Eira, seorang ilustrator mural dan pengajar seni, hidup di dunia pascabencana atmosferik yang membuat langit kehilangan warna aslinya. Suatu hari, ia mulai melihat wajah pria asing terbentuk dari awan, dan langit berbicara padanya saat malam tiba. Orang-orang mengira ia gila, tapi Eira yakin langit menyimpan kebenaran tentang cinta yang pernah ada di dunia lain.
Semakin dalam ia menggali, Eira menemukan bahwa pria di langit adalah Kael, seorang ilmuwan dari masa depan yang pernah ia cintai… dan bunuh, demi menyelamatkan dunia. Bersama langit yang tak lagi sama, Eira menelusuri versi-versi realitas yang hancur oleh keputusannya sendiri.
Ini adalah kisah tentang cinta yang terfragmentasi, tentang kehilangan yang melintasi waktu, dan tentang versi diri yang memilih bertahan—bukan untuk mengulang masa lalu, tetapi untuk menemukan arti hidup di bawah langit yang akhirnya… menjadi dirinya sendiri.
Bab 1: Langit yang Tak Lagi Biru
Langit tak lagi biru sejak bencana atmosferik dua tahun lalu. Sejak hari itu, warna langit berubah-ubah tanpa pola pasti—kadang merah menyala seperti bara, kadang kelabu seperti kain kusam yang usang. Tapi bagi Eira, langit punya warna yang lebih pribadi: langit miliknya menyimpan wajah.
Pagi ini, saat ia menatap jendela kamarnya yang berembun, langit tampak pucat keperakan. Seolah belum sempat memilih warna yang cocok untuk suasana hatinya. Eira menyentuh kaca dengan ujung jarinya, menggambar garis tipis menyerupai senyum. Tapi senyum itu tak bertahan lama. Kabut kembali menutupi.
Ia menuruni tangga perlahan, mendengar suara ibunya dari dapur. “Eira, kamu masuk kantor hari ini, kan?”
“Enggak, Ma. Hari ini aku ambil cuti,” jawabnya singkat.
“Ada klien?”
Eira tidak menjawab. Ia hanya menyeduh kopi dan duduk di ruang tamu yang menghadap ke halaman belakang. Di langit, samar-samar mulai terbentuk awan yang bergerak lambat, mengembang seperti kapas basah. Dan di antara lekukannya, muncul sosok yang sama seperti malam-malam sebelumnya.
Wajah pria. Tenang. Penuh keteduhan.
Dia tidak pernah terlihat jelas. Hanya garis dagu, alis tebal, dan mata yang terlalu dalam. Tapi Eira tahu, entah kenapa, bahwa pria itu bukan sembarang bayangan. Ada rasa yang tumbuh tiap kali wajah itu muncul. Rasa seperti… kehilangan yang belum sempat dirasakan.
“Siapa kamu?” gumam Eira.
Angin mengangkat daun-daun kering dari halaman. Dan di tengah kesunyian itu, suara muncul. Lembut. Dalam. Seperti berasal dari tempat yang jauh.
“Eira… kamu masih mengingatku?”
Tubuh Eira kaku. Ia menatap ke langit lekat-lekat, berharap suara itu hanya ilusi, gema dari pikiran yang lelah. Tapi suara itu datang lagi.
“Aku di sini. Aku selalu ada sejak langit berubah.”
Eira berdiri pelan, menatap langit tanpa berkedip. “Kamu siapa?”
Hening.
Wajah di awan perlahan menghilang, tersapu kabut abu. Langit kembali biasa. Tapi tidak bagi Eira.
Hari itu, ia mengurung diri di kamarnya. Ia mengeluarkan buku sketsa, yang sudah lama tak disentuh sejak ia berhenti menggambar mural di kafe-kafe kota. Tangannya bergerak spontan, dan dalam waktu tiga puluh menit, wajah itu muncul di kertas. Garis tegas rahang, sorot mata yang suram tapi hangat.
Ia tidak mengerti kenapa bisa begitu hafal.
Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Lana, sahabatnya.
“Kamu masih sering lihat ‘dia’?”
Eira menatap pesan itu lama sebelum membalas.
“Masih. Semalam dia bicara.”
Tak lama, Lana menelepon. “Eira, kamu yakin kamu baik-baik saja?”
“Aku enggak gila, Lan. Aku tahu kedengarannya aneh. Tapi dia nyata.”
Lana terdiam di ujung sana. “Terapis yang kamu temui bilang itu mungkin bentuk stres pascatrauma.”
“Aku enggak merasa trauma. Aku cuma… merasa dia nyata.”
“Bisa jadi itu bagian dari ingatan yang belum kamu sadari. Mungkin kamu pernah bertemu pria itu.”
Eira menggeleng, meski Lana tak bisa melihat. “Aku tahu semua wajah dari masa laluku. Ini bukan salah satunya.”
“Kalau begitu… mungkin dari masa depan?” ucap Lana setengah bercanda.
Tapi bagi Eira, kalimat itu seperti petir yang menampar kesadarannya.
Malam harinya, Eira duduk di loteng kecil rumahnya. Di sana, ia bisa melihat langit lebih jelas tanpa gangguan lampu jalan. Di pelukannya, ada termos teh hangat dan sketsa wajah pria tadi. Ia menatap langit tanpa harapan apa pun. Tapi langit seakan tahu ia menunggu.
Awan bergerak perlahan, membentuk kembali wajah itu.
“Aku kembali, Eira.”
“Kenapa kamu selalu muncul saat aku sendirian?” tanyanya lirih.
“Karena hanya kamu yang bisa melihatku. Karena hanya kamu yang bisa mengubah langit.”
“Kenapa aku?”
“Aku ingin kamu mengingatku.”
Eira menggigit bibir. “Kita pernah bertemu?”
“Tidak di dunia ini.”
“Maksudmu…?”
“Terlalu banyak yang telah berubah. Dunia tempatku berasal sudah tidak ada. Tapi kamu tetap ada, dan kamu masih punya ikatan itu.”
“Apa kamu bagian dari mimpi?” bisik Eira, hampir tak terdengar.
“Bukan mimpi. Aku bagian dari pilihan yang pernah kamu buat. Pilihan yang menyelamatkan segalanya… tapi menghancurkan kita.”
Eira menunduk, dadanya terasa sesak. Ia tak tahu kenapa kata-kata itu begitu menyakitkan. Seolah ia memang pernah memilih, tapi tak ingat apa. Ia merasa telah kehilangan sesuatu yang terlalu besar untuk dijelaskan.
“Kalau aku pernah menyakitimu… aku minta maaf,” ucapnya pelan.
“Tapi kamu menyelamatkan semua orang, Eira. Hanya saja… kamu lupa menyelamatkan dirimu sendiri.”
Langit menjadi biru sekejap. Biru yang aneh, seperti sehelai kain tua yang masih menyimpan warna aslinya. Dan di tengah biru itu, wajah pria itu tersenyum. Eira menatapnya sampai mata perih. Lalu awan kembali menutup segalanya.
Saat ia turun dari loteng, ia tahu satu hal: langit tak berubah sembarangan. Ia merespons. Ia mengingat. Dan yang lebih aneh lagi, ia mungkin sedang mencoba… mempertemukannya kembali dengan masa depan yang pernah ia hapus.
Dan untuk pertama kalinya sejak langit kehilangan warna, Eira merasa takut untuk melupakan.
Bab 2: Wajah yang Terbuat dari Awan
Langit masih kelabu saat Eira membuka jendela pagi itu. Tak ada wajah, tak ada suara. Hanya awan berat menggantung seperti pikirannya sendiri—penuh pertanyaan yang belum punya tempat untuk dijawab.
Ia duduk di depan cermin, menatap wajahnya sendiri. “Kalau aku memang pernah melakukan sesuatu… kenapa aku tidak ingat?”
Rambutnya kusut, kantung mata menghitam karena terlalu banyak begadang di loteng. Tapi ada satu hal yang tetap sama: dorongan aneh dalam dirinya yang terus berkata bahwa langit menyimpan sesuatu yang benar. Sesuatu yang tak mungkin sekadar ilusi.
Eira akhirnya memutuskan keluar rumah. Ia butuh udara lain, pemandangan lain, dan mungkin… petunjuk lain. Sepanjang perjalanan menuju pusat kota, ia mengenakan hoodie besar dan headphone, meski tak ada musik yang diputar. Hanya agar dunia merasa lebih jauh darinya.
Di halte dekat taman, seorang anak kecil sedang menunjuk ke langit. “Bu, liat! Langitnya kayak punya wajah!”
Eira berhenti sejenak. Ia menoleh pelan.
Ibu si anak tersenyum sambil menggoyangkan kepala. “Itu cuma awan, sayang.”
“Tapi matanya ngedip, Bu!”
Hati Eira mencelos.
Ia menatap ke atas, tapi tak ada apa-apa. Langit tetap abu, tenang, dingin. Tapi kata-kata anak itu terus terngiang.
Bukan cuma aku…
Ia menaiki bus menuju Perpustakaan Nasional. Tempat itu sering ia datangi saat masih kuliah, dan entah kenapa hari ini, ia merasa perlu mencari sesuatu yang ilmiah—sesuatu yang bisa menjelaskan apa yang ia alami.
Di ruang referensi khusus, Eira mulai membuka buku-buku tebal tentang atmosfer, fenomena geofisika, dan sejarah perubahan warna langit pascabencana dua tahun lalu.
Sebagian besar menjelaskan bahwa magnetosfer bumi terguncang oleh reaksi partikel dari luar angkasa yang tak dikenal. Namun, tak ada penjelasan mengapa langit merespons emosi. Dan jelas, tak ada satu pun buku yang membahas tentang langit berbicara dengan suara manusia.
Lelah membaca, Eira memejamkan mata di meja pojok. Dalam bayang matanya yang setengah tidur, ia melihat wajah itu lagi. Tapi kali ini, bukan hanya wajah. Ada tubuh, berdiri dalam kabut. Lelaki itu memakai jaket panjang berwarna gelap, rambut acak, dan sorot matanya… sedih.
“Jangan cari aku di buku,” katanya dalam bisikan. “Kamu sendiri yang menyimpan jawabannya.”
Eira terbangun dengan napas tercekat.
Ia mendapati dirinya menangis. Air mata mengalir begitu saja, tanpa tahu kenapa.
Hari mulai sore saat Eira berdiri di atap gedung parkir di pusat kota, tempat langit tampak paling luas. Ia melepaskan hoodie dan menatap cakrawala yang perlahan berubah. Warna ungu pucat mulai mendominasi, dan di tengahnya—wajah itu kembali.
“Kamu nyata,” ucapnya tanpa ragu.
“Lebih nyata dari yang kamu tahu,” jawabnya. “Aku pernah hidup dalam pilihan yang kamu buat.”
“Aku… membunuhmu, ya?” tanya Eira langsung.
Hening.
Wajah itu menunduk. “Ya. Tapi itu bukan karena kamu ingin. Kamu harus. Kamu menyelamatkan dunia. Tapi mengorbankan aku.”
Eira menarik napas dalam. “Kenapa aku enggak ingat?”
“Karena dunia ini adalah hasil dari keputusanmu. Semua yang menyakitkan telah terhapus darimu. Termasuk aku.”
“Kalau begitu kenapa kamu masih muncul di langit?”
“Karena langit adalah satu-satunya yang tidak bisa dibohongi. Ia menyimpan getaran magnetik dari semua perasaan manusia terdalam. Dan kamu, Eira… kamu masih menyimpan luka itu.”
Eira terduduk di lantai atap. Tangannya gemetar. “Kalau aku pernah mencintaimu, kenapa aku membunuhmu?”
“Karena kamu mencintaiku.”
Langit bergetar sejenak. Seberkas kilat samar melintasi awan. Wajah itu semakin dekat, seolah turun sedikit demi sedikit menuju bumi.
Eira menatapnya tanpa berkedip. “Apa yang harus aku lakukan untuk mengingat semuanya?”
“Buka kembali yang kamu tutup. Ada satu tempat, satu momen, yang bisa mengembalikan semuanya. Tapi… jika kamu ke sana, kamu juga akan ingat rasa sakitnya.”
“Di mana?”
“Di tempat kau pertama kali memilihku untuk mati. Tempat itu masih ada.”
“Beritahu aku,” bisik Eira.
“Di garis nol. Di pusat medan magnet bumi. Di tempat yang sekarang disebut Tanah Tak Bernama.”
Langit berangsur gelap. Awan mulai menutup wajah pria itu. Tapi sebelum menghilang, ia berkata,
“Kamu tak pernah melupakan aku, Eira. Kamu hanya belajar hidup tanpaku.”
Malam turun perlahan. Kota menyalakan lampu. Tapi Eira tahu, pencahayaannya bukan dari lampu jalan atau toko-toko… melainkan dari satu ingatan yang perlahan menyala kembali.
Dan ia tahu: perjalanan untuk mengingat baru saja dimulai.
Bab 3: Aku Pernah Mencintaimu di Masa Depan
Pagi itu, Eira bangun dengan dada sesak. Mimpi semalam terlalu nyata. Ia melihat dirinya berdiri di tengah gurun yang hangus, langit retak seperti kaca, dan Kael—pria dari langit—tersungkur di hadapannya dengan darah membasahi tanah. Ia memegang semacam alat bersinar, lalu menekannya… dan cahaya terakhir dari langit biru meledak bersamanya.
Eira terduduk di ranjang. Napasnya terengah, tangan bergetar hebat. Itu bukan mimpi biasa. Itu… kenangan. Kenangan yang terselip di antara lipatan waktu, yang disimpan oleh langit karena tak ada tempat lain untuk menampungnya.
Ia bangkit, membuka jendela. Langit hari ini seperti lembaran abu-abu kosong. Tenang. Netral. Tapi di sanalah rasa rindu paling dalam menggantung—seperti seseorang yang menunggu di sisi lain dimensi.
Eira menatap langit dan berkata pelan, “Aku ingin mengingat semuanya.”
Tak ada suara. Hanya semilir angin yang membelai daun-daun kering di halaman.
Hari itu, Eira pergi ke Universitas Geomagnetika, tempat ia dulu pernah bekerja paruh waktu sebagai asisten riset. Di sana ada satu orang yang bisa membantunya memahami lebih dari sekadar teori—Profesor Antari, dosen eksentrik yang percaya bahwa emosi manusia bisa terhubung dengan partikel atmosferik.
Eira menemui beliau di ruang laboratorium bawah tanah yang masih bau ozon dan logam tua.
“Kau kembali,” ujar Prof. Antari tanpa menoleh.
Eira mengangguk. “Saya… ingin bertanya sesuatu.”
Profesor itu membalikkan badan, menatap Eira dengan kacamata besar yang menggantung di ujung hidung. “Langitmu sudah bicara, ya?”
Eira membeku. “Maksudnya?”
“Kau pikir hanya kamu yang pernah melihat wajah di langit? Kau yang kelima sejak dua tahun lalu. Tapi hanya kamu yang terus melihatnya setiap hari.”
“Siapa mereka?”
“Mereka semua sudah tidak stabil secara mental sekarang.” Nada Profesor tenang, tanpa rasa takut. “Tapi kamu beda. Kamu tetap utuh. Itu artinya… hubunganmu dengannya jauh lebih dalam dari yang mereka alami.”
Eira menarik napas panjang. “Saya butuh tahu tentang ‘Tanah Tak Bernama’. Apa tempat itu benar-benar ada?”
Profesor menatapnya lama. Lalu mengambil peta dunia kuno dari laci. Ia membuka gulungan kertas itu dan menunjuk ke satu titik kecil di tengah Samudra Hindia. “Tempat ini dulu disebut Zona Nol. Di sanalah pusat magnetik bumi. Dulu ada laboratorium rahasia pemerintah. Tapi setelah bencana atmosferik, tempat itu hilang dari semua data digital.”
Eira menatap titik itu. “Bagaimana saya bisa ke sana?”
“Kau tak bisa masuk ke sana sebagai orang biasa. Tapi mungkin… kau tidak lagi orang biasa, Eira. Langit sudah mengizinkanmu.”
Eira memejamkan mata. Sekelebat bayangan kembali muncul: dirinya berlari di antara gedung terbakar, memanggil nama yang sama berulang kali. “Kael… Kael…”
Malamnya, Eira kembali ke loteng. Angin dingin menusuk kulit, tapi ia tetap berdiri di sana. Di tangannya, sketsa-sketsa wajah Kael semakin banyak. Ia menggambar seperti orang kesurupan, mengikuti ingatan samar yang menuntunnya.
Langit perlahan berubah. Wajah Kael terbentuk, lebih jelas dari sebelumnya. Bahkan Eira bisa melihat gurat luka tipis di bawah matanya. Suara itu muncul lagi, lirih dan penuh luka.
“Kamu ingat aku?”
Eira mengangguk pelan. “Sedikit… tapi belum semua.”
“Kita dulu mencintai di masa depan. Tapi masa depan itu… tak pernah datang.”
“Aku membunuhmu,” ucap Eira, nyaris tanpa suara.
“Kamu menyelamatkan realitas, Eira. Tapi kamu juga menghapus kita. Kamu memilih dunia, bukan cinta.”
“Kalau begitu kenapa aku tetap bisa melihatmu?”
“Karena bagian dari hatimu menolak lupa. Dan langit, seperti kaca retak, menyimpan bayangan cinta yang belum selesai.”
Eira menggigit bibir. “Apa di masa depan… kita bahagia?”
Wajah Kael tampak tersenyum kecil. “Ya. Sebelum hari itu datang. Sebelum kamu menatapku dan berkata: ‘Maaf, aku harus menyelamatkan dunia dari kita.’”
Eira terduduk. Air mata mulai jatuh perlahan, bukan karena rasa bersalah… tapi karena rasa cinta yang tak pernah sempat tumbuh utuh. Ia tidak tahu bagaimana hubungan itu berakhir, tapi ia tahu bagaimana rasanya memulai kembali—di dunia yang telah berubah, dengan langit sebagai saksi.
“Kalau ada kesempatan kedua,” bisiknya, “apa kamu akan memilihku lagi?”
Kael tidak menjawab. Langit memudar perlahan, seperti lukisan air yang terkena hujan.
Dan hanya satu kalimat yang tersisa, bergaung lembut di telinga Eira:
“Aku masih mencintaimu… bahkan di dunia yang tak lagi ada.”
Langit kembali abu-abu. Tapi di hati Eira, untuk pertama kalinya, sebuah warna mulai muncul warna rindu yang tak bisa dijelaskan dengan sains, hanya bisa dirasakan oleh jiwa yang kehilangan terlalu banyak dalam satu kehidupan.
Bab 4: Tanah yang Tak Bernama
Langkah Eira terhenti di depan gerbang tua yang berkarat, berdiri sendirian di tengah padang ilalang tak berujung. Tak ada papan nama. Tak ada petunjuk arah. Hanya pagar kawat berduri dan sebuah jalan tanah sempit yang mengarah ke dalam hutan lebat. Inilah tempat yang disebut Profesor Antari sebagai “Tanah Tak Bernama”.
Ia telah melakukan perjalanan udara selama tujuh jam, lalu menempuh darat tiga jam lagi untuk sampai ke sini—di tengah-tengah zona kosong peta dunia, tempat sinyal digital tidak menjangkau dan kompas berputar kacau.
Langit di atasnya terlihat berat, tapi tidak mendung. Warnanya aneh. Seperti percampuran antara kelabu dan jingga, bergerak perlahan seakan mengamati setiap gerakan Eira.
Ia meraba kantung jaketnya, memegang sketsa wajah Kael yang ia bawa kemanapun. Semacam jimat. Semacam bukti bahwa semua yang ia alami bukan delusi.
“Kael,” bisiknya. “Jika kamu pernah ada di tempat ini… beri aku tanda.”
Angin berhembus kencang, dan dari sela-sela pepohonan terdengar bunyi logam yang bergesek. Eira mendekati sumber suara, dan menemukan sesuatu yang membuatnya membeku: sebuah pintu baja besar setengah terkubur tanah, tertulis samar dalam huruf tua yang nyaris pudar: “Zona 0: Penetrasi Waktu Dilarang.”
Dadanya sesak. Kalimat itu seperti kunci yang selama ini ia cari. Ia menempelkan telapak tangan ke pintu baja itu. Dingin. Mati. Tapi tiba-tiba, pintu bergetar pelan, lalu terbuka dengan suara mendecit panjang yang memekakkan telinga.
Di dalamnya… hanya lorong gelap.
Eira ragu sejenak. Tapi hatinya sudah jauh lebih dalam daripada ketakutannya. Ia menyalakan senter dari ponsel dan melangkah masuk.
Langkah pertamanya terasa berat. Seperti menapaki ingatan yang beku. Di dinding lorong, ia melihat simbol-simbol aneh, grafis medan magnet, dan foto-foto kabur seseorang… wajah yang dikenalnya.
Kael.
Dalam satu foto, ia berdiri mengenakan jas laboratorium, tersenyum ke kamera. Di sebelahnya, seorang perempuan—dan Eira baru sadar, itu dirinya. Tapi versi yang lebih dingin. Lebih tua. Matanya kosong.
Ia menggigil. “Itu aku…?”
Lorong itu membawa Eira ke sebuah ruangan bundar yang dikelilingi layar kaca. Di tengahnya ada platform bundar dengan alat berbentuk cincin raksasa—rusak, terbakar sebagian. Tapi cahaya samar masih memancar dari pusatnya.
Eira melangkah ke tengah ruangan, dan suara lembut terdengar di udara.
“Selamat datang kembali, Eira.”
Suara Kael.
Ia memutar tubuhnya, mencari arah suara itu. Tapi tidak ada siapa pun. Hanya rekaman, mungkin. Atau gema dari waktu yang pernah diputar balik.
“Aku tahu kamu akan kembali ke sini. Kamu selalu punya rasa bersalah yang tidak bisa kau kubur, bahkan di dunia baru yang telah kamu bentuk.”
Eira menutup matanya. “Apa yang aku lakukan di tempat ini?”
“Kamu menghentikan eksperimen waktu, Eira. Dengan menghentikanku.”
“Kenapa aku melakukannya?”
“Karena aku terlalu dekat menemukan jalan ke semua kemungkinan. Semua versi dunia. Tapi saat seseorang bisa memilih semua versi hidupnya… dunia jadi kacau. Kamu melihat masa depan yang tak bisa diperbaiki—dan kamu memilih yang paling menyakitkan.”
Eira perlahan duduk di lantai, menatap alat besar itu. “Apa aku… mencintaimu saat itu?”
“Kita hidup dalam lima versi dunia, Eira. Dalam tiga di antaranya, kita menikah. Dalam satu, kita menghilang bersama. Dalam satu… kamu membunuhku.”
Air mata Eira jatuh.
“Aku memilih membunuhmu daripada kehilangan dunia.”
“Dan dunia tak pernah tahu, bahwa mereka selamat karena seseorang kehilangan cintanya.”
Langit di atas ruangan itu tiba-tiba berubah. Sebagian atap terbuka perlahan seperti mekanisme otomatis, dan untuk pertama kalinya Eira melihat langit yang tidak abu-abu… tapi biru.
Biru sempurna.
Biru yang tak pernah muncul sejak dua tahun lalu.
Eira berdiri, mengangkat wajahnya ke atas, dan di tengah biru langit itu, wajah Kael muncul lagi—kali ini tersenyum damai.
“Terima kasih sudah kembali. Ingatanmu tak akan menyakitimu… jika kamu bersedia mengampuni dirimu sendiri.”
Eira tersenyum, walau air matanya belum berhenti.
Dan untuk pertama kalinya, langit tidak lagi terasa asing. Ia terasa seperti rumah. Seperti pelukan seseorang yang pernah hilang.
Dan di sana, di antara langit dan tanah, Eira mulai menerima bahwa cinta tak selalu bisa diselamatkan… tapi bisa dikenang selamanya.
Ia melangkah keluar dari ruang itu, membiarkan langit biru menyelimuti tubuhnya.
Bukan sebagai perempuan yang menghapus masa depan.
Tapi sebagai seseorang yang telah menghidupkan kembali cinta… dari dalam langit yang pernah ia bentuk sendiri.
Bab 5: Langit yang Pernah Aku Ledakkan
Eira kembali ke kota dengan tubuh yang sama, tapi dunia terasa sedikit berbeda. Sejak meninggalkan Tanah Tak Bernama, langit di atas kepalanya mulai berubah. Tak sepenuhnya biru—tapi kadang, di pagi hari yang sunyi atau sore yang penuh angin, semburat biru tipis muncul di antara awan kelabu.
Dan hanya Eira yang bisa melihatnya.
Ia mencatat semuanya di buku kecil: tanggal, waktu, warna, dan emosi yang ia rasakan saat langit berubah. Seperti ilmuwan yang mencatat jejak cinta. Atau mungkin, sisa-sisa dari perasaan yang pernah meledakkan seluruh realitas.
Suatu malam, ia kembali ke loteng, membawa dua termos teh dan kursi lipat. Di sebelahnya, ada kursi kosong. Ia tahu itu gila. Tapi gila sudah jadi bagian dari hidupnya.
“Kalau kamu di sini,” katanya pelan, “aku ingin tanya satu hal.”
Langit diam. Tapi bintang-bintang berpendar lebih terang.
“Kalau waktu itu aku memilihmu, apa dunia akan tetap selamat?”
Wajah Kael muncul samar di langit, tidak penuh, hanya sisi mata dan senyumnya yang selalu menyimpan rahasia.
“Tergantung versi mana yang kamu percaya.”
“Aku percaya versi di mana kamu hidup.”
Kael tertawa kecil. “Sayangnya, versi itu tidak menyelamatkan siapa pun. Kecuali kita.”
Eira menggigit bibir. Angin malam menyapu rambutnya. Ia menatap langit tanpa kedip. “Lalu kenapa aku tetap rindu padamu, Kael? Kenapa langit terus bawa kamu kembali padaku?”
Karena tak semua kehilangan bisa dipadamkan oleh waktu.
Dan tak semua cinta bisa hancur oleh keputusan logis.
Keesokan harinya, Eira kembali ke studio mural tempat ia dulu bekerja. Ia mendatangi dinding kosong terbesar di ujung gedung—yang biasanya dihindari karena terlalu tinggi dan terkena matahari langsung. Tapi hari itu, Eira membawa cat biru.
Ia mulai menggambar. Bukan dengan sketsa. Bukan dengan rencana. Tapi dengan perasaan. Tangannya bergerak tanpa berpikir, seperti ada yang menuntunnya. Dalam waktu lima jam, setengah wajah Kael sudah muncul di dinding.
Orang-orang mulai berdiri di seberang jalan, menatapnya. Beberapa memotret. Seorang anak kecil berkata, “Wajahnya kayak yang pernah aku lihat di langit…”
Eira berhenti.
Ia turun dari tangga dan menatap anak itu. “Kamu juga lihat?”
Anak itu mengangguk. “Tapi enggak setiap hari. Cuma waktu aku sedih.”
Eira tersenyum getir. Langit ternyata tak hanya menyimpan dirinya dan Kael… tapi juga luka dari banyak orang.
Malamnya, langit berubah lebih jelas dari biasanya. Wajah Kael muncul penuh, dan untuk pertama kalinya, ia tidak bicara dalam bisikan. Suaranya terdengar utuh, seolah berdiri tepat di samping Eira.
“Kamu sudah membuka sebagian pintu, Eira. Sekarang aku ingin tunjukkan semuanya.”
“Segalanya?” tanya Eira pelan.
“Ya. Termasuk hari saat kamu memilih mengakhiri hidupku.”
Dalam mimpinya, Eira berada di ruang bundar itu lagi. Tapi kali ini, Kael masih hidup. Dia berdiri di tengah lingkaran cahaya, memegang alat pemicu runtuhnya dimensi. Eira—versi lamanya—berjalan pelan dengan wajah hampa.
“Kamu yakin?” tanya Kael dalam mimpi.
“Aku harus.”
“Kalau kamu lakukan ini, kamu akan melupakan semuanya. Kita. Diri kita. Semuanya.”
“Aku tahu.”
Dan versi masa depan Eira menekan tombol itu—dengan air mata yang tidak jatuh, hanya membeku di sudut mata.
Cahaya besar melesat, meledakkan langit yang biru… menjadi abu. Dunia selamat. Semua versi yang kacau lenyap. Tapi cinta mereka ikut hilang bersama waktu.
Eira terbangun dengan teriakan tertahan. Keringat membasahi tengkuknya. Ia gemetar hebat.
Ia telah melihat hari itu.
Hari saat ia menjadi penyelamat dunia… dan pembunuh cinta.
Hari-hari setelah itu, Eira mulai menyadari sesuatu: langit tidak lagi muncul sendiri. Wajah Kael kadang menghilang. Kadang digantikan awan putih biasa. Seolah langit perlahan menutup luka itu… atau mungkin memberinya waktu untuk menutup sendiri.
Di loteng, Eira menatap langit kosong malam itu.
“Kael…”
Tidak ada suara.
Tapi angin membisikkan sesuatu:
“Kamu telah mengingat segalanya. Kini tinggal satu pilihan terakhir: hidup dalam kenangan… atau menciptakan versi baru.”
Eira menatap bintang. Kali ini tanpa air mata. Karena ia tahu, cinta yang dulu pernah meledakkan langit… kini tinggal dalam dirinya sendiri.
Bukan untuk diulang. Tapi untuk dikenang.
Dan dalam setiap warna biru yang akan datang, Eira tahu satu hal:
Kael tak pernah benar-benar hilang.
Ia hanya berpindah… dari langit yang pernah ia bentuk, ke hati yang tak pernah bisa membunuhnya dua kali.
Bab 6: Versi Dunia yang Tidak Pernah Datang
Sudah seminggu sejak Eira terakhir melihat wajah Kael di langit. Tidak ada suara. Tidak ada bentuk awan yang menyerupai sorot matanya. Langit kembali seperti semula—kelabu, sunyi, tak bersuara.
Tapi justru di saat itulah, Eira merasa paling dekat dengannya.
Ia tahu Kael tidak benar-benar pergi. Ia hanya… membiarkan Eira memilih hidupnya sendiri.
Pagi itu, Eira berjalan ke studio mural untuk melanjutkan lukisan wajah Kael. Dinding itu sekarang hampir penuh: wajah yang tenang, mata yang dalam, dan gurat senyum tipis yang seolah berbicara, “Aku di sini, meski kau tak melihatku.”
Orang-orang mulai memanggil mural itu dengan sebutan “Langit yang Menunggu.” Beberapa anak sekolah menempelkan bunga kertas, ada juga yang menuliskan puisi di bawahnya. Semua orang mulai merasa wajah itu familiar, seakan mereka pernah melihatnya di mimpi.
Padahal, Eira tahu, hanya dia yang pernah benar-benar mengenalnya.
Saat malam turun, Eira naik ke loteng seperti biasa. Tapi kali ini, ia membawa satu barang berbeda—sebuah dokumen tua berjudul Protokol Versi Realitas. Ia menemukannya di antara berkas-berkas yang tertinggal di Zona 0.
Isinya membuat napasnya tercekat.
Kael adalah bagian dari proyek eksperimental untuk menciptakan jalur kehidupan alternatif—dunia-dunia dengan hasil berbeda dari satu keputusan. Dunia di mana seseorang bisa tetap hidup meski harusnya mati. Dunia di mana cinta bisa bertahan, atau tak pernah dimulai.
Dan Eira? Dia adalah penyeimbang dari semua versi itu. Peran yang tak pernah ia minta, tapi tetap ia mainkan: sebagai pemutus tali kemungkinan.
Ia menutup dokumen itu pelan. “Jadi aku… bukan hanya pembunuhmu, tapi juga penjaga dunia yang tak pernah datang?”
Malam itu, langit tetap sunyi.
Namun di dalam dirinya, sebuah pintu mulai terbuka.
Di dalam mimpinya, Eira berada di lorong kaca. Di kanan dan kiri, ratusan layar tergantung. Masing-masing menampilkan versi kehidupannya.
Pada satu layar, ia dan Kael duduk di bawah pohon besar, menatap langit biru dan tertawa. Di layar lain, ia berdiri sendirian di atas panggung besar, menjadi ilmuwan ternama dunia, tapi dengan mata kosong. Di layar berikutnya, ia melihat dirinya sendiri hancur, kehilangan akal, terjebak dalam pengulangan mimpi yang sama.
Layar demi layar… semua menyimpan cerita yang mungkin terjadi, tapi tak pernah datang.
Kael muncul di sisi lain lorong, mengenakan kemeja putih dan wajahnya yang selalu tenang.
“Kamu di sini,” katanya.
“Ini… semua versi hidupku?”
“Ya. Semua yang mungkin terjadi. Semua yang kamu hentikan dengan satu pilihan.”
Eira menatapnya. “Kenapa kamu tunjukkan ini sekarang?”
“Karena kamu harus tahu bahwa hidupmu bukan tentang satu keputusan. Tapi tentang keberanian untuk terus memilih. Bahkan ketika cinta harus kamu lepaskan.”
Ia berjalan mendekat.
“Aku ingin hidup di versi di mana kamu tidak menyesal. Bukan yang paling indah, bukan yang paling sempurna. Tapi versi di mana kamu bisa bangun setiap hari dan tahu… kamu pernah mencintaiku dengan cara yang paling benar.”
Eira nyaris menangis. Tapi tidak kali ini.
Ia justru tersenyum.
“Kalau begitu… aku akan menciptakan versi baru.”
Kael menatapnya dalam-dalam. “Kamu yakin?”
“Aku tidak ingin hidup dalam penyesalan. Aku ingin berjalan ke depan… sambil tetap mencintaimu.”
Ia mengulurkan tangan. Tapi sebelum Kael sempat menyentuhnya, lorong itu pecah—semua layar hancur, cahaya menyilaukan datang dari segala arah.
Eira terbangun dengan jantung berdebar.
Dan di langit pagi yang dingin itu, untuk pertama kalinya, ia melihat pelangi kecil menggantung di antara awan.
Hari itu, Eira mulai menulis. Ia menuliskan semua versinya. Semua yang mungkin terjadi. Ia menuliskan kisah Kael. Tentang wajahnya di langit. Tentang cinta yang disimpan dalam atmosfer. Tentang keputusan yang menyelamatkan semua orang… tapi hampir menghancurkannya sendiri.
Ia menamai buku itu: Langit yang Pernah Aku Ledakkan.
Dan di halaman terakhir, ia menuliskan kalimat:
“Aku pernah mencintaimu di masa depan, membunuhmu di masa kini, dan mengingatmu di setiap langit yang tidak lagi biru. Tapi di versi yang aku pilih hari ini… aku akan hidup. Untuk kita berdua.”
Dan saat ia menutup bukunya, langit sekali lagi berubah.
Biru.
Biru penuh.
Tanpa awan.
Tanpa wajah.
Hanya langit yang akhirnya bisa tenang, karena seseorang di bawahnya… sudah berdamai.
Bab 7: Hujan yang Tidak Pernah Sampai ke Tanah
Langit kembali biru hari itu. Biru utuh, tanpa wajah, tanpa suara. Tapi justru karena itu, Eira tahu: inilah saatnya menghadapi sisa dari semuanya.
Biru bukan lagi tanda kebahagiaan. Ia adalah penanda bahwa luka sudah mengering, dan kenangan tidak lagi ingin tinggal terlalu lama.
Eira menutup jendela kamarnya perlahan. Ia merasakan kesepian yang aneh. Bukan seperti kehilangan seseorang, tapi seperti baru saja melepas sesuatu yang tak terlihat—seperti melepas nafas yang sudah terlalu lama ditahan.
Ia berjalan ke taman kota, tempat biasa ia duduk dan mengamati langit. Di sana, anak-anak berlarian, orang tua berjalan pelan, dan hidup tetap berjalan seperti tak ada apa-apa yang pernah berubah. Seperti langit tak pernah membentuk wajah. Seperti suara Kael tak pernah memenuhi malam.
Tapi Eira tahu, ia berbeda sekarang.
Ia duduk di bangku kosong, membuka buku catatannya, lalu mulai menulis:
“Hari ini langit kembali biru. Tapi tidak karena cinta, bukan karena rindu. Langit biru hari ini… karena aku tidak lagi memintanya kembali.”
Saat sore tiba, mendung menggantung tipis. Tapi anehnya, hujan tak juga turun. Langit menggumpal gelap, seolah menahan sesuatu di dalam dirinya.
Eira menatap ke atas. “Kamu di situ lagi?”
Tidak ada wajah. Tapi awan membentuk seperti telapak tangan yang menggenggam.
Lalu suara datang, samar, seperti gema dari ruang yang tak punya waktu.
“Aku tak bisa turun… karena kamu tak lagi butuh diselamatkan.”
Eira berdiri. “Tapi aku masih mengingatmu.”
“Itu cukup.”
Ia mengangkat tangannya ke arah langit, tidak untuk memanggil… hanya untuk menyentuh udara yang pernah menyimpan segalanya.
“Dulu aku berharap kamu kembali setiap malam,” katanya pelan. “Tapi sekarang aku berharap kamu tenang… di manapun versi dirimu berada.”
Langit menjawab dengan kilau tipis cahaya jingga di balik awan. Bukan hujan. Bukan petir. Hanya getar cahaya yang seolah berkata: aku juga tak ingin kamu menungguku lagi.
Dan Eira paham—cinta tidak selalu berarti tetap bersama. Kadang, cinta adalah saat kita tahu kapan harus melepaskan… bahkan tanpa pernah memiliki.
Malamnya, Eira berjalan sendiri di bawah langit yang tetap tak turun hujan. Ia ingat satu kenangan dari dimensi yang tak pernah datang—ketika ia dan Kael berdiri di tengah jalan kosong, menari dalam hujan yang turun dari langit yang ia bentuk sendiri.
Hujan itu hangat, meski tidak nyata. Hujan itu basah, meski tak pernah menyentuh tanah.
Itu bukan kenangan dari dunia ini. Tapi ia tetap hidup di dadanya.
Eira menatap ke atas dan berkata, “Jika di salah satu dunia kita masih menari dalam hujan, jangan hentikan langkahku. Biarkan aku terus berjalan di sini… membawa cinta itu tanpa beban.”
Langit tetap diam.
Tapi di kejauhan, Eira bisa mendengar suara lembut seperti bisikan terakhir dari seseorang yang akan pergi jauh.
“Aku tak akan pernah benar-benar hilang. Karena setiap kali langit enggan menjatuhkan hujan, itu karena aku masih ingin tinggal sebentar… di antara awan, melihatmu tersenyum meski tanpa aku.”
Eira memejamkan mata.
Malam itu, langit tak menangis. Tapi Eira tahu, cinta mereka masih tergantung di sana—seperti hujan yang menunggu momen tepat untuk jatuh, walau tak pernah sampai ke tanah.
Bab 8: Kota Tanpa Bayangan
Sudah tiga minggu berlalu sejak Eira terakhir melihat wajah Kael di langit. Langit tak lagi mengirim isyarat. Tak ada warna-warna aneh. Tak ada suara samar di tengah malam. Hanya biru, kadang kelabu, kadang tak peduli. Tapi semua itu tidak membuat Eira kehilangan arah. Justru sejak langit berhenti bicara, hidupnya jadi lebih nyata.
Ia kembali bekerja sebagai ilustrator, menerima proyek kecil dari penerbit independen. Ia menyibukkan diri dengan hal-hal sederhana: menyiram tanaman, menjahit jaket lamanya, mencicipi rasa kopi baru. Hidup yang tenang, seperti orang-orang normal pada umumnya.
Tapi di dalam hatinya, kota ini tetap terasa kosong.
Sampai suatu hari, Eira menerima surat tanpa nama pengirim. Amplopnya usang, warnanya pudar seperti baru diselamatkan dari hujan. Di dalamnya, hanya ada satu kalimat:
“Temui aku di kota tanpa bayangan. Kita masih punya satu versi yang belum selesai.”
Tak ada penjelasan. Tak ada alamat.
Tapi entah kenapa, Eira tahu apa maksudnya.
Kota tanpa bayangan adalah istilah kuno untuk sebuah tempat yang tak lagi dicintai cahaya. Kota itu memang ada—sebuah wilayah terbengkalai di utara, yang mataharinya terhalang kabut kimia permanen sejak ledakan atmosferik dua tahun lalu.
Dulu, Kael pernah menyebut kota itu sebagai pusat dari keretakan versi realitas. Tempat semua kemungkinan bertumpuk seperti tumpukan cermin yang retak.
Eira menaiki kereta malam. Ia duduk sendirian, menatap ke luar jendela. Sepanjang perjalanan, ia hanya membawa satu tas kecil, buku catatan, dan sketsa terakhir wajah Kael.
Saat kereta tiba di stasiun tua kota itu, suasananya sunyi. Langit di atas benar-benar kelabu. Tak ada sinar. Tak ada bayangan di tanah. Pohon-pohon berdiri diam, tak bergerak oleh angin. Seolah dunia di sini berhenti berdetak.
Eira menyusuri jalan rusak yang penuh retakan. Ia mengikuti perasaannya, bukan arah. Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah bangunan kecil tak terpakai—mungkin dulunya observatorium.
Dan di sana, ia melihat seseorang berdiri membelakanginya.
Lelaki itu mengenakan jaket panjang, rambutnya agak berantakan, dan siluetnya… tak memiliki bayangan.
Eira menahan napas. “Kael…”
Lelaki itu berbalik perlahan. Wajahnya sama persis. Matanya masih menyimpan luka yang tak selesai. Tapi senyumnya berbeda—lebih ringan. Lebih manusiawi.
“Ini bukan mimpi?” tanya Eira.
“Tidak. Ini versi terakhir.”
Mereka duduk berdua di tangga observatorium yang menghadap langit kelabu. Tak banyak yang diucapkan. Dunia terlalu sunyi untuk kata-kata.
Kael akhirnya membuka suara, pelan. “Versi ini adalah yang tidak pernah kamu pilih. Dunia di mana aku tidak mati… tapi kamu menghilang.”
Eira menatapnya. “Aku… tidak ada?”
“Ya. Di dunia ini, kamu tidak pernah menyelamatkan dunia. Kamu lenyap saat percobaan waktu gagal. Dunia ini tidak hancur, tapi kehilangan cahayanya. Karena kamu membawa semua cahaya itu pergi.”
Eira menunduk. “Jadi… kenapa aku bisa ada di sini sekarang?”
“Karena versi-versi yang belum selesai… selalu mencoba bertemu satu sama lain. Kamu datang ke sini karena cinta kita tidak pernah sepenuhnya pergi. Ia mencari ruangnya sendiri.”
Mereka terdiam lama.
Kael menatap langit. “Kamu tahu kenapa tak ada bayangan di sini?”
“Karena tak ada cahaya?”
“Bukan. Karena orang-orang di kota ini… takut pada kenangan mereka sendiri. Mereka hidup, tapi tidak ingin melihat apa pun yang tertinggal di belakang mereka.”
Eira mengangguk pelan. “Seperti aku dulu.”
Kael tersenyum. “Tapi sekarang kamu sudah berubah. Kamu datang untuk menyelesaikan sesuatu, kan?”
Eira menarik napas. Ia menatap wajah lelaki itu dalam-dalam, mencoba menyimpan setiap detailnya sekali lagi.
“Aku ingin mengucapkan perpisahan. Dengan benar.”
Kael menunduk. “Akhir yang damai?”
“Bukan akhir,” kata Eira. “Versi yang bisa kupeluk dalam doa. Bukan dalam penyesalan.”
Kael berdiri, lalu meraih tangan Eira. “Kamu akan terus hidup di dunia yang kamu pilih. Tapi izinkan versi ini mencintaimu… sekali saja… dengan cara yang utuh.”
Dan di tengah kota tanpa bayangan, mereka saling merangkul untuk waktu yang entah berapa detik—atau berapa dunia. Tak ada matahari. Tak ada cahaya. Tapi kehangatan itu cukup untuk membuat Eira merasa hidup lebih dari sebelumnya.
Sebelum pergi, Kael berbisik di telinganya:
“Jika suatu hari kamu menatap langit dan melihat seberkas cahaya… itu bukan karena aku datang kembali. Tapi karena kamu sudah belajar mencintai tanpa harus memiliki.”
Dan saat Eira membuka mata… kota itu menghilang.
Ia berdiri di loteng rumahnya. Di bawah langit biru pagi hari.
Hanya satu perbedaan: untuk pertama kalinya, tubuhnya punya bayangan.
Dan ia tahu… cinta yang sempat menghilang di antara versi realitas kini telah kembali. Bukan untuk tinggal.
Tapi untuk memberi cahaya bagi langkah yang tak lagi menoleh ke belakang.
Bab 9: Versi Diriku yang Memilih Bertahan
Sejak kepulangannya dari kota tanpa bayangan, Eira tak lagi bermimpi tentang Kael. Tak ada lorong cermin. Tak ada suara di langit. Tak ada wajah yang terbentuk dari awan. Tapi tidak ada yang terasa hilang. Justru kini, semua terasa lebih utuh.
Ia kembali menjalani hari dengan lebih tenang. Tak lagi menghindari bayangan, tak lagi menggambar dengan tangan gemetar. Bahkan, lukisan wajah Kael yang dulu ia jaga di dinding besar kini ia biarkan memudar, perlahan-lahan digantikan dengan mural langit biru sederhana. Bukan karena ia lupa, tapi karena ia memilih untuk mengingat dengan cara yang baru.
Pagi itu, saat sinar matahari menyusup ke sela jendela, Eira membuka buku catatannya dan membaca tulisan lama yang ia tulis saat hatinya masih penuh luka:
“Aku tak tahu apakah aku pahlawan, atau hanya gadis yang membunuh cinta untuk menyelamatkan dunia.”
Ia tersenyum. Kalimat itu dulu membuatnya ingin menangis. Sekarang, ia hanya mengangguk kecil. Ia tahu jawabannya.
Dia bukan pahlawan. Bukan korban. Dia adalah versi dari dirinya sendiri—yang memilih bertahan.
Hari itu, ia mengunjungi tempat yang dulu membuatnya takut: galeri seni tempat ia pernah menolak tawaran pameran karena pikirannya terlalu penuh oleh wajah langit.
Namun kali ini, Eira datang membawa karya baru.
Lukisan-lukisan abstrak tentang emosi. Tentang versi dunia yang tak terlihat. Tentang cinta yang pernah ada tapi tak bisa kembali.
Orang-orang datang, berdiri lama di depan lukisannya yang paling besar—sebuah kanvas penuh warna biru, dengan satu garis retakan tipis di tengah. Judulnya:
“Langit yang Tak Pernah Sama.”
Seorang pria muda bertanya, “Apa ini tentang patah hati?”
Eira mengangguk. “Bisa jadi. Tapi juga tentang berdamai.”
“Dengan siapa?”
“Dengan diriku sendiri.”
Malamnya, ia berjalan pulang sambil membawa bunga yang diberi pengunjung. Ia berdiri di perempatan jalan dan mendongak.
Langit malam sangat jernih.
Dan saat ia menatapnya, tak ada yang muncul.
Tapi ia tahu Kael di sana.
Mungkin bukan sebagai bentuk. Bukan sebagai suara.
Tapi sebagai bagian dari dirinya yang sudah tumbuh dan menerima bahwa cinta, kadang tidak bisa disimpan di tangan. Hanya bisa dijaga di hati.
Eira menutup matanya, mengucapkan doa pelan:
“Terima kasih… untuk semua versi yang tak pernah terjadi. Karena tanpanya, aku tak akan tahu versi mana yang layak kuhidupi.”
Beberapa hari kemudian, ia menerima sebuah kiriman kecil.
Kotak kayu tua.
Di dalamnya, ada jam saku tua yang rusak—jarumnya berhenti di pukul 3:17.
Dan secarik kertas dengan tulisan tangan halus:
“Waktu kita memang berhenti di satu titik. Tapi kamu tetap berjalan, Eira. Dan itu… sudah cukup untuk menyelamatkanku.”
Tangannya bergetar.
Ia tak tahu siapa yang mengirimkannya.
Tapi ia tahu… hanya satu orang yang pernah bicara tentang waktu seperti itu.
Kael.
Malam itu, ia duduk di loteng, memegang jam itu di tangan kirinya, dan menulis sesuatu di halaman terakhir buku catatannya:
“Mungkin cinta tidak selalu tentang memiliki. Kadang, cinta adalah saat kamu menolak menghentikan waktu—demi terus bertahan hidup.”
Lalu ia memejamkan mata. Tidak untuk bermimpi. Tapi untuk bersyukur.
Karena setelah semua versi yang pernah ia lalui…
Ia akhirnya menemukan satu versi di mana ia tetap hidup.
Versi di mana ia mencintai… dan tetap bertahan.
Bab 10: Langit yang Menjadi Aku
Pagi itu, Eira berdiri di depan mural terakhir yang ia lukis. Bukan wajah Kael, bukan juga langit biru. Tapi bayangan dirinya sendiri—berdiri di tepi dunia, memeluk cahaya samar yang muncul dari balik kabut. Di sudut mural, ia menuliskan kalimat:
“Aku adalah langit itu sendiri—yang pernah memanggil, mencintai, dan melepaskan.”
Hari-harinya kini diisi dengan hal-hal biasa: mengajar seni di sebuah komunitas kecil, menulis artikel tentang emosi manusia, dan sesekali melukis awan yang tak lagi berbentuk wajah. Tapi bagi Eira, semua itu adalah bukti bahwa ia memilih hidup.
Ia tak lagi menunggu Kael muncul di antara awan.
Karena perlahan, ia mulai menyadari… mungkin, Kael memang tidak pernah benar-benar tinggal di langit.
Mungkin, Kael tinggal di dalam dirinya.
Suatu malam, hujan turun. Hujan pertama yang benar-benar sampai ke tanah sejak bencana atmosferik dua tahun lalu. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat jalanan basah dan daun-daun berkilau di bawah lampu kota.
Eira berdiri di depan jendela, melihat tetes-tetes air menari di permukaan kaca. Ia membuka jendela perlahan dan mengulurkan tangannya.
Dingin.
Nyata.
Dan tanpa ia sadari, air mata jatuh bersamaan dengan hujan.
Bukan karena sedih.
Tapi karena kali ini, ia bisa merasakan semuanya tanpa takut.
“Kael…” gumamnya pelan, “kalau kamu melihat aku sekarang, kamu pasti tahu… aku sudah memaafkan diriku sendiri.”
Angin malam masuk pelan, membawa suara samar, atau mungkin hanya getaran dari ingatan yang belum benar-benar mati.
“Aku tahu. Dan aku bangga padamu.”
Di hari ulang tahunnya yang ke-30, Eira berjalan sendirian ke bukit kecil di pinggiran kota. Tempat itu sepi, penuh rumput liar dan langit yang luas tanpa gangguan bangunan.
Ia membawa satu lukisan kecil—lukisan pertama yang ia buat setelah mengingat semuanya.
Lukisan itu ia letakkan di atas tanah.
Lalu ia berkata pelan,
“Aku tidak akan kembali ke masa lalu. Tapi aku juga tidak akan melupakannya.”
Ia menatap langit yang mulai jingga, diambang senja.
“Aku akan terus berjalan. Dan kalau ada versi dirimu di dunia lain yang masih menunggu… katakan padanya, aku sudah tiba di rumahku sendiri.”
Langit tetap tenang. Tak ada suara. Tapi cahaya senja menyinari wajah Eira seperti pelukan terakhir dari semesta.
Ia tahu, perjalanannya belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak merasa sendirian.
Karena dalam setiap langkahnya, ada serpihan Kael yang ikut berjalan bersamanya.
Dan mungkin, dalam satu versi dunia lain, mereka masih bersama—menari dalam hujan, menatap langit, dan tersenyum.
Tapi di dunia ini… Eira hidup.
Ia bukan hanya gadis yang pernah mengingat langit.
Ia adalah langit itu sendiri.
“Kita mungkin tak bisa mengulang versi di mana cinta tetap utuh,
tapi kita bisa hidup di versi di mana cinta itu tumbuh,
lalu kita lepas—bukan karena lelah,
tapi karena kita akhirnya mengerti:
cinta yang sejati tak butuh akhir bahagia untuk tetap abadi.”
Dan pada akhirnya, langit tetap berubah.
Tapi Eira tak lagi mencari wajah di antara awan.
Karena kini, langit tak lagi berbentuk seseorang.
Langit itu… berbentuk dirinya sendiri.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.