Novel Singkat Kutitipkan Cintaku di Antara Doa
Novel Singkat Kutitipkan Cintaku di Antara Doa

Novel Singkat: Kutitipkan Cintaku di Antara Doa

Aisyah, seorang desainer grafis, harus menghadapi kenyataan pahit ketika kekasihnya, Reza, meninggalkannya karena kesalahpahaman besar. Yang tidak diketahui Reza, Aisyah sedang mengandung anak mereka. Bertahun-tahun kemudian, Reza kembali dengan penuh penyesalan, namun menemukan bahwa Aisyah telah menikah dengan Faris, pria yang selama ini merawat anaknya dan selalu ada di saat ia terpuruk.

Di antara dua cinta dan masa lalu yang belum selesai, Aisyah harus membuat keputusan terberat dalam hidupnya. Apakah ia akan kembali pada cinta lamanya atau bertahan dengan pria yang telah setia di sisinya?

Ketika cinta tidak selalu tentang memiliki, Aisyah menyadari bahwa ada perasaan yang hanya bisa ia titipkan dalam doa.

Bab 1: Janji di Bawah Langit Senja

Aisyah duduk di atas motor yang dikendarai Reza. Angin sore menerpa wajahnya, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Langit jingga terbentang luas, seolah menari di antara awan yang mulai menipis. Suara deburan ombak dari pantai yang tak jauh dari tempat mereka singgah menambah kesan damai di sore itu.

“Kalau suatu hari nanti kita terpisah, kamu bakal tetap nyari aku, kan?” tanya Aisyah tiba-tiba, suaranya lirih namun cukup jelas di antara semilir angin.

Reza tertawa kecil. “Apaan, sih? Ngomongnya kaya kita bakal kehilangan satu sama lain aja.” Ia melirik Aisyah dengan tatapan penuh rasa sayang. “Selama kamu masih di dunia ini, aku bakal selalu nemuin kamu. Itu janji.”

Aisyah tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Ia ingin percaya pada kata-kata Reza, tapi entah kenapa ada perasaan cemas yang mengusik batinnya.

Mereka sudah bersama selama tiga tahun, sejak awal kuliah. Reza adalah lelaki pertama yang membuat Aisyah percaya bahwa cinta bukan hanya soal kata-kata manis, tapi juga tentang kehadiran yang selalu ada di saat ia membutuhkannya.

Tapi, seperti halnya hidup yang penuh kejutan, kebahagiaan tak selalu bertahan selamanya.


Hari itu, semuanya berubah.

Reza berdiri di depan apartemen Aisyah dengan ekspresi penuh emosi. Tangannya mengepal, matanya memerah menahan amarah.

“Aku gak nyangka kamu bisa ngelakuin ini ke aku, Ais.” Suaranya bergetar, seolah menahan luapan kemarahan yang hampir meledak.

Aisyah memandangnya dengan kebingungan. “Reza, kamu ngomong apa sih? Aku gak ngerti!”

“Jangan pura-pura gak tahu!” Reza melempar sebuah amplop ke hadapan Aisyah. “Aku udah lihat semuanya. Foto kamu… sama laki-laki lain.”

Jantung Aisyah mencelos. Ia buru-buru mengambil amplop itu dan mengeluarkan beberapa foto di dalamnya. Di dalam foto, terlihat dirinya sedang berbicara dengan seorang pria di sebuah kafe. Pria itu, Arman, adalah seniornya di kampus yang baru saja membantunya dalam proyek penelitian.

“Tunggu! Ini gak seperti yang kamu pikirkan! Arman cuma temen, dia bantu aku…”

“TEMEN?” Reza menatapnya tajam. “Kamu tahu aku gak bisa nerima ini! Selama ini aku percaya sama kamu, Ais. Tapi ternyata aku cuma bodoh yang berharap kamu juga bakal setia.”

Aisyah menggeleng panik. “Reza, tolong percaya sama aku! Aku gak pernah ngelakuin hal yang kamu pikirkan.”

Tapi Reza tak lagi mendengar. Luka yang tertanam di hatinya terlalu dalam. Ia mundur selangkah, menatap Aisyah dengan mata yang penuh kekecewaan.

“Aku capek, Ais. Mungkin selama ini aku yang terlalu berharap…”

Aisyah meraih tangannya, tapi Reza menepisnya.

“Mulai sekarang, kita selesai.”

Dan dengan langkah berat, Reza pergi, meninggalkan Aisyah yang berlutut di ambang pintu dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Hatinya hancur.

Ia ingin mengejar Reza, menjelaskan semuanya. Tapi suaranya tercekat, tubuhnya lemas, dan ia hanya bisa menatap punggung lelaki itu semakin menjauh.

Aisyah tidak tahu bahwa hari itu bukan hanya akhir dari hubungannya dengan Reza.

Tapi juga awal dari babak baru dalam hidupnya, sebuah perjalanan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Bab 2: Kepergian yang Menyakitkan

Aisyah duduk di sudut kamarnya, lututnya ia peluk erat. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan dadanya masih terasa sesak. Semalaman ia menangis, mencoba memahami bagaimana semua bisa berakhir begitu cepat.

Reza benar-benar pergi.

Ia tidak menjawab telepon atau membalas pesan apa pun. Bahkan saat Aisyah nekat mendatangi rumahnya, yang ia temukan hanyalah pintu yang tertutup rapat dan kabar bahwa Reza sudah pergi ke luar kota tanpa meninggalkan pesan.

Pergi meninggalkan dirinya.

Aisyah menatap ponselnya yang kini penuh dengan panggilan tak terjawab. Jari-jarinya gemetar saat ia mencoba mengetik pesan lagi.

“Reza, tolong… Aku gak seperti yang kamu pikirkan. Diriku tak pernah mengkhianati kamu. Aku mohon, beri aku kesempatan menjelaskan.”

Dikirim. Tapi seperti sebelumnya, hanya centang satu. Tidak ada tanda-tanda bahwa pesan itu sampai ke Reza.

Hatinya semakin hancur.

Satu minggu berlalu, tetapi bayangan tentang Reza tak juga menghilang dari pikirannya. Ia kehilangan nafsu makan, tak bisa tidur, dan semakin tenggelam dalam kesedihan. Namun, satu hal yang akhirnya membuatnya tersadar adalah rasa mual yang mulai sering datang.

Awalnya, Aisyah mengira itu hanya karena kelelahan dan stres. Tapi saat mual itu berubah menjadi muntah berkali-kali, ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.


“Hamil?”

Dokter di depannya mengangguk sambil tersenyum. “Ya, dari hasil pemeriksaan, usia kehamilanmu sudah memasuki lima minggu. Selamat, Aisyah.”

Dunia Aisyah terasa berputar.

Ia bahkan tak bisa merespons apa pun. Matanya menatap kosong ke arah meja di depannya, sementara suaranya tercekat di tenggorokan.

Reza… Aku mengandung anakmu.

Perasaan bahagia dan panik bercampur menjadi satu. Ia ingin segera menghubungi Reza, memberitahunya bahwa ada nyawa kecil yang kini tumbuh di dalam dirinya. Mungkin ini bisa menjadi alasan agar Reza kembali, agar mereka bisa memperbaiki semuanya.

Namun, harapan itu kembali runtuh saat ia pulang ke rumah dan menerima kabar dari teman-teman Reza.

Reza telah pergi ke luar negeri.

Bukan sekadar liburan, tetapi benar-benar pindah untuk waktu yang lama.

Aisyah terduduk di kursi, jari-jarinya menggenggam erat hasil USG yang baru saja ia dapatkan. Tangisnya pecah. Bukan hanya karena rasa sakit akibat ditinggalkan, tapi juga ketakutan tentang masa depan yang harus ia hadapi sendirian.

“Kenapa kamu pergi, Reza…?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di antara isak tangisnya.


Hari-hari berikutnya adalah mimpi buruk.

Aisyah harus menelan kenyataan bahwa ia akan menjadi ibu tunggal. Ia harus menghadapi gunjingan orang-orang di sekitarnya, harus menahan setiap tatapan penuh pertanyaan dari keluarga dan teman-temannya.

Ibunya sempat murka saat mengetahui kehamilan ini. “Kamu sadar nggak, Ais? Kamu sekarang sendirian! Reza pergi, dan kamu mau ngurus anak ini gimana?!”

Aisyah hanya bisa diam. Ia tahu ibunya tidak bermaksud jahat, tapi di saat seperti ini, ia lebih membutuhkan dukungan daripada kemarahan.

Meski begitu, ia tetap bertahan.

Ia mulai mencari pekerjaan tambahan untuk memastikan dirinya bisa membesarkan anaknya kelak. Ia berusaha menguatkan hati, meskipun setiap malam, ia masih menangis sendirian di kamar, merindukan Reza dan semua kenangan mereka.

Namun, ia sadar.

Reza mungkin telah pergi, tapi ia masih punya alasan untuk bertahan.

Nyawa kecil yang kini tumbuh di dalam dirinya adalah harapan terakhirnya. Dan demi anaknya, ia akan berjuang, bagaimanapun caranya.

Bab 3: Cahaya Kecil dalam Kegelapan

Aisyah menatap perutnya yang mulai membesar di depan cermin. Tangannya dengan lembut mengusapnya, mencoba merasakan kehadiran kecil yang kini menjadi satu-satunya alasan ia bertahan.

“Hai, Nak… Kamu baik-baik saja di dalam sana?” bisiknya dengan suara lembut.

Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Bahagia karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan anaknya, namun di sisi lain, ia takut. Takut karena ia harus menjalani semuanya sendirian.

Tak ada Reza di sisinya. Tak ada yang menggenggam tangannya saat ia merasa lelah.

Kehamilannya semakin berat. Ia harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhannya, tapi tubuhnya tak sekuat dulu. Kadang, ia hampir pingsan karena terlalu memaksakan diri.


Suatu sore, saat Aisyah sedang berjalan pulang dari tempat kerjanya, hujan turun dengan deras. Ia tidak membawa payung, hanya bisa berlari kecil sambil melindungi perutnya dengan tangan.

Tiba-tiba, langkahnya melemah. Kepalanya pusing, pandangannya berputar.

“Aduh…” tubuhnya limbung, kakinya terasa begitu lemah. Ia mencoba bertahan, tapi hujan terlalu deras dan tubuhnya semakin tak bertenaga.

Saat ia hampir jatuh, seseorang tiba-tiba menangkapnya.

“Aisyah?”

Suara itu terdengar familiar, hangat, dan penuh kepanikan. Saat ia membuka matanya yang kabur oleh air hujan, ia melihat sosok pria yang menatapnya dengan cemas.

Faris.


Faris adalah seniornya di kampus, teman lama yang dulu pernah dekat dengannya. Mereka sempat bertemu beberapa kali setelah Aisyah mulai bekerja, tapi tidak pernah seakrab dulu.

Kini, pria itu menatapnya dengan tatapan khawatir. “Kamu nggak apa-apa? Kamu keliatan pucat banget.”

Aisyah ingin mengangguk, mengatakan bahwa ia baik-baik saja, tapi kenyataannya ia tidak mampu berdiri sendiri.

Tanpa bertanya lebih lanjut, Faris membawanya ke mobilnya, lalu mengantar Aisyah pulang. Sesampainya di rumah, ia memastikan Aisyah makan dan beristirahat.

“Kenapa kamu masih kerja dalam kondisi kayak gini?” tanya Faris dengan nada penuh kekhawatiran.

Aisyah menunduk, menggenggam cangkir teh di tangannya. “Aku harus bertahan, Ris. Aku nggak punya pilihan lain.”

Faris menatapnya lama, seolah sedang menimbang sesuatu. “Kamu nggak sendiri, Ais. Aku ada di sini.”

Aisyah tersenyum kecil, meskipun hatinya masih ragu. Selama ini, ia telah terbiasa menghadapi semuanya sendiri.

Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.

Dan mungkin… ia tidak harus melewati semuanya sendirian.

Bab 4: Pernikahan Tanpa Cinta

Aisyah duduk di tepi ranjang, menatap ke luar jendela. Hujan turun dengan deras, membasahi tanah yang sejak tadi kering. Dalam pelukannya, bayi kecilnya tidur dengan tenang, tak menyadari bahwa ibunya sedang berperang dengan pikirannya sendiri.

Anaknya sudah lahir. Seorang bayi laki-laki yang tampak begitu mirip dengan Reza. Setiap kali Aisyah menatap wajah mungil itu, hatinya terasa penuh—antara bahagia dan luka yang belum juga sembuh.

Namun, di sisi lain, ada Faris.

Pria yang selalu ada saat Aisyah hampir jatuh.

Saat Aisyah harus berjuang sendirian, Faris yang membantunya. Ketika biaya persalinan hampir tak bisa ia tanggung, Faris yang menawarkan bantuan tanpa ragu. Ia bahkan tak keberatan begadang saat bayi Aisyah rewel di malam hari.

“Kenapa kamu selalu peduli, Ris?” tanya Aisyah suatu malam, suaranya nyaris tenggelam dalam suara hujan di luar.

Faris menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Karena aku nggak bisa diam melihat kamu menderita.”

Dan akhirnya, datanglah pertanyaan itu.

“Menikahlah denganku, Ais.”


Pernikahan mereka berlangsung sederhana. Hanya dihadiri keluarga dekat dan beberapa teman. Aisyah menerima lamaran Faris bukan karena cinta, tapi karena ia tahu, pria itu bisa memberinya kehidupan yang lebih baik.

Faris mencintainya. Ia tidak pernah ragu akan hal itu.

Namun, Aisyah masih belum bisa mencintainya.

Saat mereka pulang ke rumah setelah akad nikah, Faris menatapnya lembut.

“Aku nggak akan memaksa, Ais,” katanya pelan. “Aku tahu kamu butuh waktu.”

Aisyah hanya bisa mengangguk.

Di malam pertamanya sebagai istri, ia tidur dengan perasaan kosong. Tidak ada kebahagiaan seperti yang dulu ia bayangkan saat bermimpi tentang pernikahan. Tidak ada debaran jantung atau perasaan penuh cinta.

Yang ada hanyalah keheningan, dan perasaan bersalah yang menggerogoti hatinya.

Karena meski kini ia telah menikah, hatinya masih terpaut pada pria yang telah meninggalkannya.

Reza.

Bab 5: Kembalinya Masa Lalu

Lima tahun telah berlalu.

Aisyah kini menjalani kehidupan yang stabil bersama Faris dan anaknya, Rayyan. Sejak bayi, Rayyan tumbuh dengan kasih sayang yang melimpah dari Faris, yang dengan sabar menjalankan peran sebagai seorang ayah meskipun ia bukan ayah kandungnya.

Namun, di balik ketenangan yang terlihat, ada sesuatu yang masih tersimpan dalam hati Aisyah. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, bayangan seseorang yang pernah ia cintai, dan pertanyaan yang tak pernah mendapatkan jawaban.

Di mana Reza sekarang? Apakah ia bahagia? Apakah ia pernah menyesali kepergiannya?

Aisyah telah berusaha mengubur semua itu, hingga suatu hari, masa lalu yang ia hindari kembali mengetuk pintunya.


Saat itu, Aisyah sedang berada di sebuah kafe untuk bertemu dengan seorang klien. Ia kini bekerja sebagai desainer grafis lepas, sesuatu yang ia tekuni sejak Rayyan lahir.

Semuanya berjalan seperti biasa, hingga seseorang memasuki kafe.

Langkah Aisyah terhenti. Napasnya tercekat.

Sosok itu berdiri di dekat pintu, mengenakan kemeja biru tua yang sedikit kusut, dengan wajah yang kini tampak lebih dewasa, lebih matang. Namun, tatapan itu masih sama. Tatapan yang dulu selalu membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Reza.

Dunia seakan berhenti berputar. Aisyah tidak bisa mengalihkan pandangannya, seolah-olah tubuhnya membeku di tempat.

Saat itu juga, Reza menoleh ke arahnya.

Mata mereka bertemu.

Dan dalam sekejap, semua kenangan yang telah ia coba kubur selama lima tahun terakhir menyeruak kembali.


Reza berjalan mendekat. Langkahnya ragu, seolah ia tidak yakin apakah ini nyata atau hanya imajinasinya saja.

“Aisyah…?” suaranya serak, seakan namanya terasa asing di bibirnya setelah bertahun-tahun tak pernah diucapkan.

Aisyah menelan ludah, mencoba menguasai dirinya. “Reza.”

Hening.

Mereka saling menatap tanpa kata-kata. Begitu banyak hal yang ingin Aisyah tanyakan. Begitu banyak hal yang ingin Reza katakan.

Namun, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menjembatani jarak yang telah mereka buat.

“Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini,” kata Reza akhirnya. “Gimana kabarmu?”

Aisyah tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya. “Aku baik.”

Ada raut lega di wajah Reza, meskipun matanya masih dipenuhi dengan emosi yang sulit diartikan. “Aku… balik ke sini untuk menetap. Ada banyak berpikiranku selama ini, dan aku sadar aku harus memperbaiki banyak hal.”

Aisyah hanya mengangguk pelan.

“Aku nyesel, Ais.” Suara Reza lebih pelan kali ini, nyaris bergetar. “Aku nyesel karena pergi tanpa dengar penjelasan kamu. Aku nyesel karena ninggalin kamu.”

Aisyah mengalihkan pandangannya, menahan napas. Luka lama yang selama ini ia coba sembuhkan kini kembali terbuka.

“Aku nggak tahu harus bilang apa, Reza,” katanya akhirnya.

Reza menarik napas dalam. “Kalau aku bilang aku mau mulai lagi dari awal, kamu masih mau kasih aku kesempatan?”

Jantung Aisyah mencelos. Ia tahu ini akan terjadi, namun tetap saja mendengarnya langsung dari Reza membuatnya terjebak dalam dilema yang lebih besar.

Perasaan itu masih ada. Itu yang menakutkan.

Namun, ada satu hal yang tidak diketahui Reza.

Satu hal yang akan mengubah segalanya.

Aisyah kini bukan lagi wanita yang dulu ia tinggalkan.

Ia telah menikah.

Bab 6: Di Antara Penyesalan dan Harapan

Reza duduk di bangku taman dengan gelisah, matanya menatap kosong ke arah danau kecil di depannya. Angin sore bertiup pelan, membawa aroma rumput basah setelah hujan turun siang tadi. Namun, semua itu tak mampu menenangkan pikirannya yang kini kacau.

Beberapa jam yang lalu, ia bertemu kembali dengan Aisyah setelah lima tahun terpisah. Ia pikir, ia masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya, untuk menebus kesalahannya.

Namun, kata-kata Aisyah menghantamnya lebih keras dari yang pernah ia bayangkan.

“Aku sudah menikah, Reza.”


Saat Aisyah mengucapkan kalimat itu, dunia Reza seakan runtuh.

“Apa…?” Reza menatapnya tak percaya, seolah berharap ia hanya salah dengar.

Aisyah menghela napas, menguatkan diri. “Aku menikah beberapa tahun setelah kamu pergi.”

Reza terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.

“Siapa?” tanyanya akhirnya, suaranya lebih lirih dari yang ia maksudkan.

“Faris.”

Reza mengingat pria itu. Faris, senior mereka di kampus. Pria yang dulu ia tahu cukup dekat dengan Aisyah, tapi tidak pernah ia anggap sebagai ancaman. Dan kini, pria itu telah menggantikan tempatnya di sisi Aisyah.

“Kamu bahagia?”

Pertanyaan itu keluar sebelum ia bisa menghentikan dirinya sendiri.

Aisyah menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, “Aku baik-baik saja.”

Jawaban itu tidak memuaskannya. Itu bukan jawaban yang sama dengan ‘aku bahagia’.

“Apa kamu mencintainya?”

Kali ini, Aisyah terdiam lebih lama. Namun, akhirnya ia mengangguk.

“Iya.”

Dan saat itu juga, Reza tahu ia telah benar-benar kalah.


Malam itu, Aisyah berdiri di depan jendela kamarnya, menatap langit malam yang gelap.

Pikirannya kacau.

Pertemuan dengan Reza membawa kembali semua kenangan yang selama ini ia coba kubur. Ia sudah berusaha move on, berusaha mencintai Faris, pria yang telah begitu banyak berkorban untuknya.

Tapi mengapa hatinya masih bergetar saat melihat Reza?

Sebuah suara membuyarkan lamunannya.

“Kamu habis ketemu Reza, ya?”

Aisyah menoleh dan menemukan Faris berdiri di ambang pintu. Tatapan pria itu lembut, tapi Aisyah tahu Faris bisa membaca kegelisahan di wajahnya.

Aisyah mengangguk pelan. “Dia kembali.”

Faris menghela napas panjang. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di kursi dekat jendela. “Aku sudah dengar.”

Aisyah menatap suaminya. Faris selalu seperti ini. Tenang, dewasa, tidak pernah memaksanya. Ia adalah laki-laki yang seharusnya bisa ia cintai sepenuh hati.

Namun, mengapa rasanya masih ada yang kosong?

“Kalau kamu masih mencintainya, aku nggak akan menyalahkanmu, Ais,” kata Faris pelan.

Aisyah tercekat. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa perasaannya pada Reza sudah hilang. Tapi ia tidak bisa.

“Aku nggak tahu, Ris…” bisiknya, nyaris seperti pengakuan dosa.

Faris tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan di matanya. “Aku cuma mau kamu bahagia. Dengan atau tanpa aku.”

Air mata jatuh di pipi Aisyah. Ia benci perasaan ini. Ia benci menyakiti seseorang yang begitu tulus mencintainya.

Tapi yang lebih menyakitkan…

Ia juga tidak bisa menghapus perasaan yang masih ia miliki untuk Reza.

Bab 7: Rahasia yang Terpendam

Aisyah duduk di ruang tamu, tangannya gemetar saat ia menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin. Pikirannya kacau. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Reza, tapi bayangan pria itu masih menghantui benaknya.

Ia pikir perasaan itu sudah mati. Ia pikir dirinya sudah sepenuhnya move on. Tapi nyatanya, hatinya masih bergetar saat melihatnya.

Dan yang lebih parah, kini Faris tahu.

Sejak malam itu, Faris tidak pernah membahas tentang Reza lagi. Ia tetap bersikap seperti biasa, tetap perhatian, tetap menjadi suami yang baik.

Namun, Aisyah tahu ada sesuatu yang berubah.

Ada jarak di antara mereka.

Faris tidak lagi menatapnya dengan cara yang sama. Senyumannya terasa lebih hambar, dan ia lebih sering diam.

Aisyah ingin berbicara, ingin menjelaskan, tapi ia takut. Takut menyakiti hati Faris lebih jauh.

Sampai suatu malam, Faris akhirnya membuka pembicaraan.

“Apa kamu pernah benar-benar mencintaiku, Ais?”

Pertanyaan itu menghantam Aisyah lebih keras dari yang ia duga.

“Aku…” Ia menunduk, jari-jarinya meremas kain gaunnya. “Aku bersyukur menikah denganmu, Ris. Kamu laki-laki yang baik, dan aku menghormati itu.”

“Tapi kamu nggak pernah mencintaiku, kan?”

Aisyah menggigit bibirnya. Ia ingin berbohong. Tapi ia tahu, Faris layak mendapatkan kejujuran.

“Maaf, Ris…” suaranya hampir tak terdengar.

Faris tersenyum kecil, tetapi Aisyah bisa melihat kesedihan di matanya. “Aku sudah tahu jawabannya dari dulu.”


Malam itu, Aisyah tidak bisa tidur. Ia teringat semua yang telah terjadi, sejak perpisahannya dengan Reza, perjuangannya membesarkan Rayyan sendirian, hingga akhirnya ia menerima lamaran Faris.

Ia pikir menikah dengan Faris akan menghapus semua luka, bahwa dengan berjalannya waktu, ia akan belajar mencintai pria itu.

Tapi ternyata, hati tidak bisa dipaksa.

Dan sekarang, dengan kembalinya Reza, semuanya menjadi semakin rumit.

Ia harus membuat keputusan.

Ia tidak ingin menyakiti Faris lebih dalam. Tapi ia juga tidak bisa membohongi perasaannya sendiri.

Namun, yang lebih sulit dari itu adalah menghadapi kenyataan bahwa Reza belum tahu satu hal yang sangat penting.

Bahwa anak yang selama ini ia anggap sebagai anak kandung Faris…

Adalah anaknya sendiri.

Bab 8: Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Aisyah berdiri di depan rumah, mengamati Rayyan yang sedang bermain di halaman. Bocah itu tertawa riang saat mengejar kupu-kupu, wajahnya yang ceria selalu menjadi alasan bagi Aisyah untuk bertahan.

Namun, hari ini, hatinya tak tenang.

Sejak pertemuannya dengan Reza, pikirannya tak bisa berhenti berputar. Rahasia yang selama ini ia simpan semakin terasa menyesakkan.

Reza harus tahu.

Hari itu, takdir mempertemukan mereka kembali dengan cara yang tak terduga.

Aisyah membawa Rayyan ke taman bermain. Ia ingin mengalihkan pikirannya, mencoba melupakan semua yang sedang terjadi.

Tapi saat ia sedang memperhatikan Rayyan bermain di ayunan, tiba-tiba suara familiar terdengar dari belakangnya.

“Aisyah…”

Darahnya seakan berhenti mengalir.

Perlahan, ia menoleh. Dan di sana, berdiri seseorang yang paling ingin ia hindari namun juga paling ingin ia temui.

Reza.

Ia berdiri beberapa meter darinya, matanya menatap tak percaya ke arah bocah kecil yang sedang tertawa di ayunan.

Aisyah bisa melihat keterkejutan di wajahnya.

“Dia… anakmu?” tanya Reza, suaranya bergetar.

Aisyah terdiam.

Ia tahu, ini saatnya. Tak ada lagi cara untuk menghindar.

Dengan napas gemetar, ia mengangguk.

“Iya, Reza… Rayyan anakmu.”


Reza merasa dunia seakan runtuh dalam sekejap.

Anak laki-laki itu… anaknya?

Selama ini, ia hidup dalam kebodohan, berpikir bahwa Aisyah telah benar-benar melanjutkan hidupnya tanpa dirinya.

Tapi ternyata, ia meninggalkan lebih dari sekadar seorang wanita yang ia cintai.

Ia juga meninggalkan seorang anak.

“Apa… kenapa kamu nggak pernah kasih tahu aku?” tanyanya, suaranya terdengar marah sekaligus penuh luka.

Aisyah menunduk, menggenggam ujung bajunya erat-erat. “Kamu pergi tanpa memberi aku kesempatan menjelaskan, Reza… Aku mencoba menghubungimu, tapi kamu menghilang.”

Reza terdiam. Ia tahu Aisyah tidak berbohong.

Dan sekarang, melihat anaknya sendiri yang selama ini ia abaikan, ia merasa seperti pria paling bodoh di dunia.

Rayyan berlari ke arah Aisyah, menggenggam tangan ibunya dengan senyum polos.

“Bu, ayo pulang.”

Reza menatap bocah itu dengan mata berkaca-kaca. Hatinya hancur karena menyadari bahwa anaknya tumbuh tanpa dirinya.

Namun, lebih dari itu…

Apakah masih ada tempat untuknya di hidup Aisyah dan Rayyan?

Bab 9: Keputusan yang Terberat

Reza duduk di bangku taman, pikirannya masih sulit menerima kenyataan. Rayyan adalah anaknya. Selama lima tahun, ia hidup tanpa tahu bahwa di suatu tempat, ada anak yang membawa darahnya, yang tumbuh tanpa kehadirannya.

Tatapannya tak lepas dari bocah kecil itu. Rayyan tengah bermain dengan balok kayu di depan rumah, tawanya terdengar riang, sementara Aisyah duduk tak jauh darinya, menatap Reza dengan ekspresi yang sulit diartikan.

“Aku nggak pernah ingin menyembunyikan ini, Reza,” suara Aisyah pelan, tapi tegas. “Aku mencoba menghubungimu, aku menunggu. Tapi kamu nggak pernah kembali.”

Reza menunduk, perasaan bersalah menyelimuti hatinya. “Aku bodoh, Ais… Diriku terlalu marah waktu itu. Kupikir… Aku pikir kamu benar-benar mengkhianati aku.”

Aisyah tersenyum pahit. “Dan karena kesalahpahaman itu, kamu meninggalkan aku sendirian.”

Hening.

Reza ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa ia juga tersiksa, tapi apa pun alasannya, tetap saja ia yang memilih pergi.

“Kamu masih mencintaiku, Ais?” tanyanya akhirnya.

Aisyah menatapnya dalam, seakan mencari jawaban di hatinya sendiri. “Aku nggak bisa bohong, Reza… Aku masih mencintaimu.”

Jantung Reza berdegup kencang, tapi sebelum ia sempat bicara, Aisyah melanjutkan.

“Tapi aku juga mencintai Faris.”

Kata-kata itu membuat dunia Reza kembali runtuh.


Malam itu, Aisyah duduk di ruang tamu bersama Faris.

Pria itu diam, wajahnya terlihat letih. Ia sudah tahu tentang pertemuan Aisyah dengan Reza. Ia juga tahu tentang kebenaran yang selama ini Aisyah sembunyikan.

“Jadi, dia ayah kandung Rayyan…” kata Faris pelan, lebih seperti gumaman pada dirinya sendiri.

Aisyah mengangguk, matanya dipenuhi rasa bersalah. “Maaf, aku nggak pernah cerita sebelumnya. Aku takut kehilangan kamu.”

Faris menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Aku nggak menyalahkanmu, Ais. Aku tahu kamu hanya berusaha melindungi Rayyan. Tapi sekarang, dengan kembalinya Reza… apa yang kamu inginkan?”

Aisyah menggigit bibirnya, hatinya terasa berat.

“Aku nggak tahu…” bisiknya.

Faris tersenyum miris. “Kamu masih mencintainya, kan?”

Tak ada gunanya berbohong. Perlahan, Aisyah mengangguk.

Faris menatapnya lama sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan ke arah kamar Rayyan, membuka pintunya sedikit, lalu menatap bocah kecil itu yang tertidur lelap.

Setelah beberapa detik, ia kembali menutup pintu dan menoleh ke arah Aisyah.

“Aku bisa pergi kalau itu yang terbaik untuk kamu dan Rayyan.”

Mata Aisyah melebar. “Faris, jangan…”

Faris menahan senyum. “Aku mencintaimu, Ais. Tapi kalau aku cuma jadi penghalang untuk kebahagiaan kalian, aku lebih memilih mundur.”

Air mata Aisyah jatuh. Hatinya terasa remuk.

Ia ingin mempertahankan Faris, pria yang telah begitu banyak berkorban untuknya. Tapi ia juga tidak bisa mengingkari hatinya yang masih menyimpan cinta untuk Reza.

Dan sekarang, ia harus membuat keputusan.

Sebuah keputusan yang akan menentukan masa depannya, masa depan Rayyan, dan juga dua pria yang mencintainya.

Bab 10: Kutitipkan Cintaku di Antara Doa

Malam itu, Aisyah duduk sendirian di teras rumah. Udara terasa dingin, tapi hatinya lebih dingin lagi. Di dalam rumah, Rayyan tertidur dengan damai, tidak tahu bahwa ibunya tengah dilanda dilema terbesar dalam hidupnya.

Faris telah mengatakannya dengan jelas. Jika memang Aisyah ingin bersama Reza, ia akan mundur.

Di sisi lain, Reza masih menunggu jawabannya.

Aisyah mencintai Reza. Itu adalah kebenaran yang tidak bisa ia pungkiri. Tapi selama lima tahun terakhir, ada satu orang yang selalu ada untuknya, yang tanpa ragu mencintai dan menerima dirinya dan Rayyan tanpa syarat.

Faris.

Cinta tidak selalu soal memiliki. Cinta juga tentang ketulusan, tentang siapa yang bertahan saat yang lain memilih pergi.

Dan kini, ia tahu siapa yang telah bertahan selama ini.

Pagi itu, Aisyah menemui Reza di taman tempat mereka pertama kali bertemu kembali. Reza tampak gelisah, tapi saat melihat Aisyah datang, senyumnya mengembang.

Namun, saat melihat ekspresi di wajah Aisyah, senyumnya perlahan memudar.

“Aku sudah membuat keputusan, Reza,” kata Aisyah dengan suara lirih.

Reza menatapnya, menahan napas.

“Aku tetap bersama Faris.”

Hening.

Reza menunduk, mencoba menutupi kekecewaannya. Ia sudah menyiapkan hati untuk kemungkinan ini, tapi tetap saja, mendengarnya langsung dari mulut Aisyah terasa jauh lebih menyakitkan.

“Apa kamu yakin?” suaranya nyaris berbisik.

Aisyah tersenyum kecil, meski air mata menggenang di matanya. “Aku mencintaimu, Reza. Tapi aku tidak bisa mengabaikan Faris, orang yang sudah berkorban begitu banyak untuk aku dan Rayyan.”

Reza menarik napas dalam, berusaha menerima kenyataan. “Aku mengerti.”

Ia mencoba tersenyum, meski hatinya hancur.

“Rayyan adalah anakmu, Reza,” lanjut Aisyah. “Aku nggak akan pernah melarangmu untuk menjadi bagian dari hidupnya. Dia berhak mengenal ayah kandungnya.”

Reza mengangguk, meski matanya masih dipenuhi luka. “Aku akan selalu ada untuknya.”

Aisyah mengulurkan tangannya, dan Reza menggenggamnya erat untuk terakhir kalinya. Mereka saling menatap, seakan mengucapkan perpisahan tanpa kata.

Perasaan itu masih ada, dan mungkin tidak akan pernah hilang.

Tapi kini, mereka harus berjalan di jalan yang berbeda.


Beberapa hari kemudian, Aisyah duduk di samping Faris, menggenggam tangannya erat.

“Aku tetap di sini, Ris,” bisiknya.

Faris menoleh, menatapnya dalam. “Kamu yakin?”

Aisyah mengangguk, tersenyum penuh kepastian. “Aku nggak bisa mengingkari masa laluku, tapi aku juga nggak bisa mengabaikan orang yang selalu ada untukku.”

Faris tersenyum, lalu menarik Aisyah ke dalam pelukannya. “Terima kasih sudah memilihku.”

Di luar, langit mulai berubah warna, menyambut fajar yang baru.

Dan di dalam hati Aisyah, ia berdoa.

Untuk Reza, semoga ia menemukan kebahagiaan yang baru.
Untuk Rayyan, semoga ia tumbuh dengan cinta yang utuh.
Dan untuk dirinya sendiri, semoga ia tidak pernah menyesali keputusan ini.

Karena pada akhirnya, cinta tidak selalu harus memiliki.

Terkadang, cinta hanya bisa dititipkan dalam doa.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *