Naira , seorang jurnalis investigasi, baru saja pindah ke apartemen kecil di kota. Dari jendela ruang tamunya, ia selalu melihat seorang pria di apartemen seberang yang setiap malam menatapnya tanpa pernah berbicara. Tanpa disadari, ia mulai jatuh cinta dalam diam.
Namun, suatu malam pria itu menghilang. Penasaran, Naira mencari tahu dan menemukan fakta mengejutkan pria itu, Reyhan, telah meninggal setahun yang lalu dalam kasus bunuh diri yang mencurigakan.
Saat Naira semakin menyelidiki kematian Reyhan, ia mulai menerima ancaman dari seseorang yang tidak ingin kebenaran terungkap. Ketika sahabatnya, Adrian , mengaku mengetahui siapa pembunuh Reyhan, Naira menyadari bahwa ia telah masuk ke dalam konspirasi berbahaya yang bisa mengancam nyawanya sendiri.
Bab 1: Tatapan di Balik Jendela
Dentingan jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Di luar, kota masih berdenyut dengan gemerlap lampu kendaraan yang melintas di bawah gedung apartemen. Dari balik jendela kamarnya, Naira menyesap teh hangat sambil mengamati pemandangan kota yang tak pernah tidur.
Apartemen barunya tidak besar, hanya satu kamar dengan dapur kecil dan ruang tamu yang cukup untuk satu sofa mungil. Namun, ada satu hal yang membuatnya menyukai tempat ini—jendelanya. Jendela besar di ruang tamunya menghadap langsung ke gedung apartemen seberang, memberikan pemandangan unik yang entah kenapa terasa menenangkan.
Malam ini adalah malam ketiga sejak ia pindah, dan untuk ketiga kalinya, matanya tertuju pada satu titik yang sama.
Seorang pria berdiri di jendela apartemen seberang, di lantai yang sejajar dengan apartemen Naira. Cahaya lampu dari dalam ruangan itu menyorot siluet tubuhnya dengan jelas. Pria itu tampak tinggi dan tegap, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan. Ia tidak melakukan apa pun, hanya berdiri di sana, menatap ke luar jendela—atau lebih tepatnya, ke arah Naira.
Naira menelan ludah. Ini bukan pertama kalinya mereka saling menatap. Sejak malam pertama ia pindah, pria itu selalu ada di sana.
Awalnya, Naira mengira itu hanya kebetulan. Mungkin pria itu hanya menikmati pemandangan seperti dirinya. Tapi semakin sering ia memperhatikan, semakin ia merasa pria itu memang menatapnya, seperti sedang mengawasi tanpa ekspresi.
Mungkinkah ia hanya membayangkannya?
Dengan sedikit ragu, ia mengangkat tangannya dan melambaikan jari pelan. Hanya sekadar untuk menguji apakah pria itu sadar dengan kehadirannya atau tidak.
Namun, pria itu tidak bereaksi. Tidak ada gerakan membalas, tidak ada perubahan ekspresi. Ia tetap berdiri di tempatnya, memandang lurus ke arah Naira dengan mata yang tak terbaca.
Jantung Naira berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang aneh dalam cara pria itu menatapnya. Bukan tatapan biasa, bukan pula tatapan yang mengganggu—tapi ada sesuatu di baliknya yang sulit dijelaskan.
Setelah beberapa saat, Naira menghela napas dan berbalik pergi.
“Mungkin dia hanya orang aneh,” gumamnya sambil berjalan menuju dapur untuk mencuci cangkir tehnya.
Namun, sebelum ia sempat meletakkan cangkir ke wastafel, perasaan tidak nyaman menyergapnya.
Entah kenapa, ia merasa… seolah masih diperhatikan.
Dengan ragu, ia kembali melirik ke arah jendela.
Pria itu masih ada di sana. Masih diam, masih menatap, seolah menolak untuk berpaling.
Naira merasakan bulu kuduknya meremang.
Sambil mengabaikan perasaan aneh yang menjalar di tubuhnya, ia menarik tirai jendela dengan cepat, menutup dunia luar dari pandangannya.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak pindah, ia merasa apartemen kecilnya bukan lagi tempat yang aman.
Bab 2: Pesan Tanpa Suara
Matahari mulai menembus celah-celah tirai jendela saat Naira membuka matanya dengan kepala yang terasa berat. Semalam ia tidur dengan perasaan gelisah, terus memikirkan pria di jendela apartemen seberang. Tatapan dingin pria itu masih terbayang jelas di benaknya.
Sambil menghela napas panjang, ia beranjak dari tempat tidur dan menuju dapur untuk membuat kopi. Setelah menyalakan mesin kopi, ia berjalan ke jendela ruang tamu, menyingkap tirai dengan sedikit ragu.
Jendelanya langsung mengarah ke apartemen seberang.
Dan pria itu masih di sana.
Jantung Naira hampir melompat keluar dari dadanya.
Berbeda dengan semalam, kali ini pria itu tampak duduk di dekat jendelanya, mengenakan sweater hitam dengan tudung yang sedikit menutupi rambutnya. Kepalanya sedikit tertunduk, tangannya terlipat di depan dada, dan ia tidak bergerak sama sekali.
Seolah-olah… dia sedang menunggu sesuatu.
Naira menelan ludah. Apa yang pria itu lakukan? Kenapa dia selalu ada di sana setiap malam?
Dengan hati-hati, Naira mengangkat tangannya dan kembali mencoba melambaikan tangan, meskipun rasa takut mulai menyusup ke dalam dirinya.
Tidak ada respons.
Pria itu tetap diam di posisinya, seakan-akan tidak menyadari bahwa Naira sedang mengamatinya.
Atau… mungkin dia memang tahu, tapi sengaja mengabaikannya?
Naira menghela napas dan menggelengkan kepala.
“Jangan terlalu dipikirkan, Na,” gumamnya pada diri sendiri.
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin pria itu hanyalah seseorang yang menikmati kesendirian dengan cara yang tidak biasa. Ia pun berusaha mengabaikan perasaan aneh yang merayap di dalam hatinya.
Namun, saat ia hendak menjauh dari jendela, sesuatu menarik perhatiannya.
Sebuah kertas kecil tertempel di kaca jendela apartemen pria itu.
Kertas itu tampaknya baru saja ditempelkan di sana—karena semalam ia yakin tidak melihat apa pun di kaca itu.
Dengan mata membelalak, Naira memusatkan pandangannya pada tulisan di kertas itu.
Huruf-hurufnya kecil dan sedikit buram dari kejauhan, tapi cukup jelas untuk dibaca:
“Jangan mencariku.”
Darah Naira seolah membeku di tempat.
Apa maksudnya? Apakah pesan itu ditujukan untuknya?
Dan yang lebih penting… siapa yang menulisnya?
Dengan napas memburu, Naira menatap pria itu sekali lagi.
Namun kali ini, sesuatu yang lebih aneh terjadi.
Pria itu perlahan-lahan mengangkat wajahnya dan… menatap Naira langsung.
Tatapan mereka bertemu untuk pertama kalinya dengan jelas. Mata pria itu dalam dan kelam, seperti menyimpan banyak cerita yang tak terungkap.
Detik itu juga, Naira merasa ada sesuatu yang salah.
Perasaan dingin menjalari tubuhnya. Entah kenapa, dia merasa pesan di jendela itu adalah sebuah peringatan.
Dan yang lebih menakutkan lagi…
Pria itu masih belum bergerak, bahkan tidak berkedip.
Seolah-olah dia bukan manusia… melainkan sesuatu yang lain.
Bab 3: Kehilangan Mendadak
Malam itu, Naira tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi oleh pesan di jendela apartemen pria itu:
“Jangan mencariku.”
Apa maksudnya? Kenapa pria itu selalu ada di jendela? Dan kenapa ia menuliskan pesan seperti itu?
Ia mencoba berpikir rasional. Bisa saja itu hanya kebetulan, mungkin pria itu sedang mengalami masalah dan tak ingin diganggu. Atau… mungkin juga itu bukan untuknya?
Namun, firasat buruk terus menghantuinya.
Ketika pagi menjelang, Naira tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju jendela, dan dengan ragu menyingkap tirai.
Kosong.
Pria itu tidak ada di sana.
Jantungnya berdegup kencang. Sejak ia pindah ke apartemen ini, pria itu selalu ada di jendela setiap malam. Tapi kali ini, tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Jendelanya pun tertutup rapat, seolah tidak pernah ada seseorang di sana sebelumnya.
Naira menelan ludah. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa pria itu mungkin hanya pergi ke suatu tempat.
Tapi rasa penasaran itu tak juga hilang.
Siangnya, ia memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Dengan langkah ragu, ia meninggalkan apartemennya dan menuju gedung seberang.
Saat tiba di lobi apartemen pria itu, Naira menghampiri resepsionis, seorang pria tua berkacamata tebal yang sedang sibuk membaca koran.
“Maaf, Pak, saya ingin bertanya,” ucap Naira dengan sopan.
Resepsionis itu menurunkan korannya dan menatapnya. “Ada yang bisa saya bantu?”
Naira menelan ludah sebelum bertanya, “Saya ingin tahu tentang penghuni di unit yang menghadap apartemen saya, lantai delapan. Saya sering melihat seseorang di jendela sana. Apa Anda tahu siapa dia?”
Pria tua itu mengernyit, seolah bingung dengan pertanyaannya. “Lantai delapan, unit yang menghadap ke arah sini?”
Naira mengangguk.
Pria itu diam sejenak sebelum menggelengkan kepalanya.
“Tidak ada penghuni di unit itu, Nak. Apartemen itu sudah kosong lebih dari setahun.”
Darah Naira seketika terasa membeku.
“Tapi… saya melihat seseorang di sana setiap malam,” katanya, suaranya terdengar goyah.
Resepsionis itu menghela napas dan menatapnya dengan pandangan aneh. “Mungkin Anda salah lihat. Tidak ada yang menempati unit itu sejak pemilik sebelumnya meninggal tahun lalu.”
Jantung Naira semakin berdetak tak karuan. “Meninggal?” tanyanya, nyaris berbisik.
Pria itu mengangguk. “Ya, pemilik sebelumnya… seorang pria muda. Kasusnya cukup tragis. Dia ditemukan tewas di apartemennya sendiri.”
Naira merasa napasnya tersangkut di tenggorokannya. “Bagaimana dia meninggal?”
Pria itu terdiam sesaat sebelum menjawab dengan suara rendah.
“Bunuh diri.”
Saat itu juga, seluruh tubuh Naira terasa dingin.
Pria yang selama ini ia lihat…
Pria yang selalu menatapnya dari jendela setiap malam…
Sudah meninggal setahun yang lalu.
Bab 4: Jejak yang Hilang
Naira berjalan pulang dengan langkah gontai. Kepalanya berdenyut keras, seakan mencoba menolak kenyataan yang baru saja ia dengar.
Pria di jendela itu sudah meninggal setahun yang lalu.
Tapi… bagaimana mungkin? Ia melihatnya setiap malam. Matanya tidak mungkin salah. Pria itu ada di sana, berdiri di balik jendela, menatapnya. Bahkan, ia melihat pesan di jendela apartemen itu sendiri: “Jangan mencariku.”
Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak masuk akal.
Sesampainya di apartemen, ia langsung menuju jendela dan menatap gedung seberang. Jendelanya tetap tertutup, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
Naira menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Namun, semakin ia berpikir, semakin kuat keinginannya untuk mencari tahu kebenaran.
Ia harus masuk ke apartemen itu.
Sore harinya, Naira kembali ke gedung seberang. Kali ini, ia tidak menemui resepsionis. Ia berjalan ke lift, tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol ke lantai delapan.
Begitu pintu lift terbuka, lorong di depannya terasa sunyi. Lampu-lampu menyala remang, dan udara di sana terasa lebih dingin dibandingkan di lobi.
Naira berjalan pelan, mengikuti nomor-nomor unit apartemen yang tertempel di pintu. Hingga akhirnya, ia berhenti di depan Unit 808.
Apartemen tempat pria itu tinggal.
Ia menempelkan telinganya ke pintu. Tidak ada suara apa pun dari dalam.
Dengan tangan gemetar, ia mencoba memutar gagang pintu—terkunci.
Matanya melirik ke bawah, melihat celah kecil di bawah pintu. Ia bisa melihat sedikit bagian dalam ruangan. Gelap. Sepi.
Namun, saat ia hendak berbalik pergi, ia menyadari sesuatu.
Ada sesuatu yang aneh.
Debu.
Lantai di depan pintu apartemen itu dipenuhi debu tebal. Begitu pula dengan gagang pintunya. Seolah-olah tempat itu sudah lama tidak tersentuh.
Tapi… jika apartemen ini tidak pernah dihuni selama setahun, bagaimana mungkin pria itu ada di jendela setiap malam?
Siapa yang menatapnya selama ini?
Naira meneguk ludah dan mundur perlahan. Napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang.
Ketika ia berbalik untuk pergi, sesuatu membuatnya terhenti.
Di ujung lorong, seseorang berdiri diam.
Seorang pria.
Naira tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena lampu lorong redup, tapi pria itu tinggi, mengenakan sweater hitam…
Sama seperti pria yang selama ini ia lihat dari jendela.
Jantung Naira berdegup semakin kencang.
Pria itu tidak bergerak. Hanya berdiri di sana… mengawasinya.
“Siapa…” Suara Naira nyaris tak terdengar.
Pria itu tetap diam.
Tiba-tiba, lampu lorong berkedip-kedip. Sekelebat bayangan melintas di sudut matanya.
Saat ia kembali menatap ujung lorong…
Pria itu sudah menghilang.
Darah Naira seakan membeku.
Ia berlari menuju lift secepat mungkin, menekan tombol turun berulang kali.
Saat pintu lift menutup, ia merasakan bulu kuduknya meremang. Seolah seseorang… atau sesuatu… masih mengamatinya dari kegelapan.
Bab 5: Fakta Mengejutkan
Pintu lift akhirnya terbuka di lobi. Naira langsung berjalan cepat menuju pintu keluar gedung tanpa menoleh ke belakang. Jantungnya masih berdegup kencang, tubuhnya sedikit gemetar.
Siapa pria itu?
Kenapa dia menghilang begitu saja?
Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Semua ini terlalu aneh, terlalu mustahil untuk dipercaya.
Namun, ada satu hal yang pasti—apartemen itu memang kosong, tak berpenghuni selama setahun. Tapi seseorang atau sesuatu masih ada di sana.
Naira memutuskan untuk pulang dan mencari tahu lebih banyak tentang pria itu. Ia menyalakan laptopnya dan mulai mencari berita tentang pemilik apartemen 808.
Tangannya sedikit gemetar saat mengetik kata kunci: “apartemen 808 kasus bunuh diri.”
Beberapa artikel berita muncul di layar. Ia mengklik salah satunya.
PRIA DITEMUKAN TEWAS DI UNIT 808, DIDUGA BUNUH DIRI
(29 Februari, satu tahun lalu)Seorang pria bernama Reyhan Alvaro (27) ditemukan tewas di dalam apartemennya, unit 808, setelah tetangga mencium bau tak sedap dari dalam ruangan. Polisi menyatakan kematiannya sebagai kasus bunuh diri, meskipun beberapa kejanggalan ditemukan di TKP.
Naira menelan ludah. Nama itu terdengar asing, tapi wajah di foto berita… itu dia.
Reyhan.
Pria yang selama ini ia lihat di jendela apartemen seberang.
Tapi… jika dia sudah mati setahun lalu, bagaimana bisa Naira melihatnya setiap malam?
Ia membaca lebih lanjut.
Menurut laporan, Reyhan ditemukan tergantung di dalam kamarnya, namun tidak ada surat wasiat atau tanda-tanda depresi sebelum kematiannya. Keluarga korban juga menyatakan bahwa Reyhan tidak memiliki alasan untuk mengakhiri hidupnya. Beberapa spekulasi menyebutkan adanya dugaan pembunuhan, tetapi polisi tidak menemukan bukti kuat yang mendukung teori tersebut.
Mata Naira membelalak.
Dugaan pembunuhan?
Jadi, bisa saja Reyhan tidak benar-benar bunuh diri?
Naira semakin tenggelam dalam pencariannya. Ia mencoba mencari informasi lebih lanjut tentang kehidupan Reyhan sebelum kematiannya. Setelah beberapa saat, ia menemukan akun media sosialnya yang masih aktif.
Anehnya, postingan terakhir Reyhan bertanggal sehari sebelum kematiannya.
Sebuah foto di jendela apartemennya.
Dan di seberang jendela… apartemen tempat Naira tinggal sekarang.
Keterangan di bawah foto itu membuat darahnya berdesir.
“Aku tahu aku diawasi. Aku tahu mereka tidak akan membiarkanku hidup lebih lama. Jika sesuatu terjadi padaku… jangan percaya siapa pun.”
Naira merasa tubuhnya merinding.
Dia sedang berbicara tentang siapa? Siapa yang mengawasi Reyhan?
Dan yang lebih penting…
Apakah orang yang membunuh Reyhan masih ada di luar sana?
Bab 6: Bisikan di Malam Hari
Sejak menemukan fakta bahwa kematian Reyhan mungkin bukan bunuh diri, Naira merasa dunianya berubah. Ia tidak bisa lagi mengabaikan firasat buruk yang terus menghantuinya.
Malam itu, apartemennya terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin di luar berdesir pelan, membuat tirai jendelanya sedikit bergerak.
Naira duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya, membaca ulang berita tentang kematian Reyhan. Setiap detail yang ia baca membuatnya semakin yakin—ada sesuatu yang disembunyikan dari kasus ini.
Tiba-tiba, sebuah suara lirih terdengar.
Bisikan.
Jantungnya langsung berdegup kencang.
Ia menoleh ke sekeliling apartemen, memastikan ia tidak salah dengar.
Hening.
Namun, saat ia mencoba kembali fokus ke laptopnya…
“Pergi…”
Naira menelan ludah. Suara itu sangat pelan, hampir seperti angin, tapi jelas terdengar di telinganya.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia berdiri dan berjalan ke jendela. Ia menyingkap tirai perlahan.
Apartemen Reyhan masih gelap. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Tapi perasaan itu tetap ada—seolah-olah seseorang mengamatinya dari dalam bayangan.
Naira menghela napas dan memutuskan untuk pergi tidur, berusaha mengabaikan ketakutannya.
Namun, ketika ia mematikan lampu dan berbaring di tempat tidur, suara itu kembali.
“Pergi… sebelum terlambat.”
Jantungnya hampir berhenti.
Suara itu terdengar lebih jelas sekarang, seolah berbisik langsung ke telinganya.
Naira langsung duduk tegak di tempat tidur, matanya melebar.
Ia menyalakan lampu kamar dengan cepat, mengatur napasnya yang memburu.
Tidak ada siapa-siapa di dalam apartemen.
Namun, ketika ia menoleh ke arah jendela…
Jendela apartemen Reyhan terbuka.
Dan di sana… sosoknya berdiri.
Reyhan.
Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Wajahnya lebih pucat, matanya kosong. Bibirnya bergerak perlahan, mengucapkan sesuatu… tapi tidak ada suara yang keluar.
Naira membeku di tempat.
Kemudian, secepat kilat, lampu di apartemen Reyhan padam.
Dan sosok itu menghilang.
Kini Naira yakin…
Apa pun yang terjadi pada Reyhan, seseorang atau sesuatu tidak ingin dia mencari tahu kebenarannya.
Bab 7: Ancaman Tak Terlihat
Sejak malam itu, Naira tidak bisa lagi mengabaikan firasat buruk yang terus menghantuinya. Bayangan sosok Reyhan di jendela, bisikan misterius di malam hari, dan fakta bahwa seseorang—atau sesuatu—tidak ingin dia mencari tahu kebenaran, semakin mengusiknya.
Namun, yang lebih mengganggu adalah rasa takut yang perlahan berubah menjadi obsesi.
Ia tidak bisa berhenti memikirkan Reyhan.
Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya.
Tapi semakin ia berusaha mencari jawaban, semakin banyak hal aneh yang mulai terjadi.
—
Keesokan harinya, saat Naira hendak keluar dari apartemennya, ia menemukan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Sebuah amplop coklat tergelatak di depan pintunya.
Tidak ada nama atau alamat pengirim.
Dengan hati-hati, ia mengambil amplop itu dan membukanya.
Di dalamnya, ada selembar kertas lusuh dengan tulisan tangan yang tampak tergesa-gesa.
Berhenti mencari. Kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan.
Tangan Naira langsung gemetar.
Seseorang tahu bahwa ia sedang mencari tahu tentang Reyhan.
Dan orang itu tidak ingin dia melanjutkan pencariannya.
Siapa yang mengirimkan ini?
Apakah ini hanya peringatan… atau ancaman?
—
Malamnya, ia tidak bisa tidur. Setiap suara kecil di luar apartemennya terdengar lebih menyeramkan dari biasanya.
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin ini hanya lelucon seseorang yang tahu bahwa ia tertarik dengan kasus Reyhan.
Namun, saat tengah malam tiba, sesuatu terjadi.
Ketika ia hendak menuju dapur untuk mengambil air, lampu di ruang tamu padam sendiri.
Jantungnya berdegup kencang.
Kemudian, suara ketukan terdengar dari jendela.
Tok. Tok. Tok.
Naira membeku di tempat.
Apartemennya ada di lantai delapan. Tidak mungkin ada seseorang di luar jendelanya.
Dengan napas tertahan, ia perlahan menoleh ke arah jendela.
Dan di sana… ada bekas tangan menempel di kaca.
Bekas tangan yang besar, samar, dan terlihat seperti baru saja ditekan dari luar.
Dingin langsung menjalari seluruh tubuhnya.
Dengan tangan gemetar, ia melangkah mundur.
Kemudian, suara itu terdengar lagi.
Tok. Tok. Tok.
Kali ini lebih keras.
Seakan sesuatu… atau seseorang… mencoba masuk.
Naira menahan napas, menutup mulutnya agar tidak berteriak.
Namun sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
“Aku sudah memperingatkanmu.”
—
Naira tahu satu hal pasti malam itu.
Seseorang benar-benar tidak ingin dia mengetahui kebenaran.
Bab 8: Luka Lama yang Terungkap
Naira mengunci pintu apartemennya rapat-rapat. Tangannya masih gemetar setelah kejadian tadi malam. Bekas tangan di jendela, ketukan misterius, dan pesan dari nomor tak dikenal membuatnya sadar bahwa ia benar-benar sedang diawasi.
Tapi oleh siapa?
Apakah ini ulah manusia? Atau sesuatu yang lebih menyeramkan?
Pagi ini, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih nekat. Ia harus menemukan orang yang bisa membantunya memahami apa yang terjadi pada Reyhan.
Satu-satunya petunjuk yang ia miliki adalah artikel berita yang menyebutkan bahwa keluarga Reyhan sempat mempertanyakan penyebab kematiannya.
Dengan cepat, ia mencari nama keluarganya di internet. Setelah beberapa pencarian, ia menemukan sebuah alamat—rumah orang tua Reyhan.
Tanpa pikir panjang, ia segera pergi ke sana.
—
Rumah itu terletak di pinggiran kota. Sebuah rumah tua dengan pagar besi dan taman kecil di depannya. Dengan hati-hati, Naira mengetuk pintu.
Tidak butuh waktu lama sebelum seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Matanya sayu, seolah kelelahan akibat beban yang sudah lama ia tanggung.
“Maaf, apakah saya bisa berbicara sebentar?” tanya Naira hati-hati.
Wanita itu mengamati Naira dengan curiga. “Kau siapa?”
“Saya… seorang tetangga. Saya tinggal di apartemen yang menghadap unit Reyhan,” jawabnya jujur.
Nama itu membuat wajah wanita itu berubah. Ada kesedihan di matanya, tapi juga ketakutan yang tidak bisa dijelaskan.
“Ada apa dengan Reyhan?” tanyanya dengan suara bergetar.
Naira menghela napas. “Saya ingin tahu… apakah kematiannya benar-benar karena bunuh diri?”
Mata wanita itu langsung melebar. “Siapa yang menyuruhmu bertanya?”
“Tidak ada,” Naira buru-buru menjawab. “Tapi saya merasa ada yang tidak beres. Saya sering melihat seseorang di jendela apartemennya… saya pikir itu Reyhan.”
Wanita itu langsung menutup mulutnya dengan tangan, matanya berlinang air mata.
“Kau melihatnya juga…” bisiknya.
Naira menahan napas. “Apa maksud Ibu?”
Wanita itu menatap Naira tajam. “Reyhan tidak bunuh diri.”
“Jadi… dia dibunuh?”
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia mengusap wajahnya, seolah enggan mengingat sesuatu yang menyakitkan.
“Kami tahu dia mendapat ancaman sebelum kematiannya. Dia sempat menelepon saya, mengatakan bahwa seseorang mengawasinya… bahwa dia tahu sesuatu yang seharusnya tidak dia ketahui. Sehari setelah telepon itu, dia ditemukan tewas di apartemennya.”
Naira menggigit bibirnya. Semua ini semakin masuk akal.
“Tapi… siapa yang mengancamnya?”
Wanita itu menggeleng. “Kami tidak tahu. Polisi tidak menemukan bukti cukup. Kasusnya ditutup begitu saja.”
Naira merasa perutnya mual. Reyhan tahu sesuatu yang berbahaya. Sesuatu yang membuatnya dibungkam.
Tapi jika benar ada seseorang yang membunuhnya… apakah orang itu masih ada di luar sana?
—
Saat Naira kembali ke apartemennya malam itu, kepalanya penuh dengan pertanyaan.
Namun sebelum ia sempat mencerna semuanya, sesuatu di lantai menarik perhatiannya.
Sebuah amplop cokelat… sama seperti yang ia temukan sebelumnya.
Dengan jantung berdebar, ia meraih amplop itu dan membuka isinya.
Hanya ada satu foto di dalamnya.
Sebuah foto Reyhan… diambil dari dalam apartemen Naira.
Tangannya bergetar hebat.
Seseorang telah mengambil foto ini dari dalam apartemennya sendiri.
Seseorang sudah ada di sini.
Bab 9: Kebenaran yang Menyakitkan
Tangan Naira gemetar saat memegang foto Reyhan yang diambil dari dalam apartemennya.
Seseorang telah masuk ke sini.
Dada Naira berdegup kencang. Ia memeriksa pintu dan jendelanya. Semua terkunci. Tidak ada tanda-tanda ada orang lain yang masuk.
Tapi kenyataan berkata lain.
Seseorang tidak hanya mengawasinya, tapi juga mencoba memperingatkannya—atau mengancamnya.
Dengan napas memburu, ia mengamati foto itu lebih teliti. Reyhan ada di dalamnya, berdiri di jendela apartemennya. Namun ada sesuatu yang lebih mengerikan dalam gambar itu.
Di belakang Reyhan… ada sosok lain.
Sebuah bayangan samar, berdiri di sudut apartemen, nyaris tak terlihat.
Naira merasa darahnya membeku. Jika foto ini benar, maka Reyhan bukan satu-satunya yang berada di apartemen itu sebelum dia meninggal.
Pikirannya mulai menghubungkan semua yang terjadi.
—
Reyhan merasa diawasi sebelum dia meninggal.
Dia mencoba memberi peringatan melalui media sosial.
Seseorang tidak ingin kebenaran tentang kematiannya terungkap.
Sekarang, orang itu juga mengawasi Naira.
—
Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan menghubungi satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya—Adrian, sahabatnya sejak kuliah.
“Na?” Suara Adrian terdengar mengantuk di ujung telepon.
Naira menahan air matanya. “Aku butuh bantuan.”
“Ada apa? Kau terdengar panik.”
“Aku… aku pikir aku dalam bahaya.”
Hening sejenak.
“Aku akan ke apartemenmu sekarang,” ujar Adrian cepat.
Naira mengangguk, meskipun tahu Adrian tidak bisa melihatnya. “Cepat, Adrian. Aku takut.”
—
Tiga puluh menit kemudian, bel apartemennya berbunyi.
Naira hampir menangis lega saat membuka pintu dan melihat Adrian berdiri di sana. Pria itu mengenakan jaket hitam, matanya menatapnya penuh kekhawatiran.
“Apa yang terjadi?” tanyanya langsung.
Naira tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan foto Reyhan itu pada Adrian.
Adrian melihatnya sejenak, lalu ekspresinya berubah.
“Wajahmu pucat,” gumam Naira.
Adrian terdiam, jemarinya meremas foto itu lebih kuat. “Di mana kau menemukan ini?”
“Seseorang meninggalkannya di depan apartemenku.”
Naira memperhatikan reaksi Adrian. Ada sesuatu dalam ekspresinya—sesuatu yang aneh.
Dan saat itu juga, sebuah firasat buruk menghantamnya.
Adrian tahu sesuatu.
Ia menatap pria itu dalam-dalam. “Adrian… kau tahu sesuatu tentang kematian Reyhan, bukan?”
Adrian tidak langsung menjawab. Matanya yang biasanya tenang kini penuh dengan konflik.
Naira merasa dadanya sesak. “Adrian, jawab aku!”
Akhirnya, pria itu menghela napas panjang.
“Aku ingin melindungimu, Naira,” bisiknya. “Tapi kau sudah terlalu jauh masuk ke dalam ini.”
—
Darah Naira berdesir.
Adrian tidak hanya tahu sesuatu.
Adrian terlibat dalam kematian Reyhan.
Bab 10: Cinta di Antara Ilusi dan Nyata
Ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Udara di apartemen Naira mendadak terasa dingin.
Adrian menatapnya, ekspresinya tegang, seolah sedang mempertimbangkan apakah ia harus mengungkapkan sesuatu atau tidak.
“Adrian,” suara Naira bergetar, “apa maksudmu? Apa yang kau sembunyikan dariku?”
Adrian mengusap wajahnya, lalu menghela napas panjang. “Aku tidak ingin kau masuk terlalu dalam, Na. Aku mencoba melindungimu.”
Naira merasakan jantungnya berdetak kencang. “Melindungiku dari apa? Atau… dari siapa?”
Adrian menunduk, menggenggam foto Reyhan lebih erat. “Aku tahu siapa yang membunuh Reyhan.”
Naira membeku. “Apa?”
“Aku ada di sana malam itu.”
Darahnya seakan berhenti mengalir.
Adrian ada di sana?
Dengan tangan gemetar, ia mundur selangkah. “Kau… apa yang kau lakukan di sana?”
Adrian menatapnya, matanya penuh rasa bersalah. “Aku tidak membunuhnya, Naira. Aku bersumpah. Tapi aku tahu siapa yang melakukannya.”
Naira merasa kepalanya pening. “Siapa?”
Adrian menelan ludah, lalu akhirnya mengucapkan sebuah nama.
“Erik.”
Naira tertegun. “Siapa itu?”
Adrian mengepalkan tangannya. “Mantan rekan bisnis Reyhan. Mereka bekerja di proyek yang sama, sesuatu yang Reyhan temukan… sesuatu yang berbahaya. Reyhan ingin membongkar kecurangan Erik, tapi sebelum dia bisa melakukannya, Erik membungkamnya.”
Naira merasa tubuhnya bergetar. “Jadi… Reyhan benar-benar dibunuh?”
Adrian mengangguk pelan. “Aku sempat datang malam itu, tapi aku terlambat. Aku melihat Erik keluar dari apartemen Reyhan. Dia hanya menatapku dan berkata, ‘Jangan ikut campur, atau kau yang selanjutnya.’”
Naira tidak bisa berkata apa-apa.
Semua yang ia curigai ternyata benar.
Reyhan tidak bunuh diri. Dia dibunuh.
—
Namun, ada satu pertanyaan yang belum terjawab.
Jika Reyhan sudah mati, siapa yang selalu menatap Naira dari jendela?
—
Seolah membaca pikirannya, Adrian berkata dengan suara pelan, “Kau benar-benar melihatnya, bukan? Reyhan?”
Naira menatapnya tajam. “Aku tahu ini gila, tapi ya. Aku melihatnya. Setiap malam. Di jendelanya.”
Adrian tampak pucat. “Itu tidak mungkin, Na.”
“Aku melihatnya, Adrian! Aku tidak gila!”
Adrian menelan ludah. “Itu berarti… dia belum pergi.”
—
Malam itu, Naira duduk di ruang tamunya, menatap jendela apartemen Reyhan.
Hujan turun perlahan, membuat kaca sedikit berkabut.
Adrian duduk di sampingnya, terdiam.
“Kau percaya aku?” bisik Naira.
Adrian mengangguk. “Aku percaya.”
Hening.
Lalu, sesuatu terjadi.
Dari balik kabut di jendela apartemen Reyhan, sebuah siluet muncul.
Reyhan.
Ia berdiri di tempat biasanya, menatap ke arah Naira.
Namun kali ini, ekspresinya tidak seperti sebelumnya.
Ada sesuatu yang berbeda.
Matanya terlihat lebih damai. Bibirnya bergerak pelan, seperti mengucapkan sesuatu.
Naira tidak bisa mendengar suaranya.
Tapi ia bisa membaca gerakan bibir itu.
“Terima kasih.”
Naira menutup mulutnya, menahan air matanya.
Kemudian, lampu di apartemen Reyhan padam sendiri.
Saat menyala kembali… Reyhan sudah tidak ada di sana.
—
Malam itu, Naira tahu satu hal.
Cintanya pada Reyhan mungkin tidak nyata.
Tapi kehadirannya… selalu ada.
Dan kini, setelah kebenaran terungkap, Reyhan akhirnya bisa pergi dengan tenang.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.