Novel Singkat Aku, Dia, dan Waktu yang Tak Berpihak
Novel Singkat Aku, Dia, dan Waktu yang Tak Berpihak

Novel Singkat: Aku, Dia, dan Waktu yang Tak Berpihak

Alea, seorang arkeolog muda , terbangun di tengah hutan asing tanpa ingatan bagaimana ia bisa sampai di sana. Saat berusaha mencari jalan keluar, ia bertemu dengan Ezra, seorang pria misterius yang menatapnya dengan mata penuh penantian dan berkata, “Aku sudah menunggumu selama seribu tahun.”

Ezra mengklaim bahwa Alea adalah jiwa yang telah berulang kali kembali, hanya untuk dihapus oleh dunia yang menolak keberadaannya. Ia bukan sekadar orang biasa, tetapi bagian dari sejarah yang seharusnya terkubur selamanya.

Namun, setiap kali Alea mulai mengingat masa lalunya, dunia di sekitarnya mulai retak, aeolah ada kekuatan besar yang tidak mengizinkan mereka untuk bersatu. Kini, Alea harus memilih: menyerah pada takdir dan menghilang selamanya, atau melawan dunia yang ingin menghapusnya.

Ketika takdir berubah menjadi musuh, bisakah cinta mereka bertahan?

BAB 1 – TERBANGUN DI DUNIA ASING

Aku terbangun dengan napas tersengal.

Udara terasa lembap, aroma tanah basah memenuhi hidungku, dan suara gemerisik dedaunan bergema di sekelilingku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana aku berada. Langit di atas begitu asing—cahaya matahari merembes melalui celah-celah daun rimbun, menciptakan bayangan yang bergerak di tanah.

Kepalaku terasa berat, seolah baru saja mengalami sesuatu yang menguras tenagaku. Aku mencoba mengingat bagaimana aku bisa sampai di sini, tapi yang kudapatkan hanyalah kehampaan. Tidak ada ingatan tentang perjalanan, tidak ada kilasan peristiwa yang bisa menjelaskan apa yang terjadi.

Aku duduk perlahan, tubuhku terasa kaku seolah sudah lama tak bergerak. Tangan dan kakiku berdebu, bajuku kusut, tapi tak ada luka yang terlihat. Aku memejamkan mata, menarik napas panjang, dan mencoba menenangkan diri.

“Tenang, pikirkan perlahan.”

Aku mengingat tempat tidurku, apartemen kecilku, rutinitasku—semuanya begitu nyata, namun mengapa aku merasa seakan semua itu adalah kehidupan yang jauh? Seolah ada lapisan kabut tipis yang memisahkan kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam.

Hutan di sekelilingku begitu sunyi. Tidak ada suara mobil, tidak ada suara manusia, hanya desir angin dan burung-burung yang berkicau di kejauhan. Aku menggerakkan tangan ke tanah, mencoba merasakan realitas ini. Dingin dan lembap.

“Ini bukan mimpi.”

Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Jika ini bukan mimpi, lalu bagaimana aku bisa ada di sini?

Aku mengedarkan pandangan, berharap menemukan sesuatu yang familiar, tapi hanya ada pepohonan tinggi dan semak-semak lebat. Tidak ada jalan setapak, tidak ada jejak manusia lain. Aku sendirian di tempat asing ini.

Kakiku terasa lemas ketika aku mencoba berdiri. Aku menelan ludah, berusaha menenangkan pikiran yang mulai dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk. Jika aku tersesat di hutan, maka hal pertama yang harus kulakukan adalah mencari jalan keluar.

Aku mengambil langkah pertama dengan hati-hati, mencoba mencari celah di antara pepohonan. Setiap ranting yang kupijak menimbulkan suara kecil yang membuatku semakin waspada. Ada sesuatu yang terasa aneh di sini—bukan hanya karena aku tidak tahu di mana aku berada, tetapi juga karena atmosfer tempat ini begitu berbeda.

Udara di sini lebih berat.

Seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi dari balik bayang-bayang.

Aku menoleh ke kiri dan kanan, tapi tidak melihat apa-apa. Hanya perasaan ganjil yang merayap di kulitku, membuat bulu kudukku berdiri.

Aku menahan napas sejenak. Lalu, aku mendengar sesuatu.

Suara langkah kaki.

Bukan milikku.

Langkah kaki itu begitu halus, hampir tidak terdengar, tapi cukup untuk membuat tubuhku menegang. Aku menoleh perlahan ke arah sumber suara.

Di antara pepohonan, ada sesosok bayangan.

Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi aku tahu dia ada di sana—berdiri diam, mengamatiku. Jantungku berdegup kencang, naluri pertamaku adalah melarikan diri, tapi sesuatu menghentikanku.

Bayangan itu bergerak.

Dari balik pepohonan, seorang pria muncul.

Dia berjalan perlahan, seolah tidak ingin menakutiku, namun ada sesuatu dalam caranya melangkah yang terasa… salah. Seakan-akan dia sudah mengenalku sejak lama.

Aku mundur selangkah.

Dia berhenti beberapa meter dariku, menatapku dengan mata gelap yang tajam. Wajahnya tampan, tapi ekspresinya sulit dibaca—ada kelegaan, ada kesedihan, dan ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa langsung kupahami.

Lalu, dia berbicara.

“Akhirnya…”

Suara itu rendah dan dalam, seperti bisikan angin yang membawa rahasia.

Aku mengerutkan kening. “Apa?”

Dia menatapku lebih lama, seolah memastikan sesuatu, sebelum akhirnya berkata,

“Aku sudah menunggumu selama seribu tahun.”

Aku terpaku.

Kata-katanya menggantung di udara, menciptakan gelombang ketidakpercayaan di dalam pikiranku. Seribu tahun? Apa maksudnya?

Aku ingin bertanya, ingin menuntut penjelasan, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku. Ada sesuatu dalam cara dia menatapku yang membuatku merasa… takut. Bukan karena dia tampak berbahaya, tetapi karena ada bagian dari diriku yang tahu bahwa dia tidak berbohong.

Aku belum mengenalnya, tapi jantungku berdetak seolah sedang mengingat sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Siapa dia?

Dan yang lebih penting…

Siapa aku sebenarnya?

BAB 2 – SIAPA DIA?

Aku tetap berdiri di tempatku, tak mampu menggerakkan kaki. Kata-katanya menggantung di udara, mengendap di pikiranku, menciptakan pertanyaan yang tak memiliki jawaban.

“Aku sudah menunggumu selama seribu tahun.”

Jantungku berdetak lebih cepat. Aku menelan ludah, mencoba mencari logika di balik ucapannya. Seribu tahun? Itu tidak masuk akal. Tidak ada manusia yang bisa hidup selama itu.

Aku menatap pria itu lebih saksama. Ia terlihat seperti manusia biasa—kulitnya sedikit pucat, rambutnya hitam dan sedikit berantakan, serta matanya yang dalam, seolah menyimpan rahasia yang tak bisa dijelaskan. Pakaian yang dikenakannya sederhana, seperti jubah panjang yang terlihat usang namun masih cukup rapi.

Dia masih menatapku, matanya menyelidik, seakan sedang menunggu sesuatu dariku.

Aku menggelengkan kepala, mencoba menghapus ketidakmasukakalan ini. “Aku… aku tidak tahu siapa kau,” kataku akhirnya, suaraku bergetar.

Dia tidak bereaksi seperti yang kuduga. Tidak ada ekspresi terkejut, tidak ada tanda bahwa ucapanku mengejutkannya. Ia hanya menghela napas pelan, seolah sudah mengharapkan jawabanku.

“Kau memang tidak mengingatku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada padaku. “Tapi hatimu akan mengingat.”

Hatiku?

Aku mundur selangkah, menatapnya lebih curiga. “Apa maksudmu?”

Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mengulurkan tangannya ke arahku, seolah mengundangku untuk mendekat.

“Aku bisa menjelaskan, tapi tidak di sini. Tempat ini bukan tempat yang aman.”

Aku menatap tangannya, lalu menatap matanya lagi. Haruskah aku percaya padanya? Logika dalam kepalaku mengatakan untuk lari sejauh mungkin, tapi ada sesuatu di dalam diriku yang menolak gagasan itu.

“Kenapa aku harus percaya padamu?” tanyaku waspada.

Dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Karena aku adalah satu-satunya orang di dunia ini yang mengenalmu.”

Kata-katanya menghantam sesuatu di dalam diriku. Aku menggigit bibir, mencoba mencari kebenaran dalam sorot matanya. Aku ingin menyangkalnya, ingin mengatakan bahwa aku tidak percaya, tapi bagaimana kalau dia benar?

Bagaimana jika dia memang satu-satunya orang yang bisa menjawab pertanyaanku?

Aku menatap ke sekeliling. Hutan ini begitu asing, begitu sunyi, seolah aku memang tidak seharusnya berada di sini. Jika aku lari darinya, aku akan ke mana? Apakah aku benar-benar sendirian di dunia ini?

Aku menatapnya lagi. “Buktikan.”

Matanya menyipit sedikit. “Apa?”

“Aku tidak ingat siapa diriku, aku tidak tahu bagaimana aku bisa ada di sini, dan kau bilang kau mengenalku. Kalau memang begitu, buktikan,” kataku dengan suara lebih tegas daripada yang aku rasakan.

Dia menghela napas, seolah sudah menduga aku akan mengatakan itu. Kemudian, dia mengangkat tangannya sedikit.

Aku refleks mundur, tapi kemudian sesuatu terjadi.

Udara di sekeliling kami bergetar, seperti gelombang tak terlihat yang beresonansi di antara kami. Sejenak, aku merasa seperti sedang berada di dua tempat sekaligus—di sini, di hutan asing ini, dan di tempat lain yang tidak bisa kujelaskan.

Kemudian, muncul sesuatu di kepalaku.

Bukan sekadar ingatan, tapi kilasan-kilasan gambar yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Aku melihat sosok pria ini dalam pakaian berbeda, lebih kuno, lebih mewah. Aku melihat diriku sendiri—atau seseorang yang mirip denganku—berdiri di sisinya. Aku mendengar suara-suara, suara yang terasa akrab tapi tak bisa kupahami.

Kilasan itu datang terlalu cepat, terlalu banyak, hingga kepalaku terasa berdenyut. Aku mencengkeram kepalaku, tubuhku gemetar. “Berhenti…” bisikku.

Dan seketika, semuanya berhenti.

Aku terhuyung, hampir jatuh, tapi pria itu sigap menangkapku. Tangannya terasa hangat, seolah memancarkan sesuatu yang menenangkan.

Aku menatapnya dengan mata membulat. “Apa itu tadi…?”

Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran antara harapan dan ketakutan.

“Itu adalah bagian dari dirimu yang hilang,” katanya pelan. “Dan itu baru permulaan.”

Jantungku masih berdebar keras. Aku tidak tahu apa yang baru saja terjadi, tapi satu hal yang pasti—pria ini bukan orang biasa.

Dan entah bagaimana… aku tahu dia tidak berbohong.

BAB 3 – FRAGMEN INGATAN YANG HILANG

Aku terduduk di tanah, napasku memburu. Kilasan-kilasan tadi masih berputar di kepalaku, seperti pecahan kaca yang baru saja berhamburan di lantai dan memantulkan cahaya dari sudut yang berbeda.

Aku melihat sesuatu—tidak, aku merasakan sesuatu.

Sosok pria di depanku bukan hanya seseorang yang baru kutemui. Aku pernah bersamanya. Aku pernah mengenalnya. Tapi… kapan? Bagaimana? Mengapa aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas?

Aku mendongak, menatapnya dengan pandangan yang dipenuhi kebingungan. “Siapa aku…?”

Dia menatapku dalam-dalam sebelum berlutut di hadapanku. Tangan besarnya terulur, tapi dia tidak menyentuhku—seolah menunggu izin dariku.

“Kau adalah seseorang yang telah berjanji untuk kembali,” katanya pelan.

Aku mengernyit. “Apa maksudmu?”

Dia terdiam sejenak, seperti sedang memilah kata-kata yang tepat. “Kau bukan hanya milik dunia ini. Kau berasal dari tempat lain. Dari waktu lain.”

Aku menggelengkan kepala. “Itu tidak masuk akal.”

Dia tersenyum kecil. “Itu memang tidak seharusnya masuk akal.”

Aku terdiam, merasa frustrasi. Aku tidak mengerti apa pun yang dikatakannya, tapi di saat yang sama, aku tidak bisa menyangkal bahwa ada bagian dari diriku yang ingin percaya.

Aku mencoba berdiri, tapi tubuhku masih terasa lemas. Saat aku kehilangan keseimbangan, refleks pria itu menangkap tanganku.

Begitu kulit kami bersentuhan, sesuatu meledak di dalam kepalaku.

Sebuah ingatan.

Aku melihat diriku dalam pakaian yang berbeda—gaun panjang berwarna putih dengan bordiran emas di tepinya. Rambutku lebih panjang, mataku lebih tegas. Aku berdiri di balkon sebuah istana yang menjulang tinggi, sementara langit di atas kami berwarna merah keemasan.

Dan di sebelahku… dia.

Dia mengenakan pakaian kebesaran, dengan lambang yang terukir di dadanya—sesuatu yang terasa penting, tapi aku tidak bisa mengingat artinya. Wajahnya sama seperti sekarang, hanya saja sorot matanya lebih lembut.

“Kita akan bertemu lagi, bukan?”

Aku mendengar suaraku sendiri, tetapi itu bukan aku yang sekarang. Itu adalah aku yang lain, dari waktu yang lain.

Dia tersenyum, meskipun ada kesedihan dalam tatapannya. “Tidak peduli seberapa lama, aku akan selalu menunggumu.”

Kilasan itu menghilang, dan aku tersentak kembali ke realitas. Tubuhku gemetar hebat.

Aku menatap pria itu—aku tidak tahu harus memanggilnya apa. Aku belum siap menerima kebenaran, tapi aku juga tidak bisa menyangkal apa yang baru saja kulihat.

“Siapa namamu…?” tanyaku dengan suara pelan.

Dia menatapku lama sebelum akhirnya menjawab, “Ezra.”

Nama itu… terdengar familiar.

Aku menyentuh pelipisku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Aku menatap Ezra dengan tatapan waspada. “Kalau aku memang berasal dari waktu lain… kenapa aku tidak mengingatnya? Dan kenapa aku ada di sini?”

Ezra menghela napas, lalu berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.

“Aku bisa menjelaskannya, tapi kita harus pergi dari sini terlebih dahulu.”

Aku menatap tangannya yang terulur. Ini adalah momen penentuan. Jika aku menerimanya, berarti aku siap menerima semua kemungkinan gila yang mungkin terjadi. Jika aku menolaknya, aku akan tetap terjebak dalam ketidaktahuan.

Aku mengulurkan tanganku, menyentuh telapak tangannya yang hangat.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa… seolah aku akhirnya menemukan sesuatu yang hilang.

BAB 4 – TAKDIR YANG TERULANG

Tangannya terasa hangat di genggamanku, seolah aku memang seharusnya berada di sini bersamanya. Tapi aku tidak mengenalnya. Tidak seharusnya mengenalnya.

Lalu, mengapa hatiku terasa seperti mengingatnya?

Aku menatap Ezra dengan tatapan penuh pertanyaan, tapi dia hanya menggenggam tanganku lebih erat, seolah takut aku akan menghilang begitu saja.

“Ayo, kita harus pergi dari sini sebelum mereka menemuk—”

Sebuah suara gemeretak terdengar di kejauhan.

Aku membeku. Ezra langsung menarikku ke belakangnya, matanya menajam ke arah hutan yang mulai diselimuti kabut tipis.

“Ada apa?” bisikku.

Ekspresinya mengeras. “Mereka sudah datang lebih cepat dari yang kuduga.”

“Mereka?”

Ezra tidak menjawab. Dia justru menarikku, memaksaku berjalan lebih cepat di antara pepohonan yang semakin rapat. Aku tidak tahu ke mana dia membawaku, tapi satu hal yang pasti—aku tidak boleh berhenti.

Kabut mulai menebal, dan hawa dingin menjalar di sekujur tubuhku. Ada sesuatu di sini. Aku bisa merasakannya.

Aku menoleh ke belakang.

Saat itulah aku melihatnya.

Di balik kabut, ada sosok-sosok hitam dengan mata merah menyala. Tubuh mereka tidak berbentuk jelas, seolah terdiri dari bayangan yang terus bergerak. Tapi mereka semua mengarah kepadaku.

Bukan ke Ezra. Ke aku.

Aku merasakan ketakutan yang aneh—bukan hanya karena mereka terlihat mengerikan, tapi karena aku pernah melihat mereka sebelumnya.

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa yakin akan hal itu, tapi entah bagaimana, aku tahu.

“Jangan menoleh!” Ezra menarik tanganku lebih kencang.

Aku tersentak dari keterkejutan dan mulai berlari bersamanya. Dedaunan kering berkeresak di bawah kaki kami, ranting-ranting mencambuk kulitku, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin menjauh dari mereka.

Angin berdesir, membawa bisikan-bisikan aneh yang membuat kepalaku berdenyut.

“Kau seharusnya tidak kembali…”

“Takdir ini telah ditentukan…”

“Kau harus memilih…”

Aku menutup telingaku. Suara-suara itu bukan hanya berasal dari luar. Mereka ada di dalam kepalaku.

“Ezra, apa ini?!” Aku hampir berteriak, panik mulai menguasai diriku.

“Kau sudah mulai mengingat,” jawabnya dengan nada serius. “Dan mereka tidak mengizinkan itu terjadi.”

Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi suara di belakang kami semakin mendekat. Tiba-tiba, Ezra berhenti dan menarikku ke dalam celah antara dua batu besar yang tertutup lumut.

Aku nyaris jatuh, tapi Ezra menangkapku sebelum aku bisa menyentuh tanah.

“Diam,” bisiknya, mendekatkan tubuhku ke dinding batu.

Aku menahan napas.

Aku bisa mendengar suara langkah kaki berat yang menyeret dedaunan. Bayangan hitam itu mulai bergerak di depan celah tempat kami bersembunyi.

Aku menahan napas lebih dalam. Jika mereka menemukanku…

Ezra menggenggam tanganku erat, memberi isyarat agar aku tetap tenang.

Aku tidak tahu berapa lama kami diam di sana. Detik terasa seperti berjam-jam. Aku bisa merasakan keringat dingin di tengkukku, bisa mendengar jantungku berdetak begitu keras hingga aku takut mereka akan mendengarnya juga.

Lalu, tiba-tiba, semuanya menjadi sunyi.

Aku hampir berpikir mereka telah pergi, tapi kemudian suara itu muncul lagi.

“Kau tidak bisa lari dari takdirmu.”

Aku menutup mataku.

Aku tidak tahu siapa mereka, tidak tahu apa yang mereka inginkan dariku. Tapi aku tahu satu hal.

Mereka tidak akan berhenti mengejarku.

Ezra menarik napas panjang, lalu berbisik pelan di telingaku. “Mereka sudah pergi… untuk saat ini.”

Aku akhirnya berani membuka mata.

“Apa yang terjadi?!” Aku berbisik marah, rasa takut dan bingung bercampur menjadi satu. “Siapa mereka? Kenapa mereka mengejarku?!”

Ezra menatapku, matanya penuh keraguan. Seolah dia sedang mempertimbangkan apakah dia harus memberitahuku sesuatu yang besar.

Akhirnya, dia menghela napas dan berkata,

“Karena kau bukan berasal dari dunia ini. Kau adalah seseorang yang seharusnya sudah tidak ada.”

Aku merasakan sesuatu menghantam dadaku.

“Apa maksudmu…?”

Ezra menatapku dalam-dalam, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang mengubah segalanya.

“Kau seharusnya sudah mati seribu tahun yang lalu.”

Aku membeku.

Tidak. Itu… tidak mungkin.

Tapi, kenapa… kenapa di dalam hatiku, aku merasa dia tidak berbohong?

BAB 5 – BAYANGAN YANG MENGINTAI

Aku membeku. Kata-kata Ezra masih menggema di kepalaku.

“Kau seharusnya sudah mati seribu tahun yang lalu.”

Aku ingin tertawa, ingin menyangkalnya, tapi tenggorokanku terasa kering. Tidak ada yang lucu dari situasi ini. Aku terjebak di tempat yang asing, dikejar oleh makhluk-makhluk bayangan, dan sekarang seseorang yang bahkan tidak kukenal mengatakan bahwa aku seharusnya sudah mati seribu tahun lalu?

Aku menggelengkan kepala, berusaha mencari celah logika. “Itu tidak mungkin. Aku hidup. Aku di sini. Aku bernapas.”

Ezra menatapku lama sebelum akhirnya berbicara, suaranya tenang namun tegas. “Ya, kau memang hidup. Sekarang. Tapi ini bukan pertama kalinya kau hidup.”

Aku mencengkeram dadaku. Napasku mulai tidak beraturan. Semua ini terlalu aneh, terlalu tidak masuk akal.

“Aku tidak percaya…” Aku mundur selangkah, menjauh darinya. “Kau pasti salah orang.”

Ezra hanya menghela napas. “Itu yang selalu kau katakan setiap kali kita bertemu.”

Aku terhenti. Mataku membelalak. “Setiap kali… kita bertemu?”

Dia mengangguk. “Ini bukan pertama kalinya kau kehilangan ingatanmu. Ini bukan pertama kalinya aku mencarimu. Dan ini juga bukan pertama kalinya mereka mencoba menghapusmu.”

Aku menelan ludah.

Aku tidak ingin percaya. Tapi hatiku berkata lain.

Aku ingin menyangkalnya, ingin mengatakan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Namun, ada sesuatu dalam sorot mata Ezra yang membuatku ragu. Seolah ia telah melewati siklus yang sama berkali-kali. Seolah aku adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa kupahami.

Aku memejamkan mata, berusaha mengendalikan pikiranku yang kacau. Tapi begitu kelopak mataku tertutup, kilasan itu datang lagi.

Aku melihat diriku sendiri… di tempat yang berbeda. Bukan di hutan, tapi di sebuah istana besar yang megah. Aku mengenakan gaun putih yang indah, dan di sekelilingku, ada ratusan orang yang berlutut seolah aku adalah seseorang yang penting.

Lalu, suara Ezra terdengar di kejauhan. Aku bersumpah akan menemukannya. Aku bersumpah akan mengembalikannya.

Kilasan itu menghilang, dan aku terhuyung ke belakang.

“Aku…” Aku memegang kepalaku, merasa pusing. “Aku melihat sesuatu…”

Ezra menatapku tajam. “Apa yang kau lihat?”

Aku menarik napas dalam. “Istana. Orang-orang berlutut. Aku…” Aku menggelengkan kepala. “Aku bukan orang biasa, bukan?”

Dia tersenyum tipis. “Tidak. Kau bukan orang biasa.”

Aku merasa sesak. Semakin banyak pertanyaan memenuhi kepalaku.

“Tapi jika aku memang seseorang yang penting,” tanyaku pelan, “kenapa aku tidak mengingat apa pun?”

Ezra terdiam. Ada keraguan dalam sorot matanya. Seolah dia tidak yakin apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak.

Namun, sebelum dia bisa menjawab, angin di sekeliling kami tiba-tiba berubah.

Udara menjadi dingin. Terlalu dingin.

Aku menggigil dan segera menyadari sesuatu. Kami tidak lagi sendirian.

Ezra langsung menarik tanganku dan mendorongku ke belakangnya. “Jangan bergerak,” bisiknya pelan.

Aku menahan napas.

Dari balik kabut, makhluk bayangan yang tadi mengejar kami kembali muncul. Namun kali ini, mereka tidak bergerak.

Mereka hanya berdiri diam di antara pepohonan, mengelilingi kami dalam formasi melingkar. Mata merah mereka menyala, tapi mereka tidak menyerang.

Seolah… mereka sedang menunggu sesuatu.

Aku bisa merasakan ketegangan Ezra. Dia juga merasakan sesuatu yang berbeda kali ini.

Lalu, dari kegelapan, seseorang melangkah keluar.

Bukan makhluk bayangan, tapi seseorang yang memiliki bentuk manusia.

Dia mengenakan jubah hitam panjang, dan wajahnya tertutup oleh tudung. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi auranya terasa menekan.

“Akhirnya,” suara orang itu terdengar dalam, hampir seperti gumaman. “Kau mulai mengingat.”

Aku terbelalak. Dia berbicara kepadaku.

“Siapa kau?” suaraku bergetar.

Orang itu tidak menjawab. Dia mengangkat satu tangannya, dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu menekan dadaku.

Aku jatuh berlutut, mencengkeram dadaku yang terasa sesak. Napasku tersendat.

Ezra langsung bereaksi. Dia menghunus pedangnya—aku tidak tahu dari mana pedang itu muncul, tapi kilauan biru samar terlihat di sepanjang bilahnya.

“Jangan sentuh dia!” Ezra menggeram.

Orang berjubah itu tertawa pelan. “Seperti biasa, kau selalu melindunginya.”

Ezra menegang. “Aku tidak akan membiarkanmu membawanya.”

Aku mencoba mengangkat wajahku. “Membawaku? Ke mana?”

Orang itu menggerakkan jarinya sedikit, dan nyeri di dadaku semakin kuat. Aku mengerang, hampir terjatuh sepenuhnya ke tanah.

Ezra langsung menyerang. Pedangnya menebas udara, menciptakan kilatan cahaya biru, tapi sebelum bisa menyentuh orang berjubah itu, bayangan-bayangan hitam bergerak cepat, menangkis serangannya.

Mereka mulai menyerang.

Ezra bertarung melawan mereka, tapi aku terlalu lemah untuk bergerak. Dadaku masih terasa sesak, seolah ada sesuatu yang mengikat jiwaku.

Orang berjubah itu berjalan mendekat, dan aku berusaha menggerakkan tubuhku, tapi aku tidak bisa.

Aku terjebak.

Orang itu berjongkok di depanku, menatapku dari balik bayangan tudungnya. Aku akhirnya bisa melihat sedikit wajahnya—sepasang mata emas yang bersinar redup.

Lalu, dia berbicara dengan nada lembut, seolah dia telah mengenalku selama berabad-abad.

“Sudah saatnya kau pulang.”

BAB 6 – PENGHAPUS TAKDIR

Aku tidak bisa bergerak.

Seolah ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram tubuhku, membuatku terjebak di tempat tanpa daya. Udara di sekelilingku terasa semakin dingin, dan rasa nyeri di dadaku semakin kuat.

Aku menatap orang berjubah di depanku. Mata emasnya bersinar samar di balik bayangan tudungnya. Ada sesuatu dalam tatapannya yang terasa aneh—bukan sekadar ancaman, tapi juga keakraban.

“Sudah saatnya kau pulang,” suaranya terdengar datar, seolah ini bukan permintaan, melainkan keputusan yang tak bisa ditolak.

Hatiku berdegup kencang.

“Tidak,” Ezra menggeram.

Aku mengangkat wajah dengan susah payah. Ezra masih berdiri tegak, meskipun tubuhnya dikelilingi bayangan yang berusaha menghambatnya. Pedangnya bersinar samar, namun setiap kali dia menebas bayangan-bayangan itu, mereka hanya berhamburan sebelum kembali menyatu.

Dia terjebak. Sama seperti aku.

Orang berjubah itu menatap Ezra dengan ekspresi yang tak terbaca. “Sudah cukup, Ezra. Berhentilah melawan takdir.”

Ezra mengepalkan tangannya lebih erat. “Takdir macam apa yang membuatnya harus menghilang setiap kali dia mulai mengingat?”

Orang itu diam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Takdir yang menjaga keseimbangan.”

Aku memaksakan diri berbicara meskipun napasku masih tersengal. “Apa maksudmu?”

Orang itu menoleh ke arahku, lalu menjawab, “Kau adalah kesalahan.”

Aku merasakan darahku membeku.

“Apa?” bisikku.

“Kau seharusnya tidak ada di sini,” lanjutnya, suaranya masih tenang, seolah sedang menjelaskan sesuatu yang tak terbantahkan. “Kau sudah mati seribu tahun yang lalu, tetapi sesuatu mengacaukan jalannya waktu dan membawamu kembali. Jika kau tetap ada di sini, keseimbangan dunia akan hancur.”

Aku menggeleng lemah. “Itu… tidak masuk akal.”

“Tapi itu kenyataan.”

Aku merasakan dadaku semakin berat. Pikiranku berputar-putar, mencoba mencari celah logika dalam semua ini, tapi tidak ada yang bisa kupahami.

Jika aku memang seharusnya tidak ada, lalu bagaimana aku bisa ada sekarang?

Aku menoleh ke Ezra, mencari jawaban. Dia masih berdiri tegak, ekspresinya keras.

“Kalau dia memang tidak seharusnya ada, kenapa dia selalu kembali?” Ezra bertanya dengan suara rendah namun penuh ketegasan.

Orang berjubah itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, “Karena kau terus mencarinya.”

Ezra terhenyak.

Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang dalam, menyakitkan, dan penuh penyesalan.

Orang itu melanjutkan, “Setiap kali dia kembali, itu karena kau tidak pernah bisa melepaskannya. Kau menolak takdir yang telah ditentukan, dan karena itulah, dunia terus berusaha menghapusnya lagi dan lagi.”

Jantungku mencelos.

Aku menoleh ke Ezra, menunggu dia membantah. Tapi dia hanya diam.

Dia tidak menyangkalnya.

Hatiku terasa perih. Jika itu benar, berarti aku selalu kembali hanya untuk dihapus lagi. Aku selalu kembali hanya untuk kehilangan semuanya lagi.

Aku menarik napas dalam. “Lalu… bagaimana cara menghentikannya?”

Orang itu menatapku dengan tajam. “Kau harus membuat pilihan.”

Aku menggigit bibir. “Pilihan apa?”

Dia mendekat sedikit, suaranya semakin dalam. “Tetap di sini dan terus mengulang siklus yang sama… atau pergi selamanya, memastikan dunia tetap seimbang.”

Aku membeku.

Itu berarti… jika aku memilih untuk pergi, aku tidak akan pernah kembali lagi.

Aku menatap Ezra.

Jika aku tetap tinggal, dunia akan terus berusaha menghapusku. Aku akan terus kehilangan ingatanku, terus hidup dalam siklus yang tak berujung. Tapi jika aku pergi… aku akan menghilang selamanya.

“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,” suara Ezra bergetar.

Aku menelan ludah. “Tapi, Ezra… jika aku tetap di sini, maka dunia akan terus melawanku.”

Ezra menggenggam pedangnya lebih erat. “Aku tidak peduli. Aku akan melindungimu, seperti yang selalu kulakukan.”

Aku menatapnya lama.

Dia bersungguh-sungguh. Aku bisa melihat itu dari sorot matanya.

Tapi… bagaimana jika kali ini tidak cukup?

Orang berjubah itu mengangkat tangannya, dan aku merasakan sesuatu yang dingin merayap ke tubuhku.

Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku harus memilih.

Aku harus memutuskan…

Tetap tinggal dan bertarung… atau pergi selamanya.

BAB 7 – PILIHAN YANG MENYAKITKAN

Dunia terasa hening.

Udara dingin masih menekan dadaku, mencengkeram setiap helaan napasku dengan ketidakpastian yang menakutkan. Ezra berdiri di sampingku, pedangnya masih terangkat, tapi aku tahu dia tidak bisa melawan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Aku menatap orang berjubah itu. Sorot matanya tetap tenang, menungguku mengambil keputusan.

Tetap tinggal dan melawan… atau pergi dan menghilang selamanya.

Aku menggigit bibirku, mencoba mengabaikan rasa takut yang merayap di benakku. “Kalau aku memilih untuk tetap tinggal?” tanyaku pelan.

Orang berjubah itu tidak langsung menjawab. Seolah dia sedang menilai apakah aku benar-benar ingin mendengar jawabannya atau tidak. Lalu, akhirnya dia berbicara,

“Maka dunia akan terus berusaha menghapusmu.”

Ezra menyela dengan suara penuh amarah. “Dan aku akan terus melindunginya.”

Orang berjubah itu menoleh ke arahnya, sorot matanya dingin. “Seperti yang selalu kau lakukan? Dan lihat bagaimana hasilnya.”

Aku menegang.

Ezra mengepalkan tangannya lebih erat, tapi aku bisa melihat bahwa kata-kata itu melukainya.

Orang berjubah itu melanjutkan, “Setiap kali kau melawan takdir, kau hanya menunda hal yang tidak bisa dihindari. Kau melindunginya, kau mencarinya di setiap kehidupan, dan pada akhirnya, dunia akan selalu menang. Selalu.”

Aku merasakan sesuatu dalam dadaku mencelos.

“Ini bukan pertama kalinya?” tanyaku dengan suara nyaris berbisik.

Orang berjubah itu menatapku, lalu mengangguk. “Bukan. Ini sudah terjadi berkali-kali. Dan setiap kali kau kembali, kau akan selalu berakhir dengan kehilangan segalanya.”

Aku membeku.

Aku menoleh ke Ezra. “Kau tahu ini?”

Dia diam.

Hening yang tercipta terasa lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun.

“Aku hanya…” Ezra menarik napas dalam, suaranya melemah. “Aku hanya ingin kau tetap di sini.”

Hatiku mencelos.

Aku mulai memahami sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik tatapan Ezra.

Dia tidak hanya mencariku. Dia tidak hanya melindungiku.

Dia tak pernah bisa melepaskanku.

Bahkan ketika dunia mencoba memisahkan kami.

Aku merasakan mataku mulai memanas. “Ezra…”

Dia menundukkan kepalanya. “Aku sudah kehilanganmu terlalu banyak.”

Suara Ezra bergetar. Aku belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya.

Aku ingin memeluknya. Ingin mengatakan bahwa aku juga tidak ingin pergi. Tapi…

“Aku lelah,” bisikku.

Ezra mendongak. Matanya membulat.

“Apa?”

Aku menggenggam dadaku yang masih terasa nyeri. “Aku tidak ingin terus mengulang semua ini. Aku tidak ingin terus kembali hanya untuk menghilang lagi.”

Ezra menggeleng cepat. “Jangan katakan itu—”

“Aku harus pergi, Ezra.”

Dia menegang. Seolah kata-kataku baru saja menghancurkan seluruh dunianya.

Aku tahu ini menyakitkan. Aku juga merasakannya.

Tapi jika aku tetap tinggal, aku akan terus mengalami siklus ini. Aku akan selalu dihapus. Aku akan selalu kehilangan diriku sendiri.

Dan Ezra akan terus menyaksikan itu terjadi, lagi dan lagi.

Aku tidak bisa membiarkannya hidup dalam penderitaan itu lebih lama.

Air mata mulai menggenang di sudut mataku. Aku menggigit bibirku, lalu menatap orang berjubah itu. “Kalau aku memilih pergi… apakah ini benar-benar terakhir kalinya?”

Dia mengangguk. “Kau tidak akan pernah kembali lagi. Tidak akan ada lagi ingatan, tidak ada lagi jejak keberadaanmu. Dunia akan melupakanmu, dan keseimbangan akan kembali.”

Aku menarik napas dalam.

Aku berbalik ke arah Ezra.

Dia menatapku dengan mata penuh kepedihan, matanya memohon agar aku berubah pikiran. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak boleh.

Aku mengulurkan tanganku, menyentuh pipinya dengan lembut. “Aku mencintaimu,” bisikku.

Air mata Ezra jatuh. “Jangan lakukan ini…”

Aku tersenyum kecil, meskipun hatiku hancur. “Jika aku tetap tinggal, aku akan terus kehilanganmu. Tapi jika aku pergi, setidaknya aku tahu kau bisa hidup tanpa harus terus memperjuangkan sesuatu yang mustahil.”

Ezra menggenggam tanganku erat. “Aku tidak mau hidup tanpamu.”

Aku tersenyum lirih. “Tapi kau harus.”

Ezra menarik napas tajam, seolah kata-kataku baru saja menghempaskannya ke dalam jurang keputusasaan.

Aku menoleh ke orang berjubah itu. “Aku siap.”

Dia mengangkat tangannya perlahan. Cahaya putih mulai mengelilingiku. Aku bisa merasakan tubuhku mulai terasa ringan, seolah aku sedang dilepaskan dari beban yang selama ini menahanku.

Ezra berusaha menggapai tanganku lagi, tapi jari-jarinya hanya menyentuh udara kosong.

“Aku mencintaimu,” bisiknya sekali lagi, suaranya penuh luka.

Aku tersenyum melalui air mataku.

“Lupakan aku,” bisikku sebelum semuanya berubah menjadi cahaya.

Aku merasakan tubuhku menghilang, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku… aku merasa bebas.

BAB 8 – PENGORBANAN TERAKHIR

Cahaya menyelimutiku, menghangatkan tubuhku dengan sensasi yang aneh—bukan kehangatan yang menenangkan, melainkan kehangatan yang perlahan menghapusku.

Aku bisa merasakan segalanya mulai memudar.

Suaraku. Ingatanku. Diriku.

Tapi yang paling menyakitkan bukanlah proses menghilang itu sendiri.

Melainkan melihat Ezra, berdiri di sana, tak berdaya.

Aku masih bisa melihat wajahnya di antara cahaya yang semakin terang, matanya yang merah dan penuh luka, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia tidak bisa.

Dia hanya bisa menyaksikan aku pergi.

Dan aku tahu, itu adalah siksaan terbesar baginya.

Tapi ini yang harus kulakukan. Aku harus pergi.

Jika aku tetap tinggal, dunia akan terus berusaha menghapusku, terus membuat Ezra mengulang siklus ini—melindungiku, mencariku, hanya untuk kehilanganku lagi. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Aku tidak ingin dia terus menderita.

Air mata mengalir di pipiku saat aku merasakan tubuhku semakin ringan. Aku ingin memejamkan mata, menerima takdirku dengan lapang dada, tapi sebelum aku benar-benar menghilang, suara Ezra mengguncang dunia di sekitarku.

“TIDAK!”

Tiba-tiba, sesuatu menahanku.

Cahaya yang menyelimutiku mulai retak, seolah ada kekuatan besar yang mencoba menarikku kembali.

Aku tersentak. Apa yang terjadi?

Aku menoleh ke Ezra—dan saat itulah aku melihatnya.

Tangannya terangkat, telapak tangannya terbuka, dan di sekelilingnya, angin berputar dengan liar. Matanya menyala dengan cahaya biru keperakan, penuh amarah dan tekad.

Dia sedang melawan takdir.

“Apa yang kau lakukan?!” suara orang berjubah itu terdengar tajam, terdengar untuk pertama kalinya memiliki emosi.

Ezra tidak mengalihkan pandangannya dariku. Dia hanya menggeram, menolak melepaskanku.

Aku menatapnya dengan mata membesar. “Ezra… tidak! Kau tidak bisa—”

“Aku tidak peduli!” dia membalas dengan suara yang hampir pecah. “Aku tidak peduli dengan dunia! Aku tidak peduli dengan keseimbangan! Aku hanya ingin kamu!

Aku tercekat.

Sesuatu di dalam diriku bergetar hebat.

Orang berjubah itu melangkah maju, tangannya terangkat seolah ingin menghentikan Ezra, tapi sesuatu membuatnya terdiam.

Dia menatap Ezra dengan mata yang penuh kejutan—seolah dia baru saja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.

“Mustahil…” gumamnya.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi tubuhku yang sebelumnya mulai memudar kini perlahan kembali padat. Cahaya yang menyelimutiku meredup, dan aku tidak lagi menghilang.

Ezra berhasil menarikku kembali.

Orang berjubah itu menggelengkan kepala, ekspresinya berubah menjadi sesuatu yang sulit diartikan. “Kau… mengubah jalannya takdir.”

Ezra terengah-engah, tapi matanya tetap terfokus padaku. “Aku tidak peduli dengan takdir,” katanya lirih. “Jika dunia menolak keberadaannya, maka aku akan melawan dunia.”

Aku merasakan hatiku mencelos.

“Ezra…”

Orang berjubah itu menatap Ezra lama, sebelum akhirnya mendesah dalam. Dia menundukkan kepalanya, seolah menyadari bahwa semua ini di luar kendalinya sekarang.

“Kau bodoh,” katanya dengan nada yang nyaris terdengar kasihan. “Kau sudah menulis ulang garis waktu. Dunia tidak akan pernah sama lagi.”

Ezra menggenggam tanganku erat. “Asalkan dia tetap di sini, aku tidak peduli.”

Aku terdiam, masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

Aku seharusnya menghilang. Tapi Ezra menolaknya.

Dia mengubah takdir itu.

Dan sekarang… aku masih di sini.

Aku masih ada.

Aku menatap Ezra dengan mata berkaca-kaca, terlalu banyak emosi yang membanjiri dadaku. Aku ingin marah karena dia mengambil risiko sebesar ini. Aku ingin berterima kasih karena dia tidak menyerah. Aku ingin menangis karena aku tahu…

Dunia tidak akan membiarkan ini begitu saja.

Orang berjubah itu akhirnya menatap kami dengan tatapan terakhir yang sulit diartikan. “Kalian telah menantang sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kalian pahami.”

Dia berbalik, dan dalam sekejap, dia menghilang bersama bayangan-bayangannya.

Hening.

Aku menghela napas berat, lalu berbalik ke Ezra, hatiku masih berdebar keras.

“Ezra…” Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi dia hanya tersenyum kecil, tangannya masih menggenggam tanganku erat.

“Kali ini,” katanya pelan, “Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi.”

Aku menggeleng, setetes air mata jatuh di pipiku. “Kau tahu apa artinya ini, kan?”

Ezra menatapku.

“Dunia tidak akan diam saja,” lanjutku. “Kita baru saja menentang takdir.”

Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata dengan penuh keyakinan.

“Maka kita akan melawannya.”

Aku menatapnya lama.

Lalu, aku tersenyum.

“Kalau begitu, kita lawan bersama.”

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku—atau mungkin dalam banyak kehidupan sebelum ini—aku tidak merasa takut lagi.

Aku merasa hidup.

BAB 9 – DUNIA YANG MELAWAN KITA

Aku masih bisa merasakan genggaman tangan Ezra yang hangat di telapak tanganku. Tapi ada sesuatu yang berubah.

Udara di sekeliling kami menjadi berat, seolah dunia sedang mengamati kami dengan diam yang menakutkan. Hutan yang sebelumnya sunyi kini terasa lebih gelap, lebih dingin.

Seakan dunia menahan napas.

Aku menelan ludah, menoleh ke Ezra yang masih menggenggam tanganku erat. “Ezra…”

Dia menatapku, matanya masih penuh keyakinan. Tapi aku bisa melihatnya—ketegangan di rahangnya, napasnya yang sedikit lebih cepat. Dia tahu sesuatu akan terjadi.

Aku menggigit bibir. “Kita baru saja melakukan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dilakukan, kan?”

Ezra mengangguk pelan. “Ya.”

Aku merasakan tubuhku mulai gemetar. Aku bukan orang yang mengerti tentang dunia, tentang keseimbangan, tentang segala sesuatu yang mereka sebut takdir. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang tidak beres.

Aku menarik napas dalam, mencoba mencari sedikit kejelasan. “Apa yang akan terjadi sekarang?”

Ezra menoleh ke sekeliling, matanya waspada. “Dunia akan bertindak.”

Aku menegang. “Maksudmu…?”

Ezra menghela napas, lalu berbalik menatapku dengan serius. “Selama ini, dunia selalu berusaha menghapusmu setiap kali kau kembali. Tapi kali ini berbeda. Aku telah melawan sistem yang selama ini menjaga keseimbangan.”

Aku menatapnya, merasakan sesuatu mencengkeram hatiku. “Jadi?”

Dia mengepalkan tangannya. “Dunia tidak akan berusaha menghapusmu lagi. Dunia akan menghapus kita.”

Darahku berdesir.

Aku ingin menyangkal, ingin berpikir bahwa mungkin ada jalan keluar lain. Tapi sebelum aku bisa mengatakan apa pun, tanah di bawah kami mulai bergetar.

Aku tersentak, merasakan goncangan yang begitu kuat hingga hampir membuatku terjatuh.

“Apa—”

Ezra menarikku mendekat, tubuhnya langsung bersiap seolah melindungiku. “Mereka datang.”

Sebelum aku bisa bertanya siapa yang datang, langit di atas kami berubah.

Dari siang menjadi kelam dalam sekejap.

Aku mendongak, jantungku serasa berhenti.

Bintang-bintang yang seharusnya bersinar di langit menghilang.

Seolah dunia benar-benar menolak keberadaan kami.

Dan kemudian, dari kegelapan, aku melihat mereka.

Sosok-sosok hitam yang sebelumnya hanya mengintai kini muncul dengan wujud yang lebih nyata. Mereka tidak lagi hanya bayangan—mereka memiliki bentuk yang lebih jelas, lebih besar, lebih menakutkan.

Tapi yang paling mengerikan adalah mata mereka.

Mata merah menyala, seperti bara api yang menyala tanpa henti.

Aku bisa merasakan sesuatu yang dingin merayap di kulitku, seolah mereka tidak hanya melihatku, mereka menilai keberadaanku.

Dan mereka menganggapku tidak seharusnya ada.

Ezra menarik pedangnya, cahayanya kembali bersinar samar dalam kegelapan. “Bersiaplah,” bisiknya.

Aku menelan ludah. “Bisakah kita melawan mereka?”

Ezra tidak langsung menjawab.

Dia menatap makhluk-makhluk itu dengan ekspresi keras, lalu berbisik pelan, “Aku tidak tahu.”

Aku merasakan napasku tercekat. Ezra yang selalu yakin, yang selalu berkata bahwa dia akan melindungiku, kini tidak tahu apakah kita bisa menang atau tidak.

Aku menggenggam tangannya lebih erat. “Kalau begitu… kita hadapi bersama.”

Ezra menoleh padaku, dan untuk sesaat, aku melihat sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang lebih besar dari ketakutan.

Kepastian.

Dia mengangguk pelan.

“Ya,” katanya. “Kita hadapi bersama.”

Dan saat makhluk-makhluk itu mulai bergerak, aku tahu satu hal.

Aku tidak akan lari lagi.

BAB 10 – MELAWAN TAKDIR

Angin berhembus liar, membawa suara bisikan yang terdengar seperti kutukan yang tak berujung. Langit yang gelap semakin pekat, seolah dunia benar-benar menolak keberadaan kami.

Aku menggenggam tangan Ezra erat. Aku bisa merasakan ketegangan di tubuhnya, bisa mendengar napasnya yang berat. Tapi dia tidak menunjukkan rasa takut—hanya tekad yang membara.

Di depan kami, makhluk-makhluk kegelapan mulai bergerak. Mereka bukan lagi sekadar bayangan—mereka memiliki wujud yang lebih nyata, lebih kokoh, lebih mengancam. Mata mereka yang merah menyala tampak seperti obor di dalam kegelapan.

Dan mereka semua mengarah ke kami.

Ezra menarik napas panjang, lalu menoleh ke arahku. “Kau siap?”

Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. “Tidak. Tapi kita tidak punya pilihan, kan?”

Dia tersenyum kecil, meskipun situasinya jauh dari kata baik. “Tidak. Kita tidak punya pilihan.”

Aku mengangguk, menatap makhluk-makhluk itu dengan tekad yang mulai tumbuh dalam dadaku. Aku tidak akan lari. Aku tidak akan menyerah.

Aku memilih untuk tetap ada.

Dan aku memilih Ezra.

Makhluk pertama menyerang.

Ezra bergerak cepat, pedangnya berkilat dalam kegelapan. Dia menebas salah satu makhluk itu, dan untuk sesaat, tubuh makhluk itu terpecah seperti kabut. Tapi kemudian, ia kembali menyatu.

Aku tersentak. “Ezra! Mereka tidak bisa mati!”

Ezra menggeram, menghindari serangan lain dengan cepat. “Aku tahu!”

Aku merasakan sesuatu bergetar di dalam tubuhku. Aku tidak tahu dari mana datangnya perasaan ini, tapi aku bisa merasakan sesuatu dalam diriku berubah.

Aku tidak hanya seseorang yang harus dilindungi. Aku tidak hanya seseorang yang harus menghilang.

Aku memilih untuk tetap ada.

Dan dunia harus menerimanya.

Aku menutup mataku, menarik napas dalam. Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku tahu aku memiliki sesuatu dalam diriku.

Aku mendengar suara bisikan itu lagi. Tapi kali ini, bukan suara yang menakutkan.

“Kau bisa mengubahnya.”

Aku membuka mata.

Dunia bergetar.

Makhluk-makhluk itu berhenti bergerak. Seolah mereka merasakan sesuatu.

Ezra menoleh ke arahku. “Apa yang kau lakukan?”

Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya… tahu.

Aku mengangkat tanganku, dan tiba-tiba cahaya muncul di sekeliling kami. Cahaya yang hangat, yang lembut—tapi juga kuat.

Makhluk-makhluk itu mulai mundur.

Ezra menatapku dengan mata membesar. “Itu…”

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku tahu satu hal.

“Aku bisa melawan mereka.”

Aku melangkah maju, merasakan kekuatan dalam diriku semakin besar. Aku tidak lagi hanya seseorang yang kembali dari masa lalu. Aku tidak lagi hanya seseorang yang tidak seharusnya ada.

Aku adalah seseorang yang memilih untuk tetap hidup.

Dan dunia tidak bisa menghapusku lagi.

Aku menatap makhluk-makhluk itu dan berkata, “Kalian tidak bisa mengambilku lagi.”

Cahaya di sekelilingku semakin terang, dan tiba-tiba, dunia yang gelap mulai retak.

Ezra berlari ke arahku, menggenggam tanganku erat. “Kau mengubah sesuatu lagi.”

Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil. “Aku tidak peduli.”

Dan saat cahaya menyelimuti segalanya, aku tahu satu hal yang pasti.

Aku tidak akan menghilang lagi.


EPILOG – TAKDIR BARU

Aku membuka mata.

Aku masih di sini.

Langit sudah kembali biru, matahari bersinar hangat di atas kepala. Aku bisa merasakan tanah di bawah kakiku, bisa merasakan angin yang berhembus lembut di kulitku.

Aku masih ada.

Aku menoleh ke samping, dan di sana, Ezra berdiri. Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran antara kelegaan, keterkejutan, dan kebahagiaan.

“Kita menang,” bisikku.

Ezra tersenyum, lalu mengangguk. “Ya. Kita menang.”

Aku tidak tahu bagaimana. Aku tidak tahu apakah dunia akhirnya menerima keberadaanku, atau jika aku telah menulis ulang sesuatu dalam takdir.

Tapi satu hal yang pasti.

Aku tidak akan pernah hilang lagi.

Dan Ezra, dia tidak akan pernah harus mencari dan kehilangan aku lagi.

Aku menggenggam tangannya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar hidup.

Takdir tidak bisa lagi menentukan akhir untuk kami.

Kami akan menulis kisah kami sendiri.

(TAMAT.)

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *