Tia, seorang desainer grafis yang penuh semangat, mencintai Arga dengan tulus. Ia selalu percaya bahwa cinta adalah tentang bertahan dan memberi kesempatan. Namun, semakin lama, ia merasa semakin diabaikan. Arga selalu punya alasan, selalu terlalu sibuk, dan Tia terus menunggu perubahan yang tak kunjung data
Setelah bertahun-tahun bertahan dalam hubungan yang membuatnya merasa sendirian, Tia akhirnya mengambil keputusan berat—ia pergi. Ironisnya, baru setelah kehilangan, Arga menyadari bahwa Tia adalah seseorang yang berharga. Namun, semuanya sudah terlambat. Tia telah menemukan kebahagiaan baru bersama Damar, pria yang memberinya cinta tanpa harus memintanya.
Sebuah kisah tentang cinta, kehilangan, dan bagaimana menemukan keberanian untuk memilih kebahagiaan sendiri. Karena terkadang, pergi adalah satu-satunya cara untuk benar-benar menemukan diri sendiri.
Bab 1: Awal yang Manis, Harapan yang Tinggi
Tia selalu percaya bahwa cinta adalah tentang bertahan. Ia percaya bahwa ketika seseorang memutuskan untuk mencintai, maka ia juga harus siap menghadapi segala suka dan dukanya. Itu sebabnya, ketika ia pertama kali jatuh cinta pada Arga, ia tidak ragu untuk menyerahkan hatinya sepenuhnya.
Pertemuan mereka terjadi dengan cara yang tidak istimewa, tapi justru itu yang membuatnya berkesan. Tidak ada drama, tidak ada adegan romantis yang berlebihan seperti di film-film, hanya dua orang yang kebetulan bertemu dan merasa nyaman satu sama lain. Waktu itu, Tia sedang sibuk membantu temannya menyusun dekorasi acara perpisahan kampus. Arga, yang dikenal sebagai senior populer dengan wajah dingin dan sulit didekati, tiba-tiba menawarkan bantuan.
“Kamu butuh tangga?” tanya Arga sambil membawa sebuah tangga lipat.
Tia yang sejak tadi kesulitan menempelkan dekorasi di dinding hanya bisa menatapnya kaget. Bukan karena Arga, tapi karena ia tidak menyangka ada seseorang yang memperhatikan bahwa ia sedang kesulitan. Apalagi seseorang seperti Arga.
“Eh, iya. Makasih,” jawabnya sedikit canggung.
Arga hanya mengangguk, memasang tangga di tempat yang pas, lalu berbalik pergi seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak ada basa-basi, tidak ada senyuman yang berusaha dibuat-buat. Hanya gerakan sederhana yang terasa begitu tulus. Entah kenapa, sejak hari itu, Tia mulai memperhatikannya.
Setelah peristiwa kecil itu, Tia mulai menyadari bahwa di balik sikap dinginnya, Arga bukanlah seseorang yang tidak peduli. Ia hanya memilih untuk tidak banyak berbicara kecuali benar-benar diperlukan. Mungkin itu yang membuatnya terlihat misterius. Mungkin itu juga yang membuat Tia semakin penasaran.
Hari-hari berlalu, dan entah bagaimana, tanpa ia sadari, kedekatan mereka terjalin begitu saja. Tidak ada momen besar yang menjadi awal dari hubungan mereka, semuanya mengalir dengan alami. Tia yang ceria dan penuh semangat seakan melengkapi Arga yang tenang dan pendiam. Keduanya seperti dua kutub yang berlawanan, tapi justru itu yang membuat mereka semakin nyaman satu sama lain.
Setiap kali Tia bercerita tentang harinya, Arga selalu mendengarkan dengan tenang. Meskipun jawabannya hanya sesingkat “Oh, ya?” atau “Gitu, ya?” Tia tahu bahwa Arga mendengarkan. Setidaknya, itulah yang ia yakini saat itu.
Saat mereka akhirnya resmi berpacaran, Tia merasa dunia begitu indah. Ia jatuh cinta bukan hanya pada Arga, tetapi juga pada bagaimana hubungan mereka terasa sederhana namun penuh kehangatan. Tidak ada janji manis yang berlebihan, tidak ada kata-kata puitis yang dibuat-buat. Arga bukan tipe pria romantis yang mengirimkan bunga atau pesan panjang berisi kata-kata cinta, tapi ia selalu ada.
Dulu, itu sudah cukup bagi Tia.
Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu mulai berubah.
Awalnya, perubahan itu terasa begitu halus, hampir tidak terdeteksi. Mungkin karena ia terlalu sibuk mencintai, sehingga tidak sadar bahwa perlahan-lahan, dirinya mulai diabaikan. Jika dulu Arga selalu mendengarkan ceritanya, sekarang jawabannya hanya berupa gumaman singkat. Jika dulu ia selalu mencari Tia untuk menghabiskan waktu bersama, sekarang Tia-lah yang selalu berusaha mencari Arga.
Tia mencoba berpikir positif. Mungkin Arga hanya sibuk, mungkin ia sedang memiliki banyak hal yang harus dipikirkan. Hubungan mereka sudah berjalan cukup lama, wajar jika ada fase di mana segalanya tidak selalu terasa manis.
Tapi ketika hal itu terus berulang, Tia mulai bertanya-tanya. Apakah ia terlalu berlebihan? Apakah ia terlalu menuntut perhatian? Ataukah ini memang tanda bahwa ia mulai tidak lagi dianggap penting?
Setiap kali ia ingin membicarakan perasaannya, Arga selalu memiliki alasan untuk menghindar. Kadang ia berkata bahwa ia sedang lelah, kadang ia hanya menjawab dengan kalimat pendek yang membuat Tia merasa dirinya hanya membesar-besarkan masalah.
“Kenapa sih, kamu suka mikir yang enggak-enggak?” ujar Arga suatu kali saat Tia berusaha mengungkapkan keresahannya.
Tia terdiam.
Ia ingin mengatakan bahwa ia hanya ingin kejelasan. Ia ingin tahu apakah yang ia rasakan itu benar atau hanya ketakutannya saja. Tapi melihat ekspresi lelah di wajah Arga, ia akhirnya memilih diam.
Lagi-lagi, ia mengalah. Lagi-lagi, ia memberi kesempatan.
Sebab, bukankah cinta adalah tentang bertahan? Bukankah cinta berarti tetap tinggal, meskipun keadaan tidak selalu seperti yang diharapkan?
Tia masih ingin percaya. Ia masih ingin berharap.
Ia hanya belum tahu bahwa keputusannya untuk terus bertahan akan membawa lebih banyak luka dibandingkan kebahagiaan.
Bab 2: Mencintai dalam Diam
Tia selalu percaya bahwa kesabaran adalah kunci dalam sebuah hubungan. Ia meyakini bahwa setiap orang punya caranya sendiri dalam mencintai, dan mungkin cara Arga tidak selalu seperti yang ia harapkan. Ia mencoba memahami, mencoba menerima, dan terus bertahan dengan keyakinan bahwa semuanya akan membaik seiring waktu.
Namun, semakin lama, semakin banyak hal yang membuatnya merasa sendirian dalam hubungan ini.
Dulu, Arga bukan tipe yang banyak bicara, tapi ia selalu mendengarkan. Sekarang, setiap kali Tia bercerita tentang harinya, Arga hanya merespons dengan anggukan atau gumaman singkat, seakan apa yang Tia katakan tidak lagi menarik baginya. Jika dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, sekarang Tia harus bertanya dulu sebelum bisa mendapatkan sedikit waktu Arga.
Kadang, saat ia mengirim pesan, Arga butuh waktu lama untuk membalas. Alasan yang selalu diberikan adalah kesibukan. Tia mengerti bahwa Arga punya banyak hal yang harus dikerjakan, tapi jauh di dalam hatinya, ia bertanya-tanya. Apakah sesibuk itu sampai tidak sempat mengetik satu atau dua kata untuknya? Apakah memang sesulit itu untuk sekadar menunjukkan bahwa ia masih peduli?
Tia tidak langsung mengambil kesimpulan. Ia mencoba memahami, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya fase dalam hubungan mereka. Setiap pasangan pasti memiliki masa-masa sulit. Lagipula, Arga tidak pernah menyakiti dirinya secara langsung. Ia tidak kasar, tidak mengkhianatinya, tidak mengatakan hal-hal yang menyakitkan.
Hanya saja, ia juga tidak lagi menunjukkan bahwa ia peduli.
Suatu hari, Tia memberanikan diri untuk menanyakan hal ini secara langsung. Saat itu mereka sedang bertemu di sebuah kafe, tempat yang dulu sering mereka datangi. Biasanya, Arga akan duduk santai sambil menikmati minumannya, sesekali melontarkan komentar tentang hal-hal yang ia temui di sekitarnya. Tapi hari ini berbeda. Arga sibuk dengan ponselnya sejak mereka duduk.
“Arga,” panggil Tia pelan.
“Hmm?”
“Menurut kamu, kita masih baik-baik saja?”
Arga akhirnya mengalihkan pandangannya dari layar ponsel dan menatap Tia dengan ekspresi bingung.
“Maksud kamu?”
“Kita masih seperti dulu enggak?” Tia menggigit bibirnya, berusaha merangkai kata-kata dengan hati-hati. “Aku ngerasa kita jarang ngobrol. Jarang ketemu juga. Aku kangen sama kita yang dulu.”
Arga menghela napas, lalu mengangkat bahunya. “Kamu mikirin yang enggak-enggak, Ta. Aku cuma lagi banyak kerjaan.”
Tia mengangguk kecil, meskipun ada sesuatu dalam jawaban itu yang membuat hatinya mencelos. Ia ingin percaya bahwa Arga benar-benar hanya sibuk, tapi firasatnya berkata lain.
“Tapi kalau kamu lagi sibuk, kenapa kamu masih bisa keluar sama teman-teman kamu?” Tia akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang selama ini ia pendam.
Arga terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku butuh refreshing, Ta. Kerjaan bikin stres. Bukannya aku enggak mau ketemu kamu, tapi kalau aku ketemu kamu pas lagi stres, aku takut malah enggak bisa ngobrol enak.”
Tia tersenyum kecil, mencoba memahami.
Mungkin ia memang terlalu berlebihan. Mungkin Arga hanya butuh ruang.
Maka, untuk kesekian kalinya, ia memilih diam dan menyimpan semua pertanyaannya sendiri.
Namun, setelah pertemuan itu, hal-hal kecil semakin sering membuatnya merasa diabaikan. Ia mulai memperhatikan bahwa Arga bisa dengan mudah membalas pesan teman-temannya di grup, tapi butuh waktu berjam-jam untuk membalas pesannya. Jika dulu mereka punya kebiasaan menelepon sebelum tidur, sekarang panggilan Tia lebih sering tidak dijawab.
Tia tidak pernah menuntut banyak dari Arga. Ia tidak meminta kado mahal, tidak meminta perhatian berlebihan. Ia hanya ingin merasa dihargai. Ia hanya ingin tahu bahwa ia masih penting dalam hidup Arga.
Suatu malam, setelah seharian menunggu kabar dari Arga tanpa hasil, Tia duduk di kamarnya sambil menatap layar ponselnya yang sepi. Ia ingin menghubungi Arga, tapi ia takut terlihat terlalu menuntut.
Saat sedang dalam dilema, ponselnya bergetar.
Tia langsung mengambilnya dengan harapan bahwa itu dari Arga. Namun, ketika melihat nama di layar, hatinya kembali tenggelam dalam kekecewaan. Itu bukan Arga.
Itu pesan dari sahabatnya, Rani.
“Tia, aku tahu ini bukan urusanku. Tapi aku lihat Arga tadi di kafe sama temen-temennya. Aku kira dia lagi sibuk banget makanya enggak sempet balas chat kamu?”
Tia membaca pesan itu berulang kali, berharap ia salah mengartikan. Ia tahu Arga punya hak untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Tapi yang membuatnya sakit adalah kenyataan bahwa setiap kali ia yang mengajak bertemu, Arga selalu sibuk.
Jadi, apa artinya ini?
Ia menggenggam ponselnya erat-erat, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba menggenang di matanya.
Malam itu, Tia menyadari sesuatu.
Mungkin masalahnya bukan tentang Arga yang sibuk. Mungkin masalahnya adalah Arga sudah tidak lagi menempatkan dirinya sebagai prioritas.
Mungkin selama ini ia hanya mencintai dalam diam, berharap suatu saat Arga akan menyadari semua usahanya.
Tapi bagaimana jika Arga tidak pernah benar-benar peduli sejak awal?
Bab 3: Memberi Kesempatan Lagi, dan Lagi
Tia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Pesan dari Rani masih terpampang jelas, tapi ia tidak tahu harus merespons seperti apa. Ada sesuatu dalam hatinya yang ingin marah, ingin menuntut penjelasan dari Arga, tapi di sisi lain, ia takut.
Takut bahwa jika ia bertanya, jawabannya akan semakin menyakitkan.
Selama ini, setiap kali Arga menjauh, Tia selalu berusaha memahami. Setiap kali Arga mengabaikannya, Tia selalu mencari alasan untuk tetap bertahan. Ia selalu berpikir bahwa mungkin ini hanya fase dalam hubungan mereka, bahwa Arga akan berubah jika ia bersabar sedikit lagi.
Namun, malam itu, sesuatu dalam dirinya mulai bertanya.
Sampai kapan ia harus menunggu perubahan yang mungkin tidak akan pernah terjadi?
Meskipun hatinya sakit, Tia memilih untuk tidak langsung mengonfrontasi Arga. Ia ingin melihat apakah Arga akan menghubunginya lebih dulu, apakah setidaknya ada usaha untuk menjelaskan. Namun, seperti yang sudah ia duga, Arga tidak mengatakan apa-apa.
Beberapa hari berlalu, dan Arga tetap seperti biasa. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan.
Sampai akhirnya, Tia yang menyerah lebih dulu.
“Arga,” tulisnya dalam pesan singkat.
Lima belas menit berlalu tanpa balasan. Satu jam, dua jam, hingga akhirnya pesan itu hanya dibaca tanpa respons.
Tia menghela napas panjang. Ia tidak ingin terlihat seperti seseorang yang terlalu menuntut perhatian, tapi bukankah dalam sebuah hubungan, komunikasi adalah hal yang wajar?
Akhirnya, setelah menunggu seharian tanpa kepastian, ia memutuskan untuk menelepon Arga.
Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya panggilan itu diangkat.
“Halo?” Suara Arga terdengar malas, seakan tidak ada sedikit pun antusiasme dalam suaranya.
“Kamu sibuk?” Tia bertanya hati-hati.
“Enggak juga. Kenapa?”
Tia menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya langsung, ingin menuntut kejelasan, tapi ia takut jika ia terlalu frontal, Arga akan semakin menjauh.
“Aku cuma pengen ketemu,” katanya akhirnya. “Bisa enggak?”
Ada jeda beberapa detik sebelum Arga menjawab.
“Kayaknya aku enggak bisa hari ini, Ta. Capek banget, kerjaan banyak.”
Tia terdiam sejenak. Ia ingin percaya, ingin memahami. Tapi bagaimana bisa ia percaya kalau ia tahu bahwa beberapa hari lalu Arga masih sempat nongkrong di kafe dengan teman-temannya?
“Kapan kamu ada waktu?” tanyanya, mencoba untuk tetap tenang.
“Nanti aku kabarin, ya?”
Dan seperti yang sudah-sudah, pesan itu tidak pernah datang.
Malam itu, Tia duduk di tempat tidurnya sambil menatap langit-langit. Ia merasa lelah. Lelah karena selalu menjadi pihak yang berusaha. Lelah karena selalu menunggu sesuatu yang sepertinya tidak akan pernah ia dapatkan.
Ia mengambil ponselnya, membuka galeri foto, dan melihat kenangan-kenangan mereka yang dulu. Foto-foto saat mereka pertama kali bersama, saat Arga masih penuh perhatian, saat ia masih bisa melihat cinta dalam tatapan pria itu.
Apa yang berubah? Atau mungkin, Arga memang tidak pernah benar-benar mencintainya seperti yang ia kira?
Di saat pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, tiba-tiba sebuah pesan masuk. Dari Arga.
“Besok kita ketemu, ya?”
Tia menatap layar ponselnya lama. Ia seharusnya marah. Ia seharusnya membiarkan Arga merasakan apa yang ia rasakan selama ini. Tapi sayangnya, hatinya masih terlalu lemah.
Maka, seperti yang sudah-sudah, ia memberi kesempatan lagi.
Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat biasa. Tia datang lebih dulu, duduk di meja pojok yang sering mereka tempati. Ia menatap keluar jendela, melihat orang-orang berlalu-lalang dengan tawa dan percakapan yang terdengar ringan.
Betapa ia merindukan perasaan seperti itu.
Lima belas menit berlalu sebelum Arga akhirnya muncul. Ia datang dengan wajah lelah, duduk di hadapan Tia tanpa banyak kata.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Tia, mencoba mencairkan suasana.
“Hmm,” Arga hanya menggumam sambil memainkan ponselnya.
Tia menggigit bibirnya. “Kamu sibuk banget, ya?”
“Ya, lumayan.”
Lagi-lagi, keheningan.
Tia tahu bahwa ini seharusnya menjadi momen untuk membicarakan semuanya, untuk menuntut kejelasan. Tapi setiap kali ia hendak membuka mulut, ia selalu takut dengan jawaban yang mungkin akan ia terima.
Maka, ia hanya tersenyum dan berkata, “Enggak apa-apa, aku ngerti.”
Ia tidak tahu sampai kapan ia akan terus berkata seperti itu.
“Cinta seharusnya membuat kita merasa cukup, bukan membuat kita terus bertanya-tanya apakah kita layak dicintai atau tidak.”
Tia masih berharap Arga akan berubah.
Sayangnya, harapan itu mungkin tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Bab 4: Patah yang Tak Terlihat
Tia menatap pantulan dirinya di cermin. Di matanya, ia masih tampak sama seperti dulu—gadis yang selalu tersenyum, yang selalu mencoba melihat sisi baik dalam segala hal. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda.
Ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Dulu, ia selalu percaya bahwa mencintai seseorang berarti menerima segala kekurangannya, bahwa setiap hubungan pasti memiliki naik dan turun. Tapi, seiring waktu, ia menyadari bahwa yang ia lakukan bukanlah sekadar menerima kekurangan Arga. Ia mengabaikan perasaannya sendiri demi mempertahankan seseorang yang bahkan tidak berusaha untuk tetap tinggal.
Setiap hari terasa seperti menunggu sesuatu yang tidak pasti. Menunggu pesan yang tidak kunjung datang, menunggu kepastian yang tidak pernah diberikan, menunggu Arga untuk menyadari bahwa ia sedang kehilangan sesuatu yang berharga.
Tapi Arga tidak pernah menyadarinya.
Suatu sore, Tia dan Arga kembali bertemu di kafe favorit mereka. Kali ini, ia bertekad untuk berbicara. Ia ingin tahu di mana posisi dirinya dalam hidup Arga.
Arga datang terlambat lima belas menit, seperti biasa. Ia tidak lagi memberi alasan atau permintaan maaf. Seolah keterlambatannya bukan hal yang perlu dijelaskan.
“Kenapa ngajak ketemu?” tanya Arga sambil menyeruput minumannya tanpa benar-benar menatap Tia.
Tia menarik napas dalam. “Aku cuma mau tahu satu hal, Ga,” katanya pelan.
“Hmm?”
“Kamu masih sayang aku?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya tidak datang secepat yang ia harapkan. Arga diam, seolah mempertimbangkan sesuatu.
“Ya, aku sayang,” jawabnya akhirnya.
Tia tersenyum kecil, meskipun hatinya tidak benar-benar merasa lega. “Kalau sayang, kenapa kamu kayak gini?”
Arga mengernyit. “Maksud kamu?”
“Kamu jarang ada buat aku. Aku ngerasa selalu nunggu kamu, selalu berharap kamu bakal berubah, tapi rasanya aku cuma jalan di tempat sendirian.”
Arga menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Tia, aku enggak pernah niat buat nyakitin kamu. Aku cuma… ya, gini aja. Aku enggak berubah, aku tetap aku.”
Kata-kata itu menghantam Tia lebih keras daripada yang ia duga.
Arga tidak berubah.
Mungkin memang itu masalahnya.
Selama ini, ia berharap Arga akan menjadi lebih baik, akan lebih memperhatikannya, akan kembali seperti saat mereka pertama kali bersama. Tapi kenyataannya, Arga tidak pernah berubah. Dari awal, Arga memang bukan seseorang yang akan berusaha keras mempertahankan sesuatu.
Yang berubah adalah dirinya.
Dulu, Tia bahagia dengan hal-hal kecil yang Arga berikan. Sekarang, ia sadar bahwa ia hanya menerima remah-remah perhatian, sementara hatinya terus meminta lebih.
Malam itu, Tia duduk di tempat tidurnya, memeluk dirinya sendiri. Ia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.
Ia menatap ponselnya, membaca kembali percakapan lama mereka. Percakapan saat Arga masih sering menanyakan kabarnya, saat mereka masih bisa tertawa bersama tanpa ada kecanggungan.
Tapi kini, percakapan mereka hanya terdiri dari balasan singkat, tanpa kehangatan.
Tia akhirnya mengerti sesuatu yang selama ini ia coba abaikan.
Ia mencintai seseorang yang tidak pernah benar-benar takut kehilangannya.
Dan mungkin, itulah alasan kenapa ia merasa begitu sakit.
“Aku ingin kamu berjuang untukku, bukan hanya karena aku memintanya, tapi karena kamu benar-benar ingin mempertahankanku.”
Namun, Arga tidak pernah berjuang.
Dan perlahan, ia mulai meragukan apakah hubungan ini masih layak dipertahankan.
Bab 5: Akhirnya Aku Pergi
Tia bangun pagi dengan perasaan yang sama seperti hari-hari sebelumnya—hampa. Hubungan yang dulu membuatnya berbunga-bunga kini terasa seperti beban. Ia tidak lagi merasakan kebahagiaan yang sama ketika melihat nama Arga muncul di ponselnya. Sekarang, setiap pesan darinya hanya membuatnya merasa gelisah.
Ia melirik layar ponselnya. Tidak ada pesan masuk dari Arga sejak pertemuan terakhir mereka. Tidak ada usaha untuk memperbaiki keadaan, tidak ada pertanyaan tentang apa yang ia rasakan. Seolah-olah percakapan mereka di kafe hanyalah angin lalu yang tidak berarti apa-apa.
Tia menarik napas panjang. Ia lelah.
Lelah mencintai seseorang yang bahkan tidak berusaha mempertahankannya.
Malam itu, Tia kembali mencoba menghubungi Arga. Ia ingin berbicara, ingin memberi kesempatan terakhir sebelum mengambil keputusan yang selama ini ia takutkan.
“Arga, kita bisa ketemu?” tanyanya melalui pesan.
Pesannya hanya dibaca, tanpa balasan.
Satu jam berlalu.
Dua jam.
Lima jam.
Tidak ada jawaban.
Di masa lalu, ia mungkin akan mencoba mengerti. Ia mungkin akan memberi alasan bahwa Arga sedang sibuk atau sedang tidak ingin diganggu. Tapi kali ini, ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi menipu dirinya sendiri.
Seseorang yang benar-benar peduli tidak akan pernah membuat orang yang dicintainya merasa sendirian dalam hubungan.
Akhirnya, di tengah malam yang sunyi, ia mengetik pesan terakhir.
“Aku udah cukup sabar. Aku udah cukup bertahan. Tapi aku sadar, aku sendirian di hubungan ini. Aku capek, Ga. Aku pergi.”
Ia menatap layar ponselnya lama, menunggu apakah Arga akan merespons.
Tapi tidak ada jawaban.
Maka, untuk pertama kalinya, ia memutuskan untuk tidak menunggu lagi.
Tia memblokir nomor Arga.
Bukan karena ia ingin drama atau ingin melihat Arga mengejarnya, tapi karena ia tahu bahwa jika ia tidak melakukan ini sekarang, ia akan terus mencari alasan untuk bertahan.
Ia berbaring di tempat tidurnya, membiarkan air matanya mengalir.
Bukan karena ia masih berharap Arga akan berubah, tapi karena ia akhirnya menerima kenyataan bahwa seseorang yang ia cintai dengan tulus tidak pernah benar-benar mencintainya dengan cara yang sama.
Keesokan harinya, Tia bangun dengan perasaan yang aneh.
Ada kesedihan, tentu saja. Tapi ada juga sesuatu yang lain.
Ketenangan.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Tidak ada lagi penantian, tidak ada lagi harapan kosong. Ia akhirnya memilih dirinya sendiri.
Dan meskipun perjalanannya masih panjang, ia tahu bahwa ia akan baik-baik saja.
“Aku pergi, bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku pantas mendapatkan lebih dari sekadar seseorang yang hanya mencintaiku saat aku hampir pergi.”
Bab 6: Penyesalan yang Terlambat
Arga menatap ponselnya lama. Pesan dari Tia masih ada di sana, terbuka di layar, tapi ia tidak pernah membalasnya.
“Aku udah cukup sabar. Aku udah cukup bertahan. Tapi aku sadar, aku sendirian di hubungan ini. Aku capek, Ga. Aku pergi.”
Kalimat itu terus terulang di kepalanya, seperti rekaman yang tidak bisa ia hentikan. Awalnya, ia mengabaikannya, berpikir bahwa ini hanyalah fase lain di mana Tia sedang emosi dan akan kembali seperti biasa.
Tapi satu hari berlalu. Dua hari. Seminggu.
Tidak ada pesan lagi dari Tia. Tidak ada panggilan, tidak ada usaha untuk kembali.
Untuk pertama kalinya, Arga merasa ada sesuatu yang salah.
Ia mencoba menghubungi Tia, tapi pesan yang ia kirim tidak terkirim. Nomornya diblokir.
Saat itu, sesuatu dalam dirinya mulai terasa kosong.
Ia mencoba mencari tahu dari teman-teman Tia, tapi tidak ada yang mau mengatakan apa pun. Ia bahkan pernah diam-diam datang ke rumahnya, tapi Tia tidak pernah keluar menemuinya.
Semakin hari, semakin ia merasa kehilangan sesuatu yang penting.
Dulu, ia selalu berpikir bahwa Tia akan selalu ada. Tidak peduli seberapa sibuk atau cueknya ia, Tia akan selalu menunggu. Ia sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Tia, sampai ia lupa bahwa seseorang juga bisa lelah dan memilih pergi.
Dan sekarang, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan bagaimana rasanya benar-benar kehilangan.
Suatu hari, tanpa sengaja, Arga melihat Tia di sebuah kafe.
Namun, yang membuat dadanya mencelos bukan hanya karena ia akhirnya melihat gadis itu lagi, tapi karena Tia tidak sendirian.
Ia duduk bersama seorang pria.
Pria itu menatapnya dengan penuh perhatian, mendengarkan setiap kata yang Tia ucapkan dengan senyum hangat di wajahnya.
Dan yang paling menyakitkan bagi Arga adalah melihat bagaimana Tia tertawa.
Tawa yang dulu selalu menjadi miliknya.
Tia terlihat berbeda. Ia lebih bahagia. Lebih bebas.
Tanpa sadar, Arga mengepalkan tangannya.
Seharusnya, itu dirinya yang ada di sana. Seharusnya, itu dirinya yang membuat Tia tertawa seperti itu.
Untuk pertama kalinya, ia menyesali semua hal yang tidak pernah ia lakukan.
Menyesali setiap pesan yang ia abaikan.
Menyesali setiap pertemuan yang ia batalkan.
Menyesali setiap momen di mana ia bisa memilih untuk lebih peduli, tapi tidak melakukannya.
Tapi kini semuanya sudah terlambat.
Tia tidak lagi menunggunya.
Dan ia harus menerima kenyataan bahwa kali ini, ia benar-benar kehilangan orang yang mencintainya dengan tulus.
“Kadang, kita baru menyadari betapa berharganya seseorang saat ia sudah pergi. Sayangnya, tidak semua yang hilang bisa kembali.”
Bab 7: Ada yang Lebih Layak untuk Cintaku
Tia menatap bayangannya di kaca jendela kafe. Senyum yang terlukis di wajahnya bukan lagi senyum yang dipaksakan. Kali ini, ia benar-benar bahagia.
Sudah hampir tiga bulan sejak ia meninggalkan Arga. Awalnya, ia pikir kepergian itu akan menjadi hal yang sulit. Ia membayangkan dirinya akan terus merindukan Arga, menahan diri untuk tidak menghubunginya, dan menangis setiap malam.
Tapi ternyata tidak.
Bukan berarti ia tidak pernah merasa sedih. Ada banyak malam di mana ia merindukan kenangan mereka, ada banyak hari di mana ia hampir membuka blokiran Arga hanya untuk melihat apakah pria itu mencarinya. Tapi setiap kali keinginan itu datang, ia mengingat bagaimana ia dulu merasa begitu sendirian dalam hubungan mereka.
Ia mengingat semua waktu di mana ia menunggu, berharap, dan bertahan sendirian.
Dan pada akhirnya, ia tahu bahwa keputusannya untuk pergi adalah hal yang benar.
Di hadapannya, Damar tersenyum hangat.
“Ngapain melamun?” tanya pria itu, menyadarkan Tia dari pikirannya.
Tia menggeleng pelan, lalu tersenyum. “Enggak, cuma kepikiran sesuatu.”
Damar menatapnya dengan mata yang penuh perhatian. Tidak ada tatapan kosong atau sikap setengah hati seperti yang dulu sering ia dapatkan dari Arga. Sejak mengenal Damar, Tia menyadari bahwa perhatian dalam sebuah hubungan tidak harus diminta. Ketika seseorang benar-benar peduli, mereka akan menunjukkannya tanpa harus diminta.
Damar selalu hadir.
Ia mendengarkan dengan tulus saat Tia bercerita. Ia tidak pernah membuatnya merasa diabaikan atau tidak penting. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Tia merasakan bagaimana rasanya dicintai tanpa harus berjuang sendirian.
“Kayaknya kamu masih ada yang belum diceritain,” ujar Damar sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Tia tersenyum kecil. “Enggak penting, kok.”
“Tapi kalau kamu masih kepikiran, berarti penting.”
Tia menatap pria di hadapannya lama. Ia ingin berkata bahwa ia sudah melupakan masa lalunya, bahwa ia sudah sepenuhnya bahagia. Tapi sejujurnya, ada sedikit perasaan yang tersisa. Bukan karena ia masih mencintai Arga, tapi lebih kepada luka yang pernah ditinggalkan.
“Aku cuma kepikiran, gimana ya rasanya kalau aku dulu enggak pergi?” kata Tia akhirnya.
Damar terdiam sejenak sebelum menjawab, “Mungkin kamu masih akan menunggu sesuatu yang enggak akan pernah datang.”
Jawaban itu membuat Tia terdiam.
Dulu, ia berpikir bahwa cinta adalah tentang bertahan, tentang memberi kesempatan berkali-kali. Tapi kini ia sadar bahwa cinta yang benar tidak membuat seseorang merasa tidak cukup.
Ia tidak pernah menyesal telah mencintai Arga. Tapi ia juga tidak menyesal telah pergi.
Sebab, jika ia tidak pergi, ia tidak akan pernah tahu bahwa ada seseorang yang bisa mencintainya dengan lebih baik.
Ada seseorang yang tidak membuatnya merasa harus meminta perhatian.
Ada seseorang yang tidak membuatnya merasa sendirian dalam hubungan.
Dan akhirnya, ia tahu bahwa cinta bukanlah tentang siapa yang lebih lama bertahan, tapi tentang siapa yang benar-benar berusaha.
Ia menatap Damar dan tersenyum.
“Aku akhirnya mengerti. Aku bukan kehilangan seseorang yang mencintaiku, tapi hanya kehilangan seseorang yang tidak pernah benar-benar berusaha mempertahankanku.”
Bab 8: Kamu Datang Saat Aku Sudah Pergi
Tia sedang berjalan di trotoar setelah keluar dari kafe bersama Damar ketika tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahnya.
“Tia.”
Suara itu begitu familiar. Suara yang dulu selalu ia tunggu-tunggu, suara yang dulu bisa membuat dadanya bergetar hanya dengan satu panggilan.
Ia menoleh.
Dan di sana, berdiri seseorang yang selama ini berusaha ia lupakan.
Arga.
Tia tidak segera bereaksi. Untuk sesaat, ia hanya menatap pria itu dalam diam. Arga terlihat berbeda—lebih kurus, lebih lelah, dan yang paling mengejutkan, tatapannya tidak lagi penuh keyakinan seperti dulu. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Tia sadar.
Arga menyesal.
Damar yang berdiri di sampingnya ikut menoleh, lalu melirik ke arah Tia. “Ini siapa?” tanyanya pelan.
Tia menelan ludahnya, lalu berusaha menguatkan diri. “Orang dari masa lalu.”
Damar tampak mengerti. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memberi Tia ruang untuk menyelesaikan apa pun yang harus ia selesaikan.
Arga melangkah mendekat, napasnya sedikit tidak teratur, seolah ia sudah lama ingin mengatakan sesuatu. “Tia, aku bisa bicara sebentar?”
Tia mengangkat dagunya sedikit, mencoba menjaga ekspresi tenangnya. “Apa lagi yang mau dibicarakan, Ga?”
Arga menghela napas, matanya tampak gelisah. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku udah nyakitin kamu. Aku nyesel, Tia.”
Tia diam. Dulu, ia mungkin akan menangis mendengar kata-kata itu. Dulu, ia mungkin akan berpikir bahwa ini adalah momen yang ia tunggu—momen di mana Arga akhirnya menyadari betapa berharganya dirinya.
Tapi sekarang, tidak ada perasaan itu lagi.
Tidak ada kebahagiaan, tidak ada harapan.
Hanya kehampaan.
“Kenapa baru sekarang, Ga?” Tia akhirnya membuka suara.
“Aku bodoh.” Arga menatapnya dengan kesungguhan yang selama ini tidak pernah ia tunjukkan. “Aku terlalu terbiasa sama kamu, aku terlalu yakin kamu akan selalu ada. Aku pikir… aku punya waktu lebih banyak buat berubah. Tapi ternyata aku salah.”
Tia menatapnya lama. Dulu, ia ingin sekali mendengar kata-kata ini. Tapi kini, saat akhirnya Arga datang dengan permintaan maaf, Tia menyadari sesuatu.
Ia tidak butuh penyesalan Arga.
Karena pada akhirnya, penyesalan tidak mengubah apa pun.
“Kamu tahu, Ga,” kata Tia pelan, “Aku pernah berharap kamu akan bilang ini lebih cepat. Aku pernah berharap kamu akan sadar sebelum aku memutuskan pergi.”
Arga menundukkan kepala, wajahnya penuh dengan rasa bersalah.
“Tapi sekarang aku sadar,” lanjut Tia, suaranya tetap tenang. “Aku bukan kehilangan seseorang yang mencintaiku. Aku hanya kehilangan seseorang yang tidak pernah berusaha mempertahankanku.”
Arga menatapnya dengan mata penuh harapan. “Tia, kita bisa mulai lagi. Aku janji, aku bakal berubah.”
Tia tersenyum tipis. Dulu, ia mungkin akan percaya.
Tapi sekarang, ia tahu lebih baik.
“Aku sudah menemukan seseorang yang memperlakukanku lebih baik,” katanya sambil melirik ke arah Damar yang masih berdiri di dekatnya. “Seseorang yang tidak perlu kehilangan aku dulu untuk menyadari bahwa aku berharga.”
Arga terdiam.
Mata pria itu sedikit berkaca-kaca, tapi Tia tidak lagi merasa kasihan. Ia sudah terlalu lama merasa kasihan pada seseorang yang bahkan tidak peduli saat ia terluka.
“Aku udah bahagia, Ga,” katanya pelan. “Kamu juga harus belajar buat bahagia tanpaku.”
Arga menelan ludahnya, lalu menunduk. Ia tahu, tidak ada lagi kesempatan kedua. Tidak ada lagi Tia yang menunggu, tidak ada lagi Tia yang berharap.
Tia menatapnya untuk terakhir kali, lalu berbalik pergi bersama Damar.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar merasa bebas.
“Aku yang pergi, bukan karena aku ingin meninggalkanmu. Tapi karena aku akhirnya sadar, aku pantas mendapatkan seseorang yang tidak perlu kehilangan aku dulu untuk menghargai keberadaanku.”
Bab 9: Luka yang Mengajarkan
Tia duduk di balkon apartemennya, menatap langit senja yang perlahan berubah warna. Udara sore terasa sejuk, membelai lembut wajahnya. Ia menarik napas dalam, membiarkan keheningan mengambil alih pikirannya.
Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Arga. Sejak ia memilih untuk benar-benar menutup lembaran lama dan melangkah maju. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi perasaan bersalah.
Dulu, ia selalu bertanya-tanya apakah keputusannya untuk pergi adalah hal yang benar. Ia takut, bagaimana jika ia hanya terlalu terburu-buru? Bagaimana jika sebenarnya Arga memang bisa berubah?
Tapi saat melihatnya kembali, dengan wajah penuh penyesalan dan permintaan maaf yang terlambat, ia sadar bahwa tidak ada yang perlu disesali.
Arga memang menyesal. Tapi bukan karena ia benar-benar kehilangan Tia, melainkan karena ia kehilangan seseorang yang selalu ada untuknya tanpa syarat.
Dan itu bukan cinta yang layak untuk diperjuangkan.
Sore itu, Damar datang menemuinya. Ia membawa dua cangkir kopi, menyerahkannya dengan senyum hangat.
“Kamu kelihatan lebih tenang sekarang,” katanya sambil duduk di samping Tia.
Tia tersenyum kecil. “Aku merasa lebih ringan.”
Damar menyesap kopinya, lalu menatapnya dengan serius. “Apa kamu masih mikirin dia?”
Tia menghela napas pelan. “Bukan dia yang aku pikirin, tapi lebih ke… bagaimana aku dulu membiarkan diriku terluka selama itu.”
Damar mengangguk. “Wajar. Kita kadang baru menyadari sesuatu setelah semuanya berakhir.”
Tia menatap cangkir kopinya, memutar-mutar sendok kecil di dalamnya. “Aku dulu selalu berpikir bahwa cinta adalah tentang bertahan. Aku selalu memberi kesempatan, berharap dia akan berubah. Tapi aku lupa kalau aku juga punya batasan.”
Damar tersenyum tipis. “Dan sekarang, kamu tahu bahwa cinta yang benar enggak membuatmu merasa sendirian dalam hubungan.”
Tia mengangguk.
Ia akhirnya mengerti.
Cinta bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang tahu kapan harus melepaskan.
Luka yang ia alami bukanlah sesuatu yang sia-sia. Semua rasa sakit, semua air mata yang ia tumpahkan, semua malam yang ia habiskan dengan menunggu sesuatu yang tidak pasti—semua itu mengajarkannya sesuatu yang berharga.
Bahwa ia pantas mendapatkan lebih.
Bahwa cinta bukan sekadar bertahan, tapi juga tentang saling memperjuangkan.
Bahwa seseorang yang benar-benar mencintainya tidak akan membuatnya mempertanyakan apakah ia cukup.
Damar menatapnya dengan penuh perhatian. “Jadi, apa yang kamu rasakan sekarang?”
Tia tersenyum, kali ini dengan ketulusan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Aku merasa lega. Aku sudah memaafkan semuanya—Arga, diriku sendiri, dan semua luka yang pernah ada.”
Damar tersenyum. “Itu tandanya kamu benar-benar sudah move on.”
Tia menatap senja yang mulai gelap. Ia tahu, perjalanan ini tidak selalu mudah. Ada banyak air mata, ada banyak luka. Tapi kini, ia sudah berada di tempat yang lebih baik.
Dan ia siap untuk bahagia.
“Luka yang paling menyakitkan bukanlah luka dari kehilangan seseorang, tapi luka dari mencintai seseorang yang tidak pernah benar-benar berusaha mempertahankanmu.”
Bab 10: Akhir yang Seharusnya
Tia berjalan pelan di sepanjang trotoar, menikmati semilir angin sore yang menyejukkan. Sudah berbulan-bulan sejak ia terakhir kali berbicara dengan Arga. Setelah pertemuan itu, ia benar-benar melepaskan semuanya. Tidak ada lagi rasa penasaran, tidak ada lagi keinginan untuk melihat bagaimana kehidupan Arga tanpanya.
Dulu, ia selalu takut untuk pergi. Ia berpikir bahwa tanpa Arga, dunianya akan terasa hampa. Tapi kini, ia sadar bahwa dunia tetap berjalan, dan dirinya baik-baik saja—bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Di sampingnya, Damar berjalan dengan santai, tangannya memegang segelas kopi yang baru saja mereka beli. Ia menoleh ke arah Tia dengan tatapan penuh perhatian.
“Kamu kelihatan lebih bahagia,” katanya.
Tia tersenyum. “Karena aku memang bahagia.”
Damar mengangguk, lalu tersenyum tipis. “Kamu masih kepikiran dia?”
Tia menghela napas, lalu menatap langit yang mulai berubah warna keemasan. “Aku rasa, aku sudah enggak kepikiran dia lagi. Aku sudah memaafkan semuanya.”
Damar menatapnya dalam diam, lalu berkata, “Aku senang dengar itu.”
Tia tersenyum kecil. Ia tahu, hidup akan selalu penuh dengan kejutan. Dulu, ia tidak pernah membayangkan dirinya akan bisa benar-benar move on. Tapi sekarang, ia berdiri di sini, dengan hati yang lebih ringan dan kebahagiaan yang lebih nyata.
Malamnya, Tia duduk di kamarnya, menatap langit dari jendela apartemennya. Ia mengambil ponselnya, membuka galeri foto, dan melihat kenangan lama bersama Arga.
Namun, kali ini, tidak ada lagi sesak di dadanya. Tidak ada lagi air mata yang ingin jatuh.
Dengan satu tarikan napas dalam, ia menghapus semua foto itu.
Lalu, ia membuka pesan terakhir dari Arga yang dulu belum ia hapus.
“Aku nyesel, Tia. Aku tahu aku salah. Aku harap kamu masih bisa kasih aku kesempatan.”
Tia menatap pesan itu lama, lalu tersenyum tipis.
Tanpa ragu, ia menghapus pesan itu juga.
Bukan karena ia masih marah, tapi karena ia tahu bahwa ia sudah tidak perlu lagi melihat ke belakang.
Karena akhirnya, ia benar-benar telah pergi.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bebas.
Beberapa hari kemudian, Tia dan Damar duduk di sebuah taman, menikmati sore yang cerah.
“Jadi, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Damar.
Tia menoleh, menatapnya dengan senyum hangat. “Aku enggak tahu pasti, tapi yang jelas… aku ingin terus bahagia.”
Damar tertawa kecil. “Bagus. Karena kamu pantas untuk itu.”
Tia mengangguk. Ia tahu, perjalanannya belum selesai. Tapi kali ini, ia tidak lagi takut untuk melangkah.
Ia sudah memilih jalannya sendiri.
Dan ia tidak akan menoleh ke belakang lagi.
“Cinta bukan tentang siapa yang paling lama bertahan, tapi tentang siapa yang benar-benar memperjuangkan. Dan aku akhirnya sadar, aku pantas mendapatkan cinta yang tidak membuatku merasa sendirian.”
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.