Arka, seorang insinyur perangkat lunak, selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Déjà vu aneh terus menghantuinya, terutama setelah bertemu dengan Liana—seorang wanita yang ia yakini tidak pernah dikenalnya, tetapi terasa begitu familiar.
Saat kilasan-kilasan aneh mulai muncul di kepalanya, Arka menyadari bahwa dirinya dan Liana pernah hidup bersama di dunia lain. Namun, seseorang telah mengubah takdir mereka, memisahkan mereka ke dalam realitas yang berbeda.
Saat mereka mencoba mencari kebenaran, dunia mulai menolak keberadaan mereka. Jika mereka terus menggali, dunia ini akan berusaha menghapus mereka selamanya.
Bisakah Arka dan Liana menemukan kembali takdir mereka? Ataukah cinta mereka akan terkubur di antara dimensi yang terus berubah?
Bab 1 – Déjà Vu yang Tidak Wajar
Arka menyesap kopinya perlahan. Aroma pahit yang khas menyeruak ke dalam hidungnya, memberi sedikit kenyamanan di sore yang mendung ini. Ia duduk di dekat jendela sebuah kafe di pusat kota, menatap ke luar dengan pikiran kosong. Hujan baru saja reda, menyisakan jalanan yang basah dan aroma tanah yang lembap.
Hari ini terasa seperti hari biasa. Tidak ada yang istimewa. Sama seperti kemarin, dan mungkin sama seperti besok.
Namun, perasaan itu tiba-tiba datang—sebuah sensasi aneh yang terjadi di tulang belakangnya.
Tampaknya-olah sesuatu akan terjadi.
Arka mengernyitkan dahi. Ia tidak tahu mengapa perasaan itu muncul. Tapi dia sudah sering mengalaminya di belakang ini, terutama ketika dia sedang sendirian. Ada sesuatu yang tidak berkaitan dengan hidupnya, sesuatu yang mengusik bawah sadarnya, namun ia tidak tahu apa.
Belum sempat ia berpikir lebih jauh, bel pintu kafe berdenting. Suara langkah kaki memasuki ruangan. Arka secara refleks.
Seorang wanita berdiri di sana.
Rambutnya panjang dan berombak, jatuh lembut ke pundaknya. Ia mengenakan sweter putih dan celana jeans sederhana, tetapi ada sesuatu di dalam sorot matanya yang membuat Arka berbaring. Wanita itu memandang sekeliling, sebelum akhirnya berjalan ke arah kasir.
Arka menelan ludah.
Jantungnya berdetak lebih cepat tanpa alasan yang jelas. Ia merasa pernah melihat wanita itu sebelumnya. Sangat familiar.
Tapi dia yakin, seumur hidupnya, dia belum pernah bertemu dengannya.
Deja vu.
Perasaan itu muncul begitu kuat hingga membuat tubuhnya membeku sesaat.
Wanita itu berbicara dengan barista, memesan sesuatu. Suaranya lembut, tapi cukup jelas untuk didengar. Lalu ia berjalan melewati Arka dan tanpa sadar duduk di meja kosong tepat di depannya.
Arka mencoba kembali fokus pada kopinya. Tapi pikiran sudah kacau.
Ia ingin berbicara, ingin bertanya apakah mereka pernah bertemu sebelumnya. Tapi bagaimana jika itu hanya perasaannya saja? Bagaimana jika ia hanya berhalusinasi?
Namun, semua kebimbangannya sirna dalam sekejap.
Sebab detik berikutnya, wanita itu menoleh dan menatapnya.
Dan ketika mata mereka bertemu, Arka merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Seolah-olah dia menemukan sesuatu yang sudah lama hilang.
Atau lebih tepatnya— seseorang.
Mata wanita itu membulat seketika, seolah ia juga mengalami hal yang sama. Bibirnya agak terbuka, seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu.
Hening.
Tidak ada suara selain dentingan peralatan kafe dan sayup-sayup musik yang mengalun pelan.
“Aku… kenal kamu?” suara wanita itu berbisik.
Arka mengerjapkan mata. Napasnya tercekat.
Karena itu adalah pertanyaan yang juga ingin ia tanyakan.
“Aku juga merasa begitu,” jawab Arka akhirnya, suaranya terdengar samar.
Wanita itu sesaat, sebelum akhirnya tersenyum kecil—senyum yang justru membuat dada Arka semakin sesak.
“Aneh, ya?” katanya pelan. “Aku merasa seperti… aku pernah mengenalmu. Tapi aku tidak ingat di mana.”
Arka mengangguk, masih berusaha memproses semuanya.
Ini gila. Bagaimana mungkin dua orang yang baru bertemu bisa langsung merasa seperti ini? Seperti ada sesuatu yang menyatukan mereka, tapi mereka tidak bisa mengingatnya.
Mereka kembali terdiam.
Sampai akhirnya wanita itu mengulurkan tangan.
“Liana,” katanya, memperkenalkan diri.
Arka menatap tangan itu beberapa detik sebelum akhirnya menyambutnya.
“Arka.”
Saat tangan mereka bersentuhan, sesuatu yang aneh terjadi.
Kilasan gambar melintas di kepala Arka.
Ia melihat dirinya berjalan di bawah hujan bersama Liana. Tertawa, berbicara, berpegangan tangan. Lalu sebuah adegan lain muncul—Liana dalam gaun putih, berdiri di altar, tersenyum dengan mata penuh cinta.
Dan kilasan terakhir membuat payudara terasa dihantam sesuatu.
Liana menangis. Mengulurkan tangan padanya. Tapi semakin dia mencoba meraihnya, semakin jauh Liana tertarik ke dalam kegelapan.
Arka tersentak, melepaskan genggaman tangannya dengan cepat. Napasnya tersengal.
Ia menatap Liana, dan dari ekspresi wajahnya, ia tahu wanita itu melihat hal yang sama.
Mereka saling menatap dengan ketakutan yang tidak mereka pahami.
Arka menggigit bibir. Dadanya terasa berat.
Dan pada saat itu juga, ia tahu satu hal pasti:
Liana bukan orang asing.
Mereka pernah bersama. Di suatu tempat. Suatu saat.
Hanya saja, dunia ini tidak mengizinkan mereka mengingatnya.
Bab 2 – Kenangan yang Tak Pernah Ada
Arka menatap Liana tanpa berkedip. Napasnya masih tersengal, otaknya berusaha memproses apa yang baru saja terjadi.
Kilasan-kilasan itu… Apa maksudnya? Apakah itu hanya imajinasinya saja? Tapi jika hanya ilusi, kenapa Liana juga terlihat syok, seolah melihat sesuatu yang sama?
Liana menunduk, menggenggam jemarinya erat di atas meja. tatapannya kosong, tapi wajahnya penuh kecemasan.
“Apa yang baru saja terjadi?” suara Arka lirih, hampir seperti bisikan.
Liana mendongak, menatap dengan mata yang bergetar. “Aku… aku tidak tahu.”
Menghindari kesalahan mereka. Di sekitar, suara dentingan cangkir dan percakapan para pengunjung kafe terasa jauh, seolah-olah mereka sedang berada di dunia mereka sendiri.
Arka ingin bicara, ingin bertanya lebih banyak. Tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
“Apa kamu sering mengalami ini?” akhirnya Arka memberanikan diri bertanya.
Liana diam beberapa saat sebelum mengangguk pelan. “Ya.”
Jantung Arka berdegup lebih cepat. “Apa maksudmu?”
Liana menggigit bibirnya. Ia terlihat ragu, seolah berjuang dengan pikirannya sendiri sebelum akhirnya berbisik, “Aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Sesuatu yang seharusnya aku ingat, tapi tidak bisa.”
Arka semakin merinding. “Aku juga.”
Liana menatapnya ke dalam. “Dan sekarang… aku merasa seperti aku pernah mengenalmu.”
Arka menelan ludah, tubuhnya menegangkan.
“Sama,” katanya akhirnya.
Mata Liana sedikit melebar. Ia menggigit bibir bawahnya, tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu, dengan suara nyaris tak terdengar, ia berkata, “Aku juga sering mengalami mimpi aneh.”
Jantung Arka mencelos. “Mimpi aneh seperti apa?”
Liana menarik napas dalam sebelum menjawab, “Mimpi di mana aku bersamamu.”
Dunia terasa berhenti sejenak.
Arka tercekat. Itu tidak mungkin terjadi secara kebetulan. Ia juga mengalami mimpi-mimpi yang sama.
Dalam mimpi itu, mereka bukan sekadar kenalan. Mereka bersama—tertawa, berbagi cerita, dan… saling mencintai.
Arka mencengkeram dadanya. “Aku juga bermimpi tentangmu,” katanya dengan suara parau.
Liana menatapnya, kaget. “Apa?”
“Aku tidak mengerti,” lanjut Arka, “Tapi aku melihat kita berdua—bersama, dalam kehidupan yang tidak pernah aku jalani. Aku bahkan melihat kita menikah.”
Liana langsung menutup mulutnya dengan tangan, matanya membulat.
“Arka…” suaranya bergetar. Ini.ini tidak mungkin.
Arka menatap tajam. “Tapi itu nyata, kan?”
Liana mengangguk pelan. “Aku juga melihatnya dalam mimpiku.”
Hening.
Seluruh dunia di sekitar mereka terasa semakin jauh.
Arka mengusap wajahnya, mencoba mencari logika dalam semua ini. Tapi semakin dia berpikir, semakin dia sadar bahwa tidak ada penjelasan logistik yang masuk akal.
Liana tiba-tiba berdiri, membuat kursinya berdecit pelan. “Kita harus bicara di tempat lain.”
Arka segera mengikutinya, meski ia masih belum memahami semuanya.
Mereka berjalan keluar kafe tanpa banyak bicara, hanya ditemani gemuruh petir di kejauhan.
Mereka memilih duduk di sebuah taman kota yang sepi. Cahaya lampu jalanan memantulkan kilauan lembab dari trotoar yang masih basah oleh hujan sebelumnya.
Liana menunduk, memainkan jemarinya dengan gelisah.
“Arka…” ia menghela napas panjang. “Aku tahu ini akan terdengar gila. Tapi aku harus mengatakan sesuatu.”
Arka menegang.
Liana menatap lurus ke matanya. “Aku yakin kita berasal dari kehidupan yang berbeda. Dari dunia yang berbeda.”
Arka membatu. “Apa maksudmu?”
Liana menggigit bibirnya. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi aku selalu merasa ada kehidupan lain yang pernah aku jalani. Seperti… aku pernah hidup di tempat lain, tapi sekarang aku ada di sini, di dunia yang bukan milikku.”
Arka merinding mendengar kata-kata itu.
“Aku mengalami kilasan-kilasan aneh sejak kecil,” lanjut Liana. “Mimpi-mimpi yang terasa lebih nyata dari kehidupan ini. Aku ingat wajah-wajah yang tidak kukenal di dunia ini, termasuk wajahmu.”
Arka memegang erat bangku taman yang ia duduki.
“Di dunia lain…” Liana menelan ludah, suaranya bergetar. “Kita menikah.”
Jantung Arka seperti berhenti berdetak.
“Apa kamu percaya?” tanya Liana pelan, nadanya penuh harapan sekaligus ketakutan.
Arka tidak tahu harus menjawab apa.
Sesuatu dalam dirinya ingin menyangkal—ingin berkata bahwa ini hanya kebetulan, bahwa ini hanya permainan otak mereka. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia tahu kebenarannya.
Saya percaya.
Arka mengangguk perlahan. “Aku percaya.”
Liana tersenyum kecil, tapi matanya masih dipenuhi kebingungan. “Aku tidak tahu kenapa kita bertemu di dunia ini. Seharusnya kita tidak bisa bertemu.”
Arka menatapnya. “Kenapa?”
Liana menelan ludah sebelum berbisik, “Karena seseorang telah menukar takdir kita.”
Arka menegang.
Liana menatap penuh keseriusan. “Dan sekarang, kita seharusnya tidak berada di dunia ini bersama.”
Arka merasa dunianya baru saja runtuh.
Bab 3 – Dunia yang Berbeda
Angin menampilkan malam pelan, menggoyangkan dedaunan di taman kota yang sepi. Arka menatap Liana dengan campuran dan ketidakpercayaan. Kata-kata yang baru saja keluar dari mulut wanita itu masih terngiang di kepalanya.
“Seseorang telah menukar takdir kita.”
Apa maksudnya? Siapa yang bisa melakukan hal semacam itu?
Arka menggeleng pelan, berusaha menenangkan pikirannya yang semakin kacau. “Liana, aku tidak mengerti. Siapa yang menukar takdir kita? Dan kenapa?”
Liana menggigit bibirnya, tampak ragu untuk menjawab. Ia berjanjin wajahnya, menatap langit yang masih mendung. “Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi aku yakin… ini bukan pertama kali aku mengalami ini.”
Arka mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”
Liana menarik napas dalam sebelum menjawab, “Aku pernah mengalami ini sebelumnya. Bertemu dengan seseorang yang terasa begitu familiar, seseorang yang seharusnya ada di kehidupanku, tapi kenyataannya tidak.”
Arka merasa tenggorokannya mengering. “Berapa kali?”
Liana menunduk, matanya menerawang. “Aku tidak tahu pasti. Tapi ini pertama kalinya aku bertemu seseorang yang juga mengingatku… yang juga melihat kilasan-kilasan aneh itu.”
Arka menjawab. Ini semakin tidak masuk akal, tetapi jauh di lubuk hati, ia tahu bahwa semua ini nyata. Kilasan-kilasan yang ia lihat, mimpi-mimpi yang terus menghantuinya, perasaan kehilangan yang tidak bisa dijelaskan—semuanya seakan mengarah ke satu jawaban yang sama.
Mereka memang pernah bersama. Tapi sesuatu, atau seseorang, telah mengubah takdir mereka.
Arka mengusap wajahnya. “Kalau begitu, bagaimana kita bisa bertemu di dunia ini? Jika memang takdir kita telah berubah, bukankah seharusnya kita tidak pernah saling bertemu?”
Liana menatapnya, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Tapi aku punya teori…”
Arka menunggu dengan cemas.
Liana menarik napas sebelum berkata, “Ada kemungkinan, dunia ini tidak seharusnya ada.”
Jantung Arka berdegup lebih cepat. “Apa maksudmu?”
Liana menatapnya dalam-dalam. “Setiap dunia memiliki keseimbangan. Jika takdir seseorang diubah, maka akan ada efek di sekitarnya. Dunia ini… bisa jadi hanyalah efek samping dari dunia yang seharusnya. Dunia tempat kita berasal.”
Arka berusaha memahami kata-kata itu. Dunia ini tidak seharusnya ada? Apakah itu berarti mereka hidup dalam sebuah realitas yang bukan milik mereka?
Liana melanjutkan, “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya dengan lebih jelas. Tapi aku selalu merasakan ada sesuatu yang salah dengan dunia ini. Seperti ada celah yang tidak bisa terlihat, tapi bisa dirasakan.”
Arka mencoba mengingat kembali kehidupannya. Semua terasa normal, tapi jika memikirkan lebih dalam… ia memang sering merasa ada yang hilang.
“Jadi,” kata Arka pelan, “Kalau dunia ini memang bukan dunia yang seharusnya, apakah ada cara untuk kembali?”
Liana menjawab cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Aku tidak tahu.”
Arka menggenggam tangannya. “Kalau begitu, kita harus mencari penjelasannya.”
Liana menatap dengan sorot mata penuh ketakutan. “Itu berbahaya, Arka. Jika ada seseorang yang cukup kuat untuk mengubah takdir, maka mereka pasti akan melakukan apa saja untuk menjaga dunia ini tetap seperti sekarang.”
Arka menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka terus menggali kebenaran ini. Namun pada saat yang sama, ia tidak bisa berhenti.
Karena dia tahu, jika dia tidak mencari jawabannya, dia akan selamanya merasa kehilangan sesuatu yang tidak pernah dia ingat.
Arka menarik napas panjang, lalu menatap Liana dengan tekad yang bulat.
“Kita harus tahu siapa yang telah menukar takdir kita.”
Liana menatapnya dengan ekspresi yang rumit. Seakan dia ingin memperingatkan Arka, tapi di saat yang sama, dia juga ingin mengetahui kebenarannya.
Hening menyelipkan mereka beberapa saat, hanya suara angin yang berhembus perlahan di antara pepohonan.
Lalu, tanpa diduga, lampu-lampu taman mulai berkedip-kedip.
Arka dan Liana tersentak.
Sejenak, mereka mengira itu hanya gangguan listrik biasa. Namun kemudian, udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih berat, seolah ada sesuatu yang tak terlihat sedang mengawasi mereka.
Liana menggenggam tangan Arka erat-erat. “Arka… kita harus pergi dari sini.”
Arka mengangguk, tubuhnya tegang. Mereka berdiri dan memaksa meninggalkan taman.
Namun, sebelum mereka benar-benar pergi, Arka sempat melirik ke belakang.
Dan pada saat itu juga, dia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Di bawah salah satu lampu taman yang berkedip, berdiri seseorang.
Seseorang dengan jas hitam panjang dan wajah yang tertutup bayangan.
Orang itu tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap mereka.
Arka tidak bisa melihat wajahnya, tapi entah kenapa… dia merasa orang itu sudah lama mengawasi mereka.
Jantungnya berdetak semakin cepat.
Ada sesuatu yang salah.
Sangat salah.
Bab 4 – Kejaran Takdir yang Kejam
Arka merasakan detak jantungnya semakin cepat. Tubuhnya membeku di tempatnya, membekunya terkunci pada sosok hitam yang berdiri di bawah lampu taman yang berkedip-kedip.
Orang itu tidak bergerak, namun aura yang terpancar darinya membuat bulu kuduk Arka meremang.
“Liana…” bisik Arka, nyaris tanpa suara.
Liana yang juga melihat sosok itu langsung menarik tangan Arka. “Kita harus pergi. Sekarang!”
Mereka berbalik dan berjalan cepat menjauh dari taman, berusaha tetap terlihat tenang meskipun dada mereka dipenuhi ketakutan. Tapi baru beberapa langkah, suara langkah kaki terdengar di belakang mereka.
Arka lihat sekilas.
Sosok yang terlihat hitam itu mulai berjalan mengikuti mereka.
Arka merasakan sesuatu yang aneh—langkah orang itu tidak mengeluarkan suara di atas trotoar yang basah.
Panik mulai mencakupi dirinya. “Liana, kita harus lari!”
Tanpa berpikir panjang, mereka langsung berlari secepat mungkin. Sepanjang jalan, Arka tidak berani menoleh lagi. Napasnya berburu, tapi ia terus berlari, menggenggam tangan Liana erat-erat.
Mereka berbelok ke gang sempit, berharap bisa kehilangan jejak. Jalanan di sekitar mereka gelap, hanya disinari oleh lampu jalan yang remang-remang.
Arka menempelkan tubuhnya ke dinding, berusaha mengatur napas. Liana berdiri di bawahnya, wajahnya pucat dan penuh kecemasan.
“Apa dia masih mengikuti kita?” bisik Liana dengan suara gemetar.
Arka mengintip perlahan dari balik tembok. Jalanan tampak sepi.
Tidak ada siapa pun.
Arka menghela napas lega. “Sepertinya tidak.”
Liana merosot ke tanah, tangannya masih gemetar. “Siapa orang itu? Kenapa dia mengawasi kita?”
Arka menggeleng. “Aku tidak tahu… tapi aku yakin dia bukan orang biasa.”
Liana menggigit bibirnya, tampak berpikir keras. “Arka, aku rasa kita baru saja menarik perhatian mereka.”
Arka menoleh padanya. “Mereka?”
Liana mengangguk. “Orang-orang yang mengubah takdir kita.”
Arka merasa ada sesuatu yang berat menekan dadanya. “Jadi kamu pikir mereka sudah tahu bahwa kita mulai menyadari semuanya?”
Liana menatap dengan mata penuh ketakutan. “Ya. Dan mereka tidak akan membiarkan kita terus mencari kebenaran.”
Arka menggenggam tangannya. Ini semua semakin tidak masuk akal. Tapi dia tahu satu hal: mereka dalam bahaya.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Arka.
Liana sejenak sebelum berkata, “Kita harus mencari tahu lebih banyak sebelum mereka menemukan kita lagi. Kita butuh tempat yang aman untuk menyusun rencana.”
Arka berpikir sejenak, lalu berkata, “Aku punya tempat. Apartemenku tidak jauh dari sini. Kita bisa bicara di sana.”
Liana mengangguk cepat. “Baiklah, ayo pergi sebelum mereka menemukan kita lagi.”
Mereka kembali ke jalan utama, berjalan cepat apartemen Arka. Arka terus waspada, mengawasi setiap sudut jalan, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.
Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya mereka sampai di apartemen Arka. Ia buru-buru membuka pintu dan membiarkan Liana masuk sebelum mengunci pintu di belakang mereka.
Liana langsung duduk di sofa, masih terlihat gelisah. Arka duduk di sebelahnya, mencoba mengatur pikirannya yang kacau.
“Apa yang ditanami mereka akan menemukan kita di sini?” tanya Liana.
Arka menghela napas. “Aku tidak tahu… Tapi kita tidak bisa terus bersembunyi. Kita harus menemukan jawaban sebelum mereka menemukan kita lebih dulu.”
Liana menatapnya, lalu berkata dengan suara pelan, “Aku punya kegelapan… ini permulaan baru.”
Dan Arka tahu, bendungan Liana mungkin benar.
Mereka saja melangkah ke dalam permainan yang lebih besar—permainan di mana mereka adalah bidak yang harus dihapus agar takdir tetap berjalan baru sesuai rencana.
Dan mereka tidak punya pilihan selain melawan.
Bab 5 – Bayangan Masa Lalu
Arka duduk di tepi kasurnya, membuka jendela apartemen yang menampilkan langit malam yang kelam. Lampu-lampu kota masih bersinar, tapi ada ketenangan aneh yang membuatnya terasa tidak nyaman.
Liana duduk di sofa dengan tangan bersedekap. Matanya masih meniru ketakutan, tapi tekad sorot perlahan muncul di wajahnya.
Mereka dikejar oleh seseorang—atau sesuatu—yang tidak mereka kenal. Namun lebih dari itu, mereka telah menyadari sesuatu yang seharusnya tidak mereka ketahui.
Takdir mereka telah berubah.
Dan sekarang, mereka berusaha mencari cara untuk mengungkap kebenaran sebelum orang-orang yang mengubah takdir mereka datang untuk membungkam mereka.
“Jadi, kita harus mulai dari mana?” tanya Arka, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.
Liana menggigit bibirnya sebelum berkata, “Aku tidak yakin… Tapi ada satu tempat yang mungkin bisa memberi kita jawaban.”
Arka mengangkat alis. “Di mana?”
Liana menatapnya dalam-dalam. “Sebuah perpustakaan tua di pinggiran kota. Saya pernah menemukan buku di sana… buku yang membahas tentang dunia paralel dan bagaimana beberapa orang memiliki kehidupan yang saling terhubung.”
Arka membukakan mata. “Kau yakin buku itu bisa membantu?”
Liana mengangguk. “Saat aku membaca dulu, aku merasa seperti ada sesuatu yang familier… seolah-olah buku itu berbicara tentang kita. Tapi saat aku kembali ke sana beberapa hari kemudian, buku itu sudah tidak ada.”
Arka merasakan hawa dingin membeku di belakangnya.
“Apa mungkin ada orang lain yang tahu tentang ini?” tanyanya.
Liana menghela napas. “Aku tidak tahu. Tapi aku yakin… ada seseorang di luar sana yang tahu lebih banyak dari kita.”
Arka bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamar. “Kalau begitu, kita harus pergi ke perpustakaan itu besok pagi. Kalau ada petunjuk di sana, kita harus memeriksa sebelum mereka menemukan kita lagi.”
Liana mengangguk, tapi ekspresi wajahnya masih penuh kecemasan. “Arka …”
“Hm?”
“Aku takut,” katanya lirih. “Apa yang terjadi jika kita menemukan sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kita hadapi?”
Arka menjawab. Ia ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi bahkan ia sendiri tidak yakin.
Tapi kemudian, dia teringat sesuatu.
Saat ia dan Liana bersentuhan tangan di kafe, ia melihat kilasan masa lalu—atau mungkin masa depan—di mana mereka hidup bersama, bahagia, lalu berakhir dalam penderitaan yang tidak bisa ia pahami.
Apa pun yang sedang terjadi pada mereka, ini bukan sekadar kebetulan.
Dan jika ada yang ingin memisahkan mereka, itu berarti mereka memiliki sesuatu yang berharga—sesuatu yang tidak boleh mereka lupakan.
Arka menatap Liana dengan penuh keyakinan. “Aku tidak tahu apa yang akan kita hadapi, tapi aku berjanji satu hal.”
“Apa?” tanya Liana, suaranya bergetar.
“Aku tidak akan membiarkan kita berpisah lagi.”
Liana menatapnya, matanya berkaca-kaca. Setelah beberapa saat, dia mengangguk pelan.
Arka menghela napas dan menatap selai di dinding. Sudah hampir tengah malam.
“Kita harus istirahat. Besok kita akan menemukan jawabannya,” katanya.
Liana tidak membantah. Ia hanya mengangguk dan berbaring di sofa, menatap langit-langit.
Tapi saat Arka merebahkan dirinya di tempat tidurnya, matanya tidak bisa terpejam.
Karena jauh di lubuk hati, ia tahu bahwa setelah malam ini, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.
Bab 6 – Misi Melawan Waktu
Arka membuka matanya saat sinar matahari pagi masuk melalui celah tirai. Kepalanya masih terasa berat setelah semalam tidak bisa tidur nyenyak. Kilasan-kilasan aneh terus muncul di pikiran, membuatnya gelisah sepanjang malam.
Di sofa, Liana masih tertidur, wajahnya tampak damai, meskipun ada jejak ketakutan di sudut matanya.
Arka menghela napas panjang. Hari ini mereka harus bergerak cepat.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian yang lebih nyaman, ia membangunkan Liana dengan lembut.
“Liana… bangun, kita harus pergi sekarang.”
Liana menggeliat sebelum akhirnya membuka matanya. Begitu dia menyadari di mana dia berada, ekspresi langsung berubah serius. “Sudah pagi?”
Arka mengangguk. “Ya. Kita harus pergi sebelum ada yang menyadari keberadaan kita.”
Liana mengusap wajahnya, berusaha menghilangkan sisa kantuknya. Setelah beberapa menit, mereka meninggalkan apartemen dengan perasaan waspada.
—
Perjalanan ke perpustakaan tua di pinggiran kota memakan waktu sekitar satu jam. Mereka menggunakan kendaraan umum untuk menghindari jejak.
Begitu mereka tiba, suasana di sekitar perpustakaan terasa sepi. Bangunan itu terlihat tua dan hilang terlupakan, dengan cat yang mulai mengelupas dan jendela besar yang berdebu.
Liana melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Arka. Mereka berjalan melewati deretan rak-rak kayu yang dipenuhi buku-buku lama. Udara di dalam terasa lembap, dengan aroma khas kertas tua yang memenuhi ruangan.
“Aku yakin buku itu ada di bagian belakang,” bisik Liana.
Mereka bergerak dengan cepat, melewati lorong-lorong yang sunyi. Perpustakaan ini tidak memiliki banyak pengunjung, sehingga tidak ada yang memperhatikan mereka.
Setelah beberapa menit mencari, Liana berhenti di depan rak yang dipenuhi buku-buku usang.
“Inilah tempatnya,” katanya sambil menyentuh salah satu buku.
Arka memperhatikan bagaimana jari-jari Liana sedikit gemetar.
“Buku apa yang kau cari?” tanya Arka.
Liana menghela napas dalam. “Buku ini berjudul Teori Dimensi dan Perubahan Takdir .”
Arka mengernyit. “Kedengarannya seperti sesuatu yang tidak seharusnya ada di perpustakaan biasa.”
Liana mengangguk. “Itulah yang membuatku heran. Saat pertama kali muncul, aku pikir itu hanya buku teori biasa. Tapi membacanya, aku mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dalam.”
Arka membantu mencari di antara tumpukan buku. Mereka membalik halaman demi halaman, berusaha menemukan sesuatu yang bisa memberi mereka jawaban.
Setelah beberapa saat, Liana akhirnya menemukan sesuatu. Ia menarik sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah usang.
“Ini dia,” bisiknya.
Mereka duduk di lantai dan mulai membuka buku itu.
Di dalamnya, terdapat tulisan tangan yang dibuat oleh seseorang yang telah meneliti tentang dunia paralel dan perubahan takdir.
Salah satu halaman yang paling menarik perhatian mereka berjudul:
“Hukum Keseimbangan Takdir: Mereka yang Tertukar Akan Dihapus.”
Arka menelan ludah. “Apa maksudnya?”
Liana membaca lebih lanjut, matanya melebar dengan ketakutan.
“Dikatakan di sini… bahwa jika ada seseorang yang takdirnya telah diubah secara paksa, dunia akan mencoba menghapus keberadaannya untuk memulihkan keseimbangan.”
Arka membatu.
Jadi, itu artinya…
“Kalau kita terus mencari tahu kebenarannya, dunia akan berusaha melenyapkan kita?” tanyanya pelan.
Liana mengangguk. “Dan bukan hanya dunia ini… tapi mereka yang mengubah takdir kita juga akan memastikan kita tidak bertahan.”
Arka menggenggam tangannya. “Jadi mereka ingin kita tetap berada dalam kebingungan, tanpa pernah tahu bahwa kita seharusnya memiliki kehidupan yang berbeda.”
Liana menatapnya, matanya penuh ketakutan. “Ya… dan jika kita melawan, kita mungkin tidak akan selamat.”
Hening.
Arka menutup buku itu perlahan, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.
Tapi ada satu hal yang pasti.
Mereka tidak bisa berhenti sekarang.
Apapun yang terjadi, mereka harus menemukan kebenaran—sebelum dunia menyingkirkan mereka selamanya.
Bab 7 – Rahasia yang Terungkap
Arka dan Liana duduk diam di lantai perpustakaan, dikelilingi rak-rak kayu tua yang berdebu. Buku di tangan mereka sedikit bergetar, seolah-olah bobot informasi di dalamnya terlalu besar untuk ditanggung.
“Mereka yang tertukar akan dihapus.”
Kalimat itu terus terngiang di kepala Arka. Ini bukan hanya tentang mereka yang kehilangan kenangan atau hidup di dunia yang salah. Jika mereka terus menggali kebenaran, dunia ini akan berusaha menghapus keberadaan mereka.
Arka menelan ludah. “Jadi, kalau kita terus mencari jawabannya, kita akan… mati?”
Liana menggigit bibirnya, matanya penuh kecemasan. “Mungkin bukan mati dalam arti yang biasa. Mungkin lebih dari itu. Mungkin kita akan… hilang.”
Arka merasa hawa dingin menjalari tubuhnya. Lenyap. Seperti tidak pernah ada. Itu bahkan lebih menakutkan daripada kematian.
Liana membalik halaman buku dengan tangan gemetar. “Kita harus menemukan sesuatu di sini. Jawaban. Petunjuk. Apa pun yang bisa memberi kita kesempatan.”
Mereka membaca dengan cepat, menyerap setiap kata.
Hingga akhirnya, Liana berhenti di sebuah halaman yang penuh dengan coretan tangan dan diagram yang tampak seperti peta.
“Gerbang Dimensi: Kunci Kembali ke Takdir Sejati.”
Arka mengerutkan keningnya. “Gerbang Dimensi?”
Liana membaca lebih lanjut. “Ada teori bahwa di suatu tempat di dunia ini, ada gerbang yang bisa menghubungkan kenyataan yang berbeda. Mereka yang berhasil mendarat bisa kembali ke dunia mereka yang sebenarnya.”
Arka terdiam sejenak. Jika teori ini benar, maka ada harapan. Mereka tidak perlu tetap berada di dunia yang salah. Mereka bisa kembali ke kehidupan mereka yang seharusnya.
Liana menatap Arka dengan sorot mata penuh harapan. “Arka… ini mungkin satu-satunya cara kita bisa menemukan kebenaran.”
Arka menelan ludah. “Di mana gerbang itu berada?”
Liana kembali membaca dengan cepat, tapi setelah beberapa halaman, ekspresi berubah menjadi kecewa. “Tidak ada lokasinya. Hanya disebutkan bahwa gerbang itu selalu berpindah tempat, tergantung keseimbangan dunia.”
Arka menggenggam tangannya. “Jadi, bagaimana kita diperlihatkan?”
Liana membuka halaman berikutnya, lalu tiba-tiba wajahnya memucat. “Arka… lihat ini.”
Arka mendekat dan membaca tulisan tangan di halaman tersebut.
“Gerbang tidak bisa ditemukan oleh mereka yang hanya ingin mencari jawabannya. Gerbang hanya akan muncul di hadapan mereka yang berada di ambang kehancuran takdirnya.”
Arka merasa tenggorokannya mengering. “Itu berarti…”
Liana menggigit bibirnya. “Jika kita ingin menemukan gerbang, kita harus sampai ke titik di mana dunia benar-benar ingin menghapus kita.”
Dada Arka terasa sesak. Ini bukan sekadar pencarian biasa. Jika mereka ingin kembali ke kehidupan yang seharusnya, mereka harus berada dalam bahaya terbesar—mereka harus menjadi ancaman bagi dunia ini.
Liana menutup buku itu perlahan, memunculkannya kosong.
“Arka… kalau kita terus maju, tidak ada jalan kembali.”
Arka memperhatikan, menyadari betapa seriusnya situasi ini. Tapi dia tahu satu hal. Jika mereka tidak melakukan apa-apa, mereka akan tetap hidup dalam kebingungan, selalu merasa kehilangan sesuatu yang tidak bisa mereka ingat.
Arka menggenggam tangan Liana erat-erat. “Aku tidak peduli. Aku ingin tahu siapa diriku sebenarnya. Aku ingin tahu siapa kita sebenarnya.”
Liana menatap lama, lalu mengangguk. “Kalau begitu… kita harus bersiap. Karena mulai sekarang, kita bukan hanya melawan mereka.”
Arka mengangguk. “Kita juga melawan dunia ini.”
Dan pada saat itulah, cahaya lampu perpustakaan tiba-tiba berkedip-kedip.
Arka dan Liana langsung menegangkan.
Udara di sekitar mereka berubah. Seperti ada sesuatu yang bergerak di antara bayangan.
Kemudian, dari ujung lorong, terdengar suara langkah kaki mendekat.
Mereka tidak sendirian.
Dan dunia sudah mulai bergerak untuk menghapus mereka.
Bab 8 – Cinta yang Melawan Takdir
Langkah kaki itu semakin dekat.
Arka dan Liana menahan napas, bersembunyi di balik rak buku yang tinggi. Cahaya lampu perpustakaan berkedip-kedip, menciptakan bayangan bergerak di dinding.
Suasana mencekam.
Mereka tidak bisa melihat siapa yang datang, namun aura yang membuat ruangan ini cukup membuat bulu kukuk berdiri.
Arka menggenggam tangan Liana erat-erat. “Kita harus keluar dari sini.”
Liana mengangguk, tetapi sebelum mereka bisa bergerak, suara lembut terdengar dari balik rak buku.
“Kalian seharusnya tidak ada di sini.”
Arka menahan napas.
Itu adalah suara seorang pria. Tenang, tetapi penuh ancaman.
Perlahan, Arka mengintip dari sela rak buku.
Sosok itu berdiri di ujung lorong, mengenakan mantel panjang berwarna hitam. Wajahnya samar-samar tertutup bayangan, tetapi sorot matanya… dingin dan tanpa emosi.
Arka merasa ada sesuatu yang familiar dari pria itu, tapi dia tidak bisa mengingatnya.
Liana berbisik pelan, “Dia bukan orang biasa.”
Arka menggertakkan giginya. “Siapa dia?”
Liana menghela napas, lalu berkata dengan suara nyaris tak terdengar, “Salah satu dari mereka yang mengubah takdir kita.”
Arka meneguk ludah. “Bagaimana kita bisa melawannya?”
Liana menggenggam tangannya erat-erat. “Kita tidak bisa… tapi kita bisa lari.”
Arka tahu Liana benar. Jika pria itu memang bagian dari kelompok yang mengendalikan takdir, mereka tidak punya peluang melawannya.
Arka memberi isyarat pada Liana untuk bergerak ke arah pintu keluar. Mereka berusaha bergerak setenang mungkin, tetapi lantai kayu tua berderit perlahan di bawah kaki mereka.
Dan pada saat itu juga, pria itu berbicara lagi.
“Aku tahu kalian di sana. Tidak ada gunanya bersembunyi.”
Arka dan Liana membeku.
Detik berikutnya, rak buku di depan mereka tiba-tiba bergerak sendiri, seolah ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Buku-buku jatuh ke lantai dengan suara berdebum.
Pria itu melangkah maju. “Takdir sudah ditentukan. Kalian tidak seharusnya bertemu. Dunia ini tidak mengizinkan kalian bersama.”
Arka menggenggam tangannya. “Siapa kau sebenarnya?”
Pria itu menatap dingin. “Saya adalah Penjaga Keseimbangan. Tugas saya memastikan bahwa tidak ada yang menghalangi alur dunia.”
Liana menegangkan. “Penjaga Keseimbangan… jadi kalian yang menukar takdir kami?”
Pria itu mengangguk. “Kalian adalah anomali. Di dunia lain, kalian seharusnya bersama. Tapi di dunia ini, kalian tidak boleh bertemu. Jika kalian terus menolak keseimbangan ini, dunia akan mulai runtuh.”
Arka menggenggam tangannya. “Kalau begitu, kenapa kita masih bisa bertemu?”
Pria itu menatap lama sebelum akhirnya berkata, “Karena kalian melawan. Dan jika kalian terus melawan, dunia ini akan mulai menghapus kalian.”
Arka menelan ludah.
Liana menggenggam tangan Arka lebih erat. “Kami tidak peduli. Kami ingin menemukan kebenaran.”
Pria itu menghela napas. “Itu pilihan kalian. Tapi ingat, semakin kalian menggali, semakin besar risiko yang harus kalian tanggung.”
Tiba-tiba, cahaya di seluruh ruangan padam seketika.
kegelapan mengumumkan mereka.
Liana menahan napas, sementara Arka merasakan udara di sekitarnya berubah. Suasana ini terasa tidak wajar, seolah dunia sendiri mulai menolak keberadaan mereka.
Kemudian, suara pria itu kembali terdengar di tengah kegelapan.
“Jika kalian ingin menemukan gerbang dimensi, maka bersiaplah. Kalian tidak hanya melawan kami… kalian juga melawan dunia ini.”
Lalu, hening.
Ketika lampu menyala kembali, pria itu telah menghilang.
Liana gemetar. “Arka… kita harus pergi.”
Arka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Kita harus menemukan gerbang itu. Sebelum dunia ini menghapus kita lebih dulu.”
Liana menatap dengan sorot mata yang penuh ketakutan sekaligus harapan.
Dan tanpa sadar, mereka menggenggam tangan satu sama lain lebih erat.
Karena saat ini, satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah melawan takdir bersama-sama.
Bab 9 – Pengorbanan Terbesar
Arka dan Liana berlari keluar dari perpustakaan tua itu, napas mereka memburu. Jalanan di luar masih sepi, langit mulai gelap, seolah dunia ini ikut menekan keberadaan mereka.
“Arka…apa kita benar-benar bisa menemukan gerbang itu?” Liana bertanya dengan suara gemetar.
Arka menggenggam tangannya erat-erat. “Aku tidak tahu. Tapi kita tidak bisa berhenti sekarang.”
Liana mengangguk, meski ketakutan masih terlihat jelas di matanya.
Mereka terus berjalan tanpa tujuan pasti, hanya mengikuti insting. Jika yang dikatakan pria itu menutup hitam itu benar, maka gerbang hanya akan muncul ketika mereka mencapai titik di mana dunia benar-benar ingin menghapus mereka.
Dan itu berarti… mereka harus terus melawan.
—
Malam semakin larut saat mereka tiba di sebuah jembatan tua di pinggiran kota. Angin malam berhembus dingin, membuat Liana bertanya.
Arka berhenti dan menatap sekeliling. Tidak ada siapa-siapa di sini, hanya suara air sungai yang mengalir pelan di bawah mereka.
“Aku merasa…kita hampir sampai,” gumam Arka.
Liana mengangguk, meskipun dia tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tapi sebelum mereka bisa berpikir lebih jauh, tanah di bawah mereka tiba-tiba bergetar.
Arka menoleh cepat. Dari ujung jembatan, sosok pria berkilau hitam muncul lagi, kali ini tidak sendiri.
Ada dua orang lain di belakangnya, juga mengenakan jubah yang sama.
Liana menggenggam tangan Arka. “Mereka datang.”
Arka meneguk ludah. Tidak ada jalan mundur.
Pria terbentang hitam yang sama dengan yang mereka temui di perpustakaan melangkah maju. “Kalian masih bisa berhenti. Kalian masih bisa kembali ke kehidupan kalian sekarang.”
Arka menggeleng. “Kami ingin tahu kebenarannya.”
Pria itu menghela napas. “Kalau begitu, kalian harus menghadapi konsekuensinya.”
Pada saat itu juga, langit tiba-tiba bergetar.
Cahaya aneh muncul di atas jembatan, membentuk lingkaran bercahaya.
Liana menatapnya dengan mata membulat. “Itu… gerbangnya.”
Arka merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Mereka berhasil.
Tapi pria hitam itu melangkah maju, mengangkat tangannya. “Aku tidak bisa membiarkan kalian melewatinya.”
Dan tiba-tiba, kekuatan tak terlihat menghantam Arka, membuatnya terlempar ke belakang.
Arka jatuh ke tanah dengan keras, tubuhnya terasa nyeri. Liana menjerit dan berlari ke arahnya.
Pria memandang hitam itu mengarahkan tangannya ke arah mereka lagi.
Namun sebelum kekuatan itu mengenai mereka, Liana tiba-tiba berdiri dan membuka kedua tangannya, melindungi Arka.
Arka terkejut. “Liana, jangan—”
Tapi sudah terlambat.
Cahaya hitam melesat ke arah mereka, menabrak Liana dengan kekuatan besar.
Liana tersentak, gemetar hebat.
Arka menjerit. “Liana!!”
Liana terhuyung, tapi sebelum tubuhnya jatuh, ia beralih ke Arka dengan mata berkaca-kaca.
“Arka… ini satu-satunya cara.”
Arka menggeleng cepat, matanya dipenuhi air mata. “Tidak, jangan lakukan ini! Kita bisa menemukan cara lain!”
Liana tersenyum tipis, meskipun darah mulai mengalir dari sudut bibir. “Dunia ini tidak akan membiarkan kita bersama… Tapi jika aku menyerahkan diriku, kau masih bisa kembali.”
Arka tidak bisa bernapas. “Liana, jangan… aku tidak bisa kehilanganmu lagi.”
Liana menggenggam tangannya untuk kali terakhir.
“Aku akan selalu menemukamu… di kehidupan berikutnya.”
Dan dengan kekuatan terakhirnya, Liana mendorong Arka ke dalam gerbang.
Arka menjerit saat tubuhnya terseret ke dalam cahaya putih yang menyilaukan.
Yang terakhir ia lihat sebelum semuanya gelap adalah Liana yang tersenyum di tengah bayangan, sebelum akhirnya menghilang.
—
Ketika Arka membuka matanya, ia berada di tempat yang berbeda.
Langit cerah. Udara segar.
Ia duduk di bangku taman, dikelilingi orang-orang yang lalu lalang. Tidak ada tanda-tanda dunia yang berantakan.
Arka memegangi kepalanya. Semuanya terasa… normal. Tapi ada sesuatu yang kosong di dalam hatinya.
Ia tidak ingat apa yang hilang.
Lalu, tiba-tiba, seorang wanita berjalan melewatinya.
Arka Putar.
Wanita itu… terasa familiar.
Saat wanita itu menyadari munculnya Arka, dia berhenti sejenak dan tersenyum.
Senyum yang membuat hati Arka bergetar.
Tanpa sadar, air mata jatuh di pipinya.
Meskipun dunia berusaha memisahkan mereka…
Cinta selalu menemukan kembali.
Bab 10 – Dunia yang Mengulang Takdir
Arka duduk diam di bangku taman, masih memandangi wanita yang baru saja melewatinya. Hatinya berdegup kencang. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, perasaan asing yang terasa begitu akrab.
Wanita itu berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu.
Seketika, dada Arka terasa sesak.
Dia tidak ingat siapa wanita itu. Tapi muncullah mata itu—tatapan yang membuatnya merasa kehilangan sesuatu yang tidak pernah ia ingat.
Wanita itu tersenyum lembut. Senyum yang entah kenapa terasa menyakitkan.
Arka menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Maaf… kita pernah bertemu sebelumnya?”
Wanita itu sesaat sebelum menjawab dengan suara pelan. “Aku… tidak tahu.”
Arka mengerutkan keningnya. “Tapi rasanya aku mengenalmu.”
Wanita itu menggigitnya, lalu tersenyum samar. “Mungkin… kita hanya mengalami déjà vu ?”
Arka menjawab. Kata-kata itu menggema di kepalanya.
Deja vu.
Sesuatu dalam dirinya ingin mengatakan bahwa ini bukan sekadar perasaan aneh. Bahwa mereka memang pernah bertemu. Bahwa mereka seharusnya mengenal satu sama lain.
Tapi… dia tidak ingat.
Wanita itu melihatnya dengan menampilkan yang sulit diartikan, seolah-olah ia sendiri berusaha mengingat sesuatu yang tidak ada di dalam kepalanya.
Akhirnya, dia tersenyum kecil. “Senang bertemu denganmu.”
Lalu dia melangkah maju.
Arka hanya bisa duduk diam, bersembunyi di baliknya.
Hatinya terasa hampa.
Tampaknya sesuatu yang sangat berharga telah hilang, tetapi ia tidak mengetahuinya.
—
Beberapa hari telah berlalu, namun Arka tidak bisa melupakan perasaan itu.
Setiap kali ia melewati taman itu lagi, ia berharap bisa melihat wanita itu lagi.
Namun, ia tidak pernah muncul.
Malam-malamnya terasa aneh. Ada mimpi-mimpi samar yang mengganggu tidurnya—bayangan seorang wanita, suara tawa, dan perasaan hangat yang perlahan menghilang begitu ia terbangun.
Dan di dalam hatinya, ada satu pertanyaan yang terus menghantui:
Siapa aku sebelum dunia ini berubah?
—
Hingga suatu hari, Arka kembali ke kafe tempat semuanya dimulai.
Ia duduk di meja dekat jendela, memandangi hujan yang turun perlahan.
Tiba-tiba, bel pintu berbunyi.
Arka Putar.
Dan di sana, berdiri wanita itu.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Wanita itu juga melihatnya. Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap.
Lalu, sesuatu terjadi.
Kilasan aneh melintas di kepala Arka—bayangan dirinya berlari di tengah hujan bersama wanita itu, tawa mereka menggema, tangan mereka saling menggenggam erat.
Lalu kilasan lain—mereka berdiri di depan altar, mengenakan pakaian pernikahan, saling menatap dengan penuh cinta.
Dan terakhir… wanita itu tersenyum padanya, dengan air mata yang jatuh di pipinya.
“Aku akan selalu menemukamu… di kehidupan berikutnya.”
Arka terkejut, napasnya tercekat.
Wanita itu juga tampak terkejut, seolah melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia ingat.
Mereka saling mendekat.
Arka menatap ke dalam matanya, lalu berkata dengan suara pelan, “Liana?”
Wanita itu terkejut. Mata mereka saling mengunci.
Dan perlahan, senyumannya muncul.
Senyum yang penuh kehangatan dan keteguhan.
“Lama tidak bertemu, Arka.”
Takdir mungkin bisa diubah. Tapi cinta… akan selalu menemukan kembali.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.