Elira, seorang kurator muda di museum seni, menjalani hari biasa hingga tanpa sengaja tersedot ke dalam lukisan tua misterius. Ia terbangun di kerajaan Zepharion dunia asing yang dipenuhi rahasia dan sihir gelap. Di sana, ia dijadikan pelayan pribadi Raja Zev, penguasa tampan yang dikenal sebagai tiran berdarah dingin. Namun, Elira segera menyadari bahwa kekejaman sang raja hanyalah topeng dari konspirasi besar yang dikendalikan oleh penasihat kerajaan.
Di balik dinding istana yang bisu, Elira menemukan jejak masa lalu yang mengerikan, rahasia darah bangsawan, dan kenyataan bahwa dirinya bukan gadis biasa. Di tengah perjuangan menyelamatkan kerajaan, ia dihadapkan pada pilihan: menyelamatkan Zev atau mengorbankan dirinya sendiri demi menghancurkan kekuatan kegelapan yang membelenggu takhta. Sebuah kisah cinta penuh sihir, pengkhianatan, dan takdir yang tak bisa dihindari.
Bab 1: Lukisan yang Menyerap Jiwa
Langkah kaki Elira menggema di dalam ruangan yang sepi. Museum tua itu terasa sunyi seperti kuburan, dan aroma cat minyak bercampur debu memenuhi udara. Ia menatap lukisan-lukisan tua yang tergantung di dinding, masing-masing membawa cerita dari masa lalu yang asing baginya. Elira tidak pernah benar-benar tertarik pada sejarah, tapi hari ini berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya datang—dorongan aneh yang bahkan tak bisa ia jelaskan pada dirinya sendiri.
Ia berjalan pelan menyusuri koridor galeri kerajaan kuno. Langkahnya terhenti di depan sebuah lukisan besar, satu-satunya yang diletakkan di ujung ruangan, terselubung kain putih seperti menyembunyikan rahasia yang tak boleh dibuka sembarangan. Di bagian bawah kanvas tergantung plakat berdebu bertuliskan: “Zepharion, Kerajaan yang Hilang.”
Rasa penasaran mengalahkan logika. Tangannya terangkat, jari-jarinya menyentuh kain dan menariknya perlahan. Kain itu meluncur turun, membebaskan lukisan dari selimutnya. Dan saat matanya bertemu dengan lukisan itu, waktu seperti berhenti.
Lukisan itu begitu hidup. Terlalu hidup. Di dalamnya tergambar seorang raja muda bertakhta di atas singgasana emas, mengenakan jubah merah darah dengan mahkota berat di kepalanya. Tatapan matanya tajam, penuh wibawa, namun juga menyimpan kegelapan yang sulit dijelaskan. Di belakangnya berdiri seorang pria tua berjubah hitam—mungkin penasihat istana—yang tampak mengintip dari balik bahu sang raja.
Namun yang paling mengejutkan, bukanlah mereka.
Melainkan sosok seorang gadis kecil di pojok lukisan. Ia bersembunyi di balik pilar, matanya menatap tajam ke arah raja seolah ingin mengatakan sesuatu. Gadis itu… memiliki wajah yang sangat mirip Elira. Terlalu mirip.
“Nggak mungkin…” gumam Elira. Ia meraba lukisan itu, mencoba memastikan apakah itu hanya ilusi. Namun saat ujung jarinya menyentuh permukaan kanvas, denyut panas menyengat telapak tangannya. Seketika, suara angin mendesing memenuhi telinganya. Ruangan berputar. Lukisan bersinar terang.
“Elira!” panggil seseorang—entah siapa—sebelum semuanya berubah gelap.
Saat kesadarannya perlahan kembali, ia mencium aroma hutan basah. Burung-burung asing berkicau di kejauhan. Angin bertiup lembut, membawa bau tanah dan kayu tua. Ia membuka mata dan mendapati dirinya tergeletak di tengah hutan yang tak pernah ia kenal. Tubuhnya mengenakan pakaian seperti dari abad pertengahan—gaun pelayan berwarna cokelat kusam. Di tangannya tergenggam sapu kecil yang entah dari mana datangnya.
“Di mana aku…?” bisiknya panik.
Sebelum sempat berdiri, suara gemerincing armor terdengar dari balik semak. Sekelompok prajurit berkuda muncul, mengenakan baju zirah lengkap. Mereka menghampiri dengan cepat, dan salah satu dari mereka—pria berjenggot lebat—menurunkan helmnya dan menatap Elira dengan curiga.
“Pelayan dari mana kau datang? Kenapa berada di luar tembok istana?”
“Aku… aku tersesat…”
“Bohong!” bentaknya. “Semua pelayan dilarang keluar tanpa izin!”
Elira berusaha menjelaskan, tapi mulutnya tak mampu menjawab lebih dari satu kalimat. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Ia tersedot ke dalam lukisan, lalu bangun di dunia asing ini? Apa ini mimpi?
Tanpa banyak tanya, para prajurit menangkapnya dan mengikat tangannya. Ia dibawa menembus hutan, melintasi jalan tanah, hingga akhirnya muncullah pemandangan menakjubkan: sebuah istana megah menjulang di atas bukit, dikelilingi tembok batu abu-abu. Bendera merah dengan simbol singa emas berkibar di atas menara—sama seperti yang terlihat di lukisan.
“Selamat datang di Istana Zepharion,” ucap sang prajurit sinis. “Tempat di mana dusta dibayar dengan darah.”
Darah Elira mendadak dingin. Ia dibawa masuk melewati gerbang besar, disambut mata-mata asing para penjaga dan pelayan yang menunduk diam. Dunia ini terasa nyata—terlalu nyata. Langkahnya gemetar saat dipaksa masuk ke aula utama. Lantainya dari marmer mengkilap, dindingnya dihiasi permadani merah dan patung-patung raja sebelumnya. Dan di ujung aula… duduk sosok yang tak asing lagi.
Raja Zev.
Wajahnya persis seperti yang tergambar dalam lukisan. Tampan, namun dingin. Matanya menatap Elira seperti elang mengincar mangsa. Ia tidak berkata apa-apa cukup lama, hanya menatap. Hingga akhirnya, bibirnya bergerak dan suara beratnya menggema di seluruh ruangan.
“Kau… siapa namamu?”
“Elira,” jawabnya nyaris tak terdengar.
“Nama yang aneh,” ujarnya, lalu menoleh pada penasihat di sampingnya—pria tua berjubah hitam. Ya, pria yang sama dari lukisan. Tatapannya licik. Menakutkan.
“Pelayan baru. Awasi dia,” ucap sang raja kemudian. “Tempatkan dia di bawah pengawasan pribadi. Aku ingin tahu semua geraknya.”
Elira menunduk. Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu mengapa dipilih sebagai pelayan pribadi raja. Tapi satu hal pasti… sesuatu yang besar sedang terjadi.
Dan entah bagaimana, ia telah menjadi bagian dari cerita berdarah yang belum berakhir.
Bab 2: Sang Raja Tiran
Langit Zepharion berwarna kelabu pagi itu. Awan menggantung rendah, seperti menyembunyikan sesuatu yang tak ingin dilihat manusia. Udara di sekitar istana begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Tapi tak ada yang berani mengeluh—apalagi Elira, pelayan baru yang masih berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang bahkan belum sempat ia pahami.
Hari pertamanya sebagai pelayan pribadi raja dimulai dengan keheningan. Ia dibangunkan oleh seorang pelayan tua yang hanya bicara sepatah dua patah kata, lalu digiring ke kamar yang ternyata tak jauh dari ruang utama raja.
“Kau akan menyajikan sarapan. Jangan bicara kecuali diperintah. Jangan menatap mata raja terlalu lama. Dan… jangan sekali-kali menanyakan tentang masa lalunya,” bisik pelayan tua itu sebelum pergi, seolah mengucapkan doa kematian.
Elira menelan ludah. Ia bahkan belum punya waktu untuk memahami situasi, tapi kini dia sudah berdiri di hadapan pintu besar berlapis emas. Di baliknya, sang raja tiran sedang menunggu. Tangannya gemetar saat mengetuk.
“Masuk.”
Suaranya berat, dalam, dan entah kenapa—menggetarkan dada Elira. Ia mendorong pintu perlahan dan melangkah masuk. Ruangan itu mewah namun sepi. Tirai merah marun membingkai jendela besar, dan lantai batu dipoles hingga berkilau. Di tengah ruangan, duduk Raja Zev, mengenakan pakaian hitam dengan detail emas di kerahnya. Ia tidak menatap Elira. Matanya menatap lurus ke luar jendela, ke taman yang dihiasi bunga putih beracun yang disebut ‘Lidah Iblis’.
“Letakkan di meja,” ucapnya pelan.
Elira segera meletakkan nampan sarapan di meja kecil. Tangannya nyaris menjatuhkan cangkir teh. Tapi Zev sama sekali tidak menoleh.
“Apa kau tahu kenapa kau ditunjuk jadi pelayan pribadiku?” tanyanya tiba-tiba.
Elira mengangkat wajah, bingung, lalu menggeleng pelan.
“Karena kau… berbeda,” lanjutnya. Kali ini matanya menatap langsung ke mata Elira. Tatapan itu… tajam, tapi dalam. Bukan tatapan pembunuh dingin seperti yang dibicarakan orang-orang. Ada sesuatu yang lain di sana. Sesuatu yang… menyakitkan?
“Aku melihatmu datang entah dari mana, seperti hantu yang tersesat,” ucap Zev sambil berdiri, mendekat perlahan. “Dan aksenmu… bukan dari sini. Kau bukan rakyat Zepharion, kan?”
Elira tersentak. Bagaimana dia bisa tahu?
“Aku… tidak tahu harus jawab apa, Yang Mulia,” gumamnya gugup.
Zev tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatapnya lama, lalu kembali duduk. “Tidak masalah. Aku tak peduli kau dari mana. Tapi awasi setiap langkahmu. Satu kebohongan, dan kepalamu akan jadi hiasan di taman belakang.”
Ancaman itu membuat Elira menggigil. Tapi anehnya, ada ironi dalam nada bicara Zev. Seolah ia tidak benar-benar ingin menakut-nakuti, tapi terpaksa. Seolah… ia sedang memainkan peran yang dipaksakan.
Hari-hari berikutnya berlalu dalam tekanan. Elira mulai mengamati Zev lebih dekat. Setiap pagi ia menyajikan makanan, setiap malam ia membantu membereskan ruangan. Ia mulai memperhatikan pola: Zev selalu menolak anggur yang diberikan oleh penasihatnya, Lord Dareth. Ia hanya minum dari cangkir yang diisi langsung oleh Elira atau pelayan istana tertua. Dan setiap kali Dareth berbicara, Zev selalu terlihat resah.
“Yang Mulia tampaknya tidak mempercayai banyak orang,” celetuk Elira suatu malam, tanpa sadar.
Zev menoleh cepat. “Kepercayaan adalah senjata. Dan senjata bisa membunuh.”
Hening.
“Tapi kenapa semua orang takut pada Anda?” tanya Elira pelan. Ia tak tahu dari mana keberanian itu datang. Tapi rasa ingin tahu dalam dirinya terlalu kuat.
Zev tersenyum miring. Senyum yang membuat jantung Elira berdebar tak karuan.
“Karena mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Tiran, iblis, monster. Mereka butuh sosok yang bisa ditakuti agar tetap tunduk. Aku… hanya menjalankan peran itu untuk menjaga perdamaian yang semu.”
Kata-katanya membekas di kepala Elira. Ia mulai meragukan semua cerita rakyat tentang raja kejam yang membunuh tanpa ragu. Mungkin… semua itu hanya dongeng yang dibuat oleh orang-orang yang ingin menutupi sesuatu yang lebih gelap.
Malam itu, Elira bermimpi. Ia melihat Zev duduk di singgasana, dikelilingi bayangan hitam yang menggenggam lehernya. Di sudut ruangan, Dareth tersenyum sambil memegang gulungan perkamen yang bersinar merah. Dan di dinding, tergantung lukisan—lukisan tempat Elira pernah melihat dirinya sendiri.
Saat ia terbangun, jantungnya berdetak kencang.
Ada sesuatu yang tidak beres di istana ini. Dan ia, entah kenapa, merasa bahwa kehadirannya di sini bukanlah kebetulan. Ada misteri yang harus dipecahkan. Dan semua itu… dimulai dari mata sang raja yang tidak pernah berbohong.
Bab 3: Bayangan di Balik Singgasana
Hari keempat Elira di istana Zepharion dimulai dengan langit kelam dan kabut yang menggantung tebal di halaman. Tapi bukan itu yang membuat bulu kuduk Elira meremang. Melainkan bisikan pelan yang ia dengar di lorong istana. Bukan suara manusia—lebih seperti bisikan dinding. Bisikan yang hanya muncul ketika dia berjalan sendirian menuju ruang utama singgasana.
“Elira… keluar dari sini… sebelum semuanya terlambat…”
Suara itu pelan, seakan berasal dari balik batu-batu dinding. Elira menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Ia hanya melihat lukisan tua tergantung di sepanjang lorong—lukisan yang kini ia waspadai. Siapa tahu salah satunya bisa menyedotnya lagi?
Sesampainya di aula singgasana, suasana langsung berubah tegang. Raja Zev duduk di takhtanya dengan ekspresi datar. Di sampingnya, berdiri Lord Dareth dengan jubah hitam yang menjuntai hingga lantai. Matanya menyapu ruangan seperti elang lapar, dan ketika pandangannya bertemu Elira, gadis itu merasa seperti diterawang hingga ke isi hatinya.
“Kau lambat,” tegur Dareth tajam, sebelum Elira sempat bicara.
“Biarkan dia,” potong Zev singkat. “Dia hanya pelayan.”
Tapi nada suaranya… terdengar seperti peringatan halus. Dareth menoleh pada Zev, menyipitkan mata, namun akhirnya diam.
Hari itu berlangsung dengan ketegangan aneh. Elira diperintahkan membawa dokumen ke perpustakaan istana. Tempat itu sunyi dan penuh debu, dengan rak-rak menjulang berisi naskah tua dan gulungan sejarah. Saat ia menata lembaran dokumen di meja kayu, sesuatu menarik perhatiannya—sebuah buku tua yang terjepit di antara dua rak. Sampulnya lusuh, tanpa judul. Ia membuka pelan.
“Rahasia Darah Zepharion”
Isi buku itu membuat Elira bergidik. Ia membaca catatan tentang seorang raja muda yang dulu dikenal lembut dan penyayang, namun berubah menjadi monster setelah kematian ibunya yang misterius. Namun, di akhir halaman, tertulis dengan tinta merah:
“Ibunya tidak mati—dia dikorbankan. Dan kebenaran dikubur oleh orang kepercayaan sang raja…”
Tak lama, langkah kaki terdengar mendekat. Elira buru-buru menutup buku dan menyembunyikannya di balik rok pelayannya. Seorang pelayan senior masuk, membawa minuman untuk kepala pustakawan.
“Elira,” bisik pelayan itu sebelum keluar. “Hati-hati dengan pria berjubah hitam itu. Ia tahu lebih dari yang ia tunjukkan. Dan ia… bukan hanya penasihat.”
Elira kembali ke kamarnya dengan kepala penuh pertanyaan. Lord Dareth… kenapa semua orang menghindarinya? Bahkan Zev sendiri seperti tunduk padanya. Tapi mengapa? Apakah dia lebih dari sekadar penasihat kerajaan?
Malamnya, Elira tidak bisa tidur. Ia membuka kembali buku tadi diam-diam. Di halaman paling belakang, terdapat gambar simbol aneh, simbol mata dengan sayap di kanan-kirinya. Ia merasa pernah melihatnya.
Dan benar saja.
Keesokan paginya, saat menyapu dekat ruang doa pribadi raja, ia melihat pintu kayu kecil dengan ukiran yang sama: mata bersayap. Tapi pintu itu terkunci rapat. Ia menandainya dalam ingatan.
Hari itu, Zev terlihat gelisah. Ia menolak berbicara dengan siapa pun, bahkan Dareth. Elira memperhatikan bagaimana Zev mencengkeram cincinnya—sebuah cincin perak dengan batu merah di tengah—setiap kali Dareth mendekat.
“Yang Mulia… Anda tidak terlihat sehat,” gumam Elira pelan saat hanya mereka berdua di balkon.
Zev menoleh. Wajahnya pucat, matanya sembab.
“Aku… tidak tidur semalaman,” katanya lirih. “Mimpi buruk. Tentang ibuku. Tentang darah. Dan… suara yang memanggil dari dalam dinding.”
Elira terpaku. Suara yang memanggil dari dalam dinding? Dia juga mendengarnya.
Zev berdiri. “Jangan pernah percaya apa yang kamu dengar dari mulut Dareth. Bahkan jika dia mengatakan bahwa aku adalah iblis sekalipun… tanyakan pada hatimu sendiri. Bukan pada telingamu.”
Elira menatapnya lekat-lekat. Ada luka yang dalam di balik mata raja muda itu. Luka yang tak pernah disembuhkan.
Dan mungkin, selama ini… dialah yang hidup di dalam bayangan singgasananya sendiri.
Malam itu, Elira bermimpi lagi. Tapi kali ini ia melihat sosok Dareth berdiri di depan cermin tua, menggambar simbol mata bersayap di udara. Dari cermin, sosok perempuan muncul—berwajah pucat, mengenakan mahkota pecah. Bibirnya bergerak tanpa suara… namun Elira bisa membaca gerakan mulutnya:
“Zev bukan raja… Dia hanya bidak. Bangunkan dia, sebelum terlambat.”
Bab 4: Dinding yang Berbisik
Suara-suara itu kembali lagi malam ini.
Bukan hanya bisikan samar dari dinding kamarnya—kali ini suara itu terdengar lebih jelas. Seperti ratapan. Seperti seseorang yang menangis tertahan. Elira duduk di ranjang, tubuhnya menggigil meski angin tidak masuk ke jendela kayu kamarnya. Ia menatap dinding sebelah kiri… tempat asal suara itu datang.
“Elira… tolong kami…”
Suara itu… perempuan. Tapi bukan suara ibunya, bukan suara Lyne atau pelayan lain. Suara ini… asing. Namun menyedihkan, seperti seseorang yang telah dikurung terlalu lama dalam kegelapan.
Elira bangkit perlahan. Ia mendekat ke dinding dan menyentuhnya. Dingin. Tapi di bagian bawah, dekat lantai, ada sesuatu yang aneh—batu yang sedikit menonjol. Ia tekan perlahan, dan terdengar suara klik.
Dengan pelan, batu itu bergeser… dan terbukalah celah sempit menuju lorong gelap.
Jantung Elira hampir melompat keluar. Ia melangkah mundur, menimbang. Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutan. Ia mengambil lentera minyak kecil dan masuk perlahan. Lorong itu sempit dan lembap, dindingnya dipenuhi lumut, dan setiap langkah kaki Elira menghasilkan gema yang menakutkan.
Di ujung lorong, ia menemukan sebuah pintu kecil dari kayu tua, hampir rapuh. Ia dorong perlahan… dan menemukan dirinya berdiri di sebuah ruangan rahasia. Ruangan itu penuh dengan buku tua, catatan berdebu, dan lukisan yang disimpan gulung. Di tengah ruangan, sebuah meja besar dengan simbol mata bersayap terukir di atasnya.
“Ini… semacam perpustakaan rahasia?” bisiknya.
Ia mulai membuka satu per satu buku di meja. Beberapa halaman telah termakan usia, namun satu catatan menarik perhatiannya: “Dokumen Rahasia Zepharion: Masa Kecil Raja Zev.”
Elira membacanya dengan gemetar.
Tertulis bahwa Zev kecil adalah anak yang lembut dan penuh kasih. Ia dikenal suka membaca dan sering bermain bersama pelayan istana. Namun suatu hari, ibunya meninggal dalam kebakaran misterius di kapel kerajaan. Setelah itu, Zev berubah. Menjadi diam. Penuh amarah. Dan hanya dekat dengan satu orang—Lord Dareth.
Namun yang membuat Elira semakin bingung, di bagian akhir catatan, terdapat tulisan tangan kecil:
“Kebakaran itu direkayasa. Ratu tidak terbakar. Ia menghilang. Dan Dareth… membawa sesuatu dari kapel malam itu.”
Elira menutup mulutnya sendiri. Apa maksudnya? Ibu Zev tidak mati?
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lorong belakang.
Pan—panik, Elira mematikan lentera dan menyelinap di balik rak buku tua. Dari celahnya, ia melihat sosok berjubah hitam masuk ke ruangan. Dareth.
Ia menatap ruangan seolah sedang memastikan sesuatu. Tangannya menyentuh meja simbol mata bersayap, lalu ia menggumamkan sesuatu dalam bahasa asing. Sesuatu yang membuat udara di dalam ruangan bergetar.
“Rahasia harus tetap rahasia,” bisiknya. “Tak boleh ada yang membangunkan raja dari tidur yang kubuatkan…”
Elira menahan napas. Ia ingin lari, ingin menjerit, tapi tubuhnya membeku.
Dareth akhirnya pergi setelah mengambil satu gulungan perkamen dari rak dan menguncinya di kotak besi.
Setelah yakin keadaan aman, Elira keluar dari persembunyiannya. Ia tidak sempat mengambil apa pun, hanya buru-buru keluar dan menutup lorong di kamarnya seperti semula.
Keesokan paginya, wajahnya pucat. Ia hampir tidak sanggup menyajikan sarapan untuk Zev. Sang raja menyadarinya, meski tak langsung bertanya.
“Elira,” katanya lirih. “Kalau ada sesuatu yang ingin kau ceritakan… aku akan mendengarkan. Meski hanya satu kalimat.”
Elira menatapnya, ingin berbicara. Tapi apa dia bisa percaya? Bagaimana kalau Zev ternyata sudah sepenuhnya dalam kendali Dareth?
Namun kemudian, saat ia mengambil cangkir teh Zev, tangannya tak sengaja bersentuhan dengan tangan sang raja.
Kilatan aneh muncul di benaknya—seperti kilas balik. Ia melihat Zev kecil menangis di kapel. Ia melihat Dareth menyentuh dahinya dan membisikkan sesuatu. Dan ia melihat sosok ratu… terbaring dalam lingkaran sihir, wajahnya penuh air mata.
Elira terhuyung. Zev langsung menangkap lengannya.
“Apa yang kau lihat?” tanya Zev tajam.
Elira menatapnya, napasnya berat. “Aku… aku melihat ibumu.”
Zev membeku.
“Apa maksudmu?” suaranya menegang.
“Dia tidak mati, Yang Mulia… dia—dia dikorbankan… untuk sesuatu…”
Mata Zev membesar. Tangannya mengepal.
“Siapa yang memberitahumu?”
Elira menatapnya dalam. “Dinding istana ini… tidak bisu. Mereka menyimpan semua cerita yang dikubur orang-orang yang tak ingin masa lalu terbongkar.”
Dan dalam keheningan itu, Zev tahu—Elira bukan gadis biasa. Dia adalah kunci untuk membuka luka lama yang belum sembuh. Luka yang selama ini dia kira, sudah terkubur bersama jenazah ibunya.
Malamnya, saat Elira hendak tidur, ia menemukan surat kecil terselip di bawah bantalnya. Tanpa nama. Tanpa tanda tangan.
“Jika kau benar-benar ingin tahu apa yang terjadi di malam kebakaran… temui aku di ruang bawah tanah istana. Tengah malam. Datang sendiri.”
Bab 5: Hati yang Berdarah, Tatapan yang Lembut
Langit malam Zepharion menggantung berat, diselimuti awan gelap yang menutupi cahaya bulan. Jam pasir di kamar Elira menunjukkan tengah malam ketika ia mengambil napas panjang dan meraih lentera. Surat misterius yang ditemukan di bawah bantalnya masih ia genggam, tangannya gemetar. Tidak ada nama, tidak ada tanda—tapi isinya cukup untuk membuat jantungnya berdebar sejak sore tadi.
“Jika kau benar-benar ingin tahu apa yang terjadi di malam kebakaran… temui aku di ruang bawah tanah istana. Tengah malam. Datang sendiri.”
Ia tahu itu berbahaya. Tapi setiap detik yang ia habiskan di istana ini semakin membuka tabir bahwa Zepharion menyimpan lebih banyak luka dan rahasia daripada yang bisa ia duga. Dan kini, satu-satunya kesempatan untuk menemukan jawaban berada di lorong gelap di bawah tanah.
Elira menyelinap keluar dari kamarnya dengan hati-hati, melewati pelayan yang sudah terlelap dan penjaga yang sedang bergantian jaga. Lorong menuju ruang bawah tanah berada di balik dapur tua yang sudah tidak digunakan. Ia menuruni tangga batu tua dengan langkah pelan, mencoba tak menimbulkan suara apa pun.
Udara di bawah tanah lembap dan berbau besi karat. Ruangan dipenuhi sel penjara tua yang kini kosong. Rantai-rantai berkarat masih tergantung, dan di sudut ruangan ia melihat sisa-sisa lilin dan simbol aneh di lantai—bekas ritual?
“Elira,” panggil suara lirih dari balik bayangan.
Elira menoleh cepat. Dari balik tiang batu, muncul sosok Lyne—pelayan senior yang ia kira menghilang beberapa hari lalu.
“Kau… masih hidup?” bisik Elira.
“Ssstt… jangan terlalu keras. Aku bersembunyi setelah mengetahui sesuatu yang seharusnya tidak kuketahui,” jawab Lyne cepat. “Kematian Ratu… bukan kecelakaan. Dan Raja Zev… bukan monster yang kau kira.”
Elira menahan napas.
“Dareth menyegel ingatan Zev waktu kecil. Ia membuatnya percaya bahwa dunia membenci kelembutan. Ia… memanipulasi pikirannya sejak usia delapan tahun. Tapi ada cara untuk membuka ingatan itu.”
“Bagaimana caranya?” tanya Elira.
“Seseorang dengan darah murni bisa membuka segel itu… jika hatinya tulus. Dan aku curiga… kau bukan orang biasa, Elira.”
Sebelum Elira sempat bertanya, suara langkah berat terdengar dari atas. Lyne mendesak Elira bersembunyi di balik tiang. Sekelompok penjaga masuk dengan lentera. Lyne berlari dan memancing perhatian mereka, lalu menghilang ke lorong lain.
Elira tak punya pilihan selain kembali ke atas. Tapi kepalanya kini penuh dengan pertanyaan. Darah murni? Segel ingatan? Apa maksud semua itu?
Pagi harinya, Elira kembali menjalani tugas seperti biasa. Tapi ia tidak bisa menyembunyikan kelelahan di wajahnya. Zev memperhatikan. Ia tengah duduk di balkon saat Elira menyajikan teh.
“Kau tidak tidur?” tanya Zev tiba-tiba, nadanya tidak setegang biasanya.
Elira ragu sejenak. “Tidak, Yang Mulia.”
“Kenapa?”
Elira terdiam. Kemudian ia memutuskan untuk jujur—setengah jujur.
“Aku… mendapat pesan rahasia. Dari seseorang yang tahu soal ibumu.”
Zev membeku. Tangannya berhenti menggenggam cangkir.
“Dan?” tanyanya pelan.
“Mereka bilang, Anda… bukan seperti yang orang-orang katakan. Anda bukan tiran. Tapi seseorang yang kehilangan banyak hal, bahkan ingatan sendiri.”
Mata Zev bergetar.
“Aku… sering merasa itu benar,” bisiknya. “Kadang aku mimpi tentang taman kecil… tawa perempuan… dan nyanyian lembut. Tapi saat aku bangun, semua itu hilang, dan aku hanya punya amarah.”
Elira menatapnya. Untuk pertama kalinya, tidak ada jarak antara mereka. Tidak ada peran raja dan pelayan. Hanya dua orang… yang sama-sama mencari jawaban atas luka lama.
Zev bangkit. Ia berjalan mendekat, lalu berhenti hanya sejengkal dari Elira. Matanya menatap lurus, bukan dengan kemarahan, tapi dengan rasa lelah yang dalam.
“Setiap orang takut padaku. Tapi saat aku menatapmu… aku merasa dilihat sebagai manusia, bukan monster. Dan itu… menyakitkan.”
“Kenapa menyakitkan?”
“Karena aku takut,” jawabnya, nyaris seperti bisikan. “Takut… kalau aku benar-benar bukan orang baik.”
Elira menelan ludah. Tiba-tiba, ia meraih tangan Zev. Sentuhan itu membuat Zev terkejut, tapi tak menolak.
“Apa pun yang pernah terjadi, masa lalu Anda tidak menentukan siapa Anda sekarang,” ucap Elira dengan suara gemetar. “Saya percaya… masih ada cahaya di dalam diri Anda.”
Dan saat itu juga, Zev menggenggam tangan Elira dengan erat.
Tapi tiba-tiba, tubuhnya menegang. Matanya membelalak. Elira merasakan panas menjalar dari tangan mereka.
Kilatan ingatan kembali.
Zev berdiri di tengah api. Ia memanggil ibunya. Dareth berdiri di belakangnya, membisikkan sesuatu, lalu menekan keningnya dengan simbol mata bersayap. Api menyala… tapi tidak membakar tubuh sang ratu. Ia menghilang dalam lingkaran sihir.
Zev melepaskan tangan Elira dan jatuh ke lantai, terengah-engah.
“Aku… aku ingat… aku ingat semuanya…”
Zev menggenggam lengan Elira erat. Wajahnya tegang.
“Dareth… tidak membunuh ibuku. Dia menyegelnya. Dia masih hidup. Tapi… dia mengurungnya… di Cermin Abadi—dan hanya orang dari luar dunia ini yang bisa membebaskannya.”
Zev menatap Elira.
“Kau… kau berasal dari luar dunia ini. Kaulah kunci yang kutunggu selama ini.”
Bab 6: Luka yang Tak Terlihat
Semenjak Zev mengingat kembali fragmen masa kecilnya, suasana di istana berubah.
Bukan karena rakyat tahu, bukan karena Dareth curiga. Tapi karena Zev—sang raja muda yang selama ini dingin dan tak tersentuh—mulai menunjukkan sisi yang berbeda. Ia jadi pendiam, tapi bukan karena angkuh. Ia mulai sering berdiri lama di balkon istana, menatap langit malam seperti mencari seseorang yang telah lama hilang.
Dan setiap kali Elira berada di dekatnya, suasana itu terasa semakin berat. Bukan karena takut, tapi karena hati Elira sendiri mulai goyah. Rasa yang tak seharusnya tumbuh, perlahan muncul di sela-sela percakapan mereka yang semakin hangat.
Namun kebahagiaan sesaat itu segera dirusak oleh tragedi yang datang tak terduga.
Hari itu, seorang tahanan dieksekusi di halaman utama istana. Elira tak ingin menonton, tapi semua pelayan diwajibkan hadir. Ia berdiri di barisan belakang, menunduk dalam, tak sanggup melihat. Namun saat kepala tahanan itu hendak ditebas, matanya sempat bertemu dengan Elira.
Tahanan itu… tersenyum. Bukan senyum takut. Tapi senyum… lega?
Setelah tubuhnya jatuh, Elira masih terpaku. Ia merasa ada yang tidak beres. Orang itu… matanya penuh rahasia. Seakan tahu sesuatu yang lebih besar daripada sekadar hukuman mati.
Setelah acara usai, Elira kembali ke dalam istana, dan ia memutuskan untuk menyelinap ke ruang arsip militer. Ia mengendap-endap melalui lorong belakang dan menemukan dokumen eksekusi hari itu.
Tahanan yang dieksekusi bernama Kael—mantan jenderal dari kerajaan tetangga yang menyamar sebagai biksu. Tuduhan: pengkhianatan dan spionase.
Namun yang mengejutkan adalah catatan kecil di bawah dokumen:
“Subjek menunjukkan resistansi terhadap mantra pengendali. Diduga memiliki informasi soal Ratu yang hilang dan Cermin Abadi. Harap segera hilangkan sebelum informasi tersebar.”
Nama penulis? L.D.
Elira gemetar. Jadi Kael tahu tentang Ratu? Dan… Dareth yang memerintahkan pembunuhan?
Dengan langkah cepat, Elira pergi mencari Zev. Ia menemukan raja itu sedang duduk sendirian di ruang doa kecil, ruangan yang jarang digunakan siapa pun sejak kematian ibunya.
Wajah Zev basah. Ia menunduk, tangannya menggenggam cincin peraknya erat.
“Kael dibunuh hari ini,” bisik Elira. “Dia tahu sesuatu tentang ibumu.”
Zev tidak menjawab.
“Aku baca dokumennya. Dareth… dia tahu. Dia yang menghapus semua bukti. Kael… mungkin bisa bantu kita, kalau dia masih hidup.”
Zev mengangkat wajahnya perlahan. Mata itu merah, bukan karena amarah, tapi karena keputusasaan.
“Semua orang di sekitarku mati, Elira. Mereka yang peduli padaku—hilang satu per satu. Ibu, pelayan lamaku, Lyne… sekarang Kael. Dan semua karena aku terlalu bodoh untuk percaya orang yang salah.”
“Elira… aku bukan raja. Aku hanya boneka yang dihiasi mahkota.”
Elira mendekat, duduk di lantai di sampingnya. “Tapi sekarang kau sadar. Dan itu lebih dari cukup untuk mulai melawan.”
Zev menghela napas panjang.
“Kau tidak tahu bagaimana cara kerja istana ini. Dareth bukan hanya penasihat. Dia penyihir tua yang pernah dihukum mati, tapi berhasil menyegel nyawanya dengan darah ratu. Sejak malam kebakaran itu, dia hidup dari kekuatan sihir kegelapan. Dan sekarang… dia pakai aku sebagai penopang terakhirnya.”
“Kenapa tidak melawannya?” tanya Elira.
“Aku tak bisa. Ada segel sihir dalam tubuhku. Satu langkah melawan Dareth, dan kutukan itu akan menghancurkan seluruh kerajaan.”
Elira terdiam.
Namun hatinya semakin kuat—jika selama ini Zev hanya dijadikan pion, maka sudah saatnya pion bergerak sendiri.
Malam itu, saat seluruh istana tertidur, Elira kembali ke ruangan rahasia di balik dinding kamarnya. Ia membawa catatan Kael dan satu lentera kecil. Di antara tumpukan dokumen lama, ia menemukan naskah kuno bertuliskan:
“Tentang Cermin Abadi”
Cermin itu konon dibuat dari serpihan sihir waktu. Ia tidak hanya memantulkan bayangan, tapi juga menyimpan jiwa. Jiwa yang disegel di dalamnya bisa hidup… atau terjebak selamanya. Dan satu-satunya yang bisa memecahkan cermin itu adalah “penyaksi”—orang dari luar dunia, yang memiliki kekuatan hati dan niat tulus.
Elira menggigil.
Apakah ia sanggup memecahkan segel itu?
Di halaman terakhir, terdapat satu kalimat:
“Jangan tunggu sampai cermin retak sendiri. Saat itu terjadi, bukan hanya jiwa yang keluar, tapi juga kegelapan yang tertahan selama ini.”
Pagi harinya, Elira menemukan sepucuk surat di dalam kamarnya, dengan tinta merah darah.
Isinya singkat:
“Kau sudah terlalu jauh, gadis asing. Jika kau tidak meninggalkan istana dalam tiga hari, Zev akan mati. —L.D.”
Bab 7: Pesta dan Racun
Tiga hari. Itu batas waktu yang diberi Dareth. Tiga hari sebelum Zev mati jika Elira tetap tinggal.
Tapi Elira tahu, ancaman itu bukan hanya gertakan. Di istana Zepharion, kematian bisa datang semudah menyajikan secangkir teh. Dan Dareth, dengan senyum palsunya yang tenang, menyimpan ratusan cara untuk membunuh tanpa meninggalkan jejak.
Hari pertama berlalu dengan ketegangan. Elira tak memberitahu Zev soal surat itu, meskipun setiap kali ia melihat raja muda itu duduk sendiri, hatinya ingin berteriak. Tapi ia tahu, jika Zev tahu… dia pasti akan berbuat gegabah.
Hari kedua, undangan datang dari kerajaan tetangga, Vandhria. Duta besar dan putri kedua mereka akan menghadiri pesta di istana Zepharion—sebagai simbol perdamaian setelah perselisihan panjang di perbatasan. Dareth, tentu saja, menyambut dengan hangat.
Dan hari ketiga, pesta besar digelar.
Istana dihias megah. Tirai-tirai emas digantung di langit-langit aula. Pelayan berlalu-lalang menyiapkan hidangan dan anggur istimewa dari ruang bawah tanah. Musik mengalun lembut dari sudut ruangan, sementara tamu-tamu berdandan glamor mulai memenuhi aula utama.
Elira berdiri di sudut aula, mengenakan gaun pelayan istimewa berwarna abu-abu muda. Sesekali matanya mencari Zev, yang kini berdiri di sisi singgasananya, mengenakan jubah hitam beraksen merah dan mahkota perak yang tampak terlalu berat di kepalanya.
Zev tak tersenyum. Matanya tajam, waspada. Dan Elira tahu… ia juga mencium bahaya.
Ketika para tamu mulai makan dan bersulang, Elira melihat Lord Dareth mendekati meja minuman. Ia tersenyum sopan, menepuk pundak seorang pelayan muda, lalu mengambil sendiri sebotol anggur khusus untuk Zev. Tapi bukan itu yang membuat Elira panik—melainkan gerakan tangannya yang terlalu cepat… dan botol kecil yang disembunyikan di balik lengan jubahnya.
Racun.
Elira melangkah cepat ke dapur. Ia mencari pelayan tertua, pria renta bernama Garel yang dulu pernah memberitahunya soal cangkir pribadi raja.
“Garel! Kau tahu cangkir khusus Zev yang biasa dipakai untuk anggur?”
“Iya,” sahut Garel. “Disimpan di lemari kaca dekat singgasana. Kenapa?”
“Dareth menyiapkan anggur untuknya. Dia… dia memasukkan sesuatu.”
Mata Garel melebar. “Demi dewa langit…”
Elira tak menunggu lebih lama. Ia kembali ke aula dengan langkah cepat, saat pelayan baru hendak menyajikan anggur ke cangkir raja.
“Berhenti!” teriak Elira.
Seluruh aula langsung terdiam. Musik berhenti. Semua mata menoleh ke arah Elira yang kini berdiri di tengah ruangan, napasnya memburu.
Dareth menyipitkan mata. “Apa maksudmu mengacaukan jamuan kerajaan, Elira?”
Elira tak gentar. Ia mengambil cangkir Zev dan mengangkatnya tinggi. “Jika ini tak beracun… maka Anda saja yang meminumnya, Lord Dareth.”
Ruangan mendadak sunyi.
Para tamu mulai saling berbisik. Zev berdiri, menatap Elira. Wajahnya campuran antara kekagetan dan rasa takut.
Dareth tersenyum datar. “Tuduhan yang sangat berani dari seorang pelayan. Tapi baiklah.”
Dengan tenang, ia melangkah ke depan… dan meminum isi cangkir itu.
Elira membeku.
Tapi yang terjadi selanjutnya mengejutkan semua orang. Tubuh duta besar Vandhria yang duduk di meja utama tiba-tiba kejang, matanya mendelik… dan ambruk.
Jeritan menggema di seluruh ruangan. Para penjaga segera mengamankan para tamu. Dareth pura-pura panik, tapi Elira melihat… seulas senyum kecil muncul di bibir pria tua itu.
Zev segera berdiri, memerintahkan semua orang tenang. Tapi saat ia menoleh pada Elira, tatapannya tajam.
“Bertemu aku malam ini. Di ruang cermin,” bisiknya cepat sebelum pergi.
Malam itu, Elira memasuki ruang cermin di sayap timur istana. Tempat itu jarang dipakai dan konon dulu adalah ruang pribadi ratu. Kini dipenuhi kaca-kaca besar berbingkai emas dan tirai hitam tebal. Bayangannya sendiri seakan mengikuti langkahnya di mana pun.
Zev menunggunya di sana, masih mengenakan pakaian pesta.
“Apa yang terjadi tadi?” tanyanya.
“Dareth mencampurkan racun ke anggur. Tapi bukan untukmu. Aku kira untukmu, tapi… duta besar yang jadi korban.”
Zev mengangguk perlahan. “Itu pesan. Ia ingin menunjukkan padaku bahwa ia bisa membunuh siapa saja. Termasuk sekutuku.”
“Kita harus bertindak, Zev,” kata Elira pelan. “Sebelum dia membunuh yang berikutnya.”
Zev menatap Elira lama.
“Aku sudah siap,” bisiknya. “Aku tidak akan lari lagi.”
Ia melangkah mendekat, menyentuh bahu Elira perlahan. “Aku tahu kau bukan berasal dari sini. Tapi kau lebih peduli pada istana ini… lebih dari siapa pun yang lahir di dalamnya.”
Elira menahan napas. Mereka hanya berdiri sejengkal. Ada ketegangan aneh di antara mereka—bukan ketakutan, tapi perasaan yang tak terucap.
“Kalau aku kehilanganmu…” Zev berhenti. “Aku tidak tahu harus bagaimana.”
Elira tersenyum kecil. “Kau tidak akan kehilangan aku.”
Wajahnya seperti milik Zev. Tapi matanya… berlinang air mata.
Wanita itu berbisik melalui cermin:
“Anakku… waktumu hampir habis…”
Bab 8: Rahasia Darah Bangsawan
Elira tidak tidur malam itu.
Bayangan perempuan di balik cermin terus menghantui pikirannya. Wajah itu… lembut, anggun, dan penuh duka. Ia tidak ragu lagi—itu adalah Ratu Zepharion. Ibu Zev. Yang selama ini dianggap telah mati dalam kebakaran. Tapi Elira melihatnya, tepat di balik kaca, seperti jiwa yang terperangkap dalam ruang tanpa waktu.
Dan kata-katanya masih terngiang jelas di kepala Elira.
“Anakku… waktumu hampir habis…”
Apa maksudnya? Apakah segel yang menahan jiwa sang ratu mulai melemah? Atau justru… kekuatan sihir Dareth semakin kuat?
Esok paginya, Elira nekat menyelinap ke ruang pusaka istana—tempat terlarang yang hanya boleh dimasuki oleh darah kerajaan. Tapi ia tahu, jawaban tentang Cermin Abadi pasti ada di sana.
Ruang pusaka berada di bawah menara tertinggi, dijaga oleh dua kesatria berbaju zirah penuh. Namun, Elira datang bukan sebagai penyusup. Ia membawa sesuatu yang membuat kedua penjaga itu melonggarkan pegangan pedangnya: cincin perak Zev.
Dengan wajah tegas, ia berkata, “Raja Zev mengutusku. Aku harus mengambil sesuatu dari ruang pusaka. Sekarang.”
Penjaga sempat saling berpandangan, tapi akhirnya membuka pintu baja besar itu. Saat Elira masuk, udara di dalam langsung terasa berbeda—dingin, berat, seolah dipenuhi aura masa lalu yang tidak ingin diganggu.
Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu. Di atasnya tergeletak berbagai benda pusaka: pedang leluhur, buku sihir tua, dan sebuah kotak kecil dari batu giok hitam. Tapi yang menarik perhatian Elira adalah lambang di lantai: simbol mata bersayap yang sama, diukir dengan tinta keperakan.
Elira mendekat. Saat ia menyentuh ukiran itu… telapak tangannya terasa panas. Seperti terbakar.
Tubuhnya tersentak.
Kilasan memori muncul dalam benaknya—tapi bukan miliknya. Ia melihat seorang ratu sedang memeluk bayinya yang menangis. Di belakangnya, berdiri seorang pria… mengenakan jubah hitam.
Dareth.
Ratu berkata, “Jika aku mati, darahku akan membangkitkan dia. Tapi jika anakku hidup… darahnya akan membinasakan kegelapan.”
Lalu semuanya hilang.
Elira terjatuh, napasnya memburu. Ia menatap tangannya. Goresan kecil muncul di kulitnya, membentuk lambang mata bersayap. Berdarah, tapi tak menyakitkan.
“Elira!”
Suara Zev membuatnya menoleh cepat. Sang raja muncul di pintu, wajahnya panik. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku… melihat sesuatu. Mendengar sesuatu,” jawab Elira pelan.
Ia memperlihatkan telapak tangannya. Zev membeku saat melihat lambang yang sama. Perlahan, ia mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya—sehelai kain putih kecil milik ibunya yang dulu ditemukan setelah kebakaran. Di sudut kain itu… ada lambang yang sama.
“Elira… itu bukan simbol biasa,” kata Zev pelan. “Itu… tanda darah bangsawan suci. Hanya muncul pada keturunan tertentu—yang bisa membuka segel sihir kuno.”
“Elira… kau bukan dari dunia ini, tapi darahmu… terhubung dengan darah ibuku.”
Elira terpaku. Dunia seperti berhenti.
“Tidak… maksudmu?”
“Darahmu bukan manusia biasa. Entah bagaimana… kau dan ibuku memiliki ikatan darah. Mungkin bukan langsung, tapi kuat. Dan itu sebabnya kau bisa melihatnya, bisa masuk ke istana, bisa membuka segel…”
Zev mendekat. “Kau adalah kunci. Tapi juga… pengorbanan.”
Elira mengerutkan dahi. “Apa maksudmu ‘pengorbanan’?”
Zev menunduk. “Untuk memecahkan Cermin Abadi… harus ada darah bangsawan yang rela dikorbankan secara sukarela. Jika tidak… Dareth bisa menggunakan darah itu untuk membangkitkan kegelapan.”
“Dan sekarang… dia tahu darahmu bisa memecahkan segel itu.”
Elira merasa tubuhnya dingin.
“Jadi… aku harus memilih? Membebaskan ibumu… atau membiarkan Dareth menguasai tubuhku dan kerajaan ini selamanya?”
Zev menatapnya dengan mata berkaca.
“Aku tidak bisa memaksamu. Tapi jika kau memilih untuk tinggal… dia akan membunuhmu. Atau lebih buruk… memakai tubuhmu sebagai wadah kekuatan sihirnya.”
Suasana hening.
Lalu Elira berkata, dengan suara lembut namun mantap, “Aku tidak akan lari, Zev. Aku tidak datang sejauh ini untuk mundur. Kalau aku harus menjadi pengorbanan… setidaknya aku tahu, aku memilihnya sendiri.”
Zev menarik Elira ke pelukannya. Ia gemetar. “Jangan bicara begitu… Jangan kau katakan seperti itu…”
“Ritual bisa dimulai. Gadis itu sudah siap… dan raja kecil itu akan menyerah demi cinta pertamanya.”
Bab 9: Cinta atau Takhta
Zepharion tak pernah setenang ini sebelumnya.
Tapi di balik ketenangan langit sore yang membingkai istana, badai sedang menunggu untuk meledak. Setiap penjuru dipenuhi persiapan untuk ritual penyatuan langit dan bumi, tradisi kuno yang biasanya dilakukan sebagai simbol berakhirnya musim dingin. Tapi kali ini, ritual itu hanya kedok. Di bawahnya, Lord Dareth menyiapkan sesuatu yang jauh lebih kelam.
Zev duduk di singgasananya, jubahnya tampak berat, seperti bebannya telah mencapai batas. Di depan kerumunan bangsawan dan utusan asing, ia menampakkan diri seperti raja sejati. Tapi di dalam hatinya, ia hancur. Karena malam ini… ia harus memilih.
Dan Elira berdiri di belakangnya, sebagai pelayan istana, dengan wajah yang lebih tegar dari sebelumnya. Dalam hati, ia tahu, malam ini bukan hanya akan mengubah nasib Zepharion—tapi juga nasibnya sendiri. Apakah ia akan menjadi pahlawan… atau sekadar pengorbanan?
Saat matahari tenggelam dan cahaya ungu mulai menyelimuti langit, Dareth memimpin jalannya ritual di halaman kuil tertua Zepharion. Semua orang berkumpul. Di tengah altar batu, berdiri cermin setinggi manusia, Cermin Abadi.
Cermin itu berkilau, seakan bernapas. Dan dalam pantulannya… Elira melihat sang ratu. Terperangkap, tubuhnya lemah, seperti berteriak dalam diam.
“Cermin ini,” ujar Dareth dengan suara lantang, “adalah gerbang. Ia akan menentukan apakah kegelapan tetap tersegel… atau dibebaskan untuk menyeimbangkan dunia.”
Zev menatapnya dingin. “Jangan memutar balik kebenaran, Dareth. Kau ingin membebaskan kegelapan… untuk memakainya sendiri.”
Dareth tertawa. “Aku hanya memberi dunia bentuk keadilan yang baru.”
Ia kemudian menoleh ke Elira. “Kau. Maju.”
Elira melangkah. Semua mata menatapnya. Ia berdiri di hadapan cermin. Tangan dan tubuhnya bergetar, tapi matanya tajam.
“Jika aku menyerahkan darahku… ratu akan bebas, bukan?”
“Ya,” jawab Dareth. “Tapi dengan konsekuensi: kekuatan besar akan berpindah. Jika tak dikendalikan, bisa menghancurkan kerajaan ini.”
Zev maju cepat. “Aku yang akan menggantikan Elira. Ambil darahku.”
Dareth menggeleng. “Tidak. Darahmu hanya bisa membuka gerbang. Tapi hanya darah dari luar dunia ini… darah yang suci dan belum ternoda… yang bisa memecah segel.”
Zev menatap Elira, penuh luka. “Kau tidak harus melakukan ini…”
Elira menghela napas panjang. “Aku tahu. Tapi aku memilih melakukannya.”
Tangannya diletakkan di atas altar. Dareth mulai menggumamkan mantra, dan cermin mulai bergetar. Udara menjadi dingin. Tanah seakan berguncang. Elira menutup mata. Tapi sebelum ritual selesai… cahaya merah menyala dari cincin di jari Zev.
“Tidak!” Zev menerjang altar, memeluk Elira erat. “Kalau kau harus mati, maka aku ikut bersamamu!”
Tapi sesuatu yang aneh terjadi cahaya dari tubuh Elira berpadu dengan cincin Zev, menciptakan pancaran putih menyilaukan. Suara cermin retak terdengar keras. Cermin Abadi bergetar hebat… dan meledak.
Semua terpental. Dareth menjerit. Dari reruntuhan kaca, sosok Ratu Zepharion muncul perlahan, tubuhnya utuh, matanya berlinang.
“Elira…” bisiknya.
Zev berlari memeluk ibunya. Elira berlutut, tubuhnya lemas, darah menetes dari tangannya.
Dareth bangkit dengan marah, wajahnya berubah menyeramkan. “Kalian bodoh! Kalian melepas cermin tanpa segel penyeimbang! Sekarang… kalian akan melihat siapa aku sebenarnya!”
Ia merapal mantra terakhir. Langit mendadak hitam. Tapi sebelum ia menyelesaikan sihirnya, ratu mengangkat tangannya.
“Cukup, Dareth. Aku kembali… dan kekuatanmu tak lagi memiliki sumber.”
Ratu menyentuh dahi Dareth. Dalam sekejap, tubuhnya menghitam dan… hancur menjadi debu.
Semua terdiam.
Namun tidak lama.
Tubuh Elira mulai melemah. Cahaya dari dalam dirinya perlahan menghilang. Zev segera mendekat, memeluknya.
“Elira! Kau tidak boleh pergi… aku belum sempat mengatakan semuanya…”
Elira tersenyum tipis. “Aku tahu, Zev… dan aku merasakan semuanya. Cintamu. Pilihanmu. Aku… juga mencintaimu.”
Bab 10: Takhta Berdarah, Cinta yang Tersisa
Tiga hari setelah meledaknya Cermin Abadi, istana Zepharion menjadi sunyi. Tak ada pesta kemenangan, tak ada perayaan. Hanya kesunyian mendalam, seolah seluruh kerajaan masih berkabung atas kehilangan yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata.
Zev berdiri di balkon menara tertinggi, tempat angin berhembus kencang dan pandangan bisa menjangkau seluruh daratan Zepharion. Matanya kosong menatap cakrawala. Di tangannya tergenggam erat sehelai kain—potongan dari pakaian Elira, satu-satunya yang tersisa setelah tubuhnya menghilang bersama kilatan cermin.
Dunia kembali damai, tapi hati Zev tidak.
Ia berhasil mengembalikan ibunya. Menghapus sihir gelap yang membelenggu istana. Menghancurkan Dareth, penyihir tua yang menciptakan bayangan hitam dalam hidupnya. Tapi untuk semua itu… ia harus membayar mahal.
Ia kehilangan Elira.
Ratu Zepharion, yang kini telah sehat dan bugar, sering menemuinya dan mengajak bicara. Tapi Zev tetap diam. Ibu dan kerajaan bisa kembali, tapi ruang dalam hatinya yang kini kosong… tak bisa diisi siapa pun. Bagi rakyat, ia adalah raja yang telah menyelamatkan dunia. Tapi bagi dirinya sendiri, ia hanya pria yang gagal mempertahankan satu-satunya orang yang membuatnya merasa hidup sebagai manusia.
Suatu malam, saat langit penuh bintang dan bulan bersinar bulat sempurna, Zev mendengar suara ketukan kecil di perpustakaan istana. Tak ada siapa-siapa saat ia datang. Tapi di meja tengah, tempat Elira dulu sering membaca, ada sebuah benda kecil yang bersinar.
Sebuah lukisan.
Bukan lukisan istana, bukan potret bangsawan. Tapi… potret dirinya dan Elira. Berdiri berdampingan. Tersenyum. Latar belakangnya adalah taman kecil yang hanya pernah muncul dalam mimpi Zev sewaktu kecil.
Di belakang lukisan itu, tertulis dengan tinta emas:
“Untuk Zev… yang hatinya lebih besar dari takhta, dan cintanya lebih tulus dari sihir apa pun. —E”
Zev duduk, memandangi lukisan itu lama. Dadanya sesak. Matanya basah.
“Apakah kau… masih hidup di dunia lain?” bisiknya.
Atau mungkin… apakah kau akan kembali?
Beberapa tahun kemudian…
Zepharion berkembang pesat. Tidak ada lagi kekuasaan kegelapan. Takhta dijalankan dengan adil, dan raja muda yang dulu dikenal sebagai tiran kini dicintai rakyatnya sebagai pemimpin berhati hangat.
Namun di satu ruangan dalam istana, di balik kaca besar yang menghadap taman kerajaan, berdiri satu lukisan tua. Di dalamnya tergambar istana Zepharion, taman kecil… dan seorang perempuan berdiri di tengah.
Senyumnya lembut. Wajahnya familiar.
Dan jika seseorang cukup lama memandangi lukisan itu… mereka bisa bersumpah melihat perempuan itu sedikit bergerak.
Epilog:
Di suatu galeri seni di dunia modern, seorang gadis bernama Alira berdiri memandangi lukisan tua bertema kerajaan. Ia merasa aneh. Jantungnya berdetak cepat. Tangannya seperti gatal ingin menyentuh lukisan itu.
“Lucu ya,” katanya pada temannya. “Rasanya… aku kenal tempat ini.”
Di dalam lukisan, di singgasana emas, seorang pria bermata kelam tersenyum tipis. Seakan… sedang menunggu.
“Ini belum akhir cerita kita…”
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.