Ara Kirana, seorang editor buku berusia 27 tahun, terpaksa menikah dengan Reyhan Al-Fattah, pengusaha muda tampan dan berpengaruh demi menyelamatkan perusahaan ayahnya yang terancam bangkrut. Di mata semua orang, Reyhan adalah suami idaman: penyayang, sopan, dan sempurna. Namun, setelah menikah, kehidupan Ara berubah menjadi mimpi buruk yang tersembunyi di balik senyum manis sang suami.
Di rumah megah nan sunyi yang jauh dari kota, Ara menemukan buku harian milik seorang wanita bernama Nadira yang mengaku pernah disekap… dan dibunuh oleh Reyhan. Ara berusaha kabur, namun setiap gerak-geriknya selalu terpantau. Ia mulai dihantui bayangan, suara-suara aneh, dan rahasia masa lalu yang menyeret nama ibunya sendiri.
Apakah Reyhan benar-benar seorang pembunuh? Ataukah semua ini hanyalah hasil trauma dan delusi Ara? Dalam pernikahan yang dipenuhi ketakutan dan teka-teki, Ara harus memutuskan: melawan… atau hilang selamanya.
Bab 1: Akad yang Tak Kupilih
Langit mendung sore itu seolah ikut menyesali keputusanku.
Aku duduk bersimpuh di pelaminan mewah berwarna putih gading, gaun pengantin membalut tubuhku seperti kulit kedua—begitu indah dari luar, tapi rasanya seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Di sampingku, lelaki yang akan menjadi suamiku duduk tenang, bibirnya tersungging senyum hangat yang tampak tulus di mata semua orang.
Reyhan Al-Fattah.
Namanya sering muncul di majalah bisnis dan kolom pengusaha muda paling berpengaruh. Ia anak dari keluarga konglomerat dan punya reputasi nyaris sempurna: tampan, dermawan, dan cerdas. Sejak awal, pernikahan ini seperti mimpi bagi semua perempuan. Tapi tidak untukku.
Aku, Ara Kirana, menikah bukan karena cinta, tapi karena keadaan. Lebih tepatnya: karena ayahku.
Perusahaan ayah terancam bangkrut setelah kasus penggelapan dana yang menjerat rekan bisnisnya. Semua aset mulai disita, investor menarik diri satu per satu. Lalu datanglah Reyhan, seperti pahlawan dalam dongeng yang membawa harapan—dengan satu syarat: menikahi putri satu-satunya pemilik perusahaan, aku.
“Semuanya demi keluarga, Ara,” kata ayah dengan suara berat seminggu sebelum pernikahan. “Ayah tahu kamu belum siap. Tapi kalau ini satu-satunya jalan menyelamatkan semuanya…”
Aku hanya bisa mengangguk.
Bukan karena setuju, tapi karena sudah lelah melawan.
Suara penghulu membacakan ijab kabul membuat detak jantungku menggila. Jari-jari tanganku gemetar saat Reyhan menyentuhnya, menyematkan cincin emas yang tampak terlalu besar di tanganku yang dingin. Semua tamu bersorak bahagia, doa-doa mengalir dari bibir keluarga, dan kilatan kamera menangkap momen sakral itu.
Tapi satu-satunya yang tak bersorak—adalah hatiku sendiri.
“Selamat menjadi istriku, Ara,” bisik Reyhan sambil menatapku penuh kelembutan. Matanya yang tajam seperti menyimpan rahasia. Dalam sekejap, aku merasa seperti seekor rusa yang menatap mata serigala, namun semua orang mengira aku sedang jatuh cinta.
Aku memaksakan senyum. “Iya… suamiku.”
Di balik senyumku, ada air mata yang kutahan mati-matian.
Malamnya, di dalam kamar hotel tempat kami menginap sebelum keberangkatan bulan madu, Reyhan memperlakukanku dengan sopan. Ia tidak menyentuhku sedikit pun. Sebaliknya, ia hanya duduk di kursi pojok sambil membaca buku tebal dengan segelas wine di tangan.
“Aku tahu ini semua terlalu cepat buatmu,” katanya tiba-tiba tanpa menoleh. “Kita tidak harus menjadi suami-istri dalam semalam. Aku bisa menunggu… sampai kamu siap.”
Aku menatapnya. Ada nada tulus di sana, atau mungkin aku hanya terlalu ingin percaya.
“Terima kasih,” jawabku pelan.
Ia menoleh dan tersenyum lagi—senyum yang tampak sempurna. Tapi entah kenapa, dadaku terasa sesak.
Aku berdiri dan berjalan ke balkon kamar, membiarkan angin malam menyapa wajahku. Di bawah sana, lampu-lampu kota bersinar bagaikan bintang-bintang yang jatuh. Indah. Tapi tetap saja, aku merasa terjebak dalam kandang emas.
Pernikahan ini seperti perjanjian tak tertulis dengan iblis yang mengenakan jas dan dasi.
Entah kenapa, hatiku berkata… sesuatu tentang lelaki itu tidak benar.
Keesokan harinya, kami berangkat ke rumah barunya—rumah kami, katanya. Letaknya jauh dari pusat kota, di sebuah dataran tinggi yang dikelilingi hutan pinus. Rumah besar bergaya klasik Eropa itu berdiri angkuh, lengkap dengan pagar tinggi dan gerbang otomatis. Dari luar, semuanya terlihat sempurna.
Namun saat aku melangkah masuk, hawa dingin menyambut seperti tangan tak kasat mata yang menggenggam pergelangan kakiku.
Reyhan berdiri di sampingku. “Mulai sekarang, inilah rumah kita. Kamu bisa bebas melakukan apapun… asalkan tetap bersamaku.”
Aku menoleh padanya.
Senyumnya masih sama—lembut dan menenangkan. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa senyuman itu… terlalu tenang. Terlalu terkendali. Seperti seseorang yang tahu bahwa semua ini hanya permulaan dari sesuatu yang jauh lebih gelap.
Dan aku mulai bertanya pada diriku sendiri:
Apa sebenarnya yang telah kuikat dalam akad ini?
Bab 2: Rumah Tanpa Jendela
Udara di dataran tinggi terasa menusuk kulit, meski matahari bersinar terang. Begitu keluar dari mobil, aku menatap bangunan besar di hadapanku. Rumah itu berdiri seperti istana kuno yang menolak waktu—tampak kokoh, indah, namun menyimpan aura yang tak bisa dijelaskan.
“Rumah ini milik keluargaku sejak lama,” ucap Reyhan dari sampingku. “Tapi sekarang, rumah ini milik kita.”
Aku mengangguk pelan.
Kata rumah kita terasa asing di telingaku. Tak ada suara burung. Tak ada angin yang meniup daun. Hanya keheningan yang pekat.
Pintu utama terbuka otomatis, disambut aroma kayu tua dan bunga lavender yang samar. Di dalamnya, langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal menyambut kami. Perabotannya mahal—terlalu mahal. Semua terlalu rapi, terlalu sunyi, terlalu… sempurna.
Tapi satu hal yang langsung kurasakan: tak ada jendela besar yang terbuka. Semuanya tertutup tirai tebal. Seolah rumah ini tak ingin ada cahaya luar masuk ke dalam.
“Kamu bisa lihat-lihat dulu. Aku harus menerima telepon di ruang kerja,” kata Reyhan sambil tersenyum dan melangkah pergi.
Aku berdiri sendirian di ruang tamu yang luas. Langkahku menggema di lantai marmer. Tanganku menyentuh permukaan piano yang berdiri di pojok ruangan. Tak ada debu, tapi tak ada yang memainkannya juga.
Aku melangkah ke arah lorong panjang yang mengarah ke bagian dalam rumah. Suasana makin sunyi. Beberapa pintu tertutup rapat. Entah kenapa, setiap kusen pintu tampak terlalu tinggi. Lukisan-lukisan klasik tergantung rapi di dinding—potret wanita-wanita dengan mata kosong yang seolah mengikutiku ke mana pun aku berjalan.
Di ujung lorong, ada sebuah tangga kayu menuju lantai atas. Naluriku menyuruhku untuk menjauh, tapi rasa penasaran lebih kuat. Aku menaiki anak tangga satu per satu, berusaha tak menimbulkan suara.
Saat tiba di lantai dua, suasana berubah lebih dingin. Ruangan-ruangan di sana tertutup rapat, kecuali satu. Aku melangkah masuk.
Itu kamar kami.
Tempat tidur besar dengan kanopi putih berdiri megah di tengah ruangan. Lemari-lemari kayu tertata rapi. Ada balkon kecil, tapi pintunya terkunci. Tirai ditutup rapat, seakan sinar matahari tak diizinkan masuk sejak lama.
Aku membuka lemari, mengintip isinya. Semua baju sudah tertata. Termasuk bajuku. Ukurannya pas, warnanya cocok dengan seleraku. Tapi… siapa yang menyiapkannya?
Aku bahkan belum sempat memberitahu ukuran pakaianku.
Saat malam tiba, Reyhan mengetuk pintu kamar sambil membawa secangkir cokelat panas.
“Aku tahu kamu belum nyaman. Jadi aku tidur di kamar tamu, ya?” katanya sambil meletakkan gelas di nakas.
Aku mengangguk, bingung harus merasa lega atau khawatir. “Terima kasih… kamu baik.”
Dia tersenyum, menatapku sejenak sebelum berbalik.
Tapi sebelum keluar, dia berkata, “Kalau butuh sesuatu, jangan keluar kamar. Tekan saja bel kecil di samping tempat tidur. Rumah ini besar dan kadang… bisa membingungkan.”
Aku tertegun.
“Kenapa nggak boleh keluar?”
Dia menoleh, masih tersenyum.
“Karena beberapa area masih dalam renovasi. Aku nggak mau kamu terluka.”
Setelah dia pergi, aku duduk di tempat tidur. Tapi mataku tak bisa terpejam. Entah kenapa, meski tubuhku lelah, pikiranku berlari ke mana-mana.
Lalu aku mendengar suara.
Pelan. Seperti… sesuatu digeser.
Aku bangkit dan mendekat ke dinding. Diam. Menunggu. Tak ada apa-apa.
Tapi saat aku membuka laci kecil di nakas, aku menemukan sesuatu yang membuat jantungku berhenti sejenak.
Sebuah bros kecil berwarna emas, berdebu, dengan ukiran huruf “N” di tengahnya.
Itu bukan milikku.
Aku menggenggam bros itu erat. Lalu mataku beralih ke sisi dinding kamar. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu: dinding di belakang tempat tidur punya celah aneh di bawahnya. Seperti pernah dibongkar… lalu ditutup lagi.
Dan saat aku mencoba menarik tirai di sisi jendela, aku mendapati bukan kaca di baliknya—melainkan dinding polos.
Rumah ini…
Tak punya jendela.
Bab 3: Buku Harian Berdarah
Pagi itu kabut menggantung rendah di sekitar rumah, seolah menelan segalanya dalam diam. Dari balik kaca balkon kamar, aku bisa melihat deretan pohon pinus yang berdiri kaku seperti barisan penjaga sunyi. Tak ada suara burung. Tak ada tanda kehidupan selain detak jam antik di ruang tengah.
Reyhan sudah pergi sejak subuh. Katanya, ada urusan bisnis di kota dan dia akan kembali sore nanti. Aku mengangguk saat dia pamit, meski sejujurnya… itu kali pertama aku merasa bisa bernapas sedikit lebih lega.
Kesempatan ini tak bisa kusia-siakan.
Aku melangkah keluar kamar, mengendap-endap menyusuri lorong dengan hati-hati. Entah kenapa, rumah ini membuatku selalu merasa seperti sedang diawasi. Setiap langkahku bergema, setiap nafas terasa berat.
Tujuanku satu: menjelajahi rumah ini—dan mencari tahu apa sebenarnya yang kusamarkan sebagai “firasat buruk” sejak awal.
Di ujung lorong bawah, ada sebuah pintu kayu tua yang sebelumnya selalu terkunci. Tapi entah bagaimana, pagi itu pintunya terbuka. Mungkin Reyhan lupa menguncinya saat terburu-buru pergi.
Ruangannya gelap, hanya diterangi sinar redup dari lampu gantung yang berayun pelan. Aroma apek menyergap begitu aku masuk. Rak-rak buku tua berdiri berjejer, penuh dengan debu dan sarang laba-laba. Ini… perpustakaan.
Aku menyusuri rak satu per satu, mengamati deretan buku tua—kebanyakan tentang sejarah, psikologi, dan… bedah tubuh?
Alisku mengernyit. Apa hubungannya semua ini dengan Reyhan?
Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang tak biasa. Di balik tumpukan majalah lawas di pojok rak, ada sebuah kotak kayu kecil yang terkunci. Tapi kuncinya tampak sudah aus. Dengan sedikit paksa, aku berhasil membukanya.
Di dalamnya, sebuah buku lusuh bersampul kulit tergeletak. Warnanya sudah pudar, bagian pinggirannya sobek, dan ada bercak gelap yang tampak seperti… darah kering.
Tanganku gemetar saat membuka halaman pertamanya.
Hari ke-4 di rumah ini. Reyhan sangat baik. Terlalu baik. Aku merasa seperti boneka porselen yang ditaruh di lemari kaca—diurus, dijaga, tapi tak pernah bebas.
Hari ke-15. Aku mulai tak bisa tidur. Aku merasa seseorang berdiri di pojok kamar setiap malam. Tapi saat lampu dinyalakan, tak ada siapa-siapa. Reyhan bilang aku hanya stres. Tapi kenapa aku merasa dia menyembunyikan sesuatu?
Hari ke-30. Aku yakin sekarang. Rumah ini punya mata. Reyhan tahu semua gerak-gerikku meski aku tak pernah bicara. Aku menemukan kamera kecil di balik lampu. Saat kutanya, dia hanya tertawa. Katanya, itu bagian dari sistem keamanan.
Hari ke-45. Aku dengar suara jeritan dari balik tembok. Tapi Reyhan bilang itu hanya suara tikus. Siapa yang berteriak seperti itu kalau hanya tikus?
Hari ke-59. Aku… takut. Aku merasa aku bukan istri pertamanya. Bukan juga yang terakhir.
Aku berhenti membaca. Tanganku berkeringat. Suasana di ruangan tiba-tiba berubah dingin, seperti ada yang mengintip dari balik bayangan rak buku.
Lalu kuteruskan ke halaman terakhir.
Tulisannya tak rapi. Tampak ditulis terburu-buru.
Hari ke-70. Kalau aku mati, Reyhan yang membunuhku. Nama lengkapku Nadira W. Aku tidak gila. Aku hanya terjebak. Dan kamu yang membaca ini… mungkin kamu berikutnya.
Tanganku terlepas. Buku itu jatuh ke lantai dengan bunyi pelan yang menggema.
Jantungku berdetak kencang, seolah ingin merobek tulang rusukku.
Nadira.
Nama itu… terdengar samar. Tapi aku pernah mendengarnya—entah di mana. Mungkin di undangan pernikahan lama yang sempat kulihat di laci Reyhan? Atau mungkin… di bisikan malam yang selalu membuatku menggigil?
Langkahku mundur perlahan, mataku menatap pintu perpustakaan yang masih terbuka.
Aku ingin lari. Tapi lututku lemas.
Aku ingin berteriak. Tapi suaraku hilang.
Dan saat aku berbalik hendak keluar, aku melihatnya.
Di dinding belakang rak buku, tergantung foto hitam putih dalam bingkai emas. Seorang wanita muda dengan senyum kecil. Matanya… menyimpan ketakutan yang sama seperti yang kini kutanggung.
Di bawah fotonya tertera nama:
Nadira Wulandari
1989–?
Tanpa tanggal kematian.
Seolah dia… belum benar-benar pergi.
Bab 4: Senyum yang Membunuh
Aku menyembunyikan buku harian Nadira di bawah tumpukan baju di lemari, di sudut yang bahkan aku sendiri ragu akan menemukannya lagi. Tanganku masih gemetar, pikiranku kacau. Setiap kata yang ditulis Nadira masih berputar di kepalaku. Kalimat terakhirnya menusuk seperti pisau dingin:
Kalau aku mati, Reyhan yang membunuhku.
Hari itu, Reyhan pulang lebih awal dari yang dijanjikan. Tak ada suara mobil, tak ada deru mesin. Tiba-tiba saja, dia berdiri di ambang pintu kamar sambil membawa sekotak cokelat dan senyuman hangat di wajahnya.
“Aku kangen,” katanya ringan.
Aku menahan napas, mencoba menstabilkan detak jantungku. “Cepat sekali pulangnya.”
Dia mengangkat bahu. “Urusannya bisa diselesaikan lewat telepon. Aku nggak tahan jauh dari kamu terlalu lama.”
Senyum itu…
Senyum yang sama seperti yang pernah kulihat di majalah.
Senyum yang disukai semua orang.
Senyum yang sekarang terasa seperti topeng—rapi, simetris, dingin.
“Ada yang kamu lakukan hari ini?” tanyanya sambil meletakkan kotak cokelat di meja rias.
Aku menelan ludah. “Cuma baca-baca buku… dan jalan sedikit keliling rumah.”
“Oh?” Dia menoleh, matanya menatapku penuh minat. “Jalan ke mana aja?”
Pertanyaannya terdengar biasa. Tapi di telingaku, itu seperti alarm bahaya.
“Hanya ke dapur… terus ke ruang tengah. Lalu balik ke kamar.”
Aku menghindari kontak mata.
Aku bukan aktris yang baik. Bahkan aku yakin suaraku terdengar sedikit bergetar.
Tapi Reyhan tidak bertanya lebih jauh. Dia malah tersenyum, lalu mengangkat tanganku, menciumnya lembut, dan berkata:
“Kamu mulai betah di sini. Aku senang.”
Malam harinya, hujan turun dengan deras. Angin berhembus kencang membuat dahan-dahan pinus bergesekan dengan kaca jendela kamar. Aku terbaring di ranjang, mata menatap langit-langit, sementara Reyhan duduk di kursi baca, memandangi halaman demi halaman sebuah buku tua. Hening. Terlalu hening.
Aku memejamkan mata. Tapi pikiranku justru terbuka lebih lebar. Setiap suara kecil membuatku waspada.
Tiba-tiba Reyhan berbicara, tanpa berpaling dariku.
“Kamu menemukan sesuatu hari ini, Ara?”
Dadaku mencelos.
“Apa maksudmu?” tanyaku, berusaha terdengar netral.
Dia menutup bukunya pelan, lalu berdiri. Langkahnya ringan saat ia berjalan ke arahku. Wajahnya masih tersenyum.
“Aku hanya penasaran. Kamu kelihatan… berbeda. Ada sesuatu yang berubah dari caramu memandangku.”
Dia duduk di sisi ranjang. Matanya menatapku dalam-dalam. Tatapan itu… tidak seperti biasanya.
“Apa kamu takut padaku, Ara?”
Aku memalingkan wajah. “Nggak. Aku cuma belum sepenuhnya nyaman.”
Dia mengangguk, masih dengan senyum yang tak luntur. Tangannya menyentuh pipiku lembut. “Kamu boleh takut kalau memang perlu.”
Aku menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Dia tertawa kecil. “Maksudku… aku tahu suasana rumah ini bisa membuat orang tak tenang. Tapi tenang saja. Kamu akan terbiasa.”
Aku mengangguk perlahan, padahal tubuhku semakin tegang.
Sebelum dia keluar kamar, dia berkata satu kalimat yang membuat tengkukku meremang:
“Kalau kamu menemukan sesuatu yang bukan milikmu… jangan disentuh terlalu lama. Kadang, ada hal-hal yang lebih aman jika tetap terkubur.”
Dia menutup pintu dengan tenang. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi dalam hening itu, kata-katanya menggema lama di kepalaku.
Tanganku meraih laci. Menggenggam buku harian Nadira erat-erat. Nafasku tercekat.
Dia tahu.
Dia tahu aku menemukan sesuatu.
Dan kini, aku yakin:
Di balik senyum manis itu, ada sisi gelap yang siap menelanku hidup-hidup.
Bab 5: Pintu yang Tak Pernah Bisa Dibuka
Malam demi malam berlalu dengan gelisah. Semakin lama aku tinggal di rumah ini, semakin jelas bahwa tempat ini bukan rumah… tapi jebakan.
Dan Reyhan—lelaki yang oleh dunia disebut sempurna itu—bukan pahlawan yang menyelamatkanku. Ia seperti penguasa yang tahu segalanya, mengatur langkahku, senyumku, bahkan detak jantungku.
Aku mulai mencatat waktu-waktu ketika Reyhan pergi. Setiap detik kesendirianku adalah kesempatan. Aku belajar mengenal pola. Tiga hari sekali ia pergi pukul delapan pagi dan kembali menjelang malam. Hari ini salah satu dari hari itu.
Pagi itu, setelah suara mobil Reyhan lenyap di kejauhan, aku bergerak cepat.
Aku menyusuri lorong bawah yang panjang, kini sudah lebih hafal tiap tikungannya. Tapi ada satu tempat yang selalu menarik perhatianku sejak pertama kali—sebuah pintu kayu gelap di bawah tangga. Tak pernah terbuka. Tak ada gagang pintu, hanya panel besi kecil seperti kunci digital yang rusak.
Kali ini, aku membawakan obeng dan senter kecil yang kupinjam diam-diam dari laci dapur.
Keringat dingin membasahi pelipisku saat kususupkan obeng ke sela panel. Setelah sedikit memaksa dan menusuk ke dalam celah, terdengar bunyi klik pelan. Panel itu copot. Dan di baliknya, ada tuas kecil—tersembunyi. Tanganku ragu, tapi aku menariknya.
Pintu berderit terbuka. Hembusan udara dingin menyambutku dari balik kegelapan.
Ruangan di dalamnya seperti lorong bawah tanah—gelap, lembap, dan dingin. Dindingnya dari batu tua, ada jejak jamur dan tetesan air. Senter di tanganku gemetar saat aku menyorot ke sekeliling. Tangga sempit mengarah ke bawah, menukik seperti tak berujung.
Aku menelan ludah dan turun perlahan. Satu… dua… tiga puluh… aku berhenti menghitung saat mataku menangkap cahaya redup dari bawah.
Sebuah ruang bawah tanah.
Di sana, berjajar rak logam tua dengan tumpukan kotak kayu besar. Beberapa terbuka. Isinya: pakaian wanita. Gaun. Aksesori rambut. Sepatu. Semuanya rapi. Terlalu rapi.
Beberapa di antaranya masih terlipat dengan label nama.
Satu kotak membuat langkahku terhenti. Tertulis nama:
Nadira Wulandari
Tanganku gemetar saat membuka kotaknya. Di dalamnya ada syal merah muda, kalung mutiara yang sudah kusam, dan… sebuah foto. Nadira, tersenyum kecil di samping Reyhan. Ia terlihat lebih muda, polos, dan… bahagia.
Tapi foto itu robek di bagian bawah. Ada bercak gelap—mirip noda darah—di sudutnya.
Aku mundur beberapa langkah, lututku melemas. Saat itulah aku melihat sesuatu di dinding: deretan bingkai kosong. Sepuluh, dua belas, mungkin lebih. Semuanya sama ukurannya. Seolah… menunggu untuk diisi.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari atas.
Hatiku berhenti.
Aku mematikan senter, menahan napas. Langkah itu pelan… pasti… dan makin mendekat ke arah tangga.
Suara itu berhenti.
“Ara…”
Suara Reyhan, lembut seperti biasa.
“Sayang, kamu di mana?”
Aku tak menjawab. Nafasku tercekat.
“Aku pulang lebih awal hari ini. Pintu ruang bawah tanah terbuka… kamu tahu ini tempat terlarang, kan?”
Senyum itu. Suara itu. Nadanya tak berubah. Tapi kali ini, aku bisa merasakan ancamannya.
“Ara… keluar sekarang. Jangan membuatku mencarimu.”
Aku tak tahu apa yang lebih menakutkan: Reyhan yang tersenyum sambil memanggilku… atau bayangan bahwa satu dari bingkai kosong di dinding ini… akan diisi fotoku.
Bab 6: Rahasia di Balik Lukisan
Aku tak ingat bagaimana aku berhasil keluar dari ruang bawah tanah waktu itu. Langkahku terasa seperti bayangan—ringan tapi takut. Nafasku tertahan di tenggorokan, seperti setiap helanya bisa menjadi alasan Reyhan menarik pelatuk tak kasat mata yang tersembunyi di balik senyumnya.
Anehnya, saat aku kembali ke kamar, Reyhan sudah tak ada. Tak ada suara, tak ada panggilan namaku. Seolah dia tahu… aku sedang dalam pelarian. Tapi dia memilih diam. Menunggu. Memerangkapku perlahan.
Hari-hari setelahnya, aku menjalani hidup dengan lebih banyak diam. Tapi pikiranku justru semakin riuh. Setiap sudut rumah seperti berbisik, menarik-narik naluriku untuk mencari lebih dalam. Aku tahu, rahasia besar masih tersembunyi di sini. Sesuatu yang lebih gelap dari catatan Nadira, lebih dingin dari ruang bawah tanah.
Sampai suatu malam, aku menemukannya.
Hujan deras mengguyur rumah. Reyhan sedang mandi, dan itu satu-satunya waktu di mana aku merasa aman untuk menjelajah meski hanya beberapa menit. Mataku menangkap lukisan besar di ujung tangga atas. Lukisan itu sebenarnya sudah sering kulihat—potret klasik seorang perempuan bergaun biru, duduk di taman bunga. Tapi malam itu, sesuatu terasa… berbeda.
Bagian bawah lukisan itu seperti bergeser sedikit dari dinding, menciptakan bayangan tipis yang tak ada sebelumnya. Tanganku meraba tepian bingkainya. Dan saat kutekan sudut kanan bawah lukisan…
Klik.
Lukisan itu terbuka seperti pintu rahasia, mengungkap lorong sempit dengan cahaya merah redup dari lampu kecil di atas.
Tanganku dingin. Jantungku berdebar tak karuan. Tapi langkahku bergerak sendiri, masuk ke dalam.
Lorong itu sempit, hanya cukup untuk satu orang berjalan. Dindingnya dipenuhi foto-foto—bukan foto biasa. Semua adalah potret perempuan. Semuanya mengenakan gaun pengantin.
Dan wajah-wajah itu… bukan asing.
Nadira ada di sana. Juga dua wanita lain yang pernah kulihat di surat kabar lama. Dulu dikira hilang, kasus tak terpecahkan.
Wajah mereka… dipajang seperti trofi. Seperti koleksi pribadi.
Tiba-tiba, aku terhenti di depan sebuah cermin besar di ujung lorong.
Bingkainya berukir halus. Dan di tengah cermin itu… bukan pantulan diriku. Melainkan gambar yang sudah terpampang di balik kaca.
Aku.
Dengan gaun pengantin yang tengah kukenakan saat pernikahan.
Tertawa. Menunduk malu. Di sebelahku… Reyhan.
Tapi wajah Reyhan di foto itu berbeda. Senyumnya lebih lebar. Matanya… kosong.
Ada tulisan kecil di bawah foto itu, tergores rapi:
“Ara Kirana, koleksi keempat belas.”
Aku nyaris muntah. Mulutku terbuka, tapi tak ada suara keluar. Kakiku mundur pelan, peluh dingin membasahi seluruh tubuhku. Reyhan tidak hanya memilihku sebagai istri. Dia mengoleksiku. Seperti semua perempuan sebelumnya.
Aku berbalik hendak lari—dan di situlah aku melihatnya.
Reyhan. Berdiri di ujung lorong. Wajahnya datar. Tapi matanya tak bisa disembunyikan.
“Aku ingin kamu melihat sendiri, Ara,” ucapnya pelan. “Biar kamu tahu, kamu bukan yang pertama… tapi mungkin yang terakhir.”
Tanganku menyentuh dinding, mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. Tapi Reyhan hanya berdiri. Tak mendekat. Tak marah.
“Kenapa?” tanyaku dengan suara yang nyaris pecah. “Apa yang kamu lakukan pada mereka?”
Dia tersenyum.
“Memberi mereka cinta yang tak bisa mereka tolak.”
Senyum itu…
Senyum yang membunuh.
Aku berlari keluar dari lorong. Tak peduli langkahku terantuk meja atau bahuku membentur dinding. Aku harus keluar dari rumah ini. Aku harus selamat. Tapi sebelum aku bisa mencapai pintu depan…
Terkunci.
Semua terkunci.
Gembok besar tergantung di sana seperti ejekan.
Dan dari belakangku, suara Reyhan terdengar lagi, tenang namun penuh ancaman:
“Kamu boleh mencoba melarikan diri, Ara. Tapi rumah ini lebih mengenalmu daripada yang kamu kira.”
Bab 7: Bayangan di Cermin
Sejak malam itu, aku bukan lagi Ara yang sama.
Ada bagian dari diriku yang hilang di lorong itu—di antara potret perempuan-perempuan tak bersuara dan pantulan wajahku sendiri yang terkunci di balik bingkai kaca. Bahkan tidur tak lagi jadi pelarian. Karena setiap kali aku memejamkan mata, rumah ini menelanku lebih dalam.
Mimpi-mimpi buruk datang tanpa henti.
Aku berdiri dalam gaun pengantin, tangan terikat pita merah, dan Reyhan memotretku sambil tertawa. Di belakangnya, perempuan-perempuan lain berdiri diam—mata mereka kosong, bibir dijahit benang hitam. Mereka menunjuk ke arahku. Dan dalam mimpi itu, aku menjerit… tapi tak ada suara yang keluar.
Aku terbangun dengan peluh dingin, napas terengah-engah. Lalu aku sadar… aku tidak sendirian.
Cermin besar di kamar mencerminkan bayangan. Tapi bukan diriku.
Bayangan seorang wanita berdiri di belakangku—rambut panjang, gaun putih pudar, wajah pucat. Dia tidak bergerak. Hanya menatap. Matanya… sama dengan mata Nadira di foto.
Aku berbalik cepat.
Kosong. Tak ada siapa-siapa.
Tapi di cermin, dia masih ada. Menatapku. Tersenyum tipis.
Lalu perlahan… bayangan itu menghilang.
Siang harinya, aku duduk di ruang tamu, mencoba menghubungi siapa pun lewat ponsel yang sudah seminggu tak punya sinyal. Sialnya, rumah ini seperti dunia terpisah. Bahkan jam dindingnya berhenti berdetak entah sejak kapan.
Aku mulai meragukan waktu.
Reyhan tetap bersikap manis. Terlalu manis. Ia membawakanku sarapan ke kamar, mengajakku duduk di ruang baca, bahkan memainkan piano klasik untukku. Tapi di balik semua itu, aku tahu… dia sedang menunggu.
Menunggu aku menyerah. Atau gila.
“Maukah kamu menggambar potret kita?” tanyanya suatu hari sambil menyerahkan buku sketsa.
Aku hanya mengangguk pelan, mengambil pensil, dan mulai menggambar seadanya. Tapi yang keluar dari tanganku bukan wajah kami.
Melainkan potret cermin.
Dan bayangan Nadira di belakangku.
Malam berikutnya, aku mencoba mencari jalur keluar lain. Mungkin jendela belakang. Mungkin ventilasi. Tapi tak ada satu pun yang bisa dibuka. Semua seakan disegel dari dalam. Seolah rumah ini memang dirancang untuk menahan sesuatu. Atau… seseorang.
Di dapur, aku menemukan sesuatu yang aneh. Sebuah panci besar di dalam oven tua, kosong… kecuali goresan di dalamnya. Saat kurebahkan kepala untuk mengintip lebih jauh, aku melihatnya.
Tulisan tergurat samar di dasar panci:
“Lari sebelum kamu dikuliti.”
Aku mundur dengan panik, menjatuhkan sendok di lantai. Jantungku berpacu. Tanganku bergetar.
Aku mulai mendengar suara-suara.
Langkah kaki yang tak pernah tampak.
Suara bisikan di balik tembok.
Tawa pelan di malam hari yang tak berasal dari siapa pun.
Suatu malam, suara itu memanggil namaku.
“Ara…”
Lembut. Menyeret. Seperti desahan.
Aku mengikuti suara itu. Lorong demi lorong. Sampai aku kembali ke cermin besar di kamar.
Dan kali ini, Nadira tidak hanya berdiri.
Dia menunjuk ke bawah ranjangku.
Dengan tangan gemetar, aku menunduk dan menarik kotak sepatu tua. Di dalamnya… catatan. Lusinan lembaran sobek dari buku harian yang berbeda. Dan semuanya bertuliskan kalimat yang sama:
Dia mempercantik kita, lalu menghapus kita.
Aku terdiam. Jiwaku mencelos.
Dan di balik kertas terakhir, kutemukan selembar foto Reyhan. Tapi bukan dengan Nadira.
Melainkan dengan wanita lain. Dan wanita itu…
Adalah ibuku.
Bab 8: Surat Terakhir Nadira
Foto itu… tak bisa kusebut sebagai sekadar kebetulan.
Ibuku berdiri di samping Reyhan, mengenakan gaun cokelat polos, tersenyum samar ke arah kamera. Wajah muda ibuku di foto itu lebih kurus, namun ekspresi di matanya tak asing bagiku. Ia tersenyum… tapi tidak bahagia. Senyumnya mengandung ketakutan yang kini kutahu pasti: sama seperti yang sering kurasakan sejak tinggal di rumah ini.
Kupelototi foto itu lama, sampai akhirnya kudapati sesuatu di sudut bawahnya—goresan samar tinta pulpen:
“Untuk Ara, jika kau membaca ini… maafkan aku.”
Tanganku gemetar. Aku tak bisa berpura-pura lagi. Ini bukan kebetulan. Bukan hanya tentang perempuan-perempuan tak dikenal yang menjadi korban Reyhan. Ini lebih dalam. Lebih dekat. Dan lebih mengerikan.
Aku mengambil semua catatan dalam kotak dan menyusunnya di atas tempat tidur. Beberapa halaman rusak, terlipat, tapi aku berhasil menyatukannya seperti puzzle. Di antara catatan yang tercecer itu, aku menemukan satu surat yang berbeda dari yang lain—lebih baru, ditulis dengan tinta biru di atas kertas putih bersih.
Tulisan tangan Nadira. Aku yakin itu.
Untukmu, Ara…
Aku tak tahu siapa kamu. Tapi jika kamu membaca ini, berarti kamu berada di posisi yang dulu kujalani.
Aku mencintainya. Itu yang pertama harus kamu tahu. Reyhan bukan monster dari awal. Dia manis, baik, perhatian. Dia mencintaku… dengan caranya. Tapi kemudian semuanya berubah.
Rumah ini membuatnya berubah. Atau mungkin, rumah ini menunjukkan siapa dia sebenarnya.
Aku mencoba kabur berkali-kali. Tapi Reyhan selalu tahu. Seolah rumah ini hidup dan bekerja untuknya. Aku yakin, ada kamera tersembunyi di mana-mana. Sensor gerak. Mungkin lebih dari itu.
Tapi yang paling parah… aku mulai kehilangan diriku sendiri. Aku mulai mendengar suara-suara. Melihat hal-hal yang seharusnya tak kulihat. Sampai akhirnya, aku sadar… aku tidak gila.
Aku hanya tinggal terlalu lama.
Pergilah, Ara. Jangan jatuh cinta padanya. Jangan percaya pada matanya.
Karena begitu kamu percaya, kamu tidak akan bisa keluar.
Aku… sudah terlambat. Tapi kamu masih punya kesempatan.
Jika kamu menemukan kotak ini, carilah ruangan di balik kamar Reyhan. Di sanalah kebenaran menunggu.
Aku membaca surat itu tiga kali. Setiap kata seperti pisau yang menusuk perlahan ke dalam kewarasanku.
Ruangan di balik kamar Reyhan.
Bagaimana Nadira tahu tentangku? Tentang namaku?
Lalu pikiranku kembali ke foto tadi. Ibuku mengenal Reyhan. Mungkin sebelum aku lahir. Mungkin… dia juga pernah menjadi bagian dari rumah ini.
Dan kalau itu benar…
Apa yang sebenarnya disembunyikan ibu selama ini?
Malamnya, Reyhan mengajakku makan malam. Meja penuh dengan lilin dan bunga. Ia mengenakan kemeja putih bersih, terlihat seperti pria paling normal sedunia.
“Kamu cantik malam ini,” katanya sambil menuangkan anggur.
Aku memaksakan senyum. “Terima kasih.”
Tapi di balik senyumku, aku sudah punya rencana. Aku akan masuk ke kamarnya malam ini. Mencari ruangan yang dimaksud Nadira. Apa pun yang terjadi.
Reyhan mengelus tanganku pelan. “Kamu tahu, aku bersyukur kamu menjadi istriku.”
Aku menatap matanya, mencoba mencari jejak kemanusiaan di sana. Tapi yang kulihat hanyalah ketenangan yang terlalu rapi. Terlalu terlatih.
Seperti serigala berbulu domba.
“Kalau kamu bersyukur… biarkan aku tidur sendiri malam ini,” ucapku pelan.
Dia mengangguk tanpa protes. “Seperti yang kamu mau, sayang.”
Dan malam itu, saat seluruh rumah tenggelam dalam gelap, aku membuka pintu kamar Reyhan dengan kunci duplikat yang diam-diam kubuat. Kamar itu rapi, beraroma kayu manis, dan… terlalu tenang.
Aku menyusuri sisi dinding. Lalu melihat lemari buku besar. Naluriku mengatakan, di sanalah pintu rahasia itu berada.
Kutarik satu buku. Tak terjadi apa-apa. Kutekan sisi lemari. Masih diam.
Sampai akhirnya aku menekan ukiran kecil di bawah rak buku ketiga—inicial R kecil dengan ukiran bunga.
Klik.
Lemari itu bergeser perlahan, mengungkapkan lorong gelap…
Dan hawa yang keluar dari baliknya, bukan hanya dingin.
Tapi penuh aroma kematian.
Bab 9: Luka yang Terlupakan
Lorong di balik lemari itu tak panjang, tapi setiap langkahku terasa seperti menembus waktu—masa lalu yang ingin dikubur, namun terus berteriak dari bawah tanah.
Dinding lorong dipenuhi ukiran-ukiran kecil. Seperti nama. Seperti tanda. Ada yang masih terbaca:
Alya — 1992
Nadira — 2013
…?
… Sinta — 1996
Aku menyusuri setiap huruf dengan ujung jari, hingga mataku berhenti pada satu nama yang membuat nafasku tercekat.
Laras.
Ibuku.
Laras. Diukir bersama angka yang nyaris terhapus: 1988.
Tanganku lemas. Dunia seakan terbalik. Semua kenangan masa kecilku seketika jadi abu. Ibuku… mengenal rumah ini bukan hanya sebagai tamu. Tapi sebagai salah satu yang pernah terjebak.
Dan Reyhan…
Apakah dia menyakitinya juga? Atau lebih dari itu?
Aku melangkah masuk ke ruangan di ujung lorong. Sebuah ruangan dengan cahaya kekuningan dari lampu bohlam tua. Di dalamnya, tumpukan barang pribadi perempuan-perempuan yang entah sudah di mana kini. Boneka. Diary. Pita rambut. Dan di tengah ruangan—sebuah kursi kayu dengan tali di sisi-sisinya. Lapuk. Tapi jelas pernah digunakan berkali-kali.
Aku mendekat. Di meja sampingnya ada sebuah album foto.
Tanganku gemetar saat membukanya. Di halaman pertama, foto Reyhan muda. Masih remaja. Di sampingnya, seorang wanita dengan wajah keras dan dingin—ibunya?
Lalu halaman-halaman berikutnya…
Wanita demi wanita. Semuanya tampak cantik, muda, dan… takut.
Beberapa dari mereka mengenakan gaun pengantin. Beberapa lainnya hanya difoto dari samping, seolah tak tahu mereka sedang menjadi subjek dokumentasi.
Aku berhenti di satu halaman. Foto ibuku.
Masih sangat muda. Wajahnya pucat. Matanya sembab. Di bawah foto itu tertulis:
Laras. Calon istri. Gagal kabur. Dilepaskan.
Dilepaskan?
Apa maksudnya? Dia dilepaskan? Berarti… ibuku berhasil keluar dari tempat ini?
Namun… kenapa dia tak pernah memberitahuku? Kenapa semua ini dikubur dalam diam?
Seketika, kenangan masa kecilku kembali menghantam. Suara ibuku yang selalu melarangku keluar malam. Larangannya untuk tak percaya pada laki-laki yang terlalu sempurna. Ketakutannya yang berlebihan pada suara langkah kaki di lantai kayu…
Selama ini, ibu mencoba melindungiku. Dengan caranya sendiri.
Dan sekarang… aku jatuh ke lubang yang sama.
Tanganku menggenggam album itu kuat-kuat, saat suara langkah kaki mendekat dari lorong belakang. Cepat. Tegas. Tak bisa kuhindari.
Aku berlari, keluar dari ruangan itu, mencoba menutup kembali pintu rahasia. Tapi saat aku mendorong lemari untuk menutupnya, Reyhan sudah berdiri di ambang kamar.
Wajahnya masih tenang. Tapi kali ini, matanya tak bisa berbohong.
“Aku tahu kamu akan sampai ke sana suatu saat,” katanya, melangkah masuk. “Dan jujur, aku bangga padamu.”
Tanganku meremas album. “Kau kenal ibuku.”
Dia tersenyum kecil. “Ya. Laras wanita yang manis. Terlalu pintar untukku saat itu. Tapi aku masih muda. Belum tahu cara menjaga seseorang agar tetap tinggal.”
Nafasku tercekat.
“Jadi… semua ini? Koleksi wanita? Perangkap? Rumah ini?”
Dia menatapku dengan lembut—cara yang seharusnya menyentuh hatiku, tapi kini terasa seperti silet di leher.
“Aku hanya ingin mencintai seseorang… dan memastikan dia tidak pernah pergi.”
Aku mundur selangkah.
“Kamu… butuh bantuan,” kataku pelan.
Reyhan tersenyum lebih lebar. “Sudah terlambat untuk itu, Ara. Kamu sudah terlalu dalam.”
Dia maju, tapi aku lebih dulu lari.
Kakiku membawa tubuhku ke lantai bawah, menuju ruang utama. Tapi pintu depan tetap terkunci. Semua jendela tertutup. Tak ada jalan keluar.
Sampai aku teringat wanita tua yang pernah kutemui di pasar—beberapa hari lalu saat Reyhan membiarkanku ikut bersamanya. Wanita itu memanggilku, menatapku seolah aku hantu masa lalu.
Dia berkata:
“Lelaki itu sudah mengambil banyak gadis. Tak ada yang kembali.”
Saat itu aku pikir dia gila. Tapi sekarang, aku tahu…
Dia satu-satunya saksi yang masih hidup.
Aku harus menemuinya.
Aku harus keluar dari rumah ini, walau harus membakarnya sekalipun.
Dan aku tahu… besok pagi, akan jadi kesempatan terakhirku.
Bab 10: Pengantin yang Terbangun
Fajar belum muncul ketika aku berdiri di depan cermin, mengenakan gaun tidur putih yang mulai kusut. Wajahku pucat, rambutku acak-acakan, tapi mataku—untuk pertama kalinya sejak lama—memantulkan satu hal: tekad.
Aku tak peduli lagi pada risiko.
Tak peduli lagi jika aku harus mati.
Karena tinggal di rumah ini lebih buruk dari kematian.
Tinggal bersama Reyhan… adalah pembunuhan pelan-pelan terhadap jiwaku.
Aku telah menyembunyikan pisau kecil dari dapur di balik tali pinggang bajuku. Di sakuku, surat Nadira dan album foto yang berisi wajah para perempuan yang tak pernah pulang. Bukti. Nyawa mereka tak boleh hilang begitu saja.
Reyhan, seperti biasa, sudah bersiap dengan sarapan pagi. Ia menyapaku dari meja makan, mengenakan setelan abu-abu muda, rapi seperti pria kantoran yang hendak bekerja.
“Ara sayang, tidur nyenyak?” tanyanya.
“Lumayan,” jawabku datar.
“Bagus,” katanya sambil mengaduk kopi. “Hari ini kita akan ke kota. Aku pikir kamu perlu udara segar.”
Aku menoleh cepat. “Ke kota?”
Dia tersenyum. “Bukankah kamu suka pasar kecil itu? Aku tahu kamu ingin bicara dengan seseorang. Mungkin yang tua dan cerewet itu?”
Mataku membelalak.
Dia tahu.
“Bagaimana—”
“Aku tahu semuanya, Ara. Rumah ini memberitahuku.”
Jadi benar. Rumah ini dilengkapi sistem pengawasan. Kamera. Sensor. Mungkin bahkan alat pelacak dalam gelang kawinku.
Aku berdiri. “Kalau begitu, ayo. Aku ingin ke kota.”
“Bagus,” ucapnya sambil berdiri. “Hari ini akan jadi hari yang penting.”
Untukmu atau untukku?
Sepanjang perjalanan, kami diam. Hanya suara radio klasik yang mengisi udara. Mobil melaju cepat melalui hutan pinus, jalanan menurun, dan akhirnya… aku melihat pasar kecil itu.
Tepat saat Reyhan memarkir mobil, aku tahu—ini satu-satunya kesempatan.
Ketika ia turun lebih dulu untuk membukakan pintu, aku mengunci dari dalam dan melemparkan album foto ke luar jendela.
Reyhan terkejut. “Ara, buka pintunya.”
Aku menatapnya. “Kau tidak bisa memenjarakan semua perempuan yang kau cintai!”
Dia mencoba membuka pintu paksa. Saat itulah aku menendang pintu kuat-kuat hingga ia terpental mundur.
Aku keluar dan berlari ke pasar.
Orang-orang mulai memperhatikanku. Seorang ibu tua—yang pernah memperingatkanku—melihatku dengan mata membesar.
“Itu dia! Itu gadis yang bersama lelaki iblis itu!”
“Aku Ara Kirana! Dia menyekapku! Dia membunuh wanita-wanita lain! Ini buktinya!” teriakku, menunjuk album yang jatuh di kaki penjual buah.
Massa mulai bergerak. Polisi yang kebetulan sedang berjaga menghampiriku cepat-cepat. Reyhan berdiri di belakang, wajahnya masih tenang, tapi matanya… panik untuk pertama kalinya.
“Aku mencintaimu, Ara!” teriaknya. “Kau tak akan aman tanpaku!”
Polisi meraihnya, menggiringnya dengan paksa meski ia tetap berteriak tak karuan. Aku memeluk tubuhku sendiri, menggigil. Akhirnya… semua ini berakhir.
Atau setidaknya, begitulah aku kira.
Seminggu setelah kejadian itu, aku tinggal di rumah perlindungan, ditemani psikolog dan petugas perlindungan saksi. Album foto Reyhan jadi bukti utama. Surat Nadira—juga. Semua catatan, semua potret, akhirnya dibuka ke publik. Media menyebut Reyhan sebagai “The Collector.” Banyak keluarga korban mulai muncul, mengenali anak, adik, atau saudari mereka dari foto-foto yang ditemukan.
Aku menjadi saksi kunci.
Aku menjadi suara dari para perempuan yang tak pernah bisa bicara.
Tapi luka… tak sembuh semudah itu.
Malam-malamku masih dihantui bisikan. Bayangan Nadira masih muncul di cermin. Kadang… aku mendengar langkah Reyhan di lorong—padahal dia kini mendekam di sel tahanan.
Kadang… aku merasa masih dikurung di rumah itu.
Tapi saat aku menatap cermin di kamar baruku, aku tersenyum untuk pertama kalinya.
Bukan karena aku sudah sembuh.
Tapi karena aku masih hidup.
Dan karena suara-suara itu…
Mereka bukan ingin menakutiku.
Mereka hanya ingin aku terus mengingat.
Bahwa cinta… bisa menjadi rumah yang mematikan,
jika kita lupa membedakan antara perlindungan… dan pengurungan.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.