benar melihat aku apa adanya, bahkan saat aku belum ada.”

“Karena kamu yang menciptakanku dalam doamu?”

Eshan terdiam.

Rae melangkah mendekat, menatapnya lekat-lekat. “Apakah kamu pernah merasa… begitu kesepian, sampai rasanya kau menciptakan seseorang hanya agar bisa bertahan?”

Eshan menunduk. “Ya. Aku bahkan tidak tahu kalau itu mungkin.”

“Doamu… bisa jadi semacam resonansi. Saat kamu terus-menerus membayangkan keberadaanku, alam bawah sadarmu menciptakan semacam celah. Dan celah itu terhubung dengan mesinku. Itu bisa menjelaskan kenapa aku justru tertarik ke dunia ini saat semuanya kacau.”

“Jadi… kamu datang karena aku memanggilmu?”

Rae tak menjawab. Ia hanya duduk kembali dan menulis sesuatu: sebuah teori baru di tengah kekacauan.

Teori Resonansi Jiwa: panggilan emosional yang terlalu dalam dapat menciptakan celah realitas, menarik jiwa dari dimensi lain yang sesuai.

Ia menulis di bawahnya satu kalimat kecil:

Jadi aku bukan hasil kecelakaan… tapi hasil rindu yang terlalu dalam.

Eshan menatap tulisan itu lama.

“Tapi itu berarti kamu tidak pernah seharusnya di sini,” gumamnya. “Kamu datang… karena aku egois.”

Rae menatapnya, suara pelan dan tajam.

“Tidak. Kamu tidak egois. Kamu hanya kesepian. Dan itu… manusiawi.”

Namun jauh di dalam dirinya, Rae merasa getir. Jika ia benar datang karena doa, maka keberadaannya bukan karena pilihan. Melainkan karena kebutuhan. Dan jika ia tinggal… maka semesta akan tetap berusaha menyingkirkannya.

Tiba-tiba, lampu rumah mati. Cahaya padam sepenuhnya, menyisakan hanya gelap dan suara hujan.

Rae berdiri perlahan, tubuhnya bergetar.

“Ini terjadi lagi…” katanya. “Saat aku semakin kuat di sini, dunia semakin rusak.”

Mereka berjalan ke luar rumah. Di jalanan, lampu-lampu padam satu per satu. Awan menebal, dan dalam hitungan menit, hujan yang semula turun perlahan berubah menjadi badai aneh—angin berputar hanya di sekitar rumah mereka.

Orang-orang di luar panik. Tapi saat melihat Rae, tidak ada yang mengenalnya. Bahkan beberapa mulai menatapnya dengan ketakutan, berbisik-bisik, lalu menjauh.

Salah satu anak kecil menunjuk ke arah Rae dan berkata, “Mama, kenapa dia tidak punya bayangan?”

Rae menoleh ke belakang. Ia berdiri tepat di bawah lampu jalan, tapi tanah di bawahnya kosong. Tidak ada bentuk, tidak ada bayangan. Ia sepenuhnya transparan.

Ia menatap Eshan.

“Aku sudah terlalu dalam di sini. Dan dunia tidak bisa menerima aku.”

Eshan memegang tangannya erat. “Lalu kita buat dunia baru. Dunia di mana kamu diterima. Dunia di mana kita bisa ada… bersama.”

Tapi Rae tahu. Tidak semudah itu. Setiap tarikan untuk mempertahankannya di sini, akan menimbulkan reaksi. Dan jika ia terlalu lama berada di sisi Eshan… mungkin dunia akan mengambilnya sebagai ganti.

Ia menatap langit gelap itu. Dalam keheningan badai, ia sadar: waktu untuk memilih perlahan mendekat. Dan pilihan itu bukan tentang bertahan atau kembali… tapi tentang siapa yang harus hilang terlebih dahulu.

Bab 5 – Dunia yang Mulai Lupa

Hujan telah reda. Langit menggantung kelabu seperti lembar kertas yang belum selesai ditulis. Udara pagi dingin, tapi Rae tidak merasa apa-apa. Bahkan udara tak lagi menyentuh kulitnya.

Ia duduk di kursi kayu di luar rumah, menatap taman kecil yang kosong. Daun-daun basah menempel di tanah. Tapi tidak ada yang menempel padanya. Ia mencoba menyentuh bunga di pot, namun tangannya menembus kelopaknya—tanpa bekas, tanpa rasa.

Dunia mulai melupakannya. Tapi Rae masih di sana.

Eshan keluar membawa dua cangkir teh. Ia meletakkan satu di meja dekat Rae, walau tahu, Rae mungkin tak akan bisa lagi merasakan hangatnya.

“Semalam aku bermimpi lagi,” katanya perlahan. “Kamu… menghilang. Bukan karena mati. Tapi karena aku lupa kamu pernah ada.”

Rae menunduk. “Itu bukan mimpi, Eshan. Itu peringatan.”

Hari itu mereka berjalan ke pusat kota. Rae ingin memastikan—seberapa jauh dunia telah melupakannya. Mereka tiba di toko kue yang dulu sempat ia datangi saat pertama kali menyadari eksistensinya mulai retak. Kali ini, Rae membuka pintu lebih dulu. Bel berbunyi pelan.

Pemilik toko yang sama berdiri di balik etalase. Wanita paruh baya dengan senyum sopan dan pandangan tajam.

“Selamat pagi, bisa saya bantu?”

“Apakah Anda ingat saya datang ke sini beberapa hari lalu?” tanya Rae. Suaranya tenang, tapi menggantung harapan kecil.

Wanita itu menatapnya lama, kemudian tersenyum tipis. “Maaf, Nona. Saya rasa ini kali pertama kita bertemu.”

“Benarkah? Saya sempat berdiri di sini, menyentuh rak roti… dan Anda menyapa saya.”

“Tidak ada tamu seperti itu beberapa hari terakhir,” jawab wanita itu.

Eshan maju, mencoba ikut bicara. “Kami duduk di pojok sana. Meja kecil dekat jendela. Saya memesan dua muffin cokelat, dan Anda memberinya teh hangat.”

Wanita itu mengernyit. “Tuan datang sendiri waktu itu. Tidak ada siapa pun bersama Anda.”

Suasana jadi sunyi. Rae melangkah mundur. Telinganya mendadak berdenging, seperti tubuhnya sedang ditarik ke luar kenyataan.

Mereka keluar dari toko. Jalanan ramai, tapi orang-orang tak menoleh ke arah Rae. Bahkan ketika ia menyenggol seseorang, pria itu hanya menggigil sedikit lalu berlalu. Tak satu pun kata maaf. Tak satu pun tatapan.

“Aku… jadi tidak nyata,” bisik Rae.

Eshan menahan napas. Ia ingin mengatakan tidak. Ingin menolak kenyataan itu. Tapi bagaimana jika kenyataan memang bukan tempat Rae berasal?

“Pulang,” kata Rae tiba-tiba. “Mungkin aku harus cari cara kembali. Sebelum semuanya terlalu terlambat.”

Eshan menoleh cepat. “Kamu mau pergi?”

“Aku tidak ingin menghilang dari sini… tapi kalau tetap tinggal, mungkin aku tidak akan tersisa sama sekali. Bahkan kamu akan melupakanku.”

“Aku tidak akan lupa.”

“Kau bilang itu semalam. Tapi mimpi itu mungkin bukan peringatan. Mungkin itu masa depan.”

Mereka berdiri di trotoar, di antara keramaian yang seolah bergerak di dimensi berbeda. Seorang anak kecil berlari ke arah Rae, hendak mengambil balon yang terlepas. Rae reflek ingin menangkapnya. Tangannya lewat begitu saja. Balon itu terus melayang, dan si anak berhenti—menatap tepat ke arah Rae dengan mata terbelalak.

“Ibu…” bisiknya, “ada hantu di sini.”

Ibunya menarik si anak cepat-cepat menjauh, menoleh sebentar ke arah Rae, namun tak melihat apa-apa. Rae masih berdiri di sana, perlahan goyah.

Eshan menggenggam tangan Rae. Tapi kali ini, genggaman itu dingin.

“Aku masih bisa menyentuhmu,” katanya.

“Tapi aku tidak bisa menyentuh dunia.”

Mereka kembali ke rumah dengan langkah berat. Rae mulai merasakan tubuhnya lebih ringan, seperti angin bisa membawa dirinya jika ia tidak berpikir cukup keras untuk tetap ada.

Di kamar kerja, Rae memandangi kembali mesin realitas lipat versi mini yang dulu ia ciptakan. Ia mulai menulis ulang kode, memodifikasi frekuensi, berharap bisa membuka jalur kembali ke dimensi asal. Tapi semakin ia menulis, semakin jari-jarinya tak mampu menyentuh keyboard.

Beberapa huruf tak terketik. Layar komputer tak mengenali sentuhannya.

Eshan berdiri di belakangnya, wajahnya pucat. Ia tak berkata apa-apa, hanya melihat Rae yang seperti bayangan samar, terjebak di antara ada dan tidak.

“Aku akan kembali,” kata Rae pelan. “Tapi bukan karena aku ingin. Tapi karena aku takut kamu akan lenyap juga… jika aku bertahan.”

Eshan berlutut di sampingnya. “Jadi ini… perpisahan?”

Rae menggeleng. “Belum. Aku akan berjuang sebisa mungkin. Tapi jika suatu saat aku pergi… ingatlah aku pernah duduk di sini. Bersamamu. Membuat teh. Menulis rumus. Tertawa walau hanya sebentar.”

Ia menyentuh wajah Eshan—atau mencoba. Jemarinya menembus pipi pria itu seperti kabut.

“Dan jika semua dunia melupakanku… tetaplah percaya bahwa aku pernah mencintaimu.”

Mata Eshan memerah. Ia menggenggam udara yang tak bisa lagi menggenggamnya balik.

Malam itu, langit berwarna aneh. Di atas rumah mereka, ada lingkaran cahaya samar yang bukan bulan, bukan bintang. Dunia mulai menyesuaikan… untuk melupakan Rae sepenuhnya.

Dan di dalam rumah itu, di kamar yang dingin, Rae menulis satu kalimat terakhir di bukunya sebelum tinta pulpen berhenti keluar:

“Aku tidak tahu ke mana arah pulang. Tapi aku tahu, aku tidak pernah ingin meninggalkanmu.”

Lalu tinta menghilang, huruf-huruf memudar, dan perlahan… hanya sunyi yang tersisa.

Bab 6 – Ciuman yang Membakar Realitas

Malam itu dunia menjadi terlalu sunyi. Bahkan suara angin pun seolah menahan napas.

Rae duduk di depan jendela, menatap langit yang tak lagi menunjukkan bintang. Cahayanya pucat, seolah bulan pun lupa bagaimana bersinar. Ia bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan berat. Saat ia melangkah, kakinya nyaris tak bersuara. Ia melayang pelan di dunia yang semakin tak percaya akan keberadaannya.

Eshan duduk di dekatnya, mata tak lepas dari Rae, seolah takut jika sekali ia berkedip, Rae akan lenyap. Tangannya terus terbuka di samping, seperti ingin meraih, tapi tak berani. Ia tahu… Rae mungkin tinggal bayangan sebentar lagi.

“Kamu masih di sini,” bisik Eshan.

Rae menoleh pelan. “Untuk berapa lama lagi?”

“Aku tidak peduli,” jawabnya. “Selama masih bisa bicara denganmu, selama kamu masih menyapaku… itu cukup.”

Rae menghela napas, tak terasa hangat di dadanya. Bahkan napasnya sendiri mulai tak terdengar. Tapi ada satu hal yang masih bisa ia rasakan—mata Eshan. Tatapan itu. Penuh ketakutan dan cinta yang tak terucap.

“Kamu tahu apa yang aku sesali?” tanya Rae.

“Apa?”

“Kita tidak pernah benar-benar merasakan satu sama lain. Dunia ini selalu membuat kita setengah. Bahkan untuk menyentuh pipimu saja… aku harus memohon pada semesta agar tubuhku tidak menghilang dulu.”

Eshan menunduk. “Mungkin itu cara dunia bilang… cinta kita melampaui bentuk.”

Rae tertawa kecil. “Kamu selalu bisa membuat yang mustahil terdengar indah.”

Sunyi kembali turun. Lalu Rae mendekat, duduk di hadapan Eshan, sangat dekat. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti.

“Kalau dunia ini akan menghukumku karena aku memilih bertahan… biarlah,” katanya pelan. “Aku ingin tahu rasanya.”

“Rasanya apa?”

“Dicintai. Sebenarnya.”

Dan tanpa menunggu jawaban, Rae mencium Eshan.

Lembut, pelan, seperti embun yang menyentuh daun untuk pertama kalinya. Tapi saat bibir mereka bersentuhan, langit di luar pecah.

Bunyi gemuruh mengguncang kota. Cahaya-cahaya listrik padam serempak. Jalanan kosong berubah gelap total. Seluruh perangkat elektronik bergetar sejenak lalu mati. Di kejauhan, terdengar teriakan orang-orang bingung karena dunia tiba-tiba meredup.

Namun di antara kekacauan itu, Rae dan Eshan masih duduk di tempat yang sama. Nafas mereka menyatu. Waktu seperti menunduk pada mereka.

Tapi ada sesuatu yang aneh.

Tubuh Rae mulai berkedip. Sesekali menghilang, lalu muncul kembali. Seperti bayangan yang tak yakin apakah masih harus ada.

Eshan memeluknya. “Jangan pergi.”

“Dunia sedang memilih. Antara aku… atau kamu.”

“Apa maksudmu?”

Rae menatap matanya, dan untuk pertama kalinya, ia menangis. Tapi air matanya tak jatuh. Ia menangis dalam cahaya, dalam keberadaan yang tak bisa meneteskan kesedihan secara fisik.

“Aku tahu dari awal,” kata Rae lirih. “Ciuman ini… mungkin akan membuat dunia memilih.”

“Maksudmu… memilih untuk menghapusmu?”

“Atau… menghapusmu. Karena kamu yang memanggilku ke sini. Dan semesta tidak suka ketidakseimbangan.”

Eshan terdiam. Tubuhnya perlahan gemetar. Ia ingin marah, ingin protes pada hukum semesta, ingin mengutuk doa-doanya sendiri yang dulu terlalu dalam.

“Jadi aku egois.”

“Tidak. Kamu hanya… terlalu berharap. Dan aku datang karena harapanmu terlalu kuat untuk ditolak.”

Cahaya di langit membentuk pola aneh. Seperti pusaran, bergerak di atas rumah mereka. Bayangan mereka di lantai menghilang sepenuhnya. Dan di luar jendela, orang-orang berdiri di jalanan… bingung. Menatap langit, menatap rumah kecil itu. Tapi tak satu pun melihat Rae.

Bahkan suara mereka tak sampai.

Rae memegang wajah Eshan. Jemarinya masih menyentuh, meski perlahan mulai tembus cahaya.

“Aku mencintaimu, Eshan.”

Eshan menggeleng, menahan air mata. “Jangan bilang seperti itu… seolah kamu akan pergi.”

“Aku tidak tahu. Tapi jika aku harus memilih antara menghilang… atau menyaksikan kamu perlahan lenyap karena keberadaanku… maka kamu tahu, aku akan memilih apa.”

“Tidak.”

“Ya.”

Eshan menunduk, menempelkan keningnya pada Rae. “Kalau kau menghilang, siapa yang akan mengingat kita?”

“Tak perlu siapa pun. Kita pernah ada. Di antara satu detik yang patah, di antara satu ciuman yang membakar realitas. Dan itu cukup.”

Malam itu, dunia tidak berbunyi.

Waktu berjalan pelan, seperti menunggu mereka menyelesaikan perpisahan yang tidak ingin terjadi.

Dan di dalam keheningan, dua orang tetap duduk bersama. Tak tahu apakah yang satu akan hilang, atau yang lain akan ditukar sebagai kompensasi semesta.

Namun satu hal pasti:

Cinta mereka telah melampaui bentuk.

Tapi dunia… tidak pernah suka sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Bab 7 – Doa yang Menciptakan Dunia

Pagi datang tanpa cahaya. Langit berwarna abu-abu gelap, seperti kelopak mata dunia enggan benar-benar terbuka. Suara burung tak terdengar. Angin tak berani menyentuh daun. Semuanya seakan membeku di ambang kehampaan.

Rae berdiri di ambang pintu rumah Eshan, menatap jalan yang basah. Tapi tidak ada bayangan tubuhnya di permukaan tanah. Tidak ada jejak kakinya. Bahkan udara pun seperti berjalan melewatinya tanpa mengakui kehadiran.

Eshan muncul di belakangnya, membawa secarik kertas usang.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” katanya pelan.

Mereka berjalan kaki menyusuri pinggiran kota, menuju bukit kecil yang tertutup kabut tipis. Di puncaknya berdiri sebuah bangunan tua, setengah runtuh, dengan jendela retak dan dinding berlumut. Gereja kecil yang telah lama ditinggalkan.

Rae menatap sekeliling. “Tempat ini… sunyi sekali.”

Eshan tersenyum tipis. “Ini tempatku berdoa. Sejak usia dua belas tahun.”

Ia membuka pintu kayu yang berderit pelan, lalu memimpin Rae masuk ke dalam. Di dalam bangunan itu, tak ada lagi altar. Hanya barisan bangku kosong dan sisa-sisa lilin mencair di sudut-sudut lantai. Tapi di dinding paling belakang, terpampang lusinan kertas yang tertempel—tulisan tangan dalam berbagai ukuran dan warna tinta. Semua berisi kalimat yang hampir sama.

“Aku ingin seseorang yang bisa mengerti aku.”

“Seseorang yang hadir bahkan saat dunia tak memintanya.”

“Seseorang yang tahu rasanya sendirian, tapi tetap memilih untuk bertahan.”

Rae membaca satu demi satu, hatinya bergetar.

“Ini semua…?”

“Doaku,” jawab Eshan. “Setiap minggu aku ke sini. Aku tulis permintaan yang sama. Bukan untuk kaya, bukan untuk sembuh, bukan untuk bahagia. Hanya untuk satu hal—agar ada seseorang yang bisa memeluk kesepianku.”

Rae menelan ludah. Dunia di sekitarnya mendadak terasa terlalu besar, dan tubuhnya terlalu ringan.

“Aku mengira… mesin realitas lipatku yang gagal. Bahwa aku terseret ke dimensi lain karena kesalahan logika kuantum.”

“Bisa jadi tetap begitu,” Eshan menjawab. “Tapi mungkin… kesalahan itu terjadi bukan tanpa sebab. Mungkin, saat kamu sedang berada di batas antara eksistensi dan kehancuran… ada satu suara yang cukup kuat untuk menarikmu keluar.”

Ia menatap mata Rae, dalam dan dalam.

“Suara yang berdoa begitu keras… untukmu.”

Rae mundur satu langkah, tubuhnya berguncang. Ia merasakan sesuatu dalam dadanya—sesak yang tak berasal dari kesedihan, tapi dari kebenaran yang terlalu menyakitkan.

“Jadi… aku bukan datang karena kecelakaan. Aku datang karena kamu. Karena kamu menginginkanku… bahkan sebelum aku tahu kamu ada.”

Eshan mengangguk. “Dan sejak kamu datang, dunia tak lagi terasa kosong.”

Rae memejamkan mata. Tiba-tiba semua kenangan terasa kabur. Ia mencoba mengingat dunia asalnya, wajah ibunya, aroma kamar kecilnya, suara mesin di laboratorium… tapi semuanya kabur. Seolah keberadaannya di sini perlahan menghapus tempat asalnya. Seolah semesta sedang bertanya:

Kamu ingin kembali ke mana, jika semua dunia sudah mulai melupakanmu juga?

“Ini salah,” kata Rae akhirnya. “Kamu tidak seharusnya bisa menciptakan seseorang hanya karena kesepian.”

“Aku tidak menciptakanmu,” Eshan membalas. “Aku hanya… memanggilmu. Dan semesta menjawab.”

“Tapi itu tetap manipulasi realitas. Kau tidak tahu harga yang harus dibayar untuk ini.”

Eshan menunduk. “Aku mulai sadar sekarang. Setiap hari kamu semakin pudar. Dan setiap kali kamu tersenyum… aku merasa tubuhku jadi lebih dingin.”

Rae terdiam. Ia memahami artinya. Dunia tidak bisa menampung keduanya. Mereka adalah ketidakseimbangan. Jika Rae tetap bertahan di sini—jika ia terus mencoba eksis dalam dunia yang lahir dari doa Eshan—maka dunia akan mulai mengambil sesuatu darinya sebagai harga.

Dan sesuatu itu… adalah Eshan sendiri.

“Jadi ini kompensasi semesta?” tanya Rae lirih.

“Sepertinya begitu.”

“Kalau aku bertahan, kamu akan menghilang?”

Eshan tidak menjawab. Tapi wajahnya cukup untuk menjelaskan segalanya.

Sunyi membungkus mereka. Waktu berjalan pelan di dalam gereja kecil itu, sementara dunia menahan napas, menunggu keputusan yang akan mengatur ulang segalanya.

“Kalau begitu, aku akan pergi,” kata Rae akhirnya.

“Tapi dunia asalmu sudah retak,” Eshan menyela. “Jika kamu kembali, kamu mungkin akan jadi pecahan. Sendiri. Terlupakan.”

“Lebih baik aku sendiri… daripada melihatmu lenyap demi mempertahankan aku.”

Eshan berjalan mendekat, wajahnya penuh kesedihan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata.

“Rae… kamu tidak harus jadi jawaban dari doaku, jika itu berarti kamu harus mengorbankan semuanya.”

Rae menggenggam tangannya. Kali ini, untuk beberapa detik, genggaman itu terasa nyata. Hangat. Tapi pelan-pelan, ujung jari mereka kembali menjadi cahaya.

“Cinta yang berasal dari doa… mungkin terlalu murni untuk bertahan lama.”

Dan di saat itu, di bawah langit yang mendung, di antara dinding-dinding retak yang penuh dengan harapan masa lalu, Rae tahu.

Ia tidak lagi milik siapa-siapa.

Bukan milik dunia asalnya.

Bukan milik Eshan.

Ia adalah sesuatu yang lahir dari kehilangan, terbentuk oleh cinta yang tidak diminta, dan akhirnya harus memilih: antara bertahan dalam keajaiban yang perlahan membunuh, atau menghilang demi menjaga orang yang memanggilnya.

Dan langkah itu… akan segera ia ambil.

Bab 8 – Penawaran dari Dimensi Asal

Langit mendung berubah menjadi ungu kelam malam itu. Seperti luka terbuka di antara awan, membentuk celah cahaya samar di langit barat. Rae berdiri di balkon, menatap ke arah itu tanpa berkedip. Ada sesuatu yang bergetar di udara—frekuensi aneh, ritme tak kasatmata. Tubuhnya meresponsnya secara naluriah, seperti memori yang terkunci akhirnya menemukan kunci.

“Eshan…” bisiknya, “aku merasakannya. Dunia asalku… memanggil.”

Eshan yang duduk di ambang jendela, menoleh cepat. Wajahnya pucat, penuh kecemasan yang tak disembunyikan.

“Kamu yakin?”

“Tidak yakin sepenuhnya… tapi ini seperti resonansi. Seperti bayangan masa lalu yang belum selesai. Mungkin… semesta mulai membuka jalannya.”

Malam itu, Rae duduk di meja kerja kecilnya. Ia menggambar ulang pola mesin realitas lipat, namun bukan untuk menciptakan dunia baru—melainkan untuk membuka kembali celah semula.

Ia mengetuk permukaan logam mesin miniatur itu, lalu menyalakan aliran energi menggunakan sisa daya dari inti plasma kecil yang dulu ia bawa. Cahaya biru redup mulai berdenyut dari perangkat itu, lalu muncul suara halus dari dalamnya: semacam gema… namun bukan suara dari sini.

“Subjek Rae terdeteksi… tidak pada garis waktu utama. Pulang dimungkinkan. Frekuensi terbuka dalam waktu terbatas.”

Itu suara dari dunianya. Mesin mengenalinya. Dunia asalnya masih ada. Masih mengingatnya.

Rae menunduk. Bahunya bergetar.

Eshan berjalan mendekat. “Itu artinya kamu bisa kembali?”

Rae mengangguk pelan. “Tapi… ada harga.”

Eshan menatap mesin itu. Cahaya biru kini memantulkan wajah mereka berdua. Tapi hanya satu dari mereka yang terlihat jelas. Rae mulai memudar, bahkan dalam pantulan.

“Apa syaratnya?” tanya Eshan.

Rae menggigit bibirnya. “Aku harus… melepaskan semua ikatan yang terjadi di sini. Tidak boleh membawa apa pun dari dunia ini. Tidak memori, tidak perasaan, tidak… kamu.”

Eshan menunduk dalam. “Jadi… kamu harus melupakanku?”

“Bukan karena aku ingin. Tapi karena dunia asalku tidak bisa menampung dua versi kebenaran. Jika aku pulang dengan kenangan ini, itu akan merusak keseimbangan di sana. Dunia yang sudah retak… bisa benar-benar hancur.”

“Kamu akan hidup. Tapi tanpa tahu bahwa aku pernah ada.”

Rae hanya diam.

Eshan menggenggam tangannya. Tapi lagi-lagi, genggaman itu hanya bertahan sebentar. Jemarinya kembali menjadi cahaya.

“Kita akan jadi orang asing.”

“Ya,” jawab Rae nyaris tanpa suara. “Kecuali satu dari kita memilih untuk tetap mengingat, lalu hidup dengan rasa sakitnya sendiri.”

Eshan tertawa, tapi matanya berkaca. “Lalu siapa yang akan menyimpan kesedihan itu? Kamu atau aku?”

Rae menatap mesin kecil itu. Di sana tertera waktu mundur. 06:58… 06:57… Celah menuju dimensi asal hanya terbuka selama tujuh menit.

“Mungkin aku harus melupakan segalanya,” ucap Rae pelan. “Agar aku bisa hidup tanpa luka.”

“Tapi jika kamu melupakanku… dunia ini akan menjadi mimpi. Dan aku akan menjadi tokoh yang bahkan tidak punya nama.”

“Dan kalau aku tetap mengingatmu… aku akan terus terikat pada dunia ini, dan kamu akan terus… menghilang.”

06:22…

Rae menatap Eshan. Lalu tersenyum.

“Cinta macam apa yang membuat kita harus memilih antara kehilangan diri sendiri… atau kehilangan satu sama lain?”

Eshan menahan napas. “Cinta yang tidak seharusnya ada.”

Atau mungkin—cinta yang terlalu kuat hingga melanggar batasan dimensi.

Rae berdiri. Cahaya dari mesin itu mulai membentuk celah tipis di udara, seperti tirai yang mulai terbuka. Di baliknya, terlihat bayangan dunia lain—dunia yang samar, tapi terasa seperti rumah. Ia tahu, itu tempat asalnya.

05:10…

“Kalau aku pergi sekarang… aku bisa tetap hidup. Tanpa beban. Tapi kamu akan kehilangan segalanya.”

“Dan kalau kamu tetap tinggal… aku yang akan menghilang,” jawab Eshan.

“Kita tidak bisa menang, Eshan. Ini bukan cerita tentang bahagia selamanya.”

“Lalu jadikan ini cerita tentang keberanian. Tentang kita yang memilih… walau tahu akhirnya pahit.”

Rae menatap cahaya di depannya. Lalu menatap wajah Eshan untuk yang terakhir kalinya. Ia menghafalkan setiap garis di sana. Sudut senyumnya. Sorot matanya yang tidak pernah meninggalkannya sejak ia pertama kali tiba.

“Jika di dunia asalku aku pernah merasa sepi… itu karena aku belum pernah bertemu kamu.”

Eshan memejamkan mata, menahan air mata. “Dan jika suatu hari aku terbangun tanpa mengingatmu… aku harap jantungku masih berdetak untuk seseorang yang tidak kukenal.”

02:12…

Rae berjalan menuju cahaya. Tapi langkahnya pelan. Seolah setiap detik adalah pengkhianatan terhadap semua yang mereka bagi.

“Eshan…”

“Ya?”

“Kalau suatu hari aku bermimpi tentang pria yang menatapku seperti kau menatapku sekarang… aku harap aku tak pernah bangun.”

Dan ia melangkah ke dalam cahaya.

Tubuhnya perlahan larut. Dunia ini mengguncang sebentar. Langit berkedip. Dan… hening.

Cahaya itu menutup.

Eshan berdiri di sana. Sendiri. Dingin.

Ia menatap meja tempat Rae biasa duduk.

Tak ada jejak.

Tak ada sisa.

Tapi dadanya… terasa berat. Seperti ia baru saja kehilangan sesuatu yang bahkan tak bisa ia beri nama.

Dan dari jendela gereja tua di bukit seberang… satu lembar doa jatuh perlahan ke tanah.

Kalimat terakhir di kertas itu berbunyi:

“Jika ada seseorang di dunia ini yang bisa mengerti aku… semoga ia tidak pernah datang terlalu terlambat.”

Bab 9 – Lelaki yang Menghilang di Setiap Mimpi

Hidup berlanjut. Kota tetap bergerak. Jalanan ramai. Daun-daun gugur mengikuti musim. Tapi bagi Eshan, waktu berjalan seperti kabut yang tak pernah benar-benar menyentuh tanah.

Sejak malam itu, sejak cahaya itu tertutup, Rae tak pernah muncul lagi.

Tidak dalam suara.

Tidak dalam bayangan.

Tidak dalam jejak napasnya.

Namun ada satu hal yang terus berubah: Eshan mulai menghilang. Bukan secara fisik, tapi perlahan… dunia mulai melupakan bahwa ia pernah ada.

Ia pergi ke toko tempat biasa ia membeli kopi, dan barista yang dulu selalu hafal namanya kini bertanya, “Ini pertama kalinya ke sini, ya, Mas?”

Ia pulang ke rumah, membuka kotak surat, dan menemukan bahwa tagihannya tidak pernah dikirim atas nama “Eshan”. Nama di sana hanya tertulis: penghuni anonim.

Ia melihat dirinya di cermin. Masih ada. Tapi matanya seperti meredup. Ada sesuatu dalam dirinya yang pelan-pelan dicabut oleh semesta.

Setiap malam, mimpi-mimpinya kosong. Tak ada suara. Tak ada wujud. Hanya sunyi putih dan hampa. Dan semakin lama, ia bahkan tak bisa mengingat dirinya sendiri saat bermimpi.

“Siapa aku di dalam tidurku?” gumamnya suatu malam.

Hingga suatu malam, ia mendengar seseorang berbicara dalam tidurnya—bukan dirinya. Suara samar itu berkata:

“Apakah kamu masih mengingatku… atau kamu hanya mencintai bayangan dari sesuatu yang sudah hilang?”

Ia terbangun dengan keringat dingin. Lalu menatap langit-langit.

Dan menangis.


Eshan mulai menulis. Ia mencoba merekam kembali cerita tentang Rae, tapi setiap kata terasa seperti fiksi. Tak ada bukti bahwa gadis itu pernah ada. Tak ada foto. Tak ada tulisan. Bahkan papan tulis penuh rumus itu kini kosong.

Seperti Rae hanya ilusi dari batin yang terlalu rindu.

Namun ia terus menulis. Menulis seperti orang gila. Puluhan lembar catatan. Puluhan paragraf tentang mata Rae, suara Rae, sentuhan yang tak sempat utuh.

Dan saat ia membaca ulang semuanya, sesuatu yang menakutkan terjadi.

Ia tak bisa mengenali nama itu.

“Rae,” bisiknya pelan. “Rae… siapa itu Rae?”

Kepalanya berdenyut. Napasnya memburu. Ia menatap lembar-lembar tulisannya sendiri dan menyadari:

Tulisan itu bukan hanya mulai pudar… tapi namanya—namanya sendiri—tidak lagi ditulis di mana pun.

Tidak di buku.

Tidak di kartu identitas.

Tidak di dalam sistem.

Ia duduk terpaku.

“Aku juga mulai terhapus…”

Dan saat ia menutup mata, satu pertanyaan menghantam pikirannya:

Jika dua orang saling mencintai di dunia yang tidak mengizinkan keberadaan salah satunya… apakah cinta itu bisa bertahan saat keduanya mulai lenyap?


Malam itu, Eshan bermimpi lagi. Tapi kali ini berbeda.

Ia berada di dalam sebuah taman kosong. Tak ada langit. Tak ada tanah. Hanya cahaya putih pekat yang menyelimuti segalanya. Di tengah taman itu, duduk seorang gadis… membelakanginya.

Rambutnya tergerai. Bahunya kecil. Ia tampak seperti… seseorang yang sangat dikenal, tapi tak bisa diingat.

Eshan melangkah perlahan.

“Siapa kamu?” tanyanya.

Gadis itu tidak menoleh. Ia hanya menatap sebuah bunga di tangannya—bunga yang terlihat setengah nyata.

“Aku pernah menjadi bagian dari doamu,” katanya lirih.

“Apakah aku mengenalmu?”

“Dulu.”

“Apakah aku mencintaimu?”

Hening sejenak.

Lalu gadis itu berkata, “Ya. Dengan cara yang membuat dunia hancur pelan-pelan.”

Eshan meneteskan air mata. Ia tidak tahu kenapa. Tapi hatinya menjerit seperti kehilangan sesuatu yang paling dalam.

“Apakah aku akan melupakanmu?”

“Kamu sudah mulai melupakan.”

“Lalu kenapa kamu datang ke dalam mimpiku?”

Gadis itu akhirnya menoleh. Matanya… kosong. Tapi dari dalam kekosongan itu, ada jejak cahaya yang nyaris padam.

“Agar kamu tahu… bahwa aku pernah ada. Walau cuma sebentar.”

Eshan terbangun dengan napas berat. Tangannya gemetar. Dan untuk pertama kalinya… ia tak ingat kenapa ia menangis.


Beberapa hari kemudian, ia berjalan ke gereja tua di bukit. Bangunan itu hampir roboh. Ia masuk perlahan, berharap bisa mengingat sesuatu—apa saja.

Di sana, tak ada satu pun kertas doa yang dulu pernah ia tempel.

Hanya satu lembar tersisa, tersangkut di paku karatan.

Ia mengambilnya.

Tulisan di atasnya hampir tak terbaca. Tapi satu kalimat masih utuh:

“Jika suatu hari aku lupa segalanya, semoga hatiku tetap mengingat siapa yang pernah membuatnya bergetar.”

Eshan membaca kalimat itu… dan menangis seperti anak kecil.

Ia tidak tahu siapa yang menulisnya.

Ia tidak tahu untuk siapa itu ditujukan.

Tapi ia tahu… hatinya pernah mengingat sesuatu yang kini telah benar-benar hilang.

Dan dari balik pikirannya yang mulai kabur, satu nama muncul seperti bisikan yang tertinggal:

Rae.

Seseorang yang dicintainya, bahkan saat seluruh dunia memilih melupakannya.

Bab 10 – Arah Pulang yang Tidak Pernah Ada

Hari itu mendung. Langit menekan bumi dengan sunyi paling berat yang pernah ada. Di sebuah bangku taman yang tak pernah benar-benar ramai, Eshan duduk sendirian.

Ia menatap ke depan, tapi tidak benar-benar melihat apa pun. Matanya kosong, seperti jendela yang tak lagi menghadap dunia.

Seseorang lewat dan menyapanya, “Selamat pagi.”

Eshan tersenyum kecil, sopan, tapi tak menjawab. Karena di kepalanya… ia tak tahu siapa dirinya.

Ia tahu nama yang ada di kartu identitas: Eshan Malik.

Ia tahu alamat rumah.

Ia tahu pekerjaan.

Tapi ia merasa semua itu bukan miliknya.

Ia merasa ada bagian dari dirinya yang sudah pergi—bagian yang pernah membuat hidupnya terasa utuh.

Dan yang lebih menyakitkan lagi: ia tidak tahu apa yang hilang.

**

Di tempat lain—entah di dimensi mana—Rae terbangun dalam kamar putih. Semua bersih. Semua terang. Ia mengenal tempat ini. Dunia asalnya. Tempat ia lahir, besar, menjadi ilmuwan, menciptakan mesin yang nyaris menghancurkan eksistensinya.

Ia duduk. Melihat jari-jarinya. Semuanya utuh.

Ia masih punya bayangan.

Masih bisa merasakan panas teh, dinginnya lantai, aroma lembaran buku ilmiah di meja.

Tapi tak ada rasa.

Seperti hidup yang terlalu sempurna… dan karenanya hampa.

Setiap malam, ia tidur… dan tidak bermimpi. Dan jika pun ia bermimpi, itu hanya suara hujan… dan sosok pria tanpa wajah.

Terkadang ia menangis dalam tidur.

Tapi saat bangun, ia tak tahu kenapa.

Beberapa minggu berlalu.

Eshan mulai kehilangan warna. Bukan warna kulit, tapi warna dalam hidupnya. Lagu-lagu yang biasa ia dengarkan terdengar datar. Makanan hambar. Cahaya matahari… terlalu terang tanpa alasan.

Ia berjalan ke bukit yang tak lagi dikunjunginya. Bekas gereja tua itu kini tinggal puing. Di antara reruntuhan, ia menemukan sepotong papan kayu, dengan goresan samar yang nyaris terhapus oleh waktu.

Tulisan itu berbunyi:

“Cinta yang tak punya ruang, tak punya waktu, tapi pernah terasa benar.”

Ia menatapnya lama.

Lalu menangis.

Bukan karena mengingat sesuatu.

Tapi karena menyadari: ia telah melupakan sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang seharusnya tak bisa dilupakan.

Di laboratorium, Rae menemukan kembali sketsa awal mesin realitas lipat. Ia memandangnya lama, tanpa tahu kenapa ia begitu terobsesi padanya.

“Kenapa aku menciptakan alat ini?” gumamnya.

Tak ada jawaban.

Tapi di pojok kertas, ada coretan kecil. Nama samar, tertulis dalam tinta hampir pudar:

Eshan.

Rae menggigil. Jantungnya berdetak cepat.

“Siapa… Eshan?”

Ia menatap cermin.

Dalam pantulan matanya sendiri, ada keretakan halus. Seperti waktu mencoba masuk kembali, memperlihatkan sesuatu yang disembunyikan.

Lalu suara itu datang… pelan, dalam pikirannya.

“Jika kamu lupa siapa aku… setidaknya ingat rasa ini.”

Rae menangis tanpa tahu kenapa.

Lalu ia berlari. Meninggalkan laboratorium. Meninggalkan dunia yang serba utuh. Ia hanya tahu: ada seseorang, entah di mana, yang sedang menunggunya. Atau setidaknya… sedang mencari arah pulang yang sama.

Di bangku taman yang sama, Eshan tertidur.

Ia bermimpi lagi malam itu.

Taman kosong.

Langit putih.

Dan suara langkah seseorang.

Ia berdiri perlahan… lalu melihat gadis itu.

Wajah yang samar. Rambut hitam. Mata yang memantulkan sesuatu yang lama hilang.

“Siapa kamu?” tanya Eshan.

Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya mendekat, lalu duduk di sampingnya.

Dan tanpa berkata apa-apa, ia menggenggam tangan Eshan.

Kali ini genggaman itu nyata.

Dan langit… berubah biru.

Mereka tak tahu siapa yang memanggil siapa.

Tak tahu dunia mana yang sedang mereka pijak.

Tapi tangan itu… tetap menggenggam.

Karena meski nama bisa dilupakan…

Dan dunia bisa memisahkan…

Cinta akan selalu mencari jalannya sendiri.

Meski tak tahu lagi ke mana arah pulang.

Karena mungkin—

Arah pulang… memang tidak pernah ada. Tapi seseorang di ujung doa akan selalu menunggu.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari  Novel Singkat . Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *