Novel Singkat Selamat Tinggal Versi Diriku yang Kau Cintai
Novel Singkat Selamat Tinggal Versi Diriku yang Kau Cintai

Novel Singkat: Selamat Tinggal Versi Diriku yang Kau Cintai

Karin, seorang ilustrator buku anak-anak, mengalami kecelakaan hebat yang membuatnya kehilangan sebagian besar ingatannya termasuk ingatan tentang dirinya sendiri dan kekasihnya, Ganta. Saat ia perlahan mencoba bangkit, ia menyadari satu hal menyakitkan: Ganta tampaknya hanya mencintai versi lamanya.

Dalam upaya mempertahankan hubungan, Karin mencoba menjadi sosok yang diingat Ganta—ceria, penuh tawa, dan penuh cinta. Tapi semakin ia memaksakan diri, semakin ia merasa hilang. Antara menjadi orang yang dicintai atau menjadi dirinya yang sebenarnya, Karin harus memilih: terus hidup dalam bayangan masa lalu, atau berani melangkah meski harus kehilangan cinta pertama.

Sebuah kisah emosional tentang identitas, keberanian, dan cinta yang tak selalu harus dimiliki.

Bab 1: Aku yang Tak Lagi Sama

Suara monitor detak jantung berdering pelan di sekelilingnya. Lampu putih di langit-langit seperti bintang-bintang buatan yang tak memberi kehangatan. Saat Karin membuka mata, dunia terasa sepi—bukan karena tak ada suara, tapi karena semuanya terasa asing.

“Dia bangun! Dokter! Cepat!”

Suara itu—lirih, penuh kelegaan dan histeria kecil. Seorang pria berlari menghampirinya, air mata di sudut matanya menggenang. Ia menggenggam tangan Karin dengan erat. Hangat. Tapi…

“Sayang… aku di sini… kamu ingat aku, kan?”

Karin hanya menatap kosong. Lelaki itu tampan, wajahnya khawatir, tapi tatapan matanya seperti sedang mencari seseorang di dalam dirinya. Karin mencoba bicara, tapi tenggorokannya kering. Hanya satu kata yang bisa ia ucapkan.

“…siapa?”

Pria itu terdiam. Senyumnya perlahan pudar. Di belakangnya, perawat datang, memeriksa tekanan darah, dan memanggil dokter. Tapi Karin tidak peduli pada siapa pun. Ia hanya menatap dinding putih di hadapannya dan bertanya dalam hati—siapa aku?


Tiga hari berlalu sejak ia sadar dari koma. Dunia masih kabur. Ia diberitahu bahwa ia mengalami kecelakaan parah. Mobilnya tergelincir di tikungan tajam saat hujan deras, dan menghantam pohon besar. Ia selamat, tapi dengan cedera kepala berat yang menyebabkan gangguan memori.

Karin menatap dirinya di cermin rumah sakit. Wajah itu cantik. Tapi hampa. Rambut sebahu, bibir merah muda, mata cokelat yang seharusnya bercerita… tapi kini hanya memantulkan kebingungan.

Di kursi dekat tempat tidur, pria itu—Ganta, katanya—masih menemaninya. Tak pernah absen. Ia membawa bunga favoritnya, katanya. Ia membaca ulang buku puisi yang dulu sering Karin baca, katanya. Tapi tidak ada satu pun dari itu yang terasa akrab.

“Ganta,” suara Karin akhirnya keluar, sedikit gemetar. “Aku… benar-benar gak ingat kamu. Tapi kamu gak pernah pergi dari sini. Kenapa?”

Ganta menatapnya. Senyumnya sendu. “Karena aku mencintaimu, Rin. Kita udah bersama hampir dua tahun. Kamu pernah bilang… kalau aku rumahmu.”

Karin menunduk. Hatinya berdesir pelan. Rumah. Kata yang hangat, tapi kini terasa dingin.


Saat ia diperbolehkan pulang, Karin diajak tinggal di apartemen mereka. Apartemen yang—katanya—sudah mereka huni bersama sejak setahun lalu. Tapi tidak ada apa pun yang terasa miliknya. Semua lukisan di dinding, semua baju di lemari, semua catatan kecil di kulkas… seperti milik wanita lain.

Wanita bernama Karin—tapi bukan dirinya.

Ganta berusaha sabar. Ia menunjukkan foto-foto kenangan mereka. Liburan ke Bali, ulang tahun Karin, malam tahun baru di atap apartemen sambil menonton kembang api. Karin hanya bisa tersenyum kaku dan berkata, “Oh.”

Kadang, saat Ganta memeluknya dari belakang, ia hanya diam. Ia tidak merasa hangat. Tidak merasa nyaman. Tapi ia juga tidak ingin menyakiti lelaki yang begitu mencintainya.

“Ganta…” bisik Karin suatu malam, setelah mereka menonton film yang katanya adalah film favorit mereka. “Kalau aku gak pernah ingat semua ini… kamu masih bisa tetap mencintaiku?”

Ganta terdiam beberapa saat. Ia memandang Karin, dan mencoba tersenyum. “Aku mencintai kamu. Bahkan jika kamu berubah. Tapi… aku yakin kamu masih akan jadi kamu.”

Karin memejamkan mata. Tapi siapa ‘aku’ yang dia maksud?


Keesokan harinya, Karin diam-diam membuka kotak tua di bawah ranjang. Ia menemukan sebuah jurnal kecil dengan inisial ‘K’. Ia membukanya. Tulisan tangan dirinya—tapi terasa bukan miliknya. Penuh puisi, impian, dan tulisan-tulisan tentang Ganta.

Salah satu halamannya tertulis:

“Aku mencintai Ganta seperti langit mencintai bintang. Ia tak selalu bisa menyentuhnya, tapi selalu menunggu malam tiba.”

Karin memegang halaman itu dengan gemetar. Ia menangis. Tapi bukan karena terharu—melainkan karena takut. Gadis dalam tulisan itu begitu hidup, begitu tahu siapa yang ia cintai. Tapi Karin sekarang… bahkan tak tahu bagaimana cara tersenyum padanya.


Malam itu, Ganta datang membawa martabak kesukaan mereka. Katanya Karin dulu suka rasa keju manis. Ia duduk di samping Karin, mencoba mencairkan suasana, bercerita tentang hal-hal lucu yang pernah terjadi.

Karin hanya mengangguk pelan.

Dalam hati, ia bertanya—apa aku harus terus hidup sebagai bayangan wanita itu, hanya demi seseorang yang mencintaiku… atau aku harus pergi dan mencari siapa diriku yang sekarang?

Dan untuk pertama kalinya, ia berani menjawab dalam hati, aku tidak tahu… tapi aku ingin tahu.

“Kadang, kehilangan ingatan bukanlah kehilangan cerita… tapi kehilangan versi diri yang pernah dicintai orang lain.”

Bab 2: Aku Milik Siapa?

Karin menatap jendela apartemen sambil memeluk lutut. Di luar, langit sore mulai memudar, menyisakan semburat oranye yang nyaris tak mampu menghangatkan. Ganta duduk di meja dapur, membungkus sisa makan malam yang tak disentuh Karin.

Suara televisi menyala, menayangkan acara yang katanya dulu mereka suka. Tapi Karin hanya mendengarnya sebagai suara latar yang tak bermakna.

“Aku minta maaf kalau kamu ngerasa tertekan tinggal di sini,” kata Ganta pelan.

Karin menoleh. “Aku gak tahu… aku ngerasa kayak orang asing di rumah sendiri. Semua hal di sini kayak punya orang lain. Bahkan… kamu.”

Ganta menatapnya, tampak ingin bicara banyak, tapi akhirnya hanya berkata, “Kamu gak harus buru-buru inget semuanya. Aku cuma pengen nemenin kamu.”

Karin mengangguk, tapi dalam hati ia merasa lelah. Terlalu banyak “kamu dulu suka ini”, “kamu biasanya kayak gini”, “kamu pasti masih ingat itu”. Seolah ia diminta jadi seseorang yang tidak ia kenal.


Keesokan harinya, Ganta mengajaknya ke taman yang katanya tempat kencan pertama mereka. Di tengah jalan setapak berbatu, ada bangku tua yang tampaknya sering mereka duduki.

Karin memperhatikan sekeliling. Suasana taman memang indah, dengan pepohonan menjulang dan suara burung bersahutan. Tapi semuanya terasa netral—tidak ada emosi yang muncul.

“Waktu itu kamu jatuhin es krim ke baju aku,” kata Ganta sambil tertawa kecil. “Kita malah ketawa dan kamu beliin aku satu lagi.”

Karin tersenyum kecil, sekadar menghargai ceritanya.

“Aku pengen semuanya balik kayak dulu, Rin.”

Dan kalimat itu menyentaknya.

Karin menoleh pelan. “Tapi kalau aku gak bisa balik jadi aku yang dulu?”

Ganta terdiam. Tatapannya berubah—sedikit bingung, sedikit sedih.

“Kamu masih kamu…” katanya, meski suaranya ragu.

Karin menunduk. Ia tahu Ganta berusaha, tapi hatinya mulai merasakan sesuatu yang perih. Ia mulai menyadari: cinta Ganta mungkin tulus, tapi bukan untuk dirinya yang sekarang.


Di malam hari, Karin kembali membuka jurnal lamanya. Ia membaca halaman demi halaman, mencoba mencari potongan dirinya di antara kata-kata manis dan harapan masa lalu. Tapi semua terasa seperti membaca kisah hidup orang lain.

“Aku mencintai musik klasik. Aku ingin menikah di tepi danau. Aku ingin punya rumah penuh bunga lavender.”

Itu semua adalah impian dari wanita bernama Karin—tapi tidak untuk Karin yang saat ini duduk di bawah lampu temaram sambil menyukai musik lo-fi dan lebih suka kopi pahit daripada teh manis.

Ia menangis diam-diam. Bukan karena kehilangan kenangan, tapi karena merasa tidak diizinkan untuk menjadi versi barunya.


Beberapa hari kemudian, Karin bertemu dengan teman lamanya—Meira—yang datang menjenguk. Meira memeluk Karin dengan penuh kehangatan, tapi segera menyadari perubahannya.

“Gila… kamu beda banget ya,” gumam Meira sambil menatap Karin dari ujung rambut sampai sepatu.

“Beda gimana?” tanya Karin pelan.

“Dulu kamu nggak suka pakai jaket kulit. Dulu kamu paling anti warna hitam. Dulu kamu… ah, maaf. Aku lupa kamu sekarang udah bukan yang dulu.”

Karin tertawa kecil, hambar. “Iya. Aku juga lagi coba inget siapa aku, tapi malah makin bingung.”

Meira menatapnya lekat-lekat. “Ganta bikin kamu ngerasa harus jadi ‘Karin yang dulu’, ya?”

Karin tak menjawab. Tapi tatapannya cukup menjelaskan.


Di hari lain, saat Ganta pulang dari kantor, ia menemukan Karin sedang melukis. Bukan bunga, bukan danau, bukan langit senja seperti yang dulu. Tapi garis-garis abstrak dalam warna gelap dan tajam.

“Ini… lukisan?” tanya Ganta, bingung.

“Iya,” jawab Karin. “Aku nggak tahu kenapa, tapi akhir-akhir ini aku lebih suka melukis kayak gini.”

Ganta mencoba tersenyum. Tapi suaranya terdengar kaku saat berkata, “Dulu kamu lebih suka melukis alam.”

Dan lagi-lagi, Karin merasa ditolak oleh masa lalu yang terus menghantuinya.

Malam itu, ia menulis di buku harian baru. Bukan yang lama. Bukan yang penuh kenangan masa lalu. Tapi buku kosong yang belum ada isinya.

“Aku ingin belajar mencintai versi diriku yang sekarang. Tapi bisakah orang lain ikut mencintaiku saat aku bahkan belum mengenal diriku sendiri?”

Dan untuk pertama kalinya, ia tidur dengan perasaan sedikit lebih jujur… meski itu juga berarti sedikit lebih kesepian.

Bab 3: Versi Lama yang Terlalu Sempurna

Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai apartemen. Tapi bagi Karin, sinar itu tak terasa hangat. Ia duduk di meja makan dengan segelas teh yang sudah dingin. Ganta sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan seperti biasanya—tampak normal, tampak penuh cinta. Tapi Karin tahu, di antara potongan roti dan aroma telur goreng, ada jarak yang makin hari makin tak bisa ia jembatani.

“Pagi ini aku masakin omelet keju,” kata Ganta sambil menyajikan piring di hadapannya. “Kamu dulu suka banget sama ini. Bahkan tiap ulang tahun minta dibikinin, ingat gak?”

Karin tersenyum kecil. Bukan karena ingat, tapi karena merasa bersalah.
“Kayaknya… nggak.”
Jawaban itu membuat ekspresi Ganta sejenak berubah. Tapi ia segera mengangguk dan tertawa, mencoba mengabaikan kenyataan.

“Gapapa, nanti juga pelan-pelan balik lagi,” katanya optimis. Tapi di balik senyumnya, Karin bisa merasakan ada luka yang mulai mengering tapi terus dipaksa dibuka kembali.


Hari itu Ganta mengajaknya jalan ke toko buku langganan mereka. Ia menunjuk satu rak di pojok yang katanya dulu jadi tempat favorit Karin. “Kamu biasanya langsung nyari bagian puisi. Kamu suka puisi kan?”

Karin melangkah ke rak itu, menyentuh buku-buku berdebu. Ia membaca satu bait puisi di salah satu halaman, dan merasa… hampa. Dulu mungkin ia suka, tapi sekarang tak ada getar di dadanya saat membaca rima yang indah.

“Aku bisa bohongin kamu,” ucapnya pelan. “Bilang kalau aku suka. Tapi kenyataannya… aku bahkan nggak tahu puisi seperti apa yang aku suka sekarang.”

Ganta tampak kecewa, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyum dan kata, “Nggak apa-apa. Kamu cuma lagi butuh waktu.”

Tapi justru itu yang paling menyakitkan. Setiap kali Karin menunjukkan siapa dirinya yang sekarang, Ganta selalu menjawab dengan harapan bahwa semuanya akan “kembali seperti dulu.”


Malamnya, mereka menonton ulang video-video lama. Di salah satu video, terlihat Karin yang dulu—tertawa keras, memakai baju kuning cerah, menari tanpa peduli pada sekitar. Karin menatap layar lama sekali, merasa seperti sedang menonton aktris yang memerankan peran yang tidak bisa ia tiru.

“Kamu kelihatan bahagia banget di sini,” kata Ganta sambil tersenyum haru. “Aku kangen banget sama versi kamu yang ini.”

Karin hanya menatap layar. Lalu memalingkan wajahnya. “Ganta…”

“Iya?”

“Kalau aku nggak bisa jadi dia lagi… kamu masih bisa jatuh cinta sama aku yang sekarang?”

Pertanyaan itu menggantung lama di udara. Ganta tak langsung menjawab. Ia hanya menatap layar, lalu menunduk.

“Maaf,” katanya akhirnya. “Aku belum tahu.”

Dan bagi Karin, kalimat itu seperti pisau kecil yang menancap pelan tapi dalam.


Beberapa hari kemudian, Karin mencoba meniru gaya lamanya. Ia mengenakan baju kuning cerah seperti di video, mengecat kuku dengan warna favoritnya dulu, bahkan membuat playlist lagu-lagu lama yang katanya dulu sering ia putar.

Ganta terlihat senang, sangat senang. Ia bahkan memeluk Karin dan berkata, “Kamu mulai kembali… aku bisa ngerasain itu.”

Tapi setelah Ganta pergi bekerja, Karin langsung mencopot bajunya dan mengganti playlist. Ia duduk di lantai, memeluk diri sendiri, dan menangis tanpa suara.

Ia merasa seperti sedang memainkan peran yang bukan miliknya. Seolah-olah ia harus terus menjadi pemeran utama dalam naskah yang ditulis oleh versi lamanya.

“Aku hidup di panggung yang dibangun oleh bayangan. Dan setiap senyum yang aku berikan… hanya tiruan dari naskah lama.”


Hari itu, ia berjalan sendirian ke kafe kecil di ujung kota. Duduk di sudut yang sepi, ia memesan minuman baru—kopi hitam pahit dengan sedikit kayu manis. Rasanya aneh, tapi jujur. Karin menatap ke luar jendela dan untuk pertama kalinya merasa bebas, meski hanya sebentar.

Seorang pelayan muda menghampiri dan tersenyum. “Kamu sering ke sini?”

Karin menggeleng. “Baru pertama. Lagi nyari versi diri yang belum pernah kukenal.”

Pelayan itu tertawa kecil. “Kadang kita harus kehilangan arah dulu biar bisa nemuin jalan baru.”

Dan kalimat itu menghantam Karin lebih dalam dari yang ia kira.

Ia pulang malam itu tanpa membawa apa-apa, kecuali satu kesadaran: ia tak bisa terus jadi orang yang bukan dirinya.

Sebelum tidur, Karin menatap Ganta yang sudah tertidur lebih dulu. Lelaki itu terlihat damai. Tapi ada ketakutan yang menggantung di dada Karin.

Ketakutan bahwa ia sedang jatuh cinta sendirian—bukan pada Ganta yang di hadapannya, tapi pada mimpi tentang cinta yang seharusnya bisa menerima seluruh dirinya, yang lama maupun baru.

Dan malam itu, ia menulis satu kalimat di jurnal barunya:

“Jika mencintaiku berarti aku harus mati sebagai diriku sendiri… maka mungkin cinta itu bukan untukku.”


Bab 4: Cermin yang Tak Jujur

Pagi itu, Karin menatap bayangannya di cermin kamar mandi cukup lama. Wajah yang sama seperti yang ada di foto-foto kenangan itu… tapi ada sesuatu yang berbeda. Bukan karena goresan luka di pelipisnya yang mulai memudar, tapi karena sorot matanya. Dulu katanya matanya bersinar, sekarang… tampak kosong.

Ia mengangkat sikat gigi, lalu meletakkannya kembali. Mengangkat sisir, lalu menjatuhkannya. Ada yang mengganjal dalam dirinya, perasaan asing yang tak kunjung pergi: rasa seperti sedang menjalani hidup orang lain.

Ganta masuk beberapa menit kemudian, memeluknya dari belakang sambil mencium rambutnya.
“Kamu wangi banget pagi ini,” ucapnya lembut.
Karin memaksakan senyum di pantulan kaca. “Aku pakai parfum yang kamu bilang dulu kamu suka.”

Ganta tersenyum lebih lebar. “Aku kangen Karin yang suka nyemprot parfum berlebihan.”
Karin hanya membalas dengan tawa pelan. Tapi di dalam hatinya, suara kecil berbisik—aku bukan dia lagi… dan mungkin aku gak mau jadi dia lagi.


Hari-hari berikutnya, Karin semakin sering berdialog dengan dirinya sendiri. Dalam diam. Dalam cermin. Dalam ruang sunyi yang tak dijangkau siapa pun.

Ia mulai mencoba menulis—bukan puisi seperti dulu, tapi fragmen-fragmen isi hati yang berantakan. Ia menyadari, semakin ia mencoba menjadi “Karin yang dulu”, semakin kabur identitasnya. Ia merasa seperti aktor di atas panggung, dengan penonton setia yang hanya mau melihat satu karakter: versi lama dirinya.

Di suatu sore, saat hujan turun deras, Ganta memutar lagu-lagu lama yang dulu mereka sering dengarkan. Sambil memasak, ia bersenandung kecil, lalu berseru dari dapur,
“Rin! Ini lagu yang kamu paling suka! Kamu pasti masih hafal liriknya, kan?”

Karin terdiam. Ia mengenal nadanya, tapi tidak merasakan apapun.
“Maaf, aku gak ingat.”

Ganta hanya diam sejenak, lalu menjawab, “Nggak apa-apa. Nanti juga terbiasa lagi.”

Kata ‘nanti juga terbiasa lagi’ seolah menjadi mantra dalam hubungan mereka sekarang. Tapi yang tidak pernah Ganta sadari, setiap kali ia mengatakannya, itu seperti pengingat bahwa dirinya yang sekarang belum cukup. Belum pantas dicintai.


Satu malam, setelah Ganta tertidur lebih dulu, Karin berdiri di depan cermin dengan cahaya remang. Ia menyentuh wajahnya perlahan, seolah ingin memastikan bahwa ia nyata.

“Aku siapa?” bisiknya pada bayangan sendiri.
Air mata menetes, pelan, tanpa isakan. Ia mencoba tersenyum seperti di video lama, mencoba meniru gaya tertawanya, tapi rasanya semua palsu.

Ia merasa bersalah, tapi juga marah.
Bersalah karena tak bisa menjadi seperti dulu.
Marah karena tidak diberi ruang untuk berubah.


Keesokan harinya, Karin pergi sendiri ke danau kecil di luar kota. Ia pernah melihatnya di salah satu foto lama bersama Ganta. Tapi hari ini, ia ingin ke sana bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk mendengar pikirannya sendiri.

Ia duduk di tepi danau, membiarkan angin menerpa rambutnya. Membiarkan dirinya tak harus tersenyum. Tidak harus bicara. Tidak harus menyenangkan siapa pun.

Seorang nenek tua duduk tak jauh darinya. Mereka tak saling bicara, sampai akhirnya si nenek berkata,
“Kamu kelihatan bingung, Nak. Sedang cari arah?”

Karin hanya mengangguk.

“Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kadang kita gak perlu jadi seperti dulu… cukup jadi seperti hari ini saja.”

Kalimat itu sederhana, tapi masuk ke relung yang dalam. Karin menatap danau yang tenang, dan untuk pertama kalinya sejak kecelakaan, ia merasakan sedikit kedamaian.


Saat ia kembali ke rumah, Ganta menyambutnya dengan tatapan khawatir.
“Kamu kemana? Aku panik. Aku telponin kamu gak aktif.”

“Aku cuma… butuh waktu buat sendiri.”

Ganta menghela napas. “Kamu berubah banget sekarang.”

Karin menatap matanya. “Iya. Aku berubah. Dan… aku pikir kamu juga harus mulai belajar menerima itu.”

Ganta tidak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak menyangkalnya.


Malam itu, Karin kembali menulis di jurnal barunya. Kali ini tanpa ragu, tanpa mencoba meniru tulisan lamanya, tanpa kata-kata indah penuh metafora. Hanya satu paragraf yang ia tulis:

“Aku tak ingin menjadi versi yang disukai semua orang. Aku hanya ingin menjadi versi yang tidak lagi kuingkari saat menatap cermin.”

Bab 5: Surat dari Versi Lama

Hujan turun dengan tenang di luar jendela. Rintiknya jatuh perlahan di kaca apartemen, menciptakan pola acak yang tak pernah sama. Suara televisi menyala seperti biasa, tapi Karin tak memperhatikannya. Ia duduk bersila di lantai ruang tengah, membuka kotak kayu yang sebelumnya tak pernah ia sentuh. Kotak itu terletak di bagian paling bawah lemari, terselip di balik tumpukan buku lama dan kain tak terpakai.

Kotak itu milik “dirinya yang dulu”.

Ia tak tahu apa yang memicunya untuk membuka hari ini. Mungkin karena Ganta mulai semakin sering mengatakan, “Kamu hampir kembali seperti dulu.” Mungkin karena rasa penasaran. Atau mungkin, karena ia ingin tahu apa yang sebenarnya sedang ia perjuangkan selama ini—versi lamanya… atau dirinya yang sekarang?

Karin mengangkat beberapa benda dari dalam kotak: selembar tiket konser, kalung kecil berbentuk kunci, dan sebuah buku harian bersampul kulit cokelat. Ia menelusuri halaman demi halaman, hingga sampai pada sebuah surat yang terselip di tengahnya. Amplop putih, dengan tulisan tangan yang lembut:

Untuk Ganta,
Dari: Aku, Karin.

Tangannya gemetar saat membukanya. Di dalamnya, satu lembar surat yang ditulis dengan tinta biru, penuh coretan kecil dan hati di pinggirnya. Karin menelan ludah. Jantungnya berdegup pelan namun berat.


Isi Surat:

Ganta,

Kalau suatu hari aku lupa segalanya—lupa siapa kamu, siapa aku, lupa bagaimana kita bertemu, aku ingin kamu baca surat ini.

Karena di hari ini, saat aku menulis ini, aku sedang mencintaimu sepenuh-penuhnya.

Aku tahu hidup gak selalu indah. Mungkin nanti akan ada waktu di mana aku berubah. Tapi aku harap kamu tahu, aku memilih kamu bukan karena kita sempurna. Tapi karena bersamamu, aku berani jadi aku sendiri.

Kalau versi aku yang dulu hilang, dan kamu hanya mencintai aku yang itu…
Maka lepaskan aku.

Aku gak mau kamu terus menuntut diriku yang baru untuk jadi versi yang sudah mati.
Aku gak mau kamu jatuh cinta pada hantu.

Cintai aku… atau biarkan aku pergi.

Dengan seluruh hatiku,
Karin.


Karin menggenggam surat itu erat. Rasanya seperti membaca surat dari hantu—hantu dari dirinya sendiri. Tapi yang paling menyakitkan… isi surat itu justru lebih jujur dari perasaannya saat ini.

Ia menyadari sesuatu: dirinya yang dulu tahu bahwa cinta sejati tak boleh datang dari paksaan. Bahkan dirinya yang dulu tidak ingin dicintai hanya karena kenangan.

Karin menangis pelan. Tapi bukan karena sedih. Lebih karena lega. Ia tak perlu lagi merasa bersalah karena berubah. Ia tak perlu lagi merasa jahat karena tak bisa menjadi seperti dulu. Karena bahkan “Karin yang dulu” pun ingin dirinya dicintai sebagaimana adanya.


Sore itu, saat Ganta pulang, Karin memberinya surat itu. Tanpa banyak bicara. Hanya dengan tatapan penuh keberanian.

“Aku nemu ini,” katanya pelan.

Ganta membaca surat itu di meja makan. Lama. Hening. Tak ada suara selain detik jam dinding yang mengiringi detak jantung mereka berdua.

Setelah selesai, ia memandang Karin. Matanya merah, tapi bukan marah. Lebih seperti… hancur perlahan.

“Aku… nggak tahu harus bilang apa,” katanya akhirnya. “Aku kira, dengan terus mengingat kamu yang dulu, aku bisa memperbaiki semua ini.”

Karin mengangguk pelan. “Tapi aku bukan dia lagi, Gan.”

Ganta menutup matanya. “Aku takut kehilangan kamu.”

“Aku juga takut kehilangan diriku sendiri.”


Malam itu, mereka tak banyak bicara. Hanya duduk berdampingan, masing-masing larut dalam pikirannya. Tapi suasananya tak lagi penuh tekanan. Tidak ada lagi kepura-puraan.

Mereka tahu, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu… kebenaran akhirnya dibuka: bahwa mungkin cinta mereka masih ada, tapi tidak dalam bentuk yang sama seperti dulu.

Dan di antara sunyi, Karin berkata lirih,

“Kalau kamu masih ingin bersamaku, cintailah aku yang sekarang… bukan yang kamu kenang.”

Bab 6: Panggung Sandiwara Bernama Cinta

Karin berdiri di depan lemari pakaian, memandangi deretan baju yang begitu asing tapi entah kenapa ia pakai setiap hari. Rok-rok bermotif bunga, blus warna pastel, cardigan halus yang lembut di kulit. Semuanya adalah “kostum” dari versi dirinya yang dulu.

Ia meraih satu baju berwarna biru muda—katanya, ini yang dulu dipakai saat Ganta melamarnya di bawah cahaya lentera taman kota.
Dulu, mungkin ini penuh makna. Sekarang, hanya selembar kain.

Karin mencoba memakainya pagi itu. Mematut dirinya di depan cermin. Menata rambut seperti gaya lama. Memoleskan lipstik yang dulu jadi andalan.
Lalu ia keluar kamar dan melihat Ganta di ruang tengah.

Matanya langsung berbinar. “Rin… kamu kelihatan cantik banget. Kamu… kamu seperti dulu lagi.”

Karin tersenyum. Tapi dalam senyumnya ada rasa sakit yang begitu halus.
Ia duduk di seberang meja makan, mencoba berbasa-basi soal film, cuaca, apapun. Dan Ganta terlihat begitu bahagia hari itu. Terlalu bahagia—seolah Karin telah kembali dari kematian.

Tapi yang Ganta tak tahu, Karin sedang berpura-pura.
Menjalankan naskah.
Menjadi tokoh utama dalam drama yang ia sendiri tak pernah pilih.


Di malam hari, setelah Ganta tertidur lebih dulu, Karin membuka catatan di ponselnya. Ia menulis:

“Hari ini aku tampil sebagai versi yang ia rindukan. Aku tersenyum, bercanda, dan bicara tentang hal-hal yang dulu kusukai. Tapi setiap detik berlalu, aku merasa semakin hampa. Karena aku tahu, yang dia peluk tadi malam… bukan aku.”


Keesokan harinya, Ganta mengajaknya makan malam di restoran yang dulu sering mereka datangi. Pelayan bahkan masih mengingat nama mereka. “Pasangan puisi senja,” begitu mereka dulu dijuluki.

Di atas meja, Ganta membacakan puisi yang dulu ia tulis untuk Karin.

“Jika dunia berubah warna, aku tetap akan mengenalmu… dari caramu menatap dan diam.”

Orang-orang di sekitar bertepuk tangan kecil, tersenyum melihat keromantisan mereka. Tapi hanya Karin yang tahu, detik itu adalah momen di mana hatinya benar-benar retak.

Bukan karena puisinya jelek. Tapi karena ia tahu: bukan dirinya yang sedang dipuja. Itu adalah kenangan. Itu adalah sosok masa lalu yang tak bisa ia hidupi lagi.


Setelah malam itu, Karin mulai menarik diri sedikit demi sedikit. Ia bangun lebih siang, tak lagi berdandan seperti biasa. Ia mulai membaca buku-buku baru, menggambar dengan gaya berbeda, bahkan mendengarkan musik elektronik keras di kamar.

Dan Ganta mulai merasa ada yang salah.

“Rin, kamu kenapa akhir-akhir ini?”
“Aku cuma… capek.”
“Kamu nggak suka lagi ya sama kita?”

Karin diam cukup lama. Lalu menjawab, “Aku ngerasa hidup dalam cerita yang bukan milikku, Gan.”

Ganta menatapnya. “Maksud kamu?”

“Aku terus jadi karakter yang kamu rindukan. Aku ketawa saat harusnya pengen nangis. Aku ngomongin hal-hal yang bahkan nggak aku peduliin. Aku hidup di panggung… dan kamu adalah satu-satunya penontonnya.”


Pertengkaran pertama mereka pecah malam itu.
Ganta tak terima. “Jadi semua yang kamu lakukan… cuma pura-pura?”
Karin menunduk. “Aku nggak mau nyakitin kamu.”
“Tapi kamu malah ninggalin aku dalam kebohongan,” jawab Ganta, suaranya retak.

Karin berdiri. Ia menahan air mata yang siap tumpah.
“Lebih baik sakit karena kejujuran… daripada terus bahagia dalam sandiwara.”

Dan malam itu, mereka tidur membelakangi satu sama lain. Sunyi. Dingin. Jauh.

Keesokan paginya, Karin berkemas. Bukan karena marah. Tapi karena sadar bahwa bertahan di rumah itu, di dalam peran yang bukan miliknya, hanya akan membunuh dirinya sedikit demi sedikit.

Ganta mencoba menahan. Tapi Karin memeluknya dan berkata pelan,
“Kalau kamu cinta aku… biarkan aku mencintai diriku juga.”

Ia pergi bukan untuk melupakan. Tapi untuk kembali menjadi seseorang yang bisa benar-benar dicintai—bukan karena masa lalu, tapi karena keberadaannya hari ini.



“Cinta yang sejati tak menuntut peran, tapi menerima setiap babak—termasuk perubahan.”

Bab 7: Aku Ingin Dicintai Karena Diriku, Bukan Kenanganku

Langit sore itu sendu, seolah tahu bahwa ada hati yang baru saja melepaskan sesuatu yang sangat dicintai. Karin berdiri di depan penginapan kecil di pinggir kota. Bangunannya tua, jauh dari mewah, tapi cukup tenang untuk dirinya yang butuh ruang bernapas.

Ia menyeret koper masuk, menghela napas panjang. Tidak ada Ganta di sana. Tidak ada foto-foto di dinding. Tidak ada wewangian parfum yang mengingatkannya pada masa lalu. Hanya suara angin dan detak jantungnya sendiri.

Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, Karin tidur tanpa tangisan. Hatinya masih perih, tapi anehnya… lebih damai.


Keesokan harinya, Karin berjalan ke taman dekat penginapan, membawa buku catatan kosong. Ia duduk di bangku tua di bawah pohon besar. Di sekitarnya, orang-orang tertawa, bermain, dan hidup tanpa tahu bahwa seseorang di sana sedang belajar mengenal ulang siapa dirinya.

Ia menulis:

“Hari ini aku ingin belajar mencintai kopi pahit, warna hitam, dan musik yang tak pernah kusukai dulu. Bukan karena ingin berbeda, tapi karena aku ingin tahu—apa yang sebenarnya aku suka… bukan yang dikatakan orang dulu aku suka.”

Setiap hari, Karin mencatat satu hal yang ia rasakan. Tidak selalu indah. Kadang hampa. Kadang gelisah. Tapi semuanya jujur. Dan bagi Karin, kejujuran itu jauh lebih berharga dari semua kepura-puraan yang pernah ia pakai untuk menyenangkan orang lain.


Suatu malam, saat hujan turun, Karin berjalan sendirian tanpa payung. Ia membiarkan hujan membasahi tubuhnya, membiarkan dingin menyentuh kulitnya, dan hatinya yang selama ini tertutup perlahan mulai terbuka. Ia tertawa kecil saat menengadah ke langit.

Tak ada yang menyuruhnya pulang. Tak ada yang bertanya, “Karin yang dulu gak gitu, deh.”

Ia bisa menjadi siapa pun, bahkan kalau ia mau—tak menjadi siapa-siapa.


Beberapa minggu kemudian, Ganta menghubunginya. Awalnya hanya pesan singkat.
“Kamu baik-baik aja?”
Karin membaca pesan itu lama sekali. Lalu membalas:
“Aku belajar jadi baik. Belajar mencintai hidupku, bukan sekadar mempertahankan yang pernah kita punya.”

Ganta tak langsung membalas. Tapi seminggu kemudian, ia muncul di taman tempat mereka pertama kali bertemu—tempat yang Karin kunjungi lagi karena ia penasaran apakah tempat itu akan terasa berbeda sekarang.

Dan ya, tempat itu tak lagi punya getaran yang sama. Tapi Karin duduk di sana dengan tenang, kali ini sebagai seseorang yang tidak sedang mencari versi lamanya.

Ganta datang dengan raut wajah yang tak lagi berharap. Ia duduk di samping Karin, tidak memeluk, tidak mencoba menggenggam. Hanya menatap lurus ke danau di depan mereka.

“Aku pikir kalau aku cukup keras berusaha, kamu bakal kembali jadi yang dulu,” katanya pelan.

Karin tersenyum samar. “Dan aku pikir kalau aku cukup keras berusaha, kamu bisa mencintai aku yang sekarang.”

Hening menyelimuti mereka. Tapi tidak canggung. Tidak menekan.

“Aku salah,” lanjut Ganta. “Aku jatuh cinta sama kenangan, bukan sama kamu yang sedang duduk di sebelahku sekarang. Dan aku… minta maaf untuk itu.”

Karin menatapnya. Tatapannya lembut, tapi penuh ketegasan.

“Aku gak butuh kamu jatuh cinta sama aku lagi, Gan. Tapi kalau suatu hari kamu melihat aku yang sekarang—dengan semua luka, semua perubahan, semua hal yang gak kamu kenal—dan kamu tetap ingin berjalan di sampingku, bukan untuk mengubahku, tapi untuk mengenalku… maka mungkin, kita bisa mulai dari awal.”

Ganta mengangguk. “Bukan kembali… tapi mulai lagi.”

Karin mengangguk. “Iya. Kalau memang masih ada ‘kita’, maka ‘kita’ yang baru. Bukan hantu masa lalu.”

Malam itu, Karin kembali ke penginapan dengan langkah ringan. Bukan karena ia akan kembali pada Ganta. Tapi karena ia tak lagi menyesal pergi.

Ia menyadari, mencintai seseorang bukan tentang menjaga kenangan tetap hidup, tapi memberi ruang untuk tumbuh, berubah, dan tetap tinggal meski bentuknya berbeda.

Dan kini, ia tahu…

“Aku layak dicintai, bukan karena siapa aku di masa lalu, tapi karena siapa aku hari ini—dengan segala kekuranganku.”

Bab 8: Aku Pergi Bukan Karena Tak Cinta

Karin berdiri di depan cermin kecil di penginapannya, kali ini bukan untuk mencari wajah lamanya—tapi untuk melihat wanita yang kini berdiri di hadapannya: lebih tenang, lebih jujur, dan lebih berani. Ada luka yang belum sembuh, tapi tidak lagi menganga. Ada cinta yang belum mati, tapi tak lagi membuatnya menggenggam terlalu erat.

Hari itu, ia berniat kembali ke apartemen hanya untuk mengambil barang-barang pribadinya yang tertinggal. Beberapa buku, lukisan, dan… satu pot kecil tanaman yang dulu ia rawat bersama Ganta.

Bukan untuk kembali. Tapi untuk pamit dengan layak.


Ganta membuka pintu dengan mata yang tampak lelah. Ia tak berkata apa-apa, hanya mempersilakan Karin masuk. Di dalam, semua masih sama. Sofa abu-abu di tempat semula. Rak buku dengan susunan yang tak berubah. Tapi suasananya sudah tak lagi hangat.

Karin memungut satu buku catatannya yang dulu. Ia membukanya. Ada gambar bunga lavender di salah satu halamannya, digambar dengan pensil warna yang nyaris pudar. Gambar itu tak membuatnya tersenyum… tapi juga tidak menyakitkan. Hanya kenangan.

“Lucu ya,” gumamnya. “Dulu aku pikir aku gak bisa hidup tanpa tempat ini.”

Ganta berdiri di ambang pintu kamar, menatapnya. “Dan sekarang?”

Karin menoleh. “Sekarang aku tahu… aku gak bisa hidup tanpa jadi diriku sendiri.”


Mereka duduk bersama di ruang tamu. Tak banyak kata. Tak ada air mata. Hanya dua orang yang pernah saling mencintai, dan sedang belajar melepaskan tanpa saling menyakiti lebih dalam.

“Aku masih sayang kamu, Rin,” kata Ganta akhirnya, pelan. “Tapi aku sadar… aku terlalu sibuk merindukan kamu yang dulu, sampai gak ngeliat kamu yang sekarang berdiri di depan mataku.”

Karin menarik napas dalam-dalam. “Aku juga masih sayang kamu. Tapi sayangnya… rasa sayang aja gak cukup buat bikin aku mau kehilangan diri sendiri.”

Ganta menunduk. “Kalau aku minta kesempatan buat kenal kamu lagi, mulai dari awal… kamu bakal mau?”

Karin memandangi wajahnya lama sekali. Di matanya, ada cinta yang dulu membuatnya jatuh. Tapi juga ada ketakutan. Bukan karena benci, tapi karena tahu… terkadang, melepaskan lebih tulus daripada memaksa bertahan.

“Aku mau kenal diriku sendiri dulu, Gan. Mungkin suatu hari nanti, kalau semesta mempertemukan kita lagi—bukan sebagai bayangan masa lalu, tapi sebagai dua orang yang baru, yang bisa saling menerima… ya, mungkin saat itu aku bakal bilang iya.”

Ia bangkit, memungut tasnya, memeluk Ganta sekali lagi. Bukan pelukan perpisahan penuh kebencian. Tapi pelukan yang berkata: terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku, meski akhirnya kita harus berjalan ke arah yang berbeda.

Ganta menggenggam tangannya sejenak, lalu melepaskannya pelan. “Jaga diri, Rin.”
Karin tersenyum. “Kamu juga.”


Di perjalanan pulang, hujan turun lagi. Tapi kali ini Karin tidak menangis. Ia membuka jendela taksi, membiarkan angin basah menyentuh wajahnya. Rasanya dingin, tapi juga segar.

Ada ruang kosong di hatinya, tapi bukan karena kehilangan. Melainkan karena ia telah membuang beban yang selama ini membuatnya sesak.

Dan di dalam jurnal barunya, ia menulis:

“Aku pergi bukan karena tak cinta. Tapi karena aku terlalu mencintai diriku sendiri untuk terus berpura-pura.”

Bab 9: Menemukan Karin

Sudah dua bulan sejak Karin meninggalkan apartemen tempat ia dulu tinggal bersama Ganta. Dalam dua bulan itu, ia belajar berjalan sendirian lagi. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin—melangkah perlahan menuju versi dirinya yang selama ini tersembunyi di balik tuntutan dan kenangan.

Kini ia tinggal di sebuah kamar kecil di lantai dua rumah kost yang penuh dengan mahasiswa dan pekerja lepas. Tempatnya tidak mewah, tapi terasa cukup. Ia menghias dinding dengan karya seni abstrak hasil coretan-coretannya sendiri, mengganti playlist musiknya menjadi campuran aneh antara jazz dan lo-fi, dan mulai menulis blog anonim berisi catatan harian jujur tentang proses menyembuhkan diri.

Tak ada yang tahu ia pernah mengalami kecelakaan. Tak ada yang bertanya kenapa ia sering termenung. Tak ada yang memintanya menjadi versi siapapun.

Dan untuk pertama kalinya… Karin merasa bebas.


Suatu pagi, ia duduk di kedai kopi kecil, tempat ia sering menulis. Ia mengenakan hoodie hitam favoritnya dan headphone besar di telinganya. Ia sedang membuat catatan pendek di laptopnya saat seorang barista baru datang menyapa.

“Mbak Karin, ya? Saya suka tulisan-tulisan di blog ‘Sisa Diri’ itu. Tulisan tentang ketakutan jadi orang yang gak dikenal sendiri tuh… ngena banget.”

Karin tertegun sejenak. Ia belum pernah bicara soal blog itu kepada siapa pun.
“Kamu baca?”
Barista itu tersenyum. “Setiap hari. Saya juga lagi nyari diri saya sendiri.”

Karin tersenyum kecil. Ada kenyamanan aneh dalam disadari bukan karena siapa dia dulu… tapi karena apa yang ia tulis hari ini.


Hari-hari berikutnya, ia mulai berani lebih banyak hal. Ia mendaftar kelas melukis di akhir pekan, bukan untuk menjadi seniman seperti dulu, tapi untuk melatih kejujuran visualnya. Lukisan-lukisannya tak lagi rapi atau manis, melainkan penuh warna, kontras, dan perasaan mentah.

Ia juga menghapus banyak foto lama di ponselnya. Bukan karena ingin melupakan, tapi karena ingin memberi ruang untuk hal-hal baru.


Suatu malam, ia duduk di atap rumah kost bersama penghuni lainnya. Mereka bicara tentang hal remeh—film, makanan, cuaca yang makin sulit ditebak. Seseorang bertanya padanya, “Karin, kamu itu sebenernya siapa sih? Dulu kerja apa?”

Dan Karin hanya menjawab, “Aku dulu banyak berpura-pura. Tapi sekarang… aku cuma mau jadi aku. Itu aja cukup.”

Mereka tertawa, lalu menertawakan hidup masing-masing. Tak ada yang menuntut lebih.


Di dalam kamar, sebelum tidur, Karin menatap dirinya di cermin kecil yang menempel di lemari. Kali ini, ia tidak mencari kesamaan dengan foto lama. Tidak mencari ‘yang hilang’.

Ia hanya melihat matanya. Sorot yang kini lebih jernih. Ada luka. Ada bekas air mata. Tapi juga ada ketenangan.

Ia menyalakan lampu tidur, membuka buku catatannya, dan menulis:

“Ternyata, menemukan diri sendiri bukan soal pergi jauh, tapi soal berhenti menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain. Aku tak perlu jadi dia. Aku cukup jadi aku… dan itu sudah cukup indah.”


Di halaman terakhir catatannya malam itu, ia menulis satu kalimat yang membuat hatinya bergetar, pelan tapi dalam:

“Aku mungkin kehilangan versi lamaku… tapi aku tak pernah benar-benar kehilangan diriku.”


Bab 10: Cinta yang Tak Harus Dimiliki

Senja turun pelan di kota itu. Cahaya oranye menyapu atap-atap rumah, menyusup di antara jendela-jendela dan menyapa wajah Karin yang duduk di taman kota dengan secangkir kopi hangat di tangan.

Ia tidak sedang menunggu siapa-siapa. Tidak juga melarikan diri dari apa pun. Hari itu hanya terasa pas untuk duduk, diam, dan menikmati sunyi.

Sudah tiga bulan sejak ia meninggalkan Ganta. Waktu terasa berjalan lambat, tapi juga cukup untuk menata ulang seluruh serpihan hidup yang pernah berserakan. Karin sudah tidak lagi menyesali kepergiannya. Tidak lagi bertanya-tanya: “Kalau aku tetap tinggal, akankah semuanya baik-baik saja?”

Ia tahu jawabannya: tidak.

Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Karin sadar—cinta yang sehat bukan tentang bertahan sekuat tenaga, tapi tentang memberi ruang untuk tumbuh… meski harus tumbuh di tempat yang berbeda.


Hari itu, Ganta mengirim pesan.
“Aku di kota. Boleh ketemu sebentar?”

Karin menatap layar ponselnya lama sekali. Jemarinya hampir menolak mengetik balasan. Tapi kemudian, dengan hati yang tak lagi bergetar karena trauma atau rindu, ia membalas:
“Datanglah ke taman. Aku di sini.”


Ganta tiba tak lama setelahnya. Rambutnya sedikit lebih panjang. Ia tampak lebih kurus, tapi juga lebih tenang. Mereka duduk berdampingan, tidak terlalu dekat, tapi tidak jauh juga.

“Hai,” ucap Ganta.
“Hai,” balas Karin.

Mereka diam. Tak ada pelukan, tak ada air mata seperti dulu. Hanya dua orang yang pernah saling mencintai, kini saling menatap dengan versi baru dari diri masing-masing.

“Aku udah baca semua isi surat kamu ulang-ulang,” kata Ganta perlahan. “Dan aku sadar… aku memang terlalu sibuk memaksa kamu jadi dia.”

Karin mengangguk. “Dan aku terlalu sibuk berusaha nyenengin kamu sampai lupa caranya nyenengin diri sendiri.”

Ganta menoleh. “Tapi sekarang kamu kelihatan damai.”
“Aku belajar,” jawab Karin. “Bahwa rasa sakit gak akan hilang kalau aku terus berharap bisa jadi orang yang bukan aku.”

Mereka tertawa kecil. Datar, tapi hangat.

“Aku masih sayang sama kamu, Rin,” kata Ganta tiba-tiba. “Tapi sekarang… aku sadar rasa sayang itu gak harus diikat, gak harus dimiliki. Kadang cukup disimpan, dan dijaga dalam hati.”

Karin menatapnya. Ada air bening di ujung matanya, tapi ia tak menangis.

“Aku juga masih sayang kamu, Gan,” katanya pelan. “Tapi kita bukan dua potongan puzzle yang cocok lagi. Kita pernah cocok. Kita pernah saling isi. Tapi sekarang… kita bukan bagian dari gambar yang sama.”

Mereka saling tersenyum. Tanpa janji, tanpa kata-kata ‘nanti’ atau ‘semoga’. Karena mereka tahu, tidak semua cinta harus bertahan untuk disebut cinta yang indah.

Kadang, cinta yang paling tulus adalah yang tahu kapan harus dilepaskan.


Saat Karin berjalan pulang sore itu, langkahnya terasa ringan. Ia tidak lagi menoleh ke belakang. Tidak lagi membayangkan skenario ‘andai’.

Ia tahu… dirinya yang sekarang layak untuk dicintai, bukan karena siapa dia dulu, tapi karena keberaniannya untuk terus memilih menjadi utuh—meski harus sendiri.

Dan malam itu, ia menulis di catatan terakhir dalam jurnalnya:

“Aku mencintaimu. Tapi lebih dari itu, aku mencintai diriku yang sekarang. Dan itu cukup. Itu… sudah lebih dari cukup.”


TAMAT

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *