Di masa depan yang kelam, seluruh warna di dunia menghilang akibat kutukan kuno: warna hanya akan kembali jika manusia berhenti saling menyakiti. Dunia menjadi abu-abu, dan harapan tampak sirna.
Namun, Lira, seorang pelukis buta yang tinggal di panti asuhan, mampu menciptakan lukisan penuh warna meski tak pernah melihatnya. Kemampuannya menarik perhatian Iven, seorang pemuda yatim piatu yang bekerja sebagai kurir barang antarkota. Iven meyakini bahwa kunci untuk mengembalikan warna dunia ada pada Lira.
Bersama, mereka memulai perjalanan melintasi kota-kota kelabu, mencari pecahan palet warna yang tersembunyi di tempat-tempat penuh luka, perasaan, dan cinta. Setiap warna yang mereka temukan membawa mereka lebih dekat ke kebenaran, namun juga menguras kekuatan Lira.
Bab 1: Dunia Tanpa Pelangi
Langit tak lagi biru. Laut tak lagi biru. Bahkan darah pun kehilangan merahnya.
Semuanya jadi abu-abu—kering, pucat, dan terasa seperti lukisan yang tak pernah selesai. Sudah hampir dua dekade sejak warna terakhir menghilang. Mereka bilang itu kutukan kuno. Konon, dunia akan kehilangan warnanya selama manusia masih saling menyakiti. Dan sampai hari ini, luka itu belum sembuh.
Di sudut kota paling sunyi, tepatnya di Distrik Alaya, Iven hidup sendirian. Lelaki dua puluh satu tahun itu terbiasa melihat dunia dalam gradasi kelabu. Ia yatim piatu, tumbuh di panti asuhan bersama anak-anak yang senyumnya pun terlihat seperti bayangan samar. Tidak ada yang benar-benar cerah. Bahkan tawa pun terdengar seperti gema kosong.
Namun hari itu berbeda.
Saat Iven sedang mencari barang bekas di lorong-lorong tua, ia menemukan sebuah bangunan kecil dengan pintu kayu setengah lapuk. Di atasnya tertulis huruf timbul yang hampir tak terbaca: “Galeri Cahaya.”
Aneh, pikirnya. Siapa yang masih berani menyebut “cahaya” di zaman begini?
Didorong rasa penasaran, Iven mendorong pintu itu. Terdengar suara derit khas kayu tua yang belum disentuh manusia selama bertahun-tahun. Debu bertebaran di udara seperti salju kelabu. Tapi yang membuatnya tercekat bukan suasananya, melainkan lukisan-lukisan di dalamnya.
Berwarna.
Merah. Kuning. Biru. Hijau. Ungu. Jingga. Warna-warna yang selama ini hanya ada di dongeng.
“Mustahil…” bisik Iven. Ia mendekat ke salah satu lukisan: pemandangan matahari terbenam di pantai. Ombaknya bergelombang dalam semburat jingga yang menakjubkan. Ia bahkan merasa bisa mencium aroma asin laut hanya dari melihatnya.
Siapa yang melukis ini?
Di pojok ruangan, Iven melihat tumpukan kanvas yang belum dipajang. Ia membalik satu per satu, dan semuanya—semuanya—penuh warna.
Dan di tengah galeri itu, duduk seorang gadis. Rambutnya panjang, ikal, dibiarkan berantakan seperti tak pernah tersentuh sisir. Ia duduk di depan kanvas kosong sambil memegang kuas. Matanya… tertutup.
Bukan karena mengantuk. Tapi karena… ia memang buta.
“Kamu yang melukis semua ini?” tanya Iven, suaranya gemetar.
Gadis itu mengangkat kepalanya pelan, mengarahkan wajah ke suara. “Siapa kamu?”
“Aku Iven. Aku… cuma lewat. Tapi—lukisan ini, warna ini—kamu bisa melihat?”
Gadis itu menggeleng. “Aku buta sejak lahir.”
Iven menahan napas. “Lalu… bagaimana kau tahu warna-warna ini?”
“Aku tidak tahu,” jawabnya ringan. “Tapi aku bisa mendengarnya.”
Hening.
Iven merasa kepalanya seperti akan meledak. “Apa maksudmu… mendengar warna?”
Gadis itu tersenyum kecil, lalu menyentuh kanvas kosong di depannya. “Setiap warna punya suara. Merah seperti teriakan. Biru seperti bisikan panjang. Hijau seperti helaan napas dalam. Aku hanya melukis apa yang mereka katakan padaku.”
Dan saat itulah Iven tahu: dunia mungkin sudah menyerah pada warna. Tapi tidak gadis ini.
“Apa namamu?” tanyanya, setengah berbisik.
“Lira.”
“Lira… apakah kau tahu bahwa lukisanmu satu-satunya hal berwarna di dunia ini?”
Lira menunduk. “Aku tidak tahu pasti. Tapi beberapa orang datang ke sini dulu. Mereka menangis saat melihat lukisanku. Lalu pergi.”
“Kenapa kau tidak pergi dari sini?”
“Karena warnaku tak bisa jalan-jalan,” jawabnya ringan, lalu tertawa kecil. “Lagipula, aku tidak tahu jalan.”
Iven mengangguk pelan. Dunia sudah lama kehilangan harapan, tapi untuk pertama kalinya… dia merasa melihatnya lagi dalam bentuk gadis buta bernama Lira.
“Aku ingin membawamu keluar dari sini.”
Lira terdiam. “Untuk apa?”
“Aku pikir… kunci mengembalikan warna dunia… ada padamu.”
Lira tertawa pelan, seperti tak percaya. “Aku? Aku cuma pelukis buta.”
“Justru karena itu,” kata Iven sambil mendekat. “Karena kau satu-satunya yang bisa melihat sesuatu yang tak bisa kami lihat lagi.”
Lira memutar wajahnya ke arah suara Iven. “Kalau aku ikut, kamu harus janji satu hal.”
“Apa?”
“Kalau di tengah perjalanan, aku kehilangan semua suara warna itu… kamu harus lukis dunia untukku.”
Iven menelan ludah. “Aku bahkan gak bisa gambar batang pohon.”
Lira tersenyum. “Berarti kau harus belajar.”
Dan saat itulah untuk pertama kalinya sejak Iven lahir ia merasa hatinya berguncang.
Bukan karena warna-warna yang kembali.
Tapi karena gadis buta di hadapannya sedang mengajarinya melihat dunia… dengan cara yang berbeda.
Bab 2: Pelukis yang Tak Pernah Melihat
Matahari terbit seperti biasanya—tak bersinar. Dunia tetap kelabu, langit tetap kusam, dan angin tetap dingin tanpa warna. Tapi pagi itu terasa berbeda bagi Iven. Ia tidak lagi sendiri. Di sampingnya kini ada Lira, gadis buta yang bisa mendengar warna dan melukis apa yang tak bisa dilihat orang lain.
Mereka berjalan menyusuri trotoar retak, membawa kanvas kecil di punggung Iven dan tas berisi kuas yang dijaga Lira seperti harta karun. Wajah Lira menghadap ke depan, tapi matanya tertutup. Ia menggandeng Iven dengan ringan, seolah tak takut melangkah ke dunia asing.
“Jadi… ke mana kita?” tanya Lira, sambil menunduk sedikit, mencoba mendengar suara-suara di sekitarnya.
“Aku dengar tentang Kota Vayra,” jawab Iven. “Dulu pusat konflik terbesar sebelum dunia kehilangan warna. Tempat pertama yang dilupakan.”
Lira mengangguk. “Tempat pertama luka itu dimulai… mungkin warna pertamanya ada di sana.”
“Merah?”
“Merah,” bisik Lira. “Warna luka.”
Perjalanan ke Vayra bukan hal mudah. Mereka harus menumpang kendaraan tua, melintasi jembatan yang hampir roboh, dan tidur di dalam rumah-rumah kosong. Di setiap tempat, Iven menjaga Lira dengan sabar. Anehnya, meski tak bisa melihat, Lira seakan tahu arah mereka lebih baik daripada peta.
“Kamu seperti kompas,” gumam Iven sambil tersenyum.
“Bukan. Aku cuma mengikuti suara,” jawab Lira ringan.
“Suara siapa?”
Lira diam sejenak. “Aku gak yakin… Tapi rasanya seperti bisikan yang lembut. Kadang mereka menyebut namaku. Kadang mereka hanya bernyanyi.”
Tiga hari kemudian, mereka tiba di reruntuhan Kota Vayra. Dinding-dinding bangunan penuh peluru. Jendela-jendela pecah seperti mata yang tak bisa menangis lagi. Kota itu sunyi, terlalu sunyi untuk ukuran tempat yang dulunya penuh jeritan.
Saat mereka melangkah di jalan utama, Lira berhenti. Tubuhnya kaku.
“Ada yang salah?” tanya Iven cepat.
Lira tak menjawab. Ia perlahan melepas sandalnya dan menapakkan telapak kakinya ke tanah.
“Aku mendengar sesuatu…”
Iven menelan ludah. “Apa itu?”
“Jeritan.”
Dan seketika, Lira jatuh berlutut. Tangan kanannya memegang dada, sementara tangan kirinya menggenggam tanah keras yang retak. Iven panik, tapi sebelum sempat menyentuhnya, Lira berkata lirih, “Jangan. Biarkan aku… mendengarnya.”
Udara di sekitar mereka tiba-tiba menjadi berat.
Lira mulai bicara sendiri, seperti kerasukan.
“Merah… merah seperti teriakan ibu yang kehilangan anaknya…”
“Merah seperti darah di dinding yang tidak pernah dibersihkan…”
“Merah seperti amarah yang tidak pernah disampaikan…”
Tangan Lira bergerak dengan sendirinya, mengambil kuas dari tasnya dan mulai melukis di atas kanvas kosong yang dibawa Iven. Matanya tetap tertutup, tapi gerakannya seperti dituntun sesuatu. Iven hanya bisa diam dan menyaksikan.
Dalam waktu sepuluh menit, lukisan itu selesai.
Lira menjatuhkan kuasnya, napasnya tersengal. “Jangan bilang… warnanya merah.”
Iven mengangguk, matanya membelalak. Lukisan itu menggambarkan wajah seorang wanita yang menjerit dalam diam, dengan latar merah membara, seperti api yang tak terlihat tapi terasa membakar.
“Iya… merahnya… seperti darah dan matahari tenggelam sekaligus,” bisik Iven.
Lira tersenyum tipis. “Berarti aku berhasil menangkap warna luka…”
Tiba-tiba, terdengar bunyi denting di kejauhan. Seperti rantai yang lepas.
Dan saat mereka menoleh, di atas reruntuhan tembok tua, muncul percikan kecil cahaya merah. Hanya sesaat. Tapi cukup untuk membuat dunia sekitar mereka tampak sedikit lebih hidup.
“Lira… kamu lihat itu?” tanya Iven, setengah berteriak karena gugup dan kagum bercampur.
“Aku tidak bisa melihat… tapi aku bisa merasakannya.”
Mereka berdua terdiam. Untuk pertama kalinya sejak warna menghilang, dunia memperlihatkan tanda ia belum sepenuhnya mati.
Tapi belum sempat mereka merayakan apa pun, Lira mengerang pelan sambil memegang kepalanya. Tubuhnya gemetar.
“Ada yang datang,” bisiknya.
“Siapa?”
“Bukan siapa. Tapi sesuatu…”
Lalu ia jatuh pingsan di pelukan Iven.
Malam itu, Iven menjaga Lira di sebuah bangunan tua. Api kecil menyala di tengah ruangan, dan lukisan merah diletakkan di dinding seperti pelindung.
Lira belum sadar. Tapi wajahnya tenang.
Iven menatap lukisan itu lama. Di balik rasa takut dan bingung, tumbuh rasa kagum yang tak bisa ia jelaskan. Lira bukan hanya pelukis. Ia seperti… jembatan antara dunia lama dan yang baru.
Dan di sanubarinya, Iven mulai takut akan satu hal:
Bagaimana kalau semakin banyak warna yang Lira lukis, semakin banyak pula dirinya yang hilang?
Bab 3: Warna Pertama—Merah Luka
Lira terbangun dengan napas memburu. Udara malam terasa dingin, tapi tubuhnya justru basah oleh keringat. Suara-suara itu masih bergema samar di telinganya—jeritan, bisikan, dan… tangisan seorang anak kecil.
“Kau sadar,” kata Iven pelan, menunduk ke arahnya. Ia duduk di lantai, tak jauh dari api unggun yang tinggal abu. Wajahnya letih, tapi matanya berbinar. “Kau berhasil. Warna merah… benar-benar muncul.”
Lira menggigit bibirnya, mencoba mengingat. “Aku… aku melihat terlalu banyak.”
“Kamu mendengarnya,” koreksi Iven lembut.
Lira mengangguk pelan. “Suara-suara dari masa lalu. Mereka tidak hanya bicara. Mereka menyeretku masuk ke dalam luka mereka. Rasanya seperti… tubuhku terbelah.”
Iven menatapnya. “Lira… kamu yakin mau lanjutkan perjalanan ini?”
“Aku harus. Dunia ini sudah terlalu lama kehilangan rasa.” Lira menggenggam jemari Iven, erat. “Kalau ada cara untuk membuatnya bernapas lagi, aku akan lakukan.”
Pagi harinya, mereka berjalan lebih dalam ke pusat Kota Vayra, tempat paling hancur, tempat pertempuran terakhir terjadi. Asap masih menggantung tipis di udara, seolah luka kota itu belum mau sembuh. Reruntuhan gedung pemerintahan tampak seperti tulang belulang raksasa.
Di tengah lapangan kota yang kosong, Lira berhenti. Ia duduk di tanah, membuka tas lukisnya perlahan.
“Aku mendengar lagi,” katanya pelan. “Kali ini bukan jeritan. Tapi… nyanyian.”
Iven menoleh cepat. “Nyanyian?”
“Lagu pengantar tidur. Suara seorang ibu.”
Mereka berdua terdiam.
Lira mulai menggambar garis pertama di atas kanvas. Tangannya bergetar, tapi kuasnya tetap mantap. Iven duduk di samping, memperhatikan. Ia sadar, setiap kali Lira melukis, dunia seakan ikut menahan napas.
Perlahan-lahan, muncul bentuk di atas kanvas: seorang perempuan muda duduk di lantai sambil menggendong bayi, dikelilingi bayangan gelap. Mata perempuan itu tertutup, tapi senyumnya menenangkan. Di sudut lukisan, ada percikan merah terang yang menyemburat seperti luka terbuka—tapi bukan darah. Lebih seperti… cinta yang menyakitkan.
Seketika, gempa kecil mengguncang tempat itu. Tanah di bawah mereka bergetar, dan retakan tua di jalan tiba-tiba menyatu kembali seperti disembuhkan oleh sesuatu yang tak terlihat.
Iven berdiri cepat. “Apa itu?”
Tapi sebelum ia bisa menganalisis apa pun, suara berat bergema dari kejauhan.
“Kalian… telah membuka warna.”
Iven langsung berdiri di depan Lira yang masih duduk. “Siapa itu?! Tunjukkan dirimu!”
Dari balik reruntuhan, muncul sosok berjubah hitam. Wajahnya tertutup topeng berwarna abu-abu kusam, hanya memperlihatkan sepasang mata gelap tanpa sorot kehidupan.
“Warna adalah kutukan, bukan keajaiban,” suara itu terdengar seperti denting logam.
“Kami hanya ingin mengembalikan dunia seperti semula,” balas Iven, tegas.
Sosok itu mendekat perlahan. “Kau kira dunia layak menerima warna lagi? Setelah semua yang telah mereka hancurkan? Luka itu… tidak pernah benar-benar hilang.”
Lira berdiri dengan susah payah, menggenggam lukisannya yang baru selesai.
“Jika dunia ini tak layak,” katanya pelan, “lalu kenapa suara-suara dari masa lalu masih menyanyikan harapan?”
Sosok itu berhenti. Lalu berkata dingin, “Karena harapan… adalah bentuk penderitaan baru.”
Tanpa aba-aba, ia mengangkat tangan dan menghantamkan tongkat besinya ke tanah. Angin keras berputar, debu naik ke udara, dan seberkas bayangan menghantam lukisan di tangan Lira.
Namun saat angin mereda—lukisan itu tetap utuh.
Bahkan, warnanya justru makin terang. Merahnya menyala, mengalahkan kelabu di sekitarnya.
Sosok bertopeng itu terdiam. Lalu menghilang dalam kabut debu, meninggalkan kalimat yang menggema:
“Kalian akan menyesal saat sampai pada warna terakhir.”
Malamnya, Lira dan Iven beristirahat di bangunan yang dulunya rumah sakit. Mereka duduk bersandar di dinding yang retak, tubuh mereka lelah, tapi hati mereka justru mulai terisi dengan sesuatu yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Kepercayaan.
Iven menatap Lira yang tengah menyentuh lukisannya. “Kamu tahu… setiap kali kamu melukis, aku merasa hidup kembali. Rasanya… aneh.”
Lira tersenyum kecil. “Setiap kali aku melukis, aku merasa seperti orang buta yang bisa melihat. Meskipun hanya lewat rasa sakit orang lain.”
Iven memejamkan mata. “Kau tahu, Lira? Dunia nggak butuh warna cerah. Dunia cuma butuh orang seperti kamu. Yang tetap bisa menciptakan keindahan, bahkan dalam kegelapan.”
Lira menoleh ke arahnya, meskipun ia tak bisa melihat. “Dan kamu… yang mau percaya, bahkan saat semua orang memilih menyerah.”
Hening.
Lalu, Lira bicara lagi.
“Iven… apa kamu percaya cinta itu bisa jadi warna juga?”
Iven menatapnya lama. “Mungkin. Tapi kalau cinta adalah warna, pasti itu warna yang paling sulit didapat.”
Lira tertawa pelan. “Atau paling mahal harganya.”
Bab 4: Jingga Rindu yang Tertinggal
Keesokan harinya, langit masih kelabu. Tapi ada sesuatu yang berubah di mata Iven—atau mungkin, di dalam hatinya. Bayangan merah di ufuk kemarin malam belum hilang dari ingatannya. Itu bukan ilusi, itu bukan mimpi. Dunia benar-benar mulai memberi respon.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju kota berikutnya: Ravelya, kota yang dulu terkenal sebagai kota puisi dan surat cinta. Namun setelah warna menghilang, Ravelya menjadi sunyi. Bukan karena tak ada orang, tapi karena tak ada yang lagi menulis. Surat-surat berhenti terkirim. Rindu tak lagi punya tempat pulang.
Saat memasuki gerbang kota, Lira menggenggam tangan Iven lebih erat dari biasanya.
“Kota ini… rasanya seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung kembali,” gumamnya.
“Seperti seseorang yang nunggu pesan balasan tapi nggak pernah dikirim?” tanya Iven sambil mencoba bercanda.
Lira tersenyum tipis. “Bukan. Seperti seseorang yang tahu… pesan itu sudah dikirim. Tapi dibaca oleh orang yang tak lagi peduli.”
Mereka menyusuri jalan-jalan sepi yang dipenuhi kotak surat kosong dan dinding tembok penuh bekas cat tulisan. Tak ada suara burung. Hanya angin yang berdesir pelan, seperti suara orang yang menghela napas terlalu sering.
Di tengah kota, mereka menemukan Gedung Surat Terakhir—bangunan tua yang dulunya adalah kantor pos. Lira mendekat, lalu berhenti di depan pintunya.
“Ada banyak bisikan di sini…”
Iven membuka pintu perlahan. Debu mengepul, dan aroma kertas tua memenuhi ruangan. Ribuan surat berserakan di lantai. Tak satupun sampai tujuan.
“Aku harus mendengarkan mereka,” kata Lira pelan.
Ia duduk bersila di tengah tumpukan surat, menutup matanya. Jemarinya menyentuh satu amplop, lalu berpindah ke yang lain, seolah mencari sesuatu yang familiar.
Iven hanya bisa menatapnya diam-diam, menjaga agar tak ada yang mengganggu. Tapi di antara surat-surat itu, sesuatu menarik perhatiannya—sebuah amplop kecil berwarna pucat, dengan tulisan tangannya sendiri.
Ia memungutnya, membaca nama yang tertulis di depan: “Untuk Ayah dan Ibu.”
Jantungnya berdebar.
Itu surat yang ia tulis bertahun lalu. Surat yang tak pernah ia kirim. Surat penuh amarah dan kecewa, ditulis saat ia merasa dunia membuangnya.
Dengan tangan gemetar, Iven membuka amplop itu dan mulai membaca.
Dan tiba-tiba, di seberang ruangan, Lira menangis.
“Iven… surat itu… suaramu keras sekali…”
Iven mendekat cepat. “Aku… aku gak tahu kenapa ini ada di sini…”
“Kamu menyimpan banyak rindu yang tak pernah kamu akui,” bisik Lira. “Itulah suara jingga.”
Lira mulai melukis lagi. Kali ini, ia tak memakai kuas. Ia menumpahkan tinta langsung dari jari-jarinya, seperti tinta itu berasal dari tubuhnya sendiri. Di atas kanvas, terbentuk gambaran dua siluet: seorang anak kecil memandang ke langit malam, sementara sepasang bayangan berdiri jauh di belakangnya, seperti hantu yang tak pernah pulang.
Dan untuk pertama kalinya, warna jingga muncul.
Bukan jingga matahari. Tapi jingga hangat yang menyelimuti dada saat seseorang membaca surat lama dan akhirnya menangis karenanya.
Saat lukisan selesai, sesuatu yang aneh terjadi.
Dari dalam tumpukan surat, satu kotak pos tua mulai berdenting. Iven mendekat, membukanya—dan di dalamnya, ada tumpukan surat baru. Surat yang belum pernah dibaca, surat dari orang-orang yang pernah mencintai… dan terlambat menyampaikan.
“Ini…” bisik Iven, matanya berkaca-kaca. “Ini surat dari ibuku.”
Ia membaca dengan suara gemetar.
“Iven kecilku, maafkan kami. Dunia telah membuat kami patah, tapi bukan karena kamu. Kalau suatu hari kamu membaca ini… ketahuilah bahwa cinta kami tak pernah hilang. Kami hanya kehilangan cara untuk menunjukkannya.”
Tangisnya pecah.
Dan di saat yang sama, warna jingga menyebar di seluruh dinding gedung, seperti cahaya senja yang akhirnya menemukan tempat berlabuh.
Malam itu, mereka duduk di atap gedung, memandangi langit kelabu.
“Lira…” gumam Iven. “Terima kasih. Karena kamu, aku bisa berdamai dengan rindu yang lama kupendam.”
Lira menyandarkan kepalanya di bahunya. “Dan terima kasih… karena kamu tidak pernah pergi. Padahal kamu bisa saja menyerah sejak awal.”
Hening panjang.
Lalu Lira berbisik, “Kamu tahu? Rindu itu seperti jingga. Ia muncul di antara terang dan gelap. Di antara pergi dan pulang.”
Iven menoleh padanya, menatap wajah yang tak pernah bisa melihat, tapi selalu tahu arah hati.
“Dan cinta?”
Lira tersenyum kecil. “Cinta… mungkin adalah warna yang tidak bisa kita pegang. Tapi bisa kita lepaskan.”
Bab 5: Kuning Tawa yang Hilang
Setelah jingga rindu kembali mewarnai Ravelya, Lira dan Iven melanjutkan perjalanan mereka ke kota berikutnya: Elyvane.
Dulu, kota ini penuh taman bermain, sirkus, dan pertunjukan jalanan. Tempat anak-anak tertawa tanpa beban, dan orang dewasa lupa sejenak akan luka mereka. Tapi sekarang? Semua taman tertutup debu, ayunan berderit pelan tertiup angin, dan boneka-boneka badut di etalase toko terlihat seperti makhluk kesepian yang kehilangan tawa.
Saat memasuki gerbang Elyvane, Lira menggenggam lengan Iven lebih erat.
“Tempat ini… terlalu sunyi.”
“Seperti… nggak ada yang mau tertawa lagi,” balas Iven pelan.
Mereka berjalan ke pusat kota, melewati wahana rusak dan lampu-lampu gantung yang menggantung tanpa nyala. Di tengah taman, mereka menemukan sebuah karusel tua yang masih berdiri—meskipun catnya sudah pudar dan musiknya tak lagi berbunyi.
Tapi Lira berhenti mendadak.
“Aku… mendengar sesuatu,” bisiknya.
Iven menoleh cepat. “Apa?”
“Langkah kaki… ringan. Dan suara… seperti tertawa kecil. Tapi suaranya aneh, seperti terperangkap.”
Iven menyusuri arah suara itu dan menemukan sebuah rumah kecil berwarna abu-abu kusam, bertuliskan papan kayu rapuh: “Panti Bahagia.”
Ironi, pikir Iven. Panti yang bernama “bahagia”, tapi bahkan pintunya pun seperti ingin menangis.
Mereka masuk dengan hati-hati. Ruangan itu penuh mainan rusak, boneka tanpa mata, dan kursi kecil yang berserakan. Tapi di sudut ruangan, ada seorang anak laki-laki duduk sendirian. Kepalanya tertunduk, dan ia menggambar sesuatu di lantai dengan jari.
“Namamu siapa?” tanya Iven, berlutut pelan.
Anak itu tak menjawab. Tapi saat Lira mendekat, anak itu mendongak.
“Aku Runo,” gumamnya pelan.
Lira tersenyum lembut. “Runo, kamu tinggal sendiri di sini?”
Anak itu mengangguk pelan. “Mereka semua pergi. Kakak-kakak di panti bilang aku aneh. Karena aku… kadang tertawa sendiri.”
Iven dan Lira saling pandang.
“Apa kamu tahu warna?” tanya Lira, duduk di lantai di depannya.
Runo mengangguk. “Aku tahu warna kuning. Warnanya seperti suara di dalam kepalaku. Ceria. Tapi mereka bilang aku gila. Jadi aku berhenti bicara. Aku simpan saja warna itu di dalam.”
Hening sejenak.
Lalu Lira berkata, “Kalau begitu… maukah kamu berbagi sedikit warna kuning itu padaku?”
Lira meletakkan kanvas kosong di lantai. Ia mengambil kuas, tapi ragu. “Aku tidak bisa mendengar apapun di tempat ini. Bahkan suara warnanya.”
Iven menoleh pada Runo. “Runo, maukah kamu bantu kami?”
Runo menatap mereka sebentar. Lalu perlahan, ia berdiri dan mengambil boneka rusak dari rak. Ia mulai membuat suara lucu dengan mulutnya, seperti sedang bermain drama kecil. Bonekanya bicara aneh, berjalan patah-patah, dan jatuh berkali-kali.
Lira tiba-tiba tertawa kecil.
Tawa itu mengalir ringan, seperti angin musim semi. Iven ikut tertawa. Dan yang paling penting—Runo tertawa paling kencang.
Tertawa… yang tulus.
Dan pada saat itulah, Lira mulai melukis.
Warna kuning mulai menyebar di atas kanvas. Bukan kuning matahari, bukan kuning emas. Tapi kuning yang lincah, ringan, seperti suara tawa anak-anak saat bermain kejar-kejaran.
Gambar di lukisan itu adalah tiga bayangan kecil yang berlari di tengah taman, tertawa tanpa alasan, saling melempar kue dan mainan. Di langitnya, ada layang-layang berbentuk gajah yang sedang tersenyum.
Dan saat lukisan selesai, karusel tua di taman itu… berputar sendiri.
Lampu-lampunya menyala. Musik usang terdengar lagi, meski pelan. Angin berembus lebih hangat. Dunia menyambut kembali warna kuning—warna tawa yang lama hilang.
Runo menatap lukisan itu dengan mata membulat. “Itu… warna yang ada di kepalaku.”
Lira tersenyum. “Sekarang warnanya tak lagi terkurung.”
Iven berjongkok dan menepuk bahu Runo. “Kamu penyelamat dunia, tahu nggak?”
Anak itu tertawa lagi.
Saat malam tiba, Lira dan Iven duduk di bangku taman yang dulu tempat anak-anak menonton pertunjukan. Di sebelah mereka, karusel terus berputar pelan, mengiringi cahaya kuning temaram dari langit yang entah kenapa mulai tak sekelam kemarin.
“Aku selalu pikir warna kuning itu ringan,” kata Lira sambil menatap ke langit. “Tapi ternyata… ia hanya muncul kalau seseorang benar-benar bahagia.”
Iven memandangi Lira. “Kau bahagia?”
Lira menoleh ke arahnya. “Sekarang… ya.”
Iven tersenyum. Tapi di dalam hatinya, ia tahu—setiap kali Lira mengembalikan satu warna, ada bagian dari dirinya yang juga ikut terkuras. Rasa letihnya makin sering. Suara warna makin jarang ia dengar.
Namun ia tak pernah mengeluh.
Dan mungkin… itulah alasan kenapa warna-warna terus datang.
Bab 6: Hijau Harapan yang Patah
Setelah warna kuning kembali bersinar di Elyvane, Lira dan Iven kembali berjalan. Tapi kali ini, perjalanan mereka lebih sunyi. Lira semakin sering diam. Bukan karena tak mau bicara, tapi karena… suara warna yang biasanya bergema dalam benaknya mulai menghilang satu per satu.
“Aku merasa… kosong,” bisiknya suatu sore.
“Kosong gimana?” tanya Iven, mencoba terdengar tenang.
“Biasanya, dunia berbisik padaku. Tapi sekarang… hanya ada keheningan.”
Iven menggenggam jemarinya. “Mungkin kamu butuh istirahat.”
Tapi Lira menggeleng. “Aku takut kalau aku berhenti, warna-warna itu nggak akan pernah kembali lagi.”
Hari berikutnya, mereka tiba di kota bernama Verdalis—kota pertanian yang dulu dijuluki ‘paru-paru dunia.’ Tapi kini, tak ada sehelai daun pun yang tumbuh. Tanahnya retak. Pohon-pohon mati berdiri seperti tulang tua. Kolam-kolam kering, ladang-ladang berubah jadi debu.
“Aku nggak pernah lihat tempat seputus asa ini,” gumam Iven.
“Tempat ini… mati bukan karena waktu,” kata Lira pelan. “Tapi karena orang-orang yang dulu tinggal di sini… menyerah.”
Mereka bertemu dengan seorang petani tua bernama Pak Mahir—satu-satunya orang yang tersisa di kota itu. Ia tinggal di rumah kecil yang setengah roboh dan terus menanam benih setiap pagi… meski tak pernah tumbuh.
“Kenapa Bapak terus menanam kalau nggak pernah tumbuh?” tanya Iven.
Pak Mahir tertawa pendek. “Karena kalau saya berhenti, maka kota ini beneran mati. Saya cuma pengin… ada sesuatu yang hijau sebelum saya pergi.”
Lira menatap lelaki tua itu dengan rasa yang sulit dijelaskan. “Bolehkah kami membantu?”
Mereka menyiapkan satu ladang kecil bersama Pak Mahir. Iven mencangkul tanah yang keras, Lira menabur benih kecil dari sisa yang disimpan Pak Mahir dalam botol kaca. Mereka menyiramnya dengan air hujan yang ditampung di ember tua. Tapi semua terasa sia-sia.
“Lira, kamu nggak mendengar apapun?” tanya Iven di malam harinya.
Lira duduk diam di teras rumah Pak Mahir. “Tidak. Bukan suara warna. Tapi aku… merasa luka yang berbeda.”
“Luka seperti apa?”
“Luka dari harapan yang terlalu sering patah.”
Ia menatap telapak tangannya yang mulai kaku. “Mungkin… aku sudah terlalu lelah untuk mendengar mereka.”
Tapi esok paginya, sesuatu yang aneh terjadi.
Saat Lira bangun dan menyentuh tanah yang semalam ia taburi, telapak tangannya terasa hangat. Ia berlutut, memejamkan mata.
Dan untuk pertama kalinya setelah beberapa hari… ia mendengar suara napas.
Bukan bisikan. Bukan jeritan. Tapi napas pelan, seperti seorang bayi yang tertidur.
“Hijau,” gumamnya. “Suara hijau… akhirnya kembali.”
Ia mengambil kanvas kecil, menatap ke depan meskipun tak bisa melihat, dan mulai melukis perlahan. Kali ini ia tidak terburu-buru. Lukisan itu tumbuh perlahan, seperti akar.
Di atas kanvas, tergambar sebuah pohon kecil yang tumbuh di tengah ladang tandus. Daunnya hanya sedikit, tapi cerah. Di bawah pohon itu, ada tiga sosok kecil: seorang lelaki tua, seorang pemuda, dan seorang gadis duduk bersila, menunggu.
Dan saat lukisan itu selesai…
…setitik tunas muncul di ladang nyata.
Pak Mahir berteriak, “Astaga…! Hijau! Lihat, itu… hijau!”
Satu tunas kecil, sangat mungil. Tapi hidup. Dan hijau. Dunia menyambut kembali warna harapan.
Malam itu, di bawah langit kelabu yang mulai menipis, Iven menatap langit sambil mengusap tangan Lira.
“Kamu hebat.”
“Enggak juga,” jawab Lira pelan.
“Kamu bawa harapan ke tempat yang bahkan nggak punya alasan buat berharap.”
Lira menyandarkan kepala di pundaknya. “Tapi kamu tahu… setiap kali aku melukis satu warna, aku merasa kehilangan sesuatu.”
“Kehilangan apa?”
“Diriku sendiri.”
Hening.
Iven ingin memeluknya lebih erat. Tapi ia tahu, tak semua kehilangan bisa dicegah dengan pelukan.
“Kalau kamu kehilangan bagian dari dirimu… aku akan bantu cari, Lira. Aku janji.”
Lira tertawa kecil, meski matanya basah. “Mungkin nanti… kamu adalah satu-satunya warna terakhir yang belum aku lukis.”
Iven menoleh pelan. “Dan kalau kamu melukis aku… apakah itu berarti kamu akan kehilanganku juga?”
Lira tak menjawab. Tapi ia tahu jawabannya.
Dan jauh di ladang belakang mereka, pohon kecil itu masih berdiri tegak… satu-satunya hijau di antara dunia yang belum selesai sembuh.
Bab 7: Biru Sepi di Dalam Hati
Setelah hijau tumbuh di tanah gersang Verdalis, mereka melangkah lagi—kali ini menuju kota yang konon… tidak memiliki penduduk sama sekali.
Kota itu bernama Novera.
Seseorang pernah berkata pada Iven: “Di Novera, bahkan bayanganmu akan meninggalkanmu.” Awalnya ia pikir itu cuma ungkapan. Tapi saat mereka melangkah masuk ke gerbang kota yang sepi dan bangunannya berdiri rapi seperti maket yang dibekukan, ia mengerti—kesepian di sini bukan sekadar perasaan. Tapi nyata. Menyerap.
Di sepanjang jalan, mereka tak melihat siapa pun. Rumah-rumah tertutup rapat, tirai tergantung sempurna, seolah penghuni di dalamnya memilih menjadi tak terlihat. Tak ada suara. Tak ada tawa. Tak ada jejak kaki.
Lira menggenggam tangan Iven kuat-kuat.
“Tempat ini… sunyinya menyakitkan,” bisiknya.
Iven hanya mengangguk. Ia bisa merasakan tekanan yang tak bisa dijelaskan. Seolah setiap langkah mereka membuat udara makin berat.
Mereka menemukan sebuah perpustakaan besar di pusat kota. Dari luar, bangunannya megah dan bersih. Tapi saat mereka masuk, rak-rak penuh buku tanpa judul. Helaian halamannya kosong. Seperti hidup orang-orang yang tinggal di sini: teratur, rapi, tapi hampa.
“Aku ingin melukis di sini,” kata Lira tiba-tiba.
“Kenapa di sini?”
“Karena tempat ini… terlalu sunyi sampai aku merasa aku sendiri adalah suara.”
Lira duduk di lantai perpustakaan. Ia membuka kanvas, tapi tangannya ragu.
“Aku tidak mendengar warna apa pun.”
“Karena mungkin… biru bukan untuk didengar,” gumam Iven. “Mungkin biru… harus dirasakan.”
Lira terdiam. “Biru… seperti kesepian?”
“Biru seperti malam yang tak pernah berakhir. Seperti menunggu seseorang yang tak pernah datang. Seperti berharap… tanpa harapan.”
Lira menunduk.
Dan perlahan, ia mulai melukis. Tapi bukan dengan kuas. Kali ini ia menyentuhkan telapak tangannya ke cat, lalu mengguratkannya langsung ke kanvas.
Setiap sentuhan membentuk sesuatu: sebuah kamar kosong. Di dalamnya, seorang gadis kecil duduk di jendela, menatap ke luar yang hanya abu-abu. Ia menggenggam selembar surat yang tak pernah ia kirim. Dan di sekeliling kamar itu, dinding-dindingnya ditulis dengan kata-kata tak terucap.
Lira berhenti sejenak. “Aku… tahu siapa gadis itu.”
“Siapa?” tanya Iven pelan.
“Aku. Saat kecil, aku sering duduk di jendela panti, berharap ada orang yang datang bilang aku tak sendiri. Tapi tak pernah ada yang datang. Dan tak pernah ada yang bilang apa-apa.”
Hening.
Iven menatapnya. “Aku di sini sekarang.”
Lira tersenyum kecil, tapi matanya berkaca.
Dan tepat saat lukisan itu selesai—angin berembus lembut dari jendela perpustakaan yang entah sejak kapan terbuka. Dari jendela itu, masuk cahaya kebiruan, lembut seperti rembulan. Dan untuk pertama kalinya… warna biru menyentuh kota Novera.
Lampu-lampu jalan menyala redup. Seperti bukan untuk menerangi, tapi menemani.
Mereka duduk di balkon perpustakaan malam itu, memandangi kota yang tetap diam… tapi terasa lebih hangat.
“Biru bukan kesedihan, ya,” kata Lira. “Biru itu kesepian… tapi yang gak marah. Yang cuma ingin didengar.”
Iven menatap langit kelabu yang kini mulai dihiasi semburat biru samar.
“Lira… apa kamu masih kuat?”
Lira tersenyum pelan. “Aku mulai takut… karena setelah warna biru ini, hanya tinggal dua warna terakhir.”
“Ungu dan… cinta,” bisik Iven.
“Dan untuk cinta… salah satu dari kita harus kehilangan perasaan itu, kan?”
Iven terdiam.
Angin malam membawa aroma buku tua dan udara dingin yang terasa… hangat di dada. Mereka tidak saling bicara. Tapi dalam diam itu, mereka tahu—biru telah mempertemukan dua kesepian yang saling menemukan rumah.
Bab 8: Ungu Luka yang Dihormati
Setelah biru kesepian menyapa kota Novera, perjalanan mereka terasa semakin berat. Bukan hanya karena tubuh Lira yang mulai lelah—tapi karena mereka tahu, warna yang akan mereka cari berikutnya bukan warna yang muncul dari cinta atau tawa…
Tapi luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Mereka menuju Archelith, kota seniman yang dulunya terkenal dengan galeri-galeri termegah. Kota ini dulu melahirkan pelukis legendaris, pemahat jenius, dan penulis yang karyanya menggetarkan dunia. Namun ketika warna menghilang, para seniman di kota itu memilih diam.
Beberapa… memilih pergi.
Dan sisanya, menghilang secara tragis—meninggalkan lukisan tak selesai, buku tanpa kata, dan patung-patung tanpa wajah.
Saat tiba di Archelith, langit terasa berat. Kota itu sepi, tapi berbeda dari sunyi di Novera. Ini bukan kesepian… ini duka yang tak terucap. Galeri-galeri berdiri megah, tapi semuanya tertutup kain abu-abu. Tembok-tembok penuh coretan tinta hitam yang terhapus setengah.
Lira memegang dadanya. “Tempat ini… menyimpan terlalu banyak suara yang tak pernah dikeluarkan.”
Iven mengangguk pelan. Ia tak perlu bertanya untuk tahu bahwa suara-suara itu kini bergema di kepala Lira.
Mereka memasuki sebuah gedung galeri tua, dan saat itu Lira berhenti mendadak. Tubuhnya kaku.
“Lukisan-lukisan di sini… pernah berbicara padaku,” katanya pelan.
Iven mematung. “Kamu pernah ke sini?”
Lira mengangguk. “Waktu kecil. Aku dibawa ayahku… sebelum ia menghilang.”
Hening.
Iven menggenggam tangannya, memberinya keberanian untuk melangkah masuk. Dan di dalam galeri itu—di dinding paling ujung—tergantung satu lukisan besar, tertutup kain kelabu.
Lira mendekat perlahan.
Tangannya menyentuh kain penutup itu… lalu menariknya turun.
Dan di baliknya, tampak sebuah lukisan yang belum selesai. Goresannya kacau, warna-warnanya mati, seperti seseorang yang terlalu ingin menumpahkan isi hatinya, tapi tak punya cukup tenaga untuk menyelesaikan kalimatnya.
Tapi Lira tahu siapa pelukisnya.
“Ini lukisan terakhir ayahku,” bisiknya. “Ia selalu bilang… warna ungu hanya bisa muncul saat seseorang berani menghormati lukanya sendiri. Bukan menyembunyikannya.”
Lira berlutut. Air matanya menetes. “Dulu, aku selalu menyalahkan diriku sendiri kenapa ia pergi. Tapi mungkin… dia pergi bukan karena tak sayang. Tapi karena dunia terlalu kelam untuk pelukis sepertinya.”
Iven menatapnya. Ia ingin bicara. Tapi kali ini, ia tahu… ini bukan saatnya menyela.
Lira membuka kanvas kosongnya. Tapi sebelum mulai melukis, ia menggoreskan jemarinya ke lukisan ayahnya. Ia menyalin energi itu. Ia merasakan semua yang belum selesai.
Dan kemudian, ia mulai.
Lukisan ungu itu perlahan terbentuk: seorang pria berdiri di tengah ruangan kosong, tubuhnya penuh retakan. Tapi di dalam setiap retakan itu, tumbuh bunga kecil berwarna ungu. Di hadapannya, seorang gadis kecil duduk—memegang kuas, menggambar sambil menangis.
“Luka bukan sesuatu yang harus disembuhkan,” gumam Lira lirih. “Tapi dikenang, dihormati… agar kita tahu bahwa kita pernah bertahan.”
Saat lukisan selesai, terdengar suara denting kaca pecah dari luar.
Iven berlari ke jendela. “Lira… lihat itu.”
Dinding-dinding galeri yang tadinya kusam mulai berubah—satu per satu, lukisan-lukisan tua memunculkan semburat ungu. Seolah karya-karya itu diberi napas baru. Dan dari patung batu di tengah kota, muncul cahaya ungu lembut, seperti pelukan dari masa lalu.
Archelith menangis… tapi untuk pertama kalinya, dengan damai.
Malamnya, Lira dan Iven duduk di atap galeri tua.
“Ungu bukan hanya luka,” kata Lira. “Ungu juga… rasa lega.”
“Karena akhirnya bisa memaafkan,” tambah Iven.
Lira menoleh padanya, mata yang tak bisa melihat tapi bisa merasakan jauh lebih dalam. “Apa kamu punya luka yang belum kamu hormati, Iven?”
Iven diam sejenak. “Mungkin. Tapi aku rasa… kamu sudah mulai menyembuhkannya.”
Lira tersenyum.
Lalu ia berkata pelan, “Hanya satu warna tersisa.”
Iven mengangguk, perlahan. “Cinta sejati.”
Dan mereka berdua tahu… warna itu bukan hanya tentang perasaan.
Tapi tentang kehilangan yang harus dipilih.
Bab 9: Abu-abu yang Tidak Ingin Pergi
Lira dan Iven meninggalkan Archelith dengan hati yang berat namun lega. Kota itu telah mengajarkan mereka satu hal penting: bahwa luka tak harus dilupakan. Justru harus dikenang, agar bisa dilewati.
Kini, hanya satu warna yang tersisa.
Tapi sebelum mereka mencari cinta sejati, mereka harus menghadapi yang satu ini—warna yang tidak pernah benar-benar disebut, tapi selalu ada:
Abu-abu.
Warna yang tidak mencolok, tapi menyelubungi segalanya. Warna yang tidak meminta perhatian, tapi tak mau pergi.
“Abu-abu tidak ingin dilukis,” gumam Lira saat mereka melangkah ke tengah padang kosong yang dikenal dengan nama Tiada tempat semua warna menghilang dulu, tempat kutukan dimulai.
Langit di atas mereka begitu rendah, seolah menindih dunia. Angin tidak bergerak. Waktu seolah berhenti.
“Tempat ini… rasanya seperti mimpi buruk yang lupa bangun,” bisik Iven.
Mereka berjalan menuju bangunan satu-satunya yang tersisa di tengah padang: menara batu tinggi, seluruhnya kelabu, tak bercahaya. Dulu, katanya, itu adalah tempat dewan warna bertemu—sebelum manusia mulai saling menyakiti dan dunia kehilangan rona.
Lira menginjakkan kaki di tangga pertama.
Tiba-tiba tanah bergetar.
Langit menggelap lebih pekat.
Dan dari balik bayangan menara, muncul sosok berjubah abu-abu—sosok bertopeng yang pernah muncul saat mereka menghidupkan warna merah.
“Kalian telah terlalu jauh,” suaranya bergema, dalam dan kosong. “Kalian telah merusak keseimbangan.”
Iven berdiri di depan Lira. “Kami hanya ingin dunia merasakan lagi. Menyembuhkan.”
“Tapi dunia tidak ingin sembuh,” balasnya. “Karena rasa sakit membuat mereka merasa hidup. Karena luka adalah tempat aman bagi mereka yang takut berharap.”
Lira maju selangkah. “Kau bukan warna. Kau adalah ketiadaan dari semua warna. Dan aku tahu siapa kau sebenarnya.”
Sosok itu terdiam.
“Kau adalah bayangan dari manusia yang menyerah. Kau adalah suara-suara dalam kepala kami yang bilang ‘jangan lanjut.’ Kau bukan kutukan. Kau… adalah ketakutan itu sendiri.”
Dan saat itu juga, topeng sosok itu retak.
Dari baliknya, muncul wajah yang sangat familiar.
Wajah Lira.
Tapi bukan Lira sekarang—melainkan Lira kecil, sendirian, penuh luka, dengan mata kosong dan senyum palsu yang memudar.
“Ini aku… saat aku menyerah,” bisik Lira. “Saat aku berhenti berharap ada yang datang. Saat aku percaya bahwa kesepian adalah takdirku.”
Wajah itu berkata dengan suara Lira sendiri, namun lebih dingin, “Dan aku tidak ingin kau menghapusku.”
Tiba-tiba, Lira terhuyung. Tubuhnya gemetar, kakinya lemas.
Iven memeluknya cepat. “Lira! Kau baik-baik saja?”
“Dia… mencoba mengambil alih,” bisik Lira lirih. “Aku bisa merasakan jiwaku ditarik masuk ke dalam.”
Iven menatap ‘bayangan’ itu. “Kau tidak bisa memilikinya lagi! Dia sudah berubah!”
“Dia belum,” jawab si Abu-abu. “Luka di dalam dirinya masih belum selesai.”
Lira menggenggam kanvasnya, dengan tangan yang gemetar.
“Aku tidak akan melukismu dengan warna,” katanya pada sosok itu. “Tapi aku akan mengakuimu. Karena kamu… adalah bagian dari diriku.”
Ia mulai melukis.
Dan lukisan itu bukan indah. Tapi nyata.
Seorang gadis kecil duduk di ruangan kosong. Di sekelilingnya, tumpukan surat tak terbaca, lukisan tak selesai, dan cermin pecah. Tapi ia tak menutupi semuanya. Ia duduk di sana, menangis… dan tertawa dalam waktu yang sama.
Warna abu-abu mulai muncul—bukan untuk menguasai, tapi berdampingan. Menyatu dengan garis-garis gelap dan terang, membentuk gradasi. Bukan warna yang ingin dimenangkan. Tapi warna yang ingin diterima.
Dan saat lukisan selesai, sosok bayangan itu perlahan pecah menjadi debu. Mata Lira kecil itu tersenyum… lalu lenyap, meninggalkan ruang yang tenang di dalam dada Lira.
Langit mendadak terasa lebih tinggi.
Udara kembali bergerak.
“Abu-abu… akhirnya pergi,” bisik Iven.
“Bukan pergi,” sahut Lira. “Tapi dia sudah tenang. Karena aku akhirnya… mengakuinya.”
Malam itu, mereka duduk berdua di bukit kecil tak jauh dari menara. Tak ada bintang. Tapi langit tampak sedikit lebih bersih.
“Sekarang tinggal satu,” kata Iven.
“Warna cinta,” jawab Lira pelan.
Tapi keduanya tak saling menatap. Karena di dalam hati masing-masing, ada ketakutan yang belum mereka ucapkan.
Mereka tahu.
Warna terakhir itu… hanya bisa hadir jika salah satu dari mereka melepaskan perasaan itu selamanya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, cinta terasa seperti hujan yang belum jatuh—menyimpan ribuan kata di ujung awan.
Bab 10: Cinta Sejati yang Tak Pernah Memiliki
Mereka bangun saat fajar yang tak berwarna merayap perlahan ke langit. Tidak ada merah muda. Tidak ada jingga. Hanya kelabu.
Lira duduk di tepi bukit, tangannya membelai kanvas kosong. Ia tahu ini kanvas terakhir. Warna terakhir. Dan mungkin… malam terakhir mereka bersama.
Iven datang membawa secangkir air panas dari api kecil yang ia jaga semalaman.
“Kamu gak tidur ya?” tanya Lira pelan.
Iven tersenyum. “Kalau aku tidur… aku takut kamu menghilang.”
Mereka tertawa kecil, tapi hanya sebentar.
Karena diam di antara mereka terasa lebih panjang dari biasanya.
Lira berdiri. Ia menggulung lengan bajunya, memperlihatkan pergelangan tangannya yang kurus dan mulai pucat.
“Aku tidak mendengar apapun pagi ini,” katanya. “Tak ada suara warna. Tak ada bisikan. Hanya detak jantungku… dan kamu.”
Iven berjalan mendekat. “Mungkin karena warna terakhir ini… bukan datang dari dunia. Tapi dari kita.”
Hening.
Lira menatap ke arah yang tak bisa ia lihat. Tapi ia tahu Iven sedang menatapnya seperti biasa—lembut, penuh kekaguman, dan… cinta.
“Iven… kalau aku melukis cinta, maka salah satu dari kita harus melepaskannya. Itu syaratnya. Cinta sejati hanya akan hidup… jika dilepaskan.”
Iven menahan napas. “Aku tahu.”
“Kamu siap?”
Tapi Iven tidak langsung menjawab.
Sebaliknya, ia meraih tangan Lira dan meletakkan sesuatu ke dalam genggamannya: sebuah kuas kecil, yang selama ini ia sembunyikan—kuas milik Lira yang patah saat pertama kali mereka bertemu.
“Aku siap,” katanya akhirnya. “Kalau cinta harus dilepaskan untuk menghidupkan dunia… maka aku memilih melepaskan cintaku padamu.”
Lira mengatup mulutnya. “Iven…”
“Aku mencintaimu, Lira,” lanjut Iven. “Dan karena itu… aku ingin dunia ini punya warna. Meski aku harus menghilang dari warnamu.”
Lira menggigit bibirnya. Air matanya jatuh, tapi ia tak menghapusnya. Ia membuka cat terakhir—cat tak bernama. Warnanya transparan di wadahnya. Tapi ia tahu, ini warna cinta.
Ia mulai melukis.
Tangannya gemetar.
Satu garis. Dua lengkung. Warna mulai muncul perlahan, dan kali ini… tak ada suara. Hanya rasa.
Di atas kanvas, tergambar dua siluet: satu sedang melukis, satu lagi berjalan menjauh, tanpa menoleh ke belakang. Di langit, pecah semburat merah muda, emas, biru, hijau, jingga, ungu—semua warna yang pernah mereka temukan, menyatu dalam pelangi yang tak biasa.
Dan saat goresan terakhir selesai… dunia berubah.
Langit meledak dalam cahaya. Bunga-bunga bermekaran serentak. Bangunan-bangunan yang dulu kelabu kini hidup kembali. Anak-anak tertawa. Pelukis mulai mencipta. Surat-surat mulai dikirim.
Dunia kembali penuh warna.
Lira terjatuh lemas di tanah.
Dan saat ia memanggil nama Iven, hanya ada angin.
“Iven?”
Tak ada jawaban.
Ia berputar. Menyentuh tanah. Menggapai ke arah yang kosong.
“Iven…?”
Lalu ia merasakan sesuatu di bawah telapak tangannya: selembar surat.
Dengan tinta yang masih basah.
“Untuk Lira.
Kau telah mengajarkan dunia untuk melihat. Tapi kau juga telah mengajarku untuk mencintai tanpa harus memiliki.
Jika warna terakhir ini harus lahir dari kehilangan, maka biarlah aku yang menjadi warnanya.
Karena aku tahu… cintaku padamu akan tetap hidup, bahkan jika aku tidak.
—Iven”_
Lira menangis di tengah dunia yang kini berwarna.
Orang-orang datang padanya, menatap dengan kagum, takjub pada gadis buta yang membawa warna kembali.
Tapi hanya Lira yang tahu, dunia ini dibayar dengan satu warna yang tak bisa ia lukis lagi:
Iven.
Bertahun-tahun kemudian…
Di sebuah galeri seni paling terkenal di dunia, tergantung satu lukisan tak berjudul. Di dalamnya, ada gadis buta yang memeluk kanvas kosong. Di belakangnya, siluet lelaki yang nyaris transparan, tersenyum tipis ke arahnya.
Dan tepat di sudut bawah lukisan, tertulis dengan tinta kecil:
“Cinta sejati bukan soal siapa yang tinggal… tapi siapa yang bersedia pergi.”
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.