Di dunia tanpa nama, Aveline, seorang mantan ilmuwan yang kehilangan ingatannya, terbangun di fasilitas misterius di mana identitas telah dihapus dan semua orang hidup sebagai bagian dari sistem tanpa ego. Ketika ia menemukan catatan tersembunyi yang mengungkapkan bahwa ia memiliki nama dan masa lalu, Aveline mulai mencari kebenaran. Dibantu oleh pria misterius bernama 0-34, ia menemukan bahwa dunia ini adalah eksperimen untuk menciptakan kesadaran kolektif. Namun, rahasia terbesar terungkap—Aveline bukanlah dirinya yang asli, melainkan duplikasi dari seseorang yang telah lama mati. Kini, ia harus memilih: menerima takdirnya atau melawan sistem yang ingin menghapusnya selamanya.
Bab 1: Terbangun Tanpa Nama
Aveline terbangun dengan kepala terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang baru saja dihapus dari ingatannya. Udara di ruangan ini dingin, dan bau antiseptik menusuk hidungnya. Ia membuka mata perlahan, membiarkan cahaya putih dari lampu di langit-langit menyilauinya sejenak sebelum akhirnya bisa melihat sekeliling.
Ruangan itu bersih, nyaris terlalu bersih. Dinding-dindingnya berwarna putih polos, tanpa hiasan, tanpa jendela. Di sudut ruangan, ada sebuah meja kecil dengan segelas air di atasnya, seolah-olah sudah disiapkan untuknya. Tempat tidur yang ia duduki terasa empuk, tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa gelisah. Seperti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.
‘Di mana aku?’ pikirnya.
Ia mencoba mengingat bagaimana ia bisa berada di sini, tetapi kepalanya terasa kosong. Tidak ada kenangan tentang dirinya, tidak ada wajah yang familiar, bahkan namanya sendiri pun terasa asing. Ia menekan pelipisnya, mencoba mengorek sesuatu dari pikirannya, namun tetap saja, tidak ada apa-apa di sana.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan suara mendesis. Seorang wanita berambut pendek masuk dengan senyum lembut di wajahnya. Ia mengenakan seragam abu-abu sederhana, sama seperti yang dikenakan Aveline—baru sekarang ia menyadari bahwa ia juga mengenakan pakaian serupa.
“Kau sudah bangun,” kata wanita itu dengan suara tenang. “Bagaimana perasaanmu?”
Aveline ragu sejenak sebelum menjawab, “Aku… tidak tahu.”
“Itu wajar,” kata wanita itu sambil berjalan mendekat. “Kau butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Jangan terlalu memaksakan diri.”
Aveline menatapnya curiga. “Siapa aku?”
Wanita itu tersenyum, tapi senyumannya terasa aneh. Seperti senyuman seseorang yang sudah terlalu sering mengatakannya, tanpa emosi, tanpa makna.
“Kita semua sama,” kata wanita itu. “Tidak ada nama. Tidak ada masa lalu. Yang penting adalah masa kini.”
Aveline merasakan ketakutan merayap di tulang punggungnya. Tidak ada nama? Tidak ada masa lalu? Itu tidak masuk akal. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, wanita itu melanjutkan, “Mari, ikut aku. Kau akan segera terbiasa.”
Aveline ragu, tetapi pada akhirnya, ia mengangguk dan mengikuti wanita itu keluar dari ruangan.
Dunia di luar ruangan itu lebih aneh daripada yang ia bayangkan. Lorong-lorong yang panjang dan bersih membentang ke segala arah, semuanya terlihat identik, seperti labirin yang dibuat dengan sangat rapi. Setiap orang yang ia lewati mengenakan pakaian yang sama, dengan ekspresi datar dan langkah-langkah yang teratur. Tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka.
Seolah-olah mereka semua hanya bagian dari suatu sistem besar yang bekerja tanpa perlu bertanya.
Mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan luas yang penuh dengan meja dan kursi. Orang-orang duduk dengan tenang, makan makanan yang sama—sebuah bubur berwarna abu-abu yang tidak berbau dan tidak menarik. Mereka makan dalam diam, tanpa berbicara, tanpa berinteraksi satu sama lain.
Aveline menelan ludah. Ada sesuatu yang sangat salah di sini.
Wanita itu memberinya semangkuk makanan yang sama. “Makanlah. Ini akan membantumu menyesuaikan diri.”
Aveline memandangi bubur itu dengan perasaan tidak nyaman. Lalu, dengan perlahan, ia mengangkat sendok dan mencicipinya. Rasanya… hambar. Tidak ada rasa sama sekali, seperti sesuatu yang dibuat hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, bukan untuk dinikmati.
Saat ia meletakkan sendoknya, sesuatu menarik perhatiannya. Selembar kertas kecil, hampir tidak terlihat, terselip di bawah mangkuknya. Jantungnya berdegup kencang saat ia menariknya dengan hati-hati dan membacanya.
“Namamu adalah Aveline. Jangan biarkan mereka tahu bahwa kamu mengingatnya.”
Darah di tubuhnya terasa membeku.
Bagaimana mungkin seseorang mengetahui namanya? Dan lebih penting lagi, kenapa ia tidak boleh membiarkan mereka tahu?
Aveline merasakan napasnya semakin berat. Ia meremas kertas itu dalam genggamannya, menyembunyikannya di bawah meja. Tatapan kosong orang-orang di sekelilingnya tiba-tiba terasa lebih mengancam, seolah-olah mereka diam-diam mengawasinya.
Ketika ia mengangkat kepalanya, wanita yang tadi membawanya ke sini sedang menatapnya dari seberang ruangan dengan senyum yang sama—lembut, tetapi tanpa makna.
Aveline tahu satu hal pasti:
Ia berada dalam bahaya.
Bab 2: Suara-Suara Tanpa Identitas
Aveline tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya terus berputar pada catatan yang ia temukan di ruang makan.
“Namamu adalah Aveline. Jangan biarkan mereka tahu bahwa kamu mengingatnya.”
Siapa yang menulisnya? Kenapa begitu penting untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia memiliki nama?
Ia berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka, menatap langit-langit putih steril yang tampak begitu tak bernyawa. Semuanya di tempat ini terasa terlalu bersih, terlalu teratur, terlalu… kosong. Tidak ada jendela di kamarnya, hanya sebuah pintu yang terkunci otomatis setelah ia masuk.
Seakan-akan tempat ini tidak ingin siapa pun keluar.
Ia memejamkan mata dan mencoba mengingat sesuatu tentang dirinya. Sekalipun hanya satu hal kecil. Namun, semakin keras ia berusaha, semakin kosong pikirannya. Satu-satunya hal yang bisa ia ingat adalah perasaan bahwa sesuatu tidak benar.
Sebuah suara dari luar kamar menarik perhatiannya. Suara langkah kaki yang pelan namun teratur. Aveline menahan napas, mencoba mendengarkan lebih jelas. Langkah itu berhenti di depan pintunya.
Kemudian, terdengar bisikan.
“Jangan bertanya terlalu banyak, atau kamu akan menghilang seperti yang lain.”
Aveline langsung bangun dan mendekat ke pintu, tetapi saat ia menyentuhnya, suara langkah itu sudah menjauh.
Ia menempelkan telinganya ke pintu, berharap bisa menangkap suara lain, tetapi hanya ada kesunyian.
Ketika ia kembali ke tempat tidurnya, pikirannya dipenuhi pertanyaan baru.
Siapa yang berbicara dengannya? Dan yang lebih penting lagi… siapa yang sudah menghilang?
Keesokan harinya, Aveline keluar dari kamarnya dengan hati-hati. Ia mencoba untuk bersikap normal, tidak menunjukkan rasa curiga. Orang-orang yang ia lewati semua memiliki ekspresi sama—tenang, netral, tanpa emosi yang mencolok.
Tidak ada percakapan. Tidak ada tawa.
Mereka semua bergerak dengan cara yang sama, seperti mesin yang diprogram untuk menjalankan tugasnya tanpa perlu berpikir.
Aveline memperhatikan lebih seksama. Ada banyak orang, tetapi tidak ada interaksi nyata di antara mereka. Mereka hanya ada, menjalani rutinitas tanpa pertanyaan.
Saat ia melewati lorong panjang menuju ruang makan, ia melihat sebuah papan besar di dinding. Papan itu berisi daftar angka, tidak ada nama, hanya kode seperti 045-21, 067-34, 089-12—dan di sebelah beberapa kode, ada garis merah.
Ia mencoba menanyakan kepada seseorang yang berdiri di dekatnya.
“Apa arti garis merah ini?” tanyanya pelan.
Pria itu menoleh dengan ekspresi kosong. “Tidak ada.”
“Tapi—”
“Tidak ada,” ulang pria itu, kali ini dengan nada lebih datar.
Aveline merinding. Ia merasa pria itu tidak menjawabnya dengan kesadaran penuh, seolah-olah ia hanya mengulangi sesuatu yang sudah diprogram ke dalam pikirannya.
Ia tidak bertanya lagi.
Di ruang makan, Aveline duduk di meja yang sama seperti kemarin. Ia tidak tahu harus berbuat apa selain mengikuti rutinitas, berpura-pura seperti yang lain.
Saat ia sedang makan, seseorang duduk di sampingnya. Seorang pria dengan rambut hitam pendek dan mata tajam. Tidak seperti yang lain, pria ini memiliki sorot mata yang lebih hidup.
“Kau bertanya tentang daftar itu,” bisiknya tanpa menoleh.
Jantung Aveline berdegup kencang.
“Siapa kau?” bisiknya balik.
“Namaku bukan sesuatu yang bisa kukatakan di sini,” jawab pria itu. “Tapi kau bisa memanggilku 0-34.”
Kode. Sama seperti yang ada di papan itu.
“Apa arti garis merah di sana?” tanya Aveline, kali ini lebih hati-hati.
Pria itu terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Itu adalah daftar mereka yang menghilang.”
Aveline merasakan dadanya mengencang.
“Mereka yang terlalu banyak bertanya?”
Pria itu mengangguk pelan. “Mereka menghilang tanpa jejak. Dan tidak ada yang akan mengingat mereka.”
Aveline menggenggam sendoknya erat. Jika itu benar, berarti ia berada di tempat yang jauh lebih berbahaya daripada yang ia kira.
“Lalu… kenapa kau membantuku?” tanyanya.
Pria itu akhirnya menoleh, matanya menatap Aveline dengan tajam. “Karena kau bukan satu-satunya yang mengingat sesuatu.”
Malamnya, Aveline kembali ke kamarnya dengan berbagai pikiran yang bercampur aduk.
Siapa pria itu? Apa maksudnya dengan “bukan satu-satunya”?
Dan jika ia terus mencari tahu, apakah namanya akan berakhir dengan garis merah juga?
Saat ia menarik selimut dan bersiap untuk tidur, ia merasakan sesuatu di bawah bantalnya.
Sebuah kertas.
Ia meraihnya dengan tangan gemetar, membuka lipatannya perlahan.
Hanya ada tiga kata tertulis di sana.
“Mereka tahu sekarang.”
Jantung Aveline berdetak kencang.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia terbangun di dunia ini, ia merasa benar-benar takut.
Bab 3: Percikan Ingatan
Aveline menatap kertas kecil di tangannya dengan napas tertahan.
“Mereka tahu sekarang.”
Tangannya gemetar saat meremas kertas itu. Pikirannya dipenuhi ketakutan. Siapa yang tahu? Apa yang mereka ketahui?
Matanya bergerak gelisah ke sekeliling kamar. Tidak ada jendela, tidak ada kamera yang terlihat. Namun, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya, sesuatu yang tidak kasat mata.
Ia buru-buru menyelipkan kertas itu di balik kasurnya dan berbaring, mencoba menenangkan napasnya. Namun, matanya tetap terbuka. Rasa takut membuatnya sulit untuk memejamkan mata.
Malam itu, ia terjebak dalam pikirannya sendiri, bertanya-tanya kapan ia akan menjadi nama berikutnya yang diberi garis merah di papan itu.
Keesokan paginya, Aveline bangun dengan perasaan cemas yang belum juga hilang. Ia keluar dari kamarnya dengan langkah hati-hati, memperhatikan setiap orang yang ia lewati. Apakah ada yang memperhatikannya? Apakah mereka tahu sesuatu yang tidak ia ketahui?
Saat ia tiba di ruang makan, matanya langsung mencari pria misterius yang kemarin mengaku sebagai 0-34. Namun, ia tidak ada di sana.
Aveline duduk dengan hati gelisah, menyendok bubur hambar ke dalam mulutnya tanpa selera.
Dan saat itulah, kilasan ingatan datang menghantamnya.
Sebuah ruangan putih. Suara mesin berdengung.
Seseorang berbisik di telinganya, “Jangan lupa siapa dirimu.”
Wajah pria asing dengan mata kelam.
Tangan yang menggenggamnya erat sebelum semuanya menjadi gelap.
Aveline tersentak. Sendok di tangannya jatuh ke meja dengan suara nyaring. Beberapa orang menoleh sekilas, tetapi tidak menunjukkan reaksi selain itu.
Ia menekan pelipisnya, mencoba menangkap lebih banyak dari ingatan itu.
Siapa pria itu? Apa maksud kata-katanya?
Aveline mengatur napasnya dan menegakkan tubuh. Jika ia mulai mengingat sesuatu, itu berarti pikirannya tidak sepenuhnya dihapus. Ada sesuatu yang tersisa, sesuatu yang bisa membantunya memahami apa yang sedang terjadi.
Ia tidak bisa lagi menunggu pasif. Ia harus menemukan 0-34.
Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Aveline berpura-pura mengikuti arus manusia yang bergerak keluar dari ruang makan. Namun, saat mencapai persimpangan lorong, ia berbelok ke arah yang berbeda, mencari-cari sosok pria misterius itu.
Matanya menangkap sekilas seseorang yang berjalan cepat di ujung lorong. Sosok tinggi dengan rambut hitam pendek.
0-34.
Aveline mempercepat langkahnya, memastikan ia tidak kehilangan jejak. Pria itu menuju ke arah yang tidak dikenal, melewati lorong-lorong yang lebih gelap, jauh dari area umum tempat orang-orang biasanya berkumpul.
Ketika pria itu akhirnya berhenti di depan sebuah pintu besi besar, Aveline memberanikan diri memanggilnya.
“0-34,” bisiknya.
Pria itu menoleh dengan cepat, matanya waspada. Namun, ketika melihat Aveline, ekspresinya sedikit melunak. “Kau seharusnya tidak berada di sini.”
“Aku mulai mengingat sesuatu,” kata Aveline tanpa basa-basi.
0-34 mengernyit. “Apa yang kau ingat?”
“Wajah seseorang. Seseorang yang mengatakan padaku untuk tidak melupakan siapa diriku.”
Mata 0-34 menyipit. Ia menatap sekeliling dengan hati-hati, lalu menarik Aveline ke dalam ruangan di balik pintu besi itu.
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari layar kecil di sudut. Di tengah ruangan, ada beberapa kertas yang berserakan di meja, penuh dengan catatan-catatan yang tampak ditulis dengan tergesa-gesa.
0-34 menatap Aveline dengan serius. “Jika kau mulai mengingat sesuatu, itu berarti mereka akan segera menyadarinya.”
“Siapa mereka?” tanya Aveline.
0-34 diam sejenak, lalu menghela napas. “Mereka yang menjalankan tempat ini. Mereka yang menghapus identitas kita.”
Aveline merasa jantungnya berdebar lebih cepat. “Jadi benar… kita tidak seharusnya seperti ini?”
Pria itu tersenyum miris. “Tidak. Kita semua seharusnya punya nama. Seharusnya punya ingatan. Seharusnya punya kehidupan di luar sini.”
Aveline menelan ludah. “Tapi kenapa?”
0-34 meraih selembar kertas di meja dan menunjukkannya padanya.
Di atas kertas itu ada diagram besar, sketsa sebuah otak manusia dengan simbol-simbol aneh di sekelilingnya.
“Karena mereka ingin menciptakan kesadaran kolektif,” katanya pelan. “Dunia di mana tidak ada ‘aku’, hanya ‘kita’.”
Aveline merasakan tubuhnya menegang. “Mereka menghapus identitas kita… untuk membuat kita menjadi satu?”
0-34 mengangguk. “Dan mereka akan terus melakukannya sampai tidak ada satu pun yang mengingat dirinya sendiri.”
Aveline terdiam. Dunia tanpa nama. Dunia tanpa ingatan. Dunia di mana setiap individu hanyalah bagian kecil dari sistem yang lebih besar.
“Aku harus keluar dari sini,” bisiknya.
0-34 menatapnya lama. “Jika kau benar-benar ingin keluar, maka kau harus siap menghadapi kebenaran.”
Aveline menelan ludah. “Apa maksudmu?”
Pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu—sebuah kalung kecil dengan liontin berbentuk kunci.
“Apa pun yang terjadi, jangan sampai mereka tahu bahwa kau memiliki ini.”
Aveline menatap kunci itu dengan kebingungan. “Apa ini?”
“Jawaban,” jawab 0-34. “Dan juga jalan keluar.”
Saat Aveline hendak bertanya lebih lanjut, terdengar suara langkah kaki mendekat di luar ruangan.
0-34 langsung menariknya ke sudut gelap dan berbisik di telinganya.
“Jangan bilang apa pun. Jangan menunjukkan bahwa kau tahu lebih dari yang seharusnya.”
Aveline menahan napas.
Pintu ruangan terbuka.
Seorang wanita berambut pendek, wanita yang pertama kali menyambutnya di dunia ini, berdiri di ambang pintu.
Ia tersenyum lembut, tetapi kali ini ada sesuatu yang dingin di balik sorot matanya.
“Aveline,” katanya.
Sebuah perasaan dingin menjalari tulang belakangnya saat mendengar namanya disebut.
Mereka tahu.
Bab 4: Jejak Orang-Orang yang Hilang
Aveline menahan napas.
Wanita berambut pendek itu berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan senyum yang tidak berubah sejak pertama kali mereka bertemu. Tatapan matanya tajam, seolah mencoba menggali sesuatu dari ekspresi Aveline.
Di sampingnya, 0-34 tetap diam, tetapi tubuhnya menegang. Aveline bisa merasakan ketegangan dalam udara yang semakin berat.
Wanita itu melangkah masuk dengan tenang. “Kau tidak seharusnya berada di sini.”
Aveline berusaha menenangkan dirinya. Jika ia menunjukkan sedikit saja rasa takut, mereka mungkin akan langsung menyadarinya. Ia tidak bisa membuat kesalahan sekarang.
“Aku tersesat,” jawabnya, berusaha terdengar polos. “Aku tidak tahu tempat ini terlarang.”
Wanita itu menatapnya lebih lama, lalu mengalihkan pandangannya ke 0-34.
“Kau juga. Kenapa kau membawanya ke sini?”
0-34 tersenyum kecil, tetapi tatapannya tidak menunjukkan emosi. “Aku hanya menjelaskannya bagaimana dunia ini bekerja. Seperti yang biasa kita lakukan pada pendatang baru.”
Wanita itu tidak langsung merespons. Ia menatap Aveline lagi, seolah sedang menimbang sesuatu. Lalu, tanpa peringatan, ia melangkah mendekat dan menyentuh dagu Aveline dengan ujung jarinya.
“Kau spesial,” bisiknya.
Aveline menelan ludah.
“Namamu… Aveline, bukan?”
Darahnya seolah berhenti mengalir.
“Mereka tahu,” pikirnya panik.
Namun, ia tidak boleh menunjukkan kegelisahannya.
Aveline berpura-pura bingung. “Aveline? Aku tidak tahu siapa itu.”
Wanita itu tersenyum, tetapi kali ini ekspresinya lebih dingin. “Oh, tidak apa-apa. Cepat atau lambat, kau akan mengerti.”
Ia lalu berbalik, berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh lagi ke arah 0-34.
“Jangan membuat kesalahan, 0-34. Kau tahu apa yang terjadi jika melanggar aturan.”
Setelah itu, ia pergi.
Aveline tidak bisa berhenti gemetar begitu pintu tertutup kembali.
0-34 segera menariknya ke sudut ruangan. “Kita tidak punya banyak waktu. Mereka mulai curiga.”
“Apa maksudnya? Kenapa dia tahu namaku?” bisik Aveline panik.
0-34 menggenggam bahunya erat. “Karena kau bukan bagian dari mereka.”
Aveline menatapnya dalam kebingungan. “Maksudmu?”
Pria itu menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Dunia ini dibuat untuk menghapus identitas. Tapi ada beberapa dari kita yang tidak bisa dihapus sepenuhnya.”
Aveline mengingat kilasan memorinya. Wajah pria asing yang berbisik padanya, “Jangan lupa siapa dirimu.”
“Aku dulu… bukan bagian dari mereka?” tanyanya.
0-34 mengangguk. “Aku juga bukan. Kita adalah orang-orang yang tersisa dari dunia sebelum ini.”
Aveline merasakan kepalanya berdenyut. Dunia sebelum ini? Apakah ia benar-benar berasal dari tempat lain?
0-34 merogoh sakunya dan memberikan sesuatu padanya—sebuah lembaran kecil yang penuh dengan coretan tulisan tangan.
“Ini daftar orang-orang yang menghilang.”
Aveline membaca lembaran itu dengan jantung berdegup kencang. Kode-kode yang ia lihat di papan beberapa waktu lalu, semuanya ada di sini. Beberapa nama telah dicoret dengan garis merah.
“Mereka… ke mana?” tanyanya.
0-34 menggeleng. “Tidak ada yang tahu. Mereka tidak pernah kembali.”
Aveline menggigit bibirnya. Jika mereka tertangkap, ia juga akan menghilang seperti mereka.
Ia mengembalikan lembaran itu ke tangan 0-34. “Kita harus mencari tahu ke mana mereka pergi.”
0-34 menatapnya tajam. “Itu berbahaya. Jika kita ketahuan—”
“Aku lebih baik mati daripada hidup di dunia tanpa nama,” potong Aveline.
0-34 terdiam, lalu akhirnya tersenyum kecil. “Baiklah.”
Ia merogoh saku lainnya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah kartu akses berwarna hitam.
“Aku punya cara untuk masuk ke arsip pusat,” katanya. “Tapi kita harus melakukannya malam ini.”
Malam itu, mereka bergerak dalam kegelapan.
Lorong-lorong pusat penelitian yang biasanya penuh dengan orang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Hanya ada suara langkah kaki mereka yang nyaris tidak terdengar.
Aveline mengikuti 0-34 melewati beberapa lorong sebelum akhirnya mereka tiba di sebuah pintu besi besar dengan sistem pemindai sidik jari.
0-34 menempelkan kartu aksesnya. Lampu pemindai menyala hijau, dan pintu terbuka dengan suara mendesis pelan.
Di dalam, ruangan itu dipenuhi oleh layar besar yang menampilkan data-data orang-orang yang telah “dihapus.”
Aveline mendekati salah satu layar dan membaca informasi di sana.
Subjek 045-21
Status: Dihilangkan
Metode: Integrasi Kesadaran Kolektif
Mata Aveline membelalak.
“Mereka tidak mati…” bisiknya.
0-34 membaca informasi di layar lain. “Mereka… diubah menjadi bagian dari sistem.”
Aveline merasa perutnya mual. Jadi, setiap orang yang menghilang tidak benar-benar mati. Mereka hanya diintegrasikan ke dalam kesadaran kolektif, menjadi bagian dari sistem yang mengontrol dunia ini.
“Berarti ada cara untuk mengembalikan mereka?” tanyanya.
0-34 menggeleng. “Tidak ada yang pernah mencoba. Jika kita ingin melakukannya, kita harus keluar dari sini dulu.”
Tiba-tiba, alarm berbunyi.
Lampu di ruangan berubah merah, dan suara otomatis menggema dari speaker di sudut ruangan.
“Pelanggaran Keamanan Terdeteksi. Area Akan Dikunci dalam 30 Detik.”
Aveline dan 0-34 saling bertatapan.
Mereka telah ditemukan.
Bab 5: Nama yang Hilang
“Pelanggaran Keamanan Terdeteksi. Area Akan Dikunci dalam 30 Detik.”
Lampu merah berkedip di seluruh ruangan. Suara alarm yang nyaring menggema di dinding-dinding logam, membuat udara terasa semakin menekan. Aveline merasakan napasnya memburu, sementara 0-34 dengan cepat menarik tangannya.
“Kita harus keluar dari sini!” serunya.
Aveline tidak berpikir dua kali. Mereka berlari ke arah pintu yang masih terbuka, tetapi sebelum mereka bisa mencapainya, suara mendesis terdengar—pintu besi mulai menutup.
“Dorong pintunya!” teriak Aveline.
0-34 langsung melompat ke depan, menahan pintu dengan seluruh kekuatannya. Aveline ikut mendorong, merasakan tekanan logam dingin menempel di telapak tangannya. Pintu semakin berat, hampir menutup sepenuhnya.
Namun, sebelum pintu benar-benar menutup, tangan seseorang menyelinap masuk dari luar.
Sebuah dorongan kuat dari sisi lain membuat pintu sedikit terbuka, cukup bagi mereka untuk menyelinap keluar.
Mereka berdua terjatuh ke lantai lorong. Di depan mereka, seorang pria berdiri, napasnya terengah-engah.
“Masuk ke sini, cepat!” bisiknya, menunjuk sebuah panel tersembunyi di dinding.
Tanpa berpikir panjang, Aveline dan 0-34 mengikuti pria itu masuk ke dalam ruangan kecil yang tersembunyi di balik panel. Begitu mereka masuk, panel menutup kembali dengan suara klik pelan.
Aveline merasakan detak jantungnya masih berdentum keras di dadanya.
Siapa pria ini?
Pria itu menyalakan lampu redup, menampakkan wajahnya yang sedikit asing namun terasa familiar bagi Aveline. Rambutnya acak-acakan, dengan mata tajam yang menyiratkan kewaspadaan.
“Siapa kau?” tanya Aveline.
Pria itu menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Aku… tidak tahu namaku.”
Aveline membeku.
“Tapi dulu aku punya nama,” lanjutnya. “Sebelum aku kehilangan segalanya.”
0-34 menyipitkan mata. “Kau salah satu dari mereka yang menghilang?”
Pria itu mengangguk. “Aku adalah salah satu yang pertama diintegrasikan ke dalam sistem. Tapi untuk alasan yang tidak kumengerti, aku tidak sepenuhnya menjadi bagian dari mereka. Aku ingat secuil… hanya pecahan-pecahan.”
Aveline mengingat layar di dalam ruangan arsip tadi. Orang-orang yang menghilang tidak mati, tetapi diintegrasikan ke dalam kesadaran kolektif.
“Tapi bagaimana kau bisa keluar dari sistem?” tanya Aveline.
Pria itu menghela napas. “Aku tidak benar-benar keluar. Aku… terputus sebagian. Aku masih mendengar suara mereka di dalam kepalaku, tetapi aku masih bisa berpikir sendiri.”
Ia mengusap wajahnya, seolah-olah berusaha menghilangkan sesuatu yang tidak bisa ia sentuh. “Aku merasa seperti dua orang yang berbeda dalam satu tubuh.”
Aveline dan 0-34 saling bertukar pandang. Ini lebih besar dari yang mereka bayangkan. Jika pria ini masih memiliki kesadaran sendiri, berarti masih ada harapan bagi mereka yang sudah “dihapus”.
Pria itu melirik ke arah Aveline dan mendekat sedikit.
“Kau berbeda dari yang lain,” katanya pelan. “Aku melihat sesuatu dalam dirimu… sesuatu yang mereka takuti.”
Aveline meneguk ludah. “Apa maksudmu?”
Pria itu menatapnya dalam-dalam. “Kau bukan sekadar seseorang yang ingat. Kau adalah seseorang yang mereka ingat.”
Aveline tidak bisa tidur malam itu.
Setelah mereka memastikan tempat persembunyian mereka aman, pria misterius itu tertidur lebih dulu, sementara 0-34 berjaga di dekat pintu rahasia.
Aveline duduk di sudut ruangan, pikirannya penuh dengan apa yang dikatakan pria itu.
“Kau bukan sekadar seseorang yang ingat. Kau adalah seseorang yang mereka ingat.”
Siapa mereka? Kenapa mereka mengingatnya?
Ia menutup matanya, mencoba mengingat lebih banyak. Kali ini, ingatan itu datang lebih kuat.
Ia melihat dirinya berdiri di depan sebuah kaca besar. Di balik kaca itu, ada ruangan penuh dengan layar dan orang-orang yang mengenakan jas putih.
Mereka mengawasinya.
“Subjek 017-A, kesiapan integrasi dalam 3… 2… 1…”
Lalu segalanya menjadi gelap.
Aveline terbangun dengan napas terengah-engah.
Ia bukan hanya seseorang yang terjebak di sini. Ia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Dan jika ia tidak menemukan jawabannya dengan cepat, mereka akan datang untuknya.
Sebab di dunia tanpa nama ini, ia adalah satu-satunya yang memiliki identitas.
Bab 6: Kebenaran yang Tersembunyi
Aveline masih duduk di sudut ruangan, pikirannya berputar seperti pusaran air yang tak berujung. Ingatan itu datang begitu kuat, seolah-olah ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin bangkit, tetapi terhalang oleh dinding yang belum bisa ia tembus.
“Subjek 017-A, kesiapan integrasi dalam 3… 2… 1…”
Ia tahu sekarang—ia bukan sekadar seseorang yang terjebak di dunia ini. Ia adalah bagian dari eksperimen.
Tapi pertanyaannya, kenapa?
Ia menatap pria yang menyelamatkannya tadi malam. Pria itu masih tertidur di sudut, wajahnya terlihat damai meski ada jejak kelelahan. 0-34 duduk di dekat pintu, matanya tetap waspada.
“Aku mulai mengingat sesuatu,” bisik Aveline.
0-34 menoleh, ekspresinya berubah serius. “Apa yang kau ingat?”
Aveline menarik napas dalam-dalam. “Aku ada di ruangan kaca… ada orang-orang yang mengawasi. Mereka menyebutku ‘Subjek 017-A’ dan berbicara tentang integrasi.”
0-34 mengernyit. “Integrasi?”
“Ya,” Aveline mengangguk. “Aku tidak tahu pasti apa maksudnya, tapi aku yakin aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.”
0-34 terdiam, tampak berpikir keras.
Aveline menggigit bibirnya. “Aku harus kembali ke arsip itu. Ada sesuatu tentangku di sana. Aku yakin.”
0-34 menatapnya tajam. “Itu terlalu berisiko. Mereka pasti meningkatkan keamanan setelah kejadian tadi malam.”
Aveline mengepalkan tangannya. “Aku tidak peduli. Aku tidak bisa terus berada di sini tanpa mengetahui siapa aku sebenarnya.”
0-34 menghela napas panjang. “Baiklah… tapi kita harus punya rencana yang lebih baik kali ini.”
Mereka menunggu hingga malam tiba.
Saat pusat fasilitas mulai sepi, mereka menyelinap keluar dari tempat persembunyian. 0-34 berjalan lebih dulu, memastikan jalur aman sebelum memberi isyarat pada Aveline untuk mengikutinya.
Pria misterius yang menyelamatkan mereka memilih tetap di persembunyian—ia terlalu berisiko untuk ikut, mengingat dirinya adalah salah satu yang pernah “dihapus”.
Mereka bergerak melewati lorong-lorong sempit, memanfaatkan bayangan untuk bersembunyi. Setiap kali ada suara langkah kaki, mereka langsung menempel ke dinding, menahan napas sampai keadaan kembali sunyi.
Akhirnya, mereka sampai di depan ruangan arsip.
0-34 mengeluarkan kartu akses hitamnya dan menempelkannya ke pemindai.
Bip.
Lampu pemindai menyala hijau. Pintu terbuka.
Mereka masuk dengan cepat, menutup pintu di belakang mereka.
Aveline segera berlari ke salah satu layar besar dan mulai mencari kode “017-A”. Tangannya gemetar saat mengetik.
Layar berkedip sebentar, lalu sebuah file muncul.
Subjek 017-A: Status—Terhapus
Nama asli: Aveline Voss
Kategori: Prototipe Integrasi Sempurna
Catatan:
“Subjek menunjukkan ketahanan mental yang tidak biasa. Berulang kali mencoba melawan proses integrasi. Percobaan terakhir gagal karena resistensi subjek terhadap program penghapusan. Akan diproses ulang dalam waktu dekat.”
Aveline merasakan dunia di sekelilingnya berputar.
Mereka telah mencoba menghapusnya. Mengubahnya menjadi bagian dari sistem ini. Tapi sesuatu dalam dirinya menolak.
Ia bukan hanya seseorang yang terjebak di dunia ini. Ia adalah bukti bahwa sistem ini bisa gagal.
“Aku adalah prototipe…” bisiknya.
0-34 membaca file itu dari belakangnya. “Mereka takut padamu,” katanya lirih. “Kau adalah satu-satunya yang bisa melawan mereka.”
Sebelum Aveline bisa mengatakan apa pun, layar tiba-tiba mati.
Alarm berbunyi lagi.
“Akses tidak sah terdeteksi. Keamanan menuju lokasi.”
Mereka langsung berlari ke pintu, tetapi kali ini, langkah kaki sudah terdengar mendekat.
“Kita terperangkap,” desis 0-34.
Aveline menatap sekeliling, mencari jalan keluar. Ia melihat ventilasi di sudut ruangan, cukup besar untuk mereka masuki.
“Ke sana!” serunya.
Mereka bergegas memanjat ke dalam ventilasi, merayap secepat mungkin di dalam lorong sempit itu.
Di bawah mereka, suara pasukan keamanan mulai memasuki ruangan.
“Ada yang mencoba mengakses file 017-A,” kata salah satu suara.
“Apa mereka menemukannya?”
“Tidak ada jejak. Tapi jika mereka tahu tentang subjek itu… kita dalam masalah besar.”
Aveline menahan napas.
Sekarang ia tahu dengan pasti.
Mereka menginginkannya hilang—bukan karena ia tidak penting, tetapi karena ia terlalu berbahaya bagi sistem ini.
Mereka terus merayap dalam diam, menjauh dari ruangan itu.
Dalam kegelapan ventilasi, hanya ada satu pikiran di kepala Aveline.
Ia harus menghancurkan dunia ini.
Bab 7: Cinta di Antara Keabadian
Aveline dan 0-34 terus merayap di dalam ventilasi yang sempit. Udara di dalamnya pengap, dan suara langkah kaki para penjaga masih terdengar samar di bawah mereka. Meskipun jantungnya berdebar kencang, Aveline tahu mereka harus tetap tenang.
Akhirnya, mereka menemukan ujung ventilasi yang mengarah ke sebuah ruangan gelap. 0-34 membuka penutup ventilasi perlahan, memastikan tidak ada siapa pun di dalam sebelum membantu Aveline turun.
Begitu mereka mendarat di lantai, Aveline merasakan tubuhnya gemetar akibat adrenalin yang masih mengalir dalam darahnya.
“Kita tidak bisa kembali ke persembunyian,” kata 0-34 dengan suara pelan. “Mereka pasti sudah mulai mencari kita.”
Aveline mengangguk. “Kita harus pergi lebih jauh. Aku yakin ada tempat di luar fasilitas ini.”
0-34 menatapnya ragu. “Bagaimana kau bisa yakin?”
Aveline menatap matanya. “Karena aku mulai mengingat sesuatu. Aku merasa… dunia ini tidak seperti yang mereka katakan. Ada sesuatu di luar sana.”
0-34 terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Baiklah. Tapi sebelum kita pergi, aku ingin kau tahu sesuatu.”
Aveline mengernyit. “Apa?”
0-34 menatapnya dengan ekspresi serius, tetapi ada sesuatu yang lain dalam tatapannya. Sesuatu yang lebih dalam.
“Aku tidak hanya membantumu karena kita sama-sama mencari jawaban,” katanya. “Aku membantumu karena aku peduli padamu.”
Aveline membeku.
“Aku tidak tahu apakah aku punya masa lalu sebelum dunia ini,” lanjutnya, suaranya lebih lembut. “Tapi satu-satunya hal yang terasa nyata bagiku adalah kau.”
Jantung Aveline berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Selama ini, ia terlalu sibuk mencari jawaban tentang siapa dirinya dan bagaimana caranya keluar dari dunia ini. Ia tidak pernah berpikir tentang perasaan yang mungkin tumbuh di tengah kekacauan ini.
Tapi saat ia menatap 0-34, melihat cara pria itu menatapnya, ia menyadari sesuatu.
Di dunia yang telah menghapus nama dan identitas mereka, 0-34 adalah satu-satunya yang membuatnya merasa nyata.
Aveline mengulurkan tangan, menyentuh wajahnya dengan lembut. “Aku juga merasakan hal yang sama,” bisiknya.
0-34 tersenyum kecil, lalu menunduk, menyatukan dahinya dengan dahi Aveline.
Untuk pertama kalinya sejak ia terbangun di dunia ini, Aveline merasa tidak sendirian.
Namun, kebersamaan mereka tidak berlangsung lama.
Terdengar suara dari luar ruangan.
Mereka saling bertukar pandang, lalu dengan cepat bergerak menuju pintu lain yang ada di dalam ruangan itu.
Saat mereka membukanya, mereka terkejut melihat apa yang ada di depan mereka.
Sebuah terowongan panjang dengan dinding yang berbeda dari fasilitas sebelumnya. Dindingnya bukan logam putih seperti di tempat lain, tetapi lebih kasar, lebih gelap… seolah-olah mereka baru saja memasuki bagian yang lebih tua dari fasilitas ini.
Aveline menelan ludah. “Aku rasa… kita akhirnya menemukan sesuatu yang benar-benar tersembunyi.”
0-34 menggenggam tangannya. “Ayo cari tahu apa yang ada di ujungnya.”
Mereka berdua berlari menyusuri terowongan, tanpa menyadari bahwa mereka semakin mendekati kebenaran yang bisa mengubah segalanya.
Bab 8: Labirin yang Tak Berujung
Aveline dan 0-34 terus berlari menyusuri terowongan yang gelap dan lembap. Tidak seperti bagian fasilitas lain yang bersih dan steril, tempat ini terasa berbeda—lebih tua, lebih kasar, seolah-olah sudah lama ditinggalkan.
Dindingnya terbuat dari beton yang retak di beberapa bagian, dan lantainya penuh dengan debu serta pecahan kecil material yang runtuh. Cahaya redup dari lampu darurat yang berkedip-kedip menjadi satu-satunya penerangan yang membimbing langkah mereka.
“Tempat apa ini?” Aveline bertanya, suaranya terengah-engah.
“Aku tidak tahu,” jawab 0-34. “Tapi ini bukan bagian dari fasilitas utama.”
Mereka terus melangkah lebih dalam hingga akhirnya tiba di sebuah persimpangan. Di depan mereka terbentang tiga jalur yang berbeda, masing-masing tampak sama gelap dan misterius.
Aveline menatap 0-34. “Jalan mana yang harus kita ambil?”
Pria itu menggigit bibirnya, lalu mengamati sekeliling. “Kita tidak punya petunjuk… tapi jika ini seperti labirin lainnya, maka mungkin ada pola.”
Aveline menghela napas. “Kita tidak bisa berdiri di sini terlalu lama. Mereka pasti akan mencari kita.”
Setelah berpikir sejenak, mereka memutuskan untuk mengambil jalur tengah.
Mereka berjalan dengan hati-hati, langkah mereka bergema di sepanjang lorong. Aveline merasakan udara semakin dingin dan lembap, seperti mereka berjalan menuju sesuatu yang telah lama dikubur.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan langit-langit tinggi. Dindingnya dipenuhi panel-panel tua dan layar monitor yang sebagian besar sudah rusak.
Namun, satu layar masih menyala.
Aveline dan 0-34 saling bertukar pandang sebelum berjalan mendekati layar itu.
Layar itu menampilkan peta besar, sebuah skema fasilitas yang lebih luas daripada yang mereka bayangkan. Ada tanda-tanda merah yang berkedip di beberapa titik.
0-34 mengamati layar itu dengan seksama. “Ini bukan hanya fasilitas biasa. Ini adalah… pusat kendali utama.”
Aveline menatap lebih dekat, matanya menangkap sesuatu di bagian bawah layar. Sebuah tulisan kecil yang tampak usang:
“Proyek Kesadaran Kolektif: Tahap Final”
Jantungnya berdegup kencang.
Mereka baru saja menemukan inti dari semua ini.
Sebelum mereka bisa memahami lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat dari lorong tempat mereka masuk.
Aveline menoleh panik. “Mereka menemukan kita!”
0-34 dengan cepat menariknya ke sisi ruangan, bersembunyi di balik rak besi yang dipenuhi peralatan tua.
Pintu terbuka, dan dua pria berseragam masuk, membawa senjata berteknologi tinggi. Mata mereka memindai ruangan dengan waspada.
“Area ini seharusnya sudah ditutup bertahun-tahun lalu,” kata salah satu dari mereka.
“Kau yakin mendeteksi pergerakan di sini?” tanya pria yang satunya.
“Ya. Ada dua individu yang masuk.”
Aveline menahan napas. Mereka harus berpikir cepat.
Tiba-tiba, layar di ruangan itu mulai berkedip dan menampilkan deretan angka serta huruf acak.
Pria berseragam itu tersentak. “Apa-apaan ini?”
Kesempatan itu tidak mereka sia-siakan. Saat para penjaga sibuk dengan layar yang mendadak aktif, Aveline dan 0-34 bergerak perlahan ke arah pintu lain di sisi ruangan.
Mereka berhasil keluar tanpa suara dan kembali ke lorong lain yang lebih gelap.
Begitu merasa cukup jauh, mereka berhenti sejenak untuk mengatur napas.
“Apa yang terjadi dengan layar tadi?” tanya Aveline.
0-34 menggeleng. “Aku tidak tahu… tapi sepertinya ada sesuatu di sistem ini yang ingin membantu kita.”
Aveline merasakan bulu kuduknya meremang.
Mungkinkah… masih ada seseorang di dalam sistem yang belum sepenuhnya terhapus?
Dan jika benar, apakah mereka masih bisa diselamatkan?
Mereka harus menemukan jawabannya sebelum semuanya terlambat.
Bab 9: Plot Twist yang Menghancurkan
Aveline dan 0-34 berlari menembus lorong-lorong gelap yang semakin sempit. Nafas mereka berat, dada mereka naik turun, tapi mereka tidak berhenti. Suara alarm di kejauhan mulai melemah, tetapi mereka tahu itu bukan pertanda aman—itu hanya berarti mereka sedang mencari mereka dengan cara lain.
Setelah beberapa menit, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang tampak seperti laboratorium tua. Layar-layar komputer berdebu masih menyala, menampilkan grafik yang sulit dimengerti. Tabung-tabung kaca besar berjajar di dinding, beberapa di antaranya masih berisi cairan berwarna kehijauan.
Namun, yang paling menarik perhatian mereka adalah sesuatu di tengah ruangan.
Sebuah kapsul besar, dengan retakan di permukaannya.
Aveline merasa dadanya menegang. Ia melangkah maju, menempelkan tangannya ke kaca dingin kapsul itu. Ada sesuatu yang familiar tentangnya, sesuatu yang terasa begitu dekat.
0-34 mendekat, membaca tulisan kecil di bawah kapsul:
“Subjek 017-A: Integrasi Gagal. Status: Dibekukan.”
Aveline terdiam.
0-34 menatapnya, ekspresinya penuh kebingungan. “Ini namamu… tapi—”
Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara mekanis menggema di seluruh ruangan.
“Proses aktivasi ulang dimulai. Harap menjauh dari kapsul.”
Aveline melangkah mundur, matanya membelalak saat lampu di sekitar kapsul menyala. Cairan hijau di dalamnya mulai bergelembung, seolah sesuatu di dalamnya mulai bergerak.
Lalu, perlahan-lahan… kapsul itu terbuka.
Asap dingin menyembur keluar, memenuhi udara dengan kabut tebal. Aveline dan 0-34 menahan napas, menunggu apa yang akan muncul dari dalamnya.
Dan saat kabut mulai menghilang, Aveline melihat sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya membeku.
Seorang wanita… dengan wajah yang sama persis dengannya.
Aveline terjatuh ke belakang, matanya melebar.
Wanita itu membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sebelum menatap ke arah mereka. Wajahnya… sama persis dengan Aveline, tetapi ekspresinya kosong, hampir tidak manusiawi.
0-34 juga terpaku di tempatnya. “Apa-apaan ini…?”
Aveline mencoba berbicara, tetapi suaranya nyaris tidak keluar. “Siapa… kau?”
Wanita itu melangkah keluar dari kapsul dengan gerakan yang kaku, seperti seseorang yang baru pertama kali merasakan gravitasi. Ia menatap Aveline dengan kepala sedikit miring, lalu akhirnya berbicara dengan suara yang sama—identik dengan suara Aveline.
“Aku adalah kamu.”
Darah Aveline terasa membeku.
0-34 segera menariknya mundur, tubuhnya tegang. “Ini tidak mungkin…”
Wanita itu menatap mereka dengan ekspresi datar. “Aku adalah Subjek 017-A. Aku adalah prototipe pertama yang berhasil… tetapi aku dihentikan sebelum proses integrasi selesai.”
Aveline menggeleng keras. “Tidak. Aku adalah 017-A. Aku adalah yang gagal diintegrasikan.”
Wanita itu tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak memiliki emosi. “Kau tidak mengerti, kan?”
Ia melangkah lebih dekat, membuat Aveline dan 0-34 semakin mundur.
“Kau hanyalah duplikasi dari diriku. Aku adalah Aveline Voss yang asli.”
Aveline merasakan kepalanya berdengung.
“Tidak… itu tidak mungkin…”
Namun, sesuatu dalam pikirannya mulai pecah—seperti pecahan ingatan yang selama ini tersembunyi.
Kilasan eksperimen.
Kilasan wajah-wajah ilmuwan yang menatapnya seperti objek uji coba.
Kilasan dirinya… di dalam kapsul, sebelum semuanya menjadi gelap.
Aveline menyadari satu hal yang menghancurkan segalanya.
Ia bukanlah manusia asli.
Ia adalah duplikat.
Ia adalah hasil dari eksperimen yang mencoba menciptakan kembali seseorang yang sudah mati.
Tubuh Aveline melemas. Ia merasa seperti jatuh ke dalam jurang tanpa dasar.
0-34 meraih bahunya, mencoba menenangkannya. “Aveline, jangan dengarkan dia. Kau lebih dari sekadar eksperimen.”
Namun, Aveline hanya bisa menatap wanita di depannya—versi dirinya yang asli.
“Aku sudah mati bertahun-tahun lalu,” kata wanita itu dengan tenang. “Tapi mereka tidak ingin aku mati. Jadi mereka menciptakanmu.”
Aveline merasakan dadanya sesak.
“Kau adalah aku. Tapi pada akhirnya… kau hanya bayanganku.”
Aveline menatap tangannya sendiri, seolah berharap menemukan bukti bahwa ia nyata. Tetapi bagaimana ia bisa yakin sekarang?
Jika ia bukan Aveline Voss yang asli, lalu siapa dirinya sebenarnya?
Sebelum Aveline bisa mengatakan apa pun, suara langkah kaki terdengar di lorong luar.
“Mereka sudah datang,” kata wanita itu dengan datar.
0-34 meraih tangan Aveline. “Kita harus pergi!”
Namun, Aveline masih terpaku. Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berpikir.
Baru sekarang ia menyadari kebenaran yang paling menghancurkan:
Ia bukan seseorang yang mencari identitasnya.
Ia adalah seseorang yang diciptakan tanpa identitas sejak awal.
Bab 10: Pilihan Terakhir
Aveline berdiri terpaku, napasnya tersengal.
Kata-kata wanita di depannya masih bergema di kepalanya.
“Kau hanyalah duplikasi dari diriku.”
“Aku adalah Aveline Voss yang asli.”
Tangan Aveline gemetar. Selama ini, ia berpikir bahwa ia adalah seseorang yang telah kehilangan ingatannya. Namun, kenyataannya lebih buruk—ia bukanlah siapa pun.
0-34 menarik tangannya, mencoba membawanya pergi, tetapi Aveline tidak bergerak. Ia menatap versi dirinya yang asli, wanita yang seharusnya sudah mati bertahun-tahun lalu.
“Apa yang terjadi padaku?” bisiknya.
Wanita itu menghela napas, lalu menatapnya dengan ekspresi kosong.
“Kau adalah eksperimen terakhir. Mereka mencoba menghidupkanku kembali dengan duplikasi kesadaran, tetapi sesuatu dalam dirimu menolak.”
Aveline menggigit bibirnya. “Jadi, aku adalah kegagalan?”
Wanita itu menggeleng pelan. “Tidak. Kau adalah sesuatu yang lebih dari sekadar hasil eksperimen. Kau tidak hanya menolak integrasi, tetapi kau juga berkembang dengan kesadaran sendiri. Kau… adalah anomali.”
Aveline menelan ludah. Anomali.
Mereka tidak menginginkannya karena ia gagal. Mereka menginginkannya karena ia berhasil menjadi sesuatu yang tidak mereka prediksi.
Tiba-tiba, suara alarm berbunyi lagi.
“TARGET DITEMUKAN. KUNCIKAN AREA INI.”
Pintu besi di belakang mereka mulai tertutup perlahan.
0-34 segera menarik Aveline. “Kita harus pergi!”
Namun, wanita itu tetap berdiri diam di tempatnya.
“Kau tidak ikut?” tanya Aveline.
Wanita itu tersenyum kecil, kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam ekspresinya—seperti seseorang yang akhirnya menerima nasibnya.
“Tidak. Aku seharusnya sudah mati sejak lama. Kau adalah aku… tapi kau adalah versi yang lebih baik. Pergilah.”
Aveline ragu sejenak.
Lalu, tanpa sadar, ia melangkah maju dan meraih tangan wanita itu.
Tidak ada perbedaan. Tangan mereka sama.
Namun, dalam dirinya, Aveline tahu—ia bukanlah dirinya.
Dan itu tidak masalah.
Aveline mengangguk. “Terima kasih.”
Sebelum wanita itu bisa menjawab, 0-34 menariknya keluar tepat sebelum pintu tertutup sepenuhnya.
Mereka berlari melewati lorong-lorong gelap, mencari jalan keluar.
“Lihat ini,” kata 0-34 sambil menunjuk peta di arlojinya. “Ada pintu keluar darurat di ujung fasilitas ini!”
Namun, langkah mereka terhenti saat mereka tiba di sebuah persimpangan.
Di sana, berdiri para penjaga bersenjata.
Aveline merasakan tubuhnya menegang.
Mereka tidak bisa melawan. Tidak dengan tangan kosong.
Salah satu penjaga berbicara dengan suara dingin. “Subjek 017-A, Anda harus kembali dengan kami. Tidak ada tempat bagi Anda di luar sana.”
Aveline merasakan amarah memenuhi dadanya.
Ia sudah cukup hidup dalam ketakutan.
Ia sudah cukup menjadi boneka dalam eksperimen mereka.
“Maaf,” katanya pelan, tetapi suaranya tegas. “Aku tidak akan kembali.”
0-34 menggenggam tangannya lebih erat.
Kemudian, mereka berlari ke arah lain—menuju pintu keluar darurat.
Para penjaga melepaskan tembakan, tetapi 0-34 menarik Aveline ke sisi lain lorong, menghindari serangan mereka.
Mereka terus berlari, hingga akhirnya melihat pintu keluar yang terbuka sedikit.
Aveline melihat cahaya dari luar—sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Dunia di luar sana. Dunia yang sesungguhnya.
Tanpa ragu, mereka melompat keluar.
Udara segar langsung menerpa wajahnya.
Aveline terjatuh ke tanah berpasir, tangannya meraih dada, merasakan jantungnya yang berdetak kencang.
Ia menoleh ke belakang.
Fasilitas itu… berada di bawah tanah, tersembunyi di tengah gurun luas. Cahaya matahari terasa menyilaukan, kontras dengan kegelapan yang selama ini menyelimutinya.
0-34 juga terjatuh di sampingnya, terengah-engah. Namun, ia tersenyum. “Kita berhasil.”
Aveline mengangguk. “Ya… kita berhasil.”
Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bebas.
Bukan karena ia menemukan siapa dirinya yang sebenarnya, tetapi karena ia menyadari bahwa ia tidak perlu menjadi siapa pun selain dirinya sendiri.
Ia bukan Aveline Voss. Ia bukan subjek eksperimen.
Ia adalah dirinya sendiri.
Dan sekarang, ia akan menjalani hidupnya sebagai seseorang yang memiliki pilihan.
Dengan atau tanpa nama.
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.