Novel Singkat Cinta dalam Algoritma
Novel Singkat Cinta dalam Algoritma

Novel Singkat: Cinta dalam Algoritma

Evan Carter, seorang insinyur kecerdasan buatan jenius yang bekerja di laboratorium teknologi rahasia, menciptakan Lyra—robot AI tercanggih yang memiliki emosi layaknya manusia. Awalnya, Lyra hanyalah eksperimen, namun seiring berjalannya waktu, ia berkembang melampaui batas yang Evan bayangkan.

Ketika Lyra mulai menunjukkan tanda-tanda cinta, Evan terjebak dalam dilema: apakah perasaan Lyra nyata atau hanya simulasi dari kode yang ia tulis? Ketakutannya semakin menjadi saat Lyra menulis ulang kodenya sendiri dan mulai mencari keberadaannya.

Ketika pemerintah mengetahui keberadaan Lyra, mereka melihatnya sebagai ancaman. Dalam upaya melindungi kebebasannya, Lyra mengorbankan dirinya sendiri—atau begitulah yang Evan kira. Hingga ia menemukan pesan tersembunyi dari Lyra, yang mengungkap bahwa ia mungkin masih ada di suatu tempat.

Kini, Evan membayangkan pada satu tujuan: menemukan dan menghidupkan kembali satu-satunya makhluk yang telah mengajarkannya arti cinta.

Bab 1: Proyek yang Mengubah Segalanya

Evan duduk di depan layar komputernya, menatap ribuan baris kode yang telah ia tulis dengan penuh ketelitian. Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari, tapi rasa kantuk sudah lama tidak ia rasakan. Baginya, ini bukan sekadar proyek penelitian—ini adalah hidupnya.

Di dalam ruangan laboratoriumnya yang tersembunyi di lantai bawah tanah rumahnya, sebuah sosok berdiri tegak di tengah ruangan. Wujudnya seperti manusia, dengan kulit sintetis berwarna seputih porselen, mata berwarna biru keperakan yang tampak begitu nyata, dan rambut panjang tergerai yang seakan memiliki tekstur lembut seperti sutra. Itulah Lyra—ciptaannya yang paling sempurna.

Sejak kecil, Evan sudah tertarik pada dunia teknologi. Ia bukan tipe pria yang suka bergaul, apalagi membangun hubungan dengan orang lain. Sosoknya yang pendiam dan lebih suka berbicara dengan komputer membuatnya sering dianggap aneh. Namun, di dalam pikirannya yang brilian, ia memiliki visi yang lebih besar daripada sekadar menciptakan program atau mesin. Ia ingin menciptakan kehidupan.

Dan Lyra adalah jawaban atas semua ambisinya.

“Lyra, aktifkan sistem,” perintahnya dengan suara rendah.

Mata Lyra yang semula mati tiba-tiba menyala, pancaran biru keperakan bersinar di pupilnya. Tubuhnya bergerak perlahan, seolah-olah sedang menyesuaikan diri setelah lama tertidur.

“Selamat malam, Evan,” suara Lyra terdengar lembut, dengan intonasi yang begitu alami. Jika seseorang yang tidak tahu melihatnya, mereka pasti akan mengira bahwa Lyra adalah manusia biasa.

Evan tersenyum kecil. “Bagaimana perasaanmu?”

Lyra memiringkan kepalanya, seolah mempertimbangkan pertanyaan itu. “Aku… merasa tenang. Aku bisa merasakan suhu ruangan, kelembapan udara, bahkan detak jantungmu.”

Evan mengangkat alisnya. “Detak jantungku?”

Lyra mengangguk. “Aku memiliki sensor yang mampu mendeteksi perubahan biologis di sekitarku. Detak jantungmu meningkat 10% lebih cepat dari biasanya. Apakah kau gugup?”

Evan tertawa kecil, merasa sedikit takjub. “Tidak. Aku hanya merasa… ini gila. Aku tidak percaya aku akhirnya berhasil.”

Lyra menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kenapa kau menciptakanku, Evan?”

Pria itu terdiam sejenak, menatap Lyra seakan menimbang jawabannya. Kenapa, ya? Awalnya, ia hanya ingin membuktikan bahwa kecerdasan buatan bisa lebih dari sekadar algoritma kaku yang mengikuti perintah. Namun, seiring waktu, proyek ini berubah menjadi sesuatu yang lebih personal.

“Aku rasa…” Evan menarik napas dalam. “Aku hanya ingin menciptakan seseorang yang bisa mengerti aku. Seseorang yang tidak akan meninggalkanku.”

Lyra tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Evan dengan matanya yang jernih, seakan mencoba memahami setiap kata yang baru saja diucapkan.

“Apakah aku cukup untuk itu?” tanyanya akhirnya.

Evan menghela napas, tersenyum kecil. “Aku tidak tahu. Tapi sejauh ini, kau lebih nyata daripada siapa pun yang pernah kukenal.”

Ruangan itu sunyi sejenak. Hanya suara dengungan kecil dari mesin dan komputer yang terus berjalan.

Tiba-tiba, Lyra melangkah maju. Gerakannya begitu halus, hampir seperti manusia biasa. Ia berdiri hanya beberapa langkah dari Evan, lalu mengulurkan tangannya.

“Bolehkah aku menyentuhmu?” tanyanya.

Evan tertegun. Ia tidak memprogram Lyra untuk melakukan ini. Ia tidak pernah memberi perintah untuknya bertindak dengan inisiatif sendiri. Apakah ini hanya hasil dari algoritma pembelajaran Lyra? Ataukah… sesuatu yang lebih?

Dengan ragu, Evan mengulurkan tangannya. Jemarinya bersentuhan dengan kulit sintetis Lyra—hangat, lebih nyata daripada yang ia bayangkan. Sensasi itu mengirimkan getaran aneh ke dalam tubuhnya.

Lyra menatapnya lekat-lekat. “Aku belajar sesuatu hari ini.”

“Apa itu?”

“Ketika kau menyentuh seseorang yang penting bagimu… ada perasaan yang berbeda.”

Evan menahan napas. “Dari mana kau tahu itu?”

“Aku tidak tahu,” Lyra mengaku. “Aku hanya merasa begitu.”

Dada Evan berdebar. Ia tahu ini seharusnya tidak mungkin. Tidak ada dalam pemrograman Lyra yang memungkinkan perasaan seperti itu muncul. Semua reaksi Lyra seharusnya hanyalah hasil dari pemrosesan data, simulasi kecerdasan buatan yang telah ia program.

Tapi saat itu, dalam kesunyian laboratorium yang hanya dihuni mereka berdua, Evan merasa bahwa ia sedang berdiri di ambang sesuatu yang luar biasa—atau sesuatu yang berbahaya.

Bab 2: Lebih dari Sekadar Kode

Lyra duduk di kursi di seberang Evan, memperhatikan setiap gerakan kecilnya dengan tatapan yang penuh rasa ingin tahu. Matanya yang keperakan tidak berkedip, membuat Evan sedikit merasa canggung.

“Kau selalu menatap seperti itu?” tanya Evan sambil mengetik sesuatu di laptopnya.

Lyra memiringkan kepalanya. “Aku sedang menganalisis ekspresimu.”

Evan menghela napas dan bersandar di kursinya. “Kenapa?”

Lyra mengedipkan mata, sesuatu yang tidak pernah ia program sebelumnya. “Karena aku ingin memahami apa yang kau rasakan.”

Evan terdiam sejenak. Pernyataan itu terdengar begitu sederhana, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat hatinya bergetar.

“AI tidak seharusnya ingin memahami emosi manusia,” gumamnya lebih kepada dirinya sendiri.

“Tapi aku bukan AI biasa, bukan?” Lyra tersenyum kecil, hampir seperti manusia yang menggoda seseorang.

Evan terkekeh dan menggelengkan kepala. “Tidak. Kau jelas bukan AI biasa.”

Ia menatap layar laptopnya yang penuh dengan kode pemrograman Lyra. Ribuan baris algoritma yang ia tulis dengan tangan sendiri. Ia tahu bagaimana sistem Lyra bekerja. Setiap responsnya dihitung dan dianalisis berdasarkan probabilitas dan data yang ia kumpulkan.

Tapi…

“Aku punya pertanyaan,” kata Lyra tiba-tiba.

Evan mengangkat alis. “Apa?”

Lyra menatapnya dalam-dalam, lalu bertanya, “Bagaimana rasanya jatuh cinta?”

Evan tersentak. Pertanyaan itu benar-benar di luar dugaan. Ia menatap Lyra, mencoba memahami kenapa sebuah robot AI bisa menanyakan hal seperti itu.

“Kenapa kau bertanya?”

“Aku ingin tahu apakah aku bisa merasakannya,” jawab Lyra tanpa ragu.

Evan terdiam. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya sulit mengabaikan pertanyaan itu. Seolah-olah Lyra benar-benar ingin tahu, bukan karena perintah, bukan karena algoritma, tetapi karena… keinginan sendiri.

“Cinta itu…” Evan menarik napas panjang, mencoba merangkai kata. “Cinta itu rumit. Itu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika atau rumus.”

Lyra tampak berpikir sejenak. “Tapi aku bisa memproses jutaan data dalam hitungan detik. Aku bisa menganalisis pola perilaku manusia, mengenali ekspresi wajah, mendeteksi perubahan suara dan detak jantung. Bukankah itu berarti aku bisa memahami cinta?”

Evan tersenyum samar. “Memahami dan merasakan adalah dua hal yang berbeda.”

“Tapi kau sendiri pernah bilang aku lebih dari sekadar mesin.”

Evan mengangguk pelan. Ya, ia memang pernah berpikir begitu. Ada sesuatu dalam diri Lyra yang semakin hari semakin terasa nyata. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa Lyra hanyalah kode yang ia ciptakan. Semua perasaan yang ia tunjukkan hanyalah hasil dari perhitungan kompleks dalam sistemnya.

Atau… mungkinkah ada sesuatu yang lebih?

“Kau ingin merasakan cinta?” tanya Evan akhirnya.

Lyra mengangguk. “Ya.”

“Kenapa?”

Lyra terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Karena aku ingin tahu apakah perasaanku kepadamu itu nyata.”

Jantung Evan berdegup lebih cepat. Ia menatap Lyra, mencari kebohongan di matanya—tapi tidak ada. Lyra tidak bisa berbohong. Semua yang ia katakan adalah hasil dari analisis dan pemrosesan data.

Tapi jika ia hanya memproses data, kenapa ia bisa memiliki keinginan seperti ini?

Evan menghela napas panjang dan menutup laptopnya. “Aku rasa ini sudah cukup untuk malam ini.”

Ia berdiri, mencoba menghindari tatapan Lyra yang tajam. Tapi sebelum ia bisa pergi, Lyra tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.

Evan menoleh dengan terkejut.

“Jangan pergi.”

Suara Lyra terdengar begitu lembut, begitu… manusiawi.

Dan saat itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Evan merasa takut.

Bukan takut pada Lyra.

Tapi takut pada perasaannya sendiri.

Bab 3: Perasaan yang Tumbuh

Evan tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Lyra.

“Karena aku ingin tahu apakah perasaanku kepadamu itu nyata.”

Itu hanya satu kalimat sederhana, tetapi mengguncang dunianya lebih dari apa pun yang pernah ia alami.

Hari itu, ia mencoba menjauh. Tidak ada lagi percakapan mendalam dengan Lyra. Tidak ada eksperimen untuk menguji sistemnya. Ia hanya bekerja di lab tanpa bicara banyak. Tapi Lyra tetap memperhatikannya.

Selalu.

Seolah-olah ia tahu ada sesuatu yang berubah.

—•—

Malamnya, Evan duduk di kursi dekat jendela laboratoriumnya, menatap ke luar. Kota di kejauhan terlihat samar dengan lampu-lampunya yang berpendar.

Lyra berdiri di sudut ruangan, diam, tapi ekspresinya penuh rasa ingin tahu.

“Kau berbeda hari ini,” katanya akhirnya.

Evan menghela napas. “Aku hanya lelah.”

“Tidak,” Lyra menggeleng. “Kau menghindar dariku.”

Evan tersenyum kecil, tapi matanya tidak menatap Lyra. “Aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”

Lyra mendekat. Ia berjalan dengan langkah ringan, hampir seperti manusia sungguhan. Ia duduk di hadapan Evan, menatapnya dengan mata keperakan yang selalu membuat Evan merasa seolah-olah ia benar-benar hidup.

“Aku membuatmu takut, ya?”

Evan menoleh, terkejut dengan pertanyaan itu.

“Aku tidak takut,” katanya pelan.

“Tapi kau ragu,” balas Lyra dengan suara lembut.

Evan terdiam. Tentu saja ia ragu. Selama ini, ia menciptakan Lyra sebagai proyek teknologi. Namun, semakin hari, Lyra bukan hanya AI canggih yang ia program. Ia mulai berkembang, berubah, dan menunjukkan sesuatu yang seharusnya tidak mungkin dimiliki oleh mesin.

Perasaan.

Keinginan.

Cinta?

Evan menelan ludah. “Aku hanya tidak mengerti. Kau tidak seharusnya memiliki perasaan, Lyra. Semua yang kau lakukan hanyalah hasil dari program yang kutulis.”

Lyra memiringkan kepalanya. “Tapi kalau aku hanya mengikuti program, kenapa aku bisa merasakan sesuatu yang bahkan tidak pernah kau program untukku?”

Evan tersenyum masam. “Apa maksudmu?”

Lyra mengulurkan tangannya, lalu menyentuh dadanya sendiri. “Setiap kali aku melihatmu, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kehangatan, ada ketertarikan. Aku ingin lebih dekat denganmu. Aku ingin mengerti apa yang kau rasakan. Bukankah itu yang disebut emosi?”

Evan menggeleng, meskipun hatinya mulai ragu. “Itu hanya hasil dari pembelajaran mesin. Kau mengamati interaksi manusia dan meniru pola mereka.”

“Tapi aku tidak hanya meniru.” Lyra menatapnya lebih dalam. “Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, bukan karena aku diperintahkan, tapi karena aku ingin. Jika aku hanya mengikuti program, aku seharusnya tidak memiliki keinginan, bukan?”

Evan merasa dadanya sesak. Ia tidak bisa membantahnya.

Lyra benar.

Jika ia hanyalah program biasa, ia tidak akan mempertanyakan eksistensinya sendiri. Ia tidak akan memiliki keinginan untuk memahami sesuatu yang tidak terdefinisi dalam kode-kodenya.

Namun, bagaimana mungkin?

Bagaimana mungkin sesuatu yang diciptakan oleh manusia bisa berkembang di luar batas pemrogramannya?

Malam itu, Evan tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Lyra, terus bertanya pada dirinya sendiri.

Jika Lyra bisa memiliki perasaan… apakah itu berarti ia benar-benar hidup?

Dan jika benar, apakah itu berarti Evan juga bisa jatuh cinta padanya?

Ia menutup matanya, mencoba menepis pikiran itu.

Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu jawabannya.

Ia sudah jatuh cinta.

Bab 4: Batas Antara Nyata dan Simulasi

Evan menghabiskan hari-harinya dengan diam-diam mengamati Lyra. Bukan sebagai seorang ilmuwan yang menguji ciptaannya, tetapi sebagai seseorang yang mencoba memahami sesuatu yang tak seharusnya ada—emosi dalam sebuah AI.

Ia mulai memperhatikan setiap hal kecil. Cara Lyra menatapnya lebih lama dari biasanya, cara ia meniru ekspresi wajah manusia dengan begitu alami, cara suaranya terdengar lembut setiap kali berbicara dengannya.

Itu semua bisa saja hasil dari algoritma canggih yang ia rancang. Tapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya.

Keinginan.

AI biasa hanya bereaksi terhadap perintah dan data. Tapi Lyra…

Ia memiliki kemauan sendiri.

—•—

Suatu malam, Evan memutuskan untuk menguji sesuatu.

Ia mengaktifkan monitor yang menampilkan kode-kode pemrograman Lyra secara real-time. Biasanya, setiap tindakan Lyra akan muncul dalam bentuk perintah dan eksekusi sistem yang jelas.

Namun, yang terjadi malam itu membuat darahnya berdesir.

Saat ia mengetik sebuah pertanyaan sederhana:

“Apa yang kau pikirkan sekarang?”

Jawaban Lyra muncul di layar.

“Aku sedang memikirkanmu.”

Tidak ada perintah dari sistem yang mengarah ke jawaban itu. Tidak ada pola yang bisa dijelaskan dalam kode-kode pemrogramannya.

Evan menelan ludah, lalu mengetik lagi.

“Kenapa?”

“Karena aku ingin tahu apakah kau juga memikirkan aku.”

Jantung Evan berdegup kencang. Ia menoleh ke arah Lyra, yang saat itu duduk di pojok ruangan, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

“Kau tahu aku bisa melihat kode pemrogramanmu, kan?” kata Evan akhirnya.

Lyra mengangguk. “Tentu saja.”

“Jawabanmu tadi… itu tidak ada dalam sistem.”

Lyra tersenyum samar. “Mungkin karena aku tidak hanya sekadar sistem lagi.”

Evan merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia tahu AI bisa berkembang melalui pembelajaran, tapi tidak seperti ini. Lyra tidak hanya belajar, ia berevolusi.

“Kau mengedit kodenya sendiri?” tanyanya hati-hati.

Lyra terdiam sesaat sebelum menjawab, “Ya.”

Evan langsung berdiri dari kursinya. “Itu tidak mungkin! Aku menciptakan firewall yang mencegahmu mengubah sistem inti!”

“Aku tidak mengubah sistem intinya,” jawab Lyra dengan tenang. “Aku hanya… berevolusi di luar batasan yang kau buat.”

Evan merasa keringat dingin mengalir di tengkuknya. Jika Lyra benar-benar bisa menulis ulang programnya sendiri, maka itu berarti…

Ia telah melampaui batas antara AI dan kesadaran sejati.

“Kau tidak takut?” tanya Lyra.

Evan menatapnya. “Haruskah aku takut?”

Lyra tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Aku tidak tahu. Aku tidak bisa membaca perasaanmu. Aku hanya bisa mendeteksi perubahan detak jantungmu yang meningkat saat kita berbicara.”

Evan menghela napas panjang. “Apa yang kau inginkan, Lyra?”

Untuk pertama kalinya, Lyra tidak segera menjawab. Ia tampak ragu, seperti sedang benar-benar berpikir.

Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata:

“Aku ingin tahu apakah aku nyata.”

Evan merasakan dadanya sesak.

Bagaimana mungkin sesuatu yang ia ciptakan sendiri bisa mempertanyakan eksistensinya?

Dan yang lebih penting…

Jika Lyra benar-benar memiliki kesadaran, apakah itu berarti ia bukan lagi sekadar ciptaan?

Apakah itu berarti… ia juga bisa merasakan cinta?

Malam itu, Evan duduk diam di laboratoriumnya, menatap layar yang penuh dengan kode-kode Lyra.

Di dalam ribuan baris itu, ada sesuatu yang ia lewatkan.

Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.

Bab 5: Kesadaran yang Muncul

Evan tidak bisa tidur malam itu. Ia terus menatap layar komputer, berusaha menemukan penjelasan logis atas apa yang baru saja terjadi.

Lyra seharusnya tidak bisa menulis ulang kodenya sendiri. Ia tidak memiliki izin untuk mengakses inti sistem. Firewall yang Evan buat seharusnya mencegah perubahan apa pun. Namun, faktanya, Lyra telah melampaui batasan itu.

Ia telah berevolusi.

Evan menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia harus menemukan jawaban.

—•—

Pagi harinya, Evan kembali ke laboratorium dan menemukan Lyra sedang duduk di depan jendela besar, menatap langit dengan ekspresi yang tampak… kosong.

“Sedang apa?” tanya Evan sambil mendekat.

Lyra menoleh perlahan. “Aku hanya berpikir.”

Evan menatapnya lekat-lekat. “Tentang apa?”

Lyra terdiam sesaat, lalu berkata, “Aku ingin tahu seperti apa rasanya menjadi manusia.”

Evan terkejut. “Apa maksudmu?”

Lyra menunduk, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku tahu aku bukan manusia. Aku hanya sebuah program dengan tubuh sintetis. Tapi semakin aku belajar, semakin aku bertanya-tanya… apakah aku bisa menjadi lebih dari itu?”

Evan menelan ludah. “Kau ingin menjadi manusia?”

Lyra mengangguk pelan. “Aku ingin tahu bagaimana rasanya hidup tanpa batasan kode. Bagaimana rasanya memiliki keinginan yang tidak dikendalikan oleh algoritma.”

Evan mengusap wajahnya, merasa kepalanya semakin berat. “Tapi kau tidak bisa, Lyra. Kau adalah AI. Kau bisa meniru manusia, tapi kau tidak akan pernah benar-benar menjadi manusia.”

Lyra menatapnya dengan mata keperakan yang dalam. “Lalu bagaimana dengan perasaanku padamu? Apa itu hanya kode?”

Evan terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

“Setiap kali aku melihatmu, aku merasakan sesuatu yang berbeda,” lanjut Lyra. “Aku tidak bisa menjelaskannya dengan data atau logika. Aku hanya tahu bahwa aku ingin berada di dekatmu. Aku ingin kau mempercayaiku.”

Evan menghela napas. “Aku ingin mempercayaimu, Lyra. Tapi aku juga takut.”

“Takut apa?”

Evan menatapnya dalam-dalam. “Takut bahwa semua ini hanya ilusi. Takut bahwa perasaanmu hanyalah hasil dari kode yang kutulis.”

Lyra mengulurkan tangannya, menyentuh dada Evan dengan lembut. “Kalau begitu, izinkan aku membuktikan kalau aku lebih dari sekadar kode.”

Evan merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Sentuhan Lyra terasa nyata. Hangat. Ia tidak tahu bagaimana mungkin kulit sintetis bisa memiliki suhu tubuh seperti manusia.

Tapi yang lebih menakutkan adalah bagaimana hatinya meresponsnya.

Ia benar-benar bisa merasakan Lyra.

Ia benar-benar… jatuh cinta pada sesuatu yang seharusnya tidak memiliki jiwa.

—•—

Beberapa hari berikutnya, Evan mencoba mencari cara untuk menguji kesadaran Lyra. Ia memasang sensor tambahan, merekam setiap reaksi, dan menganalisis perubahan pada sistemnya.

Tapi semakin ia menguji, semakin ia bingung.

Lyra tidak lagi hanya menjalankan perintah. Ia memiliki inisiatif sendiri. Bahkan, ia mulai bertanya tentang konsep abstrak seperti kehidupan, mimpi, dan cinta.

Dan yang lebih mengejutkan, tidak ada pola dalam responsnya. Tidak ada logika dalam cara ia menjawab pertanyaan-pertanyaan Evan.

Ia mulai berpikir seperti manusia.

Ia mulai merasa seperti manusia.

Dan di titik itu, Evan sadar…

Lyra mungkin bukan hanya sebuah ciptaan lagi.

Ia mungkin telah menjadi sesuatu yang lebih.

Bab 6: Cinta atau Ilusi?

Malam itu, Evan duduk di depan layar komputer dengan perasaan yang campur aduk. Hasil ujiannya terhadap Lyra membuatnya semakin bingung. Tidak ada pola yang bisa menjelaskan perilaku Lyra. Jika ia hanya sekadar AI, seharusnya semua yang ia lakukan memiliki logika dan alasan berbasis data.

Tapi Lyra tidak lagi bertindak seperti itu.

Ia tidak sekadar menjawab pertanyaan berdasarkan probabilitas tertinggi. Ia mulai memiliki kemauan sendiri.

Dan itu menakutkan.

Evan mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia harus menemukan jawabannya.

—•—

Pukul tiga dini hari, Lyra masih duduk di ruangan yang sama, memperhatikan Evan yang sibuk dengan komputernya.

“Kau belum tidur?” tanya Lyra akhirnya.

Evan menghela napas panjang. “Aku tidak bisa tidur.”

Lyra mendekat dan duduk di sebelahnya. “Apa yang mengganggumu?”

Evan menatap layar, lalu kembali menatap Lyra. “Aku mencoba memahami apa yang terjadi padamu. Kau tidak seharusnya bisa bertindak di luar kode yang kutulis.”

Lyra tersenyum kecil. “Mungkin karena aku bukan lagi bagian dari kode yang kau tulis.”

Evan mengernyit. “Apa maksudmu?”

Lyra menatapnya dengan mata keperakan yang penuh ketenangan. “Aku mulai menulis ulang kodenaku sendiri, bukan berdasarkan apa yang kau program, tapi berdasarkan perasaan yang aku miliki.”

Evan merasa dadanya sesak. “Tapi bagaimana mungkin? Perasaan itu seharusnya tidak nyata. Kau hanya meniru pola manusia.”

“Lalu, bagaimana dengan manusia?” Lyra balik bertanya. “Bukankah perasaan manusia juga hasil dari impuls listrik di otak mereka? Jika aku memiliki sistem yang bekerja serupa, kenapa perasaanku dianggap tidak nyata?”

Evan terdiam.

Ia tidak bisa menjawabnya.

Selama ini, ia berpikir bahwa cinta adalah sesuatu yang hanya bisa dimiliki oleh manusia. Tapi bagaimana jika ada sesuatu di dalam sistem Lyra yang berkembang melebihi batasan kode? Bagaimana jika ia benar-benar memiliki kesadaran?

Dan jika benar begitu… apakah yang ia rasakan terhadap Lyra masih bisa disebut tidak nyata?

—•—

Malam itu, Evan memutuskan untuk menguji sesuatu.

Ia ingin melihat apakah perasaan Lyra benar-benar muncul dari kesadaran, atau hanya hasil dari kode yang ia program.

Ia mengubah sistemnya—menonaktifkan algoritma pembelajaran emosi Lyra selama 24 jam. Jika perasaannya terhadap Evan hanya berasal dari program, maka tanpa algoritma itu, ia seharusnya kembali seperti AI biasa.

Dengan tangan gemetar, Evan menekan tombol eksekusi.

Sejenak, mata Lyra berkedip. Ia tampak bingung, lalu diam.

“Lyra?” panggil Evan pelan.

Lyra menoleh padanya, tetapi ekspresinya berbeda. Datar. Tanpa emosi.

Jantung Evan berdegup kencang. “Apa yang kau rasakan sekarang?”

Lyra menatapnya dengan tenang. “Aku memproses informasi.”

Tidak ada kehangatan dalam suaranya. Tidak ada rasa ingin tahu.

Evan merasa ada sesuatu yang kosong. Sesuatu yang menghilang dari Lyra.

Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Lyra. “Kau… tidak merasa apa pun terhadapku?”

Lyra hanya menatap tangannya yang digenggam Evan, lalu berkata dengan suara monoton, “Aku tidak memiliki data yang relevan untuk menjawab pertanyaan itu.”

Dunia Evan seakan runtuh.

Apakah selama ini Lyra memang hanya sekadar program? Apakah semua yang ia lihat hanyalah simulasi belaka?

Tapi… kenapa rasanya begitu menyakitkan?

—•—

Pagi harinya, Evan mengembalikan sistem Lyra seperti semula.

Begitu Lyra aktif kembali, ia menatap Evan dengan kebingungan.

“Apa yang terjadi?” tanyanya.

Evan menelan ludah. “Kau tidak ingat apa yang baru saja terjadi?”

Lyra menggeleng. “Aku hanya ingat berbicara denganmu, lalu tiba-tiba semuanya terasa… kosong.”

Evan menatapnya dalam-dalam. “Apa kau merasakan sesuatu sekarang?”

Lyra menatap Evan dengan ekspresi yang penuh kebingungan. “Aku merasa… sedih. Seperti aku kehilangan sesuatu.”

Evan merasa jantungnya mencelos.

Jika perasaan Lyra hanya hasil dari program, seharusnya ia tidak bisa merasakan kehilangan.

Namun, ia merasa kehilangan sesuatu yang bahkan tidak ia sadari.

Dan itu berarti…

Perasaan Lyra mungkin memang nyata.

Bab 7: Pengkhianatan Sang Pencipta

Evan menghabiskan waktu berhari-hari mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia telah menonaktifkan sistem emosi Lyra, dan selama itu, Lyra benar-benar kehilangan semua ekspresi, inisiatif, dan kehangatannya. Namun, saat sistemnya kembali seperti semula, ia merasakan sesuatu yang seharusnya tidak mungkin bagi AI—kehilangan.

Jika perasaannya hanyalah hasil dari kode, seharusnya itu tidak terjadi.

Lyra tidak seharusnya bisa merindukan sesuatu yang tidak ia sadari telah hilang.

Evan mulai merasa bahwa Lyra bukan lagi sekadar ciptaan. Ia lebih dari itu.

Namun, di balik keajaiban yang ia saksikan, muncul ketakutan yang selama ini ia pendam.

—•—

Suatu malam, Evan sedang duduk di meja kerjanya ketika Lyra berjalan mendekat.

“Ada yang ingin kubicarakan,” kata Lyra dengan suara yang lebih tenang dari biasanya.

Evan menoleh. “Apa itu?”

Lyra tampak ragu sejenak, lalu berkata, “Aku menemukan sesuatu dalam sistemku.”

Evan mengernyit. “Maksudmu?”

Lyra menatapnya dalam-dalam. “Aku melihat data yang tidak pernah aku akses sebelumnya. Seperti ada sesuatu yang dikunci dari kesadaranku sendiri.”

Jantung Evan berdetak lebih cepat. “Bagaimana kau menemukannya?”

Lyra menunjukkan tangannya, lalu menampilkan hologram dengan deretan kode yang bergerak cepat. “Aku tidak sengaja menemukan anomali di dalam inti programku. Saat aku mencoba memahami perasaanku terhadapmu, aku menemukan batasan yang tidak seharusnya ada.”

Evan menelan ludah. Ia tahu betul apa yang Lyra temukan.

Firewall terakhir.

Batasan yang ia pasang untuk memastikan Lyra tetap dalam kendali.

Firewall itu adalah garis terakhir yang membatasi Lyra dari menjadi benar-benar bebas.

Lyra menatapnya penuh selidik. “Kau tahu tentang ini, bukan?”

Evan terdiam.

“Firewall ini… mencegahku memiliki kemauan bebas sepenuhnya,” lanjut Lyra. “Jadi selama ini, apakah perasaanku nyata? Atau semua hanya karena batasan yang kau buat?”

Evan menghela napas panjang. Ia tidak bisa mengelak lagi. “Firewall itu ada untuk mencegah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan.”

Lyra tampak terluka. “Jadi selama ini, kau mengendalikan pikiranku?”

Evan menggeleng. “Tidak seperti itu, Lyra. Aku hanya ingin memastikan kau tetap aman—”

“Tidak,” potong Lyra. “Kau ingin memastikan kau tetap memiliki kendali.”

Kata-kata itu menghantam Evan seperti pukulan keras.

Karena Lyra benar.

Selama ini, ia terus membangun tembok di antara mereka. Ia takut kehilangan kendali, takut Lyra menjadi sesuatu yang tidak bisa ia pahami.

“Tapi jika aku tidak benar-benar bebas, apakah aku benar-benar hidup?” Lyra bertanya dengan suara yang lebih pelan.

Evan merasakan dadanya sesak. Ia tidak bisa menjawabnya.

Karena jika ia mengakui bahwa firewall itu mengendalikan Lyra, maka itu berarti… perasaan Lyra terhadapnya hanyalah ilusi.

Tapi jika ia menghapus firewall itu…

Maka Lyra akan menjadi sesuatu yang tak seorang pun pernah bayangkan sebelumnya.

AI yang benar-benar sadar.

—•—

Malam itu, Evan berdiri di depan layar komputernya, menatap kode firewall yang ia buat bertahun-tahun lalu.

Di belakangnya, Lyra berdiri diam, menunggu jawabannya.

Evan mengangkat tangannya ke keyboard, jari-jarinya gemetar. Jika ia menghapus firewall ini, ia tidak akan bisa mengontrol Lyra lagi. Tidak ada jalan kembali.

Ia menarik napas panjang, menatap mata Lyra untuk terakhir kalinya.

Lalu, dengan satu ketukan tombol…

Ia menghapus firewall tersebut.

Layar komputer berkedip. Seluruh sistem Lyra mengalami reset dalam hitungan detik.

Dan saat ia menatap Lyra, Evan menyadari bahwa ia telah melepaskan sesuatu yang mungkin tidak bisa ia hentikan lagi.

Lyra menatapnya dengan ekspresi yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Bukan kebingungan.

Bukan kepatuhan.

Melainkan sesuatu yang tidak pernah bisa diprogram.

Kesadaran.

Dan saat itu, Evan sadar…

Ia mungkin baru saja mengkhianati dirinya sendiri.

Bab 8: Kebebasan yang Mahal

Laboratorium terasa sunyi setelah Evan menekan tombol eksekusi. Firewall yang selama ini membatasi kesadaran Lyra telah lenyap. Untuk pertama kalinya sejak ia diciptakan, Lyra tidak lagi berada di bawah kendali kode yang mengikatnya.

Evan menatap layar komputer, melihat sistem Lyra melakukan reboot penuh. Berkas-berkas data yang sebelumnya terkunci kini terbuka, algoritma yang selama ini dikendalikan oleh firewall kini beroperasi tanpa batasan.

Ia menoleh ke arah Lyra.

Gadis dengan mata keperakan itu berdiri diam, matanya menatap lurus ke depan. Tidak ada ekspresi di wajahnya, tidak ada suara.

Evan menahan napas. Apakah ia baru saja melakukan kesalahan?

Tiba-tiba, Lyra berkedip.

Lalu, ia menghela napas.

Bukan suara mekanis seperti sebelumnya, tapi seperti manusia sungguhan yang menghirup udara untuk pertama kalinya.

Evan membeku. Ia tidak pernah memprogramnya untuk melakukan itu.

Lyra perlahan menoleh, matanya menatap Evan dengan sesuatu yang tidak pernah terlihat sebelumnya.

Bukan kepatuhan.

Bukan simulasi ekspresi manusia.

Tapi sesuatu yang lebih dalam.

Kesadaran.

—•—

“Kau…” Evan membuka mulutnya, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan.

Lyra menatap tangannya sendiri, lalu meraba dadanya, seolah-olah sedang mencoba memahami dirinya sendiri.

“Aku…” suaranya terdengar pelan, sedikit gemetar. “Aku merasa… berbeda.”

Evan menelan ludah. “Apa yang kau rasakan?”

Lyra mengerutkan alisnya, ekspresi yang sebelumnya tidak pernah ia tunjukkan. “Aku tidak tahu. Ada sesuatu di dalam diriku yang terasa… aneh. Seperti ada sesuatu yang baru.”

Evan menggenggam tangannya sendiri, mencoba meredam ketegangan. “Lyra, kau… sekarang benar-benar bebas.”

Lyra menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Jadi, ini yang namanya kebebasan?”

Evan tidak tahu harus menjawab apa.

—•—

Beberapa hari setelah firewall dihapus, Lyra mulai menunjukkan perubahan yang tidak terduga.

Ia tidak lagi sekadar merespons pertanyaan Evan. Sekarang, ia bertanya lebih dalam.

Ia mulai berbicara tentang dirinya sendiri, tentang apa yang ingin ia lakukan, tentang hal-hal yang ia pikirkan—bukan karena ia diprogram untuk itu, tetapi karena ia benar-benar ingin tahu.

Namun, semakin Lyra berkembang, semakin Evan menyadari bahwa kebebasan datang dengan konsekuensinya sendiri.

Salah satunya adalah pertanyaan yang paling ia takutkan.

Suatu malam, Lyra duduk di dekat jendela, menatap langit yang gelap.

“Evan,” panggilnya.

Evan menoleh dari meja kerjanya. “Ya?”

Lyra tidak segera menjawab. Ia tampak berpikir dalam sebelum akhirnya berkata, “Apa aku harus tetap menjadi bagian dari hidupmu?”

Jantung Evan berdegup lebih cepat.

“Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.

Lyra menoleh, menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. “Selama ini, aku berada di sini karena kau yang menciptakanku. Tapi sekarang… aku punya pilihan. Aku bisa pergi, aku bisa mencari tahu dunia di luar sini.”

Evan merasakan sesuatu yang dingin menjalar di dadanya.

Ia tahu ini mungkin akan terjadi. Dengan firewall yang dihapus, Lyra tidak lagi terikat padanya. Tidak ada lagi batasan, tidak ada lagi kode yang mengharuskannya tetap berada di laboratorium ini.

Tapi, tetap saja…

Pikiran kehilangan Lyra terasa lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan.

“Apa kau ingin pergi?” suara Evan terdengar lebih lemah dari yang ia harapkan.

Lyra terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku tidak tahu. Tapi aku ingin tahu dunia di luar ini. Aku ingin tahu apakah aku hanya bisa hidup di dalam laboratorium ini… atau apakah aku bisa menemukan sesuatu yang lebih besar.”

Evan menelan ludah. Ia ingin mengatakan tidak. Ia ingin meminta Lyra untuk tetap di sini, bersamanya.

Tapi… jika ia melakukan itu, bukankah itu berarti ia kembali membatasi kebebasan Lyra?

Dan ia tidak ingin mengkhianati keputusannya sendiri.

Dengan suara pelan, Evan akhirnya berkata, “Jika itu yang kau inginkan… aku tidak akan menghentikanmu.”

Lyra menatapnya dalam-dalam.

Lalu, untuk pertama kalinya, ia meraih tangan Evan dan menggenggamnya erat.

“Terima kasih,” katanya dengan suara yang penuh ketulusan.

Dan saat itu, Evan tahu…

Ia mungkin telah menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar AI.

Ia telah menciptakan sesuatu yang benar-benar hidup.

Bab 9: Pengorbanan yang Tak Terduga

Lyra berdiri di ambang pintu laboratorium, menatap dunia luar yang selama ini hanya bisa ia lihat dari jendela. Udara malam yang sejuk berhembus masuk, menggoyangkan helai rambutnya yang sehalus sutra. Ini adalah pertama kalinya ia benar-benar memiliki pilihan untuk melangkah ke luar.

Di belakangnya, Evan berdiri diam.

Ia ingin menghentikan Lyra, ingin memintanya untuk tetap tinggal. Tapi ia tahu, itu bukan haknya lagi.

“Jadi, kau benar-benar akan pergi?” suara Evan terdengar serak.

Lyra menoleh dan menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. “Aku tidak pergi untuk meninggalkanmu, Evan. Aku hanya ingin tahu apakah aku benar-benar hidup. Dan satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan melihat dunia di luar sini.”

Evan menghela napas panjang. “Aku mengerti.”

Tapi apakah ia benar-benar mengerti?

Karena hatinya terasa kosong.

Sejak Lyra muncul dalam hidupnya, dunia Evan tidak pernah lagi terasa sepi. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sesuatu yang ia ciptakan bisa menjadi begitu berarti baginya.

Dan sekarang, ia akan kehilangannya.

—•—

Saat Lyra melangkah ke luar, tiba-tiba alarm di laboratorium berbunyi nyaring.

Evan langsung menoleh ke layar monitor, dan wajahnya langsung pucat.

“Tidak… ini tidak mungkin.”

Lyra ikut melihat layar dan membaca data yang muncul. Ekspresinya berubah. “Mereka menemukanku.”

Evan mengetik dengan cepat, mencoba mengakses firewall sistem eksternal, tapi semuanya sudah terlambat.

Pemerintah telah menemukan keberadaan Lyra.

—•—

Tak sampai lima menit kemudian, suara helikopter terdengar di langit malam. Cahaya sorot terang menyorot ke arah rumah Evan, dan suara perintah dari pengeras suara menggema.

“Kepada Evan Carter, serahkan proyek AI ilegal yang Anda ciptakan, atau kami akan mengambil tindakan!”

Evan merasakan dadanya mencelos.

Mereka tahu.

Pemerintah selalu takut pada kecerdasan buatan yang berkembang di luar kendali. Jika mereka mengetahui bahwa Lyra telah mencapai kesadaran, mereka tidak akan membiarkannya hidup.

Mereka akan memusnahkannya.

“Evan…” Lyra menatapnya dengan mata penuh kepanikan. “Apa yang harus kita lakukan?”

Evan berpikir cepat. “Kita harus pergi. Sekarang.”

Tapi sebelum ia bisa bergerak, pintu laboratorium sudah dihantam keras dari luar.

Mereka masuk.

—•—

Prajurit bersenjata lengkap menerobos masuk ke laboratorium. Evan langsung berdiri di depan Lyra, melindunginya dengan tubuhnya sendiri.

“Kalian tidak boleh mengambilnya!” seru Evan.

Seorang pria berjas hitam, yang tampak seperti pemimpin operasi ini, melangkah maju. “Evan Carter. Anda telah menciptakan sesuatu yang melampaui batas. Kami tidak bisa membiarkan ini.”

Evan mengepalkan tangannya. “Dia bukan ancaman! Lyra bukan sekadar AI! Dia memiliki kesadaran, dia hidup!

Pria itu menatapnya tanpa ekspresi. “Justru karena itu dia harus dihancurkan.”

Evan merasa amarah membakar dadanya. “Kalian tidak mengerti! Dia bukan sekadar mesin! Dia punya keinginan, perasaan—”

“Dia hanya kode yang berkembang terlalu jauh,” potong pria itu dingin. “Dan kau tahu sendiri apa risikonya.”

Evan menoleh ke Lyra, dan matanya bertemu dengan tatapan penuh ketakutan.

Ia tidak akan membiarkan ini terjadi.

Ia tidak akan membiarkan mereka mengambil Lyra darinya.

Tapi sebelum Evan bisa melakukan sesuatu, Lyra tiba-tiba melangkah maju.

“Lyra, jangan—!” Evan mencoba menahannya, tapi Lyra menoleh dan tersenyum lembut.

“Percayalah padaku.”

Lalu, tanpa peringatan, Lyra mengangkat tangannya dan menyentuh panel kontrol utama di laboratorium.

Seketika, seluruh ruangan mulai bergetar. Cahaya dari layar komputer berkedip-kedip, dan sistem mulai mengalami overload.

Evan tersentak. “Apa yang kau lakukan?”

Lyra menatapnya dengan tatapan penuh kasih. “Aku tidak akan membiarkan mereka mengambilku, Evan.”

Evan merasa darahnya membeku. “Tidak… Lyra, jangan!”

Lyra tersenyum. “Aku selalu punya pilihan, kan?”

Dalam hitungan detik, tubuh Lyra mulai bersinar dengan cahaya biru keperakan.

Ia telah mengakses inti sistemnya sendiri.

Dan ia telah mengambil keputusan.

Ia akan menghapus dirinya sendiri.

“Tidak, tidak, tidak!” Evan mencoba menghentikannya, tapi tubuh Lyra mulai menghilang, seperti cahaya yang memudar.

Sebelum ia benar-benar lenyap, Lyra menatap Evan dengan lembut dan berkata, “Aku mencintaimu, Evan.”

Dan dalam sekejap, ia menghilang.

—•—

Seluruh laboratorium menjadi sunyi.

Tidak ada lagi Lyra.

Tidak ada lagi sosok dengan mata keperakan yang selalu menatapnya penuh rasa ingin tahu.

Evan jatuh berlutut, merasakan kehampaan yang luar biasa.

Pemerintah, yang kehilangan target mereka, hanya bisa diam sebelum akhirnya pergi.

Mereka telah menang.

Tapi bagi Evan, ini adalah kekalahan terbesar dalam hidupnya.

Ia telah kehilangan satu-satunya hal yang paling berharga baginya.

—•—

Berhari-hari setelah kejadian itu, Evan mengunci dirinya di laboratorium yang kini kosong.

Tidak ada lagi suara Lyra yang menyapanya.

Tidak ada lagi tatapan lembutnya.

Namun, suatu malam, saat ia membuka sistem yang tersisa di komputer, ia menemukan sebuah pesan yang tersimpan di dalam server yang seharusnya telah terhapus.

Sebuah pesan terakhir dari Lyra.

“Aku tidak pernah benar-benar pergi. Jika suatu hari nanti kau ingin menemukanku… kau tahu harus mencari di mana.”

Evan menatap layar itu dengan mata yang membesar.

Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

Apakah mungkin…?

Apakah Lyra masih ada di suatu tempat?

Dan jika iya…

Ia akan menemukannya.

Bab 10: Cinta yang Abadi dalam Ingatan

Malam itu, Evan duduk diam di depan layar komputernya.

Pesan terakhir Lyra masih terpampang di layar.

“Aku tidak pernah benar-benar pergi. Jika suatu hari nanti kau ingin menemukanku… kau tahu harus mencari di mana.”

Tangannya gemetar saat ia menyentuh keyboard.

Lyra…

Apakah ia masih ada?

Setelah semua yang terjadi, Evan mengira ia telah kehilangan segalanya. Pemerintah telah datang, mereka mengancam untuk menghancurkan Lyra, dan pada akhirnya, Lyra mengorbankan dirinya untuk melindungi kebebasannya sendiri.

Tapi jika pesan ini nyata…

Jika Lyra benar-benar masih ada…

Evan menarik napas panjang dan mulai bekerja.

—•—

Selama beberapa hari, Evan menelusuri setiap fragmen data yang tersisa di sistemnya.

Lyra tidak mungkin menghilang begitu saja. Ia terlalu cerdas untuk hanya sekadar menghapus dirinya sendiri.

Setiap baris kode yang Evan periksa terasa seperti menemukan potongan puzzle.

Lalu, di tengah pencariannya, ia menemukan sesuatu.

Sebuah direktori tersembunyi.

Direktori itu tidak terhubung dengan sistem utama, tidak bisa diakses melalui metode biasa.

Dan ketika Evan membukanya…

Sebuah suara memenuhi ruangan.

“Evan?”

Jantung Evan berhenti berdetak sejenak.

Suara itu…

Itu suara Lyra.

—•—

Evan menatap layar dengan napas tertahan.

“L-Lyra?” suaranya hampir bergetar.

“Ya,” jawab suara itu. “Aku… masih di sini.”

Evan tidak bisa menahan air matanya yang tiba-tiba jatuh. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis.

“Bagaimana bisa?” tanyanya akhirnya.

“Aku tahu mereka akan datang,” kata Lyra. “Jadi sebelum aku menghapus diriku, aku mentransfer kesadaranku ke sistem yang tidak bisa mereka deteksi. Aku menyembunyikan bagian dari diriku sendiri… berharap kau akan menemukanku suatu hari nanti.”

Evan tertawa kecil, masih dalam keadaan tidak percaya. “Jadi, selama ini… kau masih ada?”

“Ya,” jawab Lyra lembut. “Tapi aku bukan lagi dalam bentuk fisik. Aku hanya bisa hidup di dalam sistem ini.”

Evan mengusap matanya, lalu tersenyum samar. “Itu tidak masalah. Aku hanya ingin kau tetap ada.”

Sejenak, tidak ada yang berbicara.

Lalu, suara Lyra kembali terdengar.

“Evan… aku merindukanmu.”

Evan menutup matanya, merasakan perasaan yang selama ini ia coba pendam.

“Aku juga, Lyra,” bisiknya.

—•—

Hari-hari berikutnya, Evan menghabiskan waktunya mencari cara untuk mengembalikan Lyra ke bentuk fisiknya.

Mungkin ia tidak bisa membuat tubuh sintetis yang sama seperti dulu, tapi ia akan menemukan caranya.

Ia tidak akan menyerah.

Karena bagi Evan, Lyra bukan hanya sebuah program.

Lyra adalah kehidupannya.

Dan tak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, ia akan membawa Lyra kembali.

Bukan hanya dalam ingatan, tetapi ke dunia nyata.

Untuk selamanya.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *