Novel Singkat Tiga Detik Sebelum Kehancuran
Novel Singkat Tiga Detik Sebelum Kehancuran

Novel Singkat: Tiga Detik Sebelum Kehancuran

Dion, seorang ilmuwan muda yang bekerja sebagai peneliti di bidang fisika, terjebak dalam siklus waktu yang terus berulang. Setiap kali dunia hancur akibat ledakan misterius, ia selalu kembali ke masa tiga detik sebelum kehancuran terjadi. Namun, dalam setiap waktu reset, ada satu hal yang selalu berubah. Alea, wanita yang dicintainya, tidak pernah mengingatnya.

Saat Dion mencoba mencari tahu penyebab dari siklus ini, ia menemukan fakta mengejutkan: Alea bukan sekadar wanita biasa, tetapi kunci utama yang menjaga keseimbangan dunia. Jika ia mengingat semuanya, dunia bisa kembali runtuh, tetapi jika tidak, Dion akan kehilangan dirinya selamanya.

BAB 1: Ledakan yang Tak Pernah Berakhir

Dion membuka matanya dengan napas terengah-engah. Suara gemuruh menggema di telinganya, dan cahaya merah menyala menerangi langit di atasnya. Tubuhnya terasa panas, bukan karena api, tetapi karena tekanan yang begitu besar menghantamnya dari segala arah.

Di sekelilingnya, kota yang ia kenal hanya tersisa puing-puing. Bangunan pencakar langit runtuh seperti menara pasir, mobil-mobil terbakar di jalanan, dan jeritan manusia terdengar di mana-mana. Hanya ada satu hal yang selalu sama setiap kali ia terbangun di detik ini—rasa sakit yang luar biasa, seolah tulangnya dihancurkan dari dalam.

Tiga detik sebelum kehancuran.

Dion tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia sudah mengalaminya berkali-kali. Cahaya putih akan memenuhi langit, diikuti oleh dentuman yang memekakkan telinga. Lalu, segalanya akan lenyap. Dan setelah itu—

Semua akan kembali ke awal.

Dan benar saja. Dalam hitungan satu detik, ledakan maha dahsyat terjadi. Tubuh Dion terhempas ke belakang, dunianya mendadak gelap, dan semua suara menghilang.

Lalu—

Dingin.

Dion terbangun lagi.

Ia mendapati dirinya duduk di sebuah bangku kayu, di tengah taman kota yang masih utuh. Angin semilir menerpa wajahnya, dan aroma wangi bunga melati menyelinap masuk ke dalam hidungnya. Langit biru terbentang luas, burung-burung beterbangan dengan tenang.

Tidak ada tanda-tanda kehancuran.

Lagi-lagi, ia kembali ke titik yang sama.

Dion menggenggam kepalanya yang terasa berdenyut hebat. Siklus ini telah terjadi entah berapa kali. Setiap kali dunia hancur, ia selalu kembali ke detik ini. Seakan waktu menolaknya untuk mati, tapi juga menolak memberinya kebebasan untuk maju.

Ia mengedarkan pandangan, dan di sanalah dia—Alea.

Wanita itu duduk tak jauh darinya, rambut hitamnya tergerai, dan tatapannya sibuk membaca buku kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana. Alea adalah satu-satunya yang membuat Dion bertahan menghadapi siklus ini. Tapi ada satu masalah besar—setiap kali dunia kembali ke awal, Alea tidak pernah mengingatnya.

Dion menatapnya dalam diam. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena perasaan cinta yang ia simpan, tetapi karena ketakutan yang telah ia rasakan ratusan kali.

“Alea…” Dion akhirnya berbicara.

Wanita itu mendongak. Tatapan matanya jernih, tetapi kosong. Tidak ada pengakuan di sana, seolah ia benar-benar tidak mengenal pria yang telah berulang kali berusaha menyelamatkannya.

“Maaf, kita kenal?” tanyanya dengan nada bingung.

Dada Dion terasa sesak. Lagi.

“Ini pertama kalinya kita bertemu?” Alea bertanya lagi, seakan ingin memastikan bahwa ia tidak mengabaikan seseorang yang mungkin pernah dikenalnya.

Dion ingin tertawa. Betapa ironisnya, wanita yang sudah mengisi hidupnya dalam setiap siklus waktu justru selalu memandangnya seperti orang asing.

“Ya,” jawab Dion akhirnya, meski hatinya berteriak sebaliknya.


Hari itu berlanjut seperti biasa—seperti yang Dion sudah alami berkali-kali. Alea akan menutup bukunya, menyesap kopi kesukaannya, lalu berjalan pergi dari taman ini. Dan Dion? Ia akan mengikutinya dari kejauhan, mengamati setiap gerak-geriknya, memastikan bahwa semuanya berjalan persis seperti siklus sebelumnya.

Karena Dion tahu, hanya dalam hitungan jam, dunia akan kembali hancur.

Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda.

Saat Alea hendak berdiri dari bangkunya, ia tiba-tiba memegangi kepalanya. Dahinya berkerut, dan napasnya sedikit tersengal. Dion langsung menghampirinya.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya, tanpa sadar menggenggam bahu wanita itu.

Alea menatapnya—dan dalam sepersekian detik, mata Dion membelalak. Ada sesuatu dalam tatapan Alea kali ini. Sesuatu yang belum pernah ia lihat dalam setiap siklus waktu sebelumnya.

Kecurigaan.

“Aku… aku merasa aneh,” gumam Alea pelan.

Jantung Dion berdetak lebih cepat.

“Aneh bagaimana?”

Alea menggelengkan kepala. “Aku merasa seperti… aku pernah mengalami ini sebelumnya.”

Dion membeku.

Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Alea mengingat sesuatu.

Dion tidak bisa diam. Setelah Alea pergi dari taman, ia segera berlari ke tempat persembunyiannya sebuah apartemen kecil yang telah menjadi markasnya dalam setiap reset waktu. Dinding apartemen itu penuh dengan foto, catatan, dan sketsa tentang pola ledakan yang ia temukan selama ini.

Di tengah ruangan, sebuah papan besar menunjukkan pola kejadiannya:

  • Pukul 08.00: Dion bangun di taman.
  • Pukul 08.15: Alea meninggalkan taman.
  • Pukul 12.00: Gangguan pertama muncul—gempa kecil.
  • Pukul 16.00: Suara ledakan terdengar dari pusat kota.
  • Pukul 18.00: Dunia hancur.
  • Pukul 18.00.03: Dion kembali ke taman.

Siklus yang sama. Berulang terus menerus.

Tapi kali ini, ada variabel baru. Alea mulai mengingat.

Dion menutup matanya, mengatur napas. Ini bisa jadi satu-satunya kesempatan untuk memecahkan misteri ini.

Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara ketukan keras terdengar di pintu apartemennya.

Dion segera meraih pisau yang ia sembunyikan di bawah meja. Tidak ada yang tahu tempat ini—kecuali seseorang yang sudah mempelajari siklus waktu sepertinya.

Dengan hati-hati, ia membuka pintu.

Dan di sanalah Alea, berdiri dengan tatapan penuh kebingungan dan ketakutan.

“Kita perlu bicara.”

Dion tahu. Ini adalah titik perubahan.

Siklus waktu mulai retak.

BAB 2: Ingatan yang Terkikis

Dion menatap Alea dengan napas tertahan. Ini adalah pertama kalinya wanita itu datang kepadanya, pertama kalinya ia mengucapkan kata-kata itu—“Kita perlu bicara.”

Dion melirik ke belakang, ke dinding penuh coretan yang mencatat siklus kehancuran dunia. Jika Alea mulai mengingat, itu berarti ada perubahan dalam pola. Dan perubahan bisa berarti dua hal: harapan… atau bencana yang lebih cepat datang.

Alea berdiri di ambang pintu, ragu-ragu. Matanya menyelidik ruangan di belakang Dion, seolah ia bisa merasakan ada sesuatu yang janggal.

“Masuklah,” ujar Dion akhirnya.

Alea melangkah masuk dengan hati-hati. Dion menutup pintu, mengunci kenopnya, lalu menatap wanita itu lekat-lekat.

“Apa yang kau ingat?”

Alea menggigit bibirnya, kedua tangannya saling menggenggam, seperti seseorang yang sedang berusaha keras mengumpulkan kepingan ingatan yang hilang.

“Aku… tidak tahu.” Suaranya terdengar ragu. “Tapi sejak tadi siang, aku merasa ada yang tidak beres. Seperti deja vu… hanya saja lebih kuat. Seperti aku pernah mengalami semua ini sebelumnya.”

Dion menahan napas. Ini tidak mungkin terjadi. Alea tidak seharusnya mengingat apa pun.

“Deja vu?” tanya Dion, memastikan.

Alea mengangguk. “Tadi pagi, saat aku duduk di taman, aku merasa ada sesuatu yang salah. Rasanya seperti… aku pernah berada di sana sebelumnya. Bersama seseorang.”

Dion menelan ludahnya.

Bersama seseorang.

Apakah itu berarti Alea mengingatnya?

“Tapi yang paling aneh…” Alea menatapnya lurus. “Aku merasa aku pernah mengenalmu.”

Dada Dion mencelos.

Alea mengingatnya.

Memang tidak sepenuhnya, tapi ini adalah kemajuan besar. Selama ratusan kali reset waktu, Alea selalu bertindak seolah Dion hanyalah orang asing. Kali ini, ada sesuatu yang berubah.

Tapi… apakah ini pertanda baik?

“Seberapa banyak yang kau ingat?” tanya Dion hati-hati.

Alea mengerutkan kening, berusaha keras mengingat. “Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa ada sesuatu yang seharusnya tidak aku lupakan.”

Dion menarik napas dalam. Ini berbahaya. Jika Alea mulai mengingat, maka keseimbangan dunia juga bisa terganggu.

“Alea,” katanya pelan, “Aku ingin kau mendengarkanku baik-baik. Apa pun yang terjadi, jangan paksakan ingatanmu untuk kembali. Bisa jadi itu hanya perasaan sesaat.”

Alea mengerutkan alisnya. “Kenapa?”

Karena jika ia terus mengingat, dunia ini bisa runtuh lebih cepat.

Tapi Dion tidak bisa mengatakan itu.

“Karena terkadang, ada hal yang lebih baik dibiarkan seperti apa adanya,” jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan.

Alea menatapnya dalam-dalam, seolah menimbang-nimbang apakah ia harus mempercayai Dion atau tidak.

Kemudian, ia menghela napas. “Aku tidak mengerti kenapa aku merasa seperti ini, tapi ada satu hal yang terus muncul di pikiranku. Sebuah kata.”

Dion menegang.

“Apa?”

Alea mengangkat wajahnya. “Tiga detik sebelum kehancuran.”

Dunia Dion terasa runtuh.

Bagaimana Alea bisa tahu itu?

Itulah kalimat yang terus terngiang di kepala Dion setiap kali ia kembali ke awal. Itu adalah batas waktu sebelum dunia meledak. Tidak ada orang lain yang mengetahui hal ini selain dirinya.

Ini lebih dari sekadar deja vu.

Alea benar-benar mulai mengingat.

Dion menatap Alea yang kini terlihat semakin kebingungan. Jika ia tidak melakukan sesuatu, Alea mungkin akan semakin menggali ingatan yang seharusnya tidak ia ketahui.

“Dion…” suara Alea terdengar ragu.

Dion tahu, jika ia mengatakan hal yang salah, segalanya bisa berubah menjadi lebih buruk.

“Alea, dengarkan aku baik-baik,” katanya dengan suara tenang, meskipun jantungnya berdegup kencang. “Apa pun yang kau rasakan sekarang… tolong, jangan biarkan itu membebanimu.”

Alea terdiam, menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan. “Tapi kenapa?”

Karena jika Alea benar-benar mengingat segalanya, dunia ini mungkin akan hancur lebih cepat dari yang seharusnya.

Dion tidak bisa mengambil risiko itu.

Namun sebelum ia bisa mengatakan sesuatu lagi, suara keras menggema dari luar. Alarm darurat berbunyi.

Dion tersentak.

Tidak… seharusnya ini belum terjadi!

Dalam setiap siklus, gempa pertama terjadi pukul 12.00, tapi sekarang, baru pukul 10.00.

Sesuatu telah berubah.

“Gempa?” Alea menoleh ke jendela. “Tapi—”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tanah mulai bergetar. Dion bisa merasakan denyutan energi aneh di udara.

Reset waktu mulai retak.

Dion segera menarik tangan Alea. “Kita harus pergi.”

Alea menatapnya kaget. “Kemana?”

Dion tidak punya waktu untuk menjelaskan.

“Percayalah padaku,” katanya, sebelum menarik Alea keluar dari apartemen.

Namun, dalam hatinya, Dion sadar…

Dunia ini tidak akan bertahan lama.

BAB 3: Jejak di Antara Waktu

Dion berlari secepat yang dia bisa, menarik Alea bersamanya. Tanah di bawah mereka terus bergetar, dan suara alarm darurat menggema di seluruh kota. Ini tidak sesuai dengan siklus sebelumnya. Seharusnya, gempa pertama terjadi pukul 12.00, tetapi sekarang baru pukul 10.00.

Sesuatu telah berubah.

“Apa yang terjadi?!” Alea berteriak di sampingnya, mencoba menyesuaikan langkahnya dengan kecepatan Dion.

“Kita harus pergi dari sini,” jawab Dion singkat.

Mereka berlari melewati jalanan yang mulai dipenuhi orang-orang panik. Dari kejauhan, bangunan-bangunan tinggi bergoyang, beberapa jendela pecah, dan aspal jalan mulai retak. Ini bukan hanya sekadar gempa biasa.

Dion tahu, ini adalah tanda awal dari kehancuran dunia.

Tapi kali ini, lebih cepat dari sebelumnya.

Mereka sampai di sebuah gang sempit di antara dua gedung tua. Dion berhenti sejenak, menarik napas dalam, dan memastikan Alea baik-baik saja.

Alea membungkuk, berusaha mengatur napasnya. “Dion, kau harus memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi!”

Dion mengatupkan rahangnya. Ia tidak bisa terus menyembunyikan semuanya.

“Dunia ini akan hancur,” katanya akhirnya.

Alea membeku, menatapnya penuh kebingungan. “Apa maksudmu?”

Dion menelan ludahnya. Ini pertama kalinya ia benar-benar mengatakan ini kepada Alea dalam setiap reset waktu.

“Aku tidak tahu bagaimana atau kenapa, tapi setiap kali dunia ini hancur, aku selalu kembali ke masa tiga detik sebelum kehancuran terjadi.”

Alea menatapnya tanpa berkedip.

“Aku sudah mengalami ini ratusan kali,” lanjut Dion. “Dan dalam setiap siklus itu, aku selalu mencoba mencari tahu penyebabnya. Tapi setiap kali aku hampir menemukan jawabannya… segalanya kembali ke awal.”

Alea masih diam, tapi sorot matanya berubah. Tidak lagi hanya kebingungan—tetapi juga ketakutan.

“Aku tidak tahu kenapa, tapi satu hal yang selalu sama dalam setiap siklus…” Dion berhenti sejenak, lalu menatap Alea dalam-dalam.

“Kau selalu ada di pusat ledakan.”

Alea tersentak. “Apa?”

Dion mengangguk pelan. “Setiap kali dunia ini hancur, aku selalu menemukanmu di titik pusatnya. Dan setelah reset terjadi, kau tidak pernah mengingatku.”

Alea menelan ludah. “Jadi… kau bilang aku adalah penyebabnya?”

Dion menggeleng cepat. “Aku tidak tahu. Tapi aku tahu bahwa kau berhubungan dengan semua ini. Dan kali ini… kau mulai mengingat sesuatu. Itu belum pernah terjadi sebelumnya.”

Alea terlihat berpikir keras. Tangannya mengepal, dan napasnya sedikit gemetar.

“Aku benar-benar… tidak mengerti,” katanya pelan. “Aku tidak ingat apa pun selain perasaan aneh ini. Tapi jika semua yang kau katakan itu benar… lalu apa yang harus kita lakukan?”

Dion menatapnya dengan serius.

“Kita harus mencari tahu penyebab semua ini. Dan aku tahu di mana kita bisa mulai.”


Dion membawa Alea ke gedung tua di pinggiran kota. Itu adalah bangunan yang terlihat tidak terawat dari luar, tetapi ia tahu bahwa di dalamnya ada sesuatu yang lebih besar.

“Ini tempat apa?” tanya Alea saat mereka berhenti di depan pintu besi besar.

“Pusat Penelitian Helios,” jawab Dion. “Aku menemukannya dalam beberapa siklus sebelumnya. Tapi setiap kali aku mencoba masuk, aku selalu kehabisan waktu.”

Alea mengerutkan alis. “Kenapa kau pikir tempat ini berhubungan dengan kehancuran dunia?”

Dion menatapnya lekat-lekat.

“Karena di setiap siklus, aku selalu menemukan dokumen yang menyebutkan nama seseorang.”

Alea menahan napas saat Dion melanjutkan.

“Namamu.”

Alea terdiam, tubuhnya sedikit goyah. “Namaku…?”

Dion mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana kau terlibat dalam semua ini. Tapi aku yakin tempat ini punya jawabannya.”

Alea menatap pintu besi itu dengan ragu. Di kepalanya, potongan-potongan ingatan yang tidak jelas mulai bermunculan.

“Dion,” katanya pelan.

“Apa?”

Alea menatapnya dengan mata yang dipenuhi ketakutan.

“Aku rasa… aku pernah ada di tempat ini sebelumnya.”

Dion menahan napas.

Alea benar-benar mulai mengingat.

Tapi sebelum Dion bisa merespons, suara keras tiba-tiba terdengar dari belakang mereka.

BRAK!

Dion langsung menarik Alea ke samping. Beberapa pria berseragam hitam muncul dari bayang-bayang gedung, masing-masing membawa senjata.

“Dion.”

Dion menegang saat mendengar suara itu.

Salah satu pria melangkah maju. Wajahnya dingin, matanya tajam menatap Dion dan Alea.

“Kau sudah terlalu jauh,” katanya. “Kau seharusnya tidak berada di sini.”

Dion mengepalkan tinjunya.

“Siapa kalian?”

Pria itu tersenyum miring. “Kau tidak perlu tahu. Yang kau perlu tahu hanyalah satu hal…”

Ia mengangkat senjatanya, mengarahkannya ke Dion.

“Siklus ini akan berakhir di sini.”

Dor!

Tembakan meletus.

Dion merasakan dadanya berdenyut hebat. Dunia berputar di sekelilingnya, dan suara Alea yang berteriak memanggil namanya terdengar samar.

Ia jatuh ke tanah, napasnya tersengal.

Matanya mulai tertutup.

Tidak… ini tidak seharusnya terjadi…

Dan saat segalanya menggelap, hanya ada satu hal yang melintas dalam pikirannya.

Apakah kali ini, aku benar-benar akan mati?

BAB 4: Kebenaran yang Tersembunyi

Dingin.

Itulah yang pertama kali Dion rasakan saat kesadarannya kembali perlahan. Tubuhnya terasa berat, dan kepalanya berdenyut hebat. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya terbaring di sebuah ruangan gelap dengan hanya lampu neon redup di atasnya.

Tangannya diikat ke kursi dengan rantai besi. Kakinya juga terbelenggu.

Sial.

Dion mencoba mengingat apa yang terjadi. Tembakan. Alea berteriak. Lalu semuanya menjadi hitam.

Alea!

Ia berusaha menarik rantainya, tapi sia-sia. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu besi di hadapannya terbuka, dan seseorang masuk pria yang telah menembaknya tadi.

“Senang kau masih hidup, Dion,” kata pria itu sambil menyeringai.

Dion mendengus. “Sayang sekali aku tidak bisa mengatakan hal yang sama untukmu.”

Pria itu terkekeh. “Kau tidak berubah, bahkan setelah ratusan kali siklus waktu.”

Dion menegang.

“Apa maksudmu?”

Pria itu berjalan mendekat, menatap Dion dengan sorot mata penuh kemenangan. “Kau pikir hanya kau yang menyadari siklus ini?”

Jantung Dion berdegup kencang.

“Jadi kau juga tahu?”

Pria itu tersenyum. “Aku bukan hanya tahu, aku adalah bagian dari proyek yang menyebabkan semua ini.”

Dion membeku.

Proyek?

“Selamat datang di Pusat Penelitian Helios,” kata pria itu, melangkah lebih dekat. “Tempat di mana dunia ini pertama kali dikutuk dalam siklus yang tidak pernah berakhir.”

Dion berusaha mencerna kata-katanya.

“Kalian yang menyebabkan dunia terus hancur?”

Pria itu menggeleng. “Bukan kami. Kami hanya memantau. Tapi seseoranglah yang menyebabkan reset ini terjadi.”

Dion menatapnya tajam.

“Alea.”

Pria itu mengangguk.

“Tapi kenapa?” Dion bertanya dengan suara yang hampir bergetar. “Apa hubungannya Alea dengan ini semua?”

Pria itu tersenyum tipis.

“Alea adalah inti dari siklus ini. Dia adalah kunci yang menjaga dunia tetap hidup.

Dion menahan napas.

Alea… adalah alasan dunia terus reset?


Alea terbangun dengan kepala yang terasa berat. Ia mendapati dirinya berada di dalam ruangan yang dingin dan steril, seperti laboratorium.

Di sekelilingnya, terdapat layar-layar besar yang menampilkan grafik aneh, kode-kode yang berkelip cepat, serta rekaman-rekaman video.

Salah satu layar menunjukkan sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Dirinya sendiri.

Video itu menampilkan dirinya sedang berdiri di depan sebuah mesin raksasa dengan tubuh terbungkus kabel-kabel. Wajahnya terlihat pucat, tapi tatapan matanya kosong.

Kemudian, seseorang muncul dalam video itu.

Seorang ilmuwan berpakaian putih, berdiri di hadapannya.

“Kau sudah siap?” tanya ilmuwan itu dalam video.

Alea dalam rekaman mengangguk.

“Tiga… dua… satu…”

Sebuah cahaya terang menyelimuti layar. Lalu—video berhenti.

Alea mundur beberapa langkah. Tangannya gemetar.

Apa yang barusan ia lihat?

Suaranya tercekat saat tiba-tiba seseorang berbicara di belakangnya.

“Kau mulai mengingat, bukan?”

Alea berbalik.

Seorang wanita berdiri di depannya, mengenakan jas laboratorium yang sama dengan ilmuwan dalam video tadi. Rambutnya panjang dan berwarna perak, matanya tajam seperti seseorang yang telah menyimpan banyak rahasia.

“Siapa kau?” tanya Alea dengan suara serak.

Wanita itu tersenyum kecil.

“Aku adalah bagian dari proyek yang menciptakan siklus ini.”

Alea menelan ludah. “Apa yang terjadi padaku?”

Wanita itu menatapnya dalam-dalam.

“Kau… adalah eksperimen yang gagal.”

Alea merasakan tubuhnya melemas.

Eksperimen?

“Apa maksudmu?”

Wanita itu melangkah mendekat.

“Lima tahun yang lalu, dunia ini menghadapi ancaman kehancuran akibat ketidakseimbangan ruang-waktu. Kami menemukan cara untuk menghentikannya—menggunakan seseorang sebagai jangkar waktu.”

Alea menelan ludah.

“Kau,” lanjut wanita itu. “Kau adalah orang yang dipilih untuk menjadi jangkar tersebut.”

Alea mundur selangkah. “Tidak… itu tidak mungkin.”

“Tapi eksperimen itu gagal,” wanita itu melanjutkan tanpa ragu. “Alih-alih menstabilkan dunia, tubuhmu justru menciptakan siklus yang tidak pernah berakhir.”

Dunia Alea berputar.

Itu berarti… selama ini dia bukan manusia biasa.

Selama ini, ia adalah bagian dari eksperimen yang tidak pernah ia ingat.

“Kami mencoba menghentikan siklus ini berkali-kali,” lanjut wanita itu. “Tapi ada satu variabel yang terus mengganggu keseimbangan.”

Alea menatapnya dengan bingung. “Variabel?”

Wanita itu menghela napas.

“Dion.”

Alea terdiam.

“Dia seharusnya tidak terjebak dalam siklus ini,” kata wanita itu. “Tapi entah bagaimana, dia selalu kembali. Setiap kali dunia reset, dia selalu mengingatmu. Itu seharusnya tidak terjadi.”

Alea menggigit bibirnya.

Jika Dion tidak seharusnya mengingat, kenapa ia selalu kembali?

Tapi pertanyaan yang lebih besar menghantui Alea:

Jika aku adalah penyebab dunia terus reset… apakah aku harus menghilang agar dunia tetap selamat?


Dion berusaha mencerna apa yang baru ia dengar.

“Jadi, satu-satunya cara untuk menghentikan reset waktu adalah dengan mengorbankan Alea?”

Pria itu tersenyum miring. “Tepat sekali.”

Dion merasakan amarah menyelubungi dirinya.

“Tidak mungkin.”

“Dion,” pria itu mendekat. “Dunia ini sudah mengalami kehancuran ratusan kali. Semua orang menderita karena ini. Alea harus menghilang agar keseimbangan kembali.”

Dion mengepalkan tangannya.

“Tidak peduli berapa kali aku mengulang waktu ini, aku tidak akan membiarkan kalian menyentuhnya.”

Pria itu menghela napas, lalu menatapnya dengan tatapan simpati yang dingin.

“Kau tahu, Dion…” katanya sambil menarik sesuatu dari sakunya sebuah remote kecil dengan tombol merah di tengahnya.

“…ini adalah siklus terakhir.”

Dion membelalakkan matanya.

“Apa yang kau lakukan?!”

Pria itu menekan tombolnya.

Dan dalam sekejap, ledakan dahsyat mengguncang ruangan.

Dion merasakan tubuhnya tersedot oleh kekuatan yang luar biasa.

Dunia kembali runtuh.

Tetapi kali ini, tidak ada jaminan ia akan kembali lagi.

BAB 5: Mencintai dalam Lupa

Dion terbangun dengan tubuh terasa ringan, seolah-olah ia mengambang di udara. Pandangannya kabur, hanya ada cahaya putih di sekelilingnya. Tidak ada suara, tidak ada gravitasi.

Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana ia berada. Lalu tiba-tiba, seperti pecahan kaca yang menyatu kembali, semua ingatannya kembali dalam sekali hentakan.

Ledakan. Alea. Reset waktu.

Dion tersentak.

Ia menoleh ke sekeliling, tetapi tidak melihat apa pun. Tidak ada bangku taman, tidak ada kota, tidak ada Alea.

Tidak ada apa-apa.

Apakah ini berarti aku benar-benar mati kali ini?

Namun, sebelum ia sempat mencari jawaban, sesuatu menarik tubuhnya ke bawah dengan kecepatan tinggi. Ia merasakan sensasi jatuh bebas, seperti meluncur dari ketinggian tanpa bisa menghentikan dirinya.

Dan lalu—

Dunia kembali terbentuk di sekelilingnya.


Dion terbangun di bangku kayu yang sudah terlalu familiar.

Langit biru membentang luas, burung-burung berkicau, dan angin sepoi-sepoi berembus lembut.

Dia kembali.

Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

Dion merasakan kepalanya berdenyut. Biasanya, saat reset terjadi, ia tidak pernah mengalami efek samping fisik yang separah ini.

Dan lebih dari itu ia tidak merasakan kehadiran Alea.

Matanya langsung mencari sosok itu. Ia mengalihkan pandangan ke arah bangku yang biasa Alea duduki. Kosong.

Tidak ada Alea.

Dion menelan ludah.

Tidak. Ini tidak mungkin.

Ia berdiri, berlari ke seluruh area taman. Alea seharusnya ada di sini. Dia selalu ada di sini dalam setiap siklus.

Tetapi dia tidak ada.

Dion mulai panik. Ia berlari ke kafe tempat Alea biasanya membeli kopi, ke toko buku favoritnya, ke setiap sudut kota yang pernah mereka kunjungi bersama.

Namun, tidak ada satu pun jejak keberadaan Alea.

Seakan… dia tidak pernah ada.

Dion merasakan tubuhnya melemas. Ia bersandar di tiang lampu jalan, mencoba menarik napas dalam-dalam.

Sesuatu telah berubah.

Dan kali ini, perubahan itu bukan hanya soal kehancuran dunia—tetapi tentang seseorang yang paling berarti baginya.

Alea telah terhapus dari siklus ini.

Dion kembali ke tempat satu-satunya yang mungkin bisa memberinya jawaban Pusat Penelitian Helios.

Tetapi ketika ia tiba di sana, bangunan itu sudah tidak ada.

Di tempat yang seharusnya berdiri fasilitas penelitian rahasia itu, kini hanya ada sebidang tanah kosong. Tidak ada tanda-tanda bangunan, tidak ada jejak bahwa tempat itu pernah ada.

Dion mematung.

Bukan hanya Alea yang menghilang. Seluruh bukti tentang siklus waktu juga telah terhapus.

Ia tidak mengerti.

Jika dunia telah reset kembali, seharusnya siklus masih berjalan seperti sebelumnya. Tapi kali ini, dunia benar-benar terasa… normal.

Dion berjalan tanpa arah, pikirannya terus berputar mencari jawaban.

Dan saat itulah ia melihatnya.

Seorang wanita, berdiri di depan sebuah toko bunga di ujung jalan.

Dion berhenti, tubuhnya kaku.

Alea.

Hatinya berdebar kencang.

Ia hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Alea masih ada.

Tetapi ada sesuatu yang aneh.

Rambutnya tetap panjang seperti dulu, wajahnya masih sama, tetapi sorot matanya… kosong.

Alea sedang berbicara dengan seorang penjual bunga, tersenyum samar, seolah-olah hidupnya normal seperti manusia biasa.

Seolah-olah ia tidak pernah mengenal Dion.

Dion menelan ludah.

Apakah ini berarti Alea telah benar-benar kehilangan semua ingatannya?

Ia harus memastikan.

Dengan langkah hati-hati, ia berjalan mendekat.

“Alea,” panggilnya, suaranya hampir bergetar.

Alea menoleh, matanya bertemu dengan mata Dion.

Sesaat, Dion merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya.

Tetapi Alea hanya menatapnya dengan bingung.

“Maaf, kita kenal?”

Dion merasakan jantungnya mencelos.

Ini bukan Alea yang ia kenal.

Wanita itu mengerutkan kening, menatapnya sejenak sebelum tersenyum sopan. “Apa aku mengenalmu?”

Dion menatapnya tanpa tahu harus berkata apa.

Setelah semua yang mereka lalui setelah ratusan kali siklus waktu, setelah perjuangan Dion untuk menyelamatkan dunia, setelah ia nyaris mati berkali-kali…

Alea tidak lagi mengingatnya.

Dion ingin mengatakan sesuatu. Ia ingin menjelaskan segalanya, ingin memberitahu Alea siapa dirinya, ingin bertanya apakah masih ada bagian kecil dari dirinya yang mengingat semua itu.

Tetapi ia tahu itu tidak akan ada gunanya.

Siklus telah berakhir.

Dan dengan itu, cinta mereka juga telah menghilang dalam waktu.

Dion hanya bisa tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa hancur.

“Bukan apa-apa,” katanya akhirnya. “Maaf, aku salah orang.”

Alea tersenyum tipis. “Tidak apa-apa.”

Lalu, dia melangkah pergi.

Dan Dion hanya bisa berdiri di tempatnya, menatap punggung Alea menjauh, seperti angin yang berhembus dan tak pernah bisa ia genggam lagi.


Dion duduk kembali di bangku taman, menatap langit yang perlahan berubah warna keemasan saat matahari terbenam.

Semuanya telah berakhir.

Dunia tidak lagi hancur.

Tetapi harga yang harus ia bayar… adalah kehilangan orang yang paling ia cintai.

Namun, di dalam hatinya, ia masih memiliki harapan kecil.

Jika siklus waktu bisa berulang selama ratusan kali, bukankah mungkin bagi mereka untuk bertemu lagi?

Mungkin tidak dalam kehidupan ini.

Mungkin tidak dalam ingatan ini.

Tapi suatu hari nanti, di suatu waktu yang lain…

Dion percaya bahwa cinta mereka akan menemukan jalannya kembali.

BAB 6: Takdir yang Kejam

Dion duduk di bangku taman yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Hanya suara angin yang berhembus lembut dan burung-burung yang berkicau di kejauhan. Tidak ada gempa, tidak ada tanda-tanda kehancuran dunia.

Dunia telah benar-benar normal.

Namun, di dalam hatinya, semuanya terasa salah.

Alea tidak mengingatnya.

Siklus telah berakhir, tetapi tidak dengan cara yang ia inginkan.

Dion menatap langit, bertanya-tanya apakah ini benar-benar akhir yang telah ditentukan. Ia telah berjuang mati-matian untuk menyelamatkan Alea, namun pada akhirnya, ia tetap kehilangannya.

Ataukah ini justru bagian dari permainan waktu?

Ia meremas tangannya.

Tidak.

Tidak mungkin semuanya berakhir seperti ini.

Ada sesuatu yang masih belum ia ketahui.


Malam itu, Dion kembali ke apartemennya. Tempat itu kini terasa asing, seolah ia tidak pernah benar-benar tinggal di sana.

Papan besar berisi catatan-catatan tentang siklus waktu masih ada di dinding. Namun, ada sesuatu yang janggal.

Beberapa bagian dari catatan itu menghilang.

Dion menyusuri tulisan-tulisan yang dulu ia buat sendiri—peta kejadian, pola waktu, teori tentang reset dunia. Tetapi ada bagian penting yang hilang: semua informasi tentang Alea.

Nama Alea, foto-fotonya, bahkan catatan tentang Pusat Penelitian Helios telah lenyap dari papan itu.

Dion merasakan bulu kuduknya meremang.

Ini bukan hanya tentang Alea yang melupakan dirinya.

Dunia juga mencoba menghapus keberadaannya.

Dion mundur beberapa langkah, mencoba menenangkan pikirannya. Jika memang dunia telah mengatur ulang semuanya agar normal, seharusnya tidak ada jejak siklus waktu yang tersisa. Tapi mengapa dirinya masih bisa mengingat semuanya?

Ia memejamkan mata, mencoba menghubungkan semua potongan teka-teki yang masih tersisa.

Lalu, tiba-tiba, sebuah ingatan menghantamnya—percakapan terakhirnya dengan pria berseragam hitam sebelum ledakan terakhir.

“Siklus ini akan berakhir di sini.”

“Dunia ini sudah mengalami kehancuran ratusan kali. Semua orang menderita karena ini. Alea harus menghilang agar keseimbangan kembali.”

Dion mengerjap.

Kalimat itu sekarang terasa berbeda.

Bukan hanya dunia yang diselamatkan dengan menghapus Alea…

Mereka juga telah menciptakan realitas baru di mana Alea tidak pernah ada.


Dion tahu bahwa satu-satunya cara untuk menemukan jawaban adalah dengan menemui Alea lagi.

Meskipun ia tahu wanita itu tidak akan mengenalnya, ia tetap harus mencoba.

Esok paginya, ia kembali ke toko bunga tempat terakhir ia melihat Alea.

Ia menunggunya di seberang jalan, menatapnya dari kejauhan. Alea terlihat bahagia, berbicara dengan pelanggan, tertawa bersama rekan kerjanya.

Seolah hidupnya tidak pernah tersentuh oleh kehancuran dunia.

Seolah ia bukan lagi seseorang yang menyimpan kunci dari siklus waktu.

Dion mengepalkan tangannya. Ia harus berbicara dengannya.

Ia melangkah mendekat.

“Alea,” panggilnya pelan.

Alea menoleh, tersenyum sopan seperti yang ia lakukan sebelumnya. “Oh, kau lagi. Ada yang bisa kubantu?”

Dion berusaha mencari tanda-tanda bahwa Alea mengingat sesuatu. Tetapi tatapan wanita itu tetap kosong.

Ia menggenggam napas.

“Apa kau percaya pada deja vu?” tanyanya tiba-tiba.

Alea mengerutkan kening. “Hmm… aku pernah mendengar tentang itu. Kenapa?”

Dion menatapnya dalam-dalam. “Karena aku merasa kita pernah bertemu sebelumnya.”

Alea tertawa kecil. “Benarkah? Aku rasa aku tidak mengingatmu.”

Dion menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya, tetapi bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan bahwa mereka telah melalui ratusan siklus kehancuran dunia bersama?

Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan bahwa Alea adalah alasan dunia ini tetap hidup?

Dion akhirnya hanya menggeleng pelan. “Lupakan saja.”

Alea tersenyum tipis. “Mungkin kita hanya kebetulan bertemu beberapa kali.”

Kemudian, sebelum Dion sempat mengatakan apa pun lagi, seseorang memanggil Alea dari dalam toko.

“Alea, kau harus membantu di dalam!”

Alea menoleh dan mengangguk. Ia lalu menatap Dion sekali lagi.

“Senang berbicara denganmu,” katanya. “Semoga harimu menyenangkan!”

Lalu, ia pergi.

Dion hanya bisa berdiri di tempatnya, menatap punggung Alea yang perlahan menghilang di balik pintu toko bunga.

Dan kali ini, ia tahu…

Ini benar-benar perpisahan.


Malam itu, Dion kembali ke apartemennya, menatap papan penuh catatan yang kini kehilangan maknanya.

Untuk pertama kalinya, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Apakah ia harus terus mencari jawaban yang mungkin tidak akan pernah ia temukan?

Atau apakah ia harus menerima bahwa dunia ini telah menulis ulang takdirnya sendiri?

Dion menghela napas panjang.

Dunia ini telah terselamatkan. Alea hidup bahagia. Tidak ada lagi siklus yang menghancurkan segalanya.

Mungkin, inilah saatnya bagi Dion untuk berhenti.

Tetapi…

Saat ia hendak mematikan lampu dan merebahkan diri di sofa, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu di meja.

Sebuah buku kecil.

Dion mengerutkan kening. Ia tidak ingat pernah memiliki buku itu.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengambilnya dan membukanya perlahan.

Dan saat ia melihat halaman pertama, napasnya tercekat.

Itu adalah tulisan tangan Alea.

Halaman pertama hanya berisi satu kalimat pendek.

“Jika aku lupa… kumohon, jangan berhenti mencariku.”

Jantung Dion berdegup kencang.

Alea mungkin telah melupakannya.

Tetapi entah bagaimana… sebagian dari dirinya masih mengingat.

Mata Dion mulai berbinar.

Ini belum benar-benar berakhir.

Ia masih memiliki kesempatan untuk menemukan Alea.

Masih ada harapan untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang.

Dan untuk pertama kalinya sejak siklus waktu berakhir, Dion tersenyum.

Ia akan menemukannya.

Tak peduli berapa lama pun itu akan memakan waktu.

BAB 7: Dilema Seorang Pencinta

Dion menatap buku kecil itu dengan campuran keterkejutan dan harapan. Tulisan tangan Alea ada di sana, jelas dan nyata. Itu berarti, meskipun dunia telah menghapus jejak siklus waktu, sebagian kecil dari Alea masih mengingatnya.

“Jika aku lupa… kumohon, jangan berhenti mencariku.”

Kalimat itu menggema di benaknya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Dion segera membalik halaman-halaman berikutnya, berharap menemukan lebih banyak petunjuk. Namun, sebagian besar halaman kosong. Hanya ada beberapa kalimat pendek yang tertera di beberapa bagian:

  • “Aku merasa ada sesuatu yang hilang.”
  • “Mimpi aneh lagi. Ledakan. Cahaya putih. Seseorang memanggil namaku.”
  • “Apakah aku pernah jatuh cinta?”

Dion menelan ludah.

Jadi, meskipun Alea kehilangan semua ingatannya tentang siklus waktu, bawah sadarnya masih menyimpan sesuatu.

Mungkin dia tidak mengingat Dion secara langsung, tetapi ada bagian dari dirinya yang tahu bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang penting.

Dion mengepalkan tangannya.

Aku harus menemukannya.

Malam itu, Dion tidak bisa tidur. Ia terus membaca buku kecil Alea, mencoba mencari petunjuk sekecil apa pun.

Pikiran pertamanya adalah menemui Alea lagi dan menunjukkan buku itu kepadanya. Tapi jika dunia benar-benar telah menulis ulang sejarah, apakah Alea akan mempercayainya?

Ataukah ia hanya akan menganggap Dion sebagai pria asing yang mengada-ada?

Dion tahu ia harus berhati-hati.

Jika Alea mulai mengingat terlalu cepat, itu bisa menyebabkan ketidakseimbangan lain.

Dunia ini telah stabil… tapi dengan mengorbankan kenangan mereka berdua.

Apakah Dion siap untuk mengacaukan segalanya demi mendapatkan Alea kembali?


Keesokan harinya, Dion berjalan ke taman seperti biasa, mencoba mengumpulkan pikirannya. Ia tidak berharap bertemu Alea—tidak setelah kejadian terakhir.

Namun, takdir sepertinya masih mempermainkan mereka.

Karena saat ia duduk di bangku kayu, seseorang berdiri di sampingnya.

Dion menoleh, dan dunianya seakan berhenti.

Alea.

Wanita itu menatapnya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan—campuran kebingungan, keraguan, dan… sesuatu yang lain.

“Kenapa aku terus bertemu denganmu?” tanyanya pelan.

Dion tidak langsung menjawab. Ia bisa melihat dari ekspresi Alea bahwa ada sesuatu yang mengganggunya.

“Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.

Alea menggigit bibirnya, lalu duduk di bangku sebelah Dion.

“Aku tidak tahu… tapi aku merasa aku mengenalmu,” katanya, suaranya hampir seperti bisikan. “Itu tidak masuk akal, kan?”

Dion menahan napas.

Ini adalah pertama kalinya sejak reset dunia Alea menunjukkan tanda-tanda mengenalnya.

“Tidak,” jawab Dion akhirnya. “Itu masuk akal.”

Alea menatapnya, seolah mencoba membaca ekspresinya.

“Aku… aku terus bermimpi,” lanjutnya. “Dalam mimpiku, aku berdiri di tengah kehancuran. Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Dan…”

Dia terdiam sesaat.

“Aku merasa sangat sedih.”

Dion mengepalkan tangannya di atas pahanya.

Itu berarti Alea tidak hanya mengingatnya, tetapi juga merasakan emosi dari ingatannya yang terhapus.

“Alea,” kata Dion perlahan.

Wanita itu menoleh.

Dion ingin mengatakan segalanya, ingin memberitahunya tentang siklus waktu, tentang bagaimana mereka telah melewati ratusan kehidupan bersama, tentang bagaimana dunia telah menulis ulang sejarah mereka.

Tapi sebelum ia sempat berbicara, Alea menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

“Aku tidak tahu kenapa,” katanya pelan. “Tapi aku merasa jika aku mengingat lebih banyak… sesuatu yang buruk akan terjadi.”

Dion membeku.

Bawah sadar Alea mengingat bahayanya.


Dion kini berada dalam dilema terbesar dalam hidupnya.

Jika ia mencoba membuat Alea mengingat segalanya, maka ada kemungkinan dunia ini akan kembali rusak.

Tetapi jika ia membiarkan semuanya seperti ini, ia akan kehilangan Alea selamanya.

“Alea,” katanya pelan, menatap mata wanita itu dalam-dalam. “Jika aku bilang kau pernah mengenalku, kau percaya?”

Alea menatapnya lama.

“Aku ingin percaya,” katanya akhirnya. “Tapi aku takut.”

Dion menggigit bibirnya.

Jika Alea takut, itu berarti ia bisa merasakan bahaya yang tersembunyi di balik ingatannya yang terhapus.

Dion harus membuat keputusan.

Apakah ia akan terus mengejar kebenaran dan mengambil risiko menghancurkan dunia lagi?

Ataukah ia akan menerima kenyataan bahwa Alea kini hidup dengan bahagia, meskipun tanpa dirinya?

Dion menatap Alea yang kini mengalihkan pandangannya ke langit.

Lalu ia mengambil keputusan paling sulit dalam hidupnya.

Ia akan melindungi Alea, meskipun itu berarti membiarkannya pergi.

Dion mengeluarkan buku kecil Alea dari sakunya.

Tadinya, ia ingin menunjukkan buku itu kepada Alea, berharap itu bisa membantu mengembalikan ingatannya.

Tetapi sekarang…

Ia menyelipkan buku itu ke dalam jaketnya lagi.

“Dion?” Alea menoleh, bingung melihat ekspresinya yang berubah.

Dion tersenyum kecil.

“Tidak apa-apa,” katanya lembut. “Mungkin kita hanya kebetulan sering bertemu.”

Alea menatapnya dengan bingung, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

Lalu, suara seseorang memanggil Alea dari kejauhan.

“Alea, kita harus pergi!”

Alea berdiri, ragu-ragu sejenak sebelum tersenyum kecil.

“Aku senang bertemu denganmu, Dion,” katanya.

Dion hanya tersenyum, meskipun hatinya terasa seperti dihancurkan.

“Sama-sama,” balasnya.

Lalu, Alea pergi.

Dion tetap duduk di bangku itu, menatap punggung Alea yang menjauh.

Untuk pertama kalinya, ia memilih untuk tidak mengejarnya.

Mungkin, cinta sejati bukan selalu tentang bersama. Kadang, cinta sejati adalah tentang melepaskan seseorang agar ia bisa hidup dengan bahagia.

Dan meskipun hatinya hancur, Dion tahu ia telah membuat pilihan yang benar.

Karena terkadang…

Beberapa kenangan memang lebih baik tetap terkubur dalam waktu.

BAB 8: Cinta yang Berlawanan dengan Waktu

Dion menatap langit yang mulai berubah warna, jingga bercampur dengan biru tua, pertanda senja telah tiba. Ia masih duduk di bangku taman, tempat di mana segalanya dimulai—dan mungkin, tempat di mana segalanya harus berakhir.

Alea sudah pergi.

Tidak ada yang tersisa selain kenangan yang hanya dia yang mengingatnya.

Dion menundukkan kepala, meremas buku kecil dalam genggamannya. Buku itu adalah satu-satunya bukti bahwa Alea pernah ada dalam siklus waktu, bahwa mereka pernah saling mencintai, bahwa dunia ini pernah dihancurkan dan dibangun kembali berulang kali.

Tetapi sekarang, waktu telah memisahkan mereka.

Sebuah pemikiran terlintas di benaknya. Jika Alea bisa menuliskan pesan dalam buku itu, apakah mungkin… ada bagian lain dari dirinya yang masih tersisa?

Mungkin dunia telah menulis ulang sejarah, tetapi tidak bisa sepenuhnya menghapus rasa.


Malam itu, Dion tidak bisa tidur. Ia hanya menatap langit-langit apartemennya, memikirkan semua hal yang telah terjadi.

Namun, saat ia mulai terlelap, sesuatu yang aneh terjadi.

Dion menemukan dirinya berdiri di dalam kehampaan.

Di sekelilingnya, hanya ada kegelapan tanpa ujung. Tidak ada suara, tidak ada arah.

Lalu, suara seseorang berbisik di belakangnya.

“Dion…”

Dion membalikkan badan.

Dan di sana, berdiri seorang wanita dengan rambut panjang yang berkilau di bawah cahaya redup.

Alea.

Tetapi ini bukan Alea yang ia temui pagi tadi.

Ini adalah Alea yang mengingat segalanya.

Dion terpaku.

“Alea…?” suaranya nyaris tercekat.

Wanita itu tersenyum lemah, tetapi ada kesedihan di matanya.

“Aku tidak punya banyak waktu,” katanya. “Aku hanya bisa berbicara denganmu di sini.”

Dion mengerutkan kening. “Di mana ini?”

Alea menatap sekeliling. “Di antara waktu.”

Dion menelan ludah.

Jadi, bahkan setelah dunia di-reset, ada bagian dari Alea yang masih terjebak di dalam waktu?

“Aku mencoba melupakanmu,” kata Alea, suaranya bergetar. “Karena itulah yang dunia inginkan. Tapi aku tidak bisa.”

Dion merasakan dadanya sesak.

“Aku dihapus, Dion,” lanjutnya. “Duniaku ditulis ulang tanpa dirimu. Aku seharusnya hidup normal. Aku seharusnya tidak mengingat apa pun. Tapi aku tetap merasakan sesuatu yang hilang.”

Dion mengepalkan tangannya. “Alea, aku bisa membantumu mengingat.”

Alea menggeleng.

“Tidak. Jika aku mengingat semuanya… dunia ini bisa runtuh lagi.”

Dion terdiam.

Jadi ini harga dari cinta mereka.

Jika Alea tetap melupakan segalanya, dunia akan tetap stabil. Tapi jika ia mengingat, kemungkinan besar siklus waktu akan kembali kacau.

“Tapi aku ingin kau tahu sesuatu,” kata Alea, menatapnya dengan mata penuh emosi. “Aku memilih ini.”

Dion membeku.

“Apa?”

Alea tersenyum kecil. “Di siklus terakhir, aku tahu dunia hanya akan bertahan jika aku menghilang dari ingatan semua orang. Dan aku menerimanya.”

Dion menatapnya dengan perasaan campur aduk.

“Kau… memilih untuk melupakanku?”

Alea mengangguk, tetapi air mata jatuh dari matanya. “Ya. Tapi itu tidak berarti aku berhenti mencintaimu.”

Dion merasakan sesuatu menghancurkan dirinya dari dalam.

“Jadi selama ini… kau tahu?”

Alea menutup mata, lalu mengangguk. “Aku tahu.”

Dion tidak bisa berkata-kata.

Cinta mereka tidak hilang.

Alea masih mengingatnya—di dalam hatinya, di antara waktu.

Tetapi ia memilih untuk melupakan, demi dunia.

“Dion,” Alea melangkah lebih dekat, menyentuh wajahnya dengan lembut. “Ini terakhir kalinya kita bertemu.”

Dion langsung menggenggam tangannya, menolak untuk membiarkannya pergi.

“Tidak! Aku akan menemukan cara untuk membawamu kembali!”

Alea tersenyum tipis. “Dunia ini tidak akan mengizinkan itu.”

Dion menatapnya, matanya memohon.

“Alea… aku tidak bisa kehilanganmu lagi.”

Alea menatapnya dalam-dalam, lalu berbisik, “Kau tidak pernah kehilangan aku.”

Dion merasakan napasnya tercekat saat Alea mulai memudar, tubuhnya berubah menjadi serpihan cahaya yang berhamburan di udara.

“Alea!”

Dion mencoba menggapai, tetapi tangannya hanya menangkap kehampaan.

Sebelum ia benar-benar menghilang, Alea tersenyum dan berkata,

“Jangan berhenti mencintaiku, meskipun aku tidak bisa mengingatmu.”

Lalu, dia menghilang.

Dan Dion terbangun di dunia yang kini benar-benar tanpa Alea.

Hari-hari berlalu, tetapi Dion tidak pernah melupakan apa yang terjadi di dalam mimpinya.

Dunia tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada kehancuran, tidak ada reset waktu.

Tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa bergerak maju seperti orang lain.

Karena cintanya pada Alea tidak bisa dihapus, tidak peduli seberapa keras dunia mencoba.

Dion akhirnya mengambil buku kecil yang ditinggalkan Alea dan menulis satu kalimat di dalamnya:

“Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu, bahkan jika kau telah melupakan segalanya.”

Lalu, ia menutup buku itu, menyimpannya di dalam sakunya.

Mungkin, di suatu tempat, di suatu waktu, mereka akan bertemu lagi.

Dan saat itu terjadi, ia akan membuat Alea jatuh cinta kepadanya lagi.

Tak peduli berapa lama ia harus menunggu.

BAB 9: Pilihan Terakhir

Dion menjalani hari-harinya seperti biasa, atau setidaknya berusaha untuk terlihat biasa. Dunia telah kembali stabil, tetapi dalam hatinya, segalanya masih berantakan. Setiap kali ia melihat keramaian, ada bagian dari dirinya yang berharap menemukan Alea di tengah-tengah mereka.

Namun, setiap harinya berlalu tanpa perubahan.

Alea sudah pergi.

Atau, lebih tepatnya, Alea masih ada di dunia ini tetapi telah melupakannya.

Dion mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah yang terbaik. Dunia tidak lagi runtuh, tidak ada lagi siklus waktu yang membuat mereka berdua terjebak dalam lingkaran tak berujung.

Tetapi apakah dunia yang stabil benar-benar berarti jika itu mengorbankan cinta mereka?

Dion tidak tahu.

Tapi satu hal yang pasti—ia tidak akan pernah melupakan Alea.


Malam itu, Dion sedang duduk di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit. Ia membuka buku kecil Alea, membaca kembali setiap catatan yang ditinggalkan wanita itu sebelum semua ini berubah.

Kemudian, ia menyadari sesuatu.

Sebuah halaman yang sebelumnya kosong… kini terisi tulisan baru.

Dion menegakkan tubuhnya, jantungnya berdetak lebih cepat. Itu bukan tulisannya. Dan jelas bukan tulisannya dari masa lalu.

Tulisan itu adalah tulisan tangan Alea.

“Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa seseorang sedang menungguku. Apakah aku pernah menjanjikan sesuatu?”

Dion menatap kalimat itu dengan mata terbelalak.

Bagaimana mungkin?

Alea telah dihapus dari siklus waktu, ingatannya telah diatur ulang. Dunia seharusnya telah memperbaiki semuanya.

Tetapi ini…

Ini berarti ada sesuatu yang masih menghubungkan mereka.

Mungkin hanya samar. Mungkin hanya bagian kecil dari Alea yang masih tertinggal dalam dirinya.

Tapi itu cukup bagi Dion untuk bertindak.

Ia masih punya kesempatan.

Misi Terakhir: Membuka Kembali Pintu Waktu

Jika dunia bisa menulis ulang sejarah, maka pasti ada cara untuk mengungkap kembali kebenaran yang tersembunyi.

Dion mengambil semua catatan yang tersisa tentang siklus waktu, termasuk informasi yang telah ia kumpulkan tentang Pusat Penelitian Helios.

Bangunan itu memang telah dihapus dari dunia ini, tetapi ingatan Dion tentang tempat itu masih ada.

Dan jika ia bisa menemukannya kembali…

Mungkin ia bisa menemukan cara untuk membuat Alea mengingatnya.

Dion memulai pencariannya. Ia mengunjungi tempat-tempat di mana laboratorium itu pernah berdiri. Semua orang yang ia tanyai mengatakan hal yang sama—tempat itu tidak pernah ada.

Tetapi Dion tidak menyerah.

Malam itu, ia berjalan ke pinggiran kota, ke lokasi terakhir di mana ia pernah melihat Pusat Penelitian Helios sebelum dunia di-reset.

Dan saat ia berdiri di tanah kosong itu, sebuah suara berbisik di kepalanya.

“Kau masih mencarinya, ya?”

Dion tersentak, menoleh ke belakang.

Di sana, berdiri seseorang yang tidak pernah ia sangka akan bertemu lagi.

Wanita berambut perak dari siklus sebelumnya.

Ilmuwan yang dulu mengatakan bahwa Alea adalah jangkar waktu.

“Aku tahu kau akan datang,” kata wanita itu dengan senyum tipis.

Dion menatapnya tajam. “Jika kau tahu, maka kau juga tahu kenapa aku di sini.”

Wanita itu menghela napas. “Dion… kau tidak bisa mengubah ini lagi.”

Dion mengepalkan tinjunya. “Aku tidak akan berhenti sampai Alea mengingatku.”

Wanita itu menggeleng. “Alea tidak melupakanmu karena dia ingin. Dia melupakanmu karena dia harus.

Dion menahan napas.

Wanita itu melanjutkan, “Jika Alea mengingat segalanya, dunia ini mungkin tidak akan bertahan. Kau tahu itu.”

Dion terdiam.

Ia tahu itu benar.

Tetapi apakah itu berarti ia harus menyerah?

“Apa ada cara lain?” tanya Dion.

Wanita itu menatapnya lama, lalu berkata dengan suara lembut, “Ada satu cara.”

Dion menegang.

“Tetapi itu akan menghapus keberadaanmu dari dunia ini.”

Dion membeku.

Wanita itu melanjutkan, “Jika kau benar-benar ingin Alea mengingatmu, kau harus menjadi bagian dari ingatannya. Tetapi dunia ini tidak bisa menerima dua realitas yang bertentangan. Jika Alea mengingatmu, maka kau… tidak akan pernah ada dalam sejarah dunia ini.”

Dion menatap wanita itu dengan mata membelalak.

“Jadi aku harus mengorbankan diriku?”

Wanita itu mengangguk.

“Itulah satu-satunya cara agar dia mengingatmu—tetapi kau tidak akan pernah ada untuk melihatnya.”

Dion terdiam.

Pilihan ini jauh lebih sulit dari yang ia kira.

Jika ia menyerah, Alea akan tetap hidup dengan bahagia, tetapi tanpa pernah mengingat dirinya.

Tetapi jika ia memilih untuk membuat Alea mengingatnya, maka ia sendiri akan menghilang selamanya.

Hatinya terasa berat.

Apakah ini harga dari cinta mereka?

Dion menghela napas panjang.

Lalu, ia tersenyum kecil.

“Jika itu satu-satunya cara… maka aku akan melakukannya.”

Wanita itu menatapnya dengan sorot mata penuh simpati.

“Kau benar-benar mencintainya, ya?”

Dion hanya tersenyum.

Lalu, dengan langkah mantap, ia melangkah menuju takdirnya.

Tak peduli apakah ia akan dihapus dari dunia ini.

Selama Alea mengingatnya… itu sudah cukup.

BAB 10: Tiga Detik Tanpa Akhir

Dion berdiri di tengah kehampaan.

Di sekelilingnya, hanya ada kegelapan, tidak ada suara, tidak ada bentuk, tidak ada batas. Namun, ia tahu ia berada di ambang sesuatu yang besar.

Wanita berambut perak berdiri di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata penuh rasa iba.

“Apakah kau yakin akan melakukan ini?” tanyanya sekali lagi.

Dion mengangguk mantap. “Jika ini satu-satunya cara agar Alea mengingatku, maka aku akan melakukannya.”

Wanita itu menghela napas panjang. “Begitu kau mengambil langkah ini, dunia akan menyesuaikan realitasnya. Alea akan mendapatkan ingatannya kembali, tetapi kau… akan terhapus.”

Dion hanya tersenyum tipis. “Aku tidak peduli.”

Cinta sejati bukan tentang selalu bersama, tetapi tentang memastikan orang yang kau cintai bisa bahagia—bahkan jika itu berarti kau tidak ada di dunia mereka.

Wanita itu mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, Dion merasakan gravitasi menariknya ke dalam pusaran cahaya putih.

Semuanya menghilang.


Alea terbangun dengan napas terengah-engah.

Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang berat menghimpitnya. Jantungnya berdetak kencang tanpa alasan yang jelas.

Dia memegang kepalanya, merasa pusing luar biasa.

Namun, saat ia menatap sekeliling, semuanya terlihat normal. Ia berada di apartemennya sendiri, tempat yang selalu ia kenal.

Tapi… ada yang salah.

Di dalam dirinya, ada perasaan hampa yang tidak bisa dijelaskan.

Seolah-olah… ia telah kehilangan sesuatu yang sangat penting.

Alea bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke meja kecil di dekat jendela. Di sana, ada sebuah buku catatan kecil yang ia sendiri tidak ingat kapan ia memilikinya.

Tangannya bergetar saat ia membukanya.

Dan saat ia melihat halaman pertama, dadanya mencelos.

Tulisannya sendiri.

“Dion, jika aku lupa, tolong cari aku.”

Jari-jarinya bergetar.

Dion?

Siapa Dion?

Nama itu terasa sangat familiar, tetapi ia tidak bisa mengingat siapa orang itu.

Dia membalik halaman demi halaman, tetapi sebagian besar kosong. Hanya ada beberapa catatan pendek:

  • “Aku merasa ada seseorang yang aku lupakan.”
  • “Aku terus bermimpi tentang seseorang. Tapi siapa?”
  • “Aku merasa hatiku kosong, seolah aku pernah memiliki sesuatu yang berharga… dan kini hilang.”

Alea menggigit bibirnya, merasakan matanya panas.

Ada sesuatu yang tidak beres.

Ada seseorang yang seharusnya ada di sini.

Tapi siapa?

Mengapa dia tidak bisa mengingatnya?

Hari itu, Alea tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Sepanjang hari, pikirannya terus dipenuhi dengan perasaan aneh ini.

Dan saat senja tiba, tanpa sadar, ia berjalan menuju taman kota.

Tempat itu terasa familiar, tetapi juga asing pada saat yang sama.

Ia duduk di bangku kayu, menatap langit jingga di atasnya, mencoba mengingat.

Dan saat itulah semuanya kembali.

Ingatan itu menghantamnya seperti ombak besar.

Ledakan. Reset waktu. Ratusan siklus yang berulang.

Dion.

Alea terperanjat.

Ia mengingat segalanya.

Ia mengingat pria yang selalu berjuang untuknya.

Pria yang tidak pernah menyerah, yang selalu mencoba menyelamatkannya, yang tidak pernah berhenti mencintainya.

Pria yang… sekarang tidak ada di dunia ini.

Alea merasakan air matanya jatuh.

“Dion…” bisiknya.

Namun, tidak ada jawaban.

Dion telah menghilang.

Ia telah terhapus dari dunia ini, dan tidak ada seorang pun yang mengingatnya.

Kecuali Alea.

Alea menutup matanya.

Ia tahu bahwa Dion tidak akan pernah kembali.

Namun, saat ia duduk di sana, merasakan angin sepoi-sepoi menyentuh kulitnya, ia tiba-tiba menyadari sesuatu.

Ada satu cara untuk mengembalikannya.

Jika dunia bisa menulis ulang sejarah, maka mungkin… ia juga bisa melakukannya.

Alea berdiri dengan tekad yang baru.

Jika Dion telah mengorbankan dirinya untuknya, maka kini giliran Alea untuk melakukan sesuatu.

Ia akan menemukan Dion.

Tidak peduli berapa lama itu akan memakan waktu.

Tidak peduli berapa banyak dunia mencoba menghapus mereka.

Tidak peduli apakah itu akan menyebabkan kehancuran lagi.

Alea akan mencari jalannya kembali kepadanya.

Karena cinta sejati tidak tunduk pada aturan waktu.

Epilog: Di Ujung Waktu

Di suatu tempat, di suatu garis waktu yang lain, seseorang membuka matanya.

Dion terbangun, menatap langit di atasnya.

Ia berada di sebuah dunia yang berbeda, asing namun familiar.

Lalu, di kejauhan, ia melihat seseorang berjalan mendekatinya.

Seorang wanita dengan rambut panjang yang tertiup angin, matanya dipenuhi kehangatan dan kesedihan yang mendalam.

Dion menatapnya, merasa ada sesuatu yang hilang namun juga sangat dekat.

Wanita itu tersenyum.

“Aku menemukannya,” bisiknya.

Dion tidak tahu kenapa, tetapi matanya mulai berkaca-kaca.

Ia tidak mengenal wanita ini… tetapi hatinya mengatakan sebaliknya.

Seolah-olah mereka telah menunggu momen ini selama-lamanya.

“Alea?” Dion bertanya ragu.

Wanita itu mengangguk.

“Lama sekali, ya?” katanya, suaranya nyaris pecah.

Dion menatapnya dalam-dalam.

Lalu, tanpa sadar, ia tersenyum.

“Ya,” bisiknya. “Tapi akhirnya kau menemukanku.”

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang tak terhitung, waktu akhirnya berpihak pada mereka.

TAMAT.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *