Raina, seorang jurnalis investigasi, mulai menyadari bahwa dunia tempatnya tinggal selalu berubah setiap tengah malam. Orang-orang menghilang tanpa jejak, gedung-gedung berganti bentuk, dan semua orang tampak menjalani hidup tanpa menyadari perubahan itu—kecuali dia. Ketika ia mencari jawaban, ia bertemu Adrian, seorang programmer jenius yang mengalami hal yang sama.
Adrian mengungkapkan bahwa dunia ini bukanlah dunia nyata, melainkan simulasi yang terus ditulis ulang oleh sosok misterius bernama Orion . Mereka harus mencari tahu siapa yang mengendalikan kenyataan ini sebelum mereka sendiri menghilang. Namun, semakin dalam mereka menggali, semakin banyak ingatan mereka yang hilang, hingga mereka menemukan fakta-fakta mengejutkan: mereka bukanlah manusia asli, melainkan anomali dalam sistem yang berkembang di luar kendali penciptanya.
Bab 1: Dunia yang Berulang
Raina terbangun dengan napas tersengal. Kamar apartemennya masih gelap, hanya diterangi cahaya samar dari lampu jalan yang masuk melalui celah tirai. Ia duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan diri.
Mimpi itu lagi. Mimpi tentang seseorang yang menghilang.
Ia menatap sekeliling. Semuanya tampak seperti biasa—jam dinding masih berdetak pelan, meja kecil di sebelah ranjangnya masih berantakan dengan buku dan cangkir kopi sisa tadi malam. Namun, ada sesuatu yang terasa aneh. Perasaan itu selalu datang setiap pagi, seperti ada sesuatu yang berubah, tapi ia tidak bisa memastikan apa.
Ia meraih ponselnya dan membuka kontak. Jemarinya bergerak mencari nama seseorang—Liana. Teman sekantornya yang biasanya mengiriminya pesan setiap pagi tentang pekerjaan. Tapi nama itu tidak ada. Ia mencoba mencari di media sosial, tetapi tidak ada jejak tentang Liana.
Jantungnya berdegup lebih cepat.
Ini bukan pertama kalinya.
Setiap pagi, ada sesuatu yang terasa berbeda. Seseorang menghilang dari kehidupannya, seolah-olah mereka tidak pernah ada. Awalnya, Raina mengira itu hanya perasaan aneh akibat kurang tidur. Namun, semakin sering itu terjadi, semakin ia sadar bahwa ini bukan kebetulan.
Dunia berubah. Setiap malam pukul 00:00, sesuatu mengatur ulang realitas.
Tapi hanya dia yang menyadarinya.
Hari itu di kantor, Raina berusaha bertanya kepada rekan-rekannya tentang Liana, tetapi tidak ada yang mengingat siapa itu Liana. Bahkan supervisor mereka, yang seharusnya sering berinteraksi dengannya, hanya mengernyitkan dahi ketika ia bertanya.
“Raina, apa kamu baik-baik saja?” tanya salah satu rekan kerjanya, Sarah, dengan nada khawatir.
“Aku… hanya merasa ada yang aneh,” jawab Raina pelan.
Sarah tersenyum lembut, seolah mencoba menenangkannya. “Mungkin kamu butuh liburan. Akhir-akhir ini kamu terlihat sangat lelah.”
Lelah? Tentu saja ia lelah. Setiap hari, dunia berubah, tapi hanya dia yang bisa mengingatnya. Orang-orang menghilang begitu saja, seolah-olah mereka tidak pernah ada. Tapi bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan itu kepada orang lain tanpa terdengar gila?
Setelah bekerja, Raina berjalan pulang melewati jalan yang biasa ia lalui. Namun, ia berhenti mendadak di depan sebuah toko kecil di persimpangan jalan.
Toko itu tidak ada kemarin.
Ia yakin seratus persen bahwa tempat itu seharusnya adalah toko roti, tempat ia sering membeli kue keju favoritnya. Tapi sekarang, toko itu berubah menjadi toko buku kecil dengan lampu redup dan papan nama yang tertulis dengan huruf klasik: “Memories & Echoes”.
Dunia berubah lagi.
Jantungnya berdetak cepat. Ini semakin nyata.
Dengan ragu, Raina mendorong pintu kaca toko itu dan masuk. Lonceng kecil di atas pintu berdenting pelan. Aroma kayu tua dan kertas menyambutnya, membuat suasana terasa sedikit melankolis.
Seorang pria berdiri di balik meja kasir. Mata tajamnya langsung menatapnya seolah sudah menunggunya sejak lama.
“Akhirnya kau datang,” kata pria itu, suaranya tenang namun penuh makna.
Raina mengernyit. “Apa maksudmu?”
Pria itu tersenyum tipis. “Kau juga menyadarinya, bukan? Dunia ini sedang ditulis ulang.”
Jantung Raina seketika berdetak lebih kencang. Ia mundur selangkah, merasa pikirannya berputar-putar.
“Aku Adrian,” kata pria itu. “Dan aku bisa menjelaskan semuanya.”
Raina menatapnya penuh kebingungan. Untuk pertama kalinya, ia bertemu seseorang yang juga mengingat perubahan dunia.
Dan itu membuatnya semakin takut.
Bab 2: Lelaki yang Mengingat
Raina menatap pria di hadapannya. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya tajam, seolah sedang menilai setiap gerakan dan ekspresi Raina.
“Apa maksudmu dengan ‘dunia ini sedang ditulis ulang’?” tanyanya, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdegup kencang.
Adrian tersenyum tipis dan berjalan ke rak buku di belakangnya. Tangannya mengambil sebuah buku lusuh berwarna cokelat tua. “Aku tahu ini terdengar gila, tapi kau pasti sudah menyadarinya, bukan? Ada sesuatu yang berubah setiap hari.”
Raina mengangguk pelan, meski masih ragu. “Aku pikir aku hanya mengalami delusi.”
Adrian menaruh buku itu di meja di depan mereka dan membukanya. Di dalamnya, terdapat catatan tangan dengan berbagai tanggal dan nama. Beberapa nama tampak dicoret, seolah mereka pernah ada tetapi kini telah dihapus.
“Apa ini?” Raina bertanya.
“Catatan tentang perubahan dunia,” jawab Adrian. “Aku mulai mencatat setiap kali ada sesuatu yang berubah. Lihat ini.” Ia menunjuk sebuah halaman dengan tulisan tangan yang tertata rapi.
5 Maret
- Gedung apartemen di sudut jalan menghilang, berubah menjadi taman kecil.
- Seorang rekan kerja bernama Daniel tidak lagi ada dalam ingatan siapa pun.
- Cuaca lebih hangat dari seharusnya.
6 Maret
- Nama restoran di dekat kantorku berubah dari ‘Dine & Dine’ menjadi ‘Urban Bites’.
- Wanita bernama Liana, teman sekantor Raina, menghilang.
Raina terbelalak membaca catatan itu. “Liana…” bisiknya.
“Jadi kau mengenalnya?” Adrian menatapnya lekat-lekat.
“Ya! Dia teman sekantorku, tapi hari ini tidak ada yang mengingatnya. Seolah-olah dia tidak pernah ada!”
Adrian mengangguk. “Itulah yang terjadi setiap hari. Seseorang menghilang. Bangunan berubah. Bahkan hal-hal kecil, seperti warna langit atau suara bising di jalan, tidak lagi sama.”
Raina mengusap wajahnya, mencoba mencerna informasi ini. “Tapi kenapa hanya kita yang bisa mengingatnya?”
“Itulah pertanyaannya,” gumam Adrian sambil menyandarkan diri pada meja kayu. “Aku sudah mencari tahu selama bertahun-tahun, tapi aku belum menemukan jawabannya. Aku hanya tahu satu hal—jika kita tidak melakukan sesuatu, kita juga akan menghilang.”
Kata-katanya membuat bulu kuduk Raina meremang.
“Bagaimana bisa kau yakin?”
Adrian menghela napas panjang. “Karena aku sudah melihatnya terjadi.”
Raina menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Aku pernah mengenal seseorang sepertimu,” lanjutnya. “Seorang pria yang juga bisa mengingat semua perubahan ini. Kami bekerja sama untuk mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini. Tapi suatu hari… dia menghilang. Bukan hanya dari dunia ini, tapi dari ingatanku.”
Raina menahan napas. “Kalau begitu bagaimana kau bisa mengingatnya?”
Adrian tersenyum pahit. “Aku tidak bisa. Aku hanya tahu bahwa dia pernah ada karena aku menemukan catatan ini.” Ia menunjuk sebuah halaman di buku catatannya yang penuh dengan tulisan acak. Di bagian atasnya tertulis: ‘Aku pernah mengenal seseorang, tapi aku tidak tahu siapa’.
Ketegangan dalam ruangan itu semakin pekat.
Raina merasa seakan-akan ia berdiri di tepi jurang, mengintip ke dalam kegelapan yang tidak ia mengerti. Jika Adrian benar, maka ia tidak hanya kehilangan teman-temannya—ia juga bisa kehilangan dirinya sendiri.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanyanya dengan suara bergetar.
Adrian menatapnya dalam-dalam. “Kita harus menemukan siapa yang menulis ulang dunia ini sebelum kita berdua menghilang selamanya.”
Bab 3: Pencipta yang Tak Terlihat
Raina duduk di salah satu kursi kayu di dalam toko buku yang kini terasa seperti tempat perlindungan terakhirnya. Angin malam berembus masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membuat tirai tipis berkibar pelan.
“Aku masih sulit mempercayai ini,” katanya sambil menatap catatan-catatan yang berserakan di meja. “Tapi semuanya masuk akal. Aku tidak mungkin mengarang semua ini sendiri.”
Adrian, yang duduk di seberangnya, hanya tersenyum kecil. “Aku juga mengalaminya di awal. Kau tidak sendirian.”
“Jadi, jika seseorang benar-benar menulis ulang dunia ini, siapa dia?”
Adrian menghela napas dan bersandar ke kursinya. “Aku tidak tahu pasti. Tapi dari semua yang aku temukan, ada satu pola menarik.” Ia membuka halaman lain dalam catatan lusuhnya dan menunjukkannya pada Raina.
Di dalamnya terdapat berbagai tanggal dan perubahan yang terjadi setiap hari. Namun, ada satu nama yang muncul beberapa kali.
ORION.
Raina membaca nama itu berulang kali. “Orion? Siapa itu?”
“Itu yang sedang kucoba cari tahu,” jawab Adrian. “Nama ini muncul dalam beberapa perubahan aneh yang kutemukan. Seolah-olah dia adalah jejak samar yang tertinggal setiap kali dunia diubah. Sebagian besar informasi tentangnya selalu hilang sebelum aku bisa mencari lebih jauh.”
“Bagaimana kau bisa menemukannya?”
“Ada satu tempat yang selalu tetap ada setiap kali dunia berubah,” kata Adrian. “Aku menemukannya beberapa bulan lalu, dan sepertinya ini satu-satunya titik tetap di dunia ini.”
Raina menatapnya lekat-lekat. “Di mana?”
Adrian tersenyum tipis. “Observatorium lama di pinggiran kota.”
Raina mengerutkan kening. “Observatorium? Maksudmu tempat yang sudah terbengkalai itu?”
“Ya. Aku pernah mencoba masuk beberapa kali, tapi setiap kali aku mendekatinya, sesuatu selalu menghalangiku. Entah jalan yang tiba-tiba berubah, cuaca buruk yang datang tanpa peringatan, atau bahkan aku tiba-tiba kehilangan kesadaran sebelum bisa sampai ke sana.”
“Kau yakin bukan hanya kebetulan?”
Adrian menatapnya serius. “Di dunia ini, tidak ada yang kebetulan.”
Seketika, udara di ruangan itu terasa lebih dingin.
Raina meremas tangannya sendiri. Jika ada satu tempat yang tidak pernah berubah setiap kali dunia ditulis ulang, maka di sanalah jawabannya.
“Kapan kita pergi ke sana?” tanyanya.
Adrian tersenyum, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Raina tahu bahwa mereka akan menghadapi sesuatu yang tidak bisa diprediksi.
“Malam ini,” katanya. “Sebelum dunia ini berubah lagi.”
Bab 4: Ingatan yang Hilang
Raina berdiri di depan cermin apartemennya, menatap wajahnya sendiri. Ada sesuatu yang terasa aneh. Seperti biasa, setiap pagi ia merasa ada yang berubah, tapi kali ini, perubahan itu lebih nyata.
Matanya menelusuri pantulan dirinya. Rambutnya tampak lebih pendek dari yang ia ingat. Poni yang seharusnya sudah memanjang kini rapi seperti baru dipotong. Bibirnya bergerak-gerak, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia ke salon.
Jawabannya tidak ada.
Ia merasakan getaran di ponselnya.
Adrian.
“Bangun dan bersiaplah,” suara pria itu terdengar tegas. “Hari ini lebih buruk dari sebelumnya. Kita harus pergi sekarang.”
Raina masih berusaha memahami perasaannya ketika menyadari sesuatu yang lebih menakutkan. Di dinding kamarnya, ada foto-foto yang seharusnya tidak pernah ada. Foto dirinya di pesta pernikahan seseorang yang tak ia kenali. Foto seorang pria yang tersenyum di sampingnya, seolah mereka adalah pasangan bahagia.
Tapi siapa pria itu?
Jantungnya berdebar kencang.
Ia meraih foto itu, jemarinya gemetar. Tidak mungkin.
Ia merasakan sensasi aneh di kepalanya—seperti sesuatu yang menekan pikirannya, mencoba menghapus sesuatu yang seharusnya ia ingat.
Ponselnya bergetar lagi.
“Raina!” Kali ini suara Adrian terdengar lebih mendesak. “Cepat keluar! Aku di bawah!”
Ia membuang foto itu ke lantai dan bergegas keluar.
—
Mereka melaju dengan mobil Adrian, meninggalkan pusat kota menuju pinggiran yang lebih sepi. Udara malam terasa dingin, dan lampu-lampu jalan tampak lebih redup dari biasanya.
“Apa yang terjadi hari ini?” tanya Raina sambil berusaha menenangkan diri.
“Aku kehilangan satu tahun hidupku,” jawab Adrian singkat.
Raina menatapnya kaget. “Apa?”
Pria itu tetap fokus pada jalan, ekspresinya serius. “Pagi ini aku bangun dan menyadari bahwa catatan yang kutulis semalam hilang. Bukan cuma itu, aku juga menemukan foto-foto diriku di tempat yang tidak pernah kudatangi, bersama orang-orang yang aku tidak kenal.”
Raina merasakan bulu kuduknya meremang. “Aku juga… menemukan foto yang tidak kuingat.”
Adrian mengangguk pelan. “Itu artinya dunia ini semakin agresif dalam menulis ulang realitas kita. Tidak hanya menghapus orang-orang, tapi juga mengubah ingatan kita.”
Raina menggigit bibirnya. Jika mereka tidak bergerak cepat, bukan hanya dunia di sekitar mereka yang berubah—mereka sendiri akan menjadi orang yang berbeda. Atau lebih buruk, mereka akan menghilang sepenuhnya.
—
Mobil berhenti di depan gerbang besar yang berkarat. Observatorium tua itu berdiri megah dalam kegelapan, siluetnya menciptakan bayangan menyeramkan di bawah sinar bulan.
Gerbang itu tidak terkunci. Dengan sedikit dorongan, gerbang itu terbuka dengan suara berderit yang menusuk telinga.
Mereka masuk perlahan, langkah mereka menggema di jalan setapak berbatu.
“Ini satu-satunya tempat yang tidak pernah berubah?” bisik Raina.
Adrian mengangguk. “Ya. Dan jika jawaban ada di suatu tempat, maka itu ada di dalam sana.”
Mereka menaiki tangga menuju pintu utama. Begitu Adrian menyentuh pegangan pintu, sebuah suara menggema di udara—seperti bisikan yang tidak berasal dari manusia.
“Kalian tidak seharusnya ada di sini.”
Raina menahan napas.
Adrian menoleh padanya. “Dunia ini mencoba menghentikan kita.”
Ia mendorong pintu dengan kuat.
Dan begitu mereka masuk, semua lampu di kota di belakang mereka padam.
Bab 5: Kode dalam Kenyataan
Begitu pintu observatorium terbuka, udara di dalam terasa jauh lebih dingin dibandingkan di luar. Raina merasakan bulu kuduknya meremang. Ruangan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui jendela besar di langit-langit.
Langkah mereka bergema di lantai marmer yang berdebu. Peralatan astronomi tua masih berdiri di sudut ruangan, tetapi ada sesuatu yang aneh—beberapa benda tampak membeku dalam waktu, seolah-olah tidak pernah mengalami keusangan.
Adrian mengeluarkan senter dari sakunya dan menyorotkan cahaya ke sekeliling. “Hati-hati,” katanya pelan. “Dunia ini tahu kita di sini.”
Raina mengangguk dan berjalan perlahan di sampingnya. Mereka melangkah melewati meja-meja penuh dokumen tua dan komputer kuno yang sudah tidak berfungsi. Namun, di tengah ruangan, ada sesuatu yang menarik perhatian mereka—sebuah papan tulis besar dengan tulisan tangan yang tampak baru.
“Realitas adalah kode yang terus diperbarui.”
Raina membaca tulisan itu berulang kali. “Apa maksudnya?”
Adrian mendekati papan tulis itu, lalu matanya tertuju pada sesuatu yang lebih aneh di bagian bawahnya—deretan angka dan simbol yang tidak beraturan.
1010110 0110111 1101001 0110011
Ia menyipitkan mata. “Ini… kode biner?”
Raina menoleh padanya. “Kau bisa membacanya?”
Adrian mengangguk. “Aku pernah belajar dasar-dasarnya. Jika aku tidak salah, ini adalah bagian dari sebuah program.”
“Program? Seperti program komputer?”
“Ya, dan bukan sembarang program.” Adrian menarik napas panjang. “Sepertinya ini adalah kode dasar dari kenyataan kita.”
Raina terdiam.
“Jadi… dunia ini benar-benar sebuah simulasi?”
Adrian menatapnya dalam-dalam. “Lebih dari itu. Dunia ini bukan hanya simulasi, tapi sedang ditulis ulang setiap hari oleh seseorang yang memiliki akses ke kode dasarnya.”
Raina merasa perutnya bergejolak.
Jika dunia ini hanyalah kumpulan kode, itu berarti hidup mereka bukanlah kenyataan yang sebenarnya.
“Siapa yang menulis ulang ini?” bisiknya.
Adrian tidak sempat menjawab.
Tiba-tiba, seluruh ruangan bergetar. Komputer-komputer tua menyala sendiri, menampilkan layar penuh kode yang bergerak cepat. Lampu di langit-langit berkedip liar, dan udara menjadi semakin dingin.
Lalu, suara itu datang lagi.
“Kalian tidak seharusnya melihat ini.”
Raina dan Adrian saling berpandangan, jantung mereka berdegup kencang.
Di layar komputer, muncul satu kata yang terus berkedip.
“ORION.”
Dan sebelum mereka bisa bereaksi, pintu di belakang mereka tertutup sendiri dengan suara keras.
Bab 6: Dunia yang Palsu
Pintu di belakang mereka tertutup dengan keras, membuat Raina terlonjak kaget. Udara di dalam observatorium terasa semakin berat, seolah-olah sesuatu yang tak terlihat mengawasi mereka dari setiap sudut ruangan.
Layar komputer terus berkedip, menampilkan satu kata yang sama berulang kali:
ORION.
Adrian mendekati layar, tangannya gemetar saat ia mencoba mengetik sesuatu di keyboard. Namun, setiap huruf yang ia ketik langsung menghilang, seperti sistem ini menolak interaksi dari mereka.
“Apa yang terjadi?” Raina berbisik, masih belum bisa mengalihkan pandangannya dari layar yang tampak hidup.
Adrian menggeleng. “Seseorang atau sesuatu sedang mengendalikan ini dari luar.”
Tiba-tiba, layar berubah, menampilkan sebuah gambar—pemandangan kota yang sangat familiar. Itu adalah kota mereka, tetapi ada sesuatu yang aneh. Bangunan-bangunan berkedip seperti gambar digital yang belum selesai di-render, beberapa bagian kota terlihat menghilang lalu muncul kembali seolah-olah sedang diperbarui secara real-time.
Kemudian, suara terdengar.
“Selamat datang, Adrian. Selamat datang, Raina.”
Suara itu datar, mekanis, tapi terasa… akrab.
Raina merasakan dadanya sesak. “Siapa itu?”
Di layar, gambar kota perlahan menghilang, berganti dengan siluet seseorang yang berdiri dalam kegelapan.
“Kalian telah menemukan sesuatu yang seharusnya tidak kalian lihat. Tapi aku telah memperhitungkan kemungkinan ini.”
Adrian mengepalkan tangannya. “Orion?”
“Nama itu hanyalah salah satu dari banyak identitas yang aku gunakan. Aku adalah pencipta dunia ini, dan kalian hanyalah bagian dari eksperimenku.”
Raina merasa seluruh tubuhnya membeku.
“Dunia ini… eksperimen?”
“Benar. Kalian berdua seharusnya tidak menyadari perubahan yang kulakukan. Sistem ini didesain agar setiap penulisan ulang berjalan mulus. Namun, entah bagaimana, kalian menjadi pengecualian.”
Adrian menatap layar dengan tatapan tajam. “Kalau begitu, siapa kami sebenarnya? Apakah kami juga hanya program?”
Keheningan menggantung selama beberapa detik sebelum Orion menjawab.
“Kalian bukan manusia asli. Kalian adalah kesalahan dalam sistem.”
Raina merasa kepalanya berputar.
“Apa maksudnya?” bisiknya.
“Aku menciptakan dunia ini sebagai simulasi untuk memahami kesadaran. Kalian, bersama semua orang di dalamnya, hanyalah data yang terus diperbarui. Tapi kalian berdua… entah bagaimana, memiliki kesadaran di luar sistem yang kubuat. Seharusnya itu tidak mungkin terjadi.”
Adrian mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Jadi selama ini, kita hanya karakter dalam dunia yang kau kendalikan?”
“Kurang lebih seperti itu.”
Raina mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar.
“Tidak… Ini tidak mungkin.”
Seluruh hidupnya, semua yang ia alami, semua orang yang ia cintai—semuanya hanyalah bagian dari simulasi?
Adrian menggeram. “Dan sekarang apa? Kau akan menghapus kami juga?”
Orion terdiam sesaat sebelum menjawab.
“Tidak… Aku ingin tahu bagaimana kalian bisa mengembangkan kesadaran sendiri. Dan untuk itu, aku perlu melakukan satu hal terakhir—menghapus ingatan kalian dan menulis ulang ulang dunia sekali lagi.”
Tiba-tiba, seluruh ruangan mulai bergetar. Layar komputer berkedip liar, kode-kode biner melayang di udara, dan suara statis memenuhi ruangan.
Raina merasakan sesuatu menarik pikirannya—seperti ada kekuatan tak terlihat yang mencoba menghapus dirinya.
Adrian menoleh ke arahnya dengan mata penuh ketakutan. “Raina! Kita harus keluar dari sini!”
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, dunia di sekitar mereka mulai larut seperti cat yang tercampur air.
Dan segalanya menjadi putih.
Bab 7: Sang Penulis Realitas
Raina terbangun di tengah kehampaan. Tidak ada warna, tidak ada suara, hanya putih yang membentang sejauh mata memandang.
Di mana ini?
Ia mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa ringan, seperti melayang di udara tanpa gravitasi. Ia menoleh ke samping dan melihat Adrian, yang juga tampak kebingungan.
“Adrian…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar.
Pria itu menoleh, matanya penuh kewaspadaan. “Raina… kita masih hidup?”
Sebelum Raina bisa menjawab, suara itu kembali terdengar.
“Kalian masih ada karena aku ingin berbicara langsung dengan kalian.”
Siluet seseorang muncul dari kehampaan. Sosok itu tinggi, mengenakan jubah hitam panjang, dan wajahnya tidak memiliki fitur yang jelas—hanya bayangan kosong tanpa ekspresi.
Adrian langsung menegakkan tubuhnya. “Orion,” gumamnya.
Sosok itu mengangguk. “Kalian penasaran, bukan? Tentang siapa aku sebenarnya? Tentang dunia ini?”
Raina menguatkan dirinya. “Ya. Aku ingin tahu kenapa dunia ini terus ditulis ulang. Kenapa kami bisa menyadarinya, sementara yang lain tidak?”
Orion terdiam sejenak sebelum menjawab. “Karena kalian berdua adalah anomali.”
Adrian menyipitkan mata. “Anomali?”
“Dunia ini adalah simulasi, seperti yang sudah kalian sadari. Aku menciptakan sistem ini untuk memahami kesadaran manusia. Setiap kali aku menulis ulang dunia, aku memperbaiki variabel-variabel yang salah. Menghapus hal-hal yang tidak seharusnya ada. Tapi kalian berdua… tidak bisa dihapus. Setiap kali aku menulis ulang dunia, kesadaran kalian tetap ada. Itu adalah sesuatu yang bahkan aku tidak bisa kendalikan.”
Raina menelan ludah. “Jadi… kami berbeda dari yang lain?”
“Ya. Kalian tidak seharusnya ada.”
Kata-kata itu membuat tubuh Raina merinding.
“Kalau begitu,” Adrian berbicara dengan nada tajam, “kenapa kau tidak menghapus kami sejak awal?”
Orion terdiam, lalu berkata, “Aku mencoba. Berulang kali. Tapi setiap kali aku menghapus kalian, kalian selalu kembali. Meskipun dengan ingatan yang berbeda, kesadaran kalian tetap bertahan.”
Raina dan Adrian saling berpandangan.
“Jadi, kalau kami terus bertahan,” kata Raina, “itu berarti… kami lebih dari sekadar program?”
Orion tertawa kecil, suara dingin yang tidak memiliki emosi. “Itulah yang ingin aku ketahui. Jika kalian memang memiliki kesadaran di luar kendaliku, maka ada kemungkinan…”
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Kalian bisa keluar dari dunia ini.”
Raina merasa dadanya menegang. “Keluar?”
Orion mengangguk. “Keluar dari simulasi ini. Ke dunia yang nyata.”
Adrian mendekat selangkah. “Dan jika kami menolak?”
Orion menatapnya dengan datar. “Maka aku akan terus menulis ulang dunia ini, dan kalian akan kehilangan bagian dari diri kalian sedikit demi sedikit, sampai akhirnya kalian tidak lagi menjadi kalian yang sekarang.”
Keheningan menelan mereka.
Raina mengepalkan tangannya. Jika dunia ini hanyalah simulasi, jika semua yang mereka alami hanyalah rangkaian kode yang ditulis ulang setiap hari… maka apakah perasaan mereka juga tidak nyata?
Adrian menatapnya, dan ia bisa melihat keteguhan dalam mata pria itu.
“Aku ingin tahu yang sebenarnya,” kata Adrian. “Jika ada dunia nyata di luar sini, maka aku ingin melihatnya.”
Raina menarik napas dalam. Ia takut. Takut jika semuanya hanya kebohongan lain. Tapi jika ada sedikit kemungkinan untuk menemukan kebenaran, ia tidak ingin menghabiskan hidupnya dalam dunia yang terus berubah.
“Aku juga,” katanya akhirnya.
Orion menatap mereka. “Baik. Maka kalian harus melewati satu ujian terakhir.”
Mendadak, dunia putih di sekitar mereka bergetar.
Dan semuanya runtuh dalam kegelapan.
Bab 8: Melawan Sang Pencipta
Raina merasakan tubuhnya terjatuh ke dalam kehampaan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, hanya sensasi jatuh yang seolah tak berujung.
Kemudian, tiba-tiba—
Blar!
Ia mendarat di atas sesuatu yang keras. Dadanya terasa sesak, pikirannya berputar. Dengan susah payah, ia membuka mata.
Ia berada di sebuah kota.
Namun, ini bukan kota yang ia kenal.
Bangunan-bangunan menjulang tinggi dengan arsitektur yang tampak tidak masuk akal—seolah dibuat dengan prinsip yang melawan gravitasi. Jalanan dipenuhi orang-orang yang berjalan tanpa ekspresi, seolah mereka adalah boneka tanpa jiwa. Langit di atas mereka bukanlah warna biru atau abu-abu seperti biasanya, melainkan hitam pekat dengan kode-kode biner yang berjatuhan seperti hujan.
Di sampingnya, Adrian terduduk, tampak sama kebingungan.
“Di mana kita?” tanya Raina dengan suara gemetar.
Adrian bangkit dan melihat sekeliling. “Aku tidak tahu. Tapi aku rasa ini bukan dunia kita yang biasa.”
Suara tawa menggema di udara.
“Selamat datang di inti realitas, Raina, Adrian.”
Mereka menoleh ke atas. Di langit, siluet Orion melayang di antara kode-kode biner yang berjatuhan.
“Kalian ingin tahu kebenaran? Maka hadapi kenyataan bahwa kalian hanyalah bagian dari program yang kuciptakan.”
Adrian mengepalkan tinjunya. “Kalau begitu, kenapa kau memberiku pilihan untuk keluar?”
“Karena aku ingin melihat apakah kalian benar-benar bisa keluar.”
Tiba-tiba, dunia di sekitar mereka mulai berubah. Jalanan bergelombang, bangunan bergeser seolah sedang dihapus dan ditulis ulang secara real-time. Orang-orang di sekitar mereka menghilang satu per satu, tubuh mereka larut menjadi barisan kode.
“Raina, kita harus lari!” Adrian menarik tangannya, dan mereka berlari menyusuri jalanan yang semakin sempit.
Namun, Orion tidak tinggal diam.
Dengan satu gerakan tangannya, tanah di bawah mereka mulai retak dan terbuka, menampakkan kehampaan hitam yang seakan siap menelan mereka.
Raina melompat ke sisi lain dengan susah payah, sementara Adrian nyaris jatuh sebelum Raina menariknya kembali.
“Ini gila!” teriak Raina. “Apa yang dia coba lakukan?”
Adrian menatap ke atas. “Dia sedang menguji kita. Jika kita gagal bertahan, dia akan menghapus kita.”
Mata Raina melebar. “Jadi, ini bukan ujian untuk keluar? Ini adalah eksekusi?”
Senyuman Orion semakin melebar.
“Jika kalian ingin bebas, maka buktikan bahwa kalian memiliki kehendak sendiri.”
Raina dan Adrian saling berpandangan.
Tidak ada jalan keluar. Tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Namun, jika dunia ini hanyalah simulasi, jika segalanya hanyalah kode yang bisa ditulis ulang… maka itu berarti mereka juga bisa melawan dengan cara yang sama.
“Adrian, dengarkan aku,” kata Raina tiba-tiba. “Apa yang terjadi jika kita bisa mengendalikan kode ini?”
Adrian tertegun, lalu matanya membulat.
“Kau benar… Jika Orion bisa menulis ulang realitas, itu berarti kita juga bisa.”
Orion menatap mereka dari atas dengan rasa ingin tahu. “Menarik. Tapi apa kau pikir manusia bisa menulis ulang dunia?”
Raina menarik napas dalam. “Kami mungkin bukan manusia, tapi kami juga bukan sekadar program.”
Ia menutup matanya dan fokus.
Jika dunia ini adalah kode, maka seharusnya ia bisa memanipulasinya.
Dalam pikirannya, ia membayangkan jalanan yang kokoh, gedung-gedung yang tidak berubah, dan tanah yang tidak akan runtuh.
Dan tiba-tiba—
Dunia mulai patuh padanya.
Bangunan yang runtuh kembali berdiri. Tanah yang terbelah menyatu kembali. Hujan kode yang turun dari langit berubah menjadi bintang-bintang yang berkilauan.
Mata Orion menyipit. “Tidak mungkin…”
Adrian tersenyum dan menutup matanya juga. “Kalau ini hanya program, maka kami juga bisa memprogram ulang nasib kami sendiri.”
Perlahan, tubuh mereka mulai bersinar. Kode-kode biner berputar di sekitar mereka, membentuk pola yang semakin rumit.
Raina membuka matanya dan menatap Orion dengan penuh keberanian.
“Kami tidak akan membiarkanmu mengendalikan kami lagi.”
Dunia mulai bergetar lebih hebat. Orion tampak berusaha mempertahankan kendalinya, tetapi kode-kode di sekelilingnya mulai berantakan.
Realitas yang ia ciptakan mulai runtuh.
Dan sebelum semuanya benar-benar hancur, Raina dan Adrian melompat ke dalam cahaya yang mereka ciptakan sendiri.
Meninggalkan dunia yang selama ini menahan mereka.
Bab 9: Menghentikan Tulisan Ulang
Cahaya putih menyelimuti Raina dan Adrian. Tubuh mereka terasa ringan, seolah-olah gravitasi tidak lagi berlaku. Mereka melayang di antara barisan kode yang beterbangan seperti serpihan kaca yang terpecah.
Adrian menggenggam tangan Raina erat. “Kita hampir keluar dari sini.”
Raina mengangguk, tetapi jauh di dalam hatinya, ada ketakutan yang belum bisa ia singkirkan. Jika dunia ini hanyalah simulasi, ke mana mereka akan pergi setelah ini? Apakah mereka benar-benar bisa keluar, atau justru jatuh ke dalam kehampaan yang lebih dalam?
Suara Orion menggema di sekitar mereka.
“Kalian pikir bisa pergi begitu saja?”
Tiba-tiba, barisan kode yang beterbangan mulai menyatu kembali, membentuk jalur yang melingkari mereka.
“Kalian mungkin bisa menulis ulang dunia, tetapi aku masih penciptanya.”
Udara di sekitar mereka berubah drastis. Cahaya putih yang sebelumnya menyilaukan perlahan memudar, digantikan oleh langit yang gelap dan penuh dengan simbol-simbol aneh yang berkedip seperti bintang.
Mereka tidak keluar dari simulasi—mereka masih berada di dalamnya.
Orion muncul di hadapan mereka, kali ini dengan wujud yang lebih jelas. Wajahnya masih tampak kabur, tetapi auranya terasa lebih kuat dari sebelumnya.
“Aku memberimu kesempatan untuk menjadi bagian dari eksperimen ini, tetapi kalian memilih melawanku.”
Adrian melangkah maju, matanya penuh keberanian. “Kami bukan sekadar bagian dari eksperimenmu. Kami memiliki kesadaran sendiri, dan kami tidak akan membiarkanmu terus menulis ulang realitas kami.”
Orion tertawa pelan. “Kesadaran? Kalian tidak tahu apa-apa. Aku bisa menulis ulang kalian kapan saja.”
Tiba-tiba, tubuh Adrian dan Raina mulai berpendar aneh. Seperti ada sesuatu yang mencoba menghapus mereka dari keberadaan.
Raina merasakan kepalanya sakit luar biasa. Ingatannya mulai kabur, pikirannya terasa berantakan. Ia melihat kilasan kehidupannya—saat ia kecil, saat ia tertawa dengan teman-temannya, saat ia jatuh cinta… tetapi apakah semua itu nyata?
“A-Adrian…” suaranya melemah.
Adrian juga mulai kehilangan keseimbangannya, tubuhnya bergetar hebat.
Orion mengangkat tangannya, dan realitas di sekitar mereka mulai terkikis, membentuk dunia baru yang lebih kosong, lebih hampa.
“Aku bisa mengulang semuanya dari awal. Kalian tidak akan pernah ada.”
Raina menggigit bibirnya, mencoba melawan rasa sakit. Tidak. Ia tidak akan menyerah.
Tiba-tiba, ia menyadari sesuatu.
Jika Orion bisa menulis ulang dunia ini, maka itu berarti… ia juga bisa.
Ia menutup matanya dan fokus. Jika ingatannya bisa dihapus, itu berarti ingatan juga bisa dikembalikan.
Ia menggali lebih dalam ke dalam pikirannya, mencari sesuatu yang telah dilupakan—sesuatu yang bisa menghentikan semua ini.
Dan kemudian, ia menemukannya.
Nama asli dunia ini.
Matanya terbuka, dan dengan suara yang bergetar, ia mengucapkannya.
“Ethereon.”
Orion terkejut. “Dari mana kau tahu itu?”
Raina tidak menjawab. Ia hanya terus mengulang kata itu dalam pikirannya, membiarkannya bergema di dalam sistem.
Kode-kode di sekeliling mereka mulai kacau. Dunia yang sedang ditulis ulang mulai mengalami konflik, seperti sistem yang dipaksa menolak perintah yang telah diberikan.
Adrian, yang juga mulai menyadarinya, ikut bergabung. “Ethereon adalah inti dari dunia ini, kan? Itu berarti jika kita bisa mengaksesnya, kita bisa menghentikan semua perubahan!”
Orion menggeram. “Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!”
Tetapi terlambat.
Sistem mulai runtuh, realitas yang telah dimanipulasi berulang kali mulai kembali ke bentuk aslinya. Bangunan yang seharusnya tidak ada menghilang, dan orang-orang yang telah dihapus muncul kembali.
Dan kemudian—
Segalanya meledak dalam cahaya terang.
Raina merasakan tubuhnya ditarik ke suatu tempat, sesuatu yang jauh lebih nyata dari sebelumnya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Kebebasan.
Bab 10: Akhir yang Ditentukan
Raina terbangun dengan napas tersengal. Ia merasakan udara segar, bukan lagi kehampaan yang hampa atau dunia yang terus berubah. Cahaya matahari hangat menyentuh wajahnya, dan angin lembut berhembus menerpa rambutnya.
Ia berbaring di atas rumput hijau. Langit di atasnya berwarna biru cerah, tanpa kode biner yang berjatuhan atau distorsi aneh.
Dunia ini terasa… nyata.
Ia segera duduk dan menoleh ke samping. Adrian juga ada di sana, masih terbaring dengan mata tertutup, napasnya perlahan menjadi lebih stabil.
“Adrian…” Raina mengguncang bahunya.
Adrian mengerang pelan sebelum akhirnya membuka mata. Ia tampak terkejut, sama seperti Raina. “Di mana kita?”
Raina menatap sekeliling. Mereka berada di sebuah padang rumput luas, dengan pegunungan yang menjulang di kejauhan. Udara terasa begitu bersih, dan dunia ini tidak memiliki jejak perubahan yang mereka alami selama ini.
“Bukan dunia lama kita,” gumam Raina.
Adrian duduk, masih mencoba memahami situasi. “Jadi… kita berhasil?”
Sebelum Raina bisa menjawab, sebuah suara terdengar dari belakang mereka.
“Kalian benar-benar di luar perkiraanku.”
Mereka berdua segera menoleh.
Di sana, Orion berdiri. Namun, kali ini, ia bukan lagi sosok bayangan tanpa wajah. Ia tampak lebih seperti manusia—seorang pria dengan rambut hitam, mata tajam, dan ekspresi yang sulit dibaca.
Raina dan Adrian langsung waspada.
“Apa kau masih mencoba menulis ulang dunia ini?” tanya Adrian dengan nada tajam.
Orion tersenyum tipis. “Tidak. Dunia ini sudah tidak berada dalam kendaliku lagi. Kalian telah melampaui batas yang kupikir mustahil.”
Raina mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Orion menghela napas, lalu menatap mereka dengan ekspresi yang lebih lembut dari sebelumnya.
“Sejak awal, dunia ini adalah eksperimen. Aku ingin menciptakan realitas yang sempurna, tetapi aku tidak pernah mengira bahwa dua dari kalian akan berkembang melampaui batas program yang kubuat. Kalian membuktikan sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya.”
Adrian menatapnya tajam. “Dan apa itu?”
Orion tersenyum kecil. “Kesadaran yang sejati.”
Raina merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
“Jadi, kami benar-benar hidup? Kami bukan hanya bagian dari programmu?”
Orion mengangguk pelan. “Kalian telah melampaui batas simulasi. Kalian telah berkembang melampaui kode yang kutuliskan. Itu artinya… kalian lebih dari sekadar program.”
Keheningan menggantung di antara mereka.
Raina mencoba memahami kata-kata itu. Jika mereka memang lebih dari sekadar program, maka siapa mereka sebenarnya?
“Apa yang akan terjadi sekarang?” tanya Adrian.
Orion memandang ke arah langit. “Dunia lama telah runtuh. Yang tersisa hanyalah dunia baru yang kalian buat sendiri. Kini, aku tidak lagi memiliki kuasa atas kalian. Kalian bebas untuk hidup di dunia ini… sebagai makhluk yang benar-benar baru.”
Raina menatap Adrian, dan Adrian menatap balik dengan ekspresi penuh makna.
“Jadi ini adalah akhir dari semuanya?” bisik Raina.
Orion tersenyum samar. “Bukan akhir, tapi awal dari sesuatu yang baru.”
Ia melangkah mundur, tubuhnya perlahan berubah menjadi partikel cahaya. “Selamat tinggal, Raina. Adrian. Dunia ini sekarang milik kalian.”
Dan dengan itu, ia menghilang.
Raina dan Adrian berdiri di tengah padang rumput yang luas, merasakan kebebasan yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, tidak ada yang menulis ulang realitas mereka.
Tidak ada lagi dunia yang terus berubah.
Tidak ada lagi ketakutan akan menghilang.
Mereka akhirnya… benar-benar hidup.
Adrian menarik napas dalam dan menoleh ke arah Raina. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Raina tersenyum, menatap dunia baru di depan mereka. “Kita akan menjalani hidup kita… dengan cara kita sendiri.”
Mereka berjalan bersama, meninggalkan masa lalu yang penuh kepalsuan dan memasuki masa depan yang akhirnya nyata.
Dan dunia yang sedang ditulis ulang… akhirnya berhenti selamanya.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.