Elric Arden, seorang eksplorator muda dan peneliti peta kuno, menjalani hidupnya dengan memburu tempat-tempat misterius yang dianggap hanya dongeng. Suatu hari, ia menerima sebuah peta tua dari lelaki asing yang mempercayakan kepadanya rahasia besar—peta menuju sebuah pulau yang hanya muncul saat bulan purnama.
Terdorong rasa ingin tahu, Elric memulai pelayaran seorang diri ke tengah samudra. Saat akhirnya menemukan pulau itu, ia bertemu Lysandra—seorang wanita muda yang tak pernah menua dan telah tinggal di sana selama ratusan tahun. Lysandra mengaku bahwa pulau tersebut adalah penjara hidup, dan siapa pun yang menginjakkan kaki di sana tak akan pernah bisa kembali.
Namun saat Elric mencoba melarikan diri, ia menyadari bahwa pulau itu hidup dan memiliki kehendaknya sendiri. Ia mulai jatuh cinta pada Lysandra, dan kenyataan mengejutkan terungkap: ia adalah reinkarnasi dari pria yang dulu dikorbankan Lysandra demi keabadian.
Kini, pulau memberi pilihan terakhir. Elric harus memilih: melarikan diri dan melupakan segalanya—termasuk cinta yang baru ia temukan, atau mengorbankan kebebasannya demi hidup bersama wanita yang terikat masa lalu kelam.
Pulau yang tak terlihat telah memilih… tapi apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan takdir yang terus berulang?
Bab 1: Peta dari Lelaki Tua
Langit mendung menggantung rendah di atas pelabuhan Marossa, mengguratkan suasana kelabu yang entah kenapa terasa cocok dengan hati Elric sore itu. Ia duduk sendirian di dermaga tua, menatap kapal-kapal yang berlalu-lalang tanpa arah tujuan pasti. Angin laut meniup rambut hitamnya yang kusut, dan semilir garam menempel di ujung lidahnya.
Sudah hampir dua bulan sejak ia meninggalkan rumah. Kota, hiruk-pikuk, rutinitas… semua ditinggalkan demi satu hal: rasa penasaran yang tak pernah bisa ia jelaskan. Elric adalah tipe orang yang selalu haus akan petualangan. Bagi orang lain, peta hanyalah selembar kertas. Tapi baginya, peta adalah janji. Janji akan tempat yang belum pernah dikunjungi, kisah yang belum pernah didengar, dan misteri yang menunggu untuk dipecahkan.
Sore itu, segalanya berubah.
Seorang lelaki tua dengan jubah usang dan wajah penuh keriput mendekatinya. Jalannya tertatih, tapi matanya—oh, mata itu—masih menyala seperti bara api yang tersimpan lama. Elric awalnya mengira orang itu sekadar pengemis yang tersesat, sampai si lelaki membuka mulutnya dan berkata, “Kau… punya jiwa petualang, kan?”
Elric menatapnya, sedikit terkejut. “Mungkin. Tapi aku lebih suka disebut orang bosan yang suka lari dari kenyataan.”
Lelaki tua itu tertawa pelan. Suaranya serak seperti kayu tua yang digesek. “Itu yang membuatmu cocok.”
Tanpa basa-basi, lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya—sebuah gulungan kertas tua, diikat dengan tali kulit yang nyaris lapuk. Tangannya gemetar saat menyerahkan benda itu pada Elric.
“Apa ini?” tanya Elric curiga.
“Peta. Tapi bukan peta biasa. Ini menunjukkan jalan menuju pulau yang tak terlihat oleh mata manusia.”
Elric mengangkat alis, separuh tertawa. “Pulau tak terlihat? Ini tahun berapa, Pak? 1600?”
Lelaki tua itu tidak tersinggung. Ia hanya menatap Elric dalam-dalam. “Pulau ini hanya muncul saat bulan purnama berada tepat di tengah langit. Hanya mereka yang dipilih yang bisa melihatnya. Dan hanya yang memiliki peta ini… yang bisa menapakinya.”
Elric memandangi gulungan itu sejenak. Kertasnya kecokelatan, terlihat seperti peninggalan zaman kuno. Ia membuka sedikit ujungnya, melihat garis-garis samar yang membentuk peta. Tidak ada nama, tidak ada koordinat. Hanya simbol bulan, ombak, dan satu lintasan yang berujung pada… sesuatu.
“Kenapa kau memberikannya padaku?”
Lelaki itu menatap langit yang mulai gelap. “Karena waktuku sudah habis. Dan karena… kadang dunia membutuhkan orang bodoh yang cukup berani untuk percaya pada hal mustahil.”
Setelah berkata demikian, lelaki itu melangkah pergi. Elric sempat ingin mengembalikan gulungan itu, tapi entah kenapa… ia tidak bisa. Ada sesuatu dalam kata-kata lelaki itu yang menggema di dalam dadanya. Seolah peta itu… memang sedang menunggunya.
Malam pun tiba, dan Elric tidak tidur. Ia mengamati peta itu di bawah cahaya lampu minyak. Saat bulan purnama mulai menampakkan diri dari balik awan, sesuatu yang aneh terjadi—peta itu bersinar pelan. Garis-garis yang tadinya samar menjadi lebih jelas. Jalur menuju pulau itu tergambar dengan sempurna, lengkap dengan tanda-tanda unik yang tak ia pahami. Tapi yang paling membuatnya terpaku adalah simbol di ujung peta: sebuah lingkaran dengan sosok perempuan di tengahnya, dikelilingi oleh rantai yang patah di satu sisi.
Elric menghembuskan napas panjang.
“Pulau tak terlihat… pulau terkutuk… atau mungkin surga tersembunyi?”
Apa pun itu, ia tahu satu hal pasti: ia tak bisa mengabaikan panggilan ini.
Esoknya, saat matahari baru muncul dari ufuk timur, Elric sudah berdiri di atas kapal kecil miliknya, peta itu tergulung rapi di dalam tas kulit. Ia tak tahu apa yang menantinya di sana—mungkin kematian, mungkin keajaiban—tapi hatinya berkata, perjalanan ini akan mengubah segalanya.
Dan ia benar.
Bab 2: Munculnya Pulau dari Kabut
Laut lepas selalu punya caranya sendiri untuk membuat orang merasa kecil. Elric berdiri di ujung kapal kayu kecilnya, rambutnya berkibar ditiup angin malam yang mulai dingin. Di sekitarnya hanya ada air sejauh mata memandang. Laut itu sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi ini seperti sedang menunggu sesuatu… atau menyembunyikan sesuatu.
Sudah tiga hari tiga malam ia berlayar mengikuti petunjuk dalam peta. Arah bintang, bentuk awan, hingga gelombang laut semuanya seolah menjadi kompas rahasia. Setiap malam, saat bulan purnama muncul di langit, peta itu kembali menyala samar, mengarahkan jalannya. Dan malam ini—malam keempat—bulan berada tepat di tengah langit, bundar sempurna, seolah dunia sedang menahan napas.
Elric memegang erat sisi kapal. Sesuatu terasa berbeda.
Kabut mulai muncul. Awalnya tipis, seperti embun pagi. Tapi dalam hitungan menit, kabut itu menebal, membungkus kapal dan segala arah menjadi putih pekat. Tak ada suara, tak ada burung laut. Hanya desiran air dan degup jantungnya sendiri.
Lalu, tiba-tiba, kapal Elric berhenti. Tidak karena ditambatkan. Bukan juga karena karang. Seolah… laut itu sendiri menolak untuk mengizinkan kapal itu melaju lebih jauh.
Elric menatap ke depan, jantungnya berdebar.
Dari balik kabut… muncul bayangan.
Perlahan, garis pantai mulai terlihat. Pasir putih menyentuh tepian laut seperti mimpi. Pohon-pohon palem menjulang, dan di baliknya hutan lebat yang seolah menyimpan rahasia dunia kuno. Tapi yang paling menakjubkan bukan itu—melainkan cara pulau itu muncul. Seperti dilukis langsung oleh tangan cahaya bulan.
Pulau itu… benar-benar ada.
“Elric…” gumamnya sendiri, seolah ingin memastikan bahwa ia masih sadar, bahwa ini bukan halusinasi karena kelelahan atau haus.
Ia turun dari kapal, kaki telanjangnya menyentuh pasir dingin. Langkah pertama terasa ringan. Langkah kedua… agak berat. Dan langkah ketiga, ia mulai merasa seolah ada sesuatu yang mengikat pergelangan kakinya dari bawah tanah.
Tapi ia tetap berjalan.
Udara di pulau ini berbeda. Lebih harum, tapi juga lebih pekat. Seperti dunia ini tidak benar-benar berada di bumi. Segalanya terasa terlalu… sempurna.
Ia berjalan menyusuri hutan, mengikuti suara burung-burung yang entah kenapa terdengar asing. Ia tidak tahu ke mana kaki membawanya, sampai akhirnya…
Sebuah rumah muncul di hadapannya.
Rumah kayu tua yang indah, tertutup tanaman rambat dengan bunga-bunga biru bercahaya. Gaya arsitekturnya kuno—seperti rumah para bangsawan di lukisan-lukisan zaman dulu—tapi tetap utuh meski jelas sudah sangat lama berdiri.
Dan di depan rumah itu, berdiri seseorang.
Seorang wanita. Rambut panjangnya berwarna perak seperti cahaya bulan, jatuh ke bahu dengan indah. Ia mengenakan gaun putih sederhana, tapi elegan, seolah menyatu dengan pulau ini. Wajahnya… begitu tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang tinggal sendirian di tempat seperti ini.
“Elric,” katanya.
Suara itu… lembut. Tapi bukan lembut biasa. Suara itu seperti menggema langsung ke dalam pikirannya.
Elric tertegun. “Kau… siapa?”
Wanita itu menatapnya dengan senyum yang sulit ditebak.
“Kau datang. Akhirnya.”
“Elric…” ulangnya, bingung. “Bagaimana kau tahu namaku?”
Wanita itu hanya menatapnya. Senyumnya tidak hilang, tapi matanya… ada kesedihan yang dalam di sana. Kesedihan yang sudah terlalu lama dipendam, terlalu berat untuk diungkapkan dengan kata-kata.
“Elric,” katanya lagi. “Selamat datang… di pulau yang tak boleh ditemukan.”
Bab 3: Wanita di Tengah Pulau
Elric masih berdiri terpaku di depan wanita itu. Ada yang aneh… tapi bukan dalam arti menyeramkan. Lebih ke arah perasaan bahwa ia sedang berada di luar batas dunia nyata. Semuanya terasa terlalu tenang. Terlalu sempurna. Bahkan suara detak jantungnya sendiri terdengar lebih pelan.
Wanita itu berjalan mendekat, langkahnya ringan seperti tidak menyentuh tanah. Rambut peraknya bergoyang mengikuti angin laut, dan setiap gerakannya mengalun seperti aliran air. Ia berhenti hanya beberapa langkah dari Elric, lalu menatap wajahnya dalam diam. Elric bisa merasakan sesuatu dalam sorot mata itu—bukan sekadar rasa ingin tahu, tapi seolah wanita itu… mengenalnya sejak lama.
“Kau terlihat seperti dia,” katanya lirih.
“Seperti siapa?”
Ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia berbalik dan melangkah menuju rumah kayu itu. “Masuklah. Kau pasti lelah.”
Elric ragu sejenak. Logika di kepalanya menjerit, mengatakan bahwa semua ini salah. Tapi entah mengapa, langkah kakinya mengikuti wanita itu tanpa perlu berpikir dua kali.
Rumah itu lebih besar dari yang terlihat dari luar. Interiornya seperti museum waktu—semuanya antik, tapi bersih. Tidak ada debu, tidak ada tanda-tanda kerusakan. Di dinding tergantung lukisan-lukisan tua, sebagian menggambarkan laut, sebagian lagi menggambarkan… wajah yang terlihat familiar.
“Silakan duduk,” kata wanita itu sambil menuangkan air dari kendi batu. Ia memberikan cangkir ke Elric.
“Namaku Elric,” katanya pelan, sambil menerima cangkir tersebut. “Dan kau?”
Wanita itu tersenyum tipis. “Lysandra.”
Nama itu menggema di kepala Elric. Ada sesuatu yang magis dalam pengucapannya. Seolah-olah nama itu membawa beban masa lalu yang berat.
“Lysandra… kau tinggal di sini sendirian?”
“Sudah lama,” jawabnya singkat. “Sangat lama.”
Elric mengerutkan dahi. “Berapa lama?”
Lysandra menatapnya, lalu berkata, “Aku berhenti menghitung setelah dua abad pertama.”
Elric tersedak. “Dua abad?”
Lysandra tidak tertawa. Tidak juga tersenyum mengejek. Ia mengucapkan itu seperti seseorang mengatakan bahwa hari ini Selasa.
“Aku dikutuk oleh waktu. Tidak menua, tidak mati. Terjebak di pulau ini sampai… seseorang datang.”
Elric meletakkan cangkirnya, mulai merasa kepalanya dipenuhi pertanyaan.
“Kenapa kau dikutuk? Dan kenapa pulau ini hanya bisa muncul saat bulan purnama?”
Lysandra berdiri, berjalan ke jendela. “Pulau ini… bukan bagian dari dunia seperti yang kau kenal. Ia hidup. Ia punya kehendak sendiri. Ia memilih siapa yang boleh datang, dan siapa yang harus pergi.”
“Lalu kenapa aku bisa ke sini?”
Lysandra diam lama. Lalu menjawab, “Karena sekarang… kau bagian dari cerita ini.”
Elric berdiri. “Tidak, tunggu dulu. Aku ke sini karena peta itu. Seorang lelaki tua memberikannya padaku. Ia bilang aku cocok untuk menemukan pulau ini.”
Lysandra menatapnya tajam. “Lelaki tua… bertopi abu-abu?”
Elric mengangguk.
Wajah Lysandra menegang. “Dia masih hidup…”
“Siapa dia?”
Lysandra menarik napas panjang. “Orang yang pertama kali datang ke pulau ini. Bertahun-tahun lalu. Tapi dia memilih pergi… dengan harga yang sangat mahal.”
Elric mendekat. “Jadi… aku bisa pergi juga?”
Untuk pertama kalinya, Lysandra menunduk. Suaranya pelan saat berkata, “Tidak ada yang benar-benar pergi dari pulau ini. Tidak tanpa… pengorbanan.”
Suasana hening. Hanya suara angin dan detik jam tua di dinding yang mengisi ruangan. Elric mulai merasa bahwa perjalanannya bukan sekadar pencarian petualangan. Ada sesuatu yang jauh lebih besar, lebih dalam… dan lebih berbahaya.
“Aku akan mencari jalan keluar,” katanya mantap.
Lysandra menatapnya lekat-lekat. “Dan ketika kau menemukannya… apakah kau masih ingin pergi, setelah tahu apa yang harus kau tinggalkan?”
Elric terdiam.
Ia belum tahu jawabannya. Tapi di balik ketenangan Lysandra, ia tahu satu hal—pulau ini punya rahasia yang belum ia pahami. Dan mungkin… cinta bukan satu-satunya perangkap di sini.
Bab 4: Pulau yang Tak Bisa Ditinggalkan
Pagi di pulau itu datang tanpa suara. Tak ada ayam berkokok, tak ada suara kapal, tak ada sinyal kehidupan manusia selain Elric dan Lysandra. Matahari memang muncul, tapi sinarnya terasa… berbeda. Terlalu hangat, terlalu lembut, seperti cahaya imitasi dari dunia mimpi.
Elric bangun lebih awal dari Lysandra. Ia duduk di teras rumah kayu, menatap laut yang membentang di kejauhan. Airnya begitu jernih, begitu damai. Tapi di balik keindahan itu, ada sesuatu yang tak bisa ia percayai. Pulau ini terlalu… sempurna. Seakan sengaja dirancang untuk membuat siapa pun yang datang ingin tinggal selamanya.
Tapi bukan Elric namanya kalau ia mudah terjebak ilusi.
Hari itu, ia memutuskan untuk menyusuri pulau. Lysandra sempat melarangnya, tapi Elric hanya tersenyum dan berkata, “Kalau pulau ini mau menahanku, biar aku lihat dulu wajah aslinya.”
Ia berjalan melewati hutan, melewati aliran sungai kecil dengan air sebening kristal. Di sana, ia melihat rusa—tapi matanya berwarna ungu terang. Burung-burung berkicau dengan nada yang terlalu merdu, seperti lagu pengantar tidur. Bahkan semak berduri pun tak menusuk saat ia melewatinya.
Semua ini… tidak masuk akal.
Elric sampai di pantai sisi timur, tempat ia pertama kali tiba. Ia memandangi laut dan menarik napas dalam-dalam. Lalu mulai membuat rakit dari batang pohon dan tali tanaman merambat. Ia tak tahu apakah akan berhasil, tapi ia harus mencoba.
Butuh hampir setengah hari untuk membuatnya. Rakit sederhana, cukup kuat menopang tubuhnya dan tas kulit berisi peta. Tanpa ragu, ia mendorong rakit ke laut dan mulai mendayung perlahan menjauh dari pulau.
Laut tenang. Angin mendukung.
Ia tersenyum. Mungkin ini berhasil…
Tapi setelah hampir dua jam mendayung… ia menyadari sesuatu.
Pulau itu masih ada di belakangnya.
Tepat. Di. Belakang.
Ia menoleh ke depan. Dan di sana… juga pulau itu.
Elric berhenti mendayung. Ia berputar ke segala arah.
Tak peduli ke mana ia bergerak, pulau itu selalu di hadapannya. Seolah laut sedang memutar dirinya sendiri ke dalam lingkaran tak berujung.
“Ini gila…” gumamnya, napasnya mulai memburu.
Rakit itu mulai bergetar. Angin mendadak hilang. Langit menjadi kelabu.
Laut… mulai mengamuk.
Ombak besar muncul dari segala arah, memukul rakitnya, memaksa Elric jatuh ke air. Ia berusaha berenang kembali, tapi arus seperti tangan raksasa menariknya… dan melemparkannya kembali ke pantai.
Ia tergeletak di pasir, terengah-engah. Tubuhnya basah kuyup, dada sesak, dan kepalanya berdenyut karena terbentur kayu rakit yang hancur.
Ia menatap langit. Masih siang. Masih cerah. Tapi dadanya dipenuhi awan gelap.
Beberapa saat kemudian, Lysandra muncul. Wajahnya tidak terkejut. Tidak marah. Hanya… sedih.
“Kau mencoba pergi,” katanya pelan.
Elric tertawa hambar. “Ya. Dan seperti yang kau bilang… aku gagal.”
Lysandra duduk di sampingnya, tak berkata apa-apa.
“Pulau ini… bukan hanya tempat. Ia seperti… makhluk hidup,” kata Elric sambil memejamkan mata. “Ia menolakku pergi.”
Lysandra mengangguk. “Ia tahu niatmu. Dan ia tidak suka ditinggalkan.”
Elric menoleh. “Kau pernah mencoba kabur?”
Lysandra menatap laut. “Berkali-kali. Dalam seratus tahun pertama… aku mencobanya hampir setiap minggu. Aku membuat perahu, aku berenang, aku teriak minta tolong ke langit… Tapi pulau ini punya pikirannya sendiri.”
Elric duduk. “Lalu kenapa sekarang kau menyerah?”
Lysandra menatapnya. Matanya merah, menahan air mata yang tak pernah jatuh. “Karena suatu hari, aku menyadari… pulau ini bukan sekadar penjara. Ia adalah tempat menebus kesalahan. Dan aku belum menebus cukup.”
Elric diam. Ia merasa ingin bertanya lebih, tapi bagian terdalam dari dirinya tahu—Lysandra belum siap bercerita semuanya.
Saat mereka berjalan kembali ke rumah, Elric menoleh sekali lagi ke laut. Bukan dengan harapan. Tapi dengan tantangan.
“Kalau kau hidup,” bisiknya pada pulau, “aku juga. Dan aku akan menemukan celahmu.”
Tapi di kejauhan, angin laut hanya menjawab dengan bisikan samar yang terdengar seperti tawa kecil…
Bab 5: Kekuatan yang Mengikat
Hari-hari di pulau itu berjalan begitu cepat. Terlalu cepat, seolah waktu di luar sana—di dunia yang Elric tinggalkan—tidak lagi penting. Bahkan ketika ia berusaha keras untuk mengingat apa yang terjadi sebelum ia menemukan pulau ini, semuanya terasa kabur. Wajah orang-orang yang ia kenal, suara deru kendaraan, bahkan hiruk-pikuk pelabuhan… semuanya semakin jauh. Pulau ini, entah bagaimana, telah menempatkan dirinya di pusat pikirannya.
Dan Lysandra… entah kenapa, semakin lama ia semakin sulit untuk dijauhkan dari pikirannya. Setiap kali Elric berbicara dengannya, ia merasa ada sesuatu yang menarik dirinya lebih dalam ke dalam dunia yang tak bisa dijelaskan itu.
Kehidupan mereka berdua semakin sering diwarnai kesunyian yang penuh makna. Elric mulai mengenal rutinitas pulau, tapi selalu ada yang mengganggu pikirannya—sebuah perasaan seperti ada yang mengikatnya pada tempat itu, pada Lysandra.
Suatu sore, Elric berdiri di bibir tebing, menatap laut yang tak pernah sepi. Laut yang seharusnya bebas, yang seharusnya tidak ada ikatan di dalamnya. Namun, ia merasa seolah-olah ia terikat oleh rantai tak kasatmata. Seperti pulau ini memiliki pengaruh lebih besar dari yang ia kira.
“Lysandra,” panggilnya pelan.
Lysandra berdiri di belakangnya, diam, seperti selalu. Ia hanya menunggu Elric untuk berbicara. “Kau tahu… kita terikat oleh sesuatu yang lebih kuat dari sekadar kenangan,” katanya pelan.
Lysandra berjalan mendekat, dan matanya menyiratkan sebuah kesedihan yang dalam. “Itu bukan sekadar kenangan, Elric. Pulau ini… punya cara untuk mengikat hati orang-orang. Kau mungkin merasa ingin pergi, tetapi hati dan pikiranmu sudah terikat di sini.”
“Terikat?” Elric menoleh, matanya tajam. “Maksudmu, pulau ini mengendalikan kita?”
“Bukan mengendalikan,” jawab Lysandra dengan suara rendah. “Tapi ia memberi pilihan. Ia membuatmu terikat pada seseorang atau sesuatu yang ada di sini, hingga kau tidak lagi bisa memilih. Itu bukan soal kehendak atau keinginan. Itu soal… kebutuhan. Keinginan yang tumbuh seiring waktu.”
Elric terdiam. “Apakah itu artinya… aku tidak bisa pergi?”
Lysandra menarik napas dalam-dalam, menatap laut yang tak bergerak. “Pulau ini membuatmu merasa seperti pilihan ada di tanganmu. Tetapi, seiring waktu, ia mulai mengikatmu. Kau mungkin berpikir bahwa kau bisa memilih untuk pergi kapan saja, tapi sebenarnya… kau sudah terjebak dalam jaringnya.”
Tiba-tiba, angin bertiup kencang, dan Elric merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Sesuatu menariknya ke dalam ketenangan itu, dan meskipun ada dorongan untuk melawan, ia juga merasa… nyaman. Lebih nyaman daripada yang ia inginkan.
“Aku tahu, kau merasa terikat padaku,” Lysandra melanjutkan dengan lembut. “Bukan hanya pulau ini yang punya kekuatan untuk mengikat hati. Tapi perasaan itu, Elric, datang dengan harga. Ketika kau mulai terikat pada sesuatu, ia akan selalu menarikmu lebih dalam.”
Elric menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat wanita itu tidak hanya sebagai seorang wanita yang terjebak di sini selama ratusan tahun. Ia melihatnya sebagai seseorang yang telah lama terikat dengan pulau ini—seperti dirinya.
“Apakah itu berarti… kita tidak bisa keluar?” suara Elric sedikit bergetar.
Lysandra memandangnya dengan mata yang sudah terbiasa dengan kebimbangan. “Kita bisa keluar… tapi bukan dengan cara yang kau pikirkan. Kita harus membuat pilihan. Pulau ini akan memilih siapa yang boleh pergi dan siapa yang harus tetap tinggal. Tapi pilihannya tidak sesederhana itu.”
Elric menggigit bibir, mencoba mencerna kata-kata itu. “Dan kau? Kau memilih untuk tetap tinggal?”
Lysandra terdiam. Ia menatap laut, dan Elric tahu ia sedang memikirkan masa lalu yang kelam. “Aku tidak punya pilihan. Aku terikat di sini, seperti kau akan terikat, jika kau terus tinggal.”
Elric merasa ada sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Ia merasakan ikatan itu, yang semakin kuat setiap kali ia melihat Lysandra. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin ia lawan, tapi… semakin lama ia semakin merasa seperti tidak bisa pergi. Pulau ini membuatnya merasa terlindungi, nyaman, tapi sekaligus terperangkap.
“Lysandra, apakah ada cara untuk menghentikan ini?” tanyanya, suara penuh harapan yang memantul di udara.
Lysandra menggelengkan kepala. “Tidak ada yang bisa mengubah takdir ini, Elric. Pulau ini memilih kita, dan sekarang kita hanya bisa memilih… bertahan atau melawan.”
Elric menatapnya dengan tatapan tajam. Meskipun kata-katanya penuh kebimbangan, ada satu hal yang pasti dalam pikirannya: ia tidak akan pernah menyerah begitu saja. Meski pulau ini mengikatnya, meski perasaan itu membuatnya semakin dekat dengan Lysandra, ia tidak bisa terus terperangkap dalam ikatan yang tak terlihat ini.
Ia harus menemukan cara untuk keluar. Untuk membebaskan diri dari kekuatan yang tak kasatmata ini.
Bab 6: Kenangan yang Disembunyikan
Hujan turun perlahan malam itu, membasahi atap rumah kayu tempat Elric berlindung bersama Lysandra. Hujan di pulau ini tak seperti hujan biasa—tidak deras, tidak juga dingin. Tapi anehnya, setiap tetesnya seperti membawa kenangan yang menggantung di udara. Seolah-olah pulau ini menangis, menyampaikan sesuatu yang tak pernah bisa diucapkan dengan kata-kata.
Elric duduk di dekat perapian, mengeringkan pakaiannya sambil memandangi api yang menari-nari. Lysandra duduk di seberangnya, diam. Tatapannya kosong, terpaku pada hujan di balik jendela. Sejak sore tadi, ia terlihat berbeda—lebih gelisah, lebih pendiam, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
“Aku tahu ada yang kau sembunyikan,” kata Elric tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya pelan, tapi tajam.
Lysandra tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas pelan, lalu berkata, “Aku menyembunyikan banyak hal, Elric. Tapi bukan karena aku ingin berbohong. Aku hanya takut… kau akan membenciku kalau tahu.”
Elric menatapnya. “Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya. Kenapa kau bisa berada di sini. Dan kenapa pulau ini… memilihmu.”
Diam beberapa saat, Lysandra akhirnya berdiri. Ia mengambil sebuah lilin dan memberi isyarat pada Elric untuk mengikutinya. Mereka berjalan melewati lorong kecil di belakang rumah, menuju pintu kayu tua yang tersembunyi di balik lemari. Lysandra membukanya dengan kunci kecil yang ia ambil dari kalungnya.
“Ini tempat yang tidak pernah aku buka sejak bertahun-tahun,” katanya pelan.
Tangga kayu menurun ke ruang bawah tanah. Dingin. Gelap. Tapi saat Lysandra menyalakan lilin, cahaya lembut mengungkap ruangan penuh lukisan, jurnal, dan benda-benda kuno yang tersusun rapi. Di salah satu sudut, ada cermin tinggi dengan bingkai emas yang penuh ukiran aneh—mirip simbol-simbol yang ada di peta Elric.
“Elric,” katanya dengan suara gemetar, “kau ingin tahu siapa aku sebenarnya? Lihatlah cermin itu.”
Elric melangkah mendekat. Ia berdiri di depan cermin dan… aneh. Refleksinya tidak langsung muncul. Yang terlihat pertama adalah bayangan Lysandra—tapi jauh lebih muda, berpakaian seperti bangsawan dari masa lalu. Wajahnya ceria. Ia sedang bersama seorang pria muda, tampan, bermata hijau… dan Elric tertegun karena pria itu… mirip dengannya.
“Mereka…?” Elric berbisik.
“Dia… adalah tunanganku,” jawab Lysandra lirih. “Namanya Caelan. Kami adalah anak-anak dari dua keluarga bangsawan yang dulu sering berlayar ke pulau-pulau untuk mencari kekuatan kuno. Dan suatu hari… kami menemukan pulau ini.”
Gambar di cermin berubah. Caelan dan Lysandra terlihat berdiri di altar batu di tengah hutan pulau. Ada cahaya bulan, ada mantra, dan kemudian… sesuatu berubah. Wajah Lysandra yang tadinya ceria menjadi panik.
“Kami… tamak,” katanya. “Kami ingin kekuatan abadi. Pulau ini menawarkan keabadian… tapi dengan syarat. Salah satu dari kami harus dikorbankan. Dan aku…” suara Lysandra mulai bergetar, “aku memilih untuk tetap hidup.”
Cermin menunjukkan Caelan, yang berlutut, terkejut… lalu perlahan lenyap menjadi debu. Lysandra menjerit, tapi semuanya sudah terlambat. Pulau itu mengikatnya sebagai penjaga—menjadi tahanan abadi atas pilihannya sendiri.
Elric melangkah mundur, dadanya sesak. “Kau… mengorbankan orang yang kau cintai demi keabadian?”
Lysandra mengangguk, air mata jatuh untuk pertama kalinya. “Aku pikir… aku bisa menebusnya dengan waktu. Dengan penyesalan. Tapi ternyata… rasa bersalah itu tidak pernah habis.”
Elric menatap Lysandra. Ada amarah, ya. Tapi lebih dari itu, ada rasa iba. Rasa kehilangan yang teramat dalam. Ia tahu Lysandra bukan orang jahat. Tapi pilihan masa lalunya telah mengubah segalanya.
“Kenapa sekarang kau tunjukkan semua ini padaku?”
“Karena pulau ini… memilihmu,” jawab Lysandra. “Dan karena kau harus tahu, jika kau jatuh cinta padaku… pulau ini akan menuntut harga yang sama.”
Elric terdiam.
Hujan masih turun di luar. Tapi di dalam ruang bawah tanah itu, sunyi terasa lebih menggema dari sebelumnya.
Ia baru sadar… bahwa pulau ini bukan hanya tempat hukuman. Tapi juga tempat ujian.
Dan dirinya… sedang diuji.
Bab 7: Cermin Kebenaran
Sejak malam itu, Elric tak pernah bisa tidur nyenyak. Wajah Caelan—pria di dalam cermin yang dikorbankan oleh Lysandra—selalu menghantui pikirannya. Bukan hanya karena kemiripannya dengan dirinya sendiri, tapi karena tatapan di mata pria itu saat menghilang: pasrah, kecewa… hancur.
Dan yang lebih mengganggunya lagi, Elric mulai bertanya—jika waktu bisa diputar ulang, apakah Lysandra akan membuat pilihan yang sama?
Hari ketiga sejak pengakuan itu, Elric kembali ke ruang bawah tanah sendirian. Ia berdiri di depan cermin yang sama. Waktu berhenti sejenak, dan saat ia menyentuh permukaannya… dunia seolah bergetar.
Cermin itu bukan sekadar benda tua—ia adalah jendela ke masa lalu. Elric tahu, jika ia menatap lebih dalam, ia bisa melihat kebenaran yang bahkan Lysandra tak berani tunjukkan padanya.
Dan ia melakukannya.
Perlahan, kabut muncul di dalam cermin, lalu berubah menjadi gambar: Lysandra muda tengah duduk di altar batu, menangis. Tapi bukan karena kehilangan Caelan—melainkan karena ia melihat sesuatu… seseorang… dari kejauhan. Elric mendekat, menatap lebih teliti.
Dan terkejut.
Itu adalah dirinya.
Tidak. Bukan dirinya—tapi seseorang yang persis seperti dirinya. Sama persis. Hanya pakaiannya yang berbeda: gaya bangsawan dari masa lalu.
“Apa ini…?”
Lalu suara muncul dari cermin. Suara Lysandra, tapi lebih muda.
“Kalau kau bisa mendengarku… aku tahu kau akan datang lagi, di masa depan. Aku tahu pulau ini akan menarikmu kembali. Aku tahu, karena ini bukan pertama kalinya.”
Elric membeku. Dadanya menegang.
“Kau adalah reinkarnasi Caelan. Pulau ini… terus mengulang waktu, terus memanggilmu kembali padaku. Mencoba memberi kita kesempatan kedua, tapi setiap kali… aku gagal membiarkanmu pergi.”
Suara itu pecah, dan cermin bergetar. Gambar berubah cepat, menampilkan berbagai versi dirinya—dalam pakaian berbeda, zaman berbeda. Semuanya berakhir sama: ia datang ke pulau, jatuh cinta, dan akhirnya terperangkap. Atau… dikorbankan.
Elric… bukan orang pertama. Tapi juga bukan orang biasa.
Dia adalah bagian dari lingkaran kutukan yang sama—jiwa yang terus dipanggil kembali oleh pulau untuk mengulangi takdirnya.
Cermin mendadak retak. Suara menggelegar menggema dari dalam.
“Kau harus memilih: bebaskan dirimu dan patahkan kutukan… atau ulangi lagi dan lagi… bersama dia.”
Elric mundur, napasnya memburu. Ia berlari keluar dari ruang bawah tanah, hujan kembali turun, tapi ia tak peduli. Ia menemukan Lysandra di luar, berdiri di bawah pohon tua, menatap laut seperti biasa.
“Kenapa kau tak bilang semuanya padaku?” teriak Elric.
Lysandra tak menoleh. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Karena aku takut kau akan membenciku.”
“Kau terus membiarkanku datang! Kau tahu siapa aku! Kau tahu aku adalah… dia!”
Akhirnya Lysandra menoleh. Air matanya jatuh tanpa suara. “Aku tahu. Tapi setiap kali kau datang lagi… aku selalu berharap kau memilihku.”
“Berapa kali ini terjadi?”
“Delapan,” jawabnya pelan. “Kau datang dalam delapan bentuk berbeda. Dan selalu berakhir sama. Kau mencintaiku. Aku tidak bisa melepaskanmu. Pulau memilih… dan akhirnya, kau selalu tinggal.”
Elric terduduk. Tubuhnya lemas.
Pulau ini… bukan hanya tempat terkutuk. Ia adalah lingkaran. Penjara yang dibungkus cinta, tapi sebenarnya adalah jerat waktu yang tidak pernah membebaskan.
“Dan jika aku memilih pergi sekarang?” tanya Elric.
“Pulau akan memintaku memilih… antara kebebasanku… atau hidupmu.”
Elric menatapnya. “Dan jika kau memilih pergi?”
Lysandra tak menjawab.
Dan di detik itu, Elric sadar: takdir mereka bukan tentang cinta, tapi tentang keberanian untuk melepaskan.
Bab 8: Pilihan yang Tak Mudah
Angin malam meniup lembut, membawa aroma laut dan kesedihan yang menggantung di udara. Elric duduk di dekat api unggun yang ia buat di tepi pantai. Matanya kosong menatap bara yang memerah, tapi pikirannya berkecamuk hebat. Pilihan itu terus menghantuinya, seperti dua jalan sempit yang sama-sama berujung luka.
Lysandra duduk tak jauh darinya. Mereka belum saling bicara sejak percakapan terakhir di bawah hujan itu. Masing-masing larut dalam pikiran, dalam ingatan, dalam rasa yang tak bisa diputus begitu saja.
“Kalau kau bisa pergi,” suara Lysandra pelan memecah kesunyian, “apa yang akan kau lakukan?”
Elric menoleh, matanya sayu. “Entah. Aku bahkan tak yakin dunia luar masih seperti dulu. Rasanya… aku sudah terlalu lama di sini.”
Lysandra mengangguk pelan, lalu menatap langit. “Tapi pulau ini tak pernah lupa. Ia hanya… terus mengulang. Ia tak akan berhenti sampai salah satu dari kita memilih berbeda.”
Elric mengerutkan dahi. “Memilih berbeda?”
“Ya. Seseorang harus… membebaskan yang lain. Tapi pulau ini tidak akan membiarkan keduanya pergi. Kau tahu itu,” bisik Lysandra.
Hening. Hanya suara api yang membara.
“Elric… malam ini, bulan berada di puncaknya. Ini adalah satu-satunya malam dalam satu abad, saat pulau memberikan kesempatan untuk memilih.”
Elric bangkit berdiri. “Kau bilang aku bisa pergi, tapi kenangan tentangmu akan hilang. Tapi kalau aku tinggal, aku akan terus terjebak di sini, dalam siklus yang sama. Dan kau… akhirnya bebas?”
Lysandra menatapnya dengan mata basah. “Ya. Karena pulau ini tahu… apa yang paling berharga bagiku.”
Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Elric. Tangannya gemetar saat menyentuh pipinya.
“Kau adalah satu-satunya hal yang pernah membuatku merasa hidup di tempat ini,” ucapnya. “Setiap kali kau datang dalam bentuk yang berbeda, aku selalu berharap… mungkin kali ini, kau akan memilihku. Tapi mungkin… justru akulah yang harus memilih.”
Elric memegang tangannya. “Dan kau akan memilih… apa?”
Lysandra menatap matanya lama sekali, seakan ingin menyimpan wajah Elric dalam hatinya untuk selamanya. Lalu dengan suara nyaris berbisik, ia berkata, “Aku akan membebaskanmu.”
Elric terdiam. Napasnya tercekat. “Tapi… kalau aku pergi, aku akan lupa semuanya. Kita… semuanya.”
Lysandra tersenyum, namun matanya basah. “Mungkin itu cara terbaik untuk menyembuhkan kita. Mengakhiri kutukan ini.”
Bulan mulai bersinar lebih terang, cahaya keperakan menyelimuti tubuh mereka. Tanah di sekitar kaki Lysandra mulai bersinar samar, seperti tanda dari pulau bahwa keputusan telah dibuat.
“Elric,” bisiknya, “dengar aku baik-baik. Saat kau menyeberangi batas cahaya itu, kenanganmu tentang pulau dan aku akan menghilang. Tapi jika suatu hari, di dunia luar, hatimu merasa kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan… itu aku.”
Elric menahan air mata. Ia ingin berkata tidak. Ia ingin bertahan. Tapi ia tahu—jika ia tetap tinggal, semuanya akan terulang lagi. Cinta yang indah, tapi terjebak dalam penderitaan tak berujung.
Ia mencium kening Lysandra perlahan, satu sentuhan yang penuh luka dan harapan.
“Terima kasih… karena mencintaiku, bahkan setelah semua yang terjadi,” bisiknya.
Lysandra tersenyum dengan air mata jatuh. “Selamat tinggal… Elric.”
Dan saat ia melangkah menyeberangi batas cahaya itu—semuanya mulai memudar.
Suara pulau, suara Lysandra, kenangan tentang cinta yang ajaib—semua terhapus perlahan.
Tubuhnya lenyap ke dalam cahaya.
Dan Lysandra berdiri sendiri di pantai, memandangi laut yang kini benar-benar kosong untuk pertama kalinya.
Ia tahu Elric telah pergi.
Dan untuk pertama kalinya… pulau itu sunyi.
Bab 9: Malam Terakhir di Bawah Bulan
Angin laut kembali berembus, tapi kali ini terasa hampa. Seolah pulau itu… bernapas dalam diam, menerima kepergian Elric dengan tenang. Tak ada kabut, tak ada bisikan, tak ada bisikan ilusi. Hanya Lysandra, berdiri sendirian di pantai, menatap tempat terakhir di mana Elric menghilang ke dalam cahaya.
Pulau itu, untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun, benar-benar sepi.
Ia kembali ke rumah kayu itu. Setiap sudutnya mengingatkan pada Elric. Cangkir teh yang biasa ia gunakan, perapian tempat mereka duduk, lukisan yang pernah ia kagumi. Semua menjadi sisa-sisa kehadiran yang tak akan pernah kembali.
Lysandra menyentuh cermin yang dulu menunjukkan masa lalu. Kali ini, cermin itu tidak menunjukkan apa-apa selain pantulan dirinya. Tak ada lagi masa lalu yang harus ditonton. Tak ada lagi wajah Elric dalam bentuk lain.
Ia duduk di kursi tua, menatap langit dari jendela. Bulan masih menggantung—penuh, terang, dan diam. Malam itu seharusnya menjadi malam kebebasannya. Malam saat kutukan berakhir. Tapi yang ia rasakan bukan kebebasan… melainkan kehilangan.
“Aku membebaskanmu, Elric…” bisiknya, suara parau. “Tapi aku yang tetap terkurung.”
Pulau itu, meskipun telah membiarkan Elric pergi, tidak menghilang. Ia masih berdiri teguh, masih menyimpan energi magis, masih hidup. Dan itu berarti satu hal: kutukan belum sepenuhnya berakhir.
Saat malam semakin larut, suara aneh mulai terdengar. Seperti detakan. Lalu bisikan. Bukan dari pulau… tapi dari dalam dirinya sendiri.
Lysandra mengikuti suara itu, menuju bagian terdalam dari rumah. Ada satu pintu—yang bahkan selama berabad-abad pun tak pernah ia buka. Sebuah ruang yang ia pikir tak akan pernah dibutuhkan.
Tangannya gemetar saat menyentuh gagang pintu.
Saat pintu terbuka, sinar biru menyilaukan menyambutnya. Di tengah ruangan itu, terdapat altar batu—yang sama dengan yang pernah ia gunakan ratusan tahun lalu untuk memilih keabadian.
Tapi altar itu kini… kosong.
Dan di lantainya… terukir kata-kata baru:
“Satu memilih pergi. Satu memilih tinggal. Tapi cinta sejati tak pernah bisa dibagi.”
Lysandra tertegun.
Apa maksudnya?
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar. Bukan hewan. Bukan angin. Itu—langkah manusia.
Ia berlari keluar, jantungnya berdegup kencang.
Dan di pantai—berdiri seorang pria. Ia tampak linglung, bingung. Rambutnya basah, pakaiannya berbeda. Wajahnya… wajah yang tak asing.
“Elric?” bisik Lysandra, tak percaya.
Tapi pria itu hanya menatapnya dengan mata asing. “Siapa kau?”
Lysandra mundur satu langkah. “Kau… kembali?”
“Aku tidak tahu bagaimana aku sampai di sini,” kata pria itu. “Aku hanya ingat… suara. Dan cahaya. Lalu… tempat ini.”
Lysandra menutup mulutnya dengan tangan, air matanya jatuh.
Elric telah kembali.
Tapi… ia tak mengingat siapa dirinya.
Pulau tidak membiarkannya pergi begitu saja. Ia tak mengambil jiwanya. Tapi ia mengambil… ingatan.
Pulau memilih jalan tengah.
Mereka tidak bisa bersama seperti dulu. Tapi mereka juga tidak sepenuhnya terpisah.
“Namamu… Elric,” kata Lysandra pelan, mencoba menyembunyikan getaran suaranya. “Dan kau… aman di sini.”
Pria itu mengangguk pelan, masih bingung. “Elric… ya. Sepertinya… itu nama yang familiar.”
Malam itu, mereka duduk berdampingan di pantai, seperti dua orang asing yang merasa pernah saling mengenal tapi tak tahu dari mana. Lysandra tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya memandangi bulan.
Malam terakhir di bawah bulan seharusnya menjadi malam perpisahan.
Tapi ternyata… pulau belum selesai dengan mereka.
Bab 10: Siapa yang Dipilih Pulau?
Pagi itu datang pelan-pelan, seolah tahu bahwa semalam dunia telah berubah. Langit pulau tampak lebih cerah dari biasanya, tapi bagi Lysandra, hatinya masih penuh awan.
Elric—atau seseorang yang menyerupainya—berada di rumah bersamanya sekarang. Tapi tanpa kenangan. Tanpa rasa. Hanya tubuh dan jiwa yang kembali… kosong.
Ia tersenyum saat melihatnya duduk di beranda, menyesap teh dengan tenang. Tapi di balik senyuman itu, hatinya berteriak. Rasanya seperti jatuh cinta untuk kedua kalinya, tapi pada seseorang yang sudah tak mengenalnya lagi.
“Aku… merasa nyaman di sini,” ujar Elric tiba-tiba, memecah keheningan. “Entah kenapa… aku merasa pernah berada di tempat ini. Tapi semuanya kabur.”
Lysandra menoleh pelan. “Mungkin… karena jiwamu pernah memilih tempat ini.”
Elric menatapnya dalam. “Apa kau percaya pada… cinta yang tak bisa dijelaskan?”
Lysandra nyaris menitikkan air mata. “Aku tidak hanya percaya… aku mengalaminya.”
Hari-hari berlalu, dan Elric mulai terhubung lagi dengan pulau. Ia kembali menjelajah hutan, menanyakan hal-hal kecil, tertawa dengan Lysandra meski tak tahu mengapa ia merasa begitu nyaman di dekatnya.
Tapi di balik semua itu, pulau masih mengamati. Diam-diam. Seolah belum benar-benar membuat keputusan.
Sampai suatu malam, ketika bulan kembali menggantung di langit, Elric terbangun karena mendengar bisikan. Ia mengikuti suara itu ke tengah hutan, ke tempat altar batu itu berdiri. Lysandra menyusul tak lama setelahnya.
Altar itu bersinar lagi—dan kini dua cahaya muncul. Satu di tempat Lysandra berdiri. Satu lagi… di bawah kaki Elric.
Pulau memberi pilihan lagi. Terakhir kalinya.
Suara gaib terdengar di udara—tidak jelas, seperti gema yang hanya bisa dimengerti dengan hati.
“Kini kalian berdua harus memilih. Satu boleh pergi. Satu harus tinggal. Tapi jika kalian memilih satu sama lain… maka kalian akan tinggal selamanya.”
Elric menatap Lysandra. “Apa maksudnya? Aku tak mengerti… Tapi aku… aku merasa aku ingin tinggal. Di sini. Denganmu.”
Lysandra tercekat. “Kau tak tahu siapa aku. Kau tak tahu apa yang telah kulakukan padamu di kehidupan sebelumnya.”
“Aku tak butuh tahu masa lalu untuk tahu bahwa hatiku tenang saat bersamamu.”
Suara pulau kembali terdengar:
“Jika dua jiwa saling memilih, maka pulau tak lagi menjadi penjara. Tapi menjadi rumah. Tapi jika hanya satu memilih… maka yang lain akan hilang.”
Lysandra menggigil. “Elric, ini… keputusan yang tak bisa diulang.”
Ia menatap pria yang pernah ia korbankan, yang telah kembali dalam bentuk yang sama, namun tanpa luka.
“Kalau aku memilih pergi, dan kau tinggal… kau akan lupa lagi. Kita akan mulai lagi, dari nol, selamanya. Tapi kalau kita tinggal bersama, kita akan kehilangan dunia luar… dan terperangkap selamanya di sini.”
Elric menatap matanya dalam. “Tapi jika bersamamu… aku tidak merasa terperangkap.”
Lysandra menahan napas.
Dan bersamaan—mereka melangkah ke tengah altar.
Cahaya menyelimuti mereka berdua. Tapi kali ini… tidak ada jeritan, tidak ada rasa sakit.
Pulau menerima pilihan mereka.
Dan perlahan, kabut di sekeliling pulau lenyap. Tapi pulau tidak menghilang. Ia tetap ada. Namun tak lagi terlarang. Tak lagi tersembunyi.
Elric dan Lysandra membangun hidup baru—dengan perasaan yang tumbuh perlahan, tanpa kutukan, tanpa rasa bersalah. Hanya dua orang yang saling mencinta, memilih untuk tinggal di dunia yang tidak mengenal waktu.
Di luar sana, pulau itu masih dianggap legenda. Masih ada peta-peta tua yang menunjuk ke arah kosong di laut.
Tapi bagi mereka berdua… pulau itu bukan lagi tempat terkutuk.
Pulau itu adalah rumah.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.