Adriel, seorang sejarawan dan kolektor artefak kuno, telah hidup lebih dari tiga abad akibat kutukan yang tak bisa ia hindari. Setiap orang yang ia cintai selalu mati lebih cepat dari yang seharusnya, sehingga memilih untuk hidup dalam kesepian. Namun, segalanya berubah ketika ia bertemu dengan Liana, seorang pelukis berbakat yang tanpa alasan jelas tidak terpengaruh oleh kutukan tersebut.
Ketika Liana mulai menggali masa lalunya, mereka menemukan bahwa hidup mereka telah terikat dalam siklus yang tak berujung. Rahasia kelam tentang kutukan Adriel terungkap, membawa mereka ke pilihan yang paling menyakitkan—salah satu dari mereka harus menghilang selamanya agar kutukan itu berakhir.
Dalam perjalanan mencari jawaban, mereka menghadapi takdir yang terus mempermainkan mereka. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan kutukan yang telah menghancurkan banyak kehidupan? Atau apakah mereka hanya bidak dalam permainan yang lebih besar dari yang mereka sadari?
Sebuah kisah tentang cinta, kehilangan, dan keabadian yang menyakitkan, di mana setiap keputusan membawa konsekuensi yang tidak terduga.
Bab 1: Kutukan yang Tak Berujung
Hujan turun dengan derasnya malam itu. Rintiknya mengetuk jendela sebuah apartemen tua di sudut kota, seolah mengingatkan Adriel bahwa waktu tak pernah berhenti berjalan—kecuali baginya.
Di dalam ruangan remang-remang, ia duduk di kursi kayu yang sudah mulai rapuh, menatap pantulan dirinya di cermin usang di seberang ruangan. Wajahnya masih sama seperti seratus tahun lalu, tak berubah sedikit pun. Tidak ada kerutan, tidak ada tanda-tanda penuaan. Rambut hitamnya tetap tebal, matanya tetap tajam dan dingin, seakan waktu tak mampu meninggalkan jejak di tubuhnya.
Namun, dalam batinnya, waktu telah menggerogoti segalanya.
Sudah lebih dari tiga abad ia hidup, menjalani kutukan yang tak berujung. Setiap orang yang ia cintai, setiap orang yang berani mendekatinya dengan kasih sayang, akan menemui ajal lebih cepat dari seharusnya. Ia sudah mencobanya berkali-kali, berusaha melawan takdir, mencoba membuktikan bahwa ia bisa mencintai tanpa kehilangan. Tapi akhirnya, ia selalu kalah.
Dulu, di abad ke-18, ia pernah jatuh cinta pada seorang wanita bernama Isabella. Wanita itu adalah segalanya bagi Adriel—lembut, cerdas, dan penuh semangat. Ia percaya mungkin Isabella bisa menjadi pengecualian, mungkin kutukan ini tak akan menyentuhnya. Tapi hanya dalam hitungan bulan setelah mereka mengikrarkan cinta, Isabella jatuh sakit secara misterius dan meninggal dalam tidur. Dokter tak bisa menemukan penyebabnya, dan Adriel harus menyaksikan kehidupan wanita yang ia cintai meredup tanpa alasan yang jelas.
Setelah itu, ia bersumpah untuk tak lagi mencintai siapa pun.
Tapi hidup dalam kesendirian bukan hal yang mudah. Berabad-abad berlalu, ia berpindah dari satu kota ke kota lain, dari satu identitas ke identitas lain, mencoba tetap tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, perang meletus, teknologi berkembang, dan manusia berubah. Namun dirinya tetap sama—terjebak di dalam tubuh yang tak bisa mati, dalam kehidupan yang tak bisa ia akhiri.
Malam itu, di apartemen kecilnya, Adriel menyesap kopi hitam yang sudah dingin. Ia tak meminumnya untuk menikmati rasa, karena sejak lama ia sudah kehilangan kenikmatan akan hal-hal kecil seperti itu. Ia hanya butuh sesuatu untuk mengingatkan dirinya bahwa ia masih ada—bahwa ia masih manusia, meski hanya dalam bentuk fisik.
Tiba-tiba, suara petir menggelegar di luar, mengguncang jendela kaca yang hampir pecah. Di saat yang sama, ponselnya bergetar di meja. Adriel menatap layar tanpa minat, tapi kemudian keningnya berkerut.
Pesan masuk dari seorang kenalannya, seorang kolektor barang antik yang sering membantunya mencari benda-benda dari masa lalu.
“Aku menemukan sesuatu yang mungkin kau cari. Lukisan tua, berasal dari abad ke-18. Wajah di dalamnya… mirip sekali denganmu.”
Adriel terdiam. Ini bukan pertama kalinya ia menemukan potret dirinya dalam sejarah, tapi kali ini ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ia mengetik balasan cepat.
“Di mana aku bisa melihatnya?”
“Galeri seniman di pusat kota. Aku sudah mengatur janji untukmu besok malam. Pemiliknya orang yang aneh, tapi kau harus melihatnya sendiri.”
Adriel meletakkan ponsel dan menghela napas panjang. Perasaan aneh menyelinap di dadanya, sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan—kegelisahan.
Ia bangkit, melangkah ke jendela dan menatap hujan yang masih turun deras.
Lukisan itu bisa menjadi petunjuk, atau bisa jadi hanya kebetulan. Tapi satu hal yang pasti, Adriel tak bisa mengabaikannya.
Dan di suatu tempat dalam hatinya yang hampir membatu, ada firasat bahwa sesuatu akan berubah.
Ia hanya belum tahu apakah itu akan menjadi awal dari kebebasannya—atau awal dari hukuman yang lebih besar.
Bab 2: Wanita yang Berbeda
Malam itu, hujan sudah reda ketika Adriel melangkah keluar dari apartemennya. Udara dingin menggigit kulit, tapi ia nyaris tak merasakannya. Tubuhnya sudah terlalu terbiasa dengan segala cuaca, terlalu terbiasa dengan dunia yang terus berubah sementara dirinya tetap sama.
Ia berjalan menyusuri trotoar kota yang dipenuhi lampu-lampu redup. Bangunan tua berjejer di kedua sisi jalan, beberapa di antaranya sudah direnovasi menjadi kafe atau butik modern. Namun, ada satu bangunan yang tetap mempertahankan kesan kuno—galeri seni yang disebutkan dalam pesan tadi malam.
Begitu ia mendorong pintu kaca dan melangkah masuk, aroma cat minyak dan kayu tua langsung menyambutnya. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung klasik menciptakan suasana yang hangat, namun tetap menyisakan nuansa misterius.
Di dinding-dinding ruangan, terpajang berbagai lukisan dengan gaya yang berbeda-beda. Beberapa menggambarkan lanskap kota yang sepi, beberapa lainnya adalah potret manusia dengan ekspresi yang sulit diartikan. Namun, Adriel tak tertarik pada lukisan-lukisan itu. Ia mencari sesuatu yang lain.
“Anda tamu yang dijadwalkan?”
Suara seorang wanita memecah keheningan. Adriel menoleh dan mendapati seorang wanita berdiri di dekatnya. Ia tidak terlalu tinggi, dengan rambut hitam panjang yang terikat longgar di belakang. Matanya tajam, seakan bisa membaca pikiran siapa pun yang berdiri di hadapannya.
“Ya,” jawab Adriel singkat.
Wanita itu menatapnya sejenak, lalu memberi isyarat agar ia mengikutinya ke ruangan lain di dalam galeri. Langkah kakinya ringan, tapi ada sesuatu dalam cara ia berjalan yang membuat Adriel memperhatikannya lebih lama dari seharusnya.
Ketika mereka sampai di ruangan yang lebih kecil, wanita itu berhenti di depan sebuah lukisan besar yang tertutup kain putih. Dengan satu tarikan lembut, ia membuka kain itu, memperlihatkan isi lukisan tersebut.
Adriel terpaku.
Di atas kanvas, terlukis sosok seorang pria berjas hitam dengan ekspresi yang dingin dan mata yang tajam. Wajah itu… adalah wajahnya. Tidak ada keraguan sedikit pun. Garis rahangnya, bentuk hidungnya, bahkan sorot matanya sama persis.
Ia sudah melihat banyak potret dirinya dalam berbagai zaman, tapi yang satu ini berbeda. Ada sesuatu dalam lukisan ini yang membuat jantungnya berdebar—sebuah sensasi yang hampir ia lupakan sejak lama.
“Siapa yang melukis ini?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.
Wanita di sebelahnya tersenyum kecil. “Aku.”
Adriel menoleh cepat. Wanita itu masih menatapnya, ekspresinya sulit ditebak.
“Kau pasti bercanda,” ucapnya, setengah berharap wanita itu akan tertawa dan mengatakan bahwa ia hanya membeli lukisan itu dari seseorang.
“Tidak.”
“Bagaimana mungkin?”
Wanita itu menghela napas pelan, lalu menyandarkan diri pada dinding. “Aku tidak tahu. Aku hanya… melukisnya. Wajah ini muncul dalam pikiranku, dan aku merasa harus menuangkannya ke kanvas. Seakan aku mengenalnya, tapi aku tidak tahu dari mana.”
Adriel tak bisa berkata-kata.
Ia pernah mengalami banyak hal aneh dalam hidupnya, tapi yang satu ini terasa lebih dari sekadar kebetulan. Wanita ini, tanpa pernah bertemu dengannya sebelumnya, telah melukis wajahnya dengan begitu detail.
“Apa kau percaya pada reinkarnasi?” tanya wanita itu tiba-tiba.
Adriel masih memandangi lukisan itu. “Aku percaya pada hal-hal yang lebih buruk.”
Wanita itu terkekeh. “Jawaban yang menarik.”
Adriel berusaha mengalihkan pikirannya dari semua pertanyaan yang muncul di kepalanya. “Siapa namamu?”
Wanita itu menatapnya sejenak sebelum menjawab.
“Liana.”
Ada sesuatu dalam cara ia mengucapkan namanya sendiri yang membuat Adriel merasa deja vu. Seolah nama itu sudah pernah ia dengar di masa lalu, meskipun ia yakin belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.
Pertemuan ini bukan kebetulan. Ia tahu itu. Tapi apa artinya?
Dan kenapa, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa bahwa mungkin ada sesuatu yang bisa mengubah hidupnya?
Bab 3: Kembali ke Masa Lalu
Adriel tidak bisa berhenti memikirkan lukisan itu. Wajahnya yang terpahat di atas kanvas, dilukis oleh seorang wanita yang bahkan tidak mengenalnya, terasa seperti sebuah petunjuk yang tak bisa diabaikan. Ia telah menjalani kehidupan yang panjang, bertemu dengan banyak orang, tetapi tidak pernah ada seseorang seperti Liana—seseorang yang bisa melihatnya, benar-benar melihatnya, tanpa ia harus mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya.
Malam itu, ia duduk di apartemennya dengan secangkir kopi yang sudah dingin, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme yang tak beraturan. Bayangan Liana terus terlintas di pikirannya. Senyumnya, cara ia berbicara, bahkan caranya menatapnya dengan sorot mata yang seakan menyimpan rahasia.
Adriel mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari laci meja. Kotak itu sudah usang, penuh goresan waktu, tetapi isinya masih sama sejak pertama kali ia menyimpannya. Ia membuka penutupnya dengan perlahan, dan di dalamnya tersimpan lembaran-lembaran surat tua, beberapa foto yang sudah mulai pudar, dan sebuah liontin perak yang sudah berusia ratusan tahun.
Di antara semua benda itu, ada satu yang menarik perhatiannya—sebuah sketsa lama yang ia buat sendiri berabad-abad lalu. Sketsa seorang wanita.
Dan wanita itu… adalah Liana.
Darahnya berdesir. Ia mengingat saat pertama kali membuat sketsa itu, di suatu malam yang dingin di tahun 1700-an. Wanita dalam sketsanya adalah seseorang yang pernah ia temui sekilas, seseorang yang hanya bertahan di ingatannya selama beberapa saat sebelum menghilang seperti bayangan di antara kabut. Saat itu, ia tidak tahu mengapa wajah wanita itu begitu mengganggunya.
Dan sekarang, berabad-abad kemudian, ia bertemu dengan wanita yang sama.
Ini tidak mungkin hanya kebetulan.
Adriel menyadari bahwa ia harus mencari tahu lebih banyak tentang Liana. Ia butuh jawaban. Bagaimana mungkin seseorang dari abad ke-18 bisa muncul kembali di abad ini? Apa Liana adalah reinkarnasi dari wanita di masa lalunya? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar dari itu?
Ia meraih ponselnya, mencari nomor yang sudah lama tidak ia hubungi. Saat nada sambung berbunyi, seseorang di ujung telepon menjawab dengan suara berat dan malas.
“Aku sudah bilang, aku tidak mau diganggu kecuali ini benar-benar darurat.”
“Ini darurat, Darius,” kata Adriel cepat.
Di seberang telepon, pria itu menghela napas panjang. “Baiklah, katakan. Apa yang membuat seorang Adriel, si pria abadi, akhirnya menghubungiku setelah sekian lama?”
“Aku menemukan seseorang,” kata Adriel, suaranya sedikit bergetar. “Dan dia seharusnya tidak ada di sini.”
Terdengar keheningan sejenak sebelum Darius berkata, “Kau harus menjelaskan itu lebih rinci.”
Adriel menggenggam liontin perak di tangannya erat-erat. “Dia melukis wajahku, Darius. Wajahku yang tidak berubah selama berabad-abad. Dan yang lebih gila lagi… aku pernah menggambar wajahnya, ratusan tahun yang lalu.”
Darius tertawa kecil, tetapi ada nada penasaran di suaranya. “Itu menarik. Kau ingin aku menyelidikinya?”
“Aku butuh semua informasi yang bisa kau dapatkan tentangnya. Dari kehidupan masa lalu hingga yang sekarang,” kata Adriel serius.
“Baiklah,” jawab Darius. “Tapi kau tahu, jika ini bukan kebetulan, maka mungkin ini juga bukan keajaiban. Bisa saja ini justru jebakan.”
Adriel menatap sketsa di tangannya, merasa ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kebetulan atau jebakan.
“Aku harus tahu kebenarannya,” katanya lirih.
Darius hanya mendengus. “Baiklah, bersiaplah. Kau mungkin tidak akan menyukai jawaban yang akan kau temukan.”
Telepon terputus, dan Adriel kembali menatap lukisan Liana dalam pikirannya.
Siap atau tidak, ia akan menggali masa lalunya yang telah lama ia coba lupakan.
Dan ia hanya bisa berharap bahwa kali ini, jawabannya tidak akan membawa lebih banyak kutukan.
Bab 4: Rantai Takdir yang Terputus
Adriel tidak bisa lagi menghindari perasaan aneh yang muncul sejak pertemuannya dengan Liana. Setiap pergerakan wanita itu, setiap kata yang ia ucapkan, seolah sudah pernah terjadi sebelumnya—seakan takdir tengah memainkan sebuah lelucon kejam dengan mengulang sesuatu yang telah lama ia lupakan.
Malam itu, ia memutuskan untuk kembali ke galeri seni. Ia perlu bicara dengan Liana. Ia perlu memastikan bahwa ia tidak hanya berhalusinasi.
Saat ia tiba, galeri sudah hampir tutup. Lampu-lampu dalam ruangan redup, hanya menyisakan beberapa sorot cahaya yang menerangi lukisan-lukisan di dinding. Liana sedang berdiri di tengah ruangan, menatap lukisan yang ia buat sendiri. Lukisan Adriel.
“Kau datang lagi,” katanya tanpa menoleh.
Adriel melangkah mendekat, mengamati bagaimana cahaya lampu memantulkan warna-warna di rambut hitam Liana. “Aku ingin bertanya sesuatu,” ucapnya.
Liana akhirnya menoleh, sorot matanya tampak tajam namun lembut di saat yang bersamaan. “Tentang apa?”
Adriel menatapnya dalam. “Kau bilang kau tidak tahu mengapa kau melukis wajahku. Tapi apakah kau benar-benar yakin?”
Liana terdiam sejenak. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya,” katanya pelan. “Terkadang aku merasa… aku sudah mengenalmu sejak lama. Seolah aku sudah pernah melihatmu, meskipun aku tahu itu mustahil.”
Adriel merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Ia mencoba membaca ekspresi Liana, mencari kepastian bahwa wanita ini tidak sedang berbohong atau bermain-main dengannya.
“Apa kau pernah mengalami deja vu?” tanya Adriel.
Liana tersenyum tipis. “Bukan hanya deja vu. Lebih dari itu. Aku merasa seakan… aku pernah hidup sebelumnya.”
Adriel menghela napas dalam. Semua yang dikatakan Liana semakin menguatkan kecurigaannya bahwa ia memang bukan orang biasa.
“Kau percaya pada kehidupan masa lalu?” tanyanya lagi.
Liana menatapnya dengan ekspresi ragu. “Aku tidak tahu apakah itu nyata atau hanya imajinasi. Tapi ada saat-saat tertentu ketika aku bermimpi tentang tempat-tempat yang tidak pernah kudatangi, orang-orang yang tidak kukenal… tapi terasa sangat nyata.”
Adriel merasakan tubuhnya menegang.
“Seperti apa mimpimu?” desaknya.
Liana menatapnya seolah ragu untuk menjawab. Namun, akhirnya ia berkata, “Aku melihat seorang pria dengan jas hitam. Wajahnya tidak pernah berubah, tapi waktu di sekitarnya terus berlalu. Aku melihatnya di berbagai zaman… dan setiap kali aku mencoba mendekatinya, sesuatu selalu menarikku kembali.”
Darah Adriel berdesir.
“Liana…”
Liana menelan ludah, lalu bertanya dengan suara pelan, “Siapa kau sebenarnya?”
Adriel tidak langsung menjawab. Ia tahu ini adalah saatnya untuk mengungkapkan kebenaran, tetapi ia juga tahu bahwa begitu ia mengatakannya, segalanya akan berubah.
Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berkata, “Aku telah hidup selama lebih dari tiga ratus tahun.”
Liana menatapnya tanpa berkedip, seolah mencoba menangkap kebohongan di wajahnya. Tapi Adriel tidak menunjukkan tanda-tanda keraguan.
“Aku dikutuk,” lanjutnya. “Setiap orang yang aku cintai akan mati lebih cepat dari seharusnya. Aku mencoba melawan takdir, tapi kutukan ini tidak bisa dihindari. Itu sebabnya aku selalu sendirian.”
Liana masih diam, tapi Adriel bisa melihat ekspresi keterkejutan di wajahnya.
“Aku pikir tidak ada yang bisa mengubahnya,” kata Adriel lagi. “Tapi kau… kau berbeda. Kau tidak mati. Kau tidak terpengaruh oleh kutukanku. Dan aku ingin tahu kenapa.”
Liana menghela napas panjang, lalu melangkah mundur sedikit. “Jadi… kau pikir aku adalah bagian dari kutukanmu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Adriel jujur. “Tapi aku akan mencari tahu.”
Liana menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Mungkin… aku juga perlu mencari tahu siapa diriku sebenarnya.”
Untuk pertama kalinya dalam tiga abad, Adriel merasa ada secercah harapan.
Mungkin takdir akhirnya memberikan jawaban yang selama ini ia cari.
Atau mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih berbahaya.
Bab 5: Rahasia Tersembunyi
Liana tidak bisa tidur malam itu. Kata-kata Adriel terus terngiang di kepalanya. Aku telah hidup selama lebih dari tiga ratus tahun.
Itu mustahil. Tidak ada manusia yang bisa hidup selama itu. Namun, di dalam hatinya, ia tahu Adriel tidak berbohong.
Ia memandangi langit-langit kamarnya, jantungnya masih berdegup kencang. Kenapa ia tidak takut? Kenapa ia tidak merasa ingin menjauh? Sebaliknya, rasa penasaran semakin besar. Jika Adriel memang telah hidup selama berabad-abad, itu berarti ia bukan manusia biasa. Dan jika benar seperti yang dikatakannya, bahwa setiap orang yang ia cintai akan mati lebih cepat… kenapa Liana masih hidup?
Pagi harinya, Liana memutuskan untuk mencari jawaban sendiri. Ia kembali ke galeri, masuk ke ruangan penyimpanan tempat ia menyimpan beberapa sketsa lama yang belum pernah dipamerkan. Tumpukan kertas dan buku tua berserakan di atas meja kayu.
Tangannya terhenti pada satu sketsa—sesuatu yang pernah ia gambar bertahun-tahun lalu. Itu bukan hanya sketsa Adriel. Itu adalah gambaran seseorang yang berdiri di sampingnya. Seorang wanita.
Dan wanita itu… dirinya sendiri.
Liana terengah. Ia bahkan tidak ingat kapan pertama kali menggambar ini, tetapi ia merasa seakan sudah mengetahuinya sejak lama. Jari-jarinya menyusuri garis-garis pensil di atas kertas, memandangi bagaimana sosok dalam sketsa itu berdiri di samping Adriel, seolah mereka memang ditakdirkan untuk bersama.
Atau… terjebak bersama?
Ia menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. Ini hanya kebetulan. Atau mungkin sekadar imajinasinya. Tapi kenapa hatinya menolak untuk percaya bahwa ini semua hanya kebetulan?
Liana tahu ia harus mencari tahu lebih banyak.
Dan satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban adalah Adriel.
Malam itu, mereka bertemu lagi.
Adriel menunggunya di kafe kecil yang tidak terlalu ramai. Ia duduk di pojok ruangan, menyesap kopi tanpa ekspresi. Saat Liana masuk, tatapan mereka langsung bertemu.
“Kau datang,” kata Adriel tanpa nada terkejut.
“Aku punya pertanyaan,” ujar Liana, tanpa basa-basi.
Adriel menghela napas. “Aku sudah menduganya.”
Liana duduk di hadapannya dan mengeluarkan sketsa yang ia temukan tadi. Ia meletakkannya di atas meja, memperlihatkannya pada Adriel. “Aku menggambar ini bertahun-tahun lalu. Aku bahkan tidak tahu kenapa. Tapi lihat baik-baik, Adriel.”
Adriel menatap sketsa itu lama. Matanya membelalak sedikit saat melihat sosok wanita di sampingnya. Ia mengangkat pandangannya ke arah Liana.
“Apa kau ingat sesuatu?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Liana menggigit bibirnya. “Tidak. Itu yang membuatku frustasi. Aku merasa aku seharusnya tahu sesuatu, tapi aku tidak bisa mengingatnya.”
Adriel bersandar ke kursinya, mengusap wajahnya dengan tangan. “Ini bukan kebetulan. Ini lebih dari itu.”
Liana menatapnya, mencoba membaca pikirannya. “Apa maksudmu?”
Adriel menatapnya kembali, dalam, seolah ia berusaha menghubungkan potongan-potongan ingatan yang selama ini terkubur.
“Liana, aku pernah kehilangan seseorang di masa lalu,” katanya pelan. “Seseorang yang sangat aku cintai.”
Jantung Liana berdetak lebih cepat.
“Dia meninggal karena kutukan ini,” lanjut Adriel. “Dan anehnya… wajahnya mirip denganmu.”
Dunia Liana seakan berhenti.
Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya.
“Jika kau adalah reinkarnasinya,” kata Adriel dengan suara serak, “itu berarti kau seharusnya tidak ada di sini. Karena semua orang yang aku cintai… selalu mati.”
Liana menggenggam lututnya di bawah meja, mencoba meredakan getaran di tangannya.
“Kalau aku memang orang yang sama,” katanya pelan, “kenapa aku tidak mati?”
Adriel menatapnya dalam, lalu menggeleng. “Itu yang belum kutemukan jawabannya.”
Mereka terdiam cukup lama.
Liana akhirnya menghembuskan napas panjang. “Aku ingin mencari tahu.”
Adriel menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Kau mungkin tidak akan menyukai jawaban yang kau temukan.”
“Aku tidak peduli,” kata Liana mantap. “Jika ini tentang siapa diriku sebenarnya… aku harus tahu.”
Adriel menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk.
“Baiklah,” katanya. “Kita akan mencari tahu bersama.”
Dan saat itu juga, Liana tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Bab 6: Kegelapan yang Mengintai
Liana tidak tahu bagaimana hidupnya bisa berubah begitu cepat. Kemarin ia hanyalah seorang seniman biasa, menjalani hari-hari dengan melukis dan menjual karyanya di galeri kecil. Namun sekarang, ia terjebak dalam misteri yang bahkan tak pernah ia bayangkan—tentang kehidupan masa lalu, kutukan abadi, dan seorang pria yang mungkin telah dikenalnya jauh sebelum ia lahir.
Malam itu, ia dan Adriel duduk di apartemen pria itu, membolak-balik buku-buku tua yang entah dari mana asalnya. Liana tak pernah melihat buku-buku setua ini sebelumnya, beberapa bahkan tampak seperti akan hancur jika disentuh terlalu keras.
“Jadi… kau benar-benar berpikir aku ini reinkarnasi seseorang yang pernah kau cintai?” tanya Liana, memecah kesunyian.
Adriel mengangkat wajahnya dari buku yang sedang ia baca. Tatapannya tajam, tapi ada sedikit kebingungan di sana. “Aku tidak tahu pasti. Tapi ada terlalu banyak kebetulan. Lukisanmu, sketsa itu, dan fakta bahwa kau masih hidup meskipun berada di dekatku.”
Liana menggigit bibirnya. “Mungkin ini bukan kebetulan. Mungkin aku memang bagian dari ini semua, tapi aku tidak tahu bagaimana atau kenapa.”
Adriel menutup bukunya dengan frustrasi. “Itulah yang kita coba cari tahu.”
Saat itu, suara ketukan keras terdengar dari pintu apartemen.
Adriel langsung berdiri. Wajahnya berubah waspada, seperti seseorang yang tahu bahwa bahaya sedang mengintai. Liana ikut berdiri, jantungnya berdebar tak karuan.
“Siapa itu?” bisiknya.
Adriel tidak menjawab. Ia hanya mendekati pintu dengan langkah hati-hati, lalu membuka sedikit celah untuk melihat siapa yang datang.
Sekejap kemudian, ia langsung menutupnya kembali dengan cepat.
“Kita harus keluar dari sini,” katanya tegas.
Liana membelalak. “Apa? Kenapa?”
Adriel menatapnya dengan ekspresi yang tak pernah ia lihat sebelumnya—takut. “Dia menemukanku.”
“Siapa?”
Sebelum Adriel bisa menjawab, pintu tiba-tiba terbuka dengan paksa. Seorang pria bertubuh tinggi dan berpakaian serba hitam berdiri di ambang pintu. Matanya gelap seperti malam tanpa bintang, penuh dengan kekuatan yang tak kasat mata.
“Sudah lama sekali, Adriel,” katanya dengan suara yang terdengar dalam dan mengancam.
Adriel menggertakkan giginya. “Darius.”
Liana menatap mereka berdua dengan kebingungan. “Kalian saling kenal?”
Darius menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang dingin. “Oh, tentu saja. Aku mengenal Adriel lebih lama dari yang bisa kau bayangkan.”
Adriel menarik Liana ke belakangnya, melindunginya dari pria itu. “Apa yang kau inginkan?”
Darius menyandarkan dirinya ke pintu, seolah tak tergesa-gesa. “Aku datang untuk memperingatkanmu.”
Adriel mendengus. “Peringatan macam apa?”
Darius menatap Liana. “Gadis ini. Kau pikir dia adalah penyelamatmu? Atau mungkin kau mulai berpikir bahwa dia bisa mengubah takdirmu?”
Liana menelan ludah, merasa tidak nyaman dengan cara pria itu menatapnya.
Darius kembali menatap Adriel. “Dia bukan penyelamatmu, Adriel. Dia adalah bagian dari hukumanmu.”
Ruangan itu menjadi lebih dingin seketika.
Adriel menegang. “Apa maksudmu?”
Darius melangkah masuk, tatapannya penuh misteri. “Kau pikir kau dikutuk hanya untuk menderita selamanya? Tidak. Kutukan itu bukan hanya tentang kehilangan orang yang kau cintai. Ini lebih dalam dari itu.”
Ia berjalan mendekati Liana, membuat gadis itu secara refleks mundur beberapa langkah.
“Liana,” katanya pelan. “Kau tidak seharusnya ada di sini.”
Liana merasa tubuhnya gemetar. “Apa maksudmu?”
Darius tersenyum kecil. “Karena kau seharusnya sudah mati.”
Liana membeku di tempat.
Adriel bergerak cepat, mencengkeram kerah baju Darius dengan kemarahan yang tak bisa ditahan lagi. “Jangan coba-coba menyentuhnya!”
Darius hanya tertawa pelan. “Kau masih belum mengerti, bukan?”
Ia menepis tangan Adriel dengan mudah, seolah kekuatan pria abadi itu bukanlah apa-apa baginya.
“Dia tidak mati bukan karena dia pengecualian,” kata Darius dengan nada seperti menjelaskan sesuatu pada anak kecil. “Dia tidak mati karena dia adalah bagian dari kutukan itu sendiri.”
Liana merasakan seluruh dunianya runtuh dalam sekejap.
Adriel menatapnya, ekspresinya penuh kebingungan dan ketakutan. “Itu tidak mungkin…”
Darius melipat tangannya di dada. “Kau pikir takdir akan membiarkanmu memiliki akhir yang bahagia? Tidak, Adriel. Kau dan dia terikat dalam rantai yang tidak bisa diputuskan. Dia akan selalu kembali, tapi dia juga akan selalu menjadi bagian dari penderitaanmu.”
Liana merasa sesak. Dadanya naik turun, seakan udara di ruangan itu menjadi terlalu berat untuk dihirup.
Darius melangkah mundur, menuju pintu. “Kalian bisa mencoba mencari jawaban, tapi percayalah… semakin banyak yang kalian ketahui, semakin buruk semuanya akan menjadi.”
Ia berbalik dan menghilang dalam kegelapan lorong, meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.
Liana jatuh terduduk di lantai, kepalanya berputar dengan begitu banyak pertanyaan yang tak bisa ia jawab.
Adriel berlutut di depannya, wajahnya masih dipenuhi keterkejutan.
“Aku…” suara Liana bergetar. “Aku bagian dari kutukan itu?”
Adriel menggenggam tangannya erat, seolah takut jika ia melepaskannya, Liana akan menghilang.
“Kita akan mencari tahu,” katanya, suaranya hampir berbisik. “Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan kutukan ini mengambilmu dariku.”
Liana menatap matanya, dan dalam sekejap, ia tahu—jawaban yang mereka cari mungkin bukan sesuatu yang ingin mereka temukan.
Bab 7: Melawan Takdir
Liana tidak bisa menghilangkan suara Darius dari pikirannya. Kata-katanya menggema, mengusik setiap sudut ketakutan yang sebelumnya tak pernah ia sadari. “Kau tidak mati karena kau adalah bagian dari kutukan itu sendiri.”
Ia menatap tangannya, mencoba mencari jawaban dalam dirinya sendiri. Jika itu benar, jika ia memang bagian dari kutukan Adriel… apa artinya? Apakah ia hanya sekadar alat dalam penderitaan yang harus pria itu jalani selama berabad-abad?
Adriel duduk di seberangnya, kedua tangannya bertaut di depan wajahnya, pikirannya sama kacaunya. Mereka telah mencari jawaban selama ini, tapi semakin dalam mereka menggali, semakin banyak hal yang tidak mereka pahami.
“Kau masih mempercayai Darius?” tanya Liana akhirnya.
Adriel menghela napas, lalu menggeleng. “Aku tidak pernah sepenuhnya percaya padanya. Dia selalu menyembunyikan sesuatu. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan apa yang dia katakan.”
Liana menggigit bibirnya. “Jika aku memang bagian dari kutukanmu… apakah itu berarti aku akan mati juga?”
Adriel menatapnya tajam, ekspresi marah dan frustasi bercampur dalam matanya. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Tapi bagaimana caranya?
Liana mengusap wajahnya, mencoba berpikir jernih. “Mungkin kita perlu mencari asal mula kutukan ini. Jika kita bisa mengetahui bagaimana semuanya dimulai, mungkin kita bisa menemukan cara untuk mengakhirinya.”
Adriel terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Ada satu tempat yang mungkin bisa memberi kita jawaban.”
Liana menatapnya, menunggu penjelasan.
“Perpustakaan bawah tanah di biara tua, di pinggiran kota,” kata Adriel. “Dulu, aku pernah menemukan catatan tentang kutukan ini di sana. Tapi aku terlalu takut untuk mencari tahu lebih dalam.”
“Kita tidak punya pilihan,” kata Liana tegas. “Kita harus pergi ke sana.”
Malam itu, mereka menyusuri jalanan kota yang sepi, menuju sebuah bangunan tua yang sudah hampir terlupakan oleh dunia. Biara itu berdiri megah namun kusam, dindingnya dipenuhi lumut dan tanaman liar yang menjalar seakan hendak menelan tempat itu sepenuhnya.
Pintu utama terkunci, tapi Adriel dengan mudah mendobraknya. Liana melangkah masuk dengan hati-hati, merasakan hawa dingin yang menyelusup ke tulangnya.
Mereka berjalan menyusuri lorong panjang yang dipenuhi rak-rak buku tua. Cahaya senter yang mereka bawa hanya mampu menerangi sebagian kecil dari ruangan yang gelap. Aroma kertas lama bercampur dengan debu memenuhi udara.
“Di sini,” bisik Adriel, menuntunnya ke sebuah pintu besi di sudut ruangan.
Dengan sedikit usaha, Adriel berhasil membukanya. Di dalamnya, ada tangga batu yang mengarah ke bawah, menuju ruangan yang lebih gelap lagi.
Liana menelan ludah. “Apa kau yakin ini tempatnya?”
Adriel mengangguk. “Jika ada jawaban, itu pasti ada di sini.”
Mereka menuruni tangga dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat, seolah mereka semakin tenggelam ke dalam sesuatu yang lebih kelam dari yang bisa mereka bayangkan.
Begitu sampai di dasar, mereka menemukan sebuah ruangan besar yang dipenuhi meja dan rak buku yang sudah hampir runtuh. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu dengan tulisan kuno yang terukir di atasnya.
Adriel mendekati altar itu, menyentuh permukaannya dengan jemari gemetar.
“Inilah asal mula kutukan itu,” katanya lirih.
Liana mendekat, mencoba membaca tulisan yang terukir di batu itu. Beberapa kata masih bisa dikenali, meskipun bahasanya sudah sangat tua.
“Kehidupan tak berujung bagi yang berdosa. Kematian bagi yang mencintainya.”
Liana merasakan tubuhnya menegang. “Ini… persis seperti yang terjadi padamu.”
Adriel mengangguk, wajahnya tegang. “Aku dihukum untuk hidup selamanya. Dan siapa pun yang mencintaiku akan mati lebih cepat.”
Tapi ada sesuatu yang lebih mengganggu Liana. Jika kutukan ini telah ada selama berabad-abad, mengapa ia masih hidup?
Saat itulah, matanya menangkap ukiran lain di bagian bawah altar. Ia menyentuhnya, mengusap debu yang menutupi tulisan itu.
Dan ketika ia membacanya, napasnya tertahan.
“Hanya yang terlahir kembali dalam siklus penderitaan yang bisa bertahan.”
Liana menoleh ke Adriel, wajahnya penuh keterkejutan. “Aku bertahan… karena aku adalah bagian dari siklus itu.”
Adriel membeku. “Apa maksudnya?”
Liana menggigit bibirnya, mencoba menyusun kata-kata. “Aku… sudah hidup berulang kali. Setiap kali aku mati, aku kembali dalam tubuh yang berbeda. Itulah sebabnya aku tidak terpengaruh oleh kutukan ini.”
Adriel menatapnya dalam keterkejutan yang sulit diungkapkan. “Jadi… kau selalu kembali kepadaku?”
Liana mengangguk pelan. “Tapi aku tidak pernah mengingatnya… sampai sekarang.”
Mereka terdiam lama, mencoba memahami kebenaran yang baru saja terungkap.
Tapi sebelum mereka bisa berbicara lebih lanjut, sebuah suara berat menggema di ruangan.
“Kalian telah menemukan jawabannya… tapi apa kau siap menerima konsekuensinya?”
Mereka menoleh dengan cepat.
Di sana, berdiri Darius, dengan senyum sinisnya, bersandar pada rak buku tua yang hampir runtuh.
“Selamat,” katanya dengan nada mengejek. “Sekarang kalian tahu bahwa kalian berdua terikat selamanya dalam siklus ini. Tapi pertanyaannya… apakah kalian benar-benar ingin terus hidup dalam penderitaan yang sama?”
Liana merasakan dadanya sesak.
Jika ia selalu terlahir kembali, jika ia memang telah menjalani kehidupan ini berulang kali, maka apakah takdirnya memang hanya untuk kembali ke Adriel… dan mengulang semua penderitaan yang sama?
Adriel mengepalkan tangannya. “Katakan padaku bagaimana cara menghentikan ini.”
Darius tersenyum lebih lebar. “Ada satu cara.”
Adriel menegang. “Apa itu?”
Darius menatap Liana, lalu kembali menatap Adriel. “Salah satu dari kalian harus memilih untuk menghilang dari siklus ini selamanya.”
Liana merasakan tubuhnya gemetar. “Apa maksudmu?”
Darius melangkah maju. “Jika salah satu dari kalian mati dengan cara yang benar, jiwa kalian tidak akan kembali lagi. Tidak akan ada reinkarnasi, tidak akan ada kutukan.”
Keheningan menyelimuti ruangan.
Adriel dan Liana saling menatap, menyadari bahwa mereka baru saja menemukan jawaban yang tidak pernah mereka harapkan.
Salah satu dari mereka harus menghilang.
Dan itu berarti, mereka harus memilih… antara cinta atau kebebasan.
Bab 8: Pengorbanan Terbesar
Ruangan bawah tanah itu terasa semakin sesak. Suara Darius masih menggema di telinga mereka, seolah-olah kata-katanya adalah takdir yang tak terhindarkan.
“Salah satu dari kalian harus memilih untuk menghilang dari siklus ini selamanya.”
Liana menatap Adriel, mencari jawaban dalam mata pria itu. Tapi yang ia temukan hanyalah kebingungan, kemarahan, dan… ketakutan. Untuk pertama kalinya, Adriel benar-benar tampak takut.
“Jadi kau ingin kami memilih siapa yang akan mati?” tanya Adriel dingin.
Darius tersenyum kecil, menyandarkan diri pada salah satu rak buku tua yang hampir runtuh. “Tidak ada paksaan. Tapi jika kalian ingin mengakhiri kutukan ini, ya… itu satu-satunya cara.”
Liana menggenggam tangannya erat, jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. “Bagaimana kita tahu kalau kau tidak berbohong?”
Darius menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Kau sendiri yang menemukannya dalam prasasti itu, bukan? Siklus ini akan terus berulang kecuali salah satu dari kalian benar-benar menghilang.”
Liana menelan ludah. Ia ingin menyangkal, ingin berkata bahwa pasti ada cara lain. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu Darius tidak berbohong.
Adriel melangkah maju, menatap Darius dengan mata penuh amarah. “Jika memang itu satu-satunya cara… maka aku yang akan melakukannya.”
Liana tersentak. “Tidak!”
Adriel berbalik ke arahnya, matanya melembut. “Liana, aku sudah hidup lebih dari tiga ratus tahun. Aku lelah. Jika ada kesempatan untuk mengakhiri semua ini, aku ingin mengambilnya.”
Liana menggeleng keras, air mata mulai menggenang di matanya. “Tidak, kau tidak bisa! Kalau kau menghilang, aku…”
Darius menyela dengan nada malas. “Dia benar, Liana. Adriel sudah hidup terlalu lama. Mungkin ini memang akhir yang paling masuk akal.”
“Tutup mulutmu!” bentak Liana.
Darius terkekeh. “Aku hanya menyatakan fakta.”
Liana berbalik ke Adriel, mencengkeram tangannya erat. “Kau bilang kau tidak akan membiarkan kutukan ini mengambilku darimu. Sekarang kau malah ingin menyerah begitu saja?”
Adriel menatapnya dengan penuh rasa sakit. “Aku tidak menyerah. Aku hanya ingin kau hidup… tanpa harus terjebak dalam siklus ini lagi.”
Liana menggigit bibirnya, air matanya mulai jatuh. “Kalau aku kehilanganmu, apa gunanya hidupku?”
Adriel membuka mulutnya untuk bicara, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Darius menghela napas, seolah lelah dengan drama yang berlangsung di hadapannya. “Kalian bisa berdebat selamanya, tapi kutukan ini tidak akan hilang hanya dengan kata-kata. Seseorang harus mengambil keputusan.”
Liana merasakan sesuatu dalam dirinya mulai pecah. Ia tidak bisa kehilangan Adriel. Tidak lagi. Tidak setelah semua yang mereka lalui.
Dan tiba-tiba, ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Sebelum ada yang bisa menghentikannya, Liana meraih belati kecil yang terselip di meja batu di dekatnya. Tanpa ragu, ia mengarahkan ujungnya ke dadanya sendiri.
“Apa yang kau lakukan?!” seru Adriel panik.
Liana tersenyum tipis, meski air matanya terus mengalir. “Aku akan mengakhiri ini.”
Adriel mencoba merebut belati itu, tapi Liana mundur selangkah. “Aku yang seharusnya pergi, Adriel. Aku yang terlahir kembali berulang kali, aku yang selalu kembali padamu, hanya untuk mengulang penderitaan yang sama. Kalau aku menghilang, kau akan bebas.”
Adriel menggeleng putus asa. “Tidak, Liana, jangan lakukan ini!”
Darius hanya menonton dengan ekspresi tertarik, seolah melihat drama yang menarik di depan matanya.
Liana menatap Adriel untuk terakhir kalinya. “Aku mencintaimu.”
Dan sebelum Adriel bisa mencegahnya, ia menancapkan belati itu ke dadanya.
Adriel berteriak. Dunia seolah runtuh di sekelilingnya saat ia menangkap tubuh Liana yang jatuh ke lantai. Darah mengalir membasahi pakaian gadis itu, napasnya tersengal, tetapi masih ada senyuman kecil di bibirnya.
“Liana, bertahanlah!” Adriel mengguncang tubuhnya, panik. “Kau tidak bisa melakukan ini padaku!”
Liana mengangkat tangannya, menyentuh wajah Adriel dengan lembut. “Kalau aku pergi… kau akan bebas, kan?”
Air mata jatuh dari mata Adriel, sesuatu yang sudah ratusan tahun tidak ia rasakan. “Aku tidak peduli dengan kebebasan! Aku hanya ingin kau tetap hidup!”
Darius melangkah maju, menatap Liana yang sekarat dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. “Menarik. Aku tidak mengira kau akan memilih jalan ini.”
Adriel menoleh dengan tatapan penuh kebencian. “Lakukan sesuatu! Hentikan ini!”
Darius menghela napas. “Maaf, Adriel. Keputusan sudah dibuat.”
Liana tersenyum samar. “Tidak apa-apa…” bisiknya pelan. “Aku hanya ingin… kau bahagia…”
Dan dalam sekejap, napasnya berhenti.
Adriel membeku.
Dunia menjadi hening.
Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Yang tersisa hanyalah tubuh Liana yang dingin dalam pelukannya, dan rasa hancur yang begitu dalam hingga Adriel merasa ia tidak akan pernah bisa pulih lagi.
Darius menatap pemandangan itu dengan ekspresi netral. “Kutukan telah berakhir,” katanya akhirnya.
Adriel tidak peduli.
Ia hanya memeluk tubuh Liana lebih erat, berharap—berharap ada cara untuk membawanya kembali.
Tapi ia tahu itu tidak mungkin.
Liana telah memilih untuk menghilang selamanya.
Dan kini, Adriel yang abadi… akhirnya merasakan apa itu kehilangan yang sesungguhnya.
Bab 9: Pilihan yang Menyakitkan
Adriel masih berlutut di lantai batu dingin, menggenggam tubuh Liana yang kini tak lagi bernyawa. Darah hangat membasahi tangannya, tetapi ia tidak peduli. Semuanya terasa tidak nyata, seolah ia sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung.
Liana… benar-benar pergi.
Jantungnya mencelos saat menyadari bahwa ini bukan seperti kehilangan yang pernah ia alami sebelumnya. Ini bukan kematian yang bisa diperbaiki oleh waktu atau reinkarnasi yang akan membawanya kembali. Liana telah membuat pilihan yang tidak bisa dibatalkan—menghilang dari siklus kutukan, dari dunia ini, dari kehidupannya.
Ia mengangkat wajahnya, menatap Darius yang masih berdiri di dekat altar, ekspresi pria itu tidak menunjukkan rasa bersalah atau belas kasihan.
“Kenapa dia tidak bangkit kembali?” suara Adriel terdengar pecah, nyaris tidak bisa dikenali.
Darius menghela napas pelan, seolah semua ini adalah sesuatu yang sudah ia duga akan terjadi. “Karena dia memilih untuk benar-benar mengakhiri semuanya. Tidak akan ada reinkarnasi lagi, tidak akan ada siklus yang berulang. Dia telah melangkah keluar dari rantai takdir.”
Adriel menggertakkan giginya, matanya dipenuhi kemarahan. “Kau membiarkannya melakukan ini!”
Darius hanya mengangkat bahu. “Aku tidak memaksanya. Dia sendiri yang memilih.”
Adriel ingin menghancurkan sesuatu. Ia ingin berteriak, ingin mengubah kenyataan ini, ingin melakukan apa pun untuk membawa Liana kembali. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan.
Ia telah kehilangan satu-satunya orang yang tidak terpengaruh oleh kutukannya.
Dan ironisnya, justru itulah yang mengakhiri kutukan itu.
Darius menatapnya dengan tenang. “Kau sekarang bebas, Adriel. Tidak ada lagi penderitaan. Tidak ada lagi kehilangan. Kau bisa menjalani hidupmu tanpa rasa takut.”
Adriel tertawa pahit. “Bebas?” Ia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. “Apa gunanya kebebasan jika aku kehilangan satu-satunya alasan untuk bertahan hidup?”
Darius tidak menjawab.
Adriel menundukkan kepalanya, menyadari bahwa ia telah terjebak dalam lingkaran yang lebih buruk dari kutukan itu sendiri. Ia telah menjalani ratusan tahun dalam penderitaan, berharap suatu hari ia bisa bebas.
Dan sekarang, saat kebebasan itu akhirnya datang… ia hanya ingin kembali ke masa ketika Liana masih di sampingnya.
Malam itu, Adriel berjalan tanpa tujuan di jalanan kota. Langkahnya lambat, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya.
Ia tidak tahu harus ke mana. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Dulu, ia menjalani hidup dengan satu ketakutan—kehilangan orang yang ia cintai. Kini, ia menjalani hidup dengan satu kepastian—orang yang ia cintai tidak akan pernah kembali.
Tepat di perempatan jalan, ia berhenti. Hujan mulai turun, membasahi trotoar yang sudah basah oleh kenangan yang tidak bisa ia hapus.
Ia mendongak ke langit, membiarkan air hujan membasahi wajahnya.
Jika ia bisa memberikan keabadiannya untuk membawa Liana kembali… ia akan melakukannya tanpa ragu.
Tapi waktu tidak bisa diputar kembali.
Ia menutup matanya, mengingat suara Liana, tawa kecilnya, cara ia menatapnya dengan rasa ingin tahu.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Adriel menyadari bahwa abadi bukanlah berkah.
Abadi adalah hukuman yang sesungguhnya.
Dan kini, ia harus menjalani hukuman itu… sendirian.
Bab 10: Cinta yang Tak Pernah Mati
Adriel berjalan tanpa tujuan selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Ia tidak kembali ke apartemennya, tidak lagi peduli dengan dunia di sekitarnya. Waktu yang dulu terasa tak berujung kini menjadi sesuatu yang ia benci lebih dari apa pun.
Dulu, ia takut untuk mencintai karena takut kehilangan. Tapi sekarang, ia telah kehilangan segalanya, dan rasa sakit itu jauh lebih buruk daripada kutukan yang selama ini membelenggunya.
Malam itu, ia kembali ke galeri tempat ia pertama kali bertemu Liana. Tempat itu kini kosong, seolah ditinggalkan begitu saja setelah kepergiannya. Lukisan-lukisan masih tergantung di dinding, tetapi ada satu yang menarik perhatiannya.
Lukisan dirinya.
Tapi ada sesuatu yang berbeda.
Liana pasti telah mengubahnya sebelum ia pergi, karena kini di samping sosok Adriel, ada sosok seorang wanita—wanita yang memiliki wajah yang sama dengan Liana.
Lukisan itu menggambarkan mereka berdua, berdiri berdampingan, tetapi tangan mereka tidak saling menyentuh. Ada celah tipis di antara mereka, seolah dunia tidak pernah mengizinkan mereka benar-benar bersama.
Adriel menyentuh permukaan kanvas dengan jemari gemetar. “Kau selalu tahu, ya?” bisiknya lirih.
Liana pasti sudah menyadari sejak awal bahwa mereka tidak akan bisa bersama. Ia mungkin tidak mengingat semua kehidupannya sebelumnya, tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia selalu terikat pada Adriel, hanya untuk akhirnya kehilangan dirinya lagi.
Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh.
Ia duduk di lantai galeri, membiarkan dirinya menangis untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun.
Beberapa bulan berlalu, tetapi rasa kehilangan itu tidak pernah benar-benar hilang.
Adriel mencoba menjalani hidupnya seperti biasa—atau setidaknya mencoba bertahan. Tapi setiap tempat yang ia kunjungi, setiap sudut kota yang ia lalui, selalu mengingatkannya pada Liana.
Terkadang, saat angin berembus, ia bisa bersumpah mendengar suara tawa Liana di kejauhan.
Terkadang, saat ia menutup matanya, ia bisa melihat senyum wanita itu, seolah-olah ia tidak pernah benar-benar pergi.
Lalu, suatu hari, sesuatu terjadi.
Ia sedang duduk di sebuah taman, mencoba membaca buku yang bahkan tidak bisa ia pahami karena pikirannya terus melayang.
Saat itulah, ia melihatnya.
Seorang wanita, berjalan di trotoar seberang jalan.
Rambutnya panjang dan hitam, langkahnya ringan, dan ada sesuatu dalam caranya menoleh ke arah Adriel yang membuat dunia seakan berhenti berputar.
Adriel bangkit berdiri, jantungnya berdetak lebih cepat daripada yang pernah ia rasakan.
Wanita itu bertemu tatap dengannya.
Matanya…
Matanya adalah mata Liana.
Adriel tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap, jantungnya berdebar kencang, napasnya tercekat.
Wanita itu menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum. Senyum kecil, hampir tak kasat mata.
Lalu, ia berbalik dan berjalan pergi.
Adriel ingin mengejarnya, ingin berteriak memanggil namanya. Tapi sesuatu dalam hatinya berkata bahwa ia harus membiarkannya pergi.
Mungkin itu hanyalah kebetulan.
Atau mungkin… itu adalah bukti bahwa cinta mereka tidak benar-benar mati.
Siklus yang dulu selalu menghancurkan mereka mungkin telah berakhir.
Tapi jika ada satu hal yang tidak akan pernah berubah…
Itu adalah takdir yang selalu membawa mereka kembali satu sama lain.
Dan kali ini, Adriel akan menunggu.
Karena jika Liana benar-benar kembali…
Maka suatu hari, mereka akan menemukan jalan untuk bersama.
Tanpa kutukan.
Tanpa rasa takut.
Hanya cinta yang abadi, seperti yang seharusnya.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.