Novel Singkat Nada Kosmis Nada Terakhir untuk Senna
Novel Singkat Nada Kosmis Nada Terakhir untuk Senna

Novel Singkat: Nada Kosmis, Nada Terakhir untuk Senna

Nico Arkan, seorang guru musik SMA yang pendiam dan tertutup, hidup dalam bayang-bayang kehilangan sang ayah yang hilang secara misterius bertahun-tahun lalu. Hidupnya berjalan datar, hingga suatu malam ia menemukan alat musik aneh peninggalan sang ayah, sebuah instrumen bercahaya bernama Solis Kanta.

Saat ia memainkannya, Nico tanpa sadar mengirimkan sinyal ke luar angkasa. Sinyal itu dijawab oleh Senna, makhluk dari galaksi jauh yang memiliki kemampuan membaca emosi lewat gelombang suara. Hubungan mereka pun dimulai—bukan lewat kata-kata, tapi lewat nada.

Namun, cinta mereka mengancam aturan semesta. Regulasi Harmoni, otoritas galaksi penjaga kestabilan dimensi, menganggap musik mereka sebagai ancaman. Senna ditangkap, dan Nico harus memilih: menyerah pada takdir atau melawan melalui konser terakhir yang bisa mengubah suara dunia.

Nada Kosmis adalah kisah tentang kehilangan, harapan, dan kekuatan cinta yang melampaui bintang. Sebuah simfoni emosional antara dua jiwa berbeda dunia—yang akhirnya menemukan irama baru bersama.

Bab 1: Nada yang Hilang

Udara di kamar Nico terasa lembap. Musim hujan belum juga beranjak, dan angin sore yang masuk dari jendela hanya menambah suasana sendu. Di sudut kamar, Nico duduk bersila di lantai dengan sebuah kotak kayu tua di depannya—kotak yang baru saja ia temukan di loteng rumah.

Ia sempat ragu waktu membukanya. Debunya tebal, dan engselnya nyaris berkarat. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Toh, di rumah itu tidak banyak yang bisa membuatnya tertarik lagi.

“Ini… punya Ayah?” gumamnya pelan.

Sudah tujuh tahun sejak sang ayah menghilang tanpa jejak. Semua orang bilang ayahnya tewas dalam kecelakaan proyek luar angkasa, tapi tak ada jasad, tak ada penjelasan. Yang tersisa hanya foto lawas, beberapa jurnal, dan kini—kotak misterius ini.

Di dalamnya, terbaring sebuah alat musik yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bentuknya seperti gabungan gitar dan biola, dengan enam senar yang memantulkan cahaya lembut keunguan. Tak ada merek, tak ada petunjuk. Hanya simbol aneh yang terukir di bagian leher alat itu—sebuah lingkaran dengan tiga garis melingkar keluar.

Nico menyentuhnya perlahan, seperti menyentuh sesuatu yang hidup.

Begitu jemarinya menyentuh senar, terdengar suara lirih. Bukan suara senar biasa—nada itu seperti… merambat ke dalam dada, menggetarkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

“Gila,” bisiknya. “Ini… beda.”

Ia memutuskan untuk mencobanya.

Jemarinya mulai menari di atas senar, menciptakan nada-nada yang belum pernah ia mainkan sebelumnya. Ia bukan pemusik hebat, tapi cukup terbiasa dengan gitar dan piano. Namun alat ini… rasanya seperti membimbing dirinya. Seolah ada memori asing yang mengalir dari alat itu ke ujung jarinya.

Nada demi nada keluar, lembut, jernih, namun penuh emosi. Saat ia memainkan melodi pendek yang terlintas di pikirannya, udara di sekitarnya tiba-tiba berubah. Lampu kamar berkedip. Laptop di meja menyala sendiri, lalu mati.

Dan dari alat musik itu, sebuah cahaya biru tipis mulai muncul.

Nico terdiam. Senarnya masih bergetar, memantulkan frekuensi yang entah bagaimana… membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Tidak dalam arti takut. Tapi… terhubung. Seolah ada seseorang—atau sesuatu—di luar sana yang sedang mendengarkan.

“Ini bukan alat musik biasa…” desisnya.

Tiba-tiba, ia mendengar suara di kepalanya.

—Nada telah ditemukan. Harmoni terbangun.

Nico mematung. Jantungnya serasa berhenti berdetak.

“Apa barusan… suara?” gumamnya. Tapi tidak ada siapa pun di ruangan itu. Dan suara itu tidak datang dari luar, melainkan dari dalam kepalanya sendiri. Bukan suara manusia, tapi juga bukan suara robot. Suara itu terasa… hangat. Seperti gumaman lembut dalam mimpi.

Lalu, di tengah keheningan yang aneh itu, alat musik itu kembali bersinar. Kali ini lebih terang. Cahaya itu berputar perlahan, membentuk pola-pola aneh di udara. Dan di tengah pola itu, tampak titik kecil… seperti bintang yang bergerak pelan, seolah sedang mencari arah.

Nico menatapnya tanpa berkedip. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi satu hal pasti—hidupnya yang membosankan akan berubah mulai malam ini.

Ia tak tahu bahwa di ujung galaksi sana, seseorang, atau sesuatu baru saja menjawab panggilannya.

Dan jawaban itu sedang meluncur menuju bumi.

Bab 2: Sinyal dari Langit

Di sisi lain galaksi, jauh melampaui apa yang bisa ditangkap teleskop bumi, terdapat sistem bintang bernama Lyrenas. Salah satu planetnya, Seras 6, dikenal sebagai penjaga Harmoni Galaksi pusat komunikasi antar-bintang yang hanya bisa diakses oleh frekuensi tertentu. Dan malam itu, sistem Harmoni menerima sinyal yang telah lama hilang.

“Nada sumber aktif. Koordinat asing terdeteksi.”

Ruang observasi dipenuhi cahaya biru yang berdenyut, seolah planet itu sendiri sedang bernapas.

Senna berdiri terpaku di tengah ruangan. Tubuhnya tinggi, ramping, dan tampak manusiawi—kecuali matanya yang tak memiliki pupil, hanya semburat warna ungu yang bergerak seperti kabut. Ia mengenakan pakaian pelindung dari serat kosmik, mengkilap lembut di bawah cahaya bintang. Sebagai Penjaga Harmoni, tugasnya hanya satu: menjaga agar nada-nada kosmis tetap seimbang dan tidak jatuh ke dunia yang salah.

Namun sinyal yang datang kali ini… berbeda.

“Sumber berasal dari planet biru di sistem minor: Sol-3,” ujar salah satu pengawas. “Itu… Bumi.”

Senna menoleh cepat. “Tidak mungkin. Nada Harmoni tak bisa diakses oleh manusia.”

“Tapi dia melakukannya,” sahut pengawas itu sambil memperbesar proyeksi sinyal. “Dan nadanya… murni.”

Senna mengernyit. Hanya satu alat di seluruh jagat yang bisa memancarkan nada semurni itu—Solis Kanta—alat musik terlarang yang diyakini telah hilang bersamaan dengan salah satu Penjaga terdahulu, manusia bumi yang menghilang tiga dekade lalu. Pria bernama Arel… atau dalam catatan bumi, Ayah Nico.

Seketika dada Senna terasa hangat. Ia tahu apa artinya ini.

Nada itu bukan sekadar panggilan.

Itu… permintaan tolong.

Sementara itu, di bumi, Nico masih duduk dengan alat musik misterius di pangkuannya. Ia belum tidur. Lampu sudah ia matikan, tapi bayangan pola-pola cahaya tadi masih terukir di benaknya.

Ia menyalakan laptop, berharap bisa mencari tahu sesuatu. Ia ketik kata kunci: “alat musik alien”, “frekuensi aneh”, “lingkaran tiga garis”—semuanya nihil.

Tak ada yang bisa menjelaskan apa yang ia alami. Tidak ada penjelasan ilmiah, tidak ada teori konspirasi. Bahkan YouTube tak bisa bantu malam ini.

Tapi saat ia memandangi alat musik itu, Nico merasa aneh. Seperti… tidak sendirian. Suara lembut yang ia dengar sebelumnya terus bergema samar di pikirannya.

Lalu tiba-tiba, layar laptop-nya berkedip.

Sebuah kalimat muncul dalam huruf asing yang kemudian berubah menjadi bahasa Indonesia:

“Aku datang.”

Nico terpaku. “Apa maksudnya… siapa yang datang?”

Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, cahaya kembali menyelimuti kamarnya. Kali ini lebih terang, lebih padat. Udara terasa bergetar, seolah ruangan itu berubah frekuensi.

Dan dari cahaya itu, perlahan-lahan… seseorang muncul.

Perempuan. Tinggi. Kulitnya pucat seperti bulan, rambut panjang keperakan, dan mata—mata itu bukan milik manusia.

Mereka berwarna ungu, menyala tenang.

Nico membeku. Napasnya tercekat.

Perempuan itu menatapnya, lalu berbicara tanpa membuka mulut. Suaranya terdengar langsung di kepala Nico.

“Kau memainkan nada yang tidak seharusnya. Tapi… aku senang kau melakukannya.”

“Siapa… kamu?” bisik Nico, nyaris tak terdengar.

Perempuan itu tersenyum tipis.

“Namaku Senna. Dan aku datang… karena kau telah memanggilku.”

Bab 3: Tamu Tak Terduga

Nico berdiri mematung. Sinar di sekeliling Senna perlahan meredup, menyisakan cahaya lembut di balik rambut keperakannya. Untuk sesaat, hanya suara hujan di luar jendela yang terdengar, jatuh pelan di atas atap seng rumahnya.

Perempuan itu—Senna—menatapnya dengan cara yang aneh. Bukan seperti orang asing menatap manusia. Tapi seperti seseorang yang sudah lama mengenalnya.

“Jangan takut,” suara itu kembali terdengar… langsung di kepalanya. “Aku tidak akan menyakitimu.”

Nico bergeming. “Kamu bukan manusia, kan?” suaranya nyaris bergetar.

Senna menggeleng. “Aku bukan manusia. Tapi aku juga bukan makhluk jahat seperti yang kau bayangkan. Aku… penjaga nada.”

Nico mengernyit. “Penjaga… nada?”

Senna melangkah mendekat, gerakannya ringan seperti angin. Ia duduk perlahan di karpet kamar Nico, dan seolah memahami dunia ini, ia menatap sekelilingnya dengan rasa penasaran yang tulus.

“Alat musik yang kau mainkan… bukan alat biasa,” katanya. “Itu adalah Solis Kanta. Salah satu dari tiga instrumen kosmik yang menghubungkan galaksi.”

Nico menatap alat itu yang masih tergeletak di sampingnya. “Aku nemu itu di loteng. Punya ayahku.”

Senna mengangguk pelan, matanya tampak sayu. “Ayahmu… Arel… dia adalah salah satu dari kami. Penjaga Harmoni pertama yang berasal dari bumi.”

Dunia Nico serasa jungkir balik. Ayahnya? Seorang penjaga galaksi?

Itu terdengar seperti naskah film fiksi ilmiah kelas berat, bukan kenyataan.

“Kalau dia penjaga… kenapa dia menghilang? Kenapa dia nggak pernah pulang?”

Senna menatapnya lama, seolah ragu untuk menjawab. “Karena… dia memilih untuk menyelamatkan dua dunia. Dan itu artinya… ia tak bisa kembali.”

Nico menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—rasa marah, rindu, dan bingung campur aduk. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Senna mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar.

“Aku datang ke sini karena sinyalmu membangunkanku. Tapi kedatanganku… tidak akan disambut dengan baik oleh yang lain.”

Nico mengernyit. “Maksudnya?”

“Sudah lama Bumi dianggap ‘tutup hubungan’ oleh Harmoni Galaksi. Tidak ada yang boleh datang. Tidak ada yang boleh pergi. Kalau mereka tahu aku ke sini, apalagi karena nada yang kamu mainkan… kita berdua bisa dalam bahaya.”

Nico merinding. “Bahaya kayak gimana?”

“Dihapus,” jawab Senna singkat. “Secara eksistensi.”

Oke. Itu jawaban yang cukup bikin panik.

Tapi anehnya… alih-alih takut, Nico justru merasa terpanggil. Entah kenapa, suara Senna, aura tenangnya, dan semua misteri ini… membuat hidupnya yang selama ini hampa tiba-tiba terasa penuh.

Ia menatap Senna lekat-lekat. “Jadi sekarang apa?”

Senna tersenyum samar. “Sekarang… aku harus menyamarkan keberadaanku. Aku harus menyatu dengan dunia ini… setidaknya sampai kita tahu apa tujuan nada itu dipanggil kembali.”

Nico menelan ludah. “Jadi kamu… bakal tinggal di sini?”

Senna mengangguk.

“Ya. Di sini. Bersamamu.”

Dan saat itulah, Nico sadar hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Bab 4: Bahasa Musik

Keesokan paginya, Nico terbangun dengan kepala berat. Cahaya matahari pagi menyusup lewat tirai, dan suara burung terdengar samar dari kejauhan. Sekilas, semuanya terasa normal. Tapi begitu ia menoleh ke samping…

Senna sedang duduk di karpet, memandangi alat musik Solis Kanta dengan tatapan penuh rindu.

Bukan mimpi. Semalam benar-benar terjadi.

“Aku nggak nyangka kamu masih di sini,” gumam Nico, masih separuh ngantuk.

Senna menoleh pelan, matanya seperti pantulan nebula—tenang tapi dalam. “Aku janji akan tinggal. Aku tidak melanggar janji.”

Nico bangkit duduk dan mengucek matanya. “Kamu… tidur nggak sih?”

“Aku tidak butuh tidur seperti manusia. Tapi aku bisa bermeditasi dalam suara.”

“Suara?”

Senna mengangguk. “Setiap makhluk hidup punya gelombang. Bukan cuma detak jantung. Tapi frekuensi jiwa. Kalau kamu dengarkan baik-baik, kamu bisa ‘merasakan’ seseorang bahkan sebelum mereka bicara.”

Nico memiringkan kepala. “Kamu bisa… ngerasain frekuensi aku?”

Senna tersenyum. “Nada kamu… sendu. Seperti seseorang yang menahan banyak hal tapi tidak tahu cara mengeluarkannya.”

Nico terdiam. Senna barusan menggambarkan isi hatinya tanpa perlu tanya satu pun.

Dia bangkit dan mengambil Solis Kanta, lalu duduk di sebelah Senna. “Kalau gitu… bantu aku ngerti. Bahasa nada kamu kayak gimana?”

Senna tak menjawab. Ia menutup mata, dan dari tubuhnya, keluar getaran halus—seperti suara humming yang nyaris tak terdengar, tapi bikin bulu kuduk merinding. Lalu, ia membuka mata dan meletakkan tangan di atas Solis Kanta.

Dengan jemari yang luwes, Senna mulai memainkan nada.

Bukan seperti musik biasa. Nada yang ia mainkan seperti… emosi yang berubah jadi suara. Ada kesedihan, kerinduan, kekaguman—semuanya bercampur. Dan Nico bisa merasakannya. Bukan cuma mendengar. Tapi benar-benar merasakan.

Saat Senna selesai, ia menatap Nico.

“Sekarang giliranmu.”

Nico menghela napas, lalu mulai memainkan nada versinya. Awalnya ragu, canggung. Tapi perlahan, ia mulai membiarkan perasaannya mengalir. Ia mainkan tentang kehilangan ayahnya. Tentang malam-malam sunyi di rumah. Tentang rasa sepi yang tak pernah ia ceritakan ke siapa pun.

Dan Senna… menangis.

Air matanya turun tanpa suara. Ia menutup mata, tapi pipinya basah.

“Maaf… aku nggak tahu kenapa kamu nangis,” bisik Nico, panik.

Senna menggeleng. “Tidak perlu minta maaf. Ini pertama kalinya aku mendengar nada manusia… yang begitu jujur. Ini… indah. Tapi juga menyakitkan.”

Nico merasa dadanya hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa dimengerti. Bukan lewat kata-kata. Tapi lewat musik.

Hari itu, mereka menghabiskan waktu bersama di kamar, memainkan Solis Kanta bergantian. Tak banyak bicara, tapi komunikasi mereka justru terasa lebih dalam.

Dan di luar sana, entah di galaksi mana, sinyal dari alat itu kembali berdenyut.

Ada yang mendengarnya. Dan mereka… tidak suka suara itu.

Bab 5: Kenangan Ayah

Malam itu, hujan turun lagi. Bukan hujan deras, tapi gerimis tipis yang jatuh pelan-pelan, seperti sengaja menambah suasana hati Nico yang sedang kalut.

Ia duduk di meja belajarnya, memandangi foto lama ayahnya yang sudah menguning. Pria dalam foto itu tersenyum hangat, mengenakan jas laboratorium dan memegang sesuatu yang mirip… Solis Kanta.

“Dia pernah mainin alat ini?” tanya Nico lirih, lebih ke dirinya sendiri.

Senna yang duduk bersila di karpet, mengangguk pelan. “Dia adalah pemilik pertama Solis Kanta di Bumi. Dikirim oleh Harmoni Galaksi setelah ia lolos seleksi gelombang suara. Frekuensinya nyaris sempurna.”

Nico menarik napas panjang. “Tapi… kenapa dia nggak pernah cerita? Bahkan ke Ibu pun enggak. Semua tentang dia itu penuh rahasia.”

Senna menatap langit-langit kamar, seolah sedang mengingat sesuatu yang jauh. “Karena jadi Penjaga Harmoni artinya mengorbankan banyak hal. Termasuk orang yang paling disayang.”

Nico membuka laci meja. Ia mengeluarkan satu kotak kecil dari kayu tua—kotak yang dulu selalu dilarang dibuka oleh ibunya. Tapi sekarang, entah kenapa, ia merasa harus membukanya.

Dengan jari gemetar, Nico membuka tutup kotak itu.

Di dalamnya ada beberapa benda: sepucuk surat tua yang belum pernah dibuka, kartu identitas asing dengan simbol aneh, dan selembar catatan dengan tulisan tangan ayahnya.

Ia membuka surat itu dulu.


Nico,
Kalau kamu membaca ini, berarti kamu telah menemukan Solis Kanta. Dan itu artinya… kamu sudah siap.

Maaf karena aku pergi tanpa penjelasan. Tapi ayahmu bukan hanya ilmuwan biasa. Aku adalah penjaga nada antar-galaksi—dan Solis Kanta adalah kunci antara dunia manusia dan langit. Aku pikir aku bisa melindungimu dengan menjauh, tapi nyatanya… takdir selalu menemukan jalannya.

Jika kau mulai mendengar suara-suara aneh, atau cahaya yang tidak bisa dijelaskan… jangan takut. Itu bukan halusinasi. Itu warisanmu.

Dan jika kau bertemu dengan dia—dengan Senna—dengarkan dia. Percayalah padanya. Dia akan membimbingmu.
Ayah bangga padamu.

– Arel


Tangan Nico gemetar saat selesai membaca. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap Senna yang sudah berdiri mendekatinya.

“Dia… tahu kamu bakal datang?”

Senna mengangguk pelan. “Kami punya ikatan. Ayahmu menyelamatkan Harmoni di masa lalu. Dan sekarang, tampaknya giliranmu.”

Nico menatap alat musik di sudut kamar. Cahaya tipis masih bergetar dari senarnya, seolah merespon emosi yang sedang meluap dalam dirinya.

“Kalau ini warisan… apa artinya aku juga bisa jadi Penjaga?”

Senna menatapnya lama, sebelum menjawab.

“Bukan hanya bisa, Nico. Tapi… kau memang ditakdirkan jadi Penjaga berikutnya.”

Nico menghela napas, perasaan campur aduk. Selama ini, ia hanya remaja biasa dengan hidup yang membosankan. Tapi sekarang, ia adalah pewaris alat musik antar-galaksi dan satu-satunya manusia yang bisa memainkan nada yang nyaris punah.

Dan jauh di dalam hatinya… ia mulai merasa hidup kembali.

Namun, di langit sana, sebuah kapal luar angkasa tak terlihat sedang mendekati orbit bumi. Kapal itu milik Regulasi Harmoni—penjaga sistem antargalaksi yang percaya bahwa bumi harus tetap sunyi.

Mereka sudah mendengar suara itu.

Dan mereka datang untuk mematikannya.

Bab 6: Kehangatan Senna

Sejak malam itu, rutinitas Nico berubah total. Pagi sekolah, sore bantu ibunya, malamnya… belajar musik bersama makhluk dari galaksi lain. Kedengarannya konyol, tapi buat Nico, itu jadi momen paling hidup yang pernah ia rasakan selama ini.

Senna tinggal bersamanya secara diam-diam. Tidak perlu makan, tidak perlu tidur, tapi ia suka duduk di jendela sambil mendengarkan suara hujan. Katanya, hujan di bumi seperti harmoni alam yang belum tercemari. Suara yang bisa menenangkan frekuensi jiwa siapa pun yang mendengarnya.

Kadang-kadang, Nico hanya menatap Senna diam-diam. Ia bukan manusia, tapi senyumnya… bisa bikin jantung Nico berdetak aneh. Hangat. Damai. Tapi juga bikin gugup.

Dan mungkin, itu pertama kalinya Nico sadar—ia mulai menyukai kehadiran Senna. Bukan karena misterinya, tapi karena caranya membuat dunia terasa lebih berarti.


Malam itu, mereka duduk berdampingan di kamar. Nico baru selesai memainkan melodi pendek di Solis Kanta, dan Senna menutup matanya sejenak. Saat ia membuka mata, ia menatap Nico lama.

“Aku suka nada yang barusan,” bisiknya lewat suara dalam kepala Nico.

“Beneran?” Nico terkekeh. “Aku asal main, sih.”

“Justru karena itu. Nada yang keluar dari insting biasanya paling jujur.”

Nico tersenyum, tapi senyumnya pelan-pelan memudar. “Senna… kamu bisa mati gak sih?”

Senna menatap ke arah luar jendela. “Bisa. Tapi bukan dengan cara manusia. Kami tidak punya waktu yang linear. Kami tidak tua, tapi kami bisa menghilang. Terhapus.”

“Kayak… ayahku?”

Senna mengangguk pelan. “Arel memilih mengunci dirinya dalam dimensi frekuensi saat menghadapi ancaman terbesar Harmoni. Ia masih hidup. Tapi tak bisa kembali kecuali… kau yang membukakan jalan.”

Nico menelan ludah. “Berarti… aku bukan cuma penerus. Tapi juga satu-satunya yang bisa nyelametin dia?”

“Ya.”

Hening. Hanya suara hujan yang menemani.

Nico menunduk. “Kenapa semua ini harus aku? Aku bukan siapa-siapa.”

Senna tersenyum. Ia meraih tangan Nico dan menyentuh dadanya dengan ujung jari.

“Karena nada yang kamu bawa… hidup. Kau tidak perlu sempurna. Kau hanya perlu jujur.”

Dan Nico merasa… disentuh bukan cuma kulitnya, tapi hatinya.

Detik itu, jarak antara manusia dan makhluk dari galaksi jauh itu seolah lenyap. Yang tersisa hanya dua jiwa… dan satu ikatan yang mulai tumbuh pelan-pelan.

Namun, di tempat lain…

Sebuah kapal hitam besar melayang di orbit bumi, tersembunyi dari radar manusia. Di dalamnya, anggota Regulasi Harmoni sedang mengamati sinyal yang muncul dari bumi.

“Subjek S-03 berhasil mengaktifkan Solis Kanta,” ujar salah satu pengawas.

“Kirim tim penghapus. Jangan beri kesempatan untuk nada itu berkembang. Bumi… harus tetap sunyi.”

Di balik layar pengawasan, terlihat wajah Nico dan Senna.

Target mereka sudah jelas.

Dan waktu mereka hampir habis.

Bab 7: Nada yang Terlarang

Pagi itu, langit mendung dan angin dingin menelusup masuk lewat celah jendela kamar. Nico duduk sendirian di lantai, memandangi Solis Kanta yang diletakkan di atas bantal seperti benda suci. Senna belum kembali—semalam dia bilang akan pergi sejenak untuk “menyelaraskan frekuensinya” agar tidak terdeteksi oleh makhluk luar galaksi.

Nico menggenggam buku catatan milik ayahnya yang baru ia temukan di dalam lemari. Di halaman terakhir, tertulis tangan ayahnya dengan tinta yang hampir pudar:

“Jika keadaan mendesak, mainkan nada ke-13. Tapi ingat, harga dari harmoni sempurna… adalah kekacauan yang menyertainya.”

Nada ke-13. Di antara semua melodi ayahnya, hanya nada itu yang tidak pernah ia mainkan. Karena konon, itu bukan nada biasa. Itu kunci. Pembuka. Pemanggil.

Dan Nico… penasaran.

Sore itu, saat rumah sepi dan langit mulai gelap, ia duduk dengan Solis Kanta di pangkuannya. Jemarinya gemetar, tapi hatinya mantap. Ia mulai memainkan nada demi nada, mengikuti notasi yang ditulis ayahnya di catatan lama.

Awalnya pelan. Lalu… makin cepat.

Nada itu bukan melodi biasa. Ia terasa seperti mantra, seperti suara alam semesta yang ditarik ke satu titik dan meledak ke dalam ruang kecil bernama kamar tidur.

Saat nada ke-13 dimainkan, udara langsung berubah. Dinding kamar bergetar. Lampu padam. Laptop menyala sendiri dan menampilkan simbol yang sama seperti di tubuh Senna—lingkaran tiga garis.

Dari Solis Kanta, keluar suara yang bukan suara.

ZzzzzhhhHRMMMMMMMmmmmm…

Cahaya biru muda meledak dari senarnya, membentuk pusaran di udara. Dan dari pusaran itu, keluar… bayangan.

Siluet pria tinggi. Rambut acak-acakan. Wajahnya kabur… tapi Nico tahu betul siapa itu.

“Ayah…” bisiknya.

Tapi sebelum siluet itu sempat berbicara, pusaran tiba-tiba terbelah oleh kilatan merah. Sinar kasar dan panas memotong harmoni yang baru saja lahir.

Seketika itu juga, sosok itu lenyap.


“APA YANG KAU LAKUKAN?!”

Suara itu mengguncang seluruh ruangan. Senna muncul, wajahnya pucat, napasnya tidak stabil.

“Kamu mainin nada ke-13?!” teriaknya. “Itu pemicu dimensi terbuka! Kau baru saja mengirim sinyal ke seluruh penjaga galaksi bahwa Bumi aktif!”

Nico berdiri kaku. “Aku… cuma mau bicara sama Ayah…”

“Dan kau hampir membuka jalur invasi!” desis Senna. “Nada itu dilarang dimainkan tanpa izin dari Harmoni! Karena satu kesalahan kecil bisa membangkitkan—”

Sebelum ia selesai, suara alarm tiba-tiba terdengar dari dalam Solis Kanta.

“Intervensi dimulai. Regulasi Harmoni menuju lokasi.”

Nico menatap Senna. “Apa maksudnya ‘menuju lokasi’?”

“Artinya… mereka datang. Untukmu. Untukku. Untuk memutus semua ini.”

Senna menggenggam tangan Nico. Jemarinya dingin. Mata ungunya serius.

“Kita harus pergi. Sekarang.”

Dan saat itulah, langit di luar berubah merah. Cahaya aneh menembus awan. Bumi, untuk pertama kalinya, disinari oleh pesawat tak terlihat yang membawa satu misi:

Mematikan nada yang terlarang.

Bab 8: Penangkapan dan Perpisahan

Langit malam berubah menjadi merah keunguan. Di luar jendela, awan berputar pelan, menciptakan pusaran besar seperti lubang hitam kecil. Angin kencang bertiup, tapi bukan angin biasa—udara terasa… padat. Seolah-olah bumi sedang dihisap ke dimensi lain.

Nico dan Senna berdiri berdampingan di halaman belakang. Cahaya dari Solis Kanta—yang sekarang menggantung di leher Nico seperti gitar kosmik—masih menyala pelan, berdenyut seperti jantung hidup.

“Senna,” Nico menatapnya dengan mata gemetar, “apa yang akan terjadi kalau mereka menangkapmu?”

Senna menunduk. “Mereka akan membawaku ke pusat Harmonisasi. Menghapus ingatanku. Menjadikanku penjaga pasif. Tanpa jiwa, tanpa kehendak.”

Nico mencengkeram tali Solis Kanta. “Aku nggak akan biarin itu terjadi. Kita kabur. Kita cari ayahku. Kita… sembunyi di bumi bagian lain.”

Senna menggeleng pelan. “Tidak semudah itu. Mereka sudah menandaimu juga, Nico. Karena kamu memainkan nada terlarang, kau dianggap ancaman. Dan… pewaris.”

Di langit, cahaya merah berkedip tiga kali.

Lalu… mereka muncul.

Tiga sosok hitam melayang di udara. Tubuh mereka tinggi, tanpa wajah, hanya bercahaya samar di bagian dada—simbol Harmoni Galaksi yang terus berputar. Mereka tidak membawa senjata. Tapi keberadaan mereka sudah cukup untuk membuat bumi berhenti bernapas.

“Unit S-03 dan entitas Senna. Kalian melanggar perjanjian. Serahkan Solis Kanta. Serahkan energi kalian. Demi kestabilan antargalaksi.”

Suara mereka seperti gema ribuan jiwa berbicara bersamaan.

Nico maju selangkah. “Kalau aku serahkan Solis Kanta… kalian bakal lepaskan dia?”

Tidak ada jawaban. Hanya senyap yang menekan dada.

Senna menatap Nico—dalam, penuh luka. “Aku harus pergi.”

Nico menggeleng cepat. “Tidak! Kamu nggak bisa pergi. Kita baru mulai… semuanya baru dimulai, Senna.”

Air mata jatuh di pipi Nico. Ia sendiri terkejut—kapan terakhir kali ia menangis?

Senna tersenyum lembut. Ia mendekat, menyentuh pipi Nico dengan tangan hangatnya.

“Terima kasih… karena kau memainkan nada itu. Karena kau buat aku merasa hidup, bahkan jika itu hanya sebentar.”

Nico ingin memeluknya, tapi tubuh Senna mulai menyatu dengan cahaya. Cahaya yang menyakitkan untuk dilihat, karena itu berarti… dia akan pergi.

“Senna, tunggu!”

Tapi waktu tak mau menunggu.

Dengan satu dentingan nada terakhir dari Solis Kanta, Senna menghilang. Tersedot oleh pusaran cahaya merah. Dan para penjaga pun menghilang bersamanya—tanpa jejak, tanpa suara.

Langit kembali gelap. Angin berhenti. Semuanya… sunyi.

Nico berdiri sendirian, memeluk Solis Kanta erat-erat. Dunia di sekitarnya berjalan seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi tidak bagi Nico. Tidak sejak Senna datang.

Dan tidak setelah dia pergi.

Di kejauhan, jauh di pusat galaksi…

Senna duduk di ruang harmonisasi, matanya tertutup, tubuhnya lemah.

Namun di dalam pikirannya, suara Nico masih hidup. Nada itu masih berdenting. Dan ia tahu—hubungan mereka belum selesai.

Belum.

Bab 9: Konser Terakhir

Dua minggu setelah Senna menghilang, hidup Nico seperti kehilangan warna.

Ia pergi ke sekolah, menyapa teman, membantu ibunya seperti biasa. Tapi saat malam tiba, ia selalu duduk sendirian di kamar, memandangi Solis Kanta yang tergantung di dinding. Senar alat itu kini nyaris tak bersinar. Seolah kehilangan nyawa… seperti dirinya.

Ia memutar ulang rekaman melodi yang pernah ia dan Senna mainkan. Tapi suaranya tak pernah sama. Hampa. Tidak ada resonansi. Tidak ada ikatan.

Sampai suatu malam, ia bermimpi.

Dalam mimpinya, ia duduk di tengah panggung kosong. Kursi-kursi di depan panggung tak terlihat ujungnya. Tapi di barisan paling depan, satu sosok berdiri.

Senna.

Ia tersenyum—senyum yang selalu hangat tapi menyimpan kesedihan. Tangannya menunjuk ke Solis Kanta yang kini bersinar terang.

“Mainkan lagu kita, Nico. Biar mereka tahu… nada tak bisa dibungkam.”

Nico terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Tapi untuk pertama kalinya sejak kepergian Senna… hatinya terasa penuh.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Keesokan harinya, Nico membuat keputusan gila.

Ia menghubungi teman-temannya di sekolah musik, meminta bantuan untuk menggelar pertunjukan dadakan. Tidak di gedung konser besar. Tapi di tempat publik—taman kota, tempat siapa pun bisa datang.

“Konser untuk Harmoni,” katanya.

Orang-orang mengira itu sekadar konser komunitas biasa. Tapi Nico tahu… nada-nada yang akan ia mainkan bukan sekadar musik.

Itu perlawanan.


Malam konser tiba.

Taman kota dipenuhi orang. Tidak ada panggung mewah. Hanya satu kursi, satu alat musik bercahaya, dan seorang pemuda dengan luka yang belum sembuh… tapi sudah siap bicara lewat suara.

Nico duduk, menarik napas panjang, lalu memetik senar pertama Solis Kanta.

Dentumannya bergema.

Orang-orang yang menonton terdiam. Bahkan anak-anak yang awalnya berlarian, kini duduk tenang. Suara Solis Kanta menembus udara malam, mengalir ke dalam hati siapa pun yang mendengarnya.

Dan di langit—tak terlihat oleh mata manusia biasa—pusaran dimensi mulai terbuka pelan. Frekuensi bumi mulai naik. Musik itu… menjangkau dimensi tempat Senna berada.

Di ruang harmonisasi galaksi, tubuh Senna tiba-tiba tersentak.

Matanya terbuka.

“Resonansi…” bisiknya. “Nico.”

Nada itu—lagu mereka. Lagu yang belum pernah selesai. Kini, dimainkan dalam bentuk penuh. Ia menyatu dalam harmoni, mengalahkan sistem pengunci, dan untuk pertama kalinya, Senna merasa… bebas.

Ia berdiri, tubuhnya bersinar.

“Dia memanggilku.”

Dan kali ini… ia tidak akan tinggal diam.


Di atas panggung, Nico memainkan nada terakhir. Senarnya bergetar begitu kuat hingga membentuk pola cahaya yang mengelilingi tubuhnya.

Orang-orang bersorak.

Tapi Nico… tak mendengar sorakan itu. Yang ia dengar hanya suara lembut, langsung di dalam dadanya.

“Aku di sini, Nico.”

Ia menoleh ke langit. Dan di sana… di antara bintang-bintang, sebuah cahaya keperakan mulai turun perlahan.

Senna kembali.

Bab 10: Irama Baru

Cahaya keperakan itu turun perlahan, seolah menari di antara bintang. Di tengah-tengahnya, siluet Senna muncul—utuh, tak tersentuh, tapi… berubah.

Ia bukan lagi hanya penjaga Harmoni. Kini, tubuhnya memancarkan dua frekuensi: satu dari dunia luar galaksi, satu lagi… dari bumi.

Dari dalam dirinya, ada suara yang baru. Lebih dalam. Lebih manusiawi.

Saat ia mendarat perlahan di depan Nico, semua suara di sekitar mereka lenyap. Dunia terasa sepi—hanya ada mereka berdua.

Nico berdiri dari bangkunya. Matanya berkaca-kaca.

“Senna… kamu balik.”

Senna tersenyum lembut. “Aku kembali… karena kamu memanggilku. Bukan dengan kekuatan. Bukan dengan paksaan. Tapi dengan… cinta.”

Nico tersentak. Kata itu, yang selama ini terpendam, akhirnya muncul.

“Cinta?”

Senna melangkah mendekat. “Nada adalah bentuk tertinggi dari rasa. Dan yang kamu mainkan malam ini… adalah cinta yang jujur. Tak bisa dihapus. Tak bisa disensor.”

Nico menunduk, menahan emosi yang meledak di dadanya.

“Aku… cuma pengen kamu tahu, aku nggak butuh galaksi. Aku cuma butuh kamu tetap di sini.”

Senna mendekat, menyentuh wajah Nico dengan tangan hangatnya.

“Aku di sini. Dan aku… milikmu sekarang. Bukan milik sistem. Bukan milik Harmoni.”


Keesokan harinya, dunia berubah pelan-pelan.

Tak ada invasi. Tak ada penindasan dari Regulasi Harmoni. Justru sebaliknya—frekuensi bumi mulai diperhitungkan sebagai suara baru dalam peta galaksi. Para penjaga tak bisa menyangkal bahwa apa yang Nico dan Senna lakukan telah membuka jalan baru: bahwa manusia pun punya tempat dalam simfoni kosmik.

Solis Kanta kini bukan hanya alat musik.

Ia menjadi simbol dari jembatan dua dunia—dimainkan bukan hanya oleh Nico, tapi juga oleh anak-anak yang mulai belajar musik di pusat komunitas baru yang ia dirikan bersama Senna.

Bumi kini bukan lagi planet sunyi.

Ia bersuara. Dan suaranya… indah.


Malam itu, Nico dan Senna duduk di atap rumah. Menatap bintang.

“Menurutmu, ada berapa banyak planet yang bisa dengar lagu kita malam ini?” tanya Nico.

Senna tersenyum. “Mungkin ratusan. Tapi yang paling penting… kita bisa mendengarnya satu sama lain.”

Solis Kanta bersandar di dinding, senarnya bergetar pelan ditiup angin malam.
Nada yang keluar kali ini bukan lagi milik galaksi. Bukan milik siapa pun.

Nada itu milik mereka berdua.

Dan irama baru itu… baru saja dimulai.


TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *