Novel Singkat Pelarian dari Istana Bayangan
Novel Singkat Pelarian dari Istana Bayangan

Novel Singkat: Pelarian dari Istana Bayangan

BAB 1: KELAHIRAN DI DALAM KEGELAPAN

Bayangan berkumpul di tengah ruangan yang dipenuhi cahaya ungu redup. Udara di dalam Istana Bayangan terasa lebih berat daripada biasanya, dipenuhi oleh energi gelap yang bergulung-gulung, berdenyut seperti jantung yang sedang berdetak.

Di tengah ruangan, seorang penyihir tua berdiri dengan tangan terangkat ke udara, melantunkan mantra dalam bahasa kuno. Suaranya bergema, memenuhi ruangan dengan kekuatan yang membuat dinding-dinding istana bergetar.

Di hadapannya, sebuah bentuk mulai muncul dari kegelapan.

Sebuah bayangan, lebih hitam dari malam, berkumpul menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar ilusi. Ia mulai membentuk tubuh, pertama-tama menyerupai siluet, lalu perlahan berubah menjadi sosok pria dengan mata hitam pekat yang bercahaya samar.

Sang penyihir tersenyum puas.

“Varian.”

Itulah nama yang diberikan kepadanya.

Prajurit bayangan. Makhluk yang diciptakan tanpa perasaan, tanpa kehendak bebas, hanya ada untuk melayani sang penyihir.

Varian tidak memiliki ingatan.

Baginya, dunia hanya terdiri dari dua hal perintah dan kegelapan.

Setiap kali penyihir berbicara, suaranya langsung masuk ke dalam pikirannya, memaksanya bergerak tanpa kehendaknya sendiri.

“Bunuh mereka.”

Tanpa ragu, Varian mengangkat pedang bayangannya dan menghabisi para tahanan yang ditangkap oleh penyihir. Darah tidak menyentuh tubuhnya, karena ia bukan makhluk fisik seperti manusia.

“Hancurkan desa itu.”

Ia bergerak tanpa berpikir, tubuhnya menembus kegelapan, membakar segala yang diperintahkan untuk dihancurkan.

Ia tidak pernah bertanya, tidak pernah meragukan perintah.

Hingga suatu malam.


Varian berdiri di balkon Istana Bayangan, memandangi dunia yang selalu diselimuti gelap. Ia seharusnya tidak memiliki pikiran sendiri, tetapi malam itu, sesuatu dalam dirinya berubah.

Ia mendengar suara.

Bukan suara sang penyihir.

Bukan suara perintah.

Tetapi suara… dari dalam dirinya sendiri.

“Siapa aku?”

Varian mengerutkan kening.

Itu adalah pertanyaan pertama yang pernah muncul di pikirannya.

Dan semakin ia mencoba mengabaikannya, suara itu semakin kuat.

“Apakah aku hanya alat? Atau aku bisa memilih jalanku sendiri?”

Ia menatap tangannya, bayangan hitam yang membentuk tubuhnya. Ia selalu berpikir bahwa ia hanyalah bagian dari kegelapan. Tetapi…

“Apakah aku bisa lebih dari ini?”

Dan malam itu, Varian melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mungkin.

Ia menolak perintah.

Keesokan harinya, sang penyihir memanggilnya ke ruang tahta.

Di hadapan Varian, seorang pria muda berlutut, tangannya terikat rantai bayangan. Matanya penuh ketakutan.

“Habisi dia.”

Varian mengangkat pedangnya.

Tetapi kali ini, ia tidak bisa menggerakkan tangannya.

Perintah itu masih ada di dalam pikirannya, tetapi ada sesuatu yang menahannya.

Kehendaknya sendiri.

Sang penyihir menyadari keanehan itu dan menyipitkan mata.

“Kenapa kau tidak bergerak?”

Varian tidak menjawab.

Untuk pertama kalinya, ia menatap pria yang seharusnya ia bunuh dan bertanya dalam pikirannya:

“Kenapa aku harus membunuhnya?”

Dan di saat itu, sesuatu dalam dirinya pecah.

Rantai tak terlihat yang mengikat pikirannya runtuh. Ia merasa… bebas.

Sang penyihir menyadarinya.

“Kau… memiliki kehendak bebas?” suaranya penuh kemarahan.

Ia mengangkat tangannya, dan bayangan di sekitar ruangan mulai bergerak, mencoba mengikat kembali Varian ke dalam kendali.

Namun, kali ini, Varian melawan.

Ia berbalik, melarikan diri dari ruang tahta, berlari secepat yang ia bisa menembus labirin kegelapan Istana Bayangan.

Di belakangnya, suara penyihir bergema.

“Tangkap dia! Jangan biarkan dia lolos!”

Dan malam itu, Varian menjadi musuh bagi penciptanya sendiri.

Ia berlari tanpa tahu ke mana harus pergi.

Setiap sudut Istana Bayangan dipenuhi oleh pasukan gelap, tetapi kali ini, Varian melawan.

Ia menggunakan kekuatan yang dulu diperintahkan untuk membunuh, sekarang untuk bertahan hidup.

Ia menembus gerbang utama, menghadapi para penjaga bayangan yang mencoba menangkapnya.

Pedangnya menebas kegelapan, tubuhnya melesat lebih cepat dari sebelumnya.

Namun, saat ia hampir berhasil keluar…

Sebuah cahaya menyilaukan muncul di hadapannya.

Dan ia merasakan tubuhnya melemah.

Sinar matahari pertama yang pernah ia lihat dalam hidupnya menyentuh ujung jarinya—dan rasa sakit yang luar biasa langsung menghantam tubuhnya.

Bayangannya terbakar.

Ia jatuh ke tanah, tubuhnya gemetar. Ia tahu jika ia tidak segera kembali ke kegelapan, ia akan lenyap.

Tetapi sebelum ia kehilangan kesadaran, seseorang menariknya masuk ke dalam bayangan sebuah bangunan.

Seseorang dengan mata hijau tajam, mengenakan jubah berdebu, dengan pedang terhunus di tangan.

“Jangan mati dulu. Aku butuh kau hidup.”

Varian mencoba berbicara, tetapi tubuhnya terlalu lemah.

Namun, sebelum semuanya menjadi gelap, ia mendengar suara perempuan itu sekali lagi.

“Namaku Elara. Aku datang untuk menghancurkan penyihir itu.”

Lalu, kegelapan menelannya kembali.

Dan dengan begitu, dimulailah pelarian Varian dari Istana Bayangan.

BAB 2: PELARIAN YANG MUSTAHIL

Dion terbangun dengan rasa nyeri menusuk di seluruh tubuhnya.

Ia berada dalam kegelapan, tetapi kali ini berbeda. Ini bukan kegelapan Istana Bayangan yang terasa berat dan dingin, melainkan bayangan alami—tempat teduh di bawah bangunan batu tua.

Matanya perlahan fokus pada sosok yang berdiri di depannya.

Seorang wanita, mengenakan jubah berdebu dan memegang pedang dengan gagang perak. Rambutnya berwarna coklat gelap, panjang dan tergerai liar. Matanya berwarna hijau tajam, menatapnya dengan penuh kewaspadaan.

“Akhirnya kau sadar.”

Dion mengerjap, mencoba berbicara, tetapi suaranya terdengar serak.

Wanita itu berjongkok di dekatnya, mengamati tubuh Dion yang tampak melemah.

“Kau hampir mati tadi,” katanya. “Aku melihatmu berlari keluar dari istana, lalu tiba-tiba kau hampir terbakar begitu terkena matahari.”

Dion mencoba bergerak, tetapi rasa sakit masih menahannya.

“Apa kau bisa bicara?”

Dion menelan ludah, lalu mencoba mengeluarkan suara.

“Siapa… kau?”

Wanita itu menyeringai. “Setidaknya kau masih bisa berbicara. Aku Elara.

Dion mengingat kata-kata terakhir yang ia dengar sebelum pingsan.

“Aku datang untuk menghancurkan penyihir itu.”

Penyihir. Penciptanya.

Dion menatap Elara dengan curiga.

“Kenapa… kau menolongku?”

Elara menyilangkan tangan di dadanya. “Karena aku ingin tahu kenapa salah satu prajurit bayangan kabur dari istananya sendiri.”

Dion terdiam.

Jika orang lain melihatnya, mereka pasti mengira ia adalah makhluk tanpa perasaan, hanya alat yang diciptakan untuk bertarung. Tetapi Elara berbicara dengannya seperti ia adalah seorang manusia.

“Jadi?” tanya Elara. “Kenapa kau lari dari tempat yang menciptakanmu?”

Dion menunduk, melihat bayangannya sendiri di tanah.

Sejak ia lahir, ia tidak pernah bertanya tentang siapa dirinya. Ia hanya mengikuti perintah.

Tapi sesuatu dalam dirinya telah berubah.

Dion mengepalkan tangannya. “Aku… ingin bebas.”

Elara mengangkat alis.

“Bebas?” katanya dengan nada mengejek. “Aku tidak tahu kalau bayangan bisa punya kehendak bebas.”

Dion menatapnya tajam. “Aku juga tidak tahu.”


Elara mengamati Dion dengan tatapan menilai, lalu berdiri.

“Kau harus ikut denganku,” katanya akhirnya.

Dion mengerutkan kening. “Ke mana?”

Elara menyeringai. “Ke tempat yang penyihirmu ingin hancurkan.”

Dion tidak punya pilihan selain mengikuti Elara. Tubuhnya masih lemah setelah terkena sinar matahari, tetapi entah bagaimana, keberadaan Elara membuatnya penasaran.

Wanita itu berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui.

Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong kota yang sepi. Dion menyadari bahwa mereka tidak berada di wilayah Istana Bayangan lagi. Udara terasa lebih segar, meskipun langit mulai beranjak gelap.

Akhirnya, mereka tiba di sebuah kamp tersembunyi di dalam reruntuhan kuil tua.

Saat mereka masuk, beberapa orang langsung menodongkan senjata ke arah Dion.

“Elara! Kau membawa makhluk bayangan ke sini?!”

Dion tetap diam, tetapi tubuhnya menegang, siap bertarung jika perlu.

Elara mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka menurunkan senjata.

“Tenang,” katanya. “Dia bukan musuh. Setidaknya… belum.”

Dion menatap Elara dengan tajam. Wanita itu menyeringai seolah menikmati situasi ini.

Seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya mendekat. “Elara, apa yang kau pikirkan? Makhluk ini adalah ciptaan penyihir!”

Elara menghela napas. “Ya, aku tahu. Tapi dia juga makhluk yang melarikan diri dari penyihir.”

Ruangan menjadi sunyi.

Beberapa orang bertukar pandang, tidak yakin apakah mereka harus mempercayai kata-kata Elara.

Pria dengan bekas luka menatap Dion dengan curiga. “Kenapa kau kabur?”

Dion menatap mereka satu per satu. “Aku… tidak ingin menjadi alat lagi.”

Beberapa orang tampak ragu, tetapi Elara hanya tersenyum puas.

“Lihat? Dia bisa berpikir sendiri.”

Pria itu masih tampak tidak yakin. “Tapi bagaimana kita bisa percaya padanya? Jika dia diciptakan oleh penyihir, mungkin dia masih terhubung dengannya.”

Dion menunduk, memikirkan kemungkinan itu.

Benarkah ia benar-benar bebas?

Elara menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Kalau kau memang bebas, buktikan. Apa kau siap melawan penyihirmu sendiri?”

Dion mengepalkan tangannya.

Sejak ia kabur, ia hanya berpikir tentang pelariannya sendiri. Tetapi kini, ia tahu bahwa hanya ada satu jalan keluar.

Ia harus menghancurkan penyihir itu.

Dion menatap Elara dengan penuh tekad.

“Aku siap.”


Malam itu, Dion duduk di luar tenda, menatap langit berbintang untuk pertama kalinya dalam hidupnya.

Di dalam istana, tidak pernah ada langit—hanya kegelapan.

Elara duduk di sampingnya, melemparkan batu kecil ke tanah. “Aku tidak pernah menyangka bisa berbicara dengan bayangan,” katanya santai.

Dion tetap diam.

Elara menatapnya. “Kau benar-benar bisa berpikir sendiri?”

Dion mengangguk. “Aku bisa.”

Elara menghela napas. “Kalau begitu… kau harus tahu sesuatu.”

Dion menoleh padanya.

Elara menatapnya dengan ekspresi serius. “Aku tidak hanya ingin menghancurkan penyihir itu karena dia jahat. Ada sesuatu yang lebih besar yang kau tidak tahu.”

Dion tetap diam, menunggu Elara melanjutkan.

“Bayangan tidak seharusnya memiliki kesadaran.”

Dion mengernyit. “Maksudmu?”

Elara menatapnya dengan tajam.

“Jika penyihir mati… maka semua bayangan buatannya juga akan lenyap.”

Dion merasakan tubuhnya menegang.

“Termasuk… aku?”

Elara mengangguk pelan.

Dion menatap tangannya, yang masih terbuat dari kegelapan. Jika kata-kata Elara benar, maka kebebasannya hanya sementara.

Jika ia ingin menghancurkan penyihir, maka ia juga harus menerima bahwa dirinya akan menghilang selamanya.

Ia baru saja menemukan keinginan untuk hidup… tetapi apakah ia benar-benar siap mati demi itu?

Elara menatapnya dengan hati-hati. “Jadi… masih ingin membantuku?”

Dion menatap langit malam.

Ia tidak tahu jawabannya.

Namun, ia tahu satu hal ia tidak ingin kembali ke Istana Bayangan.

Jadi, meskipun ia tidak tahu apakah ia akan bertahan, ia hanya bisa melakukan satu hal.

Ia harus maju.


Dan dengan itu, pelariannya berubah menjadi sebuah misi yang jauh lebih besar dari sekadar bertahan hidup.

BAB 3: RAHASIA DI BALIK BAYANGAN

Dion duduk diam di bawah langit malam yang luas, pikirannya kacau oleh kata-kata Elara.

“Jika penyihir mati… maka semua bayangan buatannya juga akan lenyap.”

Itu berarti dirinya juga.

Sejak ia kabur dari Istana Bayangan, ia tidak pernah benar-benar berpikir tentang apa yang akan terjadi setelahnya. Ia hanya ingin bebas. Ia ingin berpikir sendiri, hidup sendiri, memilih sendiri.

Tetapi kini, sebuah kebenaran menghantamnya tanpa ampun.

Kebebasannya tidak akan bertahan lama.

Elara menatapnya dari samping, ekspresinya sulit ditebak.

“Kau masih ingin membantuku?” tanyanya pelan.

Dion mengepalkan tinjunya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Jika ia berkata tidak, maka ia bisa tetap hidup, tetapi hanya akan terus diburu oleh penyihir dan tidak pernah benar-benar bebas.

Jika ia berkata ya, maka ia harus menerima bahwa kehidupannya akan berakhir begitu penyihir itu mati.

Bagaimana mungkin ia bisa memilih antara hidup dan kebebasan?


Elara menghela napas. “Kau bisa mengambil waktu untuk berpikir,” katanya akhirnya.

Dion mengangguk pelan.

Malam itu, ia tidak bisa tidur.

Ia terus menatap tangannya, yang tetap berwarna hitam pekat, tidak seperti tangan manusia biasa.

“Apakah aku benar-benar hidup?” pikirnya.

Ia memiliki kesadaran. Ia bisa berpikir, merasakan, dan bahkan memiliki keinginan.

Tetapi apakah itu cukup untuk dianggap sebagai makhluk yang nyata?

Jika ia tidak memiliki tubuh sendiri, jika keberadaannya hanya bergantung pada penyihir yang menciptakannya… maka apakah ia sebenarnya hanya ilusi?

Dion menggertakkan giginya.

Tidak.

Ia menolak menerima itu.

Ia bukan sekadar bayangan. Ia memiliki kehendak bebas.

Dan jika hidupnya memang akan berakhir, setidaknya ia akan memilih bagaimana ia menghadapinya.


Pagi itu, Dion menemui Elara.

“Aku akan membantumu,” katanya, suaranya tegas.

Elara menatapnya dengan mata penuh tanya. “Kau yakin?”

Dion mengangguk. “Aku lebih memilih mati dengan kehendak sendiri daripada hidup sebagai alat.”

Elara terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil. “Baiklah,” katanya. “Kalau begitu, kau harus tahu apa yang kita hadapi.”

Ia membentangkan sebuah peta di atas meja kayu. Peta itu menunjukkan Istana Bayangan, dikelilingi oleh hutan gelap dan benteng-benteng pertahanan yang dijaga oleh Pemburu Bayangan—prajurit elit yang diciptakan khusus untuk menangkap atau membunuh makhluk seperti Dion.

“Dalam tiga hari, kita akan menyerang,” kata Elara. “Kita harus menghancurkan inti kekuatan penyihir yang berada di menara tertinggi istana. Itu satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini.”

Dion mengamati peta itu dengan cermat. Ia mengenal istana lebih baik daripada siapa pun.

“Aku tahu jalan rahasia ke dalamnya,” katanya.

Elara menatapnya, tertarik. “Oh? Itu akan sangat berguna.”

Dion menelan ludah. “Tapi jalur itu berbahaya. Ada bayangan penjaga yang tidak bisa dilawan dengan senjata biasa.”

Elara mengangkat pedangnya. “Pedang ini terbuat dari perak suci. Cukup kuat untuk melawan mereka?”

Dion mengamati pedang itu. Cahaya yang dipantulkannya membuatnya sedikit tidak nyaman, tetapi ia mengangguk. “Ya, mungkin bisa.”

Elara menyeringai. “Bagus. Kalau begitu, kita punya rencana.”


Selama dua hari berikutnya, Dion dan Elara berlatih bersama.

Dion mengajari Elara cara bergerak di dalam bayangan, sementara Elara melatih Dion menggunakan senjata manusia.

“Aku tidak membutuhkan pedang,” kata Dion suatu hari. “Bayanganku sendiri bisa menjadi senjata.”

“Tapi bagaimana jika kau kehilangan kekuatanmu?” balas Elara. “Kau harus siap bertarung dengan cara lain.”

Dion mendesah, tetapi akhirnya menerima pedang latihan yang Elara berikan.

Hari demi hari, mereka semakin terbiasa satu sama lain.

Mereka berbagi cerita—Elara tentang bagaimana keluarganya dibunuh oleh penyihir, dan Dion tentang bagaimana ia mulai menyadari bahwa ia tidak ingin menjadi boneka lagi.

Suatu malam, saat mereka duduk di sekitar api unggun, Elara bertanya pelan,

“Kalau kita berhasil… apa yang akan kau lakukan?”

Dion terdiam. Ia tidak bisa menjawabnya.

Karena ia tahu bahwa jika mereka berhasil, ia tidak akan ada lagi untuk melihat dunia yang bebas.

Elara menatapnya dengan tatapan lembut yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

“Kau pantas untuk hidup,” katanya pelan.

Dion tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat. “Aku hanya ingin membuat pilihan sendiri,” katanya.

Elara mengangguk. “Aku mengerti.”

Mereka duduk dalam keheningan, tetapi keheningan itu terasa berbeda.

Seolah-olah mereka memahami satu sama lain lebih dari sebelumnya.

Namun, di dalam hati masing-masing, mereka tahu bahwa semakin mereka dekat, semakin menyakitkan akhirnya nanti.


Hari ketiga tiba lebih cepat dari yang mereka duga.

Pasukan pemberontak berkumpul di luar hutan, bersiap menyerang.

Dion berdiri di samping Elara, menatap Istana Bayangan di kejauhan.

Penyihir itu pasti sudah tahu mereka akan datang.

“Aku akan masuk melalui jalur rahasia,” kata Dion. “Aku bisa membuka gerbang utama dari dalam.”

Elara mengangguk. “Hati-hati.”

Dion hendak pergi, tetapi sebelum ia sempat melangkah, Elara menarik tangannya.

Dion menoleh, sedikit terkejut.

Elara menatapnya dalam-dalam, lalu berbisik, “Jangan mati sebelum aku mengucapkan sesuatu padamu.”

Dion mengangkat alis. “Apa?”

Elara tersenyum tipis. “Nanti. Jika kita berhasil.”

Dion menatapnya sejenak, lalu mengangguk.

Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, ia berlari masuk ke dalam bayangan, menyelinap menuju istana.

Hatinya berdebar.

Bukan karena ketakutan, tetapi karena ia tahu bahwa pertempuran jajah ytreuytkhjhgjfgfxjhhkhuihugksjshabuheew T rrrrini akan menjadi akhir dari segalanya.

Apakah itu akan menjadi akhir dari penyihir…

Atau akhir dari dirinya sendiri.


Dan dengan itu, pertempuran menuju Istana Bayangan pun dimulai.

BAB 4: PERBURUAN DIMULAI

Dion melesat di antara bayangan, menyelinap melalui lorong-lorong gelap yang hanya ia yang tahu. Istana Bayangan adalah tempat yang telah ia kenal sepanjang hidupnya—labirin kegelapan tempat ia diciptakan. Namun, kali ini, ia datang bukan sebagai prajurit penyihir, melainkan sebagai musuh.

Di belakangnya, pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Elara bergerak menuju gerbang utama. Mereka hanya bisa masuk jika Dion berhasil membuka jalan dari dalam.

Namun, ada satu masalah besar.

Penyihir pasti sudah tahu ia akan kembali.

Dan benar saja.

Begitu Dion hampir mencapai ruang kontrol di dalam istana, suara langkah berat bergema di belakangnya.

Dion menoleh—dan melihat Pemburu Bayangan.

Mereka adalah prajurit seperti dirinya, tetapi mereka tidak memiliki kehendak bebas. Mereka masih berada dalam kendali penuh penyihir, tanpa emosi, tanpa rasa takut.

Tiga di antaranya berdiri di lorong sempit, mata mereka bersinar merah pekat.

“Varian.”

Salah satu dari mereka berbicara dengan suara dingin.

“Sang penyihir memerintahkanmu untuk kembali.”

Dion merasakan tubuhnya menegang.

Bagian dari dirinya, bagian yang masih terikat dengan sihir penciptanya, menginginkan ia untuk patuh.

Tetapi tidak.

Ia telah memilih jalannya sendiri.

Dion menarik napas dalam dan mengangkat tangannya. Dari telapak tangannya, bayangan pekat mulai berkumpul, membentuk pedang hitam yang berdenyut dengan energi kegelapan.

“Aku bukan lagi prajurit penyihir.”

Lalu, tanpa ragu, ia melompat ke arah mereka.

PERTARUNGAN DENGAN BAYANGAN

Pertarungan meletus di dalam koridor sempit istana.

Dion melesat di antara bayangan, menggunakan kecepatan dan kelincahannya untuk menghindari serangan lawan. Para Pemburu Bayangan mungkin lebih kuat, tetapi mereka masih terikat pada perintah.

Mereka tidak bisa berpikir sendiri.

Dion memanfaatkan itu.

Saat salah satu dari mereka menyerang dengan pedang bayangan, Dion bergerak lebih cepat, menyelinap ke dalam kegelapan di belakang mereka, lalu menebas dengan cepat.

Darah hitam pekat menyembur dari tubuh Pemburu Bayangan pertama, yang langsung roboh tanpa suara.

Dua lainnya bergerak serempak, mencoba menyerangnya dari dua arah sekaligus.

Dion menghindar dengan lompatan gesit, tetapi salah satu dari mereka berhasil menghantam dadanya dengan pukulan kuat.

Dion terlempar ke dinding, merasakan tubuhnya bergetar akibat dampaknya.

Tetapi ia tidak punya waktu untuk merasakan sakit.

Ia mendarat dengan cepat, berguling ke samping, lalu melesat ke depan dan menusukkan pedangnya ke dada salah satu Pemburu Bayangan.

Namun, sebelum yang terakhir bisa menyerangnya, suara ledakan keras menggema dari luar istana.

Dion menoleh.

Elara dan pasukan pemberontak telah mulai menyerang.

Ia tidak bisa membuang waktu lagi.

Dengan satu gerakan cepat, ia menebas lawan terakhirnya.

Tubuh Pemburu Bayangan itu menghilang ke dalam kegelapan, dan Dion segera melanjutkan misinya.


Dion akhirnya sampai di ruang kontrol, sebuah ruangan besar yang berisi mekanisme sihir yang mengendalikan gerbang utama istana.

Ia menekan simbol sihir di dinding, dan dengan suara gemuruh, gerbang utama terbuka.

Dari kejauhan, ia bisa melihat Elara dan pasukannya mulai menerobos masuk.

Tetapi sebelum ia bisa bergerak lebih jauh—

Sebuah pedang menembus punggungnya.

Dion membelalakkan mata.

Darah hitam mengalir dari lukanya, dan tubuhnya bergetar.

Ia menoleh ke belakang, dan melihat salah satu pemberontak berdiri di sana, menatapnya dengan mata yang penuh pengkhianatan.

“Kau benar-benar berpikir kami bisa mempercayaimu?” pria itu berbisik dingin.

Dion merasakan dunia berputar.

Ia mencoba melawan, tetapi kekuatannya melemah dengan cepat akibat serangan mendadak itu.

Pria itu mendorong pedangnya lebih dalam.

“Kau hanyalah bayangan. Kau seharusnya tidak ada.”

Dion jatuh berlutut, darah hitamnya mengalir di lantai batu.

Ia telah membuka gerbang untuk mereka, telah berjuang untuk kebebasan yang baru saja ia temukan—dan sekarang, ia dikhianati oleh mereka yang seharusnya menjadi sekutunya.

Tetapi sebelum pria itu bisa menghabisinya—

Sebuah anak panah menembus dadanya.

Dion menoleh dan melihat Elara berdiri di ambang pintu, busurnya masih terangkat, wajahnya penuh kemarahan.

Pria itu jatuh ke tanah, mati dalam sekejap.

Elara berlari ke arahnya, wajahnya penuh kecemasan.

“Dion!”

Dion tersenyum lemah. “Aku sudah… membuka gerbang.”

Elara berlutut di sampingnya, mencoba menghentikan pendarahan di punggungnya.

“Kau bodoh,” gumamnya. “Kau seharusnya lebih berhati-hati.”

Dion tersenyum kecil, meskipun tubuhnya gemetar. “Aku… tidak menyangka akan dikhianati.”

Elara menggeleng. “Aku juga tidak. Tapi kita tidak bisa berhenti sekarang. Kita harus menyelesaikan ini.”

Dion mengangguk pelan.

Ia tahu ini belum berakhir.

Mereka masih harus menghadapi penyihir itu.

Dan dengan luka di punggungnya, ia tidak tahu apakah ia bisa bertahan sampai akhir.

Tetapi ia tidak peduli.

Selama ia masih bisa berdiri, ia akan terus berjuang.

Dan pertempuran mereka baru saja dimulai.

BAB 5: PENGKHIANATAN DI TENGAH MALAM

Darah hitam masih mengalir dari luka di punggung Dion saat Elara membantunya berjalan keluar dari ruang kontrol. Mereka harus bergerak cepat. Gerbang utama telah terbuka, dan pasukan pemberontak sudah mulai masuk ke dalam Istana Bayangan, bertarung melawan para penjaga kegelapan.

Namun, pengkhianatan yang baru saja terjadi membuat suasana menjadi lebih mencekam.

Seseorang dari pemberontak telah menusuk Dion.

Itu berarti, ada mata-mata penyihir di antara mereka.

Dan jika ada satu, bisa jadi ada lebih banyak.

Elara membaringkan Dion di sudut ruangan yang cukup aman, lalu dengan cekatan mengeluarkan ramuan penyembuh dari tasnya.

“Aku tidak tahu apakah ini akan bekerja pada makhluk sepertimu,” katanya sambil membuka botol kaca kecil berisi cairan berwarna perak. “Tapi kita harus mencobanya.”

Dion merasakan sensasi dingin saat ramuan itu menyentuh luka di punggungnya. Ia mengerang pelan, tetapi sedikit demi sedikit, rasa sakitnya mulai berkurang.

Elara menghela napas lega. “Baiklah. Setidaknya kau tidak akan mati sekarang.”

Dion menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Siapa pria yang menyerangku?”

Elara mengepalkan tangan. “Aku tidak tahu namanya. Tapi jelas dia bukan satu-satunya yang bekerja untuk penyihir.”

Dion menatap sekeliling, suara pertempuran dari luar semakin keras.

“Jika ada pengkhianat lain…” katanya pelan, “…mereka bisa menyerang kapan saja.”

Elara mengangguk. “Itulah yang aku khawatirkan.”

Mereka saling bertukar pandang dalam keheningan.

Tidak ada waktu untuk meragukan satu sama lain sekarang.

Mereka harus menyelesaikan misi ini sebelum lebih banyak nyawa terbuang sia-sia.


Setelah beberapa menit beristirahat, Dion sudah cukup kuat untuk berdiri lagi.

Mereka harus menuju menara tertinggi di Istana Bayangan—tempat di mana inti kekuatan penyihir berada.

Tetapi ada satu masalah besar.

Menara itu hanya bisa dimasuki oleh makhluk kegelapan.

Itu berarti Dion harus masuk sendirian.

Elara menatapnya ragu. “Aku tidak suka ini.”

Dion tersenyum kecil. “Kau tidak pernah suka rencana yang melibatkanku sendirian.”

Elara mendengus. “Karena kau selalu membuatku khawatir, bodoh.”

Dion terdiam sesaat, merasakan kehangatan aneh di hatinya.

Ia tidak tahu sejak kapan ia mulai merasa nyaman dengan kehadiran Elara, tetapi ada sesuatu dalam cara gadis itu memandangnya yang membuatnya ingin terus berjuang.

Namun, mereka tidak punya waktu untuk membahas perasaan mereka sekarang.

Dion menatap menara yang menjulang tinggi di atas mereka. Bayangan mengelilinginya, bergerak seperti makhluk hidup, siap menghancurkan siapa pun yang mencoba masuk.

Tetapi bagi Dion, bayangan bukanlah penghalang.

“Elara,” katanya. “Tunggu aku di sini. Jika aku tidak kembali dalam satu jam… pergilah tanpa aku.”

Elara menatapnya tajam. “Jangan bodoh. Aku tidak akan pergi tanpa memastikan kau berhasil.”

Dion tersenyum, lalu berbalik.

Tanpa ragu, ia melangkah masuk ke dalam bayangan yang menyelimuti menara.

Dan dalam sekejap, ia menghilang.


Dion muncul di dalam ruang utama menara, sebuah tempat yang terasa lebih gelap daripada bagian istana lainnya.

Di hadapannya, berdiri sang penyihir.

Wajahnya tersembunyi di balik tudung jubah hitam, tetapi mata merahnya menyala terang dalam kegelapan.

“Kau akhirnya kembali,” kata penyihir itu, suaranya dalam dan bergema di seluruh ruangan.

Dion mengepalkan tangannya. “Aku tidak datang untuk tunduk padamu lagi.”

Penyihir itu tersenyum kecil. “Tentu saja. Kau sekarang percaya bahwa kau memiliki kehendak bebas, bukan?”

Dion menegang.

“Aku memang memiliki kehendak bebas.”

Penyihir itu melangkah maju, bayangannya menjulur seperti tentakel hitam di lantai.

“Varian…” katanya pelan. “Kau tidak pernah benar-benar bebas.”

Dion menatapnya tajam.

“Kau diciptakan olehku. Kekuatanku mengalir dalam dirimu. Kau berpikir telah melepaskan diri, tetapi sesungguhnya… aku masih bisa mengendalikannya.”

Dion merasa dadanya berdenyut sakit.

Tiba-tiba, tubuhnya mulai bergerak sendiri.

Tangannya mengangkat pedang bayangannya—bukan karena keinginannya sendiri.

Tidak…

Tidak mungkin.

Penyihir itu tersenyum lebih lebar. “Lihat? Kau masih milikku.”

Dion berusaha melawan, tetapi tubuhnya tidak mendengarkan perintahnya sendiri.

Penyihir itu mengangkat tangannya—dan dalam sekejap, Dion merasakan sesuatu di dalam dirinya ditarik.

Energinya.

Bayangannya.

Jiwanya.

Ia sedang dihancurkan dari dalam.


Tiba-tiba, suara ledakan keras menggema di seluruh ruangan.

Dion jatuh berlutut, tubuhnya kembali menjadi miliknya sendiri.

Dari balik bayangan, Elara muncul, pedangnya bersinar dengan cahaya suci yang menyakitkan mata penyihir.

“Kau pikir aku akan membiarkanmu bertarung sendirian?” katanya, suaranya penuh keberanian.

Dion menatapnya, setengah terkejut, setengah lega.

Elara menatap penyihir dengan penuh kebencian.

“Sudah cukup,” katanya. “Hari ini, kau akan mati.”

Penyihir itu menyipitkan mata, lalu tertawa kecil.

“Maka cobalah, Putri Kegelapan.”

Dion tersentak.

Putri Kegelapan?

Elara menegang.

Penyihir itu tersenyum penuh tipu daya. “Kau belum memberitahunya, bukan?”

Dion menatap Elara, tetapi gadis itu tetap diam.

Penyihir itu melanjutkan, “Kau bukan hanya seorang pemberontak, Elara. Kau adalah keturunan dari bayangan pertama.”

Dion terdiam.

Itu berarti…

Elara bukan hanya manusia biasa.

Ia memiliki darah bayangan di dalam dirinya.

Dan jika itu benar… maka satu hal menjadi jelas.

Hanya Elara yang bisa mengalahkan penyihir.

Tetapi…

Jika ia menggunakan kekuatannya untuk menghancurkan penyihir itu…

Dion juga akan lenyap bersamanya.

Mereka saling bertatapan, menyadari kutukan yang tak bisa dihindari.

Cinta mereka telah menjadi pengorbanan terbesar.

Dan hanya ada satu jalan keluar.


Perang di dalam menara telah dimulai.

Dan bagi Dion dan Elara…

Ini bukan hanya pertempuran untuk dunia.

Ini adalah pertarungan melawan takdir mereka sendiri.

BAB 6: CINTA DALAM KEGELAPAN

Dion menatap Elara dengan perasaan bercampur aduk.

Penyihir telah mengungkapkan sebuah kebenaran yang seharusnya tidak pernah ia dengar bahwa Elara bukan manusia biasa.

Bahwa darah bayangan mengalir di dalam dirinya.

Bahwa hanya dia yang bisa menghancurkan penyihir.

Tetapi jika Elara melakukannya, maka Dion juga akan lenyap bersama semua makhluk bayangan lainnya.

Mereka berdua berdiri di dalam menara yang berdenyut dengan energi kegelapan, sementara penyihir itu mengawasi mereka dengan tatapan penuh kemenangan.

“Sekarang, Putri Kegelapan,” suara penyihir bergema di seluruh ruangan, “apakah kau benar-benar ingin membunuhku? Karena jika kau melakukannya, kau juga akan membunuh dia.”

Elara menggenggam pedangnya lebih erat.

Tangannya gemetar.

Dion bisa melihatnya dengan jelas—konflik yang kini melanda hatinya.

Jika Elara ingin menyelamatkan dunia, ia harus menghancurkan penyihir.

Tetapi dengan melakukan itu, ia akan kehilangan Dion.


Dion menarik napas dalam. Ia tahu ini bukan saatnya untuk ragu.

Ia melangkah maju, berdiri di antara Elara dan penyihir.

“Elara,” katanya pelan.

Gadis itu menoleh, matanya penuh kebimbangan.

“Aku tahu kau tidak ingin melakukan ini,” lanjut Dion. “Tapi kau harus.”

Elara menggigit bibirnya. “Tidak.”

Dion terkejut. “Apa?”

Elara menatapnya dengan mata yang mulai basah. “Aku tidak akan membunuhmu.”

Penyihir itu tertawa kecil. “Sungguh keputusan yang naif.”

Elara tidak peduli. Ia menatap Dion dengan penuh ketegasan. “Kita akan mencari cara lain. Ada cara lain.”

Dion menelan ludah. “Elara…”

Tapi gadis itu menggeleng cepat. “Aku tidak akan membunuhmu hanya demi dunia ini.”

Penyihir itu berdecak. “Betapa menyedihkan.”

Lalu, dengan satu gerakan tangan, ia menyerang.


Bayangan di sekitar mereka meledak dalam pusaran gelap. Dion dan Elara langsung melompat ke arah berlawanan, menghindari serangan yang bisa menghancurkan mereka dalam sekejap.

Penyihir itu tidak ingin membuang waktu. Ia tahu bahwa selama Elara ragu, ia memiliki keunggulan.

Dion melesat ke depan, mencoba menyerang dengan pedangnya, tetapi bayangan penyihir menyerap serangannya tanpa dampak.

Sebuah ledakan energi hitam menghantamnya, melemparkannya ke dinding.

Elara berlari ke arahnya, tetapi penyihir mengangkat tangannya—dan rantai bayangan langsung membelit tubuhnya, menghentikannya di tempat.

Dion berusaha bangkit, tetapi tubuhnya masih lemah akibat pertempuran sebelumnya.

Penyihir itu berjalan mendekat, menatap Elara dengan tatapan penuh ejekan.

“Kau terlalu lemah,” katanya. “Kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku jika kau terus membiarkan hatimu mengendalikanmu.”

Elara berjuang, mencoba melepaskan diri, tetapi rantai bayangan semakin erat.

Penyihir itu mengangkat tangan, menyiapkan pukulan terakhir.

“Elara!” Dion berteriak.

Elara menatapnya, dan dalam satu detik yang terasa seperti selamanya, mereka berdua tahu tidak ada jalan keluar.

Kecuali satu.

Elara menutup matanya.

Dan dengan suara yang nyaris bergetar, ia berbisik,

“Maafkan aku, Dion.”

Lalu, tiba-tiba, cahaya mulai muncul dari dalam tubuhnya.


Dion membelalakkan mata.

Cahaya itu… bukan sihir biasa.

Itu adalah kekuatan yang telah disegel di dalam darah Elara—kekuatan yang bisa menghancurkan semua bayangan.

Bahkan penyihir itu pun tampak terkejut.

“Tidak mungkin…”

Elara membuka matanya.

Kini, matanya tidak lagi hijau—melainkan bersinar keemasan.

Dion bisa merasakan bahwa gadis itu telah membuat keputusan.

Dan itu bukan keputusan yang ia inginkan.

“Elara, jangan—!”

Tetapi sudah terlambat.

Dengan satu teriakan penuh kekuatan, Elara membiarkan cahaya itu meledak keluar dari tubuhnya, menyelimuti seluruh ruangan.

Dion merasakan sesuatu di dalam dirinya mulai pecah.

Tubuhnya melemah. Bayangannya mulai menghilang.

Ia jatuh ke lantai, napasnya tersengal.

Ia tahu ini akan terjadi.

Ia tahu bahwa ini adalah akhir bagi dirinya.

Tetapi sebelum semuanya menjadi gelap, ia merasakan sentuhan hangat di wajahnya.

Ia membuka mata dengan sisa kekuatannya.

Elara berlutut di sampingnya, air matanya jatuh ke pipinya.

“Maaf…” bisik gadis itu.

Dion ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tidak keluar.

Hanya ada satu hal yang bisa ia lakukan.

Ia tersenyum.

Ia tidak ingin membuat Elara merasa bersalah.

Karena jika ia harus mati…

Setidaknya, ia ingin mati dengan senyuman.

“Elara…” bisiknya lemah.

Elara menggenggam tangannya erat, seolah-olah dengan begitu ia bisa menahannya agar tidak pergi.

Tetapi mereka berdua tahu…

Ini adalah perpisahan.

Dion menatapnya satu terakhir kali.

Lalu, dengan satu hembusan napas terakhir—

Ia menghilang.


Ledakan cahaya itu merobek seluruh Istana Bayangan.

Penyihir itu menjerit, tubuhnya perlahan menghilang dalam kehancuran yang ia ciptakan sendiri.

Dan ketika semuanya berakhir…

Yang tersisa hanyalah keheningan.

Elara berdiri di tengah reruntuhan, sendirian.

Penyihir telah mati.

Dunia telah bebas.

Tetapi harga yang harus ia bayar terlalu besar.


Minggu-minggu berlalu. Dunia mulai kembali membangun dirinya.

Para pemberontak telah menang.

Tetapi di hati Elara, tidak ada kemenangan.

Setiap malam, ia berdiri di atas bukit, menatap langit malam.

Mencari sesuatu yang ia tahu tidak akan pernah kembali.

Mencari seseorang yang telah hilang di dalam kegelapan.

Kadang-kadang, ia memejamkan matanya dan berharap bahwa semuanya hanya mimpi.

Tetapi ketika ia membuka matanya, dunia tetap sama.

Dan Dion tetap tidak ada di sana.

Ia menghapus air matanya.

Lalu, dengan suara pelan, ia berbisik ke langit.

“Aku mencintaimu, Dion.”

Tetapi hanya angin yang menjawabnya.

Namun, jauh di dalam bayangan yang tersisa…

Sebuah bentuk mulai muncul.

Sebuah siluet.

Seseorang… yang seharusnya sudah tiada.

Dan dengan suara samar, terdengar bisikan di antara bayangan.

“Elara…”


Dion mungkin telah menghilang… tetapi apakah itu benar-benar akhir?

Ataukah cinta mereka akan menemukan jalan kembali?

BAB 7: BAYANGAN YANG KEMBALI

Elara berdiri di atas bukit, menatap langit malam dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Angin berembus lembut, membawa kesejukan yang menenangkan, tetapi hatinya tetap terasa kosong.

Sudah tiga minggu sejak penyihir itu mati.

Sejak Dion menghilang.

Dunia telah kembali damai, tetapi bagi Elara, kedamaian itu terasa seperti hukuman.

Ia telah melakukan apa yang harus ia lakukan. Ia telah menyelamatkan dunia.

Tetapi harga yang ia bayar adalah kehilangan seseorang yang telah mengubah cara pandangnya tentang kehidupan.

Dion.

Bayangan yang dulunya tanpa perasaan, tanpa kehendak, tanpa kehidupan… yang perlahan-lahan menjadi lebih manusia daripada siapa pun yang pernah Elara temui.

Dan sekarang, dia telah tiada.

Atau… begitu yang Elara pikirkan.


Malam itu, Elara kembali ke reruntuhan Istana Bayangan.

Setiap malam sejak kehancuran istana, ia selalu kembali ke tempat ini, seolah berharap bahwa ia akan menemukan jejak Dion di sana.

Namun, selalu sama.

Hanya puing-puing dan kegelapan yang tersisa.

Tetapi malam ini berbeda.

Saat ia berjalan melewati sisa-sisa menara yang telah runtuh, Elara merasakan sesuatu.

Sebuah getaran aneh di udara.

Lalu, sebuah suara.

Suara yang tidak seharusnya ada.

“Elara…”

Elara langsung menegang.

Itu… mustahil.

Ia berbalik cepat, mencari sumber suara.

Tapi yang ia lihat hanya bayangan.

Bukan makhluk, bukan seseorang. Hanya bayangan biasa yang terpantul di tanah karena cahaya bulan.

Namun, ada sesuatu yang berbeda.

Bayangan itu bergerak.


Elara mendekat, matanya dipenuhi rasa ingin tahu dan ketakutan.

Bayangan itu tidak berbentuk manusia.

Namun, ia bergerak seolah memiliki kesadaran.

Dan saat Elara semakin dekat, bayangan itu mulai membentuk sesuatu.

Sebuah silhouette.

Seseorang… yang ia kenal.

Elara menahan napas.

Dion.

Tetapi bukan tubuhnya—hanya bayangannya.

“Ini tidak mungkin…” bisiknya, setengah berharap, setengah takut.

Bayangan itu bergetar, lalu suara Dion terdengar sekali lagi, lemah, tetapi jelas.

“Aku… di sini.”

Elara merasakan dadanya berdebar.

“Bagaimana…?”

Dion tidak menjawab. Ia tidak bisa.

Karena ia bukan lagi dirinya yang dulu.

Yang tersisa darinya hanyalah bayangan—sisa dari keberadaannya sebelum ia menghilang.

Tetapi meskipun hanya bayangan, ia tetap ada.

Elara merasakan matanya mulai panas.

Jika Dion masih ada, meskipun hanya dalam bentuk ini…

Maka ia belum benar-benar hilang.

CINTA YANG MELAWAN TAKDIR

Elara berlutut, menatap bayangan itu dengan penuh harapan.

“Jika kau masih ada…” suaranya bergetar, “maka ada cara untuk mengembalikanmu.”

Bayangan itu tidak menjawab.

Tapi ia tetap di sana, tidak menghilang.

Elara tahu bahwa ini bukan kebetulan.

Ini adalah keajaiban.

Tetapi jika Dion hanya bayangan… maka itu berarti jiwanya belum sepenuhnya hilang.

Mungkin tubuhnya telah lenyap, tetapi sadarannya tetap tertinggal di dalam dunia ini.

Dan jika masih ada satu bagian dari dirinya yang tersisa…

Maka Elara tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan Dion kembali.

AWAL DARI PENCARIAN BARU

Keesokan harinya, Elara mengumpulkan semua informasi yang bisa ia temukan tentang sihir bayangan.

Ia menyelidiki legenda lama, berbicara dengan penyihir-penyihir tua, mencari kitab-kitab kuno yang mungkin bisa memberinya jawaban.

Dan akhirnya, ia menemukan sesuatu.

Ada cara untuk mengembalikan jiwa bayangan.

Tetapi itu bukan ritual sederhana.

Itu adalah perjalanan ke dunia di antara kegelapan dan cahaya—tempat di mana makhluk yang terjebak antara kehidupan dan kematian masih bisa diselamatkan.

Tetapi tidak ada yang pernah kembali dari sana.

Elara menatap kitab tua di hadapannya.

Misinya telah selesai. Dunia telah selamat.

Namun, ia tidak peduli tentang dunia lagi.

Ia hanya ingin mendapatkan Dion kembali.

Dan jika itu berarti ia harus melangkah ke tempat yang tidak seorang pun berani masuki…

Maka ia akan melakukannya.

Tanpa ragu.

Tanpa takut.

Karena bagi Elara, Dion adalah satu-satunya yang berarti.

Dan ia tidak akan kehilangan dia untuk kedua kalinya.

Dengan tekad bulat, Elara mempersiapkan dirinya.

Ia akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan siapa pun.

Ia akan melangkah ke dunia bayangan—tempat di mana Dion masih ada.

Dan ia akan membawa dia kembali.

Apapun harga yang harus ia bayar.


Pencarian baru telah dimulai.

Dan kali ini, Elara bertarung bukan untuk dunia.

Tapi untuk cintanya.

BAB 8: MELANGKAH KE DUNIA BAYANGAN

Malam itu, Elara berdiri di tengah reruntuhan Istana Bayangan.

Angin berembus dingin, membawa bisikan samar yang terdengar seperti suara seseorang yang telah lama hilang.

Dion.

Bayangannya masih ada, terpantul samar di tanah, bergerak tanpa tubuh yang nyata.

Elara tahu bahwa ini bukan sekadar ilusi.

Dion masih ada.

Tetapi ia tidak bisa menyentuhnya, tidak bisa mendengar suaranya dengan jelas.

Dan jika ia ingin membawanya kembali, maka hanya ada satu cara.

Ia harus melangkah ke dunia bayangan.


Dengan buku sihir kuno di tangannya, Elara menyiapkan ritual yang telah ia temukan.

Tidak ada yang pernah mencoba ini sebelumnya.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika seorang manusia memasuki dunia bayangan.

Tetapi ia tidak peduli.

Jika itu satu-satunya cara untuk menemukan Dion, maka ia akan mengambil risiko itu.

Ia menggambar lingkaran sihir di atas tanah, menggunakan tinta hitam yang bercampur dengan sihir cahaya dari darahnya sendiri.

Bayangan di sekitar tempat itu mulai bergerak, seolah merespons keberadaannya.

Suara Dion terdengar lagi, samar dan jauh.

“Elara…”

Elara menatap lingkaran sihir yang kini mulai berpendar dengan cahaya gelap.

Lalu, tanpa ragu, ia melangkah masuk.

Saat ia membuka matanya, dunia di sekelilingnya telah berubah.

Tidak ada langit. Tidak ada tanah.

Hanya bayangan yang tak berujung.

Tempat ini bukan dunia nyata. Ini adalah persimpangan antara kehidupan dan kegelapan, tempat di mana makhluk yang kehilangan bentuk fisiknya masih bisa bertahan.

Elara melihat ke sekeliling, mencoba mencari sesuatu—atau seseorang.

Kemudian, di kejauhan, ia melihatnya.

Dion.

Berdiri di antara kegelapan, tubuhnya masih berbentuk bayangan, tetapi kali ini lebih nyata daripada sebelumnya.

Elara merasakan jantungnya berdegup kencang.

“Dion!”

Dion menoleh.

Mata hitamnya bertemu dengan mata Elara—dan untuk pertama kalinya sejak perpisahan mereka, kesadaran kembali ke dalam dirinya.

KEBINGUNGAN DI ANTARA KEHIDUPAN DAN KEMATIAN

Dion melangkah maju, ragu-ragu.

“Elara… bagaimana kau bisa ada di sini?”

Elara tersenyum tipis. “Aku datang untuk membawamu kembali.”

Dion menatap sekeliling.

Ia tahu di mana mereka berada.

Ia tahu bahwa dunia ini bukan dunia yang seharusnya dikunjungi oleh manusia.

“Elara… kau tidak seharusnya ada di sini,” suaranya lemah.

Elara menggeleng. “Aku tidak peduli.”

Dion menatapnya dengan ekspresi campuran antara harapan dan ketakutan.

“Tempat ini… bukan tempat untukmu.”

Elara mendekat. “Tapi tempat ini juga bukan tempat untukmu.”

Dion menghela napas, menundukkan kepalanya.

“Aku tidak bisa kembali, Elara. Aku… sudah mati.”

Elara menggenggam tangannya—dan untuk pertama kalinya, ia bisa menyentuh Dion.

“Aku tidak percaya itu,” katanya tegas. “Kau masih ada di sini. Itu berarti ada cara untuk membawamu kembali.”

Dion ingin membantah.

Tetapi saat ia merasakan genggaman Elara, sesuatu di dalam dirinya berubah.

Bayangannya perlahan mulai mendapatkan bentuk.

Untuk pertama kalinya, ia bisa merasakan kehangatan.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia menghilang… ia merasa hidup kembali.


Tetapi dunia bayangan tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja.

Tiba-tiba, kegelapan di sekitar mereka mulai bergerak.

Bayangan tanpa bentuk muncul dari segala arah, bergerak seperti makhluk buas yang ingin merebut kembali Dion.

Elara langsung menghunus pedangnya.

“Aku tidak akan membiarkan mereka membawamu pergi!”

Dion menatap kegelapan itu dengan mata penuh kesadaran baru.

Kini ia tahu bahwa ia masih bisa bertarung.

Ia tidak akan membiarkan dirinya hilang begitu saja.

Ia tidak akan membiarkan Elara berjuang sendirian.

Dengan satu gerakan tangan, Dion memanggil kekuatan yang pernah ia miliki—dan untuk pertama kalinya sejak menghilang, ia bertarung untuk hidupnya sendiri.

Kegelapan melesat ke arah mereka, tetapi Elara dan Dion berdiri berdampingan, siap melawan apa pun yang mencoba memisahkan mereka.

Pertempuran untuk kembali ke dunia nyata telah dimulai.

BAB 9: PERTEMPURAN DI DUNIA BAYANGAN

Elara berdiri berdampingan dengan Dion, pedangnya bersinar dengan cahaya perak yang kontras dengan kegelapan di sekeliling mereka.

Di depan mereka, bayangan tanpa bentuk mulai bergerak, mengelilingi mereka seperti gelombang hitam yang siap menelan apa saja yang berani menentangnya.

Dunia ini tidak ingin melepaskan Dion begitu saja.

Tetapi Elara tidak akan menyerah.

Mereka akan keluar dari sini. Bersama.


Bayangan pertama melesat ke arah Elara dengan kecepatan luar biasa.

Namun, sebelum ia sempat bereaksi, Dion bergerak lebih cepat.

Tangan Dion berubah menjadi bilah hitam yang berdenyut dengan energi bayangan, menebas makhluk itu hingga hancur sebelum bisa menyentuh Elara.

Elara terkejut.

“Dion… kau masih bisa menggunakan kekuatanmu?”

Dion menatap tangannya yang kini solid, lebih nyata dibanding sebelumnya.

“Aku tidak tahu bagaimana…” katanya, suaranya penuh kebingungan. “Tapi aku bisa merasakannya kembali. Aku bisa bertarung.”

Elara tersenyum kecil. “Kalau begitu, jangan berhenti.”

Dion menatapnya, lalu mengangguk.

Mereka akan bertarung bersama.


Bayangan-bayangan lain mulai menyerang, lebih cepat dan lebih agresif.

Elara bergerak dengan lincah, pedangnya menebas makhluk-makhluk kegelapan yang mencoba mendekat.

Di sampingnya, Dion bertarung dengan gaya yang lebih liar—tubuhnya sendiri adalah senjatanya.

Ia menggunakan bayangannya untuk menciptakan bilah tajam, mencabik-cabik musuh sebelum mereka bisa menyentuhnya.

Tetapi jumlah mereka tidak ada habisnya.

Setiap kali satu bayangan dihancurkan, yang lain muncul untuk menggantikannya.

Dan semakin lama, Dion mulai merasakan tarikan aneh di dalam dirinya.

Seolah dunia ini sedang mencoba menariknya kembali.


“Dion!” Elara berteriak saat melihat tubuhnya mulai bergetar, seolah kehilangan kestabilan.

Dion menatap tangannya, melihat bagaimana jari-jarinya mulai memudar.

“Ada sesuatu yang salah,” katanya, napasnya berat. “Tempat ini… tidak ingin membiarkan aku pergi.”

Elara menggertakkan gigi. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!”

Dion menatapnya, ada sesuatu dalam tatapannya—pemahaman.

“Elara…” katanya pelan. “Bagaimana jika aku memang seharusnya tidak bisa kembali?”

Elara terdiam.

Tidak.

Ia menolak mempercayai itu.

Ia telah berjuang terlalu keras, telah datang sejauh ini… hanya untuk menemukan Dion, hanya untuk membawanya kembali.

Dan ia tidak akan kehilangan dia lagi.

“Aku tidak peduli apa yang dikatakan dunia ini,” katanya dengan suara penuh tekad. “Aku akan membawamu kembali, Dion.”

Dion menatapnya lama, lalu tersenyum kecil.

“Kalau begitu,” katanya, “kita harus keluar dari sini sekarang.”


Elara mengingat sesuatu yang ia baca di kitab kuno—satu-satunya cara untuk keluar dari dunia bayangan adalah menemukan titik terang di dalamnya.

Dunia ini tidak memiliki matahari, tidak memiliki cahaya alami.

Tetapi…

Elara adalah keturunan bayangan dan cahaya.

Mungkin…

Ia bisa menciptakan jalan keluar.

Ia menutup matanya, merasakan kekuatan di dalam dirinya.

Darahnya mengalir dengan dua kekuatan bertentangan—kegelapan yang diwarisinya dari leluhurnya, dan cahaya yang ia warisi dari ibunya.

Jika ia bisa menyatukan keduanya…

Maka ia bisa membuka portal keluar.

Dion melihat cahaya mulai muncul dari tubuh Elara.

“Elara…?”

Elara membuka matanya, dan kali ini, matanya bersinar keemasan.

“Aku tahu bagaimana kita keluar dari sini.”

Dion melihat sekeliling, bayangan-bayangan semakin dekat, semakin kuat.

Mereka tidak punya banyak waktu.

“Elara, lakukan sekarang.”

Elara menarik napas dalam, lalu mengangkat tangannya.

Cahaya mulai berdenyut di sekelilingnya, menciptakan retakan di udara hitam dunia bayangan.

Retakan itu perlahan membesar, membentuk celah yang bersinar terang.

Dion menatapnya dengan takjub.

“Elara… kau benar-benar bisa melakukannya.”

Elara tersenyum tipis. “Sekarang, ayo pergi sebelum terlambat.”

Tetapi sebelum mereka bisa melangkah, bayangan terakhir menyerang.


Bayangan itu lebih besar dari yang lain, lebih kuat.

Ia melesat ke arah Dion, mencoba menariknya kembali ke dunia kegelapan.

Dion tidak punya waktu untuk berpikir.

Tanpa ragu, ia mendorong Elara ke dalam portal.

Elara tersentak. “Dion, tidak!”

Tetapi sudah terlambat.

Dion menatapnya satu terakhir kali, lalu tersenyum.

“Kau sudah menyelamatkanku sekali,” katanya. “Sekarang, aku yang akan memastikan kau keluar dari sini.”

Elara merasakan air matanya jatuh.

Tidak.

Bukan begini akhirnya.

Tetapi sebelum ia bisa bergerak, cahaya dari portal menariknya keluar.


Elara jatuh ke tanah, tubuhnya gemetar.

Ia kembali ke reruntuhan Istana Bayangan.

Langit malam menyambutnya, tetapi hatinya terasa kosong.

Ia menatap sekeliling, berharap melihat Dion bersamanya.

Tetapi dia tidak ada.

Dion tidak berhasil keluar.

Elara menunduk, tinjunya mengepal di atas tanah.

Ia telah gagal.

Ia telah kehilangan Dion lagi.

Tetapi…

Saat air matanya hampir jatuh, suara lembut berbisik di telinganya.

“Aku masih di sini.”

Elara membelalakkan mata.

Ia menoleh—dan di sampingnya, bayangan Dion masih ada.

Tetapi kali ini, bayangan itu lebih kuat, lebih solid.

Bukan sekadar pantulan…

Tetapi sesuatu yang lebih nyata.

Sebuah harapan.

Dion masih ada.

Dan jika masih ada bagian dari dirinya yang tersisa…

Maka masih ada cara untuk membawanya kembali sepenuhnya.

Elara menatap bayangan itu dengan tekad baru.

Ia belum selesai berjuang.


Perjalanan mereka belum berakhir.

Tetapi kali ini, mereka akan menemukan jalan kembali bersama.

BAB 10: PINTU MENUJU KEHIDUPAN

Elara menatap bayangan Dion yang kini lebih solid dari sebelumnya. Ia tidak tahu bagaimana, tetapi ia bisa merasakan kehadirannya.

Dion tidak benar-benar hilang.

Namun, ia belum sepenuhnya kembali.

Bayangannya masih tanpa tubuh, tanpa suara yang nyata—tetapi keberadaannya lebih kuat dari sebelumnya.

Elara mengepalkan tangan.

Ia telah melawan dunia untuk menyelamatkannya.

Ia telah melangkah ke dalam kegelapan dan kembali dengan harapan.

Sekarang, ia hanya perlu menemukan cara untuk mengembalikannya sepenuhnya.


MENCARI JAWABAN TERAKHIR

Hari-hari berlalu, dan Elara tidak berhenti mencari cara untuk membangkitkan Dion kembali ke bentuk fisiknya.

Ia mempelajari kitab-kitab kuno, berbicara dengan penyihir bijak, bahkan mencari legenda yang hampir terlupakan.

Dan akhirnya, ia menemukan sesuatu.

Sebuah ritual pemulihan jiwa.

Ritual ini hanya bisa dilakukan jika jiwa seseorang masih terhubung dengan dunia, tetapi kehilangan tubuhnya.

Dan Dion adalah contoh sempurna dari kondisi ini.

Tetapi ada satu syarat yang membuat Elara terdiam.

Ritual ini membutuhkan pengorbanan jiwa lain.

Seseorang harus menyerahkan sebagian dari jiwanya sendiri untuk mengisi kekosongan di dalam Dion.

Dan itu berarti…

Elara harus memberikan bagian dari dirinya sendiri.


Elara tidak ragu sedikit pun.

Ia telah kehilangan Dion sekali.

Ia tidak akan kehilangan dia lagi.

Malam itu, ia berdiri di dalam lingkaran ritual yang telah ia siapkan, dengan bayangan Dion di hadapannya.

Elara mengambil napas dalam, lalu berbisik, “Aku akan membawamu kembali.”

Bayangan Dion bergetar, seolah menolak.

Seolah mengatakan “Jangan lakukan ini.”

Tetapi Elara tersenyum kecil. “Kali ini, aku yang menyelamatkanmu.”

Ia meletakkan tangannya di atas dadanya, merasakan denyut jantungnya sendiri.

Lalu, ia menutup matanya dan mulai melantunkan mantra pemulihan jiwa.

Begitu mantra itu selesai, rasa sakit luar biasa menyerang tubuh Elara.

Seolah-olah sebagian dari dirinya sedang ditarik keluar.

Ia jatuh berlutut, terengah-engah, tetapi ia tidak berhenti.

Di hadapannya, bayangan Dion mulai berubah.

Dari sekadar siluet… menjadi sesuatu yang lebih nyata.

Bentuk tubuhnya perlahan terbentuk kembali.

Tangan. Wajah. Mata.

Dion mulai kembali.

Elara merasakan air matanya jatuh, tetapi ia tetap bertahan.

Ia tidak akan berhenti sampai Dion benar-benar kembali.

Dan akhirnya—

Dengan satu hembusan napas, Dion berdiri di hadapannya.


Dion terjatuh ke tanah, napasnya tersengal.

Tetapi kali ini…

Ia memiliki tubuh.

Elara menatapnya, masih terengah-engah akibat ritual itu.

Lalu, perlahan, Dion membuka matanya.

Mata hitamnya kini lebih hidup, lebih nyata.

Ia mengangkat tangannya, merasakan sesuatu yang selama ini telah ia tinggalkan—kehidupan.

“Elara…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

Elara tersenyum kecil, air mata masih menggenang di matanya.

“Kau kembali.”

Dion menatapnya, seolah masih tidak percaya bahwa ia benar-benar hidup lagi.

“Aku…” ia mencoba berbicara, tetapi kata-katanya tertahan oleh emosi yang menghantamnya.

Elara mengulurkan tangannya.

Dion menatapnya sesaat, lalu menggenggamnya erat.

Dan dalam satu gerakan, Elara menariknya ke dalam pelukan.

Dion membeku sejenak, lalu membalas pelukan itu, merasakan kehangatan yang pernah ia pikir tidak akan pernah bisa ia rasakan lagi.

“Aku pikir aku telah kehilanganmu,” bisik Elara.

Dion menutup matanya, meresapi momen itu.

“Terima kasih,” katanya pelan. “Karena telah menemukanku.”

Mereka tetap seperti itu selama beberapa saat, seolah takut jika mereka melepaskan satu sama lain, semuanya akan menghilang lagi.

Tetapi tidak.

Dion telah kembali.

Dan kali ini, tidak ada yang bisa mengambilnya lagi.


Hari-hari berikutnya berlalu dengan damai.

Penyihir telah mati. Dunia telah berubah.

Dan Dion kini memiliki kesempatan untuk menjalani kehidupan yang benar-benar miliknya.

Bukan sebagai bayangan.

Bukan sebagai alat perang.

Tetapi sebagai dirinya sendiri.

Elara tetap di sisinya, dan untuk pertama kalinya, mereka bisa menikmati kehidupan tanpa harus takut kehilangan satu sama lain.

Namun, meskipun dunia telah berubah, satu hal tetap sama.

Cinta mereka tidak pernah tunduk pada aturan dunia.

Mereka telah menentang takdir, melawan kegelapan, dan menang.

Dan sekarang…

Mereka akan menulis kisah baru.

Bersama.

Untuk selamanya.


TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *