Aira, seorang ilustrator lepas yang tenang dan tertutup, selamat dari kecelakaan maut setelah menerima transplantasi jantung dari seorang pria bernama Deno—yang meninggal karena bunuh diri. Sejak operasi, Aira mulai mengalami mimpi-mimpi aneh, perubahan kepribadian, dan perasaan asing yang tak bisa ia kendalikan.
Yang lebih mengejutkan, Aira mulai jatuh cinta pada Sienna, wanita yang tak pernah ia temui sebelumnya namun terus muncul dalam ingatan jantung yang kini berdetak di dalam tubuhnya. Saat batas antara dirinya dan Deno makin kabur, Aira dihadapkan pada dilema besar: apakah cinta yang ia rasakan benar-benar miliknya, atau hanya warisan dari jiwa yang belum selesai?
Di tengah pertanyaan identitas dan perasaan yang tak semestinya, Aira harus memilih: mempertahankan dirinya sendiri… atau melepaskan cinta yang tak seharusnya ada. Sebuah kisah emosional tentang cinta, kehilangan, dan keberanian untuk kembali menjadi diri sendiri.
Bab 1: Detak yang Bukan Milikku
Aku terbangun dengan rasa nyeri menusuk di dada. Suara mesin monitor berdetak cepat, seakan-akan meniru detak jantung yang kini bukan lagi milikku. Udara rumah sakit terasa dingin, menyusup hingga ke tulang. Aku masih belum sepenuhnya sadar, tapi satu hal yang kutahu pasti—aku hidup.
“Aira?” suara lembut itu memanggilku. Aku menoleh pelan. Mama duduk di sebelah ranjang, menggenggam tanganku dengan erat. Wajahnya sembab, tapi tersenyum penuh syukur.
“Kamu sadar… akhirnya kamu sadar, Nak.”
Aku mencoba tersenyum, tapi wajahku terasa kaku. Yang kupikirkan cuma satu: kenapa aku masih di sini?
Terakhir yang kuingat adalah suara rem mobil, teriakan orang-orang, dan lalu… gelap. Kata dokter, aku mengalami kecelakaan yang parah dan jantungku berhenti bekerja. Aku hanya akan punya satu kesempatan untuk bertahan—transplantasi jantung dari donor yang kebetulan meninggal di hari yang sama.
Aku hidup… karena seseorang mati.
Seminggu berlalu. Aku mulai pulih perlahan. Tapi sejak hari keempat, ada yang aneh.
Malam itu, aku bermimpi. Bukan mimpi biasa. Dalam mimpi itu, aku berdiri di tepi tebing, memandangi laut luas yang bergelombang dengan warna kelam. Angin berdesir kencang. Dan di sebelahku, ada suara—seorang pria.
“Aku capek,” katanya. “Kalau aku pergi, kamu bakal baik-baik aja, kan?”
Aku ingin menjawab, tapi tubuhku membeku. Lalu pria itu melangkah maju… dan jatuh.
Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi leher dan punggungku. Dadaku sesak, bukan karena luka operasi, tapi karena… kehilangan? Tapi aku tak kehilangan siapa pun. Aku hanya menerima jantung orang yang meninggal. Orang yang tak kukenal.
Mimpi itu terulang lagi malam berikutnya. Dan malam berikutnya. Selalu sama. Selalu pria yang sama.
Aku mulai bertanya-tanya… siapa dia?
Hari ke-10 setelah operasi, aku diizinkan duduk di taman rumah sakit. Di sana aku bertemu suster jaga yang ramah bernama Lilis.
“Kamu kelihatan lebih segar sekarang, Aira. Sudah mulai mimpi yang aneh-aneh belum?”
Aku mengerutkan kening. “Maksudnya?”
Ia tertawa pelan. “Katanya orang yang habis transplantasi jantung kadang suka ngalamin mimpi-mimpi aneh. Apalagi kalau yang donornya meninggal karena kecelakaan atau… ya, karena bunuh diri gitu.”
Aku terdiam. Kata-katanya menggema di kepalaku.
“…bunuh diri?”
Suster Lilis mengangguk pelan. “Aku nggak boleh cerita banyak ya, tapi… donor kamu itu pria muda. Meninggal karena loncat dari tebing. Sedih banget, sih. Tapi setidaknya jantungnya nyelametin kamu, kan?”
Telingaku berdenging. Tanganku gemetar. Aku merasa mual.
Tebing. Pria. Bunuh diri.
Itu bukan sekadar mimpi.
Itu… ingatan.
Aku kembali ke kamar dengan napas yang tak karuan. Malam itu, untuk pertama kalinya aku memberanikan diri berbicara dengan jantung baruku. Konyol memang, tapi aku merasa ada seseorang di dalam diriku yang belum selesai berpamitan.
“Aku nggak tahu siapa kamu,” bisikku sambil menempelkan telapak tangan ke dada. “Tapi… tolong jangan ganggu aku. Ini hidupku sekarang.”
Tapi tak ada jawaban. Hanya detak pelan. Teratur. Tenang. Seperti sedang menunggu waktu.
Beberapa hari setelahnya, aku mulai mencatat semua mimpiku. Aku ingin tahu siapa dia. Kenapa dia melompat. Kenapa aku harus melihat semua itu.
Dan yang paling membuatku bingung… kenapa aku merasa kehilangan seseorang yang bahkan belum pernah aku kenal?
Hingga suatu sore, aku terbangun dari tidur siang dengan satu nama di ujung lidahku: Sienna.
Nama yang muncul begitu saja dalam mimpiku semalam. Nama yang diucapkan pria itu sebelum terjun dari tebing.
“Aku minta maaf, Sienna…”
Entah kenapa, begitu mendengar nama itu, dadaku terasa nyeri. Bukan karena luka fisik. Tapi seperti ada perasaan bersalah… yang menusuk dari dalam.
Aku segera membuka ponsel dan mencari nama itu di internet. “Sienna” dan “bunuh diri” dan “tebing” dan “Jakarta.” Aku tidak tahu kenapa aku begitu terobsesi. Tapi aku merasa… aku harus tahu.
Dan di antara ribuan hasil pencarian, aku menemukan artikel pendek yang hanya ditulis di blog lokal.
“Pemuda Lompat dari Tebing Cinta: Polisi Sebut Motif Depresi karena Putus Cinta.”
Namanya tercetak jelas di sana: Deno Alvian. 26 tahun. Melompat dari tebing satu minggu sebelum aku menerima transplantasi.
Waktu, tempat, dan semua yang kulihat dalam mimpi cocok.
Deno. Itulah jantung yang sekarang berdetak dalam diriku.
Dan Sienna… gadis yang ia cintai, tapi entah kenapa tak bisa ia perjuangkan sampai akhir.
Aku menatap ke arah jendela kamar. Matahari mulai tenggelam, menciptakan cahaya oranye yang indah, tapi sendu. Untuk pertama kalinya, aku bertanya pada diriku sendiri:
Kalau jantungku ini milik seseorang yang sudah mati… apakah aku juga sedang menjalani takdir yang bukan milikku?
Bab 2: Suara Lelaki dalam Mimpi
Sejak tahu siapa nama pemilik jantung ini, hidupku berubah. Bukan dalam arti yang puitis, tapi benar-benar berubah. Aku mulai sulit membedakan mana aku… dan mana yang bukan aku.
Malam itu, aku bermimpi lagi. Tapi tidak seperti sebelumnya. Aku tidak berdiri di tebing. Aku duduk di sebuah kamar, temaram, dengan suara musik klasik mengalun dari speaker tua. Di hadapanku ada meja penuh lukisan—semuanya bergambar gadis yang sama. Gadis dengan rambut panjang sebahu, mata teduh, dan senyum menyedihkan.
Gadis itu… Sienna.
Dalam mimpi itu, aku tahu nama semua warna yang kugunakan. Aku tahu lukisan mana yang pertama kali kubuat. Bahkan tahu aroma parfum yang biasa dipakai Sienna saat berkunjung.
Dan yang paling aneh, aku tahu rasa kehilangan yang tak bisa dijelaskan.
Tiba-tiba aku berbicara.
“Aku cuma mau dia bahagia…”
Itu bukan suaraku. Tapi aku yang mengucapkannya.
Saat aku membuka mata, langit di luar sudah cerah. Aku menatap langit-langit kamar rumahku yang baru direnovasi karena kecelakaan itu. Tapi yang kulihat justru atap kamar pria itu—Deno.
Aku bangkit dengan jantung berdebar. Bukan karena mimpi. Tapi karena ada satu emosi asing yang melekat: kerinduan.
Kerinduan terhadap seseorang yang tidak pernah kukenal. Seseorang yang tidak pernah mencintaiku… tapi aku bisa merasakan cintanya.
Aku menatap kaca. Wajahku masih Aira. Tapi saat aku bicara pelan, seolah ada gema samar yang mengikuti. Seperti ada dua versi suara dalam satu tubuh.
Aku mulai panik.
Aku menghubungi sahabatku, Nadin.
“Gue… mulai mimpiin hal-hal aneh,” kataku, sambil menyesap teh hangat di kafe tempat biasa kami nongkrong.
Nadin menatapku dengan cemas. “Aneh gimana?”
“Gue tahu hal-hal yang enggak pernah gue alami. Tempat-tempat yang enggak pernah gue kunjungin. Bahkan… perasaan yang kayaknya bukan milik gue.”
Nadin menggigit bibirnya. “Kamu… yakin ini bukan trauma pasca operasi aja?”
Aku menggeleng. “Enggak. Ini lebih kayak… ada orang lain di dalam diri gue.”
Hening.
Nadin mengambil ponselnya dan mencari sesuatu. Lalu ia menyodorkan layarnya padaku.
“Ada yang namanya cellular memory,” katanya. “Beberapa pasien transplantasi mengaku merasakan perubahan kepribadian, kebiasaan, bahkan mimpi aneh… yang ternyata mirip dengan kehidupan si donor.”
Aku membaca cepat artikel itu. Mataku membelalak saat menemukan kalimat:
“Ada pasien yang mendadak suka makanan yang dibenci sebelumnya, atau jatuh cinta pada orang asing yang ternyata berkaitan dengan donor mereka.”
Aku meletakkan ponsel dengan tangan gemetar.
“Aira…” Nadin menatapku serius. “Kamu jatuh cinta, ya?”
Aku tertawa getir. “Lucu banget kalau gue bilang iya. Karena gue jatuh cinta… sama seseorang yang enggak gue kenal. Cewek. Dan dia… adalah cinta dari pria yang jantungnya sekarang ada di dalam dada gue.”
Nadin terdiam. Matanya melembut. “Sienna?”
Aku mengangguk pelan.
“Aira… itu bisa aja cuma ilusi. Efek trauma. Kamu belum sembuh total, dan kamu lagi mencoba mengisi kekosongan itu dengan… perasaan yang enggak seharusnya kamu rasakan.”
Aku tahu dia bermaksud menenangkan. Tapi kata-katanya malah bikin pikiranku makin kacau.
“Kalau ini bukan cinta gue… kenapa rasanya begitu nyata?”
Hari-hari berikutnya aku mulai mencari tahu tentang Deno. Aku datangi perpustakaan umum, galeri seni kecil yang pernah disebut dalam artikel blog, dan bahkan akun media sosial lamanya yang masih aktif.
Dan dari semuanya, satu hal paling menggangguku adalah… aku seperti mengenal dunia yang bahkan belum pernah aku jamah.
Di galeri lukisan, aku berhenti di depan satu karya berjudul “Detak yang Hilang.” Lukisan itu sederhana—lukisan jantung dengan bunga mawar mekar di tengahnya, dikelilingi warna kelabu.
Kata petugas, itu lukisan terakhir Deno sebelum ia… pergi.
Aku berdiri di sana cukup lama. Sampai-sampai petugas bilang, “Kamu kayak kenal sama yang bikin lukisan itu, ya?”
Aku tersenyum tipis. “Mungkin lebih dari itu.”
Ketika aku menyentuh kaca lukisan, jantungku berdetak pelan. Tapi kali ini detaknya membawa ketenangan. Seolah ada bisikan yang berkata, “Terima kasih sudah menjaga detakku.”
Dan untuk pertama kalinya, aku bertanya dalam hati…
Apa yang akan kulakukan… jika aku benar-benar bertemu Sienna?
Karena entah kenapa, aku tahu… takdir akan mempertemukan kami. Dan saat itu terjadi, aku tidak yakin apakah aku bisa membedakan siapa yang jatuh cinta padanya—aku… atau Deno.
Bab 3: Rasa yang Tak Pernah Dikenal
Semenjak aku tahu nama Sienna, pikiranku tidak pernah tenang. Setiap kali menutup mata, aku bisa melihat wajahnya. Bukan karena aku pernah bertemu… tapi karena aku ingat. Ingat senyum yang menenangkan. Ingat tatapan matanya yang lembut tapi menyimpan luka.
Tapi itu mustahil, kan?
Aku bahkan belum pernah melihatnya secara langsung.
Hari itu, aku membuka lemari dan memilih pakaian yang… bukan aku banget. Dulu aku paling anti pakai jaket denim dan sepatu sneakers putih. Tapi pagi ini, aku seperti ditarik oleh pilihan yang enggak biasa. Tubuhku bergerak duluan. Seolah gaya ini lebih familiar dari gaya lamaku.
Dan yang lebih aneh lagi, aku mulai suka duduk sendiri di taman, melukis.
Ya, melukis.
Aku bahkan enggak bisa gambar bintang tanpa terlihat kayak bekicot. Tapi tanganku bergerak luwes saat memegang pensil sketsa. Tanpa sadar, aku sudah menggambar wajah perempuan—lagi-lagi wajah itu. Sienna.
Aku menatap lukisan yang hampir selesai. Lalu pelan-pelan, air mata jatuh ke atas kertas.
Kenapa aku bisa merasa kehilangan seseorang… yang bahkan belum pernah jadi milikku?
Sore itu, aku berjalan sendirian ke pusat kota. Entah kenapa langkahku mengarah ke gang kecil yang tak pernah kujelajahi sebelumnya. Ada kafe kecil di ujung gang, dengan tulisan “House of Brew” di jendela depannya. Aku enggak tahu kenapa aku masuk, tapi… sesuatu dalam diriku mendorongku.
Begitu masuk, aroma kopi hitam langsung menyambut.
Dan tiba-tiba, kepalaku pusing. Ruangan itu… familiar. Meja pojok dekat jendela. Kursi kayu berderit. Lampu gantung temaram. Semua terasa seperti bagian dari mimpi—atau… ingatan.
Aku duduk di meja pojok, tempat yang seperti memanggilku. Lalu pelayan datang.
“Pesan apa, Kak?”
Tanpa pikir panjang, aku menjawab, “Kopi hitam. Tanpa gula.”
Lidahku terdiam beberapa detik. Sejak kapan aku suka kopi hitam?
Jawabannya muncul sendiri: sejak jantung ini mulai berdetak.
Ketika pelayan kembali dengan kopi, mataku menangkap sosok seseorang yang baru masuk. Suaraku tercekat.
Dia.
Gadis dalam mimpi. Gadis dalam lukisan. Sienna.
Dia terlihat lebih nyata dari semua bayanganku. Lebih rapuh dari yang kukira. Dia memakai cardigan cokelat muda, rambutnya dikepang sederhana ke samping, dan matanya menyapu ruangan dengan canggung, seperti sedang mencari seseorang.
Lalu… matanya bertemu denganku.
Deg.
Aku langsung menunduk. Tanganku gemetar. Kenapa aku gugup seperti ini?
Tanpa kusangka, dia berjalan ke arahku.
“Hai… kamu Aira, ya?”
Aku kaget. “Kamu… kenal aku?”
Dia tersenyum kecil. “Kamu ninggalin sketsa di galeri lukisan beberapa hari lalu. Petugas di sana nyimpan buat jaga-jaga kalau kamu balik. Aku kebetulan lihat dan… kaget. Itu gambar aku, kan?”
Aku membeku.
“Maaf kalau itu aneh,” kataku, tergagap. “Aku… aku enggak tahu kenapa aku bisa gambar kamu.”
Dia duduk di depanku. “Enggak apa-apa. Malah aku penasaran. Kita… pernah ketemu sebelumnya?”
Aku menggeleng cepat. “Kayaknya enggak.”
Tapi dalam hati… aku tahu aku salah. Kami pernah bertemu. Dalam dunia mimpi. Dalam setiap napas yang dihembuskan jantung ini. Dalam rasa yang bukan punyaku—tapi kini tumbuh di dalamku.
Sienna menatapku cukup lama, lalu berkata pelan, “Entah kenapa… aku merasa nyaman sama kamu.”
Deg.
Itu kalimat yang dulu Deno tulis dalam surat terakhirnya. Surat yang belum sempat ia kirim.
Aku menggenggam gelas kopi erat-erat. Suhu panasnya tak sanggup mengalahkan dingin yang merayap dari dalam tubuhku.
“Aira…” Sienna menatapku dalam. “Kamu pernah… ngerasa kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah kamu miliki?”
Aku terdiam.
Air mataku hampir jatuh, tapi kutahan. Karena jawabannya adalah: ya. Setiap hari sejak jantung ini berdetak dalam tubuhku.
Aku ingin jujur padanya. Aku ingin bilang bahwa aku ini hanya wadah dari seseorang yang dulu ia cintai. Tapi… aku takut. Takut kalau yang ia rasakan padaku… hanya bayangan dari cinta yang lama.
Dan aku… hanyalah pantulan hantu masa lalu.
Malam itu, aku kembali bermimpi. Tapi kali ini lebih nyata. Aku berdiri di kamar Deno, memegang foto Sienna. Lalu aku berkata,
“Maaf, aku enggak cukup kuat. Tapi kalau kamu nemuin seseorang yang punya detak yang sama… tolong kasih dia kesempatan.”
Aku terbangun dengan mata basah. Di luar, hujan turun pelan.
Dan untuk pertama kalinya… aku merasa jantungku bukan hanya berdetak karena hidup. Tapi karena cinta.
Cinta yang tak pernah kukenal… tapi kini jadi milikku.
Bab 4: Wajah dalam Lukisan
Sudah seminggu sejak pertemuan pertama kami di kafe. Tapi wajah Sienna tidak pernah benar-benar pergi dari kepalaku. Bahkan ketika aku terjaga, ingatan tentang senyum simpelnya, caranya menggulung lengan bajunya ke siku, cara dia memiringkan kepala saat mendengarkan… semua terus berputar di pikiranku.
Dan satu hal yang lebih mengganggu: perasaanku makin dalam setiap harinya.
Bukan sekadar kagum.
Tapi rasa… cinta.
Padahal kami baru bertemu. Padahal aku Aira, dan dia bukan siapa-siapa bagiku—secara logika. Tapi hati ini berdetak terlalu keras setiap kali membayangkan dia.
Atau lebih tepatnya… jantung ini.
Hari itu, aku mendatangi galeri lukisan tempat aku pertama kali menggambar wajah Sienna. Aku datang bukan untuk melukis, tapi karena ingin mencari jawaban. Ada sesuatu yang belum selesai di tempat ini, dan aku bisa merasakannya.
Ruangan galeri sepi. Aroma cat minyak dan kayu tua menyambutku.
Aku berjalan menyusuri dinding, melihat lukisan-lukisan yang dipajang. Sebagian besar lukisan dari seniman-seniman lokal. Tapi di ujung lorong kecil, ada satu lukisan yang menarik perhatianku.
Lukisan itu dikelilingi pigura hitam. Gaya lukisannya realis, sangat halus, penuh perasaan. Subjeknya… seorang perempuan duduk di taman, memandang ke langit dengan mata basah. Di sudut bawah kanvas, tergores kecil nama pelukisnya: D. Alvian.
Deno.
Jantungku berdegup kencang.
Itu Sienna.
Sienna dengan tatapan hampa, penuh kehilangan.
Dan yang lebih gila, aku pernah melihat wajah itu. Dalam mimpiku.
Aku mengangkat tangan, menyentuh kaca pelindung lukisan itu. Sebuah suara muncul di belakangku.
“Itu lukisan terakhirnya sebelum dia pergi.”
Aku menoleh. Seorang pria paruh baya berdiri di sana, mengenakan kemeja lusuh dan topi datar. “Kamu kenal Deno?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan. “Aku… pernah dengar namanya.”
Pria itu menghela napas. “Dia anak yang baik. Pelukis berbakat. Tapi sejak putus dari pacarnya, dia kayak orang hilang arah. Gambarannya jadi gelap, suram. Lalu suatu hari… dia datang ke sini, titipin lukisan ini. Besoknya, dia…”
Dia tidak melanjutkan.
“Bunuh diri di tebing,” aku yang menyelesaikan kalimat itu, suara lirihku nyaris hilang.
Si pria mengangguk, matanya kosong. “Sienna datang ke sini setelah itu. Dia berdiri lama di depan lukisan ini, nggak ngomong sepatah kata pun. Lalu dia pergi. Sejak itu… dia nggak pernah balik.”
Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi tubuhku mulai gemetar. Aku merasa terlalu terhubung. Seperti ada jaring-jaring tak terlihat yang menarikku semakin dalam.
Bahkan sebelum aku sadar, aku sudah duduk di bangku lukisan, menggambar lagi. Tanganku bergerak cepat. Pensil menari sendiri di atas kertas. Garis demi garis membentuk senyuman samar… dan mata lembut yang menyimpan luka.
Sienna lagi.
Tapi kali ini… ekspresinya seperti sedang menatap seseorang.
Seseorang yang ia tunggu, tapi tak pernah datang.
Aku menggigit bibir. Perasaan bersalah menghantam dadaku keras. Karena entah kenapa, aku merasa… akulah yang membuatnya menunggu selama ini.
Malam harinya, aku kembali bermimpi.
Tapi ini bukan mimpi biasa.
Aku berada di kamar Deno. Duduk di kursi kayunya, menatap surat di atas meja. Surat untuk Sienna.
Tapi kali ini, aku membacanya.
“Sienna… Kalau kamu baca ini, berarti aku sudah terlalu lelah untuk menunggu diriku sendiri pulih. Tapi jantungku akan terus berdetak. Mungkin di tubuh orang lain. Mungkin di kehidupan yang berbeda. Tapi detaknya… akan tetap mencari kamu.”
Air mataku jatuh di dunia nyata.
Aku terbangun dengan perasaan sesak. Aku tahu sekarang… kenapa aku merasakan cinta ini. Kenapa rasa itu terlalu nyata untuk disebut ilusi.
Jantung ini masih mencintai Sienna.
Dan aku, Aira… mulai tak bisa membedakan mana cinta yang milikku, dan mana cinta yang diwariskan.
Pagi harinya, Sienna mengirim pesan.
“Aira… kamu bisa ketemu? Aku pengin ngobrol tentang sesuatu yang agak aneh.”
Deg.
Aku mengetik cepat, “Tentu. Di mana?”
Dia mengajak ketemuan di taman kota. Dan saat aku sampai, dia sudah duduk di bangku batu dekat pohon besar. Di tangannya, ada lukisan.
Lukisan yang aku tinggalkan di galeri.
“Aku nggak tahu kenapa kamu bisa gambar wajah aku seakurat ini,” katanya pelan, “tapi yang lebih aneh… aku merasa kayak pernah lihat kamu. Tapi bukan sebagai kamu.”
Aku menahan napas.
“Aira…” dia menatapku, “kamu pernah jatuh cinta sama orang yang belum pernah kamu sentuh?”
Pertanyaan itu menghantam jiwaku.
Aku hanya bisa menjawab, pelan, jujur, dan takut, “Setiap hari.”
Kami saling menatap. Dalam keheningan, hanya terdengar detak jantungku.
Tapi aku tahu… itu bukan hanya detak milikku.
Bab 5: Pertemuan yang Tak Seharusnya
Hari itu hujan gerimis. Langit mendung, tapi tak segelap isi kepalaku. Setelah obrolan di taman kemarin, aku merasa semuanya makin kabur. Aku mulai takut. Bukan karena aku mencintai Sienna, tapi karena aku tidak tahu apakah cinta itu milik Aira… atau sisa detak dari Deno.
Dan sekarang, Sienna mengajakku bertemu lagi. Kali ini bukan di taman, bukan di kafe, tapi… di rumahnya.
“Aku mau nunjukin sesuatu,” katanya melalui pesan.
Kupandangi ponselku cukup lama sebelum akhirnya membalas: Oke. Aku datang.
Rumah Sienna berada di pinggir kota. Tidak besar, tapi hangat. Halamannya dipenuhi tanaman gantung dan bunga liar. Aku berdiri cukup lama di depan gerbang sebelum akhirnya mengetuk.
“Masuk aja,” suara Sienna terdengar dari dalam.
Langkahku terasa berat. Seperti jantungku tahu—ini bukan pertemuan biasa.
Begitu masuk, aroma lavender menyambut. Sienna duduk di ruang tamu, di samping sebuah meja yang penuh kertas dan foto.
“Kamu duduk dulu, ya,” katanya sambil menyingkirkan tumpukan kertas. “Maaf berantakan. Aku lagi… nyari sesuatu.”
Aku duduk perlahan. Mataku langsung tertarik pada foto-foto yang berserakan. Semuanya adalah potret Deno. Sendiri, tersenyum, bersama Sienna. Ada satu yang membuatku tercekat—foto mereka berdua di tebing.
Tebing yang sama dari mimpiku.
“Kamu kenal dia?” tanyaku pelan.
Sienna mengangguk. “Deno. Mantan tunanganku.”
Kata “tunanganku” menamparku. Jauh di dalam dada, ada sesuatu yang bergetar tak nyaman. Padahal aku tahu—aku tidak punya hak untuk merasa cemburu.
“Aku… mimpiin dia,” bisikku jujur. “Berkali-kali. Aku lihat dia di tebing. Aku dengar dia bilang… ‘aku capek’. Dan… nama kamu.”
Sienna menoleh cepat. “Kamu dengar dia bilang namaku?”
Aku mengangguk.
Dia menarik napas panjang. “Aira, aku juga mimpiin dia. Tapi setelah kamu datang.”
Deg.
“Aku bermimpi… dia datang dalam sosok orang lain. Tapi matanya… masih sama. Dan dia bilang sesuatu yang aneh.”
“Apa?” tanyaku nyaris berbisik.
“‘Kamu enggak kehilangan aku. Aku cuma berubah wujud.’”
Kami saling menatap. Tak ada suara selain suara detak jarum jam dan hujan di luar jendela.
Lalu, Sienna berdiri dan mengambil sesuatu dari laci.
“Ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah buku sketsa. “Punya Deno. Aku nemuin ini setelah dia pergi. Tapi halaman terakhirnya kosong. Dan semalam… waktu aku buka lagi…”
Dia membuka halaman terakhir.
Dan mataku membelalak.
Itu gambar aku.
Gambarku.
Tapi lebih tepatnya… gambar Aira versi Deno.
Rambutku terurai, dengan senyum tipis dan mata penuh kerinduan. Tertulis kecil di sudut kertas: “Aku akan hidup lagi. Untuk mencintainya dengan cara yang berbeda.”
Tubuhku menggigil.
“Aku enggak tahu harus percaya apa,” kata Sienna, matanya mulai basah. “Tapi sejak kamu datang… aku ngerasa dia enggak sepenuhnya pergi.”
Aku tidak menjawab. Karena aku juga tidak tahu siapa yang sedang bicara sekarang: Aira… atau Deno?
Sore menjelang. Kami duduk diam di balkon, menatap langit yang mulai berubah warna.
“Aira…” suara Sienna pelan, “apa kamu ngerasa kayak… kamu bukan dirimu sendiri?”
Aku memejamkan mata. “Setiap hari.”
Dia menatapku. “Apa kamu percaya kalau perasaan bisa tertanam di tubuh?”
“Aku enggak tahu,” jawabku jujur. “Tapi aku tahu… aku mencintaimu. Dan aku enggak tahu apakah cinta ini milikku… atau milik jantung yang ada di dalam tubuhku.”
Tangisan Sienna pecah pelan.
“Kamu tahu rasanya nggak?” katanya. “Dicintai seseorang yang kamu harap kembali… tapi dia kembali dalam wujud yang bukan kamu kenal.”
Aku ingin memeluknya. Tapi aku takut pelukan itu bukan milik Aira. Aku takut aku hanya perpanjangan dari perasaan Deno. Dan kalau aku memeluk Sienna… aku akan kehilangan diriku sendiri.
Tapi saat tangannya menyentuh tanganku, semua suara dalam kepalaku hening.
Tak ada Deno. Tak ada Aira.
Hanya… rasa yang tak seharusnya ada. Tapi nyata.
Sebelum aku pulang, Sienna menatapku dalam.
“Aku enggak tahu kamu siapa. Tapi kalau kamu tetap di sini… aku akan tetap percaya, bahkan kalau aku harus kehilangan logika.”
Aku hanya bisa mengangguk.
Tapi di dalam hatiku… aku mulai takut.
Bukan karena aku kehilangan diriku…
Tapi karena aku mulai menyukai kehilangan itu.
Bab 6: Cinta yang Terwariskan
Setelah pertemuan di rumah Sienna, segalanya mulai kabur. Antara aku dan Deno. Antara masa kini dan masa lalu. Dan terutama—antara cinta yang tumbuh dan cinta yang tertinggal.
Hari-hariku terasa seperti berjalan di antara dua dimensi. Kadang aku sadar, aku adalah Aira, perempuan yang selamat dari kecelakaan dan sedang menjalani hidup baru. Tapi di saat lain, aku seperti berada di tubuh orang lain. Tanganku menulis dengan cara yang berbeda. Suaraku terdengar asing saat berbicara di depan cermin.
Dan malam itu… aku benar-benar kehilangan kendali.
Aku baru selesai mandi ketika melihat buku sketsa lamaku tergeletak di meja. Anehnya, halaman terakhirnya penuh coretan tulisan tangan—bukan sketsa. Aku tahu aku tidak pernah menulis di situ, tapi semuanya tertulis dengan rapi. Tinta masih segar.
Aku membaca pelan.
“Sienna… kamu masih tetap cantik meski matamu dipenuhi luka. Maaf kalau aku kembali dalam bentuk yang menyakitkan.”
“Tapi ini satu-satunya cara aku bisa bertahan.”
“Dan mencintaimu lagi… meski dengan nama baru.”
Tanganku gemetar. Jantungku—atau lebih tepatnya jantung kami—berdebar kencang.
Aku mencoba mengingat apakah aku menulis itu saat tidur. Tapi tidak ada ingatan. Sama sekali.
Yang lebih menyeramkan, tulisannya identik dengan tulisan tangan Deno dari surat yang kutemukan dulu.
Aku berdiri di depan kaca. Menatap wajahku sendiri.
“Aku masih Aira,” bisikku.
Tapi pantulan di cermin terlihat samar. Seolah-olah aku sedang melihat dua bayangan. Aira dan… sosok lelaki yang begitu lelah tapi mencintai dengan dalam.
Aku mulai menjauh dari dunia. Dari teman-teman. Bahkan dari Mama. Aku mengurung diri, sibuk menulis surat-surat yang bukan untukku. Menggambar wajah-wajah yang tidak bisa kulupakan. Selalu berakhir pada satu nama: Sienna.
Tapi yang paling membuatku takut… aku tidak merasa keberatan.
Setiap malam aku tidur dengan harapan bisa bermimpi lagi. Bertemu Sienna dari masa lalu. Mendengar suara Deno yang kini tinggal dalam detak jantungku. Dan saat pagi datang, aku tersenyum… karena perasaan itu terasa utuh.
Padahal aku tahu… ini bukan cinta yang lahir dari awal. Ini cinta yang diwariskan. Yang tidak seharusnya kuterima.
Tapi aku menerimanya. Dengan utuh.
Sienna mulai merasakan sesuatu juga. Beberapa kali dia mengirim pesan, mengatakan mimpi-mimpinya semakin aneh.
“Aira… aku mimpiin kamu terus. Tapi kamu bukan kamu. Kamu… Deno. Dan kamu selalu bilang kamu mau kembali, tapi terjebak di tubuh lain.”
“Aku takut. Tapi kenapa hatiku justru tenang?”
Aku ingin menjawab, tapi aku tidak tahu harus bilang apa.
Karena kenyataannya, aku juga terjebak.
Terjebak dalam perasaan yang bukan punyaku, tapi kini sudah menyatu dengan nadiku.
Hari itu, aku memberanikan diri untuk bertemu Sienna lagi. Aku tahu kami harus bicara. Harus jujur.
Kami bertemu di taman tempat pertama kali kami duduk berdua.
Sienna mengenakan dress biru muda, dan rambutnya diikat seperti dalam lukisan yang pernah kulihat di mimpi.
Aku menatapnya lama, seolah ingin mengingat setiap detail dirinya sebelum aku kehilangan kendali lagi.
Dia menatapku balik, pelan berkata, “Kamu bukan Aira yang aku temui waktu itu, ya?”
Aku menunduk. “Aku masih Aira. Tapi aku juga… bukan hanya Aira.”
Dia menggenggam tanganku. “Aku bisa rasakan. Tapi anehnya… aku nggak takut.”
Air mataku jatuh tanpa izin. “Kalau aku bukan aku… dan kamu mencintaiku… berarti kamu masih mencintai dia, kan?”
Sienna diam.
Lalu dia menjawab dengan suara paling jujur yang pernah kudengar.
“Aku enggak tahu. Tapi yang kusentuh sekarang… adalah kamu. Yang kucinta sekarang… juga kamu.”
Detik itu, aku ingin percaya bahwa cinta bisa menembus batas antara hidup dan mati. Bahwa cinta bukan soal siapa yang dulu… tapi siapa yang tetap bertahan.
Tapi sebelum aku bisa bilang apa pun, kepalaku terasa sakit.
Tiba-tiba dunia berputar. Nafasku pendek.
Sienna panik. “Aira? Kamu kenapa?!”
Aku tersungkur. Dan saat aku menatap wajahnya, aku merasa asing. Bukan karena dia berubah… tapi karena aku merasa bukan lagi Aira.
Di detik terakhir sebelum kesadaranku hilang, aku mendengar suara dalam pikiranku.
“Kalau dia mencintaiku lagi… apa kamu rela melepaskannya?”
Dan untuk pertama kalinya…
Aku tidak tahu jawabannya.
Bab 7: Surat yang Tak Pernah Sampai
Aku terbangun di ranjang rumah sakit. Lagi.
Langit-langit putih. Bau antiseptik. Bunyi mesin monitor berdetak lambat. Semua itu membawaku pada satu pertanyaan: aku masih Aira, atau sudah jadi Deno sepenuhnya?
Sienna duduk di samping ranjang, memegang tanganku. Wajahnya cemas, tapi matanya menunjukkan kelegaan.
“Kamu sadar…”
Aku mengangguk lemah. Tenggorokanku kering. Suaraku serak saat keluar.
“Berapa lama aku pingsan?”
“Hampir dua hari. Kata dokter, tekanan emosimu terlalu tinggi. Jantungmu sempat nggak stabil…”
Aku mengalihkan pandangan. Kata “jantung” membuatku semakin tidak nyaman. Rasanya seperti organ ini bukan hanya sekadar pompa darah. Ia membawa lebih dari itu—ingatan, luka, bahkan cinta yang belum tuntas.
Sienna mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Aku… nemu ini di kotak surat apartemen lamaku,” katanya sambil menyerahkan amplop cokelat usang. “Aku pikir… kamu harus lihat ini.”
Aku membuka amplop itu dengan tangan gemetar.
Di dalamnya ada sepucuk surat—tertulis tangan, tinta hampir pudar. Tapi tulisannya… lagi-lagi identik dengan yang pernah muncul di buku sketsaku. Tulisan Deno.
“Untuk Sienna, kalau kamu baca ini… itu berarti aku gagal bertahan.”
“Aku nggak pengin kamu merasa bersalah. Semua ini pilihanku sendiri. Aku terlalu lelah jadi orang yang baik, jadi orang yang sabar, jadi orang yang kuat. Tapi aku nggak pernah lelah mencintaimu.”
“Maaf karena harus mencintaimu bahkan setelah aku mati.”
Aku menahan napas. Kata-kata itu seperti masuk langsung ke dalam dadaku dan mengaduk isi jiwaku.
Yang lebih gila—aku tahu aku tidak pernah membaca surat ini sebelumnya. Tapi entah bagaimana… aku hafal isinya.
Sienna menatapku lekat-lekat. “Aira… kamu tahu surat itu ditulis kapan?”
Aku menggeleng.
“Hari yang sama saat Deno… pergi.”
Suasana hening begitu mencekam. Hanya detak mesin monitor yang terdengar, berdenting seperti penanda waktu yang terus bergulir… dan semakin menekan perasaanku.
“Aku harus cerita sesuatu,” kataku pelan.
Sienna mengangguk. “Kamu bisa cerita apa pun.”
Aku menatapnya lurus. “Ada suara di kepalaku. Kadang, aku dengar dia bicara. Aku bahkan bisa merasakan perasaannya. Kesepian, kecewa, cinta… semua itu begitu kuat sampai aku nggak bisa bedain lagi mana yang nyata dan mana yang sisa.”
Sienna meremas tanganku erat. “Apa kamu merasa dia mau ambil alih dirimu?”
Aku menarik napas panjang. “Bukan. Justru sebaliknya… aku yang mulai ngelepasin diriku sendiri.”
Aku menunduk, tak kuasa menahan air mata.
“Dan yang lebih parah… aku nggak yakin aku mau menghentikannya.”
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, aku mulai menulis. Bukan untuk terapi, bukan untuk mengenang. Tapi karena tangan ini bergerak sendiri. Tulisanku berubah. Caraku mengungkapkan emosi tak lagi seperti Aira.
Sienna membacanya diam-diam. Lalu dia berkata pelan, “Kalau kamu terus berubah, kamu pikir… apa yang akan tersisa dari Aira?”
Aku tak menjawab.
Karena aku tahu jawabannya: mungkin tidak ada.
Dan yang paling menyakitkan… aku tidak takut kehilangan diriku, selama itu membuatku lebih dekat dengan Sienna.
Apakah ini cinta sejati? Atau sekadar warisan dari jiwa yang belum selesai?
Suatu malam, aku duduk di depan kaca. Menatap wajahku sendiri.
Lalu aku bicara, dan suaraku bukan lagi suaraku.
“Kalau kamu bisa hidup di dalam cinta yang pernah hilang… apa kamu tetap akan memilih dirimu sendiri?”
Aku menangis. Tapi air mata itu terasa seperti milik dua orang.
Aku dan Deno.
Di titik ini, aku sadar: cinta yang tumbuh dari kematian… tak pernah datang tanpa harga.
Dan aku mulai bertanya pada diri sendiri…
Kalau Sienna mencintaiku karena aku menyerupai Deno… apakah aku masih pantas untuk dicintai?
Bab 8: Aku Bukan Diriku Lagi
Aku duduk di depan meja tulis, cahaya lampu temaram menyinari lembaran kertas di hadapanku. Tangan kananku memegang pena, dan sebelum aku sadar, aku sudah menulis beberapa paragraf.
Yang anehnya—aku tidak tahu apa yang kutulis… sampai aku membacanya ulang.
“Sienna, aku tahu kamu masih mencintaiku, meski mungkin kamu tidak mau mengakuinya. Tapi aku juga tahu… kamu mulai mencintai orang lain. Tubuh baru. Nama baru. Tapi jantungnya? Masih milikku.”
Tanganku gemetar. Aku menatap tulisan itu dengan napas berat. Kalimat demi kalimat terasa begitu asing—tapi juga… sangat akrab. Seolah aku sedang membaca pikiran yang tersimpan dalam organ ini, bukan dari otakku.
Aku—Aira—tidak akan pernah menulis seperti itu. Tapi Deno akan.
Dan semakin hari, suara itu semakin sering muncul di kepalaku.
Bukan hanya dalam mimpi.
Tapi saat aku terjaga.
Pagi itu, saat bercermin, aku melihat diriku—tapi seolah ada bayangan samar berdiri di belakang pantulan. Bukan fisiknya. Tapi auranya. Seperti energi yang menyusup pelan-pelan ke dalam hidupku.
Aku menyisir rambut, dan di kepalaku terdengar suara: “Sienna lebih suka rambut diikat ke samping, seperti waktu malam hujan terakhir kita.”
Aku terdiam. Aku tidak pernah tahu itu. Tapi aku tetap mengikat rambutku ke samping.
Bukan karena aku ingin… tapi karena aku merasa harus.
Sienna mulai merasakan perubahan juga.
“Kamu… makin berbeda,” katanya saat kami duduk di kafe tempat pertama kali bertemu.
“Berbeda gimana?”
“Cara kamu lihat aku… cara kamu ngomong, cara kamu diam. Rasanya seperti… Deno.”
Aku menunduk. Aku tidak tahu harus bahagia atau takut.
“Apa kamu lebih suka aku seperti ini?” tanyaku pelan.
Sienna terdiam lama. Lalu menjawab, “Aku enggak tahu. Kadang aku merasa kamu Aira, yang hangat dan lembut. Tapi kadang… kamu jadi seperti sosok yang aku kenal bertahun-tahun lalu. Penuh luka… dan cinta yang belum selesai.”
Aku menatapnya. “Kalau kamu harus memilih… kamu cinta yang mana?”
Dia menggigit bibir, menunduk, dan berbisik, “Itu pertanyaan yang paling aku takuti…”
Di rumah, aku mulai menemukan bukti bahwa diriku semakin berubah.
Playlist musikku dipenuhi lagu-lagu lama yang sebelumnya tidak pernah kusukai.
Catatan harianku berubah nada. Kalimatnya terlalu puitis. Terlalu maskulin. Terlalu… Deno.
Bahkan pola jalanku, cara aku memegang sendok, cara aku berdiri di balkon—semua mulai terasa asing.
Aku mencoba bicara pada Mama, berharap ada yang bisa menarikku kembali.
Tapi saat aku bilang, “Ma… kalau suatu saat aku bukan Aira lagi, Ma rela nggak?”
Mama hanya menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Kamu tetap anak Mama… meski kamu merasa berubah. Tapi, Nak… jangan hilangin dirimu sendiri demi rasa yang bukan milikmu.”
Aku menahan napas. Kata-kata Mama menyakitkan—karena aku tahu, diriku sendiri perlahan memudar.
Malamnya, aku menulis surat. Tapi kali ini, untuk diriku sendiri.
“Untuk Aira, jika kamu masih ada di dalam tubuh ini… aku minta maaf. Aku tahu kamu hanya ingin hidup kembali. Tapi kamu diberi jantung yang punya masa lalu. Dan aku—yang sekarang menulis ini—mungkin bukan kamu lagi.”
“Tapi aku juga bukan Deno. Aku adalah percampuran yang tidak diminta. Cinta yang tidak seharusnya bertahan, tapi menolak mati.”
“Kalau aku harus memilih… aku ingin kamu tetap hidup. Tapi aku tidak tahu apakah aku masih bisa menemukanmu di dalam tubuh ini.”
Tangisku pecah di meja.
Aku menutup surat itu dengan tangan yang gemetar.
Dan untuk pertama kalinya…
Aku takut pada diriku sendiri.
Beberapa hari setelahnya, aku bertemu Sienna lagi. Tapi kali ini, aku membawa surat itu.
“Aku mau kamu baca ini,” kataku, menyerahkan amplop putih yang masih hangat dari genggaman.
Sienna membacanya diam-diam. Lalu menatapku.
Matanya penuh air mata.
“Aku… enggak tahu siapa kamu sekarang,” katanya pelan. “Tapi aku masih ingin kamu ada di hidupku.”
Aku ingin menjawab, tapi suaraku tercekat.
Karena aku juga enggak tahu siapa yang sedang menatapnya sekarang.
Aira… atau bayang-bayang Deno yang makin nyata?
Dan kalau aku terus jadi campuran keduanya…
Apakah aku masih pantas menerima cinta?
Bab 9: Antara Cinta atau Kutukan
Sejak Sienna membaca suratku, semuanya tak lagi sama.
Pesan-pesannya jadi makin jarang. Pertemuannya makin singkat. Wajahnya… tak lagi sehangat dulu. Bukan karena dia marah. Tapi karena dia takut. Aku tahu itu. Dan aku tidak bisa menyalahkannya.
Karena aku pun takut dengan diriku sendiri.
Pagi itu aku berdiri di depan cermin, memandangi bayanganku yang entah milik siapa. Aku mencoba bicara sendiri seperti biasanya. Tapi kali ini… suaraku berbeda. Lebih dalam. Lebih berat.
“Apa kamu masih Aira?” tanyaku pada bayangan.
Tak ada jawaban.
Tapi sesuatu dalam diriku menjawab, “Kamu adalah tempat bagi cinta yang belum selesai.”
Aku terduduk di lantai kamar, memeluk lutut, dan menangis.
Aku lelah.
Lelah menjadi wadah untuk seseorang yang sudah mati.
Lelah mencintai dengan jantung yang bukan milikku.
Lelah kehilangan diriku sendiri… demi seseorang yang bahkan tak pernah kukenal saat dia masih hidup.
Hari itu aku mendatangi Sienna. Tanpa janji. Tanpa pesan.
Saat dia membuka pintu, raut wajahnya kaget—dan ragu.
“Aira…”
Aku memaksakan senyum. “Boleh aku bicara?”
Sienna mengangguk pelan. Kami duduk di ruang tamu. Jarak kami terlalu dekat, tapi juga terasa terlalu jauh.
“Aku… cuma mau bilang satu hal,” kataku.
Dia menunggu.
“Aku mencintaimu.”
Napas Sienna tercekat. Tapi aku melanjutkan.
“Tapi aku enggak tahu… apakah cinta ini milikku, atau warisan dari jantung yang terus memaksaku merasa.”
Air mata jatuh dari sudut matanya.
“Aku juga enggak tahu, Aira,” katanya pelan. “Awalnya aku pikir ini kebetulan. Tapi makin lama, aku merasa kehilangan dua kali. Aku kehilangan Deno… dan sekarang aku perlahan kehilangan kamu.”
“Kalau aku cuma bayangan dari cinta masa lalu… apa kamu masih sanggup bertahan di sisiku?”
Dia menunduk lama. Hening.
Dan saat akhirnya dia mengangkat wajah, matanya merah.
“Aku mencintai kamu, Aira. Tapi aku juga mencintai Deno. Dan aku… enggak bisa terus mencintai keduanya di dalam satu tubuh.”
Aku mengerti. Tapi itu tak membuatnya lebih mudah diterima.
“Jadi kamu mau pergi?” tanyaku, hampir tak terdengar.
Dia menggenggam tanganku. Lembut. Hangat. Tapi terasa seperti perpisahan.
“Aku mau kamu sembuh. Aku mau kamu kembali jadi kamu… kalau kamu masih bisa.”
Aku hanya bisa mengangguk. Padahal hatiku hancur.
Sienna mencium keningku sebelum pergi ke dalam, lalu kembali membawa kotak kecil.
“Ini barang-barang Deno yang terakhir,” katanya. “Aku nggak bisa menyimpannya lagi. Tapi mungkin… kamu butuh.”
Aku menerima kotak itu. Di dalamnya ada kalung tua, buku puisi milik Deno, dan satu surat terakhir. Belum pernah kubaca.
Aku memeluk kotak itu erat-erat. Seolah isinya bukan benda… tapi bagian terakhir dari perasaan yang tidak pernah selesai.
Malamnya, aku membuka surat itu.
“Kalau kamu membaca ini, berarti kamu yang menerima detak terakhirku. Entah siapa kamu, tapi aku tahu… kamu pasti kuat.”
“Jangan biarkan aku mengalahkanmu. Cinta ini milikku. Tapi hidup… itu milikmu.”
“Tolong… cintai dia dengan caramu. Bukan caraku.”
Aku menangis.
Karena untuk pertama kalinya… Deno bicara padaku, bukan lewat mimpi. Tapi lewat kata-kata yang menyuruhku melepaskan.
Dan aku tahu… apa yang harus kulakukan.
Pagi harinya, aku berdiri di tebing yang sama. Tempat Deno mengakhiri hidupnya. Tapi aku datang bukan untuk mengulang. Aku datang untuk mengakhiri siklusnya.
Aku membuka kalung Deno. Melemparkannya ke laut.
Aku menatap langit dan berbisik,
“Deno, terima kasih untuk kehidupan yang kamu berikan. Tapi sekarang… aku mau mulai hidup sebagai Aira lagi. Tanpa bayanganmu. Tanpa jantungmu yang memaksa. Aku ingin… mencintai dengan hatiku sendiri.”
Dan untuk pertama kalinya…
Detaknya terasa hanya milikku.
Bab 10: Jantung yang Memilih
Sudah tiga bulan sejak aku berdiri di tebing itu. Sejak aku melepas kalung Deno ke laut dan memutus siklus yang selama ini mengikatku dalam rasa yang bukan milikku.
Dan dalam tiga bulan itu, hidupku perlahan berubah.
Aku kembali ke kebiasaanku sendiri. Mulai suka teh manis lagi. Tak lagi bangun dengan mimpi aneh. Tidak ada lagi suara di kepala. Tidak ada lagi tulisan tangan Deno yang muncul tanpa sadar.
Aku—Aira—akhirnya pulih.
Tapi ada yang tertinggal. Bukan Deno. Tapi bekas dari perjalanan yang pernah kujalani bersamanya—di dalam detak yang tak kuminta, tapi pernah jadi bagian dariku.
Yang tersisa sekarang hanyalah… aku. Sepenuhnya.
Hari itu, aku berdiri di depan galeri tempat Deno pernah memajang lukisan terakhirnya. Di dalamnya, sebuah pameran baru dibuka: “Detak yang Kembali.”
Kuratornya mengizinkan satu lukisan dariku dipajang.
Lukisan itu bukan wajah Sienna. Bukan pula potret Deno. Tapi gambar jantung manusia yang mekar seperti bunga, dengan dua tangan berbeda saling melepas, bukan menggenggam.
Bersama lukisan itu, aku menempelkan sepotong catatan kecil.
“Cinta bukan soal memiliki tubuh yang sama, tapi keberanian memilih… meski jantungnya tak lagi milikmu.”
– Aira.
Aku tidak berharap Sienna akan datang.
Tapi saat aku berdiri menatap lukisan itu dari kejauhan, seseorang berdiri di sampingku.
“Aku hampir nggak percaya ini karyamu,” katanya pelan.
Aku menoleh. Dan di sana dia—Sienna.
Matanya menatap lukisanku lama. Tidak dengan air mata. Tapi dengan damai yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Kamu kelihatan… tenang,” ucapnya.
“Aku sudah belajar melepaskan,” jawabku.
Dia mengangguk. “Dan jantungmu?”
“Akhirnya memilih aku,” kataku sambil tersenyum tipis.
Hening sesaat. Lalu dia berkata, “Aku senang.”
Aku menggenggam jemariku sendiri. Tak berani meminta apa pun darinya. Tidak cinta. Tidak balasan. Tidak kembali.
Tapi Sienna menoleh dan menatapku lekat-lekat.
“Kamu tahu?” katanya pelan, “Aku datang bukan untuk mencari Deno lagi. Aku datang untuk tahu… apakah Aira yang dulu aku kenal, masih hidup.”
Aku tersenyum. “Masih. Tapi dia juga sudah bukan yang dulu.”
Sienna mendekat satu langkah. “Aku juga bukan yang dulu.”
Dan saat dia menggenggam tanganku perlahan, aku tahu…
Cinta bisa datang kembali.
Bukan sebagai warisan.
Bukan sebagai hantu masa lalu.
Tapi sebagai pilihan yang lahir dari dua jiwa… yang memilih saling menyapa lagi.
Kini, setiap detak jantungku terasa utuh. Tak lagi terbelah antara masa lalu dan masa kini. Tak lagi menunggu seseorang yang telah tiada, tapi berani menyambut seseorang yang datang… dengan perlahan.
Aku tidak tahu ke mana langkah ini akan membawaku dan Sienna.
Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak takut lagi.
Karena jantung ini…
Akhirnya memilih hidup. Dan mencinta. Sebagai diriku sendiri.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.