Novel Singkat Semua Tentang Kita yang Pernah Patah
Novel Singkat Semua Tentang Kita yang Pernah Patah

Novel Singkat: Semua Tentang Kita yang Pernah Patah

Dita, seorang psikiater muda yang mencoba melarikan diri dari masa lalu kelam, bertemu Raga, mantan atlet lari yang kini lumpuh akibat kecelakaan. Di kota kecil tempat mereka bertemu, keduanya saling menyembuhkan luka tanpa sadar bahwa masa lalu mereka saling bersinggungan.

Raga tak tahu bahwa kecelakaan yang menghancurkan hidupnya berkaitan dengan kakak kandung Dita. Saat kebenaran terungkap, cinta yang tumbuh perlahan di antara mereka diuji oleh luka lama yang belum selesai. Apakah dua jiwa yang pernah patah bisa tetap saling menggenggam tanpa saling melukai kembali?

Bab 1: Pertemuan yang Tidak Direncanakan

Langit sore di kota kecil itu selalu tampak sama—sepi, kelabu, dan pelan-pelan menelan cahaya. Dita menatap keluar jendela dari ruang kerjanya yang baru. Klinik rehabilitasi mental dan fisik tempat ia dipindahkan ini jauh dari hiruk pikuk kota besar. Dan itulah alasan utama ia datang ke sini—melarikan diri dari masa lalu yang membuatnya nyaris kehilangan dirinya sendiri.

Hari ini, pasien pertamanya datang dengan kursi roda. Pria tinggi dengan tubuh kekar yang terlihat masih menyimpan sisa-sisa masa kejayaannya. Wajahnya tenang, tapi matanya menolak semua yang ada di ruangan ini—termasuk Dita.

“Raga, ya?” sapa Dita dengan suara ramah sambil berdiri dan mengulurkan tangan.

Raga tidak menyambut tangan itu. Ia hanya mengangguk singkat. “Saya disuruh ke sini. Bukan karena saya butuh.”

Dita tersenyum tipis, menarik kembali tangannya tanpa merasa tersinggung. “Baik. Kalau begitu anggap saja kamu di sini hanya untuk duduk dan diam.”

Raga menaikkan satu alis. “Serius?”

“Serius. Kamu nggak harus cerita apa-apa. Tapi aku juga nggak akan menyuruhmu pergi.” Dita duduk di seberangnya, membuka laptop tapi tidak menulis apapun.

Mereka diam cukup lama. Hanya suara jarum jam dan angin dari AC yang terdengar. Dita sesekali menatap Raga—matanya tajam, seperti sedang mengamati dunia dengan kecurigaan. Tapi di balik itu, ada lelah yang tidak terucap.

“Kenapa kamu jadi psikiater?” Raga akhirnya bertanya.

Pertanyaan itu seperti pukulan pelan ke dada Dita. Ia menunduk, berpura-pura mengetik. “Karena aku pernah merasa gila,” jawabnya akhirnya. “Dan nggak ada yang ngerti.”

Raga mengangguk pelan. “Setidaknya kamu tahu rasanya.”

“Makanya aku nggak akan maksa kamu ngomong hari ini.”

Hari itu berakhir tanpa banyak kata. Tapi saat Raga mendorong kursi rodanya keluar ruangan, ia menoleh sebentar dan berkata, “Kopimu harum banget.”

Dita tertawa pelan. “Besok aku bikinin lagi.”


Esoknya, Raga datang lebih awal. Kali ini, Dita sudah menyiapkan dua cangkir kopi di mejanya. Mereka masih tidak bicara banyak, tapi diam mereka terasa berbeda—seperti dua orang asing yang saling memberi ruang.

“Dulu aku atlet,” kata Raga tiba-tiba, menatap jendela. “Lari. Cepat banget. Sampai semuanya berhenti dalam satu detik.”

Dita tidak menjawab, hanya menatapnya dengan hati-hati. Ia tahu, kalimat itu lebih dari sekadar pembuka. Itu adalah potongan luka yang baru saja diangkat dari dalam tubuh.

“Dan aku benci tempat ini,” lanjut Raga. “Tapi aku benci sepi lebih dari itu.”

Dita menahan napas. Ia tahu betul rasanya. Sepi bukan tentang suara. Tapi tentang kehilangan arah, kehilangan makna, kehilangan siapa diri kita.

“Aku juga nggak suka tempat baru,” katanya. “Tapi kalau nggak ke sini, aku mungkin udah gila beneran.”

Raga menoleh. “Apa yang bikin kamu hampir gila?”

Dita tersenyum kecut. “Cerita panjang. Mungkin nanti.”

Hari-hari selanjutnya jadi ritual aneh antara dua orang yang tak tahu arah. Dita selalu menyuguhkan kopi, dan Raga akan duduk diam, kadang menggerutu, kadang menatap kosong. Tapi sesekali, ia juga tertawa pelan. Dan itu cukup bagi Dita.

Suatu sore, saat hujan mulai turun, Raga datang basah kuyup. Ia menolak diantar perawat hari itu, katanya ingin merasa hidup. Meski harus kena hujan.

“Kenapa kamu tetap ke sini?” tanya Dita, menyodorkan handuk.

“Karena kamu nggak pernah tanya hal yang salah,” jawab Raga.

Dita diam. Di matanya, ada sorot yang tak bisa ia sembunyikan. Rasa penasaran itu makin besar. Siapa sebenarnya Raga? Dan apa yang membuat sorot matanya selalu terasa penuh duka?

Tapi Dita tahu, luka orang tak bisa dipaksa untuk terbuka. Luka akan bercerita saat siap. Sama seperti dirinya yang belum juga mampu menceritakan kenapa ia sampai melarikan diri ke kota ini.


Malam itu, Dita berdiri di balkon asramanya. Ia memandangi hujan, mencoba menahan rasa sakit yang kembali menyergap. Ingatan akan teriakan, kaca pecah, dan tangan kakaknya yang berlumur darah masih menghantuinya. Ia menggigit bibir. Ia ingin melupakan semua. Tapi trauma punya cara sendiri untuk tetap tinggal.

Dan tanpa ia sadari, orang yang juga sedang menatap hujan dari jendelanya di sisi gedung lain adalah Raga.

Mereka sama-sama rusak.

Sama-sama mencoba bertahan.

Tapi mereka belum tahu satu hal penting.

Bahwa luka mereka berasal dari tempat yang sama.

“Kita mungkin bukan dua orang yang saling menyembuhkan. Tapi setidaknya, kita berhenti merasa sendirian.”

Bab 2: Luka di Balik Sorot Mata

Hari-hari setelah pertemuan pertama itu, Dita jadi makin penasaran. Bukan karena latar belakang Raga sebagai mantan atlet terkenal yang sempat viral karena kecelakaan, tapi karena tatapan matanya yang nyaris mati. Seolah segala semangat hidup pernah singgah, lalu pergi tanpa pamit.

Raga memang bukan pasien pertamanya yang trauma. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak marah, tidak meledak, tidak juga menangis. Ia hanya diam. Dan itu jauh lebih berbahaya dari yang lain.

Setiap kali sesi dimulai, Raga hanya duduk sambil melipat tangan. Kadang menatap langit-langit, kadang menatap jam dinding seolah ingin kabur dari waktu. Dita tidak memaksa. Ia tahu, memaksa orang bicara hanya akan membuatnya semakin menarik diri.

Jadi ia mengubah pendekatan.

“Lo suka kopi, enggak?” tanya Dita, suatu sore.

Raga menoleh, agak bingung.

“Gue pesen kopi hitam buat lo. Tapi kalo lo sukanya susu, bisa gue minum sendiri.”

“…terserah,” jawab Raga pelan.

Dita tersenyum tipis. “Bagus. Karena gue juga bawa roti keju, dan gue enggak mau makannya sendirian.”

Hari itu mereka tidak bicara soal trauma, luka, atau kecelakaan. Mereka hanya ngobrolin hal remeh, kayak cuaca yang terlalu cepat gelap atau film yang lagi ramai di Netflix. Raga tidak tertawa, tapi Dita menangkap sesuatu. Sorot matanya enggak sekelam kemarin.


Seminggu kemudian, Raga kembali lagi. Kali ini datang lebih awal. Dita melihat dari balik kaca ruangannya, pria itu duduk di pojok ruang tunggu dengan earphone di telinga.

“Gue enggak tahu kenapa gue ke sini lagi,” ucap Raga begitu masuk ke ruang terapi.

“Gue juga enggak tahu kenapa gue masih di sini,” jawab Dita santai. “Mungkin karena gaji, mungkin juga karena pengin ngobrol sama lo.”

Untuk pertama kalinya, bibir Raga sedikit terangkat. Nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk bikin Dita yakin—ia menyentuh sesuatu di balik dinding itu.


Hari-hari berikutnya jadi lebih ringan. Raga masih irit bicara, tapi kadang matanya menatap Dita lebih lama. Ada kepercayaan kecil yang mulai tumbuh. Dan Dita enggak buru-buru.

Ia tahu luka dalam enggak bisa disembuhkan dengan lima sesi terapi. Apalagi luka Raga bukan cuma fisik. Itu luka yang ditinggalin oleh seseorang yang dia percaya sepenuhnya. Dan Dita tahu rasanya.

Suatu hari, mereka duduk berdua di taman kecil belakang klinik. Angin sore mengayun pelan dedaunan yang mulai menguning.

“Lo pernah ngerasa hidup lo berhenti?” tanya Raga tiba-tiba.

Dita diam sebentar. “Pernah. Dan bodohnya, gue terus maksa diri jalan, padahal hati gue belum bisa.”

Raga menatap langit. “Gue enggak tahu mau ngapain sekarang. Dulu, bangun pagi itu berarti lari. Sekarang… buka mata aja rasanya berat.”

Dita menoleh ke arah pria itu, matanya lembut. “Kadang… yang bisa kita lakuin cuma bangun dan duduk. Itu udah cukup buat hari itu.”

Raga tak menjawab. Tapi ia menatap Dita cukup lama sampai akhirnya berkata, “Lo aneh.”

“Syukurlah,” jawab Dita, tersenyum. “Kalau gue normal, mungkin gue udah nyerah ngobrol sama lo dari sesi pertama.”


Malamnya, Dita pulang ke rumah kontrakannya yang mungil. Ia duduk di depan cermin, membuka bando dan melepaskan kunciran rambutnya. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada senyum kecil di bibirnya. Ia merasa sedikit lebih ringan. Raga mungkin belum banyak berubah, tapi ia percaya—perlahan, pria itu akan menemukan lagi bagian dirinya yang hilang.

Yang tidak Dita tahu, di saat yang sama, Raga duduk di kursi rodanya sambil menatap kertas catatan kecil yang diberi Dita minggu lalu. Di balik halaman kosong itu, tertulis tulisan tangan:

“Kadang, yang patah bukan berarti hilang. Kadang, ia cuma butuh waktu untuk tumbuh lagi dengan bentuk yang baru.”

Raga menghela napas. Lalu untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya tersenyum. Tipis. Singkat. Tapi nyata.

Dan di titik itu, tanpa mereka sadari, luka yang masing-masing mereka bawa mulai saling menatap.

Bab 3: Rahasia yang Belum Ingin Dibuka

Pagi itu hujan gerimis turun pelan. Jalanan basah, dan bau tanah yang bercampur embun menyelinap ke sela jendela ruang terapi. Dita duduk sambil memutar cangkir kopinya, menunggu. Ia tidak tahu kenapa, tapi hari itu dadanya terasa lebih berat dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang belum siap ia hadapi.

Raga datang lima menit terlambat. Tapi kali ini tanpa wajah datar. Justru ada sesuatu di sorot matanya—campuran antara ragu dan ingin bicara. Dita tahu, ini bukan hari biasa.

“Lo tahu kan,” kata Raga setelah beberapa menit hening, “gue enggak suka cerita masa lalu.”

Dita menatapnya pelan. “Gue enggak pernah maksa.”

“Tapi kalau gue cerita sekarang, lo janji enggak ngelihat gue beda?”

“Gue bukan hakim, Ga. Gue cuma pendengar.”

Raga menarik napas dalam. Tangannya mengepal di atas pahanya yang tak lagi bisa ia gerakkan. “Gue pernah pacaran lima tahun. Sama cewek yang gue kira bakal gue nikahin.”

Dita tak menjawab, hanya mengangguk pelan.

“Kita udah rencanain hidup bareng, tinggal nyari waktu buat lamaran. Tapi ternyata… dia punya kehidupan lain yang gue nggak tahu.”

Dita merasakan tengkuknya mulai dingin. Bukan karena AC, tapi karena nadanya. Dingin. Menyakitkan.

“Suatu malam, dia ngajak gue jalan. Katanya pengin ngobrol penting. Tapi sepanjang jalan dia ribut sendiri, emosian, dan nyetirnya ngawur. Gue sempat bilang kita berhenti dulu. Tapi dia malah makin ngebut.”

Raga terdiam. Matanya menerawang, seperti kembali ke momen itu.

“Mobilnya nabrak pembatas jalan. Gue duduk di samping. Kaki gue hancur. Dia… cuma lecet sedikit.”

Dita menunduk. Napasnya tercekat.

“Gue enggak benci dia,” ucap Raga lirih. “Tapi gue juga enggak bisa maafin dia. Gue cuma… patah.”

Dita mengangkat wajahnya, mencoba tetap tenang. Tapi jantungnya mulai berdetak tak karuan. Cerita itu… terlalu familiar.

“Nama mantan lo siapa?” tanyanya lirih, nyaris berbisik.

Raga menoleh. Matanya sempat ragu, tapi akhirnya menjawab, “Karina.”

Dunia Dita runtuh dalam sekejap. Nama itu menghantam dadanya seperti badai yang datang tanpa peringatan. Kakaknya. Kakak kandungnya. Yang selama ini ia hindari. Yang jadi alasan ia pindah ke kota ini.

Dita mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat.

“Lo kenapa?” tanya Raga.

“Cuma… pusing dikit,” elaknya cepat. “Lo mau istirahat dulu?”

Raga mengangguk pelan. Ia tampaknya tak curiga. Tapi Dita tahu, setelah ini semuanya tidak akan sama.


Malamnya, Dita duduk di kamar, memandangi foto masa kecil di tangan. Ia dan Karina, tersenyum di taman, dengan boneka besar di pelukan. Mereka dulu sangat dekat. Sampai Karina mulai berubah. Sampai Karina membawa masuk kekacauan ke rumah mereka—dan akhirnya pergi begitu saja, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.

Dita menutup matanya. Tangisnya jatuh diam-diam.

Bagaimana mungkin dunia sekecil ini mempertemukannya dengan korban dari orang yang paling ingin ia lupakan?

Bagaimana mungkin ia justru jatuh cinta pada pria yang paling disakiti oleh darah dagingnya sendiri?


Di tempat lain, Raga termenung di depan jendela. Hujan turun semakin deras. Di tangannya, catatan terapi dari Dita terlipat rapi. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada hal aneh yang ia rasakan belakangan ini. Cara Dita menatapnya. Cara Dita menggenggam cangkir. Cara Dita terlihat sangat… takut.

Seolah menyembunyikan sesuatu.

Raga mengerutkan kening. Mungkin ia hanya paranoid.

Atau mungkin… tidak.

Mereka sama-sama memeluk luka, tapi baru sadar bahwa luka mereka berasal dari sumber yang sama.

Dan waktu terus berdetak, mendekatkan keduanya pada kebenaran yang bisa menghancurkan segalanya.

Bab 4: Tertawa dalam Luka

Dita datang lebih pagi dari biasanya. Ia membawa dua gelas kopi seperti biasa, tapi tangannya sedikit gemetar. Sejak mendengar nama itu dari bibir Raga, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Ia tahu, ia harus berkata jujur. Tapi kapan? Dan bagaimana?

Raga masuk lima belas menit kemudian. Tidak seperti biasanya, kali ini ia tersenyum kecil saat melihat kopi di meja.

“Gue jadi mikir, lo beneran serius pengin bikin gue kecanduan kopi ya?”

Dita terkekeh pelan, pura-pura santai. “Gue nggak nyuap pasien, kok. Tapi kalau lo mulai nungguin kopi ini, berarti ada kemajuan.”

Raga duduk di kursi seberangnya. “Kemajuan ya? Dulu gue nggak pernah suka kopi. Tapi lo bikin rasanya jadi beda.”

Dita mengangkat alis. “Gue nggak masak biji kopinya sendiri, lho. Itu beli di kafe depan klinik.”

“Tetap aja. Kadang bukan soal kopi, tapi siapa yang nyediain.”

Ucapan itu bikin dada Dita sesak. Bukan karena manis, tapi karena rasa bersalah yang makin berat ia simpan.

“Lo mau ngobrolin sesuatu hari ini?” tanya Dita, mencoba mengalihkan.

“Enggak. Gue cuma pengin duduk di sini dan… enggak mikir apa-apa.”

Mereka diam sejenak. Lalu entah dari mana, Raga mulai cerita tentang masa kecilnya—tentang bagaimana ia suka main bola lumpur waktu hujan, sampai akhirnya dimarahin ibunya karena masuk rumah dalam keadaan kayak guling cokelat.

Dita tertawa keras. “Lo kebayang enggak sekarang? Lo yang super galak ini pernah main lumpur sambil teriak-teriak?”

Raga ikut tertawa, kali ini tanpa menahan. Tawanya lepas, tulus, dan untuk pertama kalinya—menyembuhkan.

“Udah lama banget gue enggak ketawa gini,” ucapnya sambil mengusap sudut matanya. “Gue lupa rasanya.”

Dita menatap pria di depannya, dan hatinya makin bergetar. Di balik luka dan kekerasan sikapnya, Raga adalah manusia yang hangat. Dan itulah yang membuat semua ini makin menyakitkan.


Di akhir sesi, saat Raga hendak pergi, Dita memberanikan diri untuk bertanya, “Lo masih komunikasi sama… Karina?”

Raga berhenti sejenak. Lalu menggeleng.

“Enggak. Setelah kejadian itu, dia ngilang. Nggak pernah datang waktu gue operasi, nggak nelpon, nggak kirim pesan. Seolah gue cuma masa lalu yang bisa dia tinggalin begitu aja.”

Dita menggigit bibir bawahnya. Jantungnya nyaris berhenti. “Lo… marah?”

“Aku nggak tahu. Dulu iya. Sekarang… mungkin lebih ke kecewa. Tapi yang paling gue nggak ngerti, kenapa dia pergi begitu aja tanpa minta maaf.”

Dita menunduk. Suaranya nyaris hilang saat menjawab, “Kadang… orang yang paling kita sayang juga bisa jadi orang yang paling egois.”

Raga menatapnya lama. Seolah kalimat itu punya makna lain yang belum ia pahami.

Malam itu, Dita duduk di depan laptop. Ia membuka folder lamanya, yang berisi foto-foto keluarga, surat-surat yang tak pernah ia kirim, dan satu dokumen yang berjudul: “Karina – Alasan Aku Pergi.”

Ia membacanya lagi. Semua catatan tentang malam itu. Tentang pertengkaran terakhir mereka sebelum Karina kabur. Tentang bagaimana Dita memohon agar kakaknya berhenti, agar Karina mengaku bahwa ia mengalami gangguan mental dan butuh bantuan.

Tapi Karina tak pernah mau. Ia memilih pergi, membawa luka untuk semua orang yang ia tinggal.

Dan sekarang, Dita harus menanggung warisan luka itu.


Keesokan harinya, saat Dita masuk ruang kerja, Raga sudah duduk di kursinya. Ia menatap jendela, dan ketika Dita masuk, ia langsung berkata:

“Aku bermimpi semalam. Tentang kecelakaan itu. Tapi kali ini, ada sosok lain. Perempuan… yang menangis di lorong rumah sakit. Dia bukan Karina. Tapi matanya mirip.”

Dita membeku. “Mungkin cuma bayangan…”

Raga menoleh pelan. “Dia mirip kamu.”

Suasana hening.

Dan untuk pertama kalinya, Dita benar-benar takut. Bukan takut kehilangan pekerjaan. Tapi takut kehilangan satu-satunya hal yang sedang ia perjuangkan—hubungan ini. Kedekatan ini. Perasaan ini.

Dan semua itu… berdiri di atas kebenaran yang belum ia ucapkan.

Kadang, yang paling menyakitkan bukanlah luka itu sendiri. Tapi bagaimana kita tahu… kita menyembunyikan kebenaran dari seseorang yang sedang belajar mempercayai dunia lagi.

Bab 5: Suatu Hari di Musim Hujan

Hujan kembali turun deras hari itu. Langit terlihat seperti menyimpan terlalu banyak luka, lalu menumpahkannya sekaligus. Dan di dalam ruang terapi yang hangat, Dita duduk dengan pikiran yang sama gelapnya.

Hari ini ia tidak membawa kopi seperti biasa. Tidak sempat. Kepalanya dipenuhi kekhawatiran. Kata-kata Raga kemarin terus bergema di benaknya: “Dia mirip kamu.”

Seolah waktu sudah mulai mempermainkan perasaan. Seolah semesta sedang memberi tahu, bahwa kebenaran tak bisa terus disembunyikan.

Pintu terbuka. Raga masuk dengan jaket biru yang basah di bagian pundaknya. Rambutnya sedikit lepek karena gerimis. Tapi ia tetap datang. Dan itu membuat Dita makin merasa bersalah.

“Pagi,” sapa Raga.

“Pagi. Duduk, Ga.”

Raga duduk, melirik meja yang kosong. “Hari ini enggak ada kopi?”

Dita tersenyum kaku. “Maaf, tadi buru-buru.”

Raga mengangguk. “Enggak apa-apa. Hari ini… aku juga enggak mau ngobrol soal apa pun. Aku cuma pengin duduk di sini.”

Dita menatapnya. Lalu tiba-tiba, mulutnya bergerak tanpa bisa dihentikan.

“Boleh gue tanya satu hal?”

Raga menoleh. “Tentu.”

“Kalau lo suatu hari tahu… bahwa orang yang dekat sama lo… ternyata punya hubungan dengan masa lalu yang lo benci, lo bakal apa?”

Raga tidak langsung menjawab. Ia terdiam, lalu menarik napas panjang. “Maksudnya hubungan seperti apa?”

Dita menggigit bibirnya. “Misalnya… saudara. Atau keluarga.”

Raga menatapnya dalam. Wajahnya perlahan berubah. “Ini pertanyaan jujur?”

Dita mengangguk, pelan sekali.

“Gue enggak tahu,” ucap Raga akhirnya. “Mungkin gue akan marah. Atau hancur. Tapi… itu tergantung niat orang itu. Dia mendekati gue karena mau nolong, atau karena cuma mau tahu rasa bersalahnya sedalam apa.”

Dita menunduk. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan. Ia ingin bicara. Ingin jujur. Tapi suaranya macet.


Setelah sesi selesai, Dita menolak semua pasien lain hari itu. Ia pulang lebih awal, menutup tirai kamar, dan menangis sendirian. Rasanya seperti menggenggam pisau di dua sisi—kalau bicara, ia mungkin kehilangan Raga. Kalau diam, ia hanya menunggu bom waktu meledak di wajahnya sendiri.

Sore menjelang malam. Hujan belum berhenti.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Raga: Bisa ketemu di taman belakang? Sekarang.

Dita mengganti pakaian dan segera berjalan ke taman kecil di belakang klinik. Udara lembap, daun-daun basah, dan tanah licin. Tapi di sana, di kursi panjang dekat pohon, Raga sudah duduk menunggunya.

Tanpa kata, Dita duduk di sebelahnya. Jarak mereka hanya beberapa senti, tapi terasa seperti dunia.

“Aku tahu lo nyimpen sesuatu,” ucap Raga pelan. “Dari awal, gue udah curiga. Tapi gue pura-pura enggak tahu. Karena… setiap kali gue ketemu lo, rasanya tenang.”

Dita menunduk. “Maaf.”

“Gue enggak minta maaf. Gue cuma pengin lo jujur. Sekali aja.”

Diam. Lama.

Akhirnya Dita berkata, “Karina… itu kakak gue.”

Raga membeku.

“Gue enggak tahu dia bagian dari hidup lo sampai lo cerita di sesi itu. Gue enggak pernah tahu kecelakaannya separah itu. Karina pergi dari rumah sebelum kejadian itu, dan gue… enggak pernah bisa nyari dia.”

Raga menatap lurus ke depan. Matanya kosong.

“Gue enggak pernah datang ke lo untuk nebus kesalahan dia. Gue enggak punya niat itu. Gue datang karena… karena gue luka juga. Gue pengin sembuh. Dan tanpa sadar… lo jadi bagian dari penyembuhan gue.”

Tangis Dita akhirnya jatuh. Tapi tak ada suara.

“Gue enggak minta lo maafin Karina. Gue enggak minta lo maafin gue. Tapi gue… sayang sama lo, Ga. Itu satu-satunya hal yang enggak bohong.”

Raga masih diam.

Hujan semakin deras.

Dan saat Dita bangkit hendak pergi, Raga akhirnya bersuara. “Tunggu.”

Dita berhenti. Tidak menoleh.

“Gue juga sayang sama lo.”

Jantung Dita mencelos.

“Tapi gue enggak tahu, apakah rasa itu cukup untuk ngelawan kenyataan.”

Cinta bisa tumbuh dari luka. Tapi apakah ia juga bisa bertahan saat luka itu ternyata saling bersilangan?

Bab 6: Dia, yang Kau Benci dan Aku Cintai

Hari-hari setelah pengakuan itu berjalan seperti berjalan di atas kaca tipis. Dita dan Raga tetap bertemu, tetap berbicara, tapi tak ada lagi tawa ringan atau obrolan hangat. Semuanya serba hati-hati, seolah mereka takut satu kata salah akan membuat semuanya hancur.

Di ruang terapi, Dita kini lebih banyak mendengarkan, dan Raga lebih banyak diam. Tapi bukan karena menutup diri, melainkan karena pikirannya penuh oleh sesuatu yang lebih berat dari sebelumnya—pertanyaan besar yang menggantung di antara mereka.

Satu sore, Raga datang tanpa pemberitahuan. Bukan ke ruang terapi, tapi ke rumah kontrakan Dita. Ia berdiri di bawah gerimis dengan wajah datar, memandangi pintu yang dibuka setengah.

“Kita harus ngomong,” ucapnya.

Dita menatapnya, bingung dan cemas. Tapi ia mengangguk dan mempersilakan Raga masuk.

Mereka duduk di meja kecil dekat dapur. Dita membuatkan teh, tapi tak ada yang menyentuhnya.

“Aku ketemu Karina kemarin,” kata Raga tiba-tiba.

Dita membeku. “Apa?”

“Gue enggak sengaja lihat dia di toko buku. Gue panggil, dan dia berhenti. Kita ngobrol, sebentar. Dan ternyata… dia tahu tentang lo.”

Dita terdiam. Tangannya gemetar, menggenggam ujung bajunya sendiri.

“Dia bilang lo selalu nyalahin diri sendiri atas semua yang dia lakuin. Bahkan sejak dulu.”

Dita menggeleng, menahan air mata. “Gue cuma pengin lo enggak ikut hancur. Gue tahu rasanya dipukul oleh sesuatu yang lo enggak pernah siap. Gue tahu banget…”

Raga menatapnya lama. “Dan lo pikir gue siap kehilangan lo setelah tahu semua ini?”

Dita mengangkat wajahnya. “Jadi lo marah?”

“Gue enggak tahu. Yang gue tahu, sekarang semua rasa jadi campur aduk. Gue sayang sama lo, Dita. Tapi setiap kali gue lihat lo, sekarang… gue juga lihat dia. Dan itu nyakitin banget.”

Dita menangis. Air matanya turun tanpa bisa ditahan lagi. “Gue bukan Karina, Ga. Gue bukan dia. Dan gue juga enggak mau hidup di bawah bayangan dia terus.”

Raga menunduk. Tangannya mengepal di atas meja. Ia ingin memeluk Dita, ingin mengatakan semuanya akan baik-baik saja, tapi suaranya hilang. Perasaannya terlalu kusut.

“Aku enggak tahu, Dit. Gue enggak tahu apa hubungan ini bisa tetap berjalan dengan semua yang udah kebuka.”


Seminggu berlalu. Dita dan Raga tidak bertemu. Dita izin tidak masuk kerja selama beberapa hari. Ia hanya berdiam di rumah, menulis, merenung, dan sesekali menghapus pesan yang nyaris ia kirim ke Raga.

Sementara itu, Raga kembali ke rumah ibunya. Ia duduk di kamar lamanya, memandangi piala-piala yang sudah berdebu. Hidupnya terasa asing. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa benar-benar sendirian.

Ibunya masuk ke kamar, membawa teh hangat. “Masih belum siap ngobrolin tentang dia?”

Raga menoleh. “Dia bukan Karina, Bu. Tapi kenapa rasanya tetap sakit?”

Ibunya duduk di tepi ranjang. “Karena kamu tahu, kamu mulai nyatuin dua rasa yang nggak seharusnya bertabrakan—cinta dan luka.”

Raga menghela napas panjang. “Gue enggak pengin kehilangan Dita.”

“Kalau kamu yakin dia bukan bagian dari luka itu… kenapa kamu biarkan dia ikut menderita?”


Beberapa hari kemudian, Dita kembali bekerja. Ia tidak berharap Raga akan muncul hari itu. Tapi saat ia membuka pintu ruang terapi, Raga sudah duduk di dalam. Menatap ke luar jendela seperti biasa.

“Lo datang,” bisik Dita.

Raga menoleh. “Gue enggak janji bisa nerima semuanya sekarang, Dit. Tapi gue janji satu hal…”

Dita menatapnya, menahan napas.

“Gue enggak akan ninggalin lo sendirian.”

Dita menangis lagi. Tapi kali ini, ia menangis karena lega.

Dan Raga, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, bangkit—bukan dari kursi roda, tapi dari ketakutannya sendiri.

Kadang, cinta bukan soal siapa yang salah atau benar. Tapi siapa yang tetap tinggal… saat semuanya terasa begitu rusak.

Bab 7: Kepergian yang Tak Dijelaskan

Hujan akhirnya berhenti pagi itu. Udara kota kecil itu terasa lebih dingin dari biasanya. Tapi Dita merasa, bukan udara yang berubah—melainkan dirinya sendiri.

Sudah seminggu sejak pertemuan terakhir dengan Raga. Sejak janji itu terucap. Janji untuk tidak saling meninggalkan, meski hati mereka masih penuh luka. Tapi hari demi hari, Dita merasa sesuatu mulai berubah. Raga kembali jadi lebih pendiam. Dan hari ini, ia tidak muncul di sesi yang seharusnya mereka jalani bersama.

Dita menunggu. Dari jam sembilan pagi sampai hampir tengah hari. Tapi Raga tidak datang. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Hanya keheningan yang terasa menyesakkan.

Sesuatu dalam dada Dita terasa janggal. Ia merasa—entah kenapa—Raga sedang mencoba menjauh, lagi. Dan itu membuat napasnya sesak.


Sore harinya, Dita pergi ke rumah Raga. Rumah kecil berhalaman rimbun yang sudah beberapa kali ia kunjungi. Tapi kali ini, yang menyambutnya adalah ibu Raga.

“Dita?” sapa sang ibu ramah, tapi sedikit bingung.

“Maaf Bu, Raga ada?”

Wajah ibu Raga berubah. Ragu. “Kamu belum tahu, ya?”

Dita langsung tegang. “Tahu apa, Bu?”

“Dia pergi pagi-pagi sekali. Katanya mau ke Jakarta. Bilangnya pengin sendiri dulu…”

“Sendiri?” suara Dita nyaris tak terdengar.

“Iya. Dia bilang… harus menyelesaikan sesuatu yang tertinggal.”

Dita hanya berdiri di depan pagar. Tak tahu harus berkata apa. Sakitnya mendadak menohok. Setelah semua yang mereka lewati. Setelah semua luka yang terbuka… Raga memilih pergi tanpa bicara.


Malam itu, Dita menangis di kamarnya. Tapi bukan karena ditinggal. Bukan hanya itu. Melainkan karena ia merasa… ia kehilangan seseorang yang nyaris bisa mengubah cara ia melihat hidup. Raga adalah luka yang nyaris sembuh, tapi memilih jadi parut yang pergi sebelum benar-benar pulih.

Ia menulis sebuah surat malam itu. Tapi tidak dikirim. Surat itu hanya ditaruh di meja, berdampingan dengan foto masa kecilnya dan Karina.

“Raga,
Gue ngerti kenapa lo pergi. Gue tahu rasa sakit yang lo tahan terlalu besar buat dibagi.
Tapi gue harap lo tahu satu hal: lo nggak pernah sendirian.
Gue di sini. Masih. Dan selalu ada.
Meski mungkin… lo nggak pengin itu.”


Tiga hari kemudian, Dita menerima email. Dari alamat yang tidak ia kenali.

Isi pesannya singkat:

“Aku butuh waktu. Bukan karena aku membenci kamu. Tapi karena aku takut… cinta ini justru menghancurkan kita berdua. – R”

Dita menutup laptopnya. Ia tersenyum getir.

Ya, kadang cinta yang tumbuh dari luka juga bisa membawa luka baru.


Waktu berjalan. Dita kembali menjalani harinya. Ia menangani pasien lain, mendengarkan cerita-cerita luka dari orang-orang yang tidak tahu bahwa dirinya pun sedang menyimpan luka yang belum selesai.

Hingga suatu hari, ia dipanggil oleh kepala klinik.

“Dita, ada yang mendaftar untuk terapi—namanya Karina.”

Dunia seakan berhenti berputar.

Dita mematung. Bibirnya kering. “Karina… siapa?”

“Karina Rahadi.”

Itu nama kakaknya. Nama yang sudah lama tidak ia dengar secara langsung dari siapa pun.

“Dia minta kamu jadi psikiaternya.”

Kepergian Raga ternyata bukan akhir dari kisah mereka. Karena untuk bisa pulih, Dita harus berdamai dengan luka yang pertama: Karina.

Dan luka yang paling dalam… adalah luka yang berasal dari orang yang dulu kita cintai paling dulu.

Bab 8: Surat yang Tak Pernah Selesai Ditulis

Dita menatap pintu ruang terapi yang tertutup. Di balik pintu itu, seseorang sedang duduk—seseorang yang pernah jadi bagian terbesarnya, lalu berubah jadi luka terdalamnya. Kakaknya, Karina.

Selama bertahun-tahun, Dita membayangkan pertemuan ini. Kadang ia ingin memeluk Karina, memaafkan semua hal yang hancur. Kadang ia ingin berteriak, menyalahkan, dan menumpahkan semua amarah. Tapi sekarang, di depan kenyataan… ia hanya diam.

Tangannya dingin saat memutar gagang pintu.

Karina duduk dengan posisi tubuh agak membungkuk. Rambutnya lebih pendek sekarang. Matanya sayu, dan wajahnya lebih pucat dari yang Dita ingat.

“Hai,” ucap Dita pelan, mencoba menjaga ketenangan.

Karina menatapnya. Sekilas, hanya sekilas, ada sorot lega di matanya. “Hai.”

Sunyi. Lama.

Dita duduk, membuka buku catatannya—meski ia tahu, hari ini tak akan ada catatan yang bisa menjelaskan pertemuan ini.

“Kenapa sekarang?” tanya Dita. Suaranya lirih tapi penuh tekanan.

Karina menarik napas panjang. “Karena aku capek, Dit. Aku capek sembunyi dari masa lalu. Aku capek pura-pura baik-baik aja.”

“Lo ninggalin semuanya begitu aja, Kak.”

“Aku tahu.” Karina menunduk. “Dan aku minta maaf.”

Dita tertawa kecil, pahit. “Maaf itu datang terlambat.”

“Gue tahu gue nyakitin banyak orang. Raga… lo… diri gue sendiri. Tapi waktu itu, aku udah terlalu rusak buat mikirin siapa yang aku tarik ke dalam kehancuran itu.”

Dita menahan napas. Ada begitu banyak kata di ujung lidahnya. Tapi yang keluar hanya satu, “Kenapa?”

Karina terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Karena aku iri.”

Dita mengerutkan kening. “Iri?”

“Iri sama lo yang selalu bisa bangkit. Selalu bisa dimaafkan. Selalu bisa disayang.”

Dita tertegun. “Kak, gue… gue enggak pernah sempurna. Gue juga rusak.”

“Dan lo sembuh. Gue nggak.” Mata Karina berkaca-kaca. “Gue nyetir kayak orang gila malam itu bukan karena emosi ke Raga. Tapi karena gue muak sama diri gue sendiri. Gue pengin semuanya selesai. Tapi ternyata, bukan gue yang dihukum. Justru dia.”

Dita menunduk. Hatanya hancur lagi.

Karina mengeluarkan sebuah amplop kusut dari tasnya. Ia letakkan di meja. “Ini surat buat Raga. Gue tulis bertahun-tahun lalu. Tapi nggak pernah gue kirim.”

Dita menatap surat itu seperti menatap hantu.

“Aku mau lo baca,” kata Karina. “Dan kalau nanti lo rasa dia pantas tahu… kasihkan ke dia.”


Malamnya, Dita membuka surat itu di kamarnya. Tangan gemetar. Isinya ditulis dengan tulisan tangan Karina, miring dan tergesa-gesa.

Raga,

Aku enggak pantas minta maaf. Tapi aku enggak bisa berhenti memikirkan malam itu.

Aku tahu aku merusak hidup lo. Dan aku tahu, setelah ini lo mungkin nggak akan pernah bisa lihat aku tanpa benci.

Tapi kalau suatu hari, lo bisa memaafkan aku… bukan karena aku pantas, tapi karena lo pengin damai… maka itu lebih dari yang bisa aku harapkan.

Maaf, Ga. Maaf karena gue pergi. Maaf karena gue nggak cukup kuat untuk bertahan.

– Karina

Dita menangis membaca surat itu. Tangis yang mengalir tanpa suara, hanya air mata yang tak berhenti turun.

Dan malam itu, ia menulis balasan. Bukan untuk Karina. Tapi untuk Raga.

“Raga,
Gue tahu lo pergi karena butuh waktu. Gue enggak akan kejar. Tapi gue juga enggak akan menutup pintu.
Gue pegang kata lo, bahwa lo nggak akan ninggalin gue sendirian. Jadi kalau nanti lo kembali… surat ini akan nunggu lo.

– Dita”

Surat itu ia lipat rapi, disimpan dalam kotak kayu di atas lemari. Kotak yang berisi semua kenangan—foto, catatan, dan luka. Tapi juga… harapan.

Luka bisa diwariskan. Tapi penyembuhan… kadang dimulai dari keberanian untuk menghadapi yang selama ini kita hindari.

Dan saat dua jiwa yang pernah patah saling memahami, maka cinta pun punya kesempatan untuk tumbuh… meski di atas tanah yang retak.

Bab 9: Semua Tentang Kita yang Pernah Patah

Sudah tiga minggu sejak Karina muncul di klinik. Dan sejak itu, hidup Dita seperti dilempar masuk ke dalam pusaran yang tak pernah ia duga—terapi untuk luka orang lain, sambil perlahan-lahan mencoba mengobati lukanya sendiri. Ia dan Karina mulai bicara, perlahan, dengan banyak jeda dan airmata. Tapi bagi Dita, itu sudah lebih dari cukup. Luka yang dulu membusuk kini mulai mengering, walau bekasnya masih terasa di setiap helaan napas.

Hanya satu hal yang belum kembali.

Raga.

Dan Dita menunggu. Tanpa harapan yang besar, tapi juga tanpa niat menyerah. Ia bekerja seperti biasa, duduk di ruang terapi yang kini rasanya lebih sepi dari sebelumnya. Ia bahkan masih menyeduh kopi dua cangkir, meski yang satu selalu dibiarkan dingin.

Hingga suatu sore yang mendung, pintu itu terbuka.

Dita sedang mencatat sesuatu ketika suara itu masuk begitu pelan, tapi menghantam kuat.

“Lo masih suka bikin kopi dua gelas, ya?”

Dita mendongak cepat.

Raga berdiri di sana. Masih dengan kursi roda, jaket biru tuanya, dan wajah yang penuh lelah tapi hangat. Ia terlihat jauh lebih kurus, tapi juga… jauh lebih tenang.

Dita menahan napas. “Lo balik…”

“Gue enggak tahan nunggu lebih lama,” katanya pelan. “Lo nulis surat buat gue, kan?”

Dita mengangguk pelan. Ia berdiri, mengambil kotak kecil di atas lemari, dan menyerahkan surat itu. Raga menerimanya tanpa bicara. Ia membacanya cepat, dan matanya berkaca-kaca saat sampai di kalimat terakhir.

“Gue baca surat dari Karina juga,” katanya pelan. “Dia kirim ulang ke email gue. Katanya… lo bantu dia.”

Dita hanya diam.

“Dita…” suara Raga nyaris pecah. “Gue pikir gue udah selesai sama masa lalu. Tapi ternyata, masa lalu itu bukan buat dihapus. Tapi dihadapi.”

Ia menatap Dita dalam-dalam. “Dan gue sadar satu hal selama gue pergi—semua yang pernah bikin gue patah… bukan sesuatu yang harus gue benci selamanya. Termasuk Karina. Termasuk lo.”

Dita menatapnya balik, air matanya sudah tumpah. “Gue takut lo enggak bisa maafin gue…”

“Aku enggak bisa,” jawab Raga, “kalau lo nyalahin diri lo terus. Tapi kalau lo nerima kenyataan, dan tetap berdiri… maka gue bisa berdiri juga. Meskipun dari kursi roda.”

Dita tertawa kecil di antara tangisnya. Ia mendekat, lalu berlutut di depan Raga, menggenggam tangannya.

“Gue di sini, Ga. Gue enggak akan ke mana-mana.”

“Gue juga,” balas Raga. “Kalau kita patah, bukan berarti kita rusak. Kita cuma berubah bentuk.”


Beberapa hari kemudian, mereka duduk bersama di taman belakang klinik. Sore yang tenang. Karina datang menghampiri mereka—tatapannya ragu, tapi penuh penyesalan.

Raga berdiri dengan bantuan tongkat. Sebuah langkah kecil, tapi penuh makna. Ia menatap Karina, lalu mengangguk.

“Gue enggak tahu gimana caranya maafin lo sepenuhnya,” kata Raga pelan. “Tapi mungkin… hari ini bisa jadi awalnya.”

Karina menangis, tapi ia tidak menjatuhkan diri. Ia berdiri, menerima, dan mengangguk.

Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ketiganya duduk bersama. Tidak sebagai keluarga yang sempurna, tidak juga sebagai penyintas yang kuat. Tapi sebagai manusia yang sama-sama pernah patah, dan kini mencoba kembali menyusun diri.

Luka mereka saling bersinggungan. Tapi justru dari sana, mereka belajar bahwa memaafkan bukan melupakan. Melainkan… menerima bahwa kita semua adalah cerita yang belum selesai.

Bab 10: Memaafkan Bukan Lupa

Langit pagi itu bersih, seolah semesta tahu bahwa sesuatu akan berubah hari ini. Dita berdiri di balkon rumah kontrakannya, menatap matahari yang perlahan naik. Di tangannya ada surat terakhir yang ia tulis untuk dirinya sendiri—bukan untuk Karina, bukan untuk Raga.

“Dita,
Kamu pernah patah. Kamu pernah ingin menyerah.
Tapi kamu tetap di sini.
Dan itu cukup.”

Ia menyelipkan surat itu di bawah bantal, lalu berangkat menuju klinik dengan langkah ringan yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun.

Di ruang terapi, Raga sudah menunggu. Kini ia duduk tanpa kursi roda, memakai tongkat dan senyum kecil yang selalu ia simpan untuk Dita.

“Lo kelihatan beda hari ini,” ucapnya.

“Karena hari ini gue nggak bawa beban apa-apa,” jawab Dita.

Mereka duduk berseberangan. Sejenak, tak ada kata. Lalu Raga membuka sebuah kotak kecil dari tasnya.

“Ini gue temuin waktu beberes kamar lama,” katanya, menunjukkan sepasang sepatu lari yang sudah lusuh. “Dulu gue pikir ini cuma pengingat dari hidup gue yang hilang. Tapi sekarang gue tahu… mereka cuma bagian dari perjalanan. Bukan penentu siapa gue.”

Dita mengangguk. “Kita semua punya barang kayak gitu. Barang yang bikin kita sakit kalau lihatnya. Tapi sekarang… lo bisa lihatnya tanpa nyesek, kan?”

“Bisa,” jawab Raga pelan. “Karena gue punya lo.”

Dita menatap matanya, lalu tersenyum. “Dan gue punya lo.”


Minggu berikutnya, Karina pamit kembali ke kota asalnya. Ia ingin memulai hidup baru—kali ini, dengan benar-benar jujur pada diri sendiri. Sebelum pergi, ia memeluk Dita lama sekali.

“Lo lebih kuat dari yang gue kira,” katanya.

“Gue kuat karena gue nggak sendirian.”

Karina juga sempat menatap Raga. Tak ada pelukan. Hanya satu kalimat yang akhirnya terucap dari bibirnya, lirih dan nyaris hilang tertiup angin.

“Terima kasih… karena udah nggak benci gue sepenuhnya.”

Raga menjawabnya dengan anggukan kecil. Dan itu sudah cukup.


Beberapa bulan kemudian, Dita dan Raga duduk di tepi danau kecil di luar kota. Mereka sudah tak bekerja bersama di klinik. Dita membuka praktik sendiri, dan Raga menjadi pembicara motivasi untuk orang-orang dengan trauma dan disabilitas. Ia juga mulai menulis buku tentang perjalanannya.

“Lo masih mikir kita ini dua orang rusak yang nggak cocok bareng?” tanya Dita sambil menyandarkan kepala di bahu Raga.

Raga tertawa pelan. “Justru karena kita pernah rusak, kita jadi ngerti gimana cara ngerawat satu sama lain.”

“Dan kalau suatu hari… luka itu balik lagi?”

“Kita rawat bareng-bareng.”


Epilog

Di rak buku rumah mereka, berdiri sebuah foto—foto Dita, Raga, dan Karina. Mereka tidak terlihat sempurna. Tapi mereka tampak nyata. Mereka tidak sembuh sepenuhnya. Tapi mereka memilih bertahan.

Karena memaafkan bukan berarti melupakan. Tapi memilih untuk tidak membiarkan masa lalu merusak masa depan.

Dan cinta, yang tumbuh dari puing-puing, tak selalu rapuh. Kadang… justru jadi yang paling kuat.


TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *