Aurine Elvara, seorang mahasiswi psikologi yang diam-diam menyimpan trauma masa kecil, mulai mengalami mimpi aneh tentang dunia lain bernama Nolaris—dimensi misterius tempat jiwa-jiwa yang hilang terperangkap. Dalam mimpi itu, ia bertemu Riven, sosok lelaki misterius yang tampaknya tahu segalanya tentang dirinya, termasuk rahasia besar tentang ayahnya yang menghilang bertahun-tahun lalu.
Semakin dalam Aurine masuk ke Nolaris, semakin kabur batas antara realita dan mimpi. Ia tak hanya menemukan kebenaran mengejutkan tentang asal-usulnya, tapi juga jatuh cinta pada Riven—jiwa yang tidak sepenuhnya manusia, dan yang hanya bisa hidup dalam dunia mimpi.
Ketika Aurine harus memilih antara menyelamatkan ratusan jiwa, termasuk ayahnya, atau bersama Riven selamanya, ia sadar: tidak semua cinta bisa dimiliki, tapi setiap cinta bisa meninggalkan jejak abadi.
Bab 1 – Mimpi yang Terlalu Nyata
Langit malam tampak biasa saja dari balik jendela kamar Aurine. Tak ada bintang, hanya awan kelabu yang menggantung malas, seperti menanti sesuatu yang tak kunjung tiba. Jam digital di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul 01.43—waktu yang paling dibenci Aurine.
Ia membalikkan badan di atas kasur, menggulung selimut sampai leher, lalu memejamkan mata. Tapi seperti biasa, pikirannya berisik. Terlalu berisik.
Entah kenapa, sejak dua bulan terakhir, setiap kali tidur, Aurine selalu bermimpi tempat yang sama—dunia aneh dengan langit berwarna biru pekat yang berkilauan seperti air, bangunan melayang, dan suara aneh seperti bisikan di kejauhan. Bukan mimpi biasa. Terlalu nyata. Terlalu hidup.
Dan yang paling mengganggunya… ia merasa pernah berada di sana.
Malam itu, ketika akhirnya kantuk menang, tubuhnya serasa jatuh bebas. Bukan seperti tidur biasa. Tapi seperti disedot dari kenyataan.
Aurine membuka mata. Tapi bukan kamarnya yang ia lihat.
Ia berdiri di tengah sebuah lapangan luas berwarna putih keperakan, seperti es tapi tak dingin. Langitnya melengkung seperti kubah, berwarna biru tua dengan titik-titik cahaya yang mengambang lambat, seperti debu bercahaya. Bangunan aneh melayang di udara—bukan terbang, tapi seperti mengambang di dalam air, perlahan, halus.
Ia berdiri terpaku.
“Tidak mungkin… ini lagi…”
Langkah kakinya membawanya ke sebuah danau bening yang memantulkan seluruh bentuk langit. Airnya diam, tanpa riak, seperti kaca. Ia bisa melihat wajahnya sendiri—tapi di belakang bayangannya, ada sosok yang berdiri.
Aurine membalik tubuh cepat. Nafasnya tercekat.
Dia lagi.
Pria yang selalu muncul dalam setiap mimpinya.
Rambut hitam, mata biru muda seperti kristal, wajahnya tenang, tapi matanya seolah tahu semua hal yang ia sembunyikan. Pria itu mengenakan pakaian berwarna gelap dengan detail yang berkilau samar, seperti jubah luar angkasa.
“Kamu datang lagi,” ucapnya pelan.
Aurine mengerutkan kening. “Siapa kamu? Kenapa aku selalu mimpi tempat ini? Ini mimpi, kan?”
Sosok itu tersenyum tipis. “Tidak. Ini bukan mimpi. Ini Nolaris.”
“Nolaris?” Aurine mundur selangkah. “Aku… aku tidak kenal tempat ini.”
“Tapi jiwamu mengenalnya,” katanya pelan. “Dan itu cukup.”
Aurine menatapnya penuh curiga. Jantungnya berdetak kencang. Suaranya dalam, menenangkan, tapi juga membuatnya gelisah. Pria itu seperti bagian dari dirinya… yang pernah hilang.
“Apa maksudmu jiwaku mengenalnya?”
“Karena kamu bukan orang pertama yang datang ke sini. Tapi kamu satu-satunya yang bisa mendengar Nolaris memanggilmu.”
“Ini… terlalu nyata. Terlalu gila.” Aurine memegang kepalanya, merasa pusing.
“Karena kamu sudah mulai terikat.”
“Terikat?”
Ia mendekat perlahan. Wajahnya masih tenang, tapi mata itu menyimpan luka.
“Nolaris hanya muncul dalam tidur orang-orang yang kehilangan sesuatu… dan kamu, Aurine, kehilangan terlalu banyak.”
Aurine menggertakkan gigi. “Jangan sebut namaku seolah kita kenal.”
“Aku kenal kamu lebih dari yang kamu sadari.”
Aurine nyaris berteriak, tapi tiba-tiba angin berdesir keras. Langit Nolaris berubah, menjadi ungu tua. Suara bisikan itu datang lagi. Lebih dekat. Lebih menakutkan.
“Waktu kita tidak banyak,” kata pria itu. Ia meraih tangan Aurine, dan kilatan cahaya menyelimuti mereka berdua.
“Ada yang sedang memburumu.”
Seketika semuanya gelap.
Aurine terbangun di ranjangnya dengan napas tersengal-sengal. Keringat membasahi leher dan dahinya. Jam menunjukkan pukul 01.44.
Hanya satu menit berlalu?
Tangannya gemetar. Tapi di telapak tangannya, ia melihat sesuatu…
butiran debu biru kecil yang menyala, sama seperti yang ia lihat di langit Nolaris.
Aurine menatapnya. Ia tahu, ini bukan sekadar mimpi.
Dan pria itu… bukan sekadar imajinasi.
Bab 2 – Masuk ke Nolaris
Keesokan harinya, sekolah terasa seperti latar belakang yang kabur. Suara teman-temannya terdengar jauh, pelajaran terasa hambar, dan semuanya terasa tidak nyata—seolah dunia nyata justru hanya sekadar bayangan dari tempat lain yang jauh lebih hidup.
Aurine menatap telapak tangannya yang semalam memegang debu biru. Sekarang debu itu sudah tak ada, tapi bekas cahaya samar masih terlihat kalau ia perhatikan dari sudut tertentu.
“Kenapa bisa kebawa ke sini…” gumamnya sambil menatap jendela kelas.
“Lagi melamun?” tanya Reta, sahabatnya, menyenggol pelan.
Aurine hanya mengangguk. Ia tak tahu harus mulai cerita dari mana.
Karena bagaimana bisa ia menjelaskan bahwa ada dunia antarmimpi bernama Nolaris? Bahwa ia bertemu seorang pria asing yang tahu namanya? Dan bahwa dunia itu seolah lebih nyata dari hidupnya sendiri?
Malam itu, Aurine tidak melawan rasa kantuk.
Ia menunggu.
Dan begitu matanya menutup, ia tahu—ia tidak sedang bermimpi.
Ia kembali.
Langit biru yang lembut, bangunan melayang, dan udara yang terasa… bersih. Tak ada suara kendaraan, tak ada kebisingan, hanya keheningan yang menghipnotis. Ia berdiri di atas jembatan cahaya, dan di seberangnya…
Dia.
Pria itu. Dengan mata biru yang masih sama—tajam, tapi tenang.
“Kamu datang lagi,” ucapnya pelan, seolah menunggu.
“Bukan aku yang datang. Tempat ini yang narik aku,” jawab Aurine dengan nada masih defensif.
Sosok itu berjalan mendekat. “Namaku Riven.”
Aurine mengangguk pelan. “Kamu… nyata?”
“Seberapa nyata kamu merasa di sini?”
Aurine terdiam.
Udara di sekitar mereka terasa lebih hangat. Riven menuntunnya melintasi jembatan menuju bangunan besar berbentuk kristal. Di dalamnya, ribuan partikel cahaya melayang seperti bintang kecil. Langit-langit gedung itu bergerak perlahan, seolah mengalir seperti air.
“Tempat apa ini?” tanya Aurine pelan.
“Inilah inti Nolaris,” jawab Riven. “Sumber dari semua mimpi, ingatan, dan jiwa yang tersesat.”
“Kamu tinggal di sini?”
Riven mengangguk. “Aku bukan berasal dari dunia tempatmu. Aku… bagian dari Nolaris itu sendiri.”
“Jadi kamu bukan manusia?”
Riven tersenyum, samar tapi menusuk. “Dulu, aku pernah… tapi sekarang, aku hanya penjaga. Penjaga jiwa-jiwa yang terperangkap.”
Aurine menatapnya. “Kenapa aku? Kenapa aku bisa ke sini?”
Wajah Riven berubah serius. “Karena kamu terhubung. Sesuatu di dalam dirimu… tidak lengkap. Jiwa yang retak bisa menembus batas dimensi ini. Dan kamu, Aurine, punya celah yang sangat dalam.”
Aurine merasa sesak di dadanya.
“Jadi tempat ini semacam… tempat orang-orang yang kehilangan?”
“Bisa dibilang begitu,” Riven mengangguk. “Tapi ada bahaya, Aurine. Kamu tak bisa terus masuk ke sini tanpa konsekuensi. Terlalu lama berada di Nolaris, dan kamu akan lupa cara kembali.”
Deg.
Aurine merasa jantungnya membeku.
“Aku tidak pernah ke sini karena aku mau,” bisiknya.
“Aku tahu.” Riven menatap matanya dalam. “Tapi sekarang kamu di sini… kamu punya pilihan. Tinggal. Atau mencari jalan keluar.”
Suara gemuruh tiba-tiba terdengar di kejauhan. Cahaya-cahaya di dalam bangunan kristal bergetar. Riven langsung berdiri sigap.
“Mereka datang.”
“Siapa?”
“Makhluk yang menjaga batas. Mereka bisa mencium jiwa manusia yang terlalu utuh. Kamu dalam bahaya.”
Riven menggenggam tangan Aurine. Hangat. Nyata.
“Kita harus sembunyi,” bisiknya.
Dan dengan satu lompatan ringan, mereka berdua menghilang ke balik lorong cahaya yang menuntun mereka lebih dalam ke jantung Nolaris.
Aurine kembali terbangun di kamarnya, kali ini dengan tubuh gemetar. Tapi bukan karena takut.
Karena ia tahu, ini baru permulaan.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa ingin tidur lagi.
Bukan untuk melarikan diri…
Tapi untuk kembali padanya.
Bab 3 – Pria dari Dunia Lain
Hari-hari Aurine berubah sejak malam itu.
Ia tak lagi takut tidur. Justru sebaliknya, ia menunggu waktu malam datang—karena hanya di dalam Nolaris, ia merasa hidupnya punya arti. Ia merasa… dicari. Diperhatikan. Dilindungi.
Dan semuanya bermuara pada satu nama: Riven.
Saat matanya terbuka, Aurine kembali di tempat itu—di tepi danau bening yang seperti cermin langit. Di seberangnya, Riven sedang duduk di atas batu besar, memainkan benda seperti bola cahaya yang terus berubah warna.
“Aku merasa kamu sengaja manggil aku,” kata Aurine sambil mendekat.
Riven menoleh, tersenyum tipis. “Kamu selalu datang di saat yang tepat.”
“Kamu kayak tahu kapan aku tidur.”
“Aku tahu lebih dari itu,” jawabnya pelan.
Aurine duduk di sampingnya. “Kamu ngomong aneh banget, tahu nggak?”
“Memangnya kamu percaya ini semua nyata?”
Aurine terdiam. Ia menatap danau yang tenang.
“Aku nggak tahu. Tapi rasanya… aku lebih kenal tempat ini daripada kamarku sendiri.”
Riven tersenyum, tapi matanya menyimpan sesuatu yang berat. “Itu karena kamu bukan orang asing di sini. Kamu pernah ke Nolaris sebelumnya.”
“Apa?” Aurine menoleh cepat.
“Kamu masih kecil waktu itu. Belum sadar. Tapi jiwamu sempat terseret ke sini saat…” Ia berhenti. “Saat kamu kehilangan ayahmu.”
Aurine membeku. Dadanya sesak.
“Kamu tahu tentang itu?”
Riven mengangguk perlahan. “Aku melihat fragmen-fragmen jiwamu. Dan… fragmen jiwanya.”
Aurine menatapnya, bingung. “Maksudmu… ayahku juga pernah ke sini?”
“Bukan hanya pernah. Ia salah satu pencipta awal akses ke Nolaris. Tapi sesuatu terjadi. Ia menghilang di antara dua dunia. Dan sejak itu, kamu terhubung.”
Aurine menahan napas.
“Aku kehilangan dia waktu umur lima tahun… mereka bilang kecelakaan lab. Tapi nggak ada jasad.”
Riven menatap lurus ke danau. “Karena jiwanya tak pernah kembali.”
Suasana hening. Hanya suara gemericik air dan desiran angin pelan yang mengisi udara.
“Kamu siapa sebenarnya?” bisik Aurine. “Kenapa kamu tahu semua ini?”
Riven menoleh padanya. Tatapannya tajam, tapi juga lembut.
“Aku bukan manusia biasa, Aurine. Aku bagian dari Nolaris. Aku terlahir dari memori, jiwa, dan rasa kehilangan. Aku hidup karena jiwa-jiwa sepertimu mengingat… dan berharap.”
“Jadi kamu bukan nyata?”
“Kalau kamu bisa merasakan hangatnya tanganku… apakah aku tetap tak nyata?”
Riven menggenggam tangan Aurine pelan. Hangat. Nyata.
Aurine menunduk. Perasaannya campur aduk. Takut. Nyaman. Bingung. Tapi satu hal pasti—ia tak ingin melepaskan genggaman itu.
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari langit. Riven berdiri cepat, wajahnya berubah tegang.
“Cepat. Kita harus pergi.”
“Apa itu?”
“Asphar. Dia penjaga batas Nolaris. Dia bisa menghancurkan jiwa manusia yang terlalu utuh—dan kamu terlalu utuh untuk berada di sini terlalu lama.”
Aurine berdiri. “Lalu kenapa kamu tetap memanggilku ke sini?”
“Karena kamu satu-satunya yang bisa menyelamatkan mereka yang terperangkap,” ucap Riven cepat. “Dan satu-satunya yang bisa menyelamatkanku.”
Langit mulai berubah warna—dari biru menjadi merah tua. Udara jadi berat.
Riven menarik Aurine, dan mereka berlari menyusuri lorong cahaya yang muncul entah dari mana. Di belakang mereka, suara gemuruh berubah menjadi teriakan yang dalam dan mengguncang.
Aurine terbangun sambil terengah-engah. Dadanya naik-turun. Jantungnya berdetak terlalu cepat.
Tapi tangan kirinya masih terasa hangat. Seolah seseorang baru saja menggenggamnya.
Dan saat menoleh ke jendela, ia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding.
Langit malam itu… berwarna biru pekat. Sama persis seperti langit Nolaris.
Bab 4 – Kunci Jiwa yang Hilang
Langit malam itu benar-benar biru. Bukan biru langit biasa, tapi biru tua yang dalam—berkilau seperti tinta basah di bawah cahaya bulan. Aurine berdiri di balik tirai jendela, menatapnya tanpa berkedip.
Apakah Nolaris sedang mendekat ke dunia nyata? Atau… apakah batas antara mimpi dan kenyataan mulai retak?
Pikirannya kacau. Tapi satu hal pasti: semua ini ada hubungannya dengan ayahnya. Lelaki yang hilang saat ia masih terlalu kecil untuk mengingat wajahnya dengan jelas—namun selalu hadir dalam fragmen mimpi-mimpi yang ia anggap tak berarti.
Pagi harinya, Aurine mulai menggali masa lalunya. Ia membuka kotak kayu tua di bawah tempat tidur—tempat ibunya menyimpan barang-barang ayahnya yang tersisa. Di dalamnya ada foto lama, buku catatan, dan satu benda aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya: sebuah liontin kecil berbentuk bola, seperti kapsul transparan yang berisi serpihan cahaya biru.
Tangannya bergetar saat menyentuhnya.
Dan saat ia menyentuhnya—kilatan cahaya muncul. Sekilas ia melihat wajah ayahnya… dan sosok lain berdiri di belakangnya.
Riven.
Malam itu, Aurine tidak tidur dengan rasa takut. Ia tidur dengan tujuan.
Begitu memasuki Nolaris, ia langsung berada di ruangan luas berbentuk lingkaran. Langitnya hitam pekat, dipenuhi jalur cahaya melengkung seperti galaksi.
Dan Riven sudah berdiri di tengah-tengahnya, seolah menunggunya.
“Kamu menemukan liontin itu,” ucapnya tanpa ditanya.
Aurine mengangguk pelan. “Kamu tahu?”
“Itu peninggalan ayahmu. Satu-satunya bagian dari jiwanya yang berhasil keluar dari Nolaris.”
Aurine menggenggam liontin itu erat. “Kenapa semua ini terjadi padaku?”
“Karena kamu adalah hasil dari eksperimen yang belum selesai.”
Aurine menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Riven menatap langit Nolaris sejenak, lalu kembali pada Aurine.
“Ayahmu adalah salah satu pencipta proyek “Jalur Jiwa”—eksperimen untuk menyambungkan kesadaran manusia dengan dimensi spiritual. Mereka mencoba membuka gerbang ke Nolaris. Tapi percobaannya gagal. Banyak jiwa yang terjebak, termasuk ayahmu.”
Aurine menarik napas dalam. “Lalu… aku?”
“Kamu lahir saat proyek itu belum dihentikan. Sebagian chip saraf dari eksperimen itu… tertanam dalam dirimu. Tanpa sadar, kamu jadi jembatan antara dunia nyata dan Nolaris.”
“Aku… jembatan?” bisiknya.
Riven mengangguk. “Itu sebabnya kamu bisa melihatku. Masuk ke sini. Bertahan lebih lama dibanding yang lain. Kamu bukan hanya pengunjung, Aurine. Kamu adalah bagian dari Nolaris.”
Kata-kata itu menggema di kepala Aurine. Ia ingin menyangkal, tapi jauh di dalam hatinya… ia tahu itu benar. Ia selalu merasa berbeda. Sejak kecil, ia merasa seperti dua versi diri—satu di dunia nyata, dan satu lagi… di tempat yang tak bisa dijelaskan.
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
“Temukan inti jiwamu. Dan temukan sisa jiwa ayahmu.”
Aurine menatap Riven. “Kamu tahu di mana dia?”
Riven menggeleng pelan. “Tidak. Tapi aku tahu satu tempat yang bisa membantumu menemukannya.”
Aurine melangkah mendekat. “Di mana?”
Riven mendekat juga. Suaranya menurun, lembut, nyaris seperti bisikan.
“Di bagian terdalam Nolaris. Tempat yang bahkan aku sendiri tak bisa masuki.”
“Kenapa?”
“Karena hanya mereka yang memiliki ‘jiwa utuh’ yang bisa melewatinya. Dan satu-satunya yang memilikinya… adalah kamu.”
Aurine menelan ludah. Matanya bertemu dengan mata Riven. Dalam. Terlalu dalam.
“Tapi tempat itu dijaga ketat oleh makhluk bernama Asphar,” lanjut Riven. “Jika kamu gagal melewati batasnya… jiwamu akan hancur. Selamanya.”
Aurine tak menjawab. Ia hanya menatap liontin di tangannya, lalu menatap langit biru tua Nolaris yang perlahan berubah menjadi ungu kelam.
Ia tahu satu hal.
Apa pun yang ada di ujung tempat itu… akan mengubah segalanya.
Dan ia siap menempuhnya.
Bersama Riven.
Bab 5 – Pemburu Bayangan
Langkah mereka sunyi.
Aurine dan Riven menuruni tangga cahaya yang mengarah ke tempat bernama Lumbra, wilayah terdalam Nolaris—tempat jiwa-jiwa terlupakan, tempat waktu tidak berjalan, dan tempat di mana Asphar menjaga gerbang antara dimensi.
Udara di sekitarnya dingin, tapi bukan dingin biasa—dingin yang menusuk langsung ke dalam perasaan. Setiap langkah seperti menyentuh kenangan yang hilang. Bau samar seperti abu dan bunga layu mengisi udara.
“Kenapa tempat ini terasa… menyedihkan?” bisik Aurine.
“Karena tempat ini dibentuk dari kesedihan jiwa-jiwa yang gagal kembali,” jawab Riven pelan. “Asphar adalah penjelmaan rasa kehilangan. Dia tak akan membiarkan siapapun menyentuh inti Nolaris tanpa membayar harga.”
Mereka berhenti di depan gerbang besar berwarna hitam legam, dengan akar-akar bercahaya menggantung dari atas. Di tengah gerbang itu, ada simbol berbentuk spiral yang perlahan berdenyut seperti detak jantung.
“Setelah kita masuk, tak ada jalan kembali sampai semuanya selesai,” ucap Riven.
Aurine mengangguk. “Aku siap.”
Gerbang terbuka sendiri, mengeluarkan suara gemeretak berat. Di dalamnya, kabut ungu dan cahaya gelap berputar pelan. Suasana berubah senyap.
Dan di tengah kabut itu… ia muncul.
Asphar.
Bayangan besar menjulang, tak berbentuk pasti. Wajahnya tak terlihat, hanya dua mata merah menyala yang terus berubah posisi. Suaranya seperti gema dari dalam tengkorak kosong.
“Kau… pembawa terang… penyusup dari dunia lain…”
Aurine berdiri tegak. “Aku datang untuk mencari jiwa ayahku.”
“Jiwa yang hilang… tidak bisa kau ambil begitu saja.”
“Asphar,” kata Riven lantang. “Biarkan dia lewat. Dia satu-satunya harapan bagi jiwa-jiwa yang tertinggal.”
Bayangan itu bergemuruh.
“Harapan? Harapan adalah dusta paling manis dalam dunia yang hancur!”
Tiba-tiba Asphar bergerak cepat. Kabut hitam seperti tangan raksasa menyapu ke arah mereka.
Riven mendorong Aurine ke samping, lalu mengangkat tangannya. Cahaya biru meledak dari telapak tangannya, menciptakan perisai berbentuk segitiga.
“Lari ke pilar tengah! Sekarang!” teriak Riven.
Aurine berlari, menembus kabut yang mengandung bisikan-bisikan asing. Setiap langkahnya seperti melawan gravitasi, tapi liontin di lehernya bersinar terang—menuntunnya ke sebuah altar kecil di tengah ruangan.
Begitu ia menyentuh altar itu, gelombang cahaya keluar, menghantam Asphar secara langsung.
Sosok itu mengerang keras.
“Jiwa itu… tidak murni! Ia mengandung dua dunia! Dia ancaman!”
Aurine berteriak, “Kalau aku ancaman bagi dunia ini, biar aku yang memutuskan apa yang harus kulakukan dengan jiwaku!”
Riven muncul di belakangnya, luka di lengannya menyala samar.
“Pilihannya cuma satu,” katanya pelan. “Kita lawan, atau kita hancur.”
Aurine menatap Riven, lalu mengangguk. “Aku bersamamu.”
Mereka berdiri berdua, dan liontin di leher Aurine mulai pecah perlahan, mengeluarkan cahaya yang membentuk bayangan wajah ayahnya.
Cahaya itu membentuk pelindung yang memisahkan mereka dari Asphar untuk sementara.
Dan di tengah altar, muncul jalan melengkung—jalan menuju inti Nolaris.
Riven memandangnya penuh rasa khawatir.
“Sekali kamu melangkah ke sana, kamu akan tahu semua kebenaran. Tentang ayahmu. Tentang aku. Dan tentang dirimu sendiri.”
Aurine menggenggam tangannya. “Apapun kebenarannya… aku siap.”
Dan mereka melangkah bersama, meninggalkan Asphar yang meraung di belakang.
Di balik kabut dan cahaya itu…
kebenaran menanti.
Bab 7 – Jiwa yang Terikat
Cahaya menyilaukan menyambut mereka begitu langkah terakhir melewati gerbang terakhir.
Aurine menutup matanya sesaat, dan ketika membuka lagi—ia berada di tempat yang berbeda.
Sebuah taman luas membentang, penuh bunga-bunga berwarna biru pucat yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Pohon-pohon seperti kristal hidup berayun perlahan, dan langit di atas mereka berbentuk spiral, seolah waktu itu sendiri berputar pelan.
Dan di tengah taman itu, berdiri seseorang.
Sosok lelaki dengan rambut kusut, mengenakan jas lab putih yang lusuh. Ia berdiri dengan punggung menghadap mereka, tangan menyentuh batang pohon kristal yang memancarkan denyut cahaya seperti jantung berdetak.
“Papa…” bisik Aurine nyaris tak terdengar.
Riven mengangguk. “Itu dia. Tapi jiwanya belum utuh. Dia terjebak dalam ilusi tak berakhir. Jika kamu mendekat, dia akan mengenalmu… atau sepenuhnya menolakku.”
Aurine melangkah maju. Tubuhnya bergetar. Napasnya pendek. Setiap langkah seperti menembus kenangan masa kecil yang terkubur.
“Papa…”
Sosok itu perlahan menoleh.
Wajah yang dulu hanya samar dalam ingatan kini benar-benar terlihat.
Wajah ayahnya.
Tubuh Aurine lemas ketika ayahnya menyentuh pipinya. Tapi sentuhan itu hanya samar, seperti kabut.
“Aku… pernah mengenalmu…” gumamnya, suara sang ayah terdengar jauh, seperti gema. “Tapi aku tidak utuh… jiwaku masih tersebar di antara dimensi.”
Aurine menggenggam liontin yang sudah retak di lehernya. “Kalau kita satukan, kamu bisa kembali. Kita bisa pulang.”
Tapi saat itu juga, mereka dikelilingi oleh bayangan-bayangan samar—jiwa-jiwa yang terperangkap.
Wajah-wajah tanpa nama. Mata-mata kosong. Beberapa menangis. Beberapa menjerit tanpa suara.
Mereka semua menatap Aurine.
“Siapa mereka?” tanya Aurine pelan.
“Mereka… jiwa yang gagal kembali,” jawab Riven. “Mereka adalah hasil dari percobaan yang gagal. Tapi mereka masih hidup. Masih berharap.”
Salah satu dari mereka, seorang gadis kecil, melangkah mendekat. “Kamu… yang dipanggil bintang jiwa, kan?”
Aurine menunduk. “Aku bukan siapa-siapa.”
“Tidak,” kata si gadis. “Kamu bisa membuka jalan pulang. Untuk kami semua.”
Riven menatap Aurine, wajahnya berat.
“Kalau kamu memutuskan untuk membawa semua jiwa ini keluar dari Nolaris, sistem akan hancur. Dan jika sistem hancur… aku juga ikut hilang.”
Aurine membeku.
Di satu sisi, ayahnya. Di sisi lain, Riven. Dan di sekelilingnya, jiwa-jiwa yang memohon harapan.
Ia menatap Riven.
“Kamu tahu aku nggak bisa memilih…”
Riven mendekat. Matanya teduh, tapi getir. “Justru karena itu… kamu harus memilih.”
“Kenapa semua ini harus jatuh di pundakku?” suara Aurine pecah. “Aku cuma gadis biasa yang cuma… ingin tidur nyenyak.”
Riven menyentuh bahunya. “Karena kamu istimewa. Karena hatimu… bisa menampung dunia ini.”
Aurine menggenggam tangan ayahnya dan melihat ke sekeliling.
Jiwa-jiwa itu… mereka tersenyum. Bukan senyum bahagia. Tapi senyum penuh harap.
Dan untuk pertama kalinya, Aurine merasa: ia tak sendiri.
Ia menatap ke langit spiral di atasnya.
Dan ia tahu, waktunya akan segera habis.
“Kalau kamu memutuskan untuk menyelamatkan mereka…” suara Riven perlahan memudar, “…maka malam berikutnya, aku tak akan ada lagi.”
Aurine menoleh. “Jangan bicara seperti itu.”
Tapi Riven hanya tersenyum, lembut… seperti senyuman terakhir sebelum seseorang pergi jauh.
“Aku sudah cukup… hanya dengan bisa mencintaimu… walau sebentar.”
Air mata Aurine menetes.
Dan saat taman Nolaris mulai berguncang pelan, ia tahu: keputusan itu akan mengubah segalanya.
Bab 8 – Gerbang Pemisah
Langit Nolaris retak.
Garis-garis cahaya memecah spiral biru yang dulu tenang, menjadi pola-pola menyakitkan yang menyayat dimensi. Tanah bergemuruh, udara berdesir seperti sedang menjerit pelan. Jiwa-jiwa yang tadi tenang mulai panik, berkumpul, berlarian tanpa arah.
Di tengah kekacauan itu, sebuah gerbang muncul. Tidak seperti gerbang yang lain—gerbang ini tidak bercahaya lembut. Warnanya putih menyilaukan, bergerak seperti cairan yang hidup. Di atasnya, hanya ada satu tulisan:
“Gerbang Pulang.”
Tapi tak ada jalan yang mulus untuk pulang.
Di bawahnya, tumbuh akar-akar hitam yang melilit, berdenyut seperti nadi. Dan di depannya berdiri satu sosok—Asphar. Namun kali ini, wujudnya tak lagi kabur. Ia menjelma lebih padat, lebih nyata, seperti bayangan manusia yang gagal terbentuk sempurna.
“Hanya satu jiwa yang boleh lewat,” katanya. Suaranya dalam, seperti berasal dari sumur terdalam.
Aurine menatapnya. “Itu bukan kesepakatannya.”
“Bukan aku yang membuat aturan. Tapi Nolaris sendiri. Dunia ini tidak bisa kehilangan keseimbangannya. Jika semua jiwa kembali… maka satu harus tertinggal sebagai penjaga baru.”
Aurine memandang sekeliling. Ratusan pasang mata—jiwa-jiwa yang terlupakan—menatapnya penuh harap. Ayahnya berdiri diam di sampingnya, masih belum utuh. Riven… berdiri sedikit jauh, wajahnya menunduk.
“Aku yang tertinggal,” gumam Aurine, nyaris tak terdengar.
Riven mengangkat kepala. “Jangan.”
“Aku bisa. Aku kuat.”
“Kamu terlalu berharga untuk dilupakan dunia nyata.”
Aurine berjalan ke arah gerbang, tapi tangan Riven menariknya pelan.
“Kalau ada yang harus tinggal… biar aku.”
Aurine langsung menoleh cepat. “Jangan gila.”
“Aku bukan manusia, Aurine. Aku sudah terlalu lama di sini. Aku bagian dari Nolaris. Tapi kamu…” Ia menyentuh pipinya. “Kamu adalah masa depan. Kamu bisa menulis ulang semua ini.”
“Tapi aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Aku juga nggak mau kehilangan kamu,” bisiknya. “Tapi mencintai bukan berarti menggenggam erat. Kadang, mencintai itu… melepaskan.”
Air mata Aurine jatuh.
Ia tahu Riven benar.
Tapi hatinya hancur.
“Pilihannya sekarang,” ujar Asphar. “Gerbang tidak akan menunggu.”
Aurine berjalan mundur. Menatap semuanya. Jiwa-jiwa yang memanggilnya “penyelamat.” Ayahnya, yang akhirnya bisa pulang. Dan Riven…
Yang hanya berdiri diam dengan senyum yang menyakitkan.
“Aku janji…” bisik Aurine. “…aku akan mengingatmu setiap malam. Aku akan memanggil namamu sampai suaraku tak bisa lagi keluar.”
Riven menunduk. “Itu cukup bagiku.”
Aurine mencium keningnya, lembut.
Lalu berjalan ke gerbang bersama ayahnya.
Dan sesaat sebelum cahaya menelan mereka, ia menoleh untuk terakhir kali.
Riven berdiri di tengah cahaya yang mulai runtuh. Sosoknya mulai memudar. Tapi senyumnya tetap di sana.
Senyum yang akan tinggal di dalam hatinya. Selamanya.
Cahaya putih menelan semuanya.
Dan saat Aurine membuka matanya…
Ia terbaring di ranjang rumah sakit. Ibunya menangis di sampingnya. Tubuh ayahnya ada di sebelahnya—terbaring, tapi hidup. Hidup.
Tapi ruang di hatinya… terasa kosong.
Karena seseorang tinggal di dunia yang tak bisa dijangkau.
Bab 9 – Pilihan yang Menyakitkan
Tiga hari sejak Aurine terbangun.
Tiga hari sejak ayahnya membuka mata untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun menghilang tanpa jejak.
Tiga hari sejak ia kehilangan Riven.
Dari luar, semuanya tampak sempurna. Ia kembali ke rumah. Ayahnya kini ada di ruang makan, meski belum sepenuhnya pulih secara mental. Ibunya tersenyum lebih sering. Dokter menyebut ini keajaiban.
Tapi di dalam dada Aurine—kosong.
Tak ada malam tanpa mimpi tentang Nolaris. Tapi mimpi itu kini gelap. Hampa. Riven tidak ada. Bahkan suara bisikan yang dulu menemani tidurnya… telah lenyap.
Suatu malam, Aurine duduk di jendela kamarnya, menatap langit. Tidak ada aurora. Tidak ada spiral biru. Hanya bintang biasa yang tampak terlalu jauh.
Liontin yang dulu bersinar kini hanya benda mati. Tapi ia tetap memakainya, seolah benda itu bisa membawanya kembali.
“Aku membawamu pulang,” gumamnya, memandang ayahnya yang tertidur di ruang sebelah. “Tapi kenapa rasanya seperti kehilangan yang lebih besar?”
Tak ada jawaban.
Dan itu yang paling menyakitkan.
Hari-hari berlalu.
Aurine mencoba kembali ke rutinitas: sekolah, bertemu teman, belajar. Tapi semuanya tak lagi terasa sama. Reta, sahabatnya, bahkan mulai khawatir.
“Kamu kayak nggak di sini, Rin.”
Aurine hanya tersenyum tipis. “Mungkin aku emang nggak sepenuhnya di sini.”
Malam itu, saat ia kembali memejamkan mata, ia berbisik ke langit-langit kamar, seperti berdoa:
“Kalau kamu masih bisa dengar aku… walau cuma satu detik… muncul lah. Sekali aja.”
Dan untuk pertama kalinya sejak ia pulang, liontin di lehernya bersinar—sangat redup, tapi cukup untuk membuat jantungnya berhenti sejenak.
Aurine langsung duduk. “Riven…?”
Ia memejamkan mata.
Berharap.
Menunggu.
Tapi yang datang bukan Nolaris.
Bukan suara Riven.
Hanya bayangan samar. Dalam gelap, ia berdiri di tempat yang tidak bisa dijangkau.
“Aurine…”
Suara itu lembut. Terdengar jauh, seperti lewat kabut tebal. Tapi Aurine mengenalnya. Suara yang ia pikir takkan pernah dengar lagi.
“Kamu harus hidup… meski aku nggak ada.”
Air mata mengalir tanpa ia sadari.
“Aku nggak tahu caranya hidup tanpa kamu.”
“Kalau kamu pernah mencintai aku… cintailah dunia ini juga. Karena cinta itu harus bertumbuh… meski akarnya sudah hilang.”
Aurine menangis dalam diam. Hanya suara napasnya dan degup jantungnya yang memantul di dinding.
“Jangan kembali… untuk aku.”
“Kalau aku kembali… bukan karena kamu. Tapi karena aku nggak bisa hidup tanpa setengah jiwaku.”
Tak ada jawaban lagi.
Suara itu menghilang, dan liontin padam kembali.
Besoknya, Aurine berdiri di depan cermin. Ia menatap matanya sendiri.
“Aku bisa menyelamatkan dunia… tapi gagal menyelamatkan orang yang kucintai.”
Ia menyentuh liontin itu. Bibirnya bergetar.
“Kalau memang harus kujalani hidup ini tanpa kamu, Riven…”
Ia menatap langit malam yang kelabu.
“…setidaknya biarkan aku mencintaimu… dalam ingatan yang tak pernah selesai.”
Bab 10 – Saat Aku Terbangun
Dunia tak berubah.
Langit tetap biru pucat setiap pagi. Jalanan tetap penuh suara klakson dan langkah terburu-buru. Orang-orang lalu lalang tanpa tahu apa yang pernah terjadi di dimensi yang tak mereka kenal—tanpa tahu bahwa seorang gadis pernah menyelamatkan ratusan jiwa dengan hatinya sendiri.
Aurine berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang dulu mengurungnya. Di tangannya, liontin yang kini tak bersinar. Tapi ia tak melepasnya.
Ia sudah berhenti menunggu mimpi.
Ia sudah berhenti berharap Riven kembali.
Tapi ia tak berhenti mencintai.
Setiap malam, sebelum tidur, ia menulis di buku kecil. Bukan jurnal. Bukan cerita. Tapi surat.
Surat untuk Riven.
“Hari ini aku makan roti keju yang dulu sering kamu bilang mirip awan di langit Nolaris. Aku senyum sendiri pas lihat bentuknya. Gila, ya… hal sekecil itu bisa bikin aku ingat kamu.”
“Aku tahu kamu mungkin nggak bisa baca ini. Tapi menulis tentang kamu… bikin aku ngerasa kamu masih hidup di suatu tempat. Mungkin bukan di dunia ini. Tapi di dalam aku.”
“Dan kalau nanti aku menua… dan dunia sudah lupa siapa kamu… aku akan tetap ingat. Karena kamu bukan mimpi. Kamu… pernah nyata di hatiku.”
Waktu berlalu.
Aurine tumbuh menjadi wanita muda. Ia belajar, bekerja, dan sesekali berdiri di bawah langit malam, memandangi bintang seperti menanti pesan dari jauh.
Tapi tidak ada suara. Tidak ada bisikan. Hanya keheningan yang kini ia peluk dengan damai.
Sampai suatu malam…
Saat hujan turun ringan dan langit terselimuti kabut, Aurine berdiri di jendela kamarnya, memejamkan mata seperti biasa. Dan dalam sunyi yang sangat dalam…
Ia mendengar satu suara.
“Aurine…”
Suaranya tidak datang dari mimpi. Tidak dari dunia lain. Tapi dari dalam dirinya sendiri.
Seperti gema kenangan yang tidak pernah mati.
Ia tersenyum, meski matanya basah.
“Selamat malam, Riven…”
Dan saat ia memejamkan mata, tidur tak lagi jadi tempat pelarian. Tapi ruang kecil…
di mana cinta tak pernah benar-benar pergi.
Karena meski dunia nyata tak memberinya pilihan untuk bersama, cinta mereka telah melampaui batas waktu dan realita.
Dan saat ia terbangun esok harinya…
Ia tidak merasa kehilangan.
Ia merasa penuh.
TAMAT
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.