Judul: Takdir Sang Raja Iblis dan Wanita dari Masa Depan
Alyssa, seorang ilmuwan jenius yang meneliti perjalanan antar dimensi, tanpa sengaja terjatuh ke dunia lain, sebuah dunia fantasi yang dilanda peperangan antara manusia dan iblis. Di sana, ia dianggap sebagai penyihir karena teknologi canggih yang ia bawa.
Namun, yang paling mengejutkan adalah Sang Raja Iblis, Valerian, yang mengklaim bahwa ia telah mengenalnya sejak dulu. Saat Alyssa mencoba memahami dunia ini, ia menemukan fakta mencengangkan—ia bukan hanya pengunjung dari masa depan, tetapi juga bagian dari sejarah yang telah berulang berkali-kali.
Setiap kali ia datang, ia selalu menghilang, dan Valerian selalu melupakannya. Kini, ia dihadapkan pada pilihan sulit: kembali ke dunianya dan melupakan segalanya, atau tetap tinggal dan perlahan kehilangan semua ingatan tentang kehidupan asalnya.
Saat rahasia tentang kutukan Valerian terungkap, Alyssa harus menentukan takdirnya, apakah ia akan menghentikan siklus yang terus berulang atau kembali pada kehidupannya yang dulu.
Namun, apakah cinta bisa melampaui batas ruang dan waktu?
Bab 1 – Jatuh ke Era yang Salah
Dunia Alyssa hancur dalam sekejap.
Satu detik ia berada di laboratorium dengan suara dengungan mesin dan cahaya neon putih yang menyilaukan, detik berikutnya ia melayang dalam kehampaan yang gelap. Tubuhnya terasa ringan, seperti jatuh tanpa akhir di dalam ruang hampa.
“Ada yang salah!” pikirnya panik.
Eksperimen ini seharusnya hanya membuka celah kecil dalam ruang-waktu, tetapi entah bagaimana, sesuatu menariknya dengan kekuatan luar biasa. Tubuhnya tersedot oleh lubang dimensi yang terbuka di depannya—warna-warna aneh berputar, membentuk spiral yang membungkus tubuhnya. Suara bising yang menusuk telinga mengelilinginya, lalu…
Bum!
Tubuhnya terhempas keras di atas tanah. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya mengerang. Nafasnya tersengal, kepalanya berdenyut hebat. Perlahan-lahan, ia membuka mata.
Yang pertama ia lihat adalah langit.
Tapi langit itu berbeda.
Awan hitam menggumpal di angkasa, berputar seperti pusaran badai. Udara terasa panas dan penuh dengan aroma terbakar. Di sekelilingnya, suara-suara gemuruh memenuhi udara—suara besi bertemu besi, teriakan orang-orang, raungan yang bukan berasal dari manusia.
Alyssa mencoba bangkit, tangannya gemetar saat menekan tanah. Pandangannya mulai fokus, dan saat itulah ia menyadari bahwa ia berada di tengah medan perang.
Di depannya, pasukan manusia dalam baju zirah berlumuran darah sedang bertarung dengan makhluk-makhluk mengerikan. Mata Alyssa membelalak melihat monster-monster besar berbentuk humanoid, dengan kulit bersisik, taring tajam, dan cakar yang mampu merobek baja. Beberapa memiliki sayap hitam lebar, sementara yang lain memiliki tanduk menjulang seperti iblis dalam cerita rakyat.
Dia menelan ludah.
“Aku… ada di mana?”
Tiba-tiba, suara ledakan terdengar dari dekat. Debu dan pecahan batu berhamburan. Alyssa reflek menutup wajahnya dengan tangan, lalu terbatuk karena debu yang masuk ke paru-parunya.
Ketika ia kembali menatap ke depan, beberapa pria berbaju besi sudah mengelilinginya dengan pedang terhunus.
“Dia penyihir! Bunuh dia sebelum dia menggunakan sihirnya!” salah satu prajurit berteriak.
Alyssa tertegun.
“Penyihir?” Ia mengerutkan kening, lalu menyadari sesuatu—di tangannya masih tergenggam perangkat kecil berbentuk lingkaran, alat yang digunakan untuk eksperimen tadi. Cahaya biru redup berkilauan dari permukaannya.
Benda itu memang terlihat tidak seperti apa pun yang ada di dunia ini. Bagi mereka yang belum pernah melihat teknologi modern, benda itu pasti terlihat seperti artefak sihir.
“Dia muncul dari cahaya aneh! Itu sihir iblis!” prajurit lain berteriak dengan ketakutan.
“Hei! Tunggu! Aku bukan—” Alyssa mencoba menjelaskan, tapi salah satu prajurit sudah mengayunkan pedangnya ke arahnya.
Reflek Alyssa beraksi. Ia berguling ke samping dan berhasil menghindari serangan itu, tetapi tanah di tempatnya tadi kini sudah terkoyak. Ketakutan mulai merayapi pikirannya.
Dia bisa mati di sini!
Dia harus kabur!
Tapi ke mana?
Di sekelilingnya hanya ada pasukan manusia yang menganggapnya sebagai musuh dan monster-monster iblis yang jelas lebih mengerikan.
Belum sempat ia berpikir, tiba-tiba udara di sekitarnya berubah. Sesuatu yang sangat gelap, menekan, dan penuh aura membunuh menyelimuti medan perang.
Alyssa merasakan bulu kuduknya berdiri.
Semua orang—baik manusia maupun iblis—terdiam dalam ketakutan.
Dan saat itulah, sosok itu muncul.
Dari kejauhan, seorang pria berjalan perlahan di tengah medan perang yang porak-poranda. Langkahnya tenang, tidak terburu-buru, seolah tidak peduli dengan kekacauan di sekitarnya.
Jubah hitamnya berkibar ditiup angin, dan mata merahnya berkilat dalam kegelapan.
Wajahnya tampan, namun tidak ada kelembutan di sana. Yang ada hanyalah aura mengerikan, seolah ia bisa menghancurkan dunia hanya dengan tatapannya.
Setiap langkahnya terasa seperti membawa kematian.
Semua prajurit manusia mundur dalam ketakutan, bahkan beberapa langsung berlutut tanpa sadar.
“A-Apakah itu… Raja Iblis?” bisik seseorang dengan suara gemetar.
Raja Iblis?
Alyssa menahan napas, lalu matanya bertemu dengan mata merah itu.
Sejenak, dunia terasa berhenti.
Dan dalam satu kedipan mata, pria itu sudah berdiri di hadapannya.
Cepat. Terlalu cepat.
Sebelum Alyssa sempat bereaksi, tangan dingin pria itu mencengkeram dagunya, mengangkat wajahnya agar ia menatapnya langsung.
“Aku akhirnya menemukannya…” suara pria itu dalam dan rendah, penuh misteri.
Alyssa menegang.
“Apa?”
Valerian—Sang Raja Iblis—menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Lalu dengan suara yang hampir seperti bisikan, ia berkata:
“Aku mengenalmu.”
Darah Alyssa berdesir.
Itu tidak mungkin.
Mereka baru bertemu.
Bukan?
Bab 2 – Penyihir atau Penyintas?
Dada Alyssa naik turun. Adrenalin berdenyut dalam nadinya, bukan hanya karena situasi yang berbahaya, tapi juga karena kata-kata yang baru saja diucapkan pria di depannya.
“Aku mengenalmu.”
Alyssa menatap mata merah itu dalam-dalam, mencoba mencari makna di baliknya.
“Aku… aku tidak mengenalmu,” balasnya dengan suara sedikit gemetar.
Namun, Valerian, Sang Raja Iblis, hanya tersenyum samar—senyum yang membuat punggung Alyssa merinding. Itu bukan senyum penuh ancaman, tapi juga bukan sesuatu yang bisa dianggap ramah.
Sebelum Alyssa bisa mengatakan apa pun lagi, salah satu prajurit manusia memberanikan diri untuk menyerang. Ia mengayunkan pedangnya ke arah Valerian dengan sekuat tenaga.
Valerian tidak bergerak.
Tidak perlu.
Dalam hitungan detik, sebelum pedang itu bisa menyentuhnya, tubuh prajurit itu sudah melayang di udara—dicekik oleh kekuatan tak kasat mata.
Teriakan pria itu teredam oleh cengkeraman tak terlihat di lehernya. Matanya membelalak, sementara Valerian menatapnya tanpa ekspresi.
Alyssa menahan napas.
“Jangan…” bisiknya, tanpa sadar.
Dan anehnya, Valerian menurut. Ia melepaskan cengkeramannya, dan tubuh prajurit itu jatuh ke tanah dengan suara berdebum, tersungkur tak sadarkan diri.
“Ayo pergi,” kata Valerian.
“Apa?” Alyssa terperangah.
Valerian mengangkat satu alis. “Aku tidak suka mengulang perkataan.”
Alyssa masih mencoba memahami situasi ini ketika ia merasakan udara di sekelilingnya berubah lagi.
Gelombang energi gelap berkumpul di sekitar mereka, dan sebelum ia bisa bereaksi, dunia di sekelilingnya berubah.
Mereka tidak lagi berada di medan perang.
Alyssa terjatuh di lantai marmer dingin, kepalanya sedikit pening. Ia mengangkat wajahnya dan menyadari bahwa ia sekarang berada di dalam sebuah ruangan luas—istana.
Dinding-dinding batu hitam menjulang tinggi, diterangi oleh obor-obor dengan api biru yang berkedip pelan. Langit-langitnya begitu tinggi hingga nyaris tak terlihat, dihiasi dengan ukiran rumit yang menggambarkan makhluk-makhluk mengerikan.
Dan di depannya, Valerian duduk di atas singgasana hitam dengan ukiran berbentuk tanduk iblis.
Alyssa menggelengkan kepalanya.
“Apa yang baru saja terjadi?” tanyanya.
“Kamu dibawa ke istanaku,” jawab Valerian santai.
Alyssa mendesis, berusaha menenangkan pikirannya yang masih kacau. “Bagaimana bisa… teleportasi seperti ini?”
Valerian menatapnya dengan intens. “Manusia biasa seharusnya tidak mempertanyakan bagaimana kekuatan iblis bekerja.”
Alyssa menggertakkan giginya.
“Tapi aku bukan manusia biasa,” bisiknya.
Saat Alyssa mulai mencoba memahami apa yang terjadi, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pria tinggi dengan rambut perak dan mata keunguan memasuki ruangan.
“Jadi ini perempuan yang membuatmu bertindak impulsif, Tuanku?” katanya dengan nada skeptis.
Valerian menatap pria itu sekilas. “Ezra, jangan kurang ajar.”
Ezra mendesah dan menatap Alyssa. “Kau… aneh. Aku tidak bisa merasakan kekuatan sihir dari tubuhmu, tapi aura yang kau bawa berbeda dari manusia mana pun.”
Alyssa menatapnya tajam. “Tentu saja, karena aku bukan dari dunia ini.”
Ezra mengangkat alisnya. “Begitu? Itu semakin menarik.”
Valerian bersandar di singgasananya. “Aku ingin tahu sesuatu.”
Alyssa menatapnya. “Apa?”
Valerian tersenyum tipis. “Ceritakan padaku… bagaimana kau bisa sampai di dunia ini?”
Alyssa menggigit bibirnya. Tidak ada gunanya menyembunyikan informasi, jadi ia mulai menjelaskan tentang eksperimennya—bagaimana ia bekerja di laboratorium, bagaimana alatnya seharusnya menciptakan celah dalam ruang-waktu, dan bagaimana ia tersedot ke dalam lubang dimensi yang tiba-tiba muncul.
Saat ia selesai, ruangan itu hening.
Ezra tampak berpikir dalam, sementara Valerian hanya menatapnya dengan ekspresi penuh misteri.
Lalu, akhirnya, Valerian berkata:
“Aku ingin kau melihat sesuatu.”
Valerian berdiri, dan dengan gerakan tangannya, dinding di belakang singgasananya mulai bergerak. Sebuah pintu batu terbuka, memperlihatkan ruangan gelap dengan simbol-simbol aneh yang bercahaya samar di dindingnya.
Alyssa menelan ludah. Ada sesuatu yang terasa… salah.
Dengan ragu, ia melangkah masuk, diikuti oleh Valerian dan Ezra. Saat cahaya api biru menerangi ruangan itu, Alyssa terperanjat.
Di dinding, terukir sebuah gambar.
Sosok seorang wanita dengan wajah yang sangat mirip dengan dirinya.
Dan di samping wanita itu, berdiri seorang pria dengan mata merah.
Alyssa merasa kepalanya berputar.
“Tidak… ini tidak mungkin,” bisiknya.
Valerian menatapnya lekat-lekat. “Masih berpikir bahwa kita belum pernah bertemu sebelumnya?”
Alyssa merasa tubuhnya gemetar. Ada sesuatu yang janggal di sini.
Bagaimana mungkin wajahnya bisa terukir di dinding istana iblis ini?
Mengapa Valerian begitu yakin bahwa ia mengenalnya?
Dan yang paling penting… siapa sebenarnya dirinya di dunia ini?
Bab 3 – Mata yang Mengingat Masa Lalu
Alyssa berdiri terpaku di depan dinding batu hitam yang dipenuhi ukiran misterius. Sorot matanya terpaku pada gambar seorang wanita yang terlihat sangat mirip dengannya—rambutnya yang panjang, postur tubuhnya, bahkan ekspresi wajahnya. Di samping wanita itu, berdiri sosok seorang pria dengan mata merah menyala.
Valerian.
Alyssa menelan ludah.
“Ini… tidak mungkin…” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.
Tapi Valerian hanya menatapnya dengan ekspresi penuh arti. Seolah-olah jawaban atas pertanyaannya sudah jelas, tapi ia membiarkan Alyssa menemukannya sendiri.
Ezra, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka mulut. “Menarik sekali, bukan? Seorang manusia dari dunia lain yang wajahnya sudah terpahat dalam sejarah kami sejak ribuan tahun yang lalu.”
Alyssa mengalihkan pandangannya dari ukiran ke Ezra, mencoba mencari penjelasan yang lebih masuk akal. “Ini mungkin hanya kebetulan. Tidak mungkin aku… tidak mungkin aku pernah ada di sini sebelumnya.”
Ezra tertawa pelan. “Kebetulan, ya?” Ia menatap ukiran itu sejenak, lalu kembali menatap Alyssa. “Lalu bagaimana dengan ini?”
Ia mengangkat tangannya, dan dengan satu gerakan kecil, sebagian dinding di sebelah ukiran itu berubah. Lapisan batu berjatuhan, memperlihatkan sesuatu yang lebih mengejutkan.
Tulisan kuno, tertata rapi dalam bahasa yang aneh. Namun, ketika Alyssa melihatnya, sesuatu di dalam pikirannya seperti tersentak.
Dan yang lebih mengerikan—ia bisa membacanya.
“Dari bintang lain ia datang, membawa cahaya yang akan mengubah takdir dunia ini.
Ia adalah cinta yang tak bisa kumiliki, tetapi juga tak bisa kutinggalkan.
Ia datang dengan kenangan yang hilang, dan akan pergi tanpa mengingatku lagi.
Namun aku akan menunggunya… karena aku tahu ia akan kembali.
Dalam kehidupan yang lain. Dalam takdir yang lain.”
Alyssa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
“Tidak… ini tidak benar…”
Ia menekan kepalanya, mencoba mengusir suara asing yang tiba-tiba berbisik di benaknya. Bisikan yang bukan berasal dari siapa pun di ruangan itu.
“…Aku akan menunggumu…”
Suara itu terdengar jelas dalam pikirannya, begitu akrab namun juga asing.
Ia mengangkat kepalanya dengan napas tersengal. “Apa maksud semua ini?” tanyanya, matanya menatap Valerian dengan penuh tuntutan.
Valerian menatapnya dalam diam, lalu melangkah mendekat. Setiap langkahnya bergema di dalam ruangan gelap itu, membawa ketegangan yang semakin besar.
“Saat pertama kali aku melihatmu di medan perang,” katanya, suaranya rendah namun begitu menusuk, “aku tahu kau bukan orang biasa. Bukan hanya karena caramu muncul, tetapi karena… aku telah melihatmu sebelumnya.”
Alyssa menelan ludah, tubuhnya tegang. “Aku tidak mengerti.”
Valerian mengangkat tangannya, menyentuh pipi Alyssa dengan lembut. Sentuhannya dingin, namun ada sesuatu di dalamnya—sesuatu yang membuat tubuh Alyssa merespons tanpa ia mengerti.
“Ini bukan pertama kalinya kita bertemu, Alyssa,” bisik Valerian.
Alyssa merasakan sesuatu di dalam dirinya seakan bergetar.
“Tapi… aku tidak mengingat apa pun tentangmu,” katanya lirih.
Valerian tersenyum tipis, senyum yang penuh kesedihan. “Aku tahu.”
Kilasan Masa Lalu
Tiba-tiba, sesuatu terjadi.
Alyssa merasa tubuhnya menjadi ringan, seolah-olah ia terseret dalam pusaran waktu yang tak terlihat. Kepalanya terasa berputar, dan seketika dunia di sekelilingnya berubah.
Ia tidak lagi berada di istana iblis.
Sebaliknya, ia berdiri di tengah padang rumput luas di bawah langit malam yang bertabur bintang.
Dan di sana, seorang wanita berdiri.
Wanita itu membelakanginya, rambut panjangnya berayun lembut ditiup angin. Gaun putihnya berkibar pelan, dan ia menatap ke arah langit dengan ekspresi sendu.
Alyssa ingin melangkah mendekat, ingin melihat wajahnya, tetapi sebelum ia bisa melakukannya, suara seorang pria terdengar.
“Apa kau akan pergi?”
Alyssa mengenali suara itu.
Valerian.
Wanita itu perlahan menoleh, dan saat itulah Alyssa merasa darahnya membeku.
Wanita itu… adalah dirinya sendiri.
Namun, wajahnya terlihat lebih dewasa, lebih bijaksana… dan penuh dengan kesedihan yang begitu mendalam.
“Takdir kita tidak seharusnya seperti ini,” suara wanita itu terdengar berat, seolah mengandung seribu luka.
Valerian melangkah mendekat, wajahnya penuh dengan penderitaan yang sama. “Aku bisa menghentikanmu.”
Wanita itu tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Tidak. Kau tahu kita tidak bisa melawan waktu.”
Alyssa merasa jantungnya berdetak begitu cepat hingga terasa menyakitkan.
Ini… ini bukan hanya mimpi.
Ini adalah kenangan.
Alyssa tersentak, tubuhnya kembali terasa berat saat kesadarannya ditarik kembali ke dunia nyata.
Ia menghirup napas dalam, seolah baru saja kembali dari dalam air.
Ezra menatapnya dengan mata tajam, seolah menilai reaksinya.
“Jadi? Kau mengingat sesuatu?” tanyanya.
Alyssa membuka mulutnya, lalu menutupnya kembali. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Kilasan tadi terasa begitu nyata, begitu jelas, seolah ia benar-benar pernah mengalaminya.
Ia menatap Valerian.
Pria itu masih berdiri di tempat yang sama, matanya menatapnya dengan penuh makna.
“Apakah…” suara Alyssa hampir tak terdengar, “aku… benar-benar pernah ada di dunia ini sebelumnya?”
Valerian tidak menjawab.
Namun, tatapan matanya sudah mengatakan segalanya.
Alyssa merasakan tubuhnya gemetar. Jika ini benar… jika ia memang pernah ada di dunia ini sebelumnya…
Maka pertanyaan terbesar yang tersisa adalah:
Bagaimana ia bisa melupakan semuanya?
Dan lebih penting lagi…
Apa yang akan terjadi jika ia mengingatnya?
Bab 4 – Kunci Perang Besar
Alyssa berdiri kaku di tempatnya. Pikirannya masih kacau setelah kilasan masa lalu yang baru saja ia alami. Kenangan yang bukan berasal dari kehidupannya sebagai ilmuwan di dunia modern, melainkan dari seseorang yang memiliki wajah dan suara yang sama dengannya—seseorang yang sepertinya pernah hidup di dunia ini ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu.
“Apa yang terjadi padaku…” bisiknya.
Valerian masih menatapnya tanpa berkata-kata, sementara Ezra tampak memperhatikan dengan ketertarikan yang makin dalam.
“Kau mulai mengingat sesuatu, bukan?” suara Valerian akhirnya memecah keheningan.
Alyssa ingin menyangkalnya, ingin mengatakan bahwa semua ini hanya ilusi atau mimpi buruk yang diciptakan oleh pikirannya yang stres. Tapi ia tidak bisa. Kenangan itu terasa terlalu nyata, lebih dari sekadar imajinasi.
“Kau masih belum memahami sepenuhnya,” kata Ezra, berjalan mendekat dan menatap ukiran di dinding. “Tapi aku bisa memberitahumu satu hal, gadis dari masa depan—kau bukan orang biasa di dunia ini.”
Alyssa menarik napas dalam. “Apa maksudmu?”
Ezra menoleh ke Valerian, seolah meminta izin untuk berbicara lebih jauh. Valerian hanya mengangguk pelan, dan Ezra melanjutkan, “Kami memiliki ramalan kuno. Sebuah nubuat yang telah ada jauh sebelum perang antara manusia dan iblis pecah.”
Alyssa mengerutkan kening. “Ramalan?”
Ezra tersenyum tipis. “Ya. Ramalan tentang seorang wanita yang akan datang dari dunia lain. Wanita itu akan menjadi kunci yang menentukan nasib dunia ini—ia akan membawa kemenangan bagi manusia atau kehancuran bagi iblis. Dan sekarang, lihat siapa yang berdiri di sini.”
Alyssa merasa jantungnya berdetak semakin cepat. “Aku?”
Valerian melangkah maju, mendekatinya dengan ekspresi tenang. “Bukan sekadar kau… tapi kau, dalam semua versi kehidupanmu. Kau yang terus kembali, berkali-kali, dalam takdir yang berulang.”
Alyssa menelan ludah. “Aku… tidak mengerti.”
“Karena kau belum mengingat segalanya,” kata Valerian. “Tapi aku ingat. Aku ingat saat pertama kali aku bertemu denganmu. Aku ingat bagaimana kau datang ke dunia ini, dengan cahaya dan kekuatan yang bukan berasal dari dunia ini. Aku ingat bagaimana kau memilih untuk berdiri di sisiku… dan bagaimana kau akhirnya menghilang.”
Alyssa menatapnya dengan bingung. “Aku… menghilang?”
Ezra menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan tangan terlipat. “Setiap kali perang ini mencapai puncaknya, wanita dalam ramalan itu selalu menghilang. Entah terbunuh, terhapus dari sejarah, atau kembali ke dunia asalnya tanpa ingatan tentang kehidupan di sini. Dan setiap kali itu terjadi, perang terus berlanjut. Seakan-akan dunia ini ditakdirkan untuk terus berulang dalam konflik yang tak berujung.”
Alyssa menggeleng. “Tidak mungkin… aku tidak mungkin menjadi bagian dari itu. Aku hanya seorang ilmuwan! Aku tidak punya kekuatan apa pun!”
Valerian menatapnya tajam. “Benarkah?”
Tiba-tiba, ia mengangkat tangannya ke arah Alyssa. Sebelum Alyssa bisa bereaksi, energi hitam menyelimuti tubuhnya.
Gelombang rasa dingin menyebar ke seluruh tubuhnya, tetapi yang mengejutkan—tubuhnya merespons. Cahaya biru berkilat dari telapak tangannya, membentuk pelindung yang mencegah energi Valerian menyentuhnya.
Alyssa terperanjat.
“Apa… ini?”
Valerian menurunkan tangannya, lalu tersenyum kecil. “Itu bukan sihir. Itu adalah kekuatan yang selalu kau miliki. Kau hanya belum menyadarinya.”
Alyssa menatap tangannya dengan mata melebar. Ia tidak pernah bisa melakukan hal seperti ini sebelumnya. Lalu kenapa sekarang?
“Aku tidak ingin percaya ini…” katanya dengan suara pelan. “Aku ingin percaya bahwa aku hanyalah ilmuwan yang terjebak dalam kesalahan eksperimen. Aku ingin percaya bahwa aku bisa kembali ke kehidupanku yang normal.”
Valerian mendekat, suaranya lembut namun penuh ketegasan. “Dan apa yang akan kau lakukan jika aku mengatakan bahwa kau tidak bisa kembali?”
Alyssa membeku.
Tidak bisa kembali?
Dadanya terasa sesak. Tidak, itu tidak mungkin. Selalu ada cara. Ia hanya perlu mencari tahu bagaimana mesin itu bekerja dan menemukan cara untuk membuka portal kembali ke dunianya.
Tapi… bagaimana jika ia memang bagian dari dunia ini?
Bagaimana jika ia telah terikat dengan perang ini lebih dari yang ia sadari?
Ezra menghela napas. “Kau memiliki waktu untuk memutuskan, Alyssa. Tetapi satu hal yang pasti—takdir telah membawamu kembali ke sini untuk suatu alasan.”
Alyssa mengepalkan tangannya. Ia masih belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tapi satu hal yang ia tahu dengan pasti…
Ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi pion dalam perang ini. Jika ia benar-benar memiliki peran di dunia ini, maka ia harus mencari tahu sendiri kebenaran di balik takdirnya.
Namun satu pertanyaan besar masih mengganggu pikirannya—
Jika ia terus tinggal di sini… apakah ia benar-benar akan kehilangan semua ingatannya tentang kehidupannya di masa depan?
Dan yang lebih menakutkan—
Apa yang akan terjadi jika ia mengingat segalanya?
Bab 5 – Kebenaran yang Tersembunyi
Alyssa duduk di balkon tinggi yang menghadap ke bentangan tanah kerajaan iblis. Langit di dunia ini selalu berwarna merah gelap dengan awan hitam yang bergulung-gulung di kejauhan.
Sudah beberapa hari sejak ia berada di istana Valerian. Sejak kejadian di ruang rahasia itu, ia belum bisa benar-benar tidur nyenyak. Kenangan yang samar terus menghantuinya, seolah ada sesuatu yang terkunci dalam pikirannya, menunggu untuk diungkap.
Di tangannya, ia memegang perangkat kecil berbentuk lingkaran yang ia bawa dari dunia asalnya—satu-satunya peninggalan dari kehidupannya yang dulu. Namun, teknologi ini terasa begitu asing sekarang.
“Apa aku benar-benar bagian dari dunia ini?” gumamnya pelan.
“Apa yang kau pikirkan?”
Suara berat itu membuat Alyssa tersentak. Ia menoleh dan melihat Valerian berdiri di ambang pintu, mengenakan jubah hitam panjangnya. Cahaya api biru dari obor yang tergantung di dinding menyoroti wajahnya, memberikan bayangan misterius yang membuat pria itu terlihat lebih tak terjangkau.
Alyssa menghela napas. “Terlalu banyak yang kupikirkan.”
Valerian berjalan mendekat dan bersandar di pagar balkon, menatap ke hamparan dunia di bawah mereka. “Aku bisa menebak beberapa di antaranya.”
Alyssa menatapnya curiga. “Oh ya? Coba tebak.”
Valerian tersenyum kecil, tapi ada kegetiran di matanya. “Kau bertanya-tanya apakah kau benar-benar bagian dari dunia ini, apakah kau pernah mengenalku, dan… apakah kau akan kehilangan semua ingatanmu jika tetap di sini.”
Alyssa terdiam.
Valerian menoleh ke arahnya, mata merahnya menatapnya lurus. “Aku benar, bukan?”
Alyssa menggigit bibirnya. “Ya. Dan aku tidak suka kenyataan bahwa kau tampaknya lebih tahu tentang diriku daripada aku sendiri.”
Valerian menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Aku tidak tahu semuanya, Alyssa. Tapi aku tahu satu hal dengan pasti—ini bukan pertama kalinya kita berbicara seperti ini.”
Alyssa menelan ludah. “Apa maksudmu?”
Valerian melipat tangannya di depan dada. “Kau sudah datang ke dunia ini sebelumnya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Setiap kali perang ini mencapai titik kritis, kau muncul. Tapi setiap kali juga, kau menghilang.”
Alyssa merasakan jantungnya berdebar kencang.
“Dan saat kau menghilang, tak seorang pun bisa mengingatmu,” lanjut Valerian. “Bahkan aku.”
Alyssa membeku. “Tapi kau mengingatku sekarang.”
Valerian tersenyum tipis, ekspresi yang sulit diartikan. “Ya. Aku mengingatmu… karena kali ini aku berhasil mengikat keberadaanmu di dunia ini.”
“Apa maksudmu?” Alyssa menegang.
Valerian menatapnya dalam-dalam. “Aku mengorbankan sebagian dari jiwaku untuk memastikan kau tidak akan terhapus dari sejarah lagi.”
Alyssa terperanjat.
“Kau… melakukan apa?”
Valerian menghela napas pelan. “Setiap kali kau kembali ke dunia ini, ada kekuatan yang mencoba menghapus keberadaanmu. Aku tidak tahu siapa atau apa yang melakukannya. Aku hanya tahu bahwa setelah kau pergi, seolah-olah kau tidak pernah ada. Tapi kali ini… aku tidak ingin itu terjadi lagi.”
Alyssa menggenggam erat perangkat di tangannya. Jika Valerian mengatakan yang sebenarnya, maka ini berarti ia telah kehilangan ingatannya tentang dunia ini lebih dari satu kali.
Dan jika ada sesuatu yang berusaha menghapusnya dari sejarah…
Apa alasannya?
Dan yang lebih penting—siapa yang cukup kuat untuk melakukan itu?
Teka-teki di Perpustakaan Terlarang
Malam itu, Alyssa memutuskan untuk tidak hanya berdiam diri. Jika dunia ini benar-benar menyembunyikan kebenaran tentang dirinya, maka ia akan menemukannya sendiri.
Ia berjalan menyusuri lorong-lorong istana iblis yang luas, menuju tempat yang menurutnya memiliki jawaban—Perpustakaan Terlarang.
Valerian pernah menyebut bahwa di dalamnya terdapat kitab-kitab kuno yang hanya bisa diakses oleh para penguasa iblis. Jika ada satu tempat yang menyimpan kebenaran tentang masa lalunya, maka itu ada di sana.
Namun, ketika ia tiba di pintu perpustakaan, seseorang sudah menunggunya.
Ezra.
Pria bermata ungu itu menatapnya dengan ekspresi penuh teka-teki. “Aku tahu kau akan datang ke sini.”
Alyssa tidak terkejut. “Dan kau tidak akan menghentikanku?”
Ezra tersenyum kecil. “Sebaliknya, aku ingin tahu apa yang akan kau temukan.”
Ia kemudian membuka pintu dengan satu gerakan tangannya. Pintu batu raksasa itu bergeser perlahan, mengungkapkan lorong panjang yang dipenuhi rak-rak buku kuno.
Alyssa melangkah masuk, jantungnya berdetak lebih cepat. Di antara deretan buku dan gulungan perkamen yang berdebu, matanya tertuju pada satu kitab yang terletak di atas meja tengah.
Kitab Ramalan Kegelapan.
Ia menelusuri halaman-halamannya dengan tangan gemetar, hingga matanya menemukan sebuah bagian yang tertulis dengan tinta emas.
“Dia akan kembali, seperti yang telah ditakdirkan.
Namun keberadaannya adalah paradoks yang tidak boleh ada.
Satu-satunya cara menjaga keseimbangan adalah menghapusnya…
Sebelum ia mengingat segalanya.”
Alyssa merasakan tubuhnya menegang.
Paradoks?
Menghapusnya sebelum ia mengingat segalanya?
Ezra membaca tulisan itu di belakangnya dan bersiul pelan. “Kelihatannya kau memiliki lebih banyak musuh daripada yang kau kira.”
Alyssa menutup kitab itu perlahan, mencoba menenangkan pikirannya yang berputar.
Seseorang atau sesuatu tidak ingin ia mengingat siapa dirinya sebenarnya.
Dan itu berarti…
Mengingat segalanya adalah satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran.
Ia menoleh ke Ezra, matanya penuh dengan tekad. “Aku akan mengingat semuanya.”
Ezra mengangkat bahu. “Kalau begitu, sebaiknya kau bersiap.”
“Bersiap untuk apa?”
Ezra tersenyum miring. “Untuk mereka yang tidak ingin kau ingat.”
Bab 6 – Ingatan yang Terhapus
Alyssa menutup kitab ramalan itu dengan tangan gemetar. Kata-kata yang baru saja ia baca berputar di kepalanya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Paradoks yang tidak boleh ada.”
“Satu-satunya cara menjaga keseimbangan adalah menghapusnya sebelum ia mengingat segalanya.”
Seseorang telah mencoba menghapus keberadaannya dari dunia ini.
Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali.
Ezra bersandar di meja dengan tangan terlipat. “Aku bisa melihat bahwa kau mulai menghubungkan semuanya.”
Alyssa menatapnya tajam. “Jika ini benar, jika aku memang telah hidup berkali-kali di dunia ini, maka itu berarti ada seseorang atau sesuatu yang mengawasi perjalananku.”
Ezra tersenyum tipis. “Dan mereka tidak ingin kau mengingat apa yang sebenarnya terjadi.”
Alyssa mengepalkan tangannya. “Lalu siapa mereka?”
Ezra mengangkat bahu. “Itulah misteri yang harus kita pecahkan, bukan?”
Alyssa membuang napas keras. Jika ada yang tidak ingin ia mengingat masa lalunya, maka itu berarti ada sesuatu yang disembunyikan. Dan yang lebih penting—mereka mungkin masih mengawasinya saat ini.
Mimpi yang Bukan Sekadar Mimpi
Malam itu, Alyssa tertidur dengan gelisah.
Saat ia memasuki alam mimpi, ia tidak berada di istana iblis atau laboratorium masa depan. Ia berdiri di tengah sebuah padang bunga yang luas, diterangi cahaya bulan keemasan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Di tengah padang itu, ada seorang pria berdiri membelakanginya.
Jantung Alyssa berdebar keras. Ada sesuatu tentang sosok itu yang terasa… familiar.
Pelan, ia melangkah mendekat. Namun, sebelum ia bisa melihat wajah pria itu, suara lembut terdengar di telinganya.
“Jangan mengingat.”
Alyssa terhenti.
Suara itu terdengar seakan berasal dari sekelilingnya, tapi juga langsung masuk ke pikirannya.
“Jika kau mengingat, kau akan menghilang.”
Alyssa menggigit bibirnya. “Siapa kau?” tanyanya dengan suara bergetar.
Namun suara itu hanya mengulangi kalimat yang sama.
“Jangan mengingat.”
Padang bunga di sekelilingnya mulai menghitam, kelopaknya berubah menjadi abu yang berterbangan di udara. Cahaya bulan keemasan meredup, digantikan oleh bayangan yang merambat dari segala arah.
Alyssa merasa tubuhnya kaku, seolah sesuatu sedang mencoba menariknya keluar dari mimpi ini—atau mungkin mencoba menghapusnya.
“Tidak!” Alyssa berteriak.
Ia berlari ke arah sosok pria di tengah padang, berusaha mencapai dirinya sebelum semuanya menghilang. Namun, semakin ia berlari, semakin jauh pria itu terasa.
Lalu, tepat sebelum semuanya menjadi gelap, pria itu berbalik.
Alyssa menahan napas.
Itu Valerian.
Namun ada sesuatu yang berbeda.
Matanya tidak lagi merah menyala. Mata itu berwarna perak, memancarkan cahaya yang begitu terang hingga terasa menyilaukan.
“Valerian?” suaranya bergetar.
Pria itu menatapnya seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum bibirnya bisa bergerak, dunia di sekeliling mereka runtuh.
Terbangun dalam Kepanikan
Alyssa terbangun dengan napas terengah-engah. Dadanya naik turun dengan cepat, tubuhnya basah oleh keringat dingin.
Ia memegang kepalanya yang berdenyut.
Itu bukan sekadar mimpi.
Itu adalah ingatan.
Tapi kenapa Valerian terlihat berbeda? Kenapa matanya bukan merah, melainkan perak?
Pikirannya masih kacau ketika ia mendengar suara pintu kamarnya diketuk keras.
“Alyssa!”
Itu suara Valerian.
Alyssa segera bangkit dan membuka pintu. Ia hampir tidak sempat bereaksi ketika Valerian langsung masuk, ekspresinya penuh amarah dan kekhawatiran.
“Kau tadi menghilang!” katanya tajam.
Alyssa mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Valerian menatapnya dengan serius. “Aku datang mencarimu, dan selama beberapa menit, kau tidak ada. Seolah-olah keberadaanmu dihapus dari dunia ini.”
Darah Alyssa berdesir.
“Jangan mengingat… atau kau akan menghilang.”
Suara dalam mimpinya kembali terngiang.
Seseorang atau sesuatu baru saja mencoba menghapusnya lagi.
Ia menatap Valerian. “Aku melihat sesuatu dalam mimpiku.”
Valerian mengepalkan tangannya. “Apa yang kau lihat?”
Alyssa ragu sejenak sebelum berkata, “Aku melihatmu… tapi kau berbeda. Matamu tidak merah. Matamu berwarna perak.”
Valerian membeku.
Matanya menyipit, seolah kata-kata itu membawa sesuatu yang asing tapi familiar dalam pikirannya.
“Perak…?” ia mengulang pelan.
Alyssa mengangguk. “Aku merasa itu adalah ingatan dari kehidupanku yang dulu. Tapi aku tidak tahu kenapa kau terlihat berbeda.”
Valerian mengalihkan pandangannya, seolah sedang mencoba mengingat sesuatu.
Lalu ia berkata dengan suara pelan, “Ada sesuatu yang tidak kau ketahui tentangku.”
Alyssa menelan ludah. “Apa?”
Valerian terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab.
“Aku… bukan hanya Raja Iblis.”
Alyssa merasakan jantungnya berhenti sesaat.
Valerian menatapnya lurus, dan untuk pertama kalinya sejak ia tiba di dunia ini, Alyssa melihat sesuatu di balik mata merah itu—sebuah rahasia yang telah terkubur dalam waktu.
“Di kehidupan yang dulu… aku bukanlah seperti ini,” katanya dengan suara berat. “Aku bukan iblis. Aku… adalah penjaga keseimbangan waktu.”
Alyssa merasa tubuhnya semakin lemas.
Penjaga keseimbangan waktu?
Apa artinya itu?
Dan jika Valerian benar-benar memiliki masa lalu yang berbeda…
Apa sebenarnya perannya dalam semua ini?
Bab 7 – Keputusan yang Menyakitkan
Alyssa menatap Valerian dengan kebingungan. Kata-kata pria itu menggema di kepalanya, mengguncang segala pemahamannya tentang dunia ini.
“Aku bukan hanya Raja Iblis… Aku adalah penjaga keseimbangan waktu.”
Tubuhnya terasa lebih ringan, seolah pikirannya sedang dipaksa untuk memahami sesuatu yang terlalu besar.
“Apa maksudmu… penjaga keseimbangan waktu?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Valerian menatapnya sejenak sebelum akhirnya melangkah ke jendela besar di kamarnya. Dari sana, langit merah yang suram tampak jelas, disertai suara gemuruh di kejauhan.
“Ada banyak hal yang telah kau lupakan, Alyssa,” katanya pelan. “Dan ada banyak hal yang juga aku lupakan… sampai kau kembali.”
Alyssa menggigit bibirnya. “Jadi, kau juga kehilangan ingatanmu?”
Valerian mengangguk perlahan. “Aku mengingat beberapa hal. Tapi sebagian besar telah terhapus… oleh sesuatu, atau seseorang.”
Alyssa mengepalkan tangannya. “Ini berarti ada kekuatan yang lebih besar yang berusaha mengendalikan kita. Aku selalu berpikir ini hanyalah tentang peperangan antara manusia dan iblis. Tapi sekarang aku sadar… ini lebih dari itu.”
Valerian menoleh ke arahnya, ekspresinya penuh keseriusan. “Ini tentang keseimbangan dunia. Dan lebih dari itu—tentang takdir yang terus berulang.”
Alyssa merasa dadanya sesak.
“Jadi, ini adalah semacam siklus? Kehidupanku di dunia ini selalu berakhir dengan aku menghilang… dan kau selalu kehilangan ingatanmu?”
Valerian tersenyum miring. “Terdengar menyedihkan, bukan?”
Alyssa merasakan sesuatu yang asing dalam hatinya. Kesedihan.
Jika ini benar… jika ini bukan pertama kalinya mereka bertemu… maka berapa kali mereka telah kehilangan satu sama lain?
Alyssa menelan ludah. “Jika aku tetap tinggal di dunia ini… aku akan kehilangan semua ingatanku tentang masa depan, bukan?”
Valerian terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, “Ya.”
Jawaban itu membuat Alyssa merasakan sesuatu yang menusuk dalam hatinya.
“Aku akan melupakan keluargaku, hidupku… semuanya?”
Valerian menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku tidak tahu pasti. Tapi yang jelas, semakin lama kau di sini, semakin banyak yang akan hilang.”
Alyssa mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan emosinya.
Lalu ia mengangkat wajahnya dan menatap Valerian dengan penuh tekad. “Kalau begitu… aku harus menemukan kebenarannya sebelum semuanya terlambat.”
Pilihan yang Sulit
Hari berikutnya, Alyssa kembali ke Perpustakaan Terlarang. Namun, kali ini, ia memiliki tujuan yang jelas—menemukan cara untuk memutus siklus ini.
Ezra sudah menunggunya di sana, bersandar pada salah satu rak buku dengan ekspresi santai. “Aku tahu kau akan kembali,” katanya.
Alyssa tidak membuang waktu. “Katakan padaku, Ezra. Apa yang kau tahu tentang siklus ini?”
Ezra mengangkat alis. “Langsung ke intinya, ya?”
Ia berjalan mendekat, lalu mengambil salah satu gulungan kuno di meja. “Ada sesuatu yang menarik dalam catatan lama ini. Tidak ada yang benar-benar memahami perang antara manusia dan iblis. Semua orang berpikir ini hanya tentang dominasi, kekuatan, atau balas dendam. Tapi jika kau melihat lebih dalam…”
Ia membuka gulungan itu, memperlihatkan tulisan-tulisan kuno yang terasa begitu akrab bagi Alyssa—seolah ia pernah membaca ini sebelumnya.
Ezra menunjuk satu baris. “Perang ini bukanlah tentang iblis melawan manusia. Ini adalah perang antara penguasa waktu dan penghancur keseimbangan.”
Alyssa menatapnya tajam. “Apa maksudnya?”
Ezra tersenyum tipis. “Valerian bukan hanya Raja Iblis, Alyssa. Di kehidupan sebelumnya, dia adalah penjaga keseimbangan waktu. Tapi sesuatu mengubahnya… atau mungkin seseorang.”
Alyssa menahan napas. “Siapa?”
Ezra menatapnya lurus. “Kau.”
Alyssa merasa tubuhnya membeku.
“Apa…?”
Ezra menyandarkan diri ke meja. “Dulu, kau adalah seseorang yang sangat berpengaruh dalam takdir Valerian. Kau bisa membawanya ke jalan yang benar… atau menghancurkannya.”
Alyssa menggigit bibirnya. “Jadi, setiap kali aku kembali, aku harus membuat keputusan yang sama?”
Ezra mengangguk. “Dan setiap kali kau memilih, siklus ini dimulai kembali.”
Alyssa menggeleng. “Tidak. Aku tidak ingin ini terjadi lagi. Aku tidak ingin hanya menjadi bidak dalam permainan ini.”
Ezra tersenyum samar. “Kalau begitu, kau harus memilih dengan hati-hati kali ini, Alyssa.”
Konfrontasi di Menara Iblis
Malam itu, Alyssa berdiri di puncak menara tertinggi di istana. Angin dingin menerpa wajahnya, membawa rasa dingin yang menusuk.
Valerian berdiri di dekatnya, menatap cakrawala yang gelap.
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanyanya.
Alyssa menarik napas dalam. “Aku ingin memutus siklus ini.”
Valerian menatapnya dengan mata tajam. “Dan bagaimana caramu melakukannya?”
Alyssa menggigit bibirnya. “Aku harus memilih.”
Valerian terdiam. Ia tahu bahwa pilihan ini akan mengubah segalanya.
Jika Alyssa memilih untuk tetap tinggal, ia akan kehilangan semua ingatannya dan siklus ini akan berulang lagi.
Jika ia memilih untuk pergi, Valerian mungkin tidak akan pernah mengingatnya lagi.
Alyssa menutup mata, mencoba mendengarkan suara hatinya.
Lalu, ia berkata dengan suara mantap—
“Aku akan tetap tinggal.”
Valerian menatapnya, ekspresinya penuh keterkejutan dan rasa tak percaya.
Alyssa tersenyum tipis. “Aku ingin menemukan kebenaran. Aku ingin mengetahui siapa yang berusaha menghapusku. Dan aku ingin berada di sisimu saat semua ini berakhir.”
Valerian masih terdiam, lalu akhirnya, ia tersenyum. Tapi kali ini, senyum itu penuh dengan emosi yang selama ini ia sembunyikan.
“Kalau begitu, kita akan menghadapinya bersama.”
Namun, jauh di kegelapan, seseorang sedang mengamati mereka.
Dan sosok itu tersenyum puas.
“Kau akhirnya memilih jalur ini… tapi apakah kau siap untuk konsekuensinya?”
Bab 8 – Cinta di Ambang Kehancuran
Angin malam bertiup kencang di atas menara tertinggi istana iblis, membawa aroma badai yang akan datang. Alyssa berdiri di sisi Valerian, menatap cakrawala yang gelap dengan perasaan yang bergejolak.
Ia telah membuat keputusannya.
Ia akan tetap tinggal.
Ia tahu risikonya—ia akan kehilangan ingatannya tentang dunia asalnya, tentang keluarganya, tentang kehidupannya sebagai ilmuwan. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa kebenaran ada di sini, di dunia ini, di sisi Valerian.
Valerian menatapnya lama, ekspresi wajahnya sulit ditebak. “Kau benar-benar yakin, Alyssa?”
Alyssa mengangguk mantap. “Ya.”
Valerian menghela napas dalam. Ia tidak menentang keputusan Alyssa, tetapi matanya menyimpan sesuatu—ketakutan.
“Aku tidak ingin kehilanganmu lagi,” katanya pelan.
Alyssa tersenyum tipis. “Kalau begitu, kita harus mencari cara untuk menghentikan siklus ini bersama-sama.”
Valerian meraih tangannya, genggamannya erat dan hangat. “Baik. Kita akan mencari kebenarannya, apa pun yang terjadi.”
Namun, saat mereka berdiri di sana, langit tiba-tiba bergemuruh, dan dari kejauhan, sebuah suara menggelegar menggetarkan seluruh dunia iblis.
Suara yang bukan berasal dari alam ini.
“Kau telah memilih jalur yang salah, Alyssa.”
Alyssa tersentak.
Valerian langsung menariknya ke belakang, sementara mata merahnya menyipit penuh kewaspadaan. “Siapa?”
Dari kegelapan, sosok misterius mulai muncul. Bayangan itu melayang di udara, diselimuti kabut hitam yang berputar seperti api gelap. Suara itu terdengar tanpa bentuk fisik, seakan berasal dari seluruh penjuru angin.
“Kau seharusnya tidak ada di sini.”
Alyssa menelan ludah, tubuhnya menegang. “Siapa kau?”
Bayangan itu perlahan membentuk wujud humanoid—sosok pria tinggi dengan jubah panjang yang melayang di udara. Wajahnya samar, tetapi mata peraknya berkilau tajam.
Alyssa membelalak.
Mata perak.
Sama seperti yang ia lihat dalam mimpinya.
Valerian menyadari hal yang sama dan segera berdiri di depan Alyssa, melindunginya. “Jadi kau akhirnya menunjukkan dirimu,” katanya dingin.
Bayangan itu tertawa rendah. “Tentu saja. Karena ia akhirnya memilih jalur yang membahayakan keseimbangan.”
Alyssa mengepalkan tangannya. “Keseimbangan apa? Kau yang selama ini menghapus ingatanku, bukan?”
Bayangan itu mengangguk perlahan. “Ya. Dan aku akan melakukannya lagi.”
Tiba-tiba, udara di sekeliling mereka bergetar hebat. Alyssa merasakan sesuatu yang menarik jiwanya, mencoba mencabutnya dari realitas ini. Matanya melebar saat kegelapan mulai mengelilinginya.
Tidak. Ini tidak boleh terjadi!
Valerian langsung menghunus pedangnya dan melesat ke arah bayangan itu dengan kecepatan yang luar biasa. Namun, sebelum serangannya bisa mencapai target, bayangan itu mengangkat satu tangan dan—
Braaak!
Valerian terhempas ke belakang, menghantam dinding batu menara dengan keras.
“Valerian!” Alyssa berteriak, berlari ke arahnya. Namun, sebelum ia bisa mendekat, kekuatan tak kasat mata mengangkat tubuhnya ke udara.
Bayangan itu mendekat.
“Maaf, Alyssa. Tapi kau tidak boleh ada di sini.”
Alyssa menjerit saat tubuhnya mulai bercahaya. Memori-memori di kepalanya mulai berputar, ingatannya berusaha dipaksa untuk lenyap. Ia bisa merasakan kehidupannya di masa depan mulai menghilang, wajah-wajah orang-orang yang ia kenal mulai memudar.
Tidak… tidak… aku tidak mau…
Valerian, yang masih terjatuh, menatapnya dengan ekspresi penuh keputusasaan. Ia mengepalkan tinjunya, lalu berteriak keras—
“Jangan sentuh dia!”
Ledakan energi hitam keluar dari tubuhnya, menyapu seluruh menara. Kegelapan itu menghantam bayangan misterius, memaksanya mundur.
Alyssa jatuh ke tanah dengan napas tersengal. Valerian langsung berlari dan menariknya ke dalam pelukannya.
“Kau baik-baik saja?” suaranya bergetar.
Alyssa mengangguk dengan lemah. “Aku masih di sini…”
Bayangan itu tampak terkejut, lalu matanya menyipit. “Menarik. Jadi kau masih bisa melindunginya… untuk saat ini.”
Valerian menatapnya dengan penuh amarah. “Aku tidak peduli siapa kau. Jika kau mencoba mengambilnya lagi, aku akan menghancurkanmu.”
Bayangan itu tersenyum tipis. “Kau tidak bisa menghancurkanku, Valerian. Karena tanpa aku… kau tidak akan pernah mengingat siapa dirimu yang sebenarnya.”
Alyssa tersentak.
“Apa maksudmu?” tanyanya.
Bayangan itu melayang lebih tinggi, lalu berkata dengan suara rendah, “Karena akulah yang mengutukmu. Akulah yang membuatmu menjadi Raja Iblis.”
Valerian membeku.
Alyssa menatapnya dengan kaget. “Apa…?”
Bayangan itu tertawa pelan. “Dan kau, Alyssa… kau adalah orang yang mencoba menyelamatkannya. Tapi kau gagal, berkali-kali.”
Kata-kata itu menusuk seperti belati di hati Alyssa.
Valerian adalah Raja Iblis karena seseorang mengutuknya.
Dan ia… sudah mencoba menyelamatkannya dalam setiap kehidupan yang ia jalani.
Tapi selalu gagal.
Bayangan itu mulai menghilang dalam kabut gelapnya. “Jika kau ingin mengingat semuanya… datanglah ke gerbang waktu di utara. Aku akan menunggu.”
Dan dengan itu, ia lenyap.
Alyssa dan Valerian berdiri di sana, masih terengah-engah.
Hening.
Lalu Alyssa berkata dengan suara pelan, “Kita harus pergi ke sana.”
Valerian menatapnya, ekspresinya penuh pertentangan. “Alyssa, ini bisa jadi jebakan.”
Alyssa menatapnya lurus. “Aku tahu. Tapi ini satu-satunya cara kita untuk mendapatkan jawaban.”
Valerian mengepalkan tinjunya. Ia tidak ingin kehilangan Alyssa lagi, tetapi ia juga tahu bahwa jika mereka tidak menghadapi ini sekarang, mereka akan selamanya terjebak dalam siklus yang sama.
Akhirnya, ia menghela napas.
“Baiklah,” katanya. “Kita pergi ke gerbang waktu.”
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu…
Perjalanan ini akan mengubah segalanya.
Bab 9 – Perpisahan Tanpa Kata
Perjalanan ke gerbang waktu di utara bukanlah perjalanan biasa.
Alyssa dan Valerian meninggalkan istana di bawah bayang-bayang malam. Angin dingin menerpa wajah mereka saat mereka melaju melintasi hutan gelap dengan kecepatan luar biasa. Valerian menggunakan kekuatannya untuk membuka jalan, sementara Alyssa merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya—seperti ada sesuatu yang mendekat, sesuatu yang tak terlihat, menunggunya di ujung perjalanan.
Setiap langkah terasa semakin berat, seolah dunia ini tahu bahwa mereka hampir sampai di akhir permainan.
Setelah berjam-jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di lokasi yang disebutkan oleh bayangan misterius.
Gerbang waktu.
Itu bukan gerbang biasa—bentuknya seperti dua pilar raksasa yang menjulang ke langit, terbuat dari batu hitam berkilauan dengan rune kuno yang bersinar samar. Di antara kedua pilar itu, ada pusaran cahaya perak berputar perlahan, seperti tirai yang membelah dua realitas berbeda.
Alyssa menelan ludah. “Jadi ini…”
Valerian berdiri di sampingnya, tatapannya tajam. “Gerbang antara masa lalu dan masa kini. Tempat di mana segalanya bisa diingat… atau dilupakan selamanya.”
Dari dalam pusaran cahaya itu, sosok yang mereka cari akhirnya muncul.
Bayangan misterius itu.
Ia melangkah keluar dengan elegan, jubah hitam panjangnya melayang pelan seperti asap. Matanya yang berwarna perak berkilat dalam kegelapan, menatap mereka seakan sedang menilai apakah mereka layak mengetahui kebenaran.
Alyssa mengepalkan tangannya. “Kau bilang kau yang mengutuk Valerian. Jelaskan semuanya.”
Bayangan itu tersenyum tipis. “Baiklah. Aku akan memberitahumu segalanya… karena ini adalah kesempatan terakhirmu untuk mengingat.”
Ia melangkah mendekat, dan begitu ia mengangkat tangannya, pusaran cahaya di gerbang berubah—menjadi seperti layar yang memproyeksikan gambar dari masa lalu.
Alyssa dan Valerian menahan napas saat bayangan itu berbicara.
Rahasia yang Terungkap
“Ada suatu masa… di mana kau dan Valerian bukanlah siapa pun di dunia ini. Kalian adalah dua jiwa yang bertemu di tempat yang salah, pada waktu yang salah.”
Dalam layar cahaya itu, Alyssa melihat sesuatu yang mengejutkannya.
Dua sosok—seorang pria dan seorang wanita—berdiri di bawah langit berbintang.
Itu dirinya dan Valerian… tetapi mereka berbeda.
Valerian tidak memiliki mata merah menyala atau aura gelap seperti sekarang. Matanya berwarna perak, sama seperti bayangan itu. Ia tampak seperti manusia… atau mungkin sesuatu yang lebih dari itu.
Dan dirinya—Alyssa dalam bentuk masa lalunya—mengenakan jubah putih dengan simbol aneh di dadanya.
“Alyssa…” Valerian berbisik, terkejut melihat dirinya sendiri dalam bentuk lain.
Bayangan itu melanjutkan.
“Pada masa itu, Valerian bukanlah Raja Iblis. Dia adalah Penjaga Waktu, makhluk yang bertugas menjaga keseimbangan antara realitas dan dimensi yang berbeda. Dan kau, Alyssa… kau adalah manusia yang datang dari dunia yang seharusnya tidak pernah ada di sini.”
Alyssa mengerutkan kening. “Aku manusia…?”
Bayangan itu mengangguk. “Ya. Kau adalah manusia yang masuk ke dalam dunia para penjaga waktu… dan jatuh cinta pada salah satu dari mereka.”
Alyssa tersentak.
Valerian menoleh ke arahnya, matanya menyiratkan emosi yang sulit dijelaskan.
“Namun, ada satu masalah,” lanjut bayangan itu. “Cinta kalian melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh penguasa waktu. Kau tidak boleh ada di dunia ini. Kau adalah anomali—sebuah paradoks dalam keseimbangan dunia.”
Alyssa menahan napas.
“Cinta kalian menyebabkan ketidakseimbangan dalam ruang dan waktu. Maka, untuk memperbaikinya…” bayangan itu menatap Valerian, “kau dihukum.”
Tiba-tiba, layar cahaya itu menunjukkan sesuatu yang lebih mengerikan.
Valerian dalam bentuk masa lalunya, sedang berlutut di hadapan sekelompok makhluk berjubah putih dengan simbol aneh di tubuh mereka. Wajahnya penuh penderitaan.
Dan di hadapannya—Alyssa dalam bentuk masa lalunya—sedang menangis.
“Sebagai hukuman atas cintamu, Valerian… kau diubah menjadi Raja Iblis, makhluk yang akan dikutuk untuk terus berperang dan tidak pernah menemukan kedamaian.”
Valerian membeku.
Alyssa merasa dadanya sesak. “Tidak…”
“Cara satu-satunya untuk menghentikan kutukan itu adalah jika Alyssa memilih untuk kembali ke dunianya dan melupakan semuanya. Tetapi…” bayangan itu tersenyum tipis, “kau selalu kembali.”
Pilihan yang Harus Dibuat
Pusaran cahaya menghilang, dan mereka kembali ke kenyataan.
Alyssa menatap Valerian, matanya penuh dengan air mata yang tertahan. “Aku… aku melakukan ini padamu?”
Valerian tidak menjawab. Ia tampak terpukul, seperti seluruh dunianya baru saja runtuh.
Bayangan itu berbicara lagi. “Kini kau tahu kebenarannya. Tapi kau masih bisa memilih.”
Alyssa mengangkat wajahnya.
“Jika kau melewati gerbang ini, kau akan kembali ke duniamu. Kau akan melupakan semuanya, dan Valerian akan tetap hidup dalam siklus tanpa akhir.”
Alyssa menatap gerbang itu.
“Tapi jika kau tetap tinggal… kutukan Valerian tidak akan pernah berakhir, dan perlahan, kau akan kehilangan semua ingatan tentang duniamu.”
Pilihan itu menghantamnya seperti pedang tajam.
Valerian menatapnya, mata merahnya berkilauan dalam kegelapan. “Alyssa… aku tidak ingin memaksamu.”
Alyssa menggigit bibirnya, pikirannya berputar liar.
Jika ia kembali, ia akan melupakan Valerian… tapi Valerian akan terus hidup dalam kutukannya.
Jika ia tetap tinggal, ia akan kehilangan dunianya… dan terus berputar dalam siklus tanpa akhir bersamanya.
“Apa yang harus kulakukan…?” bisiknya.
Bayangan itu tersenyum samar. “Itulah pilihan yang harus kau buat sendiri, Alyssa.”
Perlahan, ia mulai berjalan menuju gerbang.
Namun, sebelum ia bisa melewatinya…
“Alyssa.”
Suaranya menghentikan langkahnya.
Alyssa menoleh, dan sebelum ia menyadarinya, Valerian sudah berdiri tepat di depannya.
Ia meraih wajah Alyssa, menatapnya dengan intens.
Lalu, sebelum Alyssa bisa berkata apa-apa, bibir Valerian menyentuh bibirnya.
Ciuman itu dalam, penuh dengan emosi yang sulit dijelaskan—kesedihan, keinginan, dan perpisahan yang tak terucapkan.
Saat Valerian melepaskannya, Alyssa melihat sesuatu yang berubah dalam tatapannya.
Dan sebelum ia bisa bereaksi…
Dorongan lembut dari Valerian mendorongnya melewati gerbang waktu.
Alyssa berteriak.
“VALERIAN!”
Cahaya perak menyelimuti tubuhnya.
Dunia di sekelilingnya berubah.
Lalu semuanya menjadi gelap.
Bab 10 – Kisah yang Berulang
Keheningan.
Itu adalah hal pertama yang dirasakan Alyssa ketika ia terbangun.
Bukan suara gemuruh perang. Bukan bisikan iblis atau raungan sihir.
Hanya… keheningan.
Ia membuka matanya perlahan. Sinar matahari yang hangat menyentuh kulitnya, membuatnya menyipitkan mata. Ia terbaring di atas sesuatu yang lembut—bukan tanah keras istana iblis, bukan bebatuan dingin menara.
Ini… tempat tidurnya.
Alyssa terduduk dengan napas tersengal. Ia mengenali ruangan ini. Ini adalah apartemennya di dunia nyata.
Laboratoriumnya masih ada di sebelah. Buku-bukunya berantakan di meja. Perangkat teknologinya masih utuh, tidak ada tanda-tanda ia pernah meninggalkan tempat ini.
Kepalanya berdenyut, seolah ada sesuatu yang ia coba ingat, sesuatu yang penting.
Namun…
Kosong.
Ia mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi yang ada hanya kekosongan yang aneh di dalam dirinya.
“Aku… kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang?” gumamnya.
Ia berjalan ke meja, mencari sesuatu yang bisa memberikan petunjuk. Matanya menangkap bayangan dirinya di cermin—rambutnya acak-acakan, matanya sedikit merah, seolah ia baru saja menangis.
Tapi kenapa?
Apa yang telah terjadi?
Hari-hari berlalu dengan lambat. Alyssa mencoba kembali ke rutinitasnya sebagai ilmuwan, mencoba melanjutkan eksperimen yang sempat tertunda.
Namun, sesuatu terasa… salah.
Ia merasa ada bagian dari dirinya yang hilang, tetapi ia tidak tahu apa itu.
Malam-malamnya dipenuhi mimpi yang tidak jelas—tentang langit merah, tentang suara seseorang yang berbicara padanya dengan nada lembut namun penuh luka.
Tentang… mata merah yang menatapnya dengan penuh arti.
Tetapi setiap kali ia terbangun, semua itu menghilang seperti kabut pagi.
Ia tidak ingat.
Dan itu menyakitkan.
Sebuah Nama yang Tak Terlupakan
Suatu hari, saat ia sedang membaca jurnalnya, tangannya tanpa sadar menuliskan sebuah nama di sudut kertas.
Valerian.
Ia menatap nama itu lama.
Sebuah gelombang perasaan aneh menyapu dirinya—kesedihan, rindu, dan sesuatu yang lain… sesuatu yang lebih dalam.
Ia tidak tahu siapa Valerian. Ia tidak ingat pernah bertemu dengan seseorang dengan nama itu.
Namun, saat ia mengucapkannya pelan…
“Valerian…”
Dadanya terasa sesak.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Seolah-olah nama itu membawa sesuatu yang penting, sesuatu yang pernah menjadi bagian dari dirinya.
Tetapi tidak peduli sekeras apa pun ia mencoba mengingat, ingatan itu tetap berada di luar jangkauannya.
Di Tempat yang Berbeda, di Waktu yang Sama
Sementara itu, di dunia lain—
Di sebuah menara tinggi yang menghadap ke medan perang yang sunyi, seorang pria berdiri dengan jubah hitam berkibar di tiupan angin.
Matanya merah menyala, tetapi ada keheningan dalam tatapannya.
Ia berdiri di sana setiap malam, menatap langit, seolah sedang menunggu sesuatu.
Namun, ia tidak tahu apa yang ia tunggu.
Ia hanya tahu bahwa ada sesuatu yang hilang.
Ada seseorang… yang pernah berada di sisinya.
Namun, tidak peduli seberapa keras ia mencoba mengingat, kenangan itu terasa seperti bayangan yang menghilang dalam kabut.
Tetapi meskipun ia tidak mengingatnya…
Ia tahu satu hal.
Ia akan terus menunggu.
Karena suatu saat… ia yakin bahwa jiwa itu akan kembali padanya.
Dalam kehidupan yang lain.
Dalam takdir yang lain.
(TAMAT).
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.