Di dunia ini, kenangan yang terlalu kuat bisa hidup sebagai makhluk nyata menghantui, menyakiti, bahkan membunuh.
Rafa, seorang Pembersih Kenangan profesional, bekerja dalam bayang-bayang dunia untuk memburu dan menghapus kenangan berbahaya yang lahir dari luka terdalam manusia.
Terjebak di antara tugas dan perasaannya, Rafa harus memilih: menjalankan kewajibannya untuk menyelamatkan dunia, atau mempertaruhkan segalanya demi menyelamatkan kenangan satu-satunya yang membuatnya merasa hidup.
Ketika kesempatan untuk membangkitkan Livia menjadi manusia nyata terbuka lewat teknologi terlarang bernama Proyek Eden, Rafa melawan sistem, berlari dari kejaran Pemburu, dan bertaruh dengan seluruh jiwanya.
Namun semakin keras ia berjuang, semakin ia dihadapkan pada kenyataan pahit: tidak semua cinta ditakdirkan untuk bertahan, bahkan setelah kau melawan seluruh dunia sekalipun.
“Kenangan yang Harus Aku Bunuh” adalah kisah tentang cinta pertama yang tak pernah selesai, luka yang tak pernah sembuh, dan keputusan memilukan yang mengubah hidup selamanya.
Di dunia tempat kenangan bisa membunuh, Rafa menemukan bahwa terkadang… cinta sejati adalah berani melepaskan, bahkan ketika hatimu hancur.
Bab 1: Dunia Tanpa Lupa
Di dunia ini, kenangan tidak selalu tinggal di dalam kepala. Ada kalanya, kenangan yang terlalu kuat, terlalu menyakitkan, atau terlalu penuh emosi, bisa lahir menjadi sesuatu yang nyata. Mereka mengambil bentuk manusia, hewan, bahkan bayangan, tergantung seberapa dalam luka yang mereka bawa. Dan kalau dibiarkan, makhluk-makhluk ini bisa berbahaya. Mereka bukan cuma menghantui, tapi juga bisa membunuh.
Namaku Rafa. Aku seorang Pembersih Kenangan.
Tugasku sederhana: mencari makhluk-makhluk itu dan menghapus mereka dari dunia nyata. Terdengar kejam, mungkin, tapi kalau tidak dilakukan, satu kenangan bisa mengubah ribuan hidup dalam sekejap. Kadang aku bertanya-tanya, kenapa manusia harus begitu lemah sampai kenangannya sendiri bisa membunuh mereka. Tapi di sisi lain, aku tahu… aku juga pernah begitu.
Hari ini hujan turun tipis-tipis di kota. Langit kelabu seperti biasa, seakan ikut menahan napas bersama kami yang tahu dunia ini cuma bertahan setipis benang. Aku berjalan pelan di trotoar, jaket hitamku basah di bagian bahu, sementara tangan kanan meremas amplop berisi perintah baru.
Alamat: Apartemen 47, Lantai 12, Blok B.
Target: Kenangan Level Menengah. Bentuk: Anak kecil, laki-laki. Risiko: Sedang.
Aku mendesah pelan, memasukkan amplop ke dalam saku, lalu mempercepat langkah. Setiap langkah mendekatkanku pada bagian dunia yang kebanyakan orang pilih untuk pura-pura nggak tahu. Mereka hidup, bekerja, pacaran, menikah, seakan lupa kalau sewaktu-waktu bisa saja kenangan buruk mereka melahirkan monster.
Sampai akhirnya mereka jadi korban.
Lift berderit pelan saat aku naik. Lantai 12, koridor kosong dengan bau semen basah. Aku menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu apartemen 47. Tak ada jawaban. Sesuai protokol, aku merogoh saku dan mengeluarkan kunci universal, alat wajib Pembersih Kenangan. Dengan satu sentuhan, pintu terbuka.
Ruangan itu sunyi. Gelap. Hanya ada satu suara… isakan kecil dari dalam.
Aku melangkah masuk, sepatu berdecit di lantai kayu. Di sudut ruangan, aku melihatnya. Anak kecil, kira-kira lima tahun, berlutut sambil memeluk boneka rusak. Kepalanya tertunduk, tubuh mungilnya gemetar.
Aku tahu ini bukan anak sungguhan. Ini hanya kenangan.
Kenangan seorang ayah yang kehilangan putranya dalam kecelakaan. Kesedihan yang begitu besar, sampai pikirannya membentuk bayangan anak itu kembali, seolah berharap masih bisa memeluknya. Tapi kenyataan jauh lebih kejam. Anak ini sudah menggores beberapa penghuni apartemen lain dalam wujud “permainan” yang penuh darah.
Aku berjongkok di depannya. “Maaf, Nak,” bisikku, hampir tak terdengar.
Tangan kananku bergerak cepat. Senjata Pembersih—sebuah belati pendek berwarna biru kusam—mengiris udara. Tak ada darah. Hanya cahaya samar yang keluar dari tubuh kecil itu sebelum menghilang, bersama isakan terakhirnya.
Hening. Seperti biasa.
Aku berdiri, memasukkan kembali belati ke sarungnya, lalu menatap ruangan kosong itu sekali lagi. Rasanya setiap misi makin terasa berat. Bukan karena kenangan itu kuat, tapi karena aku makin sadar… aku juga menyimpan satu kenangan yang belum berani aku hadapi.
Ponsel di saku bergetar. Aku mengangkatnya tanpa banyak berpikir.
“Rafa, markas memanggilmu. Ada misi baru. Tingkat Bahaya: Hitam.”
Aku terdiam. Bahaya Hitam? Itu artinya kenangan yang lahir bukan cuma berbahaya, tapi bisa menghancurkan lebih dari sekadar satu atau dua orang. Bisa mempengaruhi sebuah kota. Atau dunia.
Aku mengangguk pelan, meski lawan bicara di seberang tidak bisa melihat. “Kirim datanya.”
“Akan kami kirim. Dan, Rafa…” Suara di telepon terdengar ragu. “Kami… memilihmu karena kamu satu-satunya yang mungkin bisa melakukannya.”
Ada sesuatu dalam nadanya yang membuat bulu kudukku meremang. Seperti ada rahasia besar yang sedang mereka sembunyikan. Tapi aku tidak bertanya. Sudah lama aku tahu, di dunia ini, terlalu banyak pertanyaan hanya akan menambah luka yang tak perlu.
Aku menutup telepon dan berjalan keluar dari apartemen itu. Hujan masih turun. Angin menusuk sampai ke tulang.
Di kejauhan, lampu-lampu kota berkedip samar. Aku merasa seperti berjalan di dunia yang perlahan-lahan memudar, seiring kenangan-kenangan buruk yang terus membusuk dalam diri manusia.
Dan untuk pertama kalinya sejak aku bergabung sebagai Pembersih, ada rasa takut yang menyelinap masuk ke dalam dadaku.
Entah kenapa, aku merasa… misi berikutnya bukan sekadar tentang membunuh kenangan.
Aku merasa… kali ini, aku akan dipaksa membunuh bagian dari diriku sendiri.
Aku berjalan lebih cepat, tanpa menoleh ke belakang. Karena dalam dunia ini, satu-satunya yang lebih berbahaya daripada kenangan orang lain… adalah kenangan milikmu sendiri.
Bab 2: Luka di Balik Senyum Rafa
“Beberapa luka terlalu dalam untuk disembuhkan, dan beberapa kenangan terlalu hidup untuk dilupakan.”
Malam itu, aku duduk sendirian di kafe kecil di sudut kota, memandangi kopi yang sudah dingin di depanku. Lampu-lampu jalanan di luar buram tertutup embun. Orang-orang berlalu lalang, tertawa, berpelukan, membicarakan kehidupan mereka seolah dunia ini tempat yang aman. Seolah mereka tidak sadar bahwa setiap tawa itu bisa berubah menjadi jeritan, hanya dalam hitungan detik.
Aku menghela napas, mengaduk kopiku tanpa niat meminumnya. Pikiran tentang misi baru terus berputar di kepalaku, seperti lagu sumbang yang tak mau berhenti.
Bahaya Hitam.
Aku belum pernah mendapat misi seperti ini sebelumnya. Selama ini tugasku hanya berurusan dengan kenangan level rendah atau menengah. Luka patah hati, kehilangan orang tua, rasa bersalah karena pengkhianatan kecil. Tapi kali ini… entah kenapa, semuanya terasa berbeda.
Ponselku bergetar di meja, mengabarkan bahwa file misi sudah dikirim. Aku membuka layar, dan untuk sesaat, napasku tertahan.
Sebuah foto terpampang di sana.
Seorang gadis muda dengan senyum lebar, mata bercahaya, rambut panjang tergerai berantakan seolah tertiup angin.
Livia.
Aku hampir menjatuhkan ponselku.
Aku menutup mata, mencoba mengusir rasa mual yang tiba-tiba datang. Tapi sia-sia. Namanya menggema di kepalaku, mengiris setiap pertahanan yang susah payah kubangun selama bertahun-tahun.
Livia.
Cinta pertamaku. Gadis yang pernah membuatku percaya bahwa dunia ini layak diperjuangkan. Gadis yang pernah berjanji akan selalu bersamaku, apa pun yang terjadi.
Tapi kenyataannya, dia pergi.
Tanpa pamit, tanpa penjelasan. Hanya meninggalkan kekosongan yang selama ini aku tutupi dengan tawa palsu dan misi-misi yang membunuh nurani sedikit demi sedikit.
Tanganku bergetar saat membuka dokumen tambahan di layar.
Target: Livia Veran.
Klasifikasi: Kenangan Level Hitam.
Sumber: Luka emosional ekstrem.
Efek: Distorsi realitas di radius 5 km.
Perintah: Eliminasi segera.
Aku menutup dokumen itu cepat-cepat, seakan membiarkannya terlalu lama terbuka akan membuat lukaku menganga di depan semua orang.
Aku menunduk, memejamkan mata.
Kenapa dia?
Kenapa harus dia?
Aku tahu prosedur. Pembersih dilarang membiarkan keterlibatan emosional mengganggu misi. Tapi ini… ini bukan sekadar keterlibatan. Ini bagian dari jiwaku sendiri yang harus aku bunuh.
Seseorang menarik kursi di depanku. Aku membuka mata, sedikit kaget.
Orang itu mengenakan jas abu-abu, dasi longgar, dan membawa koper kecil. Aku tahu dia. Namanya Gino. Rekan satu angkatan saat pelatihan. Sekarang dia bekerja sebagai Penghubung Misi.
“Aku tahu ini berat,” katanya pelan, seolah membaca pikiranku.
Aku hanya diam, menatap kosong ke arah luar jendela.
“Kamu nggak perlu pura-pura kuat di depan kami, Rafa. Kami paham.” Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Tapi kamu tahu prosedur. Kalau kamu mundur, kita terpaksa kirim orang lain.”
Aku memalingkan wajah, menahan emosi yang hampir meledak.
“Mungkin itu lebih baik,” gumamku.
“Tidak.” Suaranya tegas. “Tidak ada yang lebih cocok untuk menghadapi kenangan ini selain kamu. Karena dia lahir dari kamu.”
Aku mengerjap, menatap Gino tajam.
“Apa maksudmu?” tanyaku pelan.
Dia menghela napas panjang, seperti menyusun kata-katanya hati-hati.
“Kenangan Livia… dia bukan muncul dari luka orang lain. Dia muncul dari luka kamu sendiri, Rafa. Dari rasa bersalahmu. Dari cintamu yang tidak pernah selesai.”
Dunia terasa berputar. Kursi yang kududuki mendadak terasa terlalu berat. Suara kafe, tawa pengunjung, denting sendok, semua berubah menjadi gema yang jauh.
Aku yang melahirkan dia.
Aku yang membiarkan kenangan itu hidup.
Aku yang harus mengakhirinya.
Gino berdiri, meninggalkan sebuah amplop kecil di meja. “Ini koordinatnya. Dia muncul tadi pagi. Saat ini masih diam di lokasi, tapi kita nggak tahu berapa lama sebelum dia mulai menyerang.”
Aku tidak bergerak saat dia pergi. Hanya menatap kosong ke depan, mendengar suara hujan yang mulai turun lagi di luar sana.
Kenangan itu… Livia… dia nyata. Dia hidup. Dan aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri.
Tanganku yang dulu pernah bersumpah akan melindunginya.
Aku tertawa kecil, getir. Dunia ini benar-benar kejam. Tapi mungkin, memang seharusnya begitu. Mungkin, memang sudah waktunya aku mengakhiri semua ini.
Aku mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam jaket.
Malam ini, aku akan bertemu Livia.
Dan untuk pertama kalinya… aku nggak tahu, apakah aku akan sanggup melakukannya.
Bab 3: Misi Terlarang
Aku berdiri di depan gedung tua yang hampir runtuh, atapnya miring, dindingnya penuh lumut dan retakan. Jam menunjukkan pukul dua dini hari, dan hujan belum juga berhenti. Kota terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ikut menahan napas untuk momen ini.
Aku meremas amplop kecil di saku jaketku, berusaha mengusir gemetar yang bukan karena dingin.
Di dalam gedung itu… Livia menungguku.
Atau lebih tepatnya, kenangan tentang Livia. Makhluk yang lahir dari luka dan penyesalanku sendiri.
Langkahku berat saat menaiki tangga kayu yang nyaris lapuk. Setiap deritannya membuatku semakin sadar betapa rapuh dunia ini… betapa rapuh aku.
Lantai dua. Koridor panjang yang berbau apek. Di ujungnya, ada sebuah pintu setengah terbuka. Cahaya remang keluar dari celahnya.
Aku menarik napas panjang. Tanganku meraih gagang pintu.
Dan di situlah aku melihatnya.
Dia berdiri di tengah ruangan kosong. Rambut panjangnya basah karena hujan, pipinya merah dingin, dan matanya… Tuhan, matanya masih sama. Mata Livia yang dulu aku kenal. Hangat, hidup, penuh rasa ingin tahu.
Dia mengenakan gaun putih tipis yang kuyup menempel di tubuh mungilnya. Seakan baru saja terlempar dari kenangan masa lalu tanpa sempat bernafas.
Saat dia melihatku, senyumnya mengembang.
Bukan senyum menyeramkan seperti makhluk kenangan yang lain.
Ini… senyum Livia. Senyum yang pernah membuatku merasa dunia ini tidak seburuk itu.
“Rafa,” katanya pelan, suaranya bergetar seperti angin. “Akhirnya kamu datang.”
Aku terpaku. Belati Pembersih tergenggam di tangan kananku, berat, dingin.
Kenapa dia… begitu nyata?
“Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku, suaraku serak.
Dia melangkah mendekat, pelan, seolah takut aku akan kabur. “Karena kamu memanggilku,” jawabnya. “Karena hatimu tidak pernah membiarkanku pergi.”
Aku mundur setengah langkah, otakku berteriak untuk menjalankan protokol: jangan biarkan kenangan mendekat, jangan biarkan emosi mengambil alih.
Tapi hatiku… hatiku sudah hancur sejak aku melihat wajahnya.
“Ini salah,” desisku. “Kamu… kamu cuma kenangan. Kamu bukan nyata.”
Livia tersenyum kecil, getir. “Kalau aku cuma kenangan, kenapa kamu masih merindukanku sampai sekarang?”
Aku memejamkan mata, berusaha mengusir air yang mulai memenuhi sudutnya. Ini bukan Livia. Ini hanya manifestasi rasa bersalahku. Aku harus ingat itu. Aku harus kuat.
Dia mendekat lagi, jaraknya kini hanya beberapa langkah dariku.
“Rafa…” bisiknya. “Aku tidak ingin menyakitimu. Aku cuma… tidak ingin dilupakan.”
Aku menggenggam belati lebih erat. Rasanya seperti menggenggam duri yang menusuk ke dalam kulit.
“Kalau aku tidak menghapusmu,” kataku pelan, “kamu akan menyakiti orang lain. Dunia ini… akan hancur.”
Matanya berkaca-kaca. Seolah mengerti. Seolah benar-benar merasa sakit.
“Kalau begitu…” katanya, “kenapa kamu tidak mulai dengan menyakitiku dulu?”
Aku terdiam, gemetar.
Livia mengulurkan tangan, jemarinya yang kecil dan dingin menyentuh pipiku.
Sentuhan itu nyata.
Hangat.
Hidup.
Aku menggigit bibir, menahan diri untuk tidak jatuh ke dalam kenangan itu, untuk tidak memeluknya dan menyerah.
Aku harus menyelesaikan ini.
Aku harus…
Tapi saat aku menatap matanya, aku tahu: aku tidak bisa. Bukan malam ini.
Mungkin tidak pernah.
Livia menarik tangannya perlahan, lalu melangkah mundur ke tengah ruangan.
“Aku akan menunggu di sini,” katanya. “Sampai kamu siap.”
Aku tidak menjawab. Aku hanya berbalik, berjalan keluar, membiarkan pintu itu tertutup di belakangku dengan bunyi klik yang terdengar seperti pecahnya sesuatu di dalam dadaku.
Di luar, hujan turun semakin deras.
Aku berjalan tanpa tujuan di jalanan kosong, membiarkan diriku basah kuyup. Belati Pembersih masih tergenggam di tanganku, tapi sekarang terasa hampa.
Aku gagal.
Aku membiarkan kenangan itu hidup.
Dan aku tahu… ini baru awal kehancuran.
Karena semakin lama aku membiarkan Livia tetap ada, semakin besar kekuatannya. Semakin banyak kenyataan yang akan ia ubah.
Aku menatap langit kelabu di atas sana.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku bertanya pada diriku sendiri.
Apakah aku benar-benar ingin menghapusnya?
Atau sebenarnya… aku yang ingin tetap hidup bersama kenangan itu, meski harus menghancurkan dunia?
Bab 4: Gadis dari Masa Lalu
“Beberapa kenangan tidak sekadar datang untuk dikenang. Mereka datang untuk menghidupkan kembali luka yang belum sembuh.”
Sudah lewat tiga hari sejak aku bertemu Livia.
Tiga hari yang terasa seperti berjalan di atas kaca. Setiap langkahku penuh goresan kecil yang perlahan menggerogoti kewarasanku.
Aku mencoba melanjutkan hidup seperti biasa. Bangun pagi, berpatroli, memeriksa laporan kenangan liar lain yang muncul di pinggiran kota. Tapi tidak peduli seberapa keras aku mencoba berpura-pura, bayangan Livia terus menghantui pikiranku.
Senyumnya.
Suaranya.
Sentuhan dinginnya di pipiku.
Dan lebih parahnya lagi, aku mulai melihat dia di mana-mana.
Saat berjalan di keramaian, aku kadang melihat sosoknya berdiri di sudut jalan, tersenyum samar. Saat duduk di halte, aku mendengar suaranya memanggil namaku, hanya untuk mendapati tempat itu kosong. Bahkan dalam tidur, dia hadir. Tidak sebagai monster, tidak sebagai ancaman… tapi sebagai gadis yang pernah kucintai. Gadis yang masih kucintai.
Hari ini aku kembali ke markas Pembersih untuk melaporkan perkembanganku. Bukan berarti aku benar-benar ingin melapor. Aku cuma butuh alasan untuk merasa… waras. Setidaknya untuk beberapa jam.
Di dalam ruang briefing yang penuh layar monitor berkedip, Gino menatapku dengan ekspresi sulit dibaca.
“Kamu belum menghapusnya,” katanya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.
Aku hanya mengangguk pelan, menunduk seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah.
Gino mengusap wajahnya dengan frustasi. “Rafa, kamu tahu resikonya. Kenangan Level Hitam seperti itu… semakin lama dibiarkan, semakin kuat distorsi realitas yang dia ciptakan.”
“Aku tahu,” gumamku.
“Kalau kamu tahu, kenapa kamu diam saja?” Nada suaranya mulai meninggi. “Kamu pikir ini cuma tentang kamu dan dia? Ini tentang semua orang! Setiap menit kamu membiarkan dia hidup, dunia ini makin tergelincir ke dalam kekacauan!”
Aku mendongak perlahan. “Aku butuh waktu,” kataku, hampir berbisik.
Gino mendesah, lalu melemparkan folder berisi foto-foto di atas meja. Foto-foto itu beterbangan, beberapa jatuh ke lantai. Aku menunduk mengambil satu.
Foto seorang pria tua yang wajahnya setengah menghilang, seperti terhapus dari eksistensi. Foto seorang anak kecil yang menangis di jalanan kosong yang retak.
Aku menggeleng pelan, merasakan perutku mual.
“Livia… sudah mulai mengubah kenyataan,” kata Gino dengan suara lebih tenang. “Kamu harus mengakhirinya, Rafa. Atau kami akan mengirim orang lain.”
Aku membeku.
Mengirim orang lain berarti membunuh Livia dengan cara paling kejam. Pembersih lain tidak akan peduli siapa dia, dari mana dia berasal. Mereka hanya melihatnya sebagai target.
Bukan Livia yang aku kenal.
Aku mengepalkan tangan.
“Berikan aku… satu hari lagi,” pintaku, memandang Gino dengan sungguh-sungguh. “Kalau dalam satu hari aku belum menyelesaikannya… lakukan apa pun yang kamu mau.”
Gino menatapku lama, sebelum akhirnya mengangguk, walau jelas berat hati.
“Satu hari,” katanya. “Dan setelah itu, ini bukan urusanmu lagi.”
Aku berdiri, mengambil folder itu, lalu berjalan keluar sebelum dia bisa melihat bagaimana tubuhku gemetar hebat.
Malam itu, aku kembali ke gedung tua tempat Livia berada.
Tidak ada penjaga. Tidak ada garis polisi. Seolah dunia ini sengaja membiarkan tragedi kecil ini berakhir sendirian.
Aku mendorong pintu tua itu perlahan. Suara decitnya memekakkan telinga dalam kesunyian malam.
Dan di sana, di tengah ruangan kosong, dia masih berdiri.
Menungguku.
Livia.
Dia mengenakan gaun yang sama, rambut panjangnya basah kuyup meski di luar hujan sudah berhenti.
“Rafa,” katanya, suaranya serak. “Kamu kembali.”
Aku melangkah masuk, membiarkan pintu tertutup di belakangku.
“Aku datang untuk mengakhiri ini,” kataku, suaraku hampir tidak terdengar.
Dia tersenyum kecil. Tapi kali ini, senyumnya tidak secerah dulu. Ada kesedihan mendalam di baliknya, seolah dia tahu akhir yang akan datang.
“Kamu ingat tempat pertama kali kita bertemu?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terdiam, memori itu mengalir deras.
Taman kecil di belakang sekolah. Dia duduk di bawah pohon, membaca buku sendirian. Aku tersesat, dan dia tersenyum, mengulurkan tangan, menawarkan tempat di sampingnya.
Sejak hari itu, hidupku berubah.
Sejak hari itu, aku tahu aku tidak sendiri.
Aku mengangguk pelan.
Livia mendekat, jaraknya kini hanya satu langkah dariku.
“Aku bukan musuhmu, Rafa,” bisiknya. “Aku hanya bagian dari kamu yang tidak mau pergi.”
Aku menutup mata, merasakan dadaku bergetar hebat.
Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Aku tahu.
Tapi kenapa terasa lebih berat daripada membunuh monster mana pun yang pernah kutangani?
Saat aku membuka mata, aku melihatnya—air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan tetesan air hujan.
Dan untuk pertama kalinya, aku bertanya dalam hati.
Jika cinta kita cukup kuat untuk melahirkan kenangan sehidup ini… mungkin, di suatu tempat dalam dunia yang berantakan ini, cinta itu belum sepenuhnya mati.
Aku mengangkat belati Pembersih.
Tangan kanan gemetar.
Jantungku berdetak terlalu cepat, terlalu keras.
Dan dalam keheningan malam itu, hanya ada satu pertanyaan yang bergema di pikiranku.
Bisakah aku benar-benar membunuhnya?
Atau bisakah aku… menyelamatkannya?
Bab 5: Percikan Masa Lalu
“Kadang, yang paling membunuh bukan kehilangan… tapi pilihan untuk melupakan.”
Aku tidak bisa melakukannya.
Bukan malam itu.
Bukan saat aku menatap mata Livia, yang basah oleh air mata, penuh dengan rasa kehilangan yang sama besarnya dengan yang kurasakan.
Belati Pembersih itu akhirnya hanya tergenggam erat di tanganku, bergetar, tanpa pernah benar-benar bergerak menusuk. Aku malah menurunkan tanganku perlahan, seakan kekuatan untuk membunuhnya mengalir keluar bersama setiap napas yang kuambil.
Livia tidak berkata apa-apa. Dia hanya berdiri di situ, membiarkan air matanya jatuh satu per satu, tanpa suara, tanpa protes. Seolah dia tahu… aku tidak cukup kuat untuk menghapusnya. Atau mungkin… dia berharap aku cukup lemah untuk membiarkannya tetap hidup.
Aku mundur setapak.
Butuh seluruh tenaga dalam tubuhku untuk melangkah pergi dari ruangan itu.
Saat aku keluar dari gedung tua itu, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk sampai ke tulang. Hujan sudah berhenti, tapi bekasnya masih menetes dari atap-atap tua dan pohon-pohon mati di sekitar jalan.
Aku berjalan tanpa arah, tanpa tujuan, membiarkan pikiranku berkelana.
Apa yang sebenarnya aku inginkan?
Dari awal, aku jadi Pembersih bukan karena ingin menjadi pahlawan. Aku bergabung karena aku pikir… mungkin dengan membunuh kenangan orang lain, aku bisa melupakan kenanganku sendiri. Tapi semakin banyak kenangan yang kuhapus, semakin kuat kenanganku tentang Livia bertahan.
Ironis.
Aku justru jadi budak dari kenanganku sendiri.
Di tengah lamunan itu, ponselku bergetar.
Sebuah pesan dari Gino.
“Besok pukul 07.00, eksekusi paksa. Tidak ada kompromi. Ini kesempatan terakhirmu.”
Aku menatap pesan itu lama, rasanya seperti ada beban berton-ton yang dijatuhkan ke pundakku.
Besok… Livia akan dihapus.
Kalau bukan oleh tanganku, maka oleh tangan orang lain. Tangan yang tidak akan ragu. Tangan yang tidak peduli siapa dia.
Aku mengembuskan napas panjang, mendongak ke langit yang kelabu.
Ada sesuatu yang menggerogoti pikiranku. Sebuah pikiran gila. Sebuah ide berbahaya.
Bagaimana kalau… aku tidak menghapusnya?
Bagaimana kalau… aku mencoba menyelamatkannya?
Aku tahu itu mustahil. Secara teknis, kenangan tidak bisa dipulihkan menjadi manusia. Mereka hanya fragmen perasaan dan ingatan yang membentuk wujud sementara. Tapi ada rumor, cerita bisik-bisik di antara Pembersih lama tentang sesuatu yang disebut Proyek Eden.
Sebuah eksperimen rahasia.
Tujuannya: mengubah kenangan yang hidup menjadi manusia sungguhan.
Bukan sekadar bayangan.
Bukan sekadar ilusi.
Manusia.
Proyek itu dihentikan bertahun-tahun lalu karena dianggap melanggar semua batas moral. Mereka bilang eksperimen itu gagal total, menyebabkan kerusakan fatal pada subjek dan dunia sekitarnya.
Tapi…
Kalau aku bisa menemukannya…
Kalau aku bisa menemukan cara itu…
Mungkin aku tidak perlu membunuh Livia.
Mungkin aku bisa memberinya hidup baru.
Mungkin… aku bisa menebus semua kesalahan yang pernah kulakukan.
Aku tahu aku bodoh bahkan hanya memikirkan ini. Aku tahu resikonya lebih besar daripada apa pun yang pernah kuhadapi.
Tapi kalau ada sedikit saja kesempatan…
Aku akan mengambilnya.
Aku pulang ke apartemenku malam itu, membuka laci paling bawah yang sudah bertahun-tahun tidak kusentuh.
Di dalamnya, ada tumpukan berkas-berkas tua, catatan misi awal-awal aku menjadi Pembersih, dan di antaranya… ada sesuatu.
Sebuah flashdisk kecil berwarna hitam.
Aku menemukannya bertahun lalu, di markas lama yang terbakar dalam insiden kenangan liar. Aku menyimpannya, entah kenapa, merasa ada sesuatu yang penting di dalamnya.
Tanganku gemetar saat menancapkannya ke laptop.
Layar berkedip sebentar, lalu terbuka.
Satu folder. Namanya: E.D.E.N.
Aku mengkliknya.
Terdapat file-file tentang konversi energi emosi ke sel biologis, tentang membentuk tubuh fisik dari ingatan. Semua dokumen itu berat, rumit, penuh istilah teknis yang dulu tidak kupahami.
Tapi sekarang aku tahu: ini satu-satunya harapanku.
Satu-satunya harapan kami.
Aku mengambil napas dalam-dalam.
Aku harus mencobanya.
Aku harus bertaruh, meskipun taruhannya adalah seluruh dunia.
Karena bagi aku… dunia ini tidak lagi berharga kalau Livia harus hilang dari dalamnya.
Besok, sebelum mereka datang untuk menghapusnya, aku akan menyelamatkan Livia.
Atau aku akan hancur bersamanya.
Bab 6: Pilihan yang Membunuh
Fajar baru saja menyentuh langit ketika aku tiba di gedung tua itu lagi.
Langkahku cepat, penuh kegelisahan, seolah aku sedang berlari dari sesuatu yang tidak bisa kulawan—diriku sendiri.
Pikiran tentang apa yang akan kulakukan berputar tanpa henti di kepalaku. Aku bukan lagi seorang Pembersih. Mulai hari ini, aku adalah seorang pengkhianat. Karena pilihanku bukan untuk menghapus kenangan, tapi menyelamatkannya.
Menyelamatkan Livia.
Aku mendorong pintu tua itu terbuka dengan kasar. Hawa dingin menyeruak dari dalam ruangan kosong yang sama seperti kemarin, kecuali satu hal: Livia tidak ada di tengah ruangan.
Aku panik.
“Li—Livia?” suaraku menggema di lorong kosong.
Tak ada jawaban.
Aku berjalan lebih dalam, melewati bayangan-bayangan pilar yang hampir runtuh, sampai akhirnya aku menemukannya—terbaring di lantai, tubuhnya gemetar lemah.
Aku berlutut cepat di sampingnya.
“Livia!” Aku mengguncangnya pelan.
Matanya membuka perlahan. Pandangannya kosong, kabur.
“Aku… lemah,” bisiknya. “Semakin lama aku di sini… semakin aku menghilang.”
Aku menahan napas.
Tentu saja.
Kenangan, walaupun kuat, tidak bisa bertahan selamanya tanpa sumber emosi yang memperkuatnya. Dan sekarang, dengan aku yang terus berjuang antara menghapus atau mempertahankannya, Livia mulai rapuh.
Waktu kami tidak banyak.
“Aku akan membawamu pergi dari sini,” kataku tegas.
Dia menggeleng lemah. “Rafa… kamu tahu apa yang terjadi kalau kamu melawan mereka.”
Aku tahu.
Bukan cuma aku yang akan diburu.
Bukan cuma Livia yang akan diburu.
Kalau ketahuan, markas akan mengirim Pemburu khusus. Mereka bukan Pembersih biasa. Mereka adalah eksekutor. Mesin hidup yang tugasnya hanya satu: menghapus kenangan dan orang-orang yang membangkang… tanpa ampun.
Aku membantu Livia berdiri, membiarkan tubuh mungilnya bertumpu pada pundakku.
“Kita nggak punya banyak waktu,” kataku pelan.
Dia menatapku, mata sayunya bergetar. “Kenapa kamu melakukan ini, Rafa? Kenapa mempertaruhkan semuanya hanya untuk… aku?”
Aku menggenggam jemarinya yang dingin.
“Karena kamu… satu-satunya hal yang masih membuatku merasa hidup.”
Dia menggigit bibirnya, menahan air mata. Tapi aku tahu, hatinya menangis.
Aku membawa Livia keluar dari gedung itu, ke jalanan sepi yang basah sisa hujan semalam. Mobil tuaku sudah parkir tidak jauh dari sana. Aku membantunya masuk ke kursi penumpang, lalu bergegas duduk di balik kemudi.
Saat aku baru saja menyalakan mesin, ponselku bergetar.
Pesan baru dari Gino.
“Kami tahu kamu berkhianat, Rafa. Berhenti sekarang, atau kami akan menghapus kalian berdua.”
Aku mengatupkan rahangku.
Sudah terlambat.
Aku melajukan mobil, meninggalkan gedung tua itu, meninggalkan masa lalu yang tidak akan pernah bisa kembali normal.
Di dalam mobil, Livia duduk diam, memandang keluar jendela. Rambutnya basah, wajahnya pucat, tapi ada ketenangan aneh di ekspresinya.
“Ke mana kita pergi?” tanyanya pelan.
“Ada tempat tersembunyi,” jawabku, menjaga mata tetap fokus di jalan. “Laboratorium tua di pinggiran kota. Dulu tempat eksperimen Proyek Eden. Kalau masih ada sisa teknologinya… kita bisa menggunakannya.”
Dia mengangguk pelan, percaya padaku sepenuhnya.
Kepercayaan itu memberiku kekuatan. Dan ketakutan.
Karena kalau aku gagal, aku bukan hanya menghancurkan diriku sendiri.
Aku juga menghancurkan satu-satunya kenangan indah yang tersisa di dunia ini.
Kami melaju melewati batas kota, menuju daerah industri tua yang sudah ditinggalkan. Asap tipis dari pabrik-pabrik kosong mengepul samar di kejauhan. Tempat ini… seperti dunia mati. Cocok untuk percobaan gila yang akan kami lakukan.
Tapi baru beberapa kilometer dari tujuan, aku melihatnya.
Di kaca spion.
Sebuah mobil hitam tanpa lampu mengikuti kami.
Mereka datang.
Aku menginjak pedal gas lebih dalam, mempercepat laju mobil.
Livia menggenggam tanganku.
“Rafa… kalau mereka menangkap kita…” suaranya gemetar, “hapus aku sebelum mereka melakukannya.”
Aku menoleh cepat, memandang matanya yang penuh ketakutan.
Aku menggeleng keras. “Aku janji, kita akan keluar dari ini bersama-sama.”
Suara deru mesin di belakang semakin dekat.
Aku membelokkan mobil tajam ke jalan kecil yang hampir tak terlihat, berharap bisa mengecoh mereka. Jalanan berliku-liku, sempit, dan gelap.
Dalam hening itu, hanya ada suara napas kami yang terengah-engah.
Dan untuk pertama kalinya, aku sadar…
Ini bukan lagi tentang memilih antara menyelamatkan dunia atau menyelamatkan kenangan.
Ini tentang mempertahankan satu-satunya hal yang membuatku tetap manusia.
Aku menatap Livia.
Dan dalam tatapannya, aku tahu—aku tidak akan pernah bisa melepaskannya lagi.
Bahkan jika seluruh dunia menginginkan kematianku.
Bab 7: Dunia yang Runtuh
Mobil tuaku menderu kencang di jalanan sempit yang penuh lubang. Suara ban menggesek aspal kasar memenuhi telinga. Di kaca spion, mobil hitam itu masih mengejar. Jarak mereka semakin dekat.
Aku menggenggam setir erat-erat. Setiap tikungan terasa seperti pertaruhan hidup dan mati.
Di sampingku, Livia berpegangan pada dashboard, wajahnya pucat tapi matanya tetap fokus. Tidak ada tangisan. Tidak ada teriakan. Hanya keberanian diam yang membuatku semakin ingin melindunginya, apapun caranya.
“Sebentar lagi,” kataku, hampir berbisik. “Tahan sedikit lagi.”
Dia mengangguk pelan, mempercayakan nyawanya sepenuhnya padaku.
Akhirnya, kami menemukan celah—sebuah lorong sempit di antara dua bangunan pabrik tua. Aku membelokkan mobil tajam ke sana tanpa mengurangi kecepatan. Mobil hitam itu mencoba mengikuti, tapi lorong itu terlalu sempit. Aku mendengar suara benturan keras di belakang, diikuti suara logam yang melengking.
Aku tidak berhenti untuk melihat.
Aku terus memacu mobil keluar dari labirin jalanan tua, menuju tujuan kami: laboratorium rahasia yang sudah ditinggalkan.
Tempat itu tersembunyi di bawah reruntuhan sebuah pabrik baja tua, jauh dari pandangan siapa pun. Dulu, saat Proyek Eden dihentikan, semua akses ke sana sengaja dihapus dari peta. Tapi aku menemukan koordinatnya di flashdisk itu.
Setelah beberapa menit berkelok-kelok, akhirnya aku melihatnya.
Sebuah bangunan besar setengah runtuh, diselimuti tanaman liar. Jendela-jendela pecah, tembok retak seperti luka di tubuh dunia.
Aku menghentikan mobil di belakang tumpukan besi tua, lalu membantu Livia turun. Kakinya gemetar, tapi dia memaksakan diri berdiri tegak.
“Kita harus cepat,” bisikku.
Kami berlari menembus semak-semak liar, melewati pintu samping yang nyaris tersembunyi di balik dinding retak. Di dalam, udara terasa pengap, penuh debu dan bau karat.
Lorong-lorong gelap membentang di depan kami.
Aku menghidupkan senter kecil, menyorot jalanan sempit itu.
Di setiap langkah, rasa takut menusuk lebih dalam. Bukan hanya takut gagal. Tapi takut kalau semua ini sia-sia. Takut kalau aku hanya memperpanjang penderitaan kami.
Kami akhirnya menemukan pintu logam besar dengan lambang yang pudar: huruf E besar yang hampir tak terbaca.
E.D.E.N.
Ini dia.
Aku menarik napas panjang, lalu mendorong pintu itu terbuka dengan seluruh tenaga.
Di baliknya… ada ruangan luas.
Bersih.
Masih menyala.
Lampu-lampu neon di langit-langit berkelap-kelip, seolah tempat ini menunggu kami sejak lama.
Di tengah ruangan ada satu mesin besar. Bentuknya seperti kapsul tidur, terhubung ke banyak kabel dan tabung berisi cairan biru. Komputer-komputer tua masih berdengung pelan di sisi ruangan, sebagian layar masih menyala dengan kode-kode berbahasa asing.
Aku mendekat, membaca panel di samping kapsul.
“Konversi Energi Emosi ke Materi Fisik. Risiko: Ekstrem. Tidak ada jaminan kelangsungan hidup.”
Aku menelan ludah.
Livia berdiri di sampingku, menatap kapsul itu dengan mata kosong.
“Inikah… satu-satunya caranya?” bisiknya.
Aku mengangguk perlahan.
Kalau proses ini berhasil, Livia akan berubah menjadi manusia sungguhan. Bukan kenangan, bukan bayangan, tapi benar-benar hidup. Tapi kalau gagal… dia akan menghilang. Selamanya.
Tak ada jalan kembali.
Dia mengenggam tanganku erat-erat.
“Aku percaya padamu,” katanya pelan.
Aku menarik napas panjang, menahan rasa sesak di dada.
“Kamu yakin?” tanyaku.
Dia mengangguk, tanpa ragu.
Aku mengaktifkan mesin, mengikuti instruksi yang berkedip di layar: kalibrasi emosi, sinkronisasi memori, stabilisasi tubuh fisik. Setiap langkah terasa seperti menulis ulang hukum alam.
Mesin mulai bergetar pelan. Kapsul terbuka perlahan, mengeluarkan uap dingin yang memenuhi ruangan.
Aku membantu Livia masuk ke dalam.
Dia berbaring di sana, tubuh kecilnya tampak rapuh, seperti sekuntum bunga yang akan layu kapan saja.
Aku menatap wajahnya untuk terakhir kali sebelum kapsul mulai menutup.
Dia tersenyum.
Bukan senyum sedih.
Tapi senyum penuh harapan.
Dan saat kapsul menutup sepenuhnya, aku tahu… aku sudah memilih jalanku.
Apapun yang terjadi setelah ini, aku tidak akan menyesal.
Tiba-tiba, suara derap kaki menggema di lorong luar.
Mereka menemukan kami.
Pembersih.
Pemburu.
Aku mendengar suara perintah keras, langkah kaki berat, suara senjata diisi ulang.
Tidak ada waktu lagi.
Aku berlari ke panel kontrol, memulai proses aktivasi penuh.
Layar berkedip.
Persentase Konversi: 10%… 20%… 30%…
Di luar, suara tembakan meletus, menghantam dinding.
Mereka akan masuk kapan saja.
Aku mengencangkan rahang, bersiap bertarung.
Aku tidak akan menyerah.
Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Livia.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memilih untuk melindungi, bukan menghancurkan.
Dan aku akan bertahan… walau harus melawan seluruh dunia.
Bab 8: Luka Terbesar Rafa
“Beberapa luka tidak bisa sembuh… bahkan saat kau rela berdarah untuk menyelamatkannya.”
Suara tembakan menghantam pintu logam laboratorium.
Dentumannya mengguncang ruangan, membuat debu berjatuhan dari langit-langit. Aku menoleh cepat ke arah kapsul tempat Livia berbaring—tubuh mungilnya terguncang ringan setiap kali mesin bergetar.
Layar monitor menampilkan persentase proses konversi yang bergerak perlahan.
43%… 47%… 51%…
Terlalu lambat.
Aku mencabut belati dari pinggangku. Bukan senjata terbaik melawan Pemburu bersenjata lengkap, tapi itu saja yang kupunya.
Pintu utama mulai retak.
Aku berdiri di depan kapsul, menjadi satu-satunya penghalang antara mereka dan Livia.
Mereka datang.
Tiga orang berpakaian serba hitam, helm tak bercahaya menutupi wajah mereka. Gerakan mereka cepat, rapi, mematikan.
Aku mengenal seragam itu.
Unit Echelon. Pasukan rahasia Markas untuk melenyapkan kenangan berbahaya… dan siapa saja yang mencoba melindunginya.
Aku mengangkat belatiku, menahan napas.
Pemburu pertama menodongkan senjata ke arahku.
“Rafa,” katanya dari balik helm, suaranya dingin, mekanis. “Menyerah sekarang. Tinggalkan kenangan itu. Kami akan memberimu kesempatan hidup.”
Aku menatap kapsul di belakangku, lalu kembali memandang mereka.
“Maaf,” kataku pelan, “hidup tanpa dia bukan pilihan.”
Tanpa menunggu, aku menyerang lebih dulu.
Belatiku berkelebat, memotong jarak.
Pemburu pertama mundur, mengangkat perisai kecil dari lengannya. Benturan logam bertemu logam menggetarkan tanganku. Mereka lebih kuat, lebih terlatih. Tapi aku punya sesuatu yang tidak mereka punya.
Putus asa.
Aku menangkis serangan, menghindar dari peluru yang mendesis melewatiku. Setiap gerakanku terarah: jangan mati sebelum kapsul itu selesai.
Persentase di layar: 63%… 68%… 72%…
Mereka bergerak lebih agresif. Salah satu dari mereka melemparkan granat ke arahku. Aku melompat, meraih tabung logam tua di lantai, dan melemparnya untuk memblokir ledakan.
Suara dentuman mengguncang ruangan. Asap memenuhi udara.
Aku batuk keras, mataku perih. Tapi aku tetap berdiri, walau lututku mulai gemetar.
Saat asap menipis, aku melihat Pemburu ketiga bergerak mendekati kapsul.
Dengan sisa tenaga, aku berlari, menabraknya dari samping. Kami berguling di lantai, bergulat dengan brutal. Dia memukul rusukku keras, membuat napasku seketika hilang. Tapi aku balas menghantam helmnya dengan gagang belati.
Dia terhuyung.
Aku bangkit lagi, terhuyung, darah mengalir dari pelipisku.
Persentase di layar: 85%… 89%…
Sedikit lagi.
Tapi suara retakan keras di belakang membuatku menoleh.
Monitor utama… retak.
Kapsul mulai bergetar tidak normal.
Aku membeku.
Prosesnya tidak stabil.
Kalau sistem gagal sebelum 100%… Livia akan lenyap, bukan berubah.
Aku berlari ke panel kontrol, mengabaikan rasa sakit, berusaha memperbaiki kalibrasi manual. Jari-jariku bergerak cepat, menekan tombol-tombol yang setengah rusak.
92%… 94%…
Tapi sebelum aku bisa menyelesaikannya, sebuah peluru menghantam bahuku.
Aku terjatuh keras.
Belatiku terlempar, meluncur jauh ke sudut ruangan.
Darah membanjiri lengan bajuku.
Pemburu pertama berjalan mendekat, senjatanya terarah tepat ke kepalaku.
“Akhir dari pengkhianat,” katanya datar.
Aku menatap ke arah kapsul. Livia masih di dalam sana, tubuhnya bergetar pelan.
Aku ingat semua yang sudah kulewati bersamanya. Tawa kecil di taman. Tatapan matanya saat berkata “Aku percaya padamu.”
Dan saat ini, aku tahu: aku tidak boleh menyerah.
Dengan sisa tenaga, aku meraih sepotong pipa besi di lantai, melemparkannya ke arah panel listrik di dinding.
Ledakan kecil terjadi.
Lampu-lampu padam.
Semuanya gelap.
Dalam kekacauan itu, aku merangkak menuju kapsul, menekan tombol aktivasi darurat di panel cadangan.
Persentase konversi: 97%… 98%… 99%…
Suara ledakan lain mengguncang ruangan.
Aku menutup mata.
Berdoa.
100%.
Lampu di kapsul berubah dari merah menjadi putih.
Mesin itu berhenti bergetar.
Pintu kapsul perlahan terbuka… menghembuskan uap putih ke udara.
Aku berbalik, menghadap Pemburu yang masih ada di sana.
Aku tahu aku tidak bisa menang.
Tapi aku bisa memberi Livia waktu.
Aku berlari ke arah mereka, mengabaikan rasa sakit, berteriak sekencang-kencangnya.
Tapi sebelum mereka bisa menembak lagi…
Tiba-tiba, sebuah tangan mungil menggenggam lenganku dari belakang.
Aku menoleh.
Dan di sana, berdiri seorang gadis… dengan mata cokelat yang penuh air mata.
Livia.
Bukan kenangan.
Bukan ilusi.
Livia yang hidup.
“Aku di sini,” bisiknya.
Lalu, sesuatu yang tak bisa dijelaskan terjadi.
Sebuah gelombang energi besar meledak dari tubuh Livia, menghantam para Pemburu, melempar mereka jauh ke dinding.
Semua layar komputer meledak bersamaan. Seluruh laboratorium berguncang.
Aku terjatuh ke lantai, terengah-engah, menatapnya dengan mata penuh keajaiban.
Dia berlutut di sampingku, menggenggam wajahku yang berlumuran darah.
“Maaf aku terlambat,” katanya pelan, suara lirihnya terdengar seperti nyanyian yang sudah lama kulupakan.
Aku tertawa kecil, air mata membasahi pipiku.
“Enggak, Liv…” kataku. “Kamu datang tepat waktu.”
Dalam kekacauan yang hancur ini…
Dalam dunia yang runtuh…
Aku akhirnya menemukan satu hal yang layak diperjuangkan.
Dan itu adalah dia.
Livia.
Bab 9: Perpisahan yang Tidak Pernah Diucapkan
Asap memenuhi udara. Dinding-dinding retak, sirene tua meraung dari sudut-sudut yang hampir roboh. Tapi di tengah kekacauan itu, aku dan Livia berdiri… saling berpegangan, seolah dunia yang runtuh di sekitar kami tidak ada artinya.
“Ayo,” kataku, menarik tangannya. “Kita harus keluar dari sini.”
Livia mengangguk. Mata cokelatnya berkilau, tidak hanya karena takut, tapi juga karena sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang belum sempat dia katakan.
Kami berlari melintasi lorong-lorong yang penuh reruntuhan. Kaki kami berdarah, napas kami berat, tapi kami tidak berhenti.
Di belakang kami, para Pemburu yang masih sadar bangkit dengan susah payah, berusaha mengejar. Tapi gelombang energi yang dilepaskan Livia sebelumnya telah merusak hampir semua peralatan mereka.
Kami sampai di pintu keluar darurat, mendorongnya keras-keras hingga terbuka. Udara pagi menerpa wajah kami. Langit masih abu-abu, tapi bagi pertama kalinya, aku merasa ada sedikit harapan di dalamnya.
Kami berlari menuju mobil tua yang masih terparkir di balik semak-semak. Aku membantu Livia masuk, lalu menyalakan mesin dengan tangan gemetar.
Mobil itu meraung keras, hampir mogok, tapi akhirnya bergerak.
Kami melaju menjauh dari laboratorium yang perlahan tenggelam dalam kobaran api dan asap.
Untuk beberapa saat, hanya ada keheningan di antara kami.
Sampai akhirnya Livia memecahnya.
“Rafa…” suaranya serak. “Aku ingin bilang sesuatu.”
Aku melirik sekilas ke arahnya. “Apa?”
Dia menggenggam tanganku di atas tuas perseneling.
“Aku… berterima kasih,” katanya. “Karena kamu memilih aku. Karena kamu… bertarung untukku.”
Aku tersenyum kecil, meski hatiku terasa berat.
“Tentu saja,” jawabku. “Aku selalu akan memilihmu.”
Dia tersenyum kembali, tapi ada kesedihan aneh di matanya.
Aku ingin bertanya. Ingin memaksa dia bicara.
Tapi saat itu, sirene lain terdengar di kejauhan.
Bukan sirene ambulans. Bukan polisi.
Itu suara alarm peringatan darurat.
Sistem pertahanan kota.
Mereka tahu kami kabur.
Mereka menganggap kami ancaman.
Aku menginjak pedal gas lebih dalam.
Kami harus menemukan tempat bersembunyi, setidaknya untuk sementara.
Tapi saat aku melirik Livia lagi, aku melihat sesuatu yang membuat jantungku berhenti sejenak.
Tangannya… mulai berpendar samar.
Seperti transparan.
Seperti… menghilang.
“Livia…” bisikku, ketakutan membungkus setiap huruf.
Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya. Tapi aku tahu dia sadar. Dia tahu ini akan terjadi.
“Aku tidak stabil, Rafa,” katanya pelan. “Konversi itu… tidak sempurna.”
Aku menggenggam tangannya lebih erat, seolah bisa mencegahnya menghilang.
“Tidak, Liv. Tidak. Kita sudah sejauh ini. Kita sudah hampir berhasil.”
Dia tersenyum pahit.
“Beberapa hal memang tidak bisa diselamatkan, Rafa. Tidak peduli seberapa keras kamu berjuang.”
Air mata mulai mengalir di pipiku, tanpa bisa kutahan.
“Tidak, Liv. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi. Tidak lagi.”
Dia menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca.
“Kamu sudah menyelamatkanku, Rafa. Kamu sudah memberiku… satu kesempatan untuk merasakan hidup. Untuk merasa dicintai… sekali lagi.”
Mobil melaju menembus jalanan kosong. Dunia di luar mulai kabur oleh air mataku.
“Livia…” suaraku pecah. “Tolong, bertahan. Kita bisa cari cara lain. Kita bisa—”
Dia menatapku lembut, menghapus air mataku dengan jemarinya yang hampir tak terasa lagi.
“Kadang… cinta yang sejati bukan tentang bertahan.”
“Itu tentang… tahu kapan harus melepaskan.”
Kata-katanya menghantamku lebih keras daripada peluru mana pun.
Aku menepi ke sisi jalan, menghentikan mobil dengan kasar.
Aku berbalik menghadapnya, memeluknya erat-erat, seolah tubuhku bisa melindunginya dari hukum alam itu sendiri.
Tubuhnya perlahan mulai memudar di pelukanku.
Aku mendengar bisikannya di telingaku.
“Terima kasih… karena pernah mencintaiku.”
Dan saat aku membuka mata…
Dia sudah pergi.
Hanya udara kosong yang kupeluk.
Aku terdiam lama di situ.
Hanya suara detak jantungku sendiri yang tersisa.
Semua usahaku.
Semua perjuanganku.
Semua pertarunganku.
Pada akhirnya… aku tetap kehilangan dia.
Aku tetap sendiri.
Aku menatap langit abu-abu di atas sana, membiarkan air mata mengalir bebas.
Di dalam hatiku, hanya ada satu perasaan.
Bukan marah.
Bukan benci.
Hanya… cinta yang tidak pernah sempat selesai.
Dan perpisahan yang tidak pernah sempat diucapkan.
Bab 10: Kenangan yang Terhapus, Luka yang Abadi
Sudah satu bulan sejak Livia pergi.
Tapi rasanya seperti baru kemarin aku memeluknya… lalu kehilangannya tanpa bisa menahan.
Aku kembali ke kehidupanku yang lama.
Pura-pura kuat. Pura-pura baik-baik saja. Pura-pura dunia ini masih berarti.
Setiap pagi aku bangun di apartemen kecilku, menatap langit-langit kusam yang tidak pernah berubah. Setiap malam aku duduk sendirian di balkon, menatap lampu-lampu kota yang gemetar di kejauhan, bertanya-tanya… apa gunanya semua ini?
Markas memanggilku beberapa kali. Menawarkan “rehabilitasi”, seolah mereka pikir aku bisa diperbaiki. Mereka memberiku pilihan: kembali menjadi Pembersih… atau menghilang dari sistem.
Aku memilih menghilang.
Aku tidak lagi percaya pada dunia yang menghapus cinta hanya karena dianggap berbahaya.
Aku berhenti berlari, berhenti memburu kenangan orang lain.
Karena aku tahu, pada akhirnya… kita semua hidup dalam kenangan masing-masing.
Dan terkadang, itu satu-satunya yang kita punya.
Hari ini, aku berjalan ke taman kecil di pinggir kota. Tempat yang dulu penuh tawa, sekarang kosong. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma daun basah dan kenangan yang tak terlihat.
Aku duduk di bangku tua, membiarkan diriku tenggelam dalam sepi.
Lalu aku mengeluarkan sesuatu dari jaketku.
Sebuah kalung kecil, dengan liontin berbentuk bintang.
Kalung milik Livia.
Satu-satunya benda nyata yang tersisa darinya.
Aku menggenggam kalung itu erat-erat, menutup mata.
Dan untuk sesaat, aku bisa merasakan hangat tubuhnya lagi.
Suara tawanya yang ringan.
Tatapan matanya yang penuh percaya.
“Rafa…”
Aku bisa mendengarnya, seolah dia membisikkan namaku dari tempat yang sangat jauh.
Aku tersenyum kecil, membiarkan air mata mengalir perlahan.
Bukan air mata penyesalan.
Tapi air mata cinta.
Karena aku sadar, Livia tidak pernah benar-benar pergi.
Dia hidup… di dalam diriku.
Di setiap detak jantungku.
Di setiap tarikan napas yang kubuat.
Selama aku mengingatnya, dia tidak akan pernah benar-benar terhapus.
Aku berdiri, menatap langit yang perlahan berubah warna menjadi jingga.
Tangan kanan menggenggam kalung itu kuat-kuat.
Aku tahu hidup akan terus berjalan.
Aku tahu luka ini mungkin tidak akan pernah benar-benar sembuh.
Tapi aku juga tahu…
Cinta sejati tidak pernah membutuhkan tubuh untuk tetap hidup.
Ia hidup dalam kenangan.
Dalam luka.
Dalam diam.
Aku melangkah pergi dari taman itu.
Sendiri.
Tapi tidak benar-benar sendiri.
Karena di dalam hatiku, di balik semua rasa sakit dan kehilangan, ada satu cahaya kecil yang tidak pernah padam.
Cahaya yang bernama Livia.
Dan itu cukup.
Untuk hari ini.
Dan mungkin, untuk selamanya.
TAMAT
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat . Baca juga novel romantis dan fiksi ilmiah lainnya.