Novel Singkat Bayangan di Masa Lalu
Novel Singkat Bayangan di Masa Lalu

Novel Singkat: Bayangan di Masa Lalu

Aira, seorang ilustrator berbakat, hidup dalam bayang-bayang trauma masa lalunya. Kecantikannya yang menawan justru menjadi kutukan, membuatnya selalu waspada. Saat ia bekerja di sebuah perusahaan desain, ia bertemu dengan Reza, CEO tampan dan karismatik yang tampak terlalu tertarik padanya. Namun, semakin lama, perhatian Reza berubah menjadi obsesi yang mengusik.

Ketika pesan-pesan misterius mulai menghantuinya, Aira menyadari bahwa seseorang telah mengawasinya selama ini. Masa lalunya yang kelam kembali menghantui, membawa rahasia mengejutkan tentang seseorang yang selama ini ia percayai. Di antara ketakutan dan keinginan untuk bebas, Aira harus memilih: menghadapi kenyataan atau terus hidup dalam bayang-bayang yang mengancamnya.

Bab 1 – Luka yang Belum Sembuh

Aira menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke gedung perkantoran bertingkat tinggi itu. Tangannya sedikit gemetar saat merapikan tas di bahunya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di sebuah agensi desain ternama, sebuah awal baru yang ia harapkan bisa membantunya melupakan masa lalu.

Namun, langkah kakinya terasa berat. Seolah ada sesuatu yang menahannya untuk melangkah lebih jauh. Bukan karena takut akan pekerjaan barunya, tetapi karena ketakutan yang selalu menghantuinya—bayangan dari kejadian kelam di masa SMA yang tak pernah benar-benar hilang dari benaknya.

Saat itu, ia hanyalah seorang gadis remaja yang polos, tidak menyadari bahwa kecantikannya bisa menjadi kutukan. Sepupunya, orang yang seharusnya melindunginya, justru hampir menghancurkan hidupnya. Jika saja ia tidak berhasil melarikan diri di malam itu, mungkin hidupnya akan berakhir dalam kepedihan yang lebih dalam.

Aira menggeleng pelan, berusaha mengusir ingatan buruk itu. Ia tidak ingin memulai hari dengan bayangan masa lalu. Ia ingin fokus pada pekerjaannya, pada impian yang selama ini ia perjuangkan.

Begitu masuk ke dalam kantor, matanya langsung menangkap desain interior yang elegan dan modern. Suasana di dalam cukup sibuk, namun tidak terlalu bising. Beberapa karyawan melirik ke arahnya dengan rasa ingin tahu, tapi ia mengabaikannya.

Seorang wanita muda dengan blazer hitam mendekatinya. “Aira, kan? Saya Celine, asisten CEO. Saya akan mengantar Anda ke ruangan Pak Reza sebelum mulai bekerja.”

Aira tersenyum kecil dan mengangguk. Ia mengikuti Celine melewati lorong panjang hingga tiba di depan sebuah ruangan dengan pintu kaca yang besar.

Celine mengetuk pintu, lalu membukanya. “Silakan masuk.”

Aira melangkah masuk dengan sedikit gugup. Matanya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri di dekat jendela besar, membelakanginya. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, tubuhnya tegap, rambut hitamnya tersisir rapi.

Saat pria itu berbalik, jantung Aira berdetak sedikit lebih cepat. Wajahnya tampan, dengan sorot mata tajam yang menusuk, seolah bisa membaca isi pikirannya.

Reza tersenyum tipis dan berjalan mendekat. “Aira, selamat datang di perusahaan saya.”

Nada suaranya terdengar ramah, tapi ada sesuatu di balik tatapannya yang membuat Aira merasa tidak nyaman. Seolah pria itu mengenalnya lebih dari yang seharusnya.

“Terima kasih, Pak,” jawab Aira singkat, berusaha tetap profesional.

Reza menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Saya sudah melihat portofolio Anda, dan saya harus akui, saya terkesan.”

Aira tersenyum kecil, merasa sedikit lega. Setidaknya ia diakui karena bakatnya, bukan hanya karena penampilannya.

“Tapi…” Reza melanjutkan, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Saya merasa seperti pernah melihat Anda sebelumnya.”

Aira menegang. Jari-jarinya mengepal di balik meja. Apa mungkin ia hanya salah dengar? Atau… apakah Reza benar-benar mengenalnya?

Sebuah bayangan samar dari masa lalu kembali menghantui pikirannya, membuatnya bertanya-tanya: siapa sebenarnya Reza?

Bab 2 – Tatapan yang Mengusik

Setelah pertemuan singkat di ruangan CEO, Aira akhirnya dipandu oleh Celine ke ruang kerjanya. Kantornya cukup luas, dengan jendela besar yang menghadap langsung ke jalan utama kota. Ia duduk di meja yang telah disiapkan, mencoba menenangkan dirinya.

Namun, kata-kata Reza tadi masih terngiang di kepalanya.

“Saya merasa seperti pernah melihat Anda sebelumnya.”

Aira berusaha mengabaikan firasat buruk yang muncul, meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah ucapan basa-basi. Mungkin Reza hanya mengingat seseorang yang mirip dengannya. Tapi, mengapa tatapan pria itu terasa begitu tajam?

“Baru pertama kerja di sini, ya?”

Suara seseorang membuyarkan lamunannya. Seorang pria dengan kemeja biru muda berdiri di samping meja Aira, senyumnya ramah.

“Aku Dika, senior desainer di sini.”

Aira mengangguk kecil. “Aira. Aku ilustrator baru.”

Dika tertawa pelan. “Aku tahu. Semua orang di sini membicarakan kedatanganmu sejak pagi.”

Aira mengernyit. “Membicarakanku?”

“Yup.” Dika menarik kursi dan duduk di sebelahnya. “Bukan hanya karena bakatmu, tapi juga karena bos besar sendiri yang memilihmu. Biasanya, Reza tidak terlalu peduli dengan rekrutan baru, tapi kali ini… entahlah, ada sesuatu yang berbeda.”

Aira merasa tidak nyaman mendengar itu. Ia hanya ingin bekerja dengan tenang, bukan menjadi pusat perhatian.

Sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Celine kembali muncul. “Aira, Pak Reza memanggilmu ke ruangannya lagi.”

Jantung Aira berdetak lebih cepat. “Sekarang?”

Celine mengangguk. “Ya. Katanya ada hal yang perlu didiskusikan.”

Dika meliriknya sejenak, lalu menepuk bahu Aira dengan santai. “Semoga beruntung. Jangan sampai terhipnotis oleh tatapan bos besar.”

Aira hanya tersenyum kaku, lalu berdiri dan mengikuti Celine kembali ke ruangan Reza.

Begitu masuk, ia mendapati Reza duduk dengan santai di kursinya, tangannya bertaut di atas meja.

“Silakan duduk,” katanya dengan suara tenang.

Aira menuruti, meski perasaannya tak sepenuhnya nyaman.

“Aku ingin membicarakan proyek baru yang akan kamu tangani,” Reza membuka laptopnya dan menunjukkan beberapa desain awal. “Aku ingin sesuatu yang lebih… personal. Bukan hanya desain biasa, tapi sesuatu yang memiliki emosi di dalamnya.”

Aira menatap layar, mengamati desain yang diberikan. Tapi matanya sedikit melebar saat menyadari satu hal.

Gambarnya… terasa familiar.

Sebuah sketsa yang ia buat bertahun-tahun lalu, gambar seorang gadis yang duduk sendiri di bawah pohon. Itu adalah ilustrasi yang ia buat saat SMA—gambar yang ia coret-coret saat sedang melarikan diri dari pikirannya sendiri.

Aira menelan ludah. Bagaimana mungkin Reza memiliki ini?

Seolah bisa membaca ekspresinya, Reza menatapnya dalam-dalam dan tersenyum kecil. “Kamu masih menggambar seperti dulu, Aira.”

Jantung Aira berhenti sesaat.

Kata-kata itu…

Bagaimana Reza bisa tahu?

Bab 3 – Bayangan di Malam Hari

Aira keluar dari ruangan Reza dengan langkah tergesa-gesa. Pikirannya masih berputar cepat, mencoba memahami kata-kata pria itu.

“Kamu masih menggambar seperti dulu, Aira.”

Itu bukan sekadar komentar biasa. Itu pernyataan dari seseorang yang pernah mengenalnya—seseorang yang tahu tentang masa lalunya.

Tapi itu tidak masuk akal. Ia tidak pernah bertemu Reza sebelumnya. Jika memang pernah, seharusnya ia mengingatnya.

“Aira?”

Suara Dika menyadarkannya. Ia berdiri di dekat pantry, menatapnya dengan alis berkerut. “Kamu nggak apa-apa? Mukamu pucat banget.”

Aira menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. “Aku nggak apa-apa. Cuma sedikit pusing.”

Dika menatapnya dengan ragu, tapi tidak memaksa. “Kalau butuh istirahat, jangan ragu bilang. Jangan sampai kamu sakit di hari pertama kerja.”

Aira mengangguk dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Dika.”

Hari itu berlalu dengan lambat. Aira mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus kembali ke perbincangannya dengan Reza. Setiap kali ia mengingat senyum pria itu, bulu kuduknya meremang.

Saat jam kerja berakhir, Aira mengemasi barang-barangnya dan bersiap pulang. Ia lebih memilih naik transportasi umum, karena apartemennya tidak terlalu jauh dari kantor.

Ketika ia keluar dari gedung, udara malam menyambutnya dengan dingin. Lampu jalan menerangi trotoar dengan redup, menciptakan bayangan panjang di antara bangunan.

Ia berjalan dengan langkah cepat, ingin segera sampai di rumah. Tapi setelah beberapa meter, perasaan aneh mulai merayapi dirinya.

Ia merasa… diawasi.

Aira melirik ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.

Tapi rasa tidak nyaman itu tetap ada.

Langkahnya semakin cepat. Jalanan sudah sepi, hanya ada beberapa mobil yang melintas. Ia berusaha mengabaikan rasa takutnya, meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya saja.

Namun, saat ia melewati gang kecil, ia melihat sesuatu dari sudut matanya.

Bayangan seseorang.

Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tetapi sosok itu berdiri diam di ujung jalan, seolah sedang memperhatikannya.

Aira mempercepat langkahnya lagi, berharap sosok itu tidak mengikutinya.

Tapi ketika ia berbelok ke arah apartemennya, sebuah pesan masuk ke ponselnya.

Nomor tidak dikenal.

Tangan Aira gemetar saat ia membukanya.

“Kau masih cantik seperti dulu.”

Darah Aira seakan membeku.

Tidak. Tidak mungkin.

Itu… kalimat yang sama yang pernah dikatakan sepupunya bertahun-tahun lalu.

Seseorang dari masa lalunya telah kembali. Dan kali ini, ia tahu bahwa ia tidak bisa lari lagi.

Bab 4 – Obsesi yang Mulai Terlihat

Aira berdiri di depan pintu apartemennya, tubuhnya masih sedikit gemetar setelah membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya.

“Kau masih cantik seperti dulu.”

Matanya terus terpaku pada layar, seolah mengharapkan bahwa itu hanya ilusi. Tapi tidak. Pesan itu nyata.

Dengan tangan gemetar, ia mencoba memblokir nomor tersebut. Namun, rasa takutnya tidak hilang begitu saja. Pesan itu tidak hanya sekadar kata-kata biasa. Itu adalah bayangan dari mimpi buruk yang selama ini ia coba lupakan.

Setelah memastikan pintu terkunci rapat, Aira langsung menuju kamarnya dan menjatuhkan diri ke tempat tidur. Dadanya naik turun dengan cepat, otaknya berusaha mencari jawaban.

Siapa yang mengirim pesan itu? Apakah benar sepupunya? Atau seseorang yang mengetahui masa lalunya?

Pikiran itu terus berputar hingga ia tertidur dalam kegelisahan.

Keesokan Harinya

Aira bangun dengan perasaan tidak enak. Malamnya ia bermimpi buruk—bayangan hitam mengejarnya di lorong sekolah yang gelap, dan setiap kali ia mencoba berlari, langkahnya terasa berat.

Dengan malas, ia bangkit dari tempat tidur dan bersiap untuk bekerja. Ia memutuskan untuk tidak memikirkan pesan itu untuk sementara. Ia harus tetap bekerja, bersikap normal, dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Namun, begitu ia tiba di kantor, perasaan aneh itu kembali muncul.

Tatapan.

Ia bisa merasakannya.

Begitu masuk ke dalam ruangan, Aira langsung menyadari bahwa Reza sudah berada di meja kerjanya. Mata pria itu langsung menatapnya begitu ia melangkah masuk.

“Aira,” panggilnya.

Aira berhenti sejenak, sebelum tersenyum tipis dan mengangguk sopan. “Selamat pagi, Pak Reza.”

Reza hanya tersenyum, tetapi ada sesuatu di dalam matanya yang membuat Aira merasa tidak nyaman. Seolah-olah pria itu sedang mengamatinya, bukan sebagai atasan dan bawahan, tapi… sesuatu yang lebih dari itu.

“Tolong ke ruangan saya setelah ini. Ada sesuatu yang ingin saya bahas denganmu,” katanya pelan.

Aira menahan napas sesaat sebelum akhirnya mengangguk. “Baik, Pak.”

Dika yang duduk tidak jauh dari Aira menatapnya dengan alis berkerut. Begitu Reza berbalik dan kembali ke ruangannya, Dika berbisik, “Kamu baik-baik saja?”

Aira mengangguk, meskipun senyumannya terasa dipaksakan. “Aku nggak apa-apa.”

Dika menatapnya lebih lama sebelum akhirnya menghela napas. “Kalau ada apa-apa, bilang ke aku, ya.”

Aira hanya mengangguk sebelum kembali berusaha fokus pada pekerjaannya.

Namun, saat waktu menunjukkan pukul sepuluh, ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa ia harus menemui Reza.

Dengan langkah ragu, ia berjalan ke ruangan pria itu dan mengetuk pintu.

“Masuk.”

Begitu ia masuk, Reza sedang duduk di kursinya, tampak santai dengan satu tangan menopang dagunya.

“Silakan duduk, Aira,” katanya, senyum masih menghiasi wajahnya.

Aira duduk dengan hati-hati. Ia berusaha tetap tenang, meskipun perasaan tidak nyaman mulai merayapi dirinya.

Reza menatapnya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya berbicara. “Aku ingin tahu, bagaimana hari pertamamu di sini?”

Aira sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia mengira ini akan membahas pekerjaan, bukan obrolan santai seperti ini.

“Baik, Pak. Saya masih beradaptasi, tapi semuanya berjalan lancar,” jawabnya dengan suara setenang mungkin.

Reza mengangguk pelan. “Bagus. Aku ingin memastikan kamu nyaman di sini.”

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Aira merasa bahwa itu bukan sekadar perhatian dari seorang atasan.

“Aku juga ingin tahu sesuatu,” lanjut Reza. “Kamu tinggal sendiri, kan?”

Aira membeku.

Kenapa Reza menanyakan hal itu?

Ia mencoba bersikap normal. “Ya, saya tinggal sendiri.”

Reza tersenyum tipis. “Pasti menyenangkan, ya? Tidak ada yang mengganggu.”

Aira menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

“Kalau begitu, hati-hati, ya,” kata Reza lagi, kali ini suaranya lebih pelan. “Kadang, kota ini bisa berbahaya, terutama bagi wanita cantik seperti kamu.”

Aira langsung merasakan hawa dingin menjalar ke punggungnya.

Apa maksud Reza?

Apakah ini hanya perhatiannya sebagai bos, atau ada sesuatu yang lain?

Dengan jantung berdegup cepat, Aira akhirnya berkata, “Terima kasih atas perhatiannya, Pak Reza. Kalau tidak ada hal lain, saya ingin kembali bekerja.”

Reza menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum. “Tentu. Silakan kembali bekerja.”

Aira berdiri dan berjalan keluar ruangan dengan langkah cepat. Begitu sampai di meja kerjanya, ia menghembuskan napas lega.

Tapi ia tahu… ada sesuatu yang tidak beres dengan Reza.

Dan ia harus mencari tahu sebelum semuanya terlambat.

Malam Hari

Setelah pulang kerja, Aira memutuskan untuk mampir ke minimarket sebelum kembali ke apartemennya. Ia ingin membeli beberapa makanan ringan dan mencoba menenangkan pikirannya.

Namun, saat ia berjalan keluar dari minimarket, perasaan itu kembali muncul.

Tatapan.

Aira menoleh ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya, hanya beberapa orang yang sibuk dengan urusan mereka sendiri.

Mungkin hanya perasaannya saja.

Ia menghela napas dan mulai berjalan kembali ke apartemennya.

Namun, saat ia sampai di depan gedung apartemennya, ponselnya bergetar.

Pesan baru.

Nomor tidak dikenal lagi.

Dengan tangan gemetar, ia membukanya.

“Jangan takut. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”

Aira terdiam.

Ini sudah kelewatan.

Seseorang benar-benar mengawasinya.

Dan yang lebih mengerikan… ia tidak tahu siapa orang itu.

Bab 5 – Rahasia Masa Lalu

Aira berdiri diam di depan pintu apartemennya, ponselnya masih bergetar di tangannya.

“Jangan takut. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”

Pesan itu terus berulang di kepalanya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Siapa pun orang ini, ia tidak hanya mengawasinya—ia tahu setiap pergerakannya.

Dengan tangan gemetar, ia cepat-cepat masuk ke dalam apartemen dan mengunci pintu. Lampu ruang tamu menyala lembut, tetapi itu tidak membuatnya merasa lebih aman. Ia berjalan menuju jendela dan mengintip ke luar, berharap bisa menemukan sesuatu.

Tidak ada yang mencurigakan.

Tapi tetap saja, perasaan diawasi itu tidak hilang.

Aira menghela napas berat, mencoba mengontrol dirinya. Ia tidak boleh panik. Ia harus mencari tahu siapa orang ini, dan yang lebih penting, bagaimana ia bisa tahu begitu banyak tentang dirinya.

Ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi pencarian nomor. Namun, seperti yang ia duga, nomor itu tidak terdaftar.

“Brengsek,” gumamnya.

Matanya beralih ke pesan-pesan yang ia terima. Dua pesan dari nomor misterius. Dua-duanya membuatnya merinding.

Seolah ada seseorang yang terus memperhatikan setiap gerak-geriknya.

Dan entah kenapa… bayangan Reza kembali muncul dalam pikirannya.

Keesokan Harinya

Aira masuk ke kantor dengan perasaan gelisah. Matanya kurang tidur, pikirannya masih dipenuhi berbagai kemungkinan.

Saat ia berjalan menuju meja kerjanya, Dika tiba-tiba menghampirinya dengan ekspresi serius.

“Aira, kamu kelihatan pucat banget. Ada apa?” tanyanya, suara penuh kekhawatiran.

Aira menggeleng pelan. “Aku cuma nggak tidur nyenyak.”

Dika tidak langsung percaya. “Kamu yakin nggak ada yang ganggu kamu?”

Aira terdiam sejenak. Apakah ia harus menceritakan soal pesan itu?

Namun, sebelum ia bisa menjawab, suara Celine memanggil dari kejauhan.

“Aira, Pak Reza ingin bertemu denganmu di ruangannya sekarang.”

Jantung Aira langsung berdegup lebih cepat. Lagi?

Dika menatapnya dengan alis berkerut. “Sering banget kamu dipanggil bos besar.”

Aira menghela napas dan mencoba tersenyum. “Aku nggak tahu kenapa, mungkin soal proyek baru.”

Dika masih menatapnya ragu, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi.

Dengan langkah hati-hati, Aira berjalan menuju ruangan Reza dan mengetuk pintu.

“Masuk.”

Begitu ia masuk, Reza sedang berdiri di depan jendela besar kantornya, memandang ke luar dengan ekspresi tenang.

Aira menunggu sebentar sebelum Reza akhirnya berbalik dan menatapnya.

“Silakan duduk,” katanya dengan nada lembut.

Aira menurut, meskipun hatinya masih diliputi ketidaknyamanan.

Reza memperhatikan Aira selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Kau kelihatan lelah, Aira. Tidak tidur nyenyak?”

Aira menegang. Kenapa Reza selalu memperhatikannya dengan detail seperti ini?

“Saya baik-baik saja, Pak,” jawabnya singkat.

Reza tersenyum tipis. “Bagus. Aku tidak ingin salah satu karyawan terbaikku kelelahan.”

Aira hanya mengangguk, menunggu apa yang sebenarnya ingin Reza bicarakan.

“Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu,” kata Reza tiba-tiba.

Aira mengerutkan kening. “Maksud Bapak?”

“Kamu orang yang menarik, Aira,” lanjut Reza, nadanya tetap tenang. “Aku merasa… kita pernah bertemu sebelumnya.”

Deg.

Kata-kata itu lagi.

Aira mencoba menjaga ekspresinya tetap netral. “Saya rasa itu tidak mungkin, Pak. Saya baru pertama kali bertemu dengan Anda di kantor ini.”

Reza menatapnya, seolah mencoba membaca pikirannya. “Mungkin memang begitu. Tapi tetap saja, aku merasa ada sesuatu tentangmu yang familiar.”

Aira menggigit bibirnya, mencoba mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan.

“Pak Reza ingin membahas proyek baru?” tanyanya cepat.

Reza tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Ya, tentu saja.”

Ia membuka laptopnya dan menunjukkan beberapa desain konsep. Namun, mata Aira membelalak saat melihat salah satu gambar di layar.

Sebuah sketsa seorang gadis yang duduk sendiri di bangku taman, dikelilingi bayangan gelap.

Aira mengenal gambar itu.

Itu adalah salah satu sketsa yang ia buat bertahun-tahun lalu, saat ia masih SMA.

Napasnya tertahan. Bagaimana bisa Reza memiliki ini?

“Desain ini…” suaranya nyaris berbisik.

Reza menatapnya lekat. “Kau ingat ini?”

Aira menelan ludah. Tentu saja ia ingat. Sketsa ini ia buat setelah kejadian mengerikan dengan sepupunya. Saat itu, ia menggambar untuk melampiaskan ketakutannya.

Tapi bagaimana mungkin Reza memiliki ini?

Seolah menyadari ketakutannya, Reza tersenyum kecil dan berkata, “Dulu aku pernah melihat gambarmu, Aira. Dan sejak saat itu… aku tak bisa melupakannya.”

Jantung Aira berdegup semakin cepat.

Ini bukan kebetulan.

Reza bukan orang asing.

Ia pernah melihatnya di masa lalu.

Dan sekarang, ia mulai mengingat sesuatu yang selama ini terkubur dalam memorinya.

Sesuatu yang menghubungkan dirinya dengan Reza… dan mungkin, dengan seseorang yang mengirim pesan misterius itu.

Namun, sebelum ia bisa mengingat lebih jauh, Reza berbisik dengan nada yang lebih dalam.

“Kau tak ingat aku, ya?”

Aira membeku.

Reza bukan hanya bosnya.

Ia adalah seseorang dari masa lalunya.

Seseorang yang mungkin selama ini telah mengawasinya.

Bab 6 – Perangkap yang Terbuka

Aira merasa seluruh tubuhnya membeku. Reza menatapnya dengan intens, seolah menikmati kebingungannya.

“Kau tak ingat aku, ya?”

Kata-kata itu terus bergema di kepalanya. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi instingnya berkata lain.

Ada sesuatu di dalam diri Reza—tatapannya, suaranya, caranya berbicara—yang terasa familiar.

Tapi dari mana?

Aira meneguk ludah, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. “Saya… tidak ingat, Pak.”

Reza tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Cepat atau lambat, kau pasti akan mengingatnya.”

Aira menahan napas. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar seperti ancaman terselubung.

Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sebelum ia sempat melakukannya, Reza menutup laptopnya dan berkata, “Baiklah, cukup tentang masa lalu. Kita kembali ke pekerjaan.”

Aira mengangguk cepat, merasa lega karena pembicaraan ini berakhir. Tapi hatinya masih dipenuhi tanda tanya.

Saat ia berjalan keluar dari ruangan, ia menyadari sesuatu.

Reza tidak hanya tertarik padanya.

Ia mengawasi.

Dan yang lebih mengerikan, ia tahu sesuatu tentang Aira yang bahkan Aira sendiri lupa.


Malam Hari

Aira duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh hangat di tangannya. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar-putar.

Siapa sebenarnya Reza? Bagaimana mungkin ia mengetahui sketsa yang Aira buat bertahun-tahun lalu?

Satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban adalah dengan menggali masa lalunya sendiri.

Ia mengambil ponselnya dan membuka album foto lama. Jarinya bergerak cepat, mencari foto-foto saat ia masih SMA.

Lalu, ia menemukannya.

Sebuah foto lama dari acara perpisahan sekolah. Di foto itu, ia sedang berdiri bersama beberapa teman sekelasnya, tersenyum ke arah kamera.

Namun, di sudut foto, hampir tidak terlihat, ada seorang pria yang berdiri sedikit jauh dari yang lain.

Seorang pria dengan rambut hitam rapi dan tatapan yang sulit ditebak.

Aira membesarkan gambar itu.

Jantungnya langsung berhenti sesaat.

Itu Reza.

Ia ada di sana.

Ia mengenalnya sejak SMA.

Namun, bagaimana mungkin Aira tidak pernah menyadarinya?

Dan yang lebih menakutkan… apa yang sebenarnya ia inginkan darinya?

Pikiran Aira kacau. Ia mencoba mengingat sesuatu—momen di mana ia mungkin pernah berbicara dengan Reza, atau bertemu dengannya di sekolah.

Namun, tidak ada.

Seolah-olah ia hanyalah bayangan di masa lalunya, seseorang yang selalu mengamati dari kejauhan.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar.

Pesan baru.

Dari nomor tidak dikenal.

“Kau mulai mengingatnya?”

Darah Aira membeku.

Ini bukan kebetulan.

Seseorang tahu bahwa ia sedang mencari jawaban.

Dengan tangan gemetar, ia mengetik balasan.

“Siapa kamu?”

Beberapa detik kemudian, balasan masuk.

_”Seseorang yang sudah lama menunggumu.”_

Napas Aira tercekat.

Ini bukan hanya tentang Reza.

Ada seseorang lain yang selama ini mengawasi dirinya.

Dan kini, perangkapnya telah terbuka.

Bab 7 – Kembali ke Masa Lalu

Aira menatap layar ponselnya, tangannya gemetar.

“Seseorang yang sudah lama menunggumu.”

Jantungnya berdetak begitu cepat hingga ia merasa sulit bernapas.

Siapa yang mengirim pesan ini?

Apakah Reza? Atau… seseorang dari masa lalunya yang lebih berbahaya?

Otaknya bekerja keras, mencoba menghubungkan semua kejadian aneh belakangan ini—tatapan intens Reza, pesan-pesan misterius, dan sekarang foto lama yang menunjukkan bahwa Reza sudah mengenalnya sejak SMA.

Tidak ada jalan lain. Ia harus menggali lebih dalam tentang masa lalunya.

Dengan cepat, ia mengambil laptop dan mulai mencari nama Reza di daftar alumni sekolahnya.

Jari-jarinya mengetik dengan gugup.

Beberapa detik kemudian, layar menampilkan daftar nama angkatan yang sama dengannya.

Dan benar saja—Reza ada di sana.

Namanya terdaftar sebagai siswa di sekolahnya. Tapi ada sesuatu yang aneh…

Tidak ada foto dirinya di buku tahunan.

Tidak ada informasi lain selain namanya.

Seolah-olah ia memang sengaja menghilangkan jejaknya.

Aira menelan ludah. Jika Reza sudah mengenalnya sejak lama, kenapa ia tidak pernah menyadari keberadaan pria itu?


Keesokan Harinya

Aira pergi ke kantor dengan kepala penuh pertanyaan. Ia bertekad untuk mendapatkan jawaban dari Reza, bagaimanapun caranya.

Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam gedung, ia langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Para karyawan berbisik-bisik, beberapa dari mereka menatapnya dengan ekspresi aneh.

Dika segera menghampirinya.

“Aira, kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya terdengar khawatir.

Aira mengerutkan kening. “Kenapa semua orang menatapku seperti itu?”

Dika menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Ada sesuatu yang harus kamu lihat.”

Ia menarik Aira ke sudut ruangan dan menyerahkan ponselnya.

Aira menatap layar ponsel itu—sebuah postingan di media sosial dari akun anonim.

“Ilustrator cantik di kantor ini mungkin tampak polos, tapi siapa sangka dia punya masa lalu yang kelam? Apa yang dia sembunyikan? Kenapa bos besar begitu tertarik padanya?”

Di bawahnya, ada foto dirinya saat SMA.

Jantung Aira mencelos.

Seseorang telah membongkar masa lalunya.

Tangannya gemetar saat mengembalikan ponsel Dika. “Siapa yang mengunggah ini?”

Dika menggeleng. “Akun anonim. Tapi banyak yang bilang kalau ini bukan kebetulan.”

Aira mencengkeram dadanya, napasnya tersengal. Seseorang benar-benar mengincarnya.

Dan ia tahu siapa orang pertama yang harus ia tanyai.


Konfrontasi

Aira berjalan cepat menuju ruangan Reza, tanpa mengetuk pintu, ia langsung masuk.

Reza, yang sedang membaca dokumen di mejanya, mengangkat alis, tampak tidak terkejut dengan kedatangannya.

“Kita perlu bicara,” ujar Aira, suaranya tegang.

Reza tersenyum tipis. “Tentu saja.”

Aira menatapnya tajam. “Siapa kamu sebenarnya?”

Reza berdiri dari kursinya dan berjalan mendekatinya. “Aku sudah memberitahumu, Aira. Aku seseorang yang sudah lama mengenalmu.”

Aira menggertakkan giginya. “Kenapa aku tidak pernah mengingatmu?”

Reza menghela napas, lalu menyandarkan dirinya ke meja. “Karena dulu aku hanyalah bayangan. Aku ada di sekitarmu, tapi kau tidak pernah melihatku.”

Aira merinding. “Apa maksudmu?”

Reza menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Aku selalu mengamatimu, Aira. Sejak kita masih SMA.”

Napas Aira tercekat.

“Kau tidak pernah sadar, tapi aku selalu ada di sana. Aku melihat bagaimana kau tersenyum, bagaimana kau menggambar, bagaimana kau melawan ketakutanmu. Aku melihat semuanya.”

Aira mundur selangkah, tubuhnya gemetar.

“Kenapa?” bisiknya.

Reza tersenyum kecil. “Karena aku tidak bisa mengabaikanmu. Karena kau adalah seseorang yang spesial.”

Aira menggeleng. “Ini… ini tidak masuk akal.”

Reza mendekat, membuat Aira semakin terpojok. “Aku sudah menunggumu begitu lama, Aira. Sekarang, kau akhirnya menyadari keberadaanku.”

Aira merasa napasnya tercekat.

Pria ini bukan hanya seseorang dari masa lalunya.

Dan kini, ia telah keluar dari kegelapan.

Ia adalah bayangan yang selama ini mengikutinya.

Bab 8 – Pengejaran di Tengah Malam

Aira keluar dari ruangan Reza dengan langkah cepat, hampir setengah berlari. Jantungnya masih berdebar kencang setelah konfrontasi tadi.

“Aku selalu mengamatimu, Aira.”

Kata-kata Reza terus bergema di kepalanya, membuat bulu kuduknya meremang.

Ia harus menjauh.

Harus pergi dari tempat ini sebelum semuanya semakin berbahaya.

Dika melihatnya tergesa-gesa menuju pintu keluar kantor dan segera menghampirinya. “Aira! Hei, ada apa?”

Aira tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Ia hanya menggeleng dan berbisik, “Aku harus pergi, Dika. Aku tidak bisa berada di sini.”

Dika menatapnya dengan khawatir. “Tunggu, apa ini tentang bos besar?”

Aira tidak menjawab, hanya bergegas keluar dari gedung.

Malam itu, ia memutuskan untuk tidak pulang ke apartemennya. Ia takut. Jika benar Reza telah mengawasinya sejak lama, maka kemungkinan besar ia juga tahu di mana Aira tinggal.

Ia memilih hotel kecil di pinggiran kota dan menyewa kamar tanpa memberikan informasi pribadinya.

Namun, saat ia membuka ponselnya, ada sebuah pesan baru.

Dari nomor tidak dikenal.

“Aku tidak suka kau mencoba lari, Aira.”

Darahnya membeku.

Seseorang tahu ke mana ia pergi.

Dengan panik, ia langsung menutup ponselnya dan menarik napas dalam-dalam. Ini sudah di luar batas.

Siapa sebenarnya orang ini?

Apakah Reza?

Atau ada orang lain?


Malam yang Mencekam

Pukul dua dini hari, Aira masih belum bisa tidur. Setiap suara kecil di luar kamar hotelnya membuatnya terlonjak.

Ia memutuskan untuk mengecek ponselnya lagi. Namun, kali ini, ada panggilan tak terjawab dari nomor yang sama dengan yang mengirim pesan tadi.

Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari pintu kamar.

Aira menahan napas.

Siapa yang bisa datang jam segini?

Ketukan itu terdengar lagi. Lebih keras.

Dengan sangat hati-hati, Aira mendekati pintu dan mengintip melalui lubang kecil.

Jantungnya hampir berhenti.

Seseorang berdiri di luar.

Tinggi, tegap, mengenakan jaket hitam. Wajahnya tertutup bayangan.

Orang itu tidak berbicara. Hanya berdiri diam, menunggu.

Aira mundur perlahan, berharap sosok itu akan pergi.

Namun, beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar lagi.

Pesan baru.

“Kau tidak bisa menghindar dariku.”

Tangan Aira menutup mulutnya, menahan jeritan.

Ini bukan kebetulan.

Orang ini mengetahui keberadaannya sekarang.


Pelarian

Aira tahu ia harus keluar dari sini. Dengan hati-hati, ia mengambil tasnya dan menuju jendela.

Untungnya, kamar hotelnya berada di lantai dua, cukup rendah untuk bisa meloncat ke luar.

Tanpa pikir panjang, ia membuka jendela dan turun dengan hati-hati.

Begitu kakinya menyentuh tanah, ia langsung berlari.

Angin malam menusuk kulitnya, tapi ia tidak peduli. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya adalah kabur sejauh mungkin.

Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tapi yang pasti, ia tidak bisa tinggal di sini.

Saat ia berlari melewati jalan yang sepi, ponselnya kembali bergetar.

Pesan lain masuk.

“Aku akan selalu menemukannya, Aira. Tidak peduli seberapa jauh kau berlari.”

Aira merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Seseorang benar-benar mengincarnya.

Dan sekarang, ia tahu bahwa ia sudah masuk dalam permainan yang berbahaya.

Bab 9 – Kebenaran yang Menyakitkan

Aira berlari tanpa tujuan, jantungnya berdebar kencang. Nafasnya tersengal saat ia menelusuri jalanan sepi di tengah malam. Pikirannya penuh dengan ketakutan—siapa yang mengiriminya pesan? Apakah benar Reza? Atau ada orang lain yang selama ini bersembunyi di bayang-bayangnya?

Ia terus berlari hingga tiba di sebuah kafe 24 jam. Cahaya hangat dari dalam kafe membuatnya merasa sedikit aman. Dengan cepat, ia masuk dan memilih duduk di sudut, jauh dari pintu masuk.

Pelayan menghampirinya, tapi Aira hanya meminta segelas air. Ia butuh waktu untuk berpikir.

Ponselnya masih bergetar di tangannya. Ada pesan lain yang masuk.

“Kau tidak bisa lari dariku, Aira.”

Tangan Aira mengepal. Ketakutannya berubah menjadi amarah.

Ia menatap layar, lalu dengan keberanian yang tersisa, ia mengetik balasan.

“Siapa kau? Kenapa kau menggangguku?”

Tak butuh waktu lama, balasan datang.

“Aku seseorang yang kau lupakan. Tapi aku tidak pernah melupakanmu.”

Aira menggigit bibirnya, mencoba mengingat siapa orang ini. Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, seseorang duduk di depannya.

Ia langsung terkejut melihat siapa yang baru saja datang.

Reza.

Dengan tenang, pria itu menatapnya, ekspresinya tetap seperti biasa—tenang, menguasai keadaan.

“Apa kau mencoba kabur dariku?” tanyanya, suaranya lembut, tapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat bulu kuduk Aira meremang.

Aira menelan ludah. “Kenapa kau ada di sini?”

Reza menghela napas, lalu meletakkan tangannya di atas meja. “Aku mencarimu, Aira. Kau tidak mengangkat telepon, tidak pulang ke apartemen. Itu membuatku khawatir.”

Aira mundur sedikit. “Kau tahu di mana aku tinggal?”

Reza tersenyum. “Tentu saja. Aku tahu banyak tentangmu.”

Jantung Aira mencelos.

“Dan aku tahu kau mendapatkan pesan dari seseorang,” lanjut Reza. “Aku bisa melihat ketakutan di wajahmu.”

Aira ingin menyangkal, tapi percuma. Reza sudah mengetahuinya.

“Siapa yang mengirimmu pesan?” tanyanya, mencoba menguji pria itu.

Reza menatapnya dengan tatapan sulit ditebak. “Kau benar-benar tidak ingat, ya?”

Aira menggigit bibirnya. “Ingat apa?”

Reza tersenyum kecil. “Masa lalumu. Apa yang benar-benar terjadi saat SMA.”

Aira terdiam.

Sesuatu dalam cara Reza berbicara membuatnya sadar bahwa ada bagian dari masa lalunya yang ia lupakan.

“Aku tidak mengerti,” katanya pelan.

Reza bersandar di kursinya. “Baiklah. Aku akan memberitahumu.”

Ia menatap Aira dalam-dalam sebelum berbicara.

“Sepupumu bukan satu-satunya orang yang mengincarmu saat SMA.”

Aira membelalak. “Apa?”

Reza mengangguk. “Ada seseorang lain. Seseorang yang terobsesi padamu.”

Aira merasa kepalanya berputar. Ia mencoba mengingat, tapi ingatannya terasa kabur.

“Aku sudah menyelidikinya,” lanjut Reza. “Seseorang yang selama ini membayangi hidupmu. Seseorang yang mungkin lebih berbahaya daripada yang kau pikirkan.”

Aira menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya.

“Siapa?” tanyanya dengan suara bergetar.

Reza menatapnya tajam.

“Dika.”

Aira merasa seluruh dunianya runtuh.

“Tidak… itu tidak mungkin,” bisiknya.

Reza menghela napas. “Aku tahu sulit mempercayainya. Tapi aku sudah menyelidiki semuanya.”

Aira menggeleng. “Dika adalah temanku. Dia selalu membantuku. Dia—”

“Dia selalu ada di sekitarmu, bukan?” potong Reza. “Selalu bertanya apakah kau baik-baik saja. Selalu ingin tahu apa yang terjadi padamu.”

Aira terdiam. Ia tidak bisa menyangkal bahwa Dika memang selalu peduli padanya.

Tapi… apakah itu berarti Dika adalah orang yang selama ini menerornya?

Reza mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya lebih pelan.

“Aira, pesan-pesan itu… mereka dikirim dari perangkat yang terhubung ke jaringan kantor.”

Mata Aira membesar.

“Dan hanya ada satu orang yang cukup dekat denganmu untuk melakukannya.”

Aira menahan napas.

Tidak. Ini tidak mungkin.

Tapi… apakah itu benar?

Apakah Dika adalah sosok yang selama ini mengawasinya?

Ia harus mencari tahu sebelum semuanya terlambat.

Bab 10 – Pilihan yang Tak Mudah

Aira duduk membeku di kursinya, kata-kata Reza masih menggantung di udara.

“Dan hanya ada satu orang yang cukup dekat denganmu untuk melakukannya.”

Dika.

Tidak, itu tidak masuk akal.

Dika adalah satu-satunya orang yang selama ini peduli padanya, yang selalu ada saat ia butuh bantuan. Bagaimana mungkin ia adalah orang yang menerornya?

Tapi semakin ia berpikir, semakin banyak potongan puzzle yang mulai cocok.

Dika yang selalu tahu kapan ia merasa cemas.

Dika yang selalu muncul di saat yang tepat.

Dika yang selalu bertanya soal perasaannya terhadap Reza.

Dan sekarang, pesan-pesan itu dikirim dari jaringan kantor.

Satu-satunya orang yang punya akses ke mejanya selain dirinya… adalah Dika.

Aira merasa napasnya tersendat. Jika ini benar, berarti ia telah mempercayai orang yang salah selama ini.

Matanya bertemu dengan tatapan Reza. “Kalau ini benar… apa yang harus kulakukan?” suaranya bergetar.

Reza menyandarkan tubuhnya di kursi. “Kau harus memilih, Aira. Menghadapinya, atau pergi sejauh mungkin.”

Aira menelan ludah. “Aku tidak bisa pergi begitu saja.”

“Lalu kau harus mencari tahu sendiri,” kata Reza.

Aira menarik napas panjang. Jika ini benar, ia tidak bisa terus bersembunyi.


Konfrontasi Terakhir

Keesokan harinya, Aira datang ke kantor lebih pagi. Ia ingin berbicara dengan Dika sebelum orang-orang lain tiba.

Ketika Dika masuk, ia tampak terkejut melihat Aira sudah di mejanya. “Aira? Kamu datang lebih awal?”

Aira mencoba tersenyum, meski hatinya berdebar kencang. “Aku butuh bicara denganmu.”

Dika menaruh tasnya dan duduk di kursinya. “Tentu. Ada apa?”

Aira menggigit bibirnya, lalu berkata pelan, “Aku tahu seseorang mengawasiku.”

Dika membeku sesaat. “Apa maksudmu?”

Aira menatapnya tajam. “Aku tahu seseorang mengirim pesan-pesan aneh padaku. Aku tahu mereka berasal dari jaringan kantor.”

Dika menelan ludah.

Aira mengamati ekspresinya, mencari tanda-tanda kebohongan. “Dan aku ingin tahu… apakah itu kamu?”

Dika terdiam. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun selama beberapa detik.

Lalu, ia tertawa kecil.

Bukan tawa bahagia.

Tawa… yang terdengar putus asa.

“Kamu benar-benar mempercayaiku selama ini, ya?” gumamnya.

Aira merasakan ketakutan mulai merayapi dirinya.

Dika menghela napas panjang, lalu menatap Aira dengan ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Tatapan yang dingin.

“Aku hanya ingin memastikan kamu aman, Aira.”

Aira menegang.

“Aku sudah melindungimu sejak dulu, tahu?” lanjutnya. “Saat semua orang hanya melihatmu karena kecantikanmu, aku adalah satu-satunya yang benar-benar peduli.”

Darah Aira membeku.

Dika melanjutkan dengan suara lebih rendah. “Tapi kamu selalu melihat orang lain. Kamu tidak pernah melihat aku.”

Aira berdiri, bersiap mundur, tapi Dika langsung menggenggam tangannya erat.

“Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Aira,” bisiknya. “Aku hanya ingin memastikan kau tetap milikku.”

Aira menelan ludah, panik. “Dika… kamu menakutiku.”

Dika tersenyum, tapi ada kegilaan dalam tatapan matanya. “Tidak, aku tidak menakutimu. Aku mencintaimu.”

Aira mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Dika terlalu kuat. “Lepaskan aku.”

Tiba-tiba, suara pintu terbuka.

“Aku rasa dia tidak ingin itu, Dika.”

Reza berdiri di ambang pintu, menatap Dika dengan tatapan tajam.

Dika menegang. Tangannya masih menggenggam lengan Aira erat, seolah tidak ingin melepaskannya.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Dika dengan suara dingin.

Reza menyeringai. “Menjaga agar Aira tetap aman. Sesuatu yang seharusnya kamu lakukan juga, tanpa harus menguntitnya.”

Dika menegang, lalu perlahan melepaskan cengkeramannya dari lengan Aira.

Tapi matanya masih menatap Aira penuh emosi.

“Kau akan mempercayai dia?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan. “Dia yang baru saja masuk dalam hidupmu, dibandingkan aku yang selalu ada untukmu?”

Aira tidak menjawab. Ia tahu jawabannya.

Ia memilih dirinya sendiri.

Dika menatapnya sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Baiklah.”

Ia berbalik dan berjalan keluar.

Namun sebelum pergi, ia berbisik pada Aira.

“Ini belum selesai.”

Lalu ia pergi, meninggalkan Aira dengan dada yang masih berdegup kencang.

Reza mendekat, menatapnya khawatir. “Kau baik-baik saja?”

Aira menarik napas dalam.

Tidak, ia tidak baik-baik saja.

Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… ia merasa bebas.

Dan ia siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *