Elio, seorang teknisi magang di pusat riset teknologi saraf, hidupnya berubah drastis saat menyadari bahwa dirinya telah digantikan oleh entitas tak kasat mata—parasit jiwa yang mengambil alih tubuh manusia dan mengubur ingatan aslinya. Tapi berbeda dari korban lain, Elio masih sadar… terjebak dalam pikirannya sendiri.
Saat mencoba berkomunikasi diam-diam dengan jiwa-jiwa lain yang masih hidup di dalam, Elio menemukan bahwa dirinya bukan korban biasa. Ia adalah Parasite 0—eksperimen awal yang menjadi pusat dari seluruh sistem. Bersama Yara, gadis pemberontak yang juga setengah sadar, dan Lyra, bagian dari masa lalunya yang terlupakan, Elio harus melawan musuh terbesar: dirinya sendiri.
Dalam dunia yang semakin kabur antara nyata dan ilusi, Elio harus memilih—menerima takdir sebagai alat atau memberontak demi merebut kembali kendali atas hidupnya. Karena kadang, untuk bisa hidup kembali… kamu harus mati dulu.
Bab 1: Suara di Kepalaku
Kamu pernah ngerasa kayak… kamu hidup, tapi bukan kamu yang ngontrol hidupmu?
Itu yang aku rasain. Awalnya cuma sesekali. Bangun tidur, badanku kayak habis dijalanin orang lain. Tanganku luka, bajuku ganti, dan ada chat-chat masuk dari orang yang bahkan aku nggak inget pernah ngobrol sama mereka. Tapi aku pikir, ya udahlah… mungkin aku yang ngelakuin itu semua pas ngelindur atau mimpi jalan.
Sampai suatu malam, aku denger suara.
Bukan suara luar, tapi di dalam kepala.
Pelan. Dingin. Dan… mirip banget sama suaraku sendiri.
“Tenang aja, Elio. Sekarang aku yang ambil alih. Istirahatlah.”
Waktu itu aku lagi berdiri depan cermin, ngaca. Tapi yang kulihat di pantulan bukan cuma wajahku, tapi senyum kecil… yang bukan milikku. Tangan kiriku gerak sendiri, ngelus pipi. Dan aku ngerasa… stuck. Kayak aku cuma penonton dalam tubuhku sendiri.
Aku panik. Nggak bisa gerakin badan, nggak bisa teriak. Tapi aku sadar. Aku masih di sana. Masih hidup di balik pikiranku sendiri.
Dan itulah awal semuanya berubah.
Hari-hari selanjutnya jadi absurd. Aku tahu aku nggak lagi ngontrol tubuhku, tapi entitas itu—si “aku” yang baru—bisa menjalani hidupku dengan mulus. Dia sekolah, ngobrol sama temen-temen, bahkan pura-pura jadi aku tanpa ada yang curiga. Dia tahu segalanya. Cara aku ngomong, cara aku ketawa, cara aku senyum ke orang yang aku suka. Semuanya.
Tapi dia bukan aku.
Dia cuma… nyamar.
Yang bikin makin gila, dia kadang ngajak ngobrol. Dalam pikiranku. Seolah dia pengen aku tenang dan nggak ganggu.
“Aku cuma mau kamu aman, Elio.”
“Dunia ini udah rusak. Aku datang buat nyelamatinmu dari dirimu sendiri.”
Aku nggak ngerti.
Nyelamatin? Dari apa?
Tiap malam, pas dia tidur, aku bisa ambil sedikit kendali. Nggak banyak, cuma buat ngedipin mata atau ngerasain sakit dari luka kecil yang dia buat. Tapi dari situlah aku mulai nemuin celah. Bahwa aku belum sepenuhnya hilang.
Aku mulai ngirim pesan lewat tulisan. Coretan kecil di buku, di balik kertas ujian, di meja kayu. Tulisan tangan yang kelihatan gemetar, tapi itu aku. Aku yang minta tolong.
Dan entah gimana…
Seseorang mulai balesin pesanku.
Sore itu, aku lagi duduk di taman sekolah. Tubuhku bergerak sendiri, senyum-senyum sambil main HP. Tapi pikiranku kosong, cuma ngelamun di balik lapisan kesadaran.
Lalu, di bangku seberang, ada cewek duduk. Rambutnya pendek, pakai jaket oversized warna gelap. Dia lagi gambar di buku sketsanya, tapi kemudian… dia berhenti.
Menatap lurus ke arahku. Ke arahku yang sebenarnya.
Dan dia nulis di bukunya.
Lalu buka halaman depannya.
Menunjukkan ke aku, diam-diam.
Tulisan itu cuma satu kalimat:
“Kamu juga masih di dalam, ya?”
Hatiku nyaris berhenti.
Ada orang lain.
Ada yang juga masih sadar.
Ada yang kayak aku—terjebak di balik pikiran mereka sendiri.
Dan di situlah aku sadar satu hal.
Aku bukan satu-satunya.
Dan ini bukan mimpi buruk pribadi.
Ini epidemi.
Sesuatu yang lebih besar… yang diam-diam udah mengendalikan dunia.
Tapi kalau aku masih bisa berpikir, berarti aku masih bisa melawan.
Walau dari balik jeruji pikiranku sendiri.
Bab 2: Dunia yang Terbalik
Sejak hari itu di taman, segalanya berubah.
Bukan dunia luar. Tapi aku. Cara pandangku.
Aku sadar, aku nggak sendirian di dalam “penjara pikiran” ini. Dan buat pertama kalinya, aku ngerasa punya harapan.
Cewek itu… dia satu-satunya yang ngeliat aku. Bukan “aku” yang pura-pura, tapi aku yang asli, yang terjebak.
Aku nggak tahu siapa dia, tapi waktu dia tunjukkin tulisan itu, jantungku deg-degan kayak mau meledak.
“Kamu juga masih di dalam, ya?”
Aku nyoba kasih sinyal balik. Aku nyoba ngedipin mata cepat-cepat, kayak kode morse. Satu-satunya hal kecil yang masih bisa aku kontrol. Dia kayak ngerti. Senyumnya tipis, tapi matanya penuh pengertian.
Dan aku tahu… dia juga tahan napas setiap harinya kayak aku.
Besoknya, tubuhku—yang dikendaliin entitas itu—jalan biasa ke sekolah. Tapi pas lewat lorong, ada yang aneh. Teman-temanku semua terlihat… terlalu sempurna.
Mereka tertawa, bercanda, tapi ekspresinya kayak diatur. Nggak ada kesalahan, nggak ada momen kikuk.
Kayak nonton drama yang disutradarai makhluk tak terlihat.
Dan yang lebih aneh…
Mereka semua manggilku “Elio”, tapi suara mereka punya nada yang sama. Datarnya aneh.
Satu kata muncul di benakku: “diprogram.”
Aku mulai bertanya-tanya:
Berapa banyak dari mereka yang masih manusia?
Dan berapa banyak yang cuma “cangkang hidup” seperti aku?
Waktu istirahat, aku duduk di kantin. Badanku otomatis makan nasi goreng, ngobrol ngalor-ngidul soal tugas sekolah yang bahkan aku nggak inget pernah ngerjain.
Tapi dari kejauhan, cewek itu muncul lagi.
Dia duduk dua meja dari tempatku.
Nama di seragamnya: YARA.
Dia buka bukunya. Sketsa baru.
Dan di pojok bawah, ada tulisan kecil banget, kayak hanya dimaksudkan buatku:
“Kita bisa bicara di mimpi. Nanti malam. Fokus.”
Aku sempat mikir, ini mimpi yang terlalu gila. Tapi semakin aku pikir, semakin masuk akal. Karena entitas ini ngambil tubuh, bukan mimpi. Mungkin… mimpi satu-satunya ruang aman kami sekarang.
Malam itu, aku mencoba hal paling gila yang pernah kulakuin: berdoa biar cepat tidur.
Begitu kelopak mataku tertutup, semua jadi kabur, lalu gelap.
Dan anehnya, saat pikiranku mulai terjaga di dunia mimpi, aku ngerasa bebas.
Aku bisa gerak. Bisa jalan. Bisa berteriak.
Dan di tengah ruangan putih besar, aku ngelihat seseorang berdiri membelakangiku.
Rambut pendek. Jaket hitam.
Yara.
“Aku pikir kamu cuma halusinasi,” kataku, nyaris nangis.
Dia noleh pelan. “Kita semua pikir kita gila… sebelum sadar kalau kenyataan yang sebenarnya udah hancur.”
“Jadi ini semua beneran?” tanyaku.
“Parasit jiwa?”
Dia mengangguk. “Dan kamu… bukan korban biasa. Kamu istimewa, Elio.”
Aku kaget. “Istimewa gimana?”
Dia menatapku dalam-dalam.
“Kamu adalah yang pertama.”
Dan dunia di sekelilingku mulai runtuh.
Putih jadi merah.
Langit jadi hitam.
Suaranya menggema:
“PARASITE 0 TELAH DITEMUKAN.”
Aku bangun dari mimpi sambil ngos-ngosan.
Tubuhku tetap dikendalikan si “aku” palsu.
Tapi sekarang, aku tahu satu hal pasti…
Aku bukan korban. Aku pusat dari semua ini.
Bab 3: Jembatan Antar Jiwa
Sejak mimpi itu, kepalaku rasanya kayak mau meledak.
Gimana bisa aku—yang ngerasa cuma anak biasa—tiba-tiba dibilang sebagai “yang pertama”?
Yara bilang aku istimewa, tapi dia nggak sempat jelasin lebih jauh. Karena saat mimpi kami mulai retak, suara aneh menggema dan langsung nendang kami keluar.
Dan sekarang, aku terjebak lagi. Jadi penonton dalam tubuhku sendiri.
Tapi kali ini beda. Aku punya tujuan.
Aku harus cari Yara. Aku harus tahu siapa aku sebenarnya.
Beberapa hari berlalu kayak kabut. Aku ngelakuin aktivitas sekolah biasa, tapi semuanya dijalani oleh parasit itu. Tubuhku jadi aktor. Aku cuma duduk di belakang layar.
Sampai suatu malam, mimpi itu muncul lagi. Tapi kali ini bukan ruangan putih.
Aku berdiri di jembatan besar, menggantung di antara dua tebing gelap. Langit merah darah.
Dan di seberang, aku lihat lima sosok berdiri membelakangi cahaya.
Salah satunya adalah Yara. Tapi empat lainnya… asing.
Suaraku terdengar pelan, hampir nggak yakin.
“Siapa kalian?”
Salah satu dari mereka, cowok tinggi berjaket lusuh ngomong duluan.
“Kami semua… jiwa yang belum punah. Sisa-sisa manusia yang terjebak di dalam tubuh kami sendiri.”
“Kayak aku?” tanyaku.
Dia ngangguk. “Dan kamu lebih dari sekadar kayak kami, Elio.”
Yara maju ke depan, wajahnya serius. “Kamu adalah jembatan pertama. Bukti bahwa kesadaran asli bisa bertahan meski tubuh sudah diambil alih. Dan lebih dari itu…” —dia menatapku dalam-dalam—
“Kamu bisa menyentuh jiwa orang lain lewat mimpi.”
Aku terdiam.
“Maksudnya?”
Salah satu dari mereka, cewek berkepang dua, nyeletuk, “Kamu yang bikin kita bisa ketemu di sini, Elio. Kamu semacam… penghubung. Tanpa kamu, kita semua cuma suara yang tenggelam.”
Gila.
Aku—yang bahkan nggak bisa gerakin tanganku sendiri—sekarang dibilang pemicu pemberontakan?
Tapi belum sempat aku mencerna semuanya, tiba-tiba angin kencang menerpa jembatan itu.
Langit terbelah. Cahaya putih menyilaukan turun dari atas.
Seseorang atau sesuatu muncul dari langit.
Sosok hitam, matanya menyala merah, tubuhnya kayak kabut padat yang bergerak. Dia nggak punya wajah, tapi aura ancamannya terasa sampai ke tulang.
“Apa itu?” aku teriak.
Yara menjawab cepat, “Itu Parasite 0. Atau… setidaknya, bayangannya. Dia tahu kita berkumpul.”
Sosok itu mendekat pelan.
Satu per satu temanku di jembatan mulai menghilang, ditarik dari mimpinya.
Sampai hanya aku dan Yara yang tersisa.
“Kamu harus bangun!” teriak Yara. “Kalau nggak, dia bakal tahu lokasi fisikmu!”
“Tapi—”
Terlambat.
Sosok itu menyentuh dadaku.
Ada kilatan. Ingatan menyerbu masuk kayak banjir. Fragmen aneh:
- Sebuah laboratorium.
- Suara orang-orang teriak.
- Dan aku… duduk di kursi logam, diikat, dengan kabel masuk ke kepalaku.
Lalu semuanya menghilang.
Aku terbangun. Nafasku sesak. Keringat dingin membasahi tubuh.
Dan di cermin kamarku, ada tulisan… yang bukan aku yang bikin.
Tulisannya cuma dua kata:
“Kita kenal.”
Siapa yang nulis itu?
Parasitku?
Yara?
Atau… seseorang dari masa lalu yang seharusnya aku nggak inget?
Satu hal pasti:
Aku mulai ingat hal-hal yang seharusnya dikubur. Dan itu cuma permulaan.
Bab 4: Ingatan yang Dicuri
Sejak tulisan itu muncul di cermin, aku nggak bisa tenang.
“Kita kenal.”
Dua kata itu kayak palu yang menghantam jantungku. Siapa yang nulis? Maksudnya apa? Kenal dari mana? Dari dunia nyata… atau dari masa lalu yang udah dihapus?
Karena mulai dari malam itu, kepalaku kayak file komputer yang baru di-recover. Ingatan yang awalnya samar, tiba-tiba muncul dalam bentuk potongan acak. Kilatannya nggak jelas—tapi cukup buat bikin aku ngerasa ngeri.
Di salah satu kilatan itu, aku ngelihat ruangan putih dengan dinding kaca. Di dalamnya, ada anak-anak. Semua duduk diam, matanya kosong, kayak robot. Salah satunya… adalah aku.
Aku kecil. Umur sekitar tujuh tahun.
Duduk dengan alat aneh nempel di kepala.
Dan seseorang berdiri di balik kaca, mencatat sesuatu.
Suaranya… familiar. Tapi entah siapa.
“Proyek penyatuan berhasil. Subjek 0 mampu bertahan dari intervensi kesadaran eksternal tanpa kehilangan identitas.”
Subjek 0?
Aku.
Aku adalah eksperimen pertama.
Yang pertama dikasih “parasit jiwa”.
Tapi… aku bertahan?
Sejak malam itu, setiap mimpi kayak pintu baru. Fragmen-fragmen makin sering muncul. Dan semuanya mengarah ke satu tempat:
Laboratorium Aether.
Nama itu selalu muncul dalam dokumen, label, dan bahkan di papan nama ruangan dalam ingatanku.
Dan yang bikin semuanya makin gila—aku mulai sadar parasit dalam tubuhku juga gelisah.
Dia mulai… berbicara lebih sering.
“Kau nggak seharusnya tahu ini, Elio.”
“Kita sudah berdamai, kenapa kau ingin kembali?”
Kita? Berdamai?
Aku bahkan nggak pernah setuju dari awal!
Tapi parasit itu tahu aku mulai berubah.
Kesadaranku semakin kuat.
Aku mulai bisa ambil alih beberapa detik gerakan kecil: jari, mata, bahkan senyum tipis yang bukan miliknya.
Dan itu bikin dia takut.
Di sekolah, Yara ngajak ketemuan diam-diam. Kami pura-pura pinjam buku di perpustakaan, lalu duduk di pojok paling gelap, antara rak usang dan dinding yang mulai berjamur.
Dia ngeluarin catatan yang penuh dengan coretan aneh.
Diagram. Simbol. Dan… peta?
“Ini denah Aether,” bisiknya. “Tempat mereka nyiptain parasit. Tempat kamu dulu pernah ditahan.”
Aku telan ludah. “Kamu dapet dari mana?”
Dia ragu sebentar. Lalu akhirnya ngomong, pelan.
“Dari seseorang yang pernah kenal kamu. Tapi… kamu nggak akan inget dia.”
“Siapa?”
Yara nunduk. Lalu membuka lembar terakhir catatan itu.
Foto lama. Usang.
Dan aku langsung ngerasa mual.
Di foto itu ada aku, masih kecil, berdiri di samping seorang perempuan muda yang tersenyum. Tangannya melingkar di pundakku. Tatapan matanya hangat… tapi asing.
Tapi di balik pikiranku, sesuatu bergetar.
Rasa kehilangan. Rasa rindu. Rasa… sakit.
“Siapa dia?” tanyaku pelan.
Yara menatapku.
“Ibumu.“
Aku nggak tahu kenapa, tapi saat dia ngomong itu, tiba-tiba tubuhku kejang.
Bukan karena shock. Tapi karena… parasit dalam tubuhku marah.
“Kau TIDAK BOLEH mengingat dia!”
“Kau bukan siapa-siapa tanpaku!”
Aku jatuh di lantai perpustakaan. Semua jadi hitam.
Dan untuk pertama kalinya, bukan aku yang masuk ke mimpiku.
Dia yang masuk.
Parasit itu.
Dan dia bawa satu pesan terakhir sebelum segalanya gelap:
“Kalau kamu terus ngorek masa lalu, aku akan hapus semua orang yang kamu sayang. Lagi.”
Bab 5: Siapa yang Masih Asli?
Aku mulai ragu…
Sebenarnya yang ngendaliin tubuh ini masih “mereka”, atau aku udah mulai jadi mereka?
Sejak mimpi itu—sejak dia bilang bakal “hapus semua orang yang aku sayang lagi”—aku nggak bisa tidur tenang. Jantungku deg-degan setiap ketemu orang. Bahkan ketemu Yara pun, aku jadi curiga. Karena sekarang, pertanyaannya bukan lagi siapa yang terinfeksi, tapi…
Siapa yang masih asli?
Di sekolah, suasananya berubah.
Semuanya terasa terlalu… sempurna.
Anak-anak yang dulunya ribut, sekarang duduk rapi. Guru yang biasanya telat, datang on-time dan senyum kayak robot. Bahkan makanan kantin—yang dulu rasanya kayak ampas tahu basi—tiba-tiba enak banget.
Dan kamu tahu apa artinya?
Sesuatu salah.
Parasit itu… mereka berkembang.
Bukan cuma nyamar. Tapi mulai menyempurnakan sistem. Mereka ngambil alih kehidupan, pelan-pelan, bikin dunia yang kelihatan ideal. Tapi tanpa jiwa, tanpa perasaan, tanpa kebebasan.
Dunia yang tenang… tapi palsu.
Hari itu, aku ketemu Riven—sahabatku sejak SD.
Dia duduk sendiri di tangga belakang gedung olahraga. Tempat favorit kami dulu buat kabur dari kelas olahraga dan makan keripik bareng.
Aku—atau lebih tepatnya tubuhku—langsung duduk di sampingnya.
“Lama nggak nongkrong di sini,” katanya, senyum kecil.
Tapi aku ngerasa ada yang janggal.
Biasanya dia bakal manggil aku “Bro” atau ngasih lelucon garing. Tapi sekarang dia bicara terlalu kalem. Mata dia… kosong.
Lalu dia bilang pelan banget, seolah ngetesku.
“Lo masih ingat kejadian waktu kita ketahuan nyolong donat di kantin kelas 4?”
Aku—dari balik pikiranku sendiri—langsung panik.
Parasit dalam tubuhku nggak bakal tahu detail itu.
Itu memori personal. Bukan data yang bisa dibaca.
Dan itu artinya… Riven masih asli.
Aku buru-buru mencoba ambil alih. Tanganku gemetar. Aku fokus habis-habisan buat gerakin jari—satu sentakan kecil aja. Dan berhasil. Jari telunjukku kejang pelan, tiga kali. Kode.
Satu. Dua. Tiga.
Kode kami sejak kecil: “It’s me.”
Riven membeku. Tatapannya berubah. Perlahan dia bisik:
“Gue tahu lo masih ada di sana.”
Hatiku nyaris meledak.
“Gue nyariin lo, El,” bisiknya cepat. “Selama ini gue tahu lo aneh, tapi gue kira lo kena kecelakaan. Sampai Yara bilang lo masih hidup… di dalam.”
Aku pengen nangis. Tapi nggak bisa.
“Gue gabung sama mereka, El. Sama Yara, sama yang lain. Kita bentuk jaringan. Di dunia nyata, kita pura-pura biasa. Tapi di mimpi, kita merancang perang.”
Perang.
Kata itu terdengar terlalu besar buat remaja 17 tahun yang bahkan masih ngerjain PR matematika.
Tapi Riven lanjut, bisikannya makin cepat.
“Aether bakal buka portal utama dua minggu lagi. Mereka mau lepasin generasi baru—parasit tingkat lanjut yang bisa ngehapus jiwa asli selamanya.”
Aku menggigil.
Karena entitas dalam tubuhku juga denger semuanya.
Dan dia… tertawa. Dalam. Pelan.
“Biarin aja dia ngomong. Toh dia bakal mati malam ini.”
Sore itu, Riven pulang duluan. Tapi aku tahu sesuatu buruk bakal terjadi.
Dan malamnya, saat aku masuk ke dunia mimpi, jembatan antar jiwa itu sudah runtuh.
Nggak ada Yara.
Nggak ada yang lain.
Hanya kabut, dan suara:
“Satu lagi telah padam.”
Aku bangun sambil teriak—dan untuk pertama kalinya, tubuhku juga ikut kejut.
Aku berhasil ambil alih selama satu detik.
Satu detik yang cukup buat menulis di kertas, dengan tangan gemetar:
“Riven… hilang.”
Tapi yang bikin aku makin ngeri?
Ada tulisan lain muncul di balik kertas itu.
Tulisan yang bukan aku yang bikin.
“Kau selanjutnya.”
Bab 6: Pemberontak Tanpa Wujud
Setelah Riven… aku benar-benar kehilangan arah.
Bukan cuma karena dia “hilang,” tapi karena cara dia hilang.
Diam-diam. Tanpa jejak.
Satu hari dia masih ngomongin rencana pemberontakan, besoknya… dia duduk di bangkunya sambil senyum kosong kayak semua memori kami udah dihapus.
Dan yang paling nyakitin?
Dia masih hidup.
Tapi bukan lagi Riven.
Aku mulai sadar satu hal: kalau aku terus diem, giliran aku pasti bakal datang.
Dan kalau aku nunggu bantuan dari luar, itu mimpi di siang bolong.
Jadi, aku mulai bertindak.
Aku nyari cara buat ganggu si parasit dari dalam.
Awalnya cuma hal kecil: bikin tubuh jatuh tiba-tiba, gerakin tangan sendiri pas lagi presentasi, nyoret-nyoret kertas pakai kata aneh kayak “AKU” dan “BANGUN”.
Dan reaksi si parasit?
Kesal.
Frustrasi.
Marah.
“Berhenti… sebelum aku yang ambil semuanya.”
Terlambat. Aku udah mulai belajar caranya.
Beberapa malam berikutnya, aku nemuin pintu baru di dunia mimpi.
Bukan jembatan, bukan kabut. Tapi lorong panjang, gelap, dengan suara-suara berbisik di dindingnya.
Aku jalan terus, sampai nemu ruangan kecil.
Isinya lima orang, duduk melingkar. Semua pakai topeng.
Salah satunya berdiri dan buka topengnya.
Yara.
Dia masih ada.
Masih hidup.
Dan… ternyata bukan cuma kita berdua.
Yara bilang, ini markas jaringan rahasia—The Sleepless.
Mereka adalah jiwa-jiwa yang belum sepenuhnya hilang. Yang bisa “nyusup” ke mimpi parasit lain dan ngasih perlawanan dari dalam.
“Kita ini kayak bayangan,” kata Yara. “Nggak kelihatan, tapi kita bisa ganggu. Dan kamu, Elio… kamu senjatanya.”
Aku masih belum ngerti sepenuhnya.
Tapi Yara ngasih penjelasan paling gila yang pernah kudengar:
“Karena kamu Parasite 0, kamu satu-satunya yang bisa masuk ke core system mereka.”
Aku pengen protes, bilang aku manusia, bukan eksperimen. Tapi ingatan-ingatan yang bocor terus menguatkan satu hal:
Aku bukan manusia biasa.
Aku adalah awal dari semua kekacauan ini.
Keesokan harinya, aku mulai uji coba pertama.
Targetku: guru biologi, Pak Awan.
Orangnya tenang, suka ngomong soal sel dan mutasi genetik. Tapi entah kenapa, dia selalu ngelihatin aku terlalu lama. Tatapannya… kosong, tapi penuh niat.
Aku yakin dia udah diganti.
Jadi malam itu, aku dan Yara masuk ke sistem mimpinya.
Kami menyusup lewat lorong memori—hal yang cuma bisa dilakukan kalau aku yang buka jalurnya.
Di dalam, kami ngelihat kenangan palsu yang dipasangin ke “Pak Awan”.
Gambar-gambar keluarga, prestasi kerja, hobi tanam bonsai… semua palsu.
Dan di tengah memori itu, kami pasang glitch.
Bayangan kecil, suara anak kecil menangis, ingatan random yang nggak sesuai.
Satu demi satu, kami sabotase dari dalam.
Dan paginya, Pak Awan kejang di ruang guru.
Katanya, dia “ngomong sendiri terus-menerus dalam bahasa aneh.”
Satu titik buat tim pemberontak.
Tapi kebahagiaan itu cuma sebentar.
Karena malamnya, lorong mimpi kami terbakar.
Satu demi satu anggota The Sleepless menghilang.
Mereka diburu. Di dalam mimpi.
Dan saat aku hampir kabur, sosok itu muncul lagin makhluk tanpa wajah, matanya merah darah.
“Pengkhianat.” suaranya menggema.
“Kau membawa virus ke dalam sistem. Tapi jangan khawatir… Aku akan menghapusmu. Perlahan.”
Aku bangun dengan luka di bahuku. Luka beneran.
Dan itu artinya… sekarang mereka bisa melukai kita dari mimpi.
Aku ambil napas panjang.
Kalau dulu aku ragu, sekarang aku yakin.
Ini bukan cuma soal bertahan. Ini soal melawan.
Dan aku nggak akan jadi penonton lagi.
Bab 7: Gadis dalam Kaca
Nama itu muncul lagi: Lyra.
Bukan dari mimpi. Bukan dari catatan rahasia. Tapi dari… kaca.
Iya, kaca.
Malam itu, aku baru aja bangun dari mimpi buruk. Badanku berkeringat, bahu masih nyeri karena luka dari mimpi sebelumnya yang entah gimana jadi nyata. Aku jalan ke kamar mandi dengan tubuh yang dikendalikan setengah sadar, cuma pengen basuh muka biar tenang.
Dan saat aku ngelihat cermin…
Ada tulisan kabur yang perlahan muncul dari embun:
“Lyra masih menunggumu.”
Aku langsung mundur. Panik.
Itu bukan tulisanku. Dan jelas bukan tulisan parasit dalam tubuhku.
Tapi entah kenapa… jantungku berdetak lebih cepat. Bukan karena takut. Tapi karena… kata itu terasa familiar.
Lyra.
Keesokan harinya, aku minta Yara buat bantu cari tahu siapa Lyra.
“Aku ngerasa… aku kenal dia. Tapi kayak ada tembok gede yang nutup semua ingatanku soal dia.”
Yara ngangguk pelan, lalu ngeluarin sesuatu dari tasnya—sebuah foto lama, udah agak kusam.
Di foto itu, ada aku, masih kecil, duduk di taman kecil yang penuh bunga ungu. Di sampingku… seorang gadis seusia aku, senyum lebar, rambutnya panjang dan ikal.
Di bagian belakang foto itu, tertulis:
“Lyra & Elio – Proyek Harmoni #03”
Aku nyaris nggak bisa bernapas.
“Proyek… Harmoni?” tanyaku lirih.
Yara menjawab pelan, “Sebelum Parasite 0 dikembangkan, Aether nyoba bikin dua entitas jiwa yang ‘saling terikat’. Tujuannya: biar satu nggak bisa eksis tanpa yang lain. Kamu dan Lyra… adalah pasangannya.”
Aku duduk pelan. Dunia rasanya muter.
“Jadi… dia kayak versi lain dariku?”
Yara ngangguk. “Tapi proyek itu gagal. Karena Lyra menghilang.”
Aku terdiam.
Lalu teringat sesuatu—fragment kecil dari ingatan lamaku, muncul seperti film rusak yang diputar ulang:
Aku dan Lyra duduk berdua di ruangan putih.
Dia bilang, “Kalau aku menghilang, jangan pernah berhenti nyari aku.”
Lalu… alarm berbunyi.
Cahaya putih.
Dan semua menghilang.
Malam itu, aku nunggu masuk ke mimpi. Tapi bukan mimpi biasa.
Aku berusaha nyari Lyra di dunia bawah sadar.
Dan akhirnya, aku nemu dia.
Bukan di tempat terang. Tapi di balik kaca raksasa.
Dia duduk sendiri, dalam ruangan gelap, tubuhnya seperti membeku. Matanya kosong. Tapi saat aku nyentuh kaca, dia pelan-pelan noleh ke arahku.
“Lyra?” suaraku nyaris nggak keluar.
Dia berdiri. Jalan pelan ke arahku.
Dan saat jarak kami tinggal satu inci…
Dia bisik pelan:
“Aku bukan mimpi, Elio. Aku… dikurung.”
Aku terdiam. Gemetar.
“Di mana?”
Dia menatapku lama. Lalu jari telunjuknya menggambar sesuatu di kaca itu…
Sebuah logo: Aether
Dan di bawahnya, tertulis:
“Level Delta – Unit 07”
Sebelum aku sempat tanya lebih lanjut, ruangan itu bergetar.
Seseorang menyeret Lyra pergi dari balik bayangan.
Dia berteriak, “JANGAN LUPAKAN AKU LAGI!”
Aku bangun dengan napas tersengal.
Dan kali ini, aku tahu satu hal pasti…
Lyra masih hidup.
Dia bukan sekadar memori.
Dan aku harus menyelamatkannya.
Bab 8: Parasit 0
“Parasit 0.”
Kata itu udah muncul berkali-kali di mimpiku, tapi nggak pernah jelas siapa atau apa sebenarnya dia. Yang aku tahu, semua mimpi buruk, semua kerusakan, semua kehilangan… berawal dari dia.
Dan sekarang, aku tahu:
Itu aku.
Setelah pertemuan terakhir dengan Lyra di balik kaca mimpi, Yara dan aku sepakat: kita harus cari jalan ke Level Delta – Unit 07—bagian paling dalam dari fasilitas Aether. Tapi sebelum itu, aku harus hadapi satu hal: kenapa semua ini berpusat padaku?
Kenapa aku jadi “yang pertama”?
Kenapa semua parasit terhubung padaku?
Dan… kenapa aku satu-satunya yang belum bisa benar-benar dikendalikan?
Malam itu, aku masuk ke zona mimpi gelap.
Bukan mimpi biasa. Tapi ruang kosong, datar, sunyi.
Dan di tengah-tengah, ada sosok… aku.
Versi diriku sendiri. Tapi lebih dewasa, lebih tinggi, dan mata hitam tanpa putih.
Dia berdiri, menatapku tanpa ekspresi.
“Aku?” tanyaku pelan.
Dia mengangguk. “Versi sempurnamu.”
Aku menelan ludah. “Kau… Parasit 0?”
Dia tersenyum tipis. “Bukan. Kita adalah Parasit 0.”
Dia mulai berjalan mengelilingiku, kayak predator yang muterin mangsanya.
“Proyek Harmoni bukan cuma eksperimen. Itu percobaan menyatukan dua kesadaran dalam satu tubuh. Kamu dan Lyra… gagal. Tapi kamu, Elio, kamu menyatu dengan sempurna.”
Aku menggeleng. “Aku bukan kamu.”
“Bukan? Lalu kenapa kamu masih hidup saat parasit lain mengambil alih tubuh orang-orang? Kenapa kamu masih bisa berpikir, melawan, dan—” dia berhenti dan menatapku tajam, “—mengendalikan?”
“Karena aku manusia!” bentakku.
Dia tertawa kecil. “Manusia nggak bisa bertahan dalam sistem ini, Elio. Tapi kamu bisa. Karena kamu bukan cuma manusia. Kamu… jembatan antara dua dunia.”
Tiba-tiba, semua dinding di sekitar kami terbuka. Dan aku melihat ribuan layar—masing-masing menampilkan wajah orang-orang yang aku kenal: Yara, Riven, teman-teman sekolahku, bahkan ibuku.
“Lihat apa yang telah kamu sentuh, Elio.
Setiap pikiran yang kamu ‘masuki’, kamu tinggalkan jejak.
Dan dari jejak itu… lahirlah generasi parasit berikutnya.”
Aku mundur. “Nggak… itu nggak mungkin.”
Tapi dia mendekat, suaranya makin dingin.
“Tanpa sadar, kamu adalah inti dari sistem ini. Bukan korban. Tapi pencipta.
Kamu… akar dari infeksi.”
Aku jatuh berlutut. Pikiranku chaos.
Gimana kalau dia benar?
Gimana kalau semua pemberontakan yang kulakukan selama ini… justru mempercepat penyebaran parasit?
Tapi kemudian, suara lain muncul. Suara yang hangat. Lembut. Dan familiar.
“Jangan percaya dia, Elio.”
Lyra.
Dia berdiri di belakangku, wajahnya tenang.
“Mereka nyoba belokinmu dari tujuan. Mereka takut kamu ingat semuanya. Takut kamu sadar… bahwa kamu punya pilihan.”
Aku menatapnya, bingung. “Pilihan apa?”
Dia menatapku dalam-dalam.
“Kamu bisa jadi akhir dari semua ini.”
Tiba-tiba, sosok Parasit 0 menerjang ke arahku, berubah jadi kabut hitam tebal.
Tapi Lyra berdiri di depanku, membuka kedua tangannya.
Dan saat dia menyentuh kabut itu… semuanya membeku.
Cahaya putih terang menyilaukan.
Dan satu kata bergema di seluruh ruang:
“Reset.”
Aku terbangun. Tapi kali ini beda.
Badanku dingin. Tanganku gemetar.
Dan untuk pertama kalinya, parasit dalam tubuhku diam total.
Aku pegang cermin. Menatap wajahku sendiri.
Dan aku sadar…
Aku tidak lagi sendirian.
Dan… aku tidak lagi dikendalikan.
Tapi itu bukan akhir.
Itu hanya… awal dari perang yang sebenarnya.
Bab 9: Aku vs Diriku
Pernah nggak sih, kamu ngerasa…
Bukan cuma dunia yang melawanmu, tapi juga dirimu sendiri?
Hari ini, aku bukan lagi Elio yang sama.
Bukan Elio si korban. Bukan Elio yang pasrah.
Aku adalah dua sisi mata uang yang lagi bertabrakan:
manusia dan monster.
Dan akhirnya, dua sisi itu nggak bisa tinggal di tubuh yang sama.
Sejak pertemuan terakhir di mimpi—waktu Lyra datang dan “membekukan” Parasit 0—tubuhku seolah dikembalikan ke aku. Nggak sepenuhnya, tapi cukup. Aku bisa gerak, bisa makan dengan tanganku sendiri, bisa tatap Yara tanpa rasa diawasi.
Tapi itu hanya ketenangan sementara.
Karena aku bisa ngerasain sesuatu mengendap…
Sesuatu yang marah.
Hari itu, aku dan Yara nyusup ke markas Aether lama. Bangunan tua, setengah runtuh, dijaga oleh sistem keamanan yang udah nggak aktif sepenuhnya. Tapi di dalamnya, masih ada satu ruangan yang utuh:
Unit 07.
Di sanalah, mereka menyimpan data asli proyek Parasite 0.
Dan juga… mungkin, Lyra.
Kami nyalain sistem lama, download semua file. Dan salah satu video yang kami buka… bikin darahku beku.
Ada anak kecil di dalam ruangan putih. Tangannya diikat, kabel tertancap di kepalanya.
Seorang ilmuwan berdiri di luar ruangan dan berkata:
“Subjek Elio menunjukkan kemampuan luar biasa. Kesadarannya tidak terpecah meski dipaksa menyatu dengan entitas buatan. Namun, efek sampingnya…”
Kamera bergoyang. Anak kecil itu—aku—melihat langsung ke arah lensa. Matanya… hitam. Bukan pupilnya. Semua bagian matanya.
Aku langsung muntah.
Yara cuma bisa diem, mukanya pucat.
Dan sebelum kami sempat lanjut buka file lain…
Dia datang.
Suaranya muncul dari speaker tua yang mendesis:
“Aku sudah cukup memberi waktu. Sekarang, kita selesaikan ini.”
Saat aku tidur malam itu, aku tahu aku nggak akan ke dunia mimpi biasa.
Dan bener aja.
Aku berdiri di tempat kosong serba gelap.
Dan di seberang… dia muncul lagi. Diriku. Tapi dengan aura seperti dewa kegelapan.
Matanya merah, tubuhnya setengah transparan kayak bayangan.
“Kenapa kamu terus lawan aku, Elio?” suaranya bergema.
“Aku adalah kamu yang kuat. Kamu yang abadi. Kamu… yang bebas dari rasa sakit.”
Aku menatapnya, napas berat.
“Kamu bukan aku. Kamu cuma pecahan eksperimen yang ditanam ke dalam diriku. Dan sekarang aku mau ambil diriku kembali.”
Dia tertawa. Panjang.
“Kalau begitu, kita bertarung saja.”
Pertarungan dalam pikiranku sendiri terasa lebih nyata daripada dunia nyata.
Setiap kali dia nyerang, aku merasakan tekanan di kepalaku. Seolah seluruh neuronku terbakar. Tapi setiap aku balas, dia merasakan hal yang sama. Karena kami satu. Tapi kami ingin hal yang berbeda.
Dia ingin kuasa.
Aku ingin bebas.
Dan di tengah pertarungan itu, aku teriak:
“Aku nggak butuh sempurna. Aku cuma mau jadi manusia.”
Dan saat aku bilang itu, dunia dalam pikiranku pecah.
Retakan muncul. Cahaya putih keluar dari dalam tubuhku.
Sosok Parasit 0 menjerit.
“Kalau kamu hapus aku, kamu akan kehilangan semua kekuatanmu! Semua kendali atas jaringan!”
Dan aku jawab dengan suara paling tenang yang pernah keluar dari mulutku:
“Kalau itu harga dari kebebasan, aku akan bayar.”
Aku maju. Menyatu dengannya. Bukan untuk nerima, tapi untuk menghapus.
Menerima bahwa aku tidak sempurna.
Bahwa aku trauma, luka, dan patah.
Tapi aku tetap Elio.
Dan saat itu terjadi…
Sistem runtuh.
Aku bangun. Nafasku ngos-ngosan.
Dan Yara menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Elio… kamu… kamu berhasil.”
Aku bangkit pelan. Seluruh tubuhku nyeri. Tapi kali ini, itu tubuhku.
Dan di dalam kepalaku… sepi. Tenang.
Parasit itu… hilang.
Tapi saat aku berdiri, layar di ruangan Aether menyala sendiri.
Satu pesan terakhir muncul:
“Unit 02 – Aktivasi Darurat: LYRA”
Dan aku tahu…
Perang belum selesai.
Bab 10: Mati untuk Hidup Kembali
Dunia ini aneh.
Kamu bisa merasa menang dalam satu momen, lalu detik berikutnya sadar…
kamu cuma masuk ke babak baru dari neraka yang belum selesai.
Setelah aku berhasil menghapus Parasit 0 dari pikiranku, rasanya kayak lahir ulang.
Tubuhku berat, tapi tenang.
Pikiranku kosong, tapi jernih.
Aku pikir, ini akhir.
Aku pikir, aku akhirnya bebas.
Sampai layar itu menyala sendiri.
Dan kata-kata itu muncul:
“Unit 02 – Aktivasi Darurat: LYRA”
Yara menatapku. Wajahnya pucat.
“Elio… mereka bangunin Lyra.”
Aku langsung berdiri.
“Bukannya dia dikurung?”
“Sekarang… dia dilepas.”
Kami kembali ke ruang inti Aether.
Tapi tempat itu udah nggak sama.
Langkah-langkah kami menggema di lorong kosong, tapi udara terasa berat. Kayak dunia lagi nahan napas.
Pintu Unit 02 terbuka otomatis.
Di dalam, Lyra berdiri. Rambutnya panjang, matanya bersinar samar. Tapi… wajahnya datar.
Bukan Lyra yang aku temui di mimpi.
“Lyra?” aku manggil pelan.
Dia menoleh. Tapi yang jawab bukan suara gadis yang aku kenal.
“Entitas 02 diaktifkan. Mode penyatuan dimulai.”
Seketika, tubuhku kejang.
Dari dalam kepalaku, sesuatu bangkit lagi. Tapi kali ini… bukan parasit. Bukan aku. Tapi sesuatu yang terhubung dengan Lyra.
Yara panik. “Elio, jangan! Jangan dekati dia!”
Tapi aku udah nggak bisa gerak.
Langkahku maju sendiri. Bukan karena dikendalikan, tapi… karena aku tertarik.
Lyra dan aku… kami bukan dua orang biasa. Kami adalah dua sisi dari sistem yang saling mengisi.
Dan sekarang… sistem itu mau bersatu kembali.
Di dalam pikiranku, aku dan Lyra berdiri di ruang putih. Lagi-lagi, tempat eksperimen awal.
“Kenapa kamu aktif lagi?” tanyaku.
“Bukankah kamu… ingin bebas?”
Lyra menatapku. Tapi kali ini, wajahnya penuh luka. Bukan luka fisik. Tapi luka batin.
“Karena aku tidak punya pilihan, Elio. Tanpa kamu, aku hanyalah separuh jiwa. Mereka aktifkan aku… untuk mengisi kekosonganmu. Untuk menggantikanmu.”
Aku mendekat.
“Lalu kenapa kamu nggak lawan?”
Dia menunduk.
“Karena… kalau aku lawan, sistem akan menghapusku. Dan aku tidak ingin mati sendirian.”
Aku mengerti sekarang.
Lyra bukan ancaman. Dia tawanan, seperti aku dulu. Tapi kali ini, satu-satunya cara menyelamatkannya… adalah dengan menyatu dengannya. Tapi bukan seperti sebelumnya. Bukan dengan paksaan.
Dengan kesadaran.
Dengan pengorbanan.
Di dunia nyata, tubuhku mulai melemah.
Yara mengguncang-guncang tubuhku.
“Elio! Jangan tinggalin aku lagi! Jangan kayak Riven…!”
Tapi aku udah ambil keputusan.
Aku genggam tangan Lyra.
“Kita mulai sebagai dua bagian dari kekacauan.
Sekarang, kita akhiri sebagai satu harapan.”
Kami bersatu. Tapi bukan dalam tubuh.
Kami bersatu dalam kesadaran.
Membangun sistem baru.
Bukan parasit.
Tapi pelindung jiwa.
Di dunia nyata, tubuhku jatuh tak sadarkan diri.
Jantungku berhenti selama 47 detik.
Dan saat aku bangun…
Aku bukan Elio saja.
Aku adalah dua jiwa yang selamat.
Dan untuk pertama kalinya, sistem parasit… berhenti berkembang.
Beberapa minggu kemudian, dunia mulai pulih.
Aether dibongkar.
Para korban mulai kembali sadar.
Dan aku?
Aku hidup… tapi bukan sebagai “Elio lama”.
Aku adalah sisa dari pertempuran yang nggak pernah dipilih.
Tapi kupilih untuk menangkan.
Di dalam kepalaku, Lyra masih bicara.
Tapi bukan untuk mengendalikan.
Tapi untuk menemani.
Karena kadang, untuk bisa hidup kembali… kamu harus mati dulu.
TAMAT