Arga, seorang ilmuwan muda jenius yang bekerja sebagai peneliti fisika tempat, tanpa sengaja menemukan mesin waktu yang membawanya ke tahun 1998. Dalam perjalanannya ke masa lalu, ia bertemu dengan Alana, seorang wanita misterius yang ternyata adalah Penjaga Waktu makhluk abadi yang ditugaskan untuk menjaga keseimbangan waktu.
Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, garis waktu mulai kacau. Hubungan mereka melampaui hukum waktu dan mengundang kemarahan Penguasa Waktu yang ingin menghancurkan mereka dan menghapus keberadaan mereka dari semua garis waktu.
Dihadapkan pada pilihan yang menyakitkan, Arga harus memilih: menghapus semua kenangan tentang Alana demi menyelamatkan keseimbangan waktu, atau mempertahankan cintanya dan melawan hukum waktu yang bisa menghancurkan alam semesta.
Dalam perjuangan melintasi ruang dan waktu, mereka menyadari bahwa meski kenangan bisa dihapus, perasaan mereka tetap abadi. Cinta mereka melampaui hukum waktu, dan takdir menulis ulang kisah mereka dalam garis waktu yang baru.
Namun, akankah cinta mereka benar-benar melampaui takdir? Atau mereka ditakdirkan untuk berpisah selamanya?
Bab 1: Penemuan yang Mengubah Segalanya
Suara ketukan keyboard terdengar tanpa henti di dalam ruang kerja kecil yang penuh dengan buku-buku tebal dan kertas berserakan. Arga, seorang ilmuwan muda dengan rambut acak-acakan dan kacamata yang selalu melorot di hidungnya, sibuk mengetik rumus-rumus kompleks di layar komputernya. Ia terobsesi dengan proyek ambisius yang sedang dikerjakannya — penelitian tentang fisika kuantum dan konsep perjalanan waktu.
Sudah berminggu-minggu Arga mengurung diri di laboratoriumnya, nyaris tidak tidur demi mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganggu pikirannya sejak lama: Apakah perjalanan waktu benar-benar mungkin? Teori relativitas waktu selalu memikatnya, tetapi ia ingin lebih dari sekadar teori. Ia ingin membuktikannya secara nyata.
Saat tengah malam datang dan keheningan menyelimuti kota, Arga masih terjaga dengan segelas kopi yang sudah dingin di meja kerjanya. Matanya tertuju pada sebuah perangkat aneh yang ia buat dari komponen elektronik bekas. Perangkat itu terlihat seperti jam tangan besar dengan layar digital yang berkedip-kedip pelan.
“Apa mungkin… ini benar-benar bisa bekerja?” gumamnya sambil mengamati perangkat itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Arga memasukkan koordinat waktu pada layar perangkat tersebut. Ia memilih tanggal acak di masa lalu — 12 Maret 1998, tanggal yang tidak memiliki arti khusus baginya. Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol “Mulai” dan menahan napas.
Tiba-tiba, ruangan di sekitarnya bergetar. Angin berdesir dari arah yang tak diketahui, dan suhu udara mendadak berubah dingin. Cahaya dari perangkat itu memancar terang hingga menyilaukan mata Arga. Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya terasa ringan seakan-akan gravitasi tak lagi berlaku. Ruangan di sekitarnya berputar cepat, dan semuanya berubah menjadi kabur.
Arga mencoba berteriak, tetapi suaranya lenyap dalam pusaran cahaya yang membawanya melintasi waktu.
Ketika ia membuka mata, suasana asing menyambutnya. Ia berdiri di tengah jalanan yang tidak dikenalnya, di depan sebuah toko kaset yang memajang poster-poster musisi tahun 90-an. Orang-orang di sekitarnya memakai pakaian jadul yang sudah ketinggalan zaman, dan tidak ada satu pun yang memegang ponsel pintar. Mobil-mobil yang berlalu-lalang pun terlihat antik.
“Kamu baik-baik saja, Mas?” Seorang wanita muda dengan rambut dikuncir kuda menghampirinya dengan wajah cemas.
Arga menatap wanita itu kebingungan, sebelum menyadari sesuatu yang mengejutkan. Ia benar-benar berada di tahun 1998. Mesinnya bekerja! Ia berhasil melakukan perjalanan waktu.
Namun, di balik rasa takjubnya, Arga tidak menyadari bahwa kehadirannya di masa lalu telah mengubah alur waktu yang seharusnya terjadi. Detik-detik yang ia alami saat itu bukan lagi bagian dari sejarah yang ia ketahui.
Dan tanpa disadari, pertemuan singkat dengan wanita itu adalah awal dari perubahan besar yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Bab 2: Pertemuan Takdir
Arga masih berdiri di tengah jalanan dengan ekspresi takjub yang belum hilang dari wajahnya. Matanya menyapu setiap sudut kota yang terasa begitu asing namun juga familiar. Jalanan dipenuhi orang-orang yang berjalan santai tanpa menunduk menatap layar ponsel. Di trotoar, anak-anak tertawa bermain kelereng, sementara remaja berkumpul dengan walkman dan kaset di tangan mereka.
“Apa ini benar-benar tahun 1998?” Arga bergumam pelan, masih sulit mempercayai kenyataan yang sedang dihadapinya. Mesin waktu buatannya bekerja, dan kini ia berdiri di masa lalu.
“Halo? Masih linglung?” suara lembut mengalihkan perhatiannya. Wanita yang tadi menghampirinya kini berdiri di hadapannya, tersenyum ramah. “Kamu jatuh dari mana sih? Dari langit?”
Arga tersentak dan buru-buru menyembunyikan perangkat waktu di balik jaketnya. “Eh, iya… maaf, aku cuma… sedikit pusing,” jawabnya gugup, mencoba mencari alasan yang masuk akal.
Wanita itu tertawa kecil. “Makanya jangan kebanyakan begadang. Oh ya, namaku Alana. Kamu siapa?”
“Arga,” jawabnya singkat, masih mencoba mencerna situasi yang dihadapinya. “Aku… baru pindah ke sini,” tambahnya cepat, berusaha menutupi identitas aslinya.
“Oh, pantesan tampangnya bingung banget,” Alana mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Kalau butuh bantuan atau mau keliling kota, kabarin aja. Aku kerja di toko buku sana,” ia menunjuk sebuah toko kecil dengan papan kayu yang mulai kusam.
Arga mengangguk kikuk. Ia ingin pergi dari sana sebelum Alana semakin curiga. “Iya, terima kasih. Aku… aku harus pergi sekarang.”
“Baiklah. Hati-hati, Arga,” ucap Alana sambil melambaikan tangan. Ada kilauan aneh di matanya yang tidak disadari oleh Arga.
Saat Arga berjalan menjauh, perasaan aneh mulai mengusiknya. Seperti ada sesuatu yang mengikatnya pada wanita itu. Ia bahkan tidak tahu kenapa pertemuan singkat itu membuat dadanya berdegup kencang.
Namun, Arga mencoba mengabaikannya. Ia lebih fokus mencari tempat aman untuk menguji perangkat waktunya lagi. “Aku harus kembali ke tahun 2025,” gumamnya sambil menekan tombol pada perangkat itu.
Namun, tidak ada yang terjadi. Layar digitalnya berkedip-kedip dan mati. Arga memukul-mukul perangkat itu dengan panik. “Tidak mungkin! Jangan rusak sekarang!” teriaknya frustasi.
Seketika itu juga, kenyataan pahit menghantamnya. Ia terjebak di tahun 1998.
Sementara itu, di Tempat Lain…
Di sebuah ruang yang tidak terikat oleh waktu dan dimensi, sosok misterius berdiri di depan kaca besar yang memantulkan gambar Arga dan Alana. Mata tajamnya menatap penuh amarah. “Tidak seharusnya mereka bertemu,” gumamnya dengan suara berat yang menggetarkan ruangan.
Sosok itu adalah Penguasa Waktu, entitas abadi yang menjaga keseimbangan waktu. Ia menyadari adanya distorsi kecil pada garis waktu ketika Arga bertemu dengan Alana.
Dengan gerakan tangan, ia membuka portal kecil yang menampilkan gambar Alana tersenyum pada Arga. Ia mendecak kesal. “Alana… Kau melanggar hukum waktu.”
Di saat yang sama, Alana berdiri di depan toko buku, menatap ke arah Arga yang berjalan menjauh. Ekspresi wajahnya berubah sendu. “Maafkan aku, Arga…” bisiknya lirih. “Seharusnya kita tidak pernah bertemu.”
Namun, takdir sudah terlanjur mempertemukan mereka. Takdir yang akan mengubah keseimbangan waktu dan ruang selamanya.
Saat malam mulai menyelimuti kota, Arga menyadari bahwa ia tidak hanya terjebak di masa lalu, tetapi juga terlibat dalam misteri yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Pertemuan singkatnya dengan Alana telah membuka pintu takdir yang tak bisa ditutup kembali. Dan tanpa ia sadari, ia sudah melangkah ke dalam permainan waktu yang berbahaya.
Bab 3: Rahasia Sang Penjaga Waktu
Malam mulai menyelimuti kota, lampu jalan menyala temaram, memberikan cahaya redup pada trotoar yang mulai sepi. Arga duduk di bangku taman, memandangi perangkat waktu di tangannya yang tidak lagi menyala. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk memperbaikinya, namun hasilnya tetap nihil. Ia benar-benar terjebak di tahun 1998.
“Sial… Apa yang harus kulakukan sekarang?” keluhnya sambil mengusap wajah dengan frustasi.
Di tengah kebingungan, bayangan Alana terlintas di pikirannya. Ada sesuatu yang aneh pada wanita itu, namun Arga tidak bisa menjelaskannya dengan logika. Mungkin karena tatapannya yang terlihat dalam seolah menyimpan rahasia besar, atau mungkin karena perasaan tak terjelaskan yang muncul saat mereka bertemu.
“Apa mungkin dia bisa membantuku?” gumam Arga sambil mengingat kata-kata Alana yang bekerja di toko buku.
Tanpa berpikir panjang, Arga berdiri dan melangkahkan kakinya ke arah toko yang ditunjukkan Alana sebelumnya. Jalanan sudah mulai lengang saat ia sampai di depan toko buku yang terlihat kuno namun hangat. Lampu di dalam toko masih menyala, meski pintunya sudah tertutup.
Arga mencoba mengetuk kaca pintu. “Alana? Kau di dalam?”
Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki terdengar. Pintu terbuka dan Alana muncul dengan senyum ramah. “Arga? Kenapa malam-malam begini datang ke sini?”
Arga tersenyum kikuk. “Maaf mengganggu, tapi… aku butuh bantuanmu.”
Alana mengangkat alisnya, terlihat bingung. “Bantuan? Tentang apa?”
Arga menatap Alana dalam-dalam. Ia ingin mempercayai wanita ini, meski mereka baru saja bertemu. “Ini mungkin terdengar gila, tapi… aku bukan dari masa ini.”
Raut wajah Alana berubah seketika. Tatapannya menjadi tajam, seolah sudah menduga sebelumnya. Namun, ia segera menyembunyikannya di balik senyuman kecil. “Masuklah dulu. Kita bicara di dalam.”
Di Dalam Toko Buku
Rak-rak kayu yang dipenuhi buku tua mengelilingi ruangan, memberikan aroma khas kertas yang sudah menua. Alana menuangkan teh hangat dan menyodorkannya pada Arga. Mereka duduk di meja kecil di pojok ruangan yang terasa nyaman dan tenang.
Arga memandangi teh itu sebentar sebelum melanjutkan ceritanya. “Aku berasal dari tahun 2025. Aku menemukan mesin waktu yang membawaku ke sini… Tapi sekarang mesinnya rusak, dan aku tidak tahu cara kembali.”
Alana menyimak dengan wajah datar, tanpa ekspresi terkejut sedikitpun. “Mesin waktu, ya?” gumamnya pelan, seolah sudah tahu sebelumnya.
“Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi… aku benar-benar dari masa depan,” lanjut Arga dengan nada serius.
Alana menghela napas panjang sebelum berdiri dari kursinya. “Jadi, sudah saatnya rahasia ini terbongkar…”
Arga menatapnya dengan bingung. “Apa maksudmu?”
Alana berjalan menuju rak buku di pojok ruangan dan menarik sebuah buku tebal berwarna hitam. Rak tersebut bergerak perlahan, memperlihatkan pintu rahasia di baliknya. “Ikutlah. Kau harus melihat sesuatu.”
Tanpa berkata-kata, Arga mengikuti Alana menuruni tangga sempit yang berakhir di sebuah ruangan rahasia. Di dalamnya, ada benda-benda aneh yang terlihat seperti artefak kuno, jam pasir besar yang melayang di udara, dan peta waktu yang menunjukkan aliran garis waktu yang berkelok-kelok.
Arga melangkah mundur dengan mata terbuka lebar. “Apa… apa tempat ini?”
Alana berdiri di depan jam pasir yang berpendar cahaya biru. “Ini adalah pusat waktu. Tempat di mana semua aliran waktu diawasi dan dijaga agar tetap seimbang.”
Arga semakin bingung. “Tunggu… Jadi kau ini siapa sebenarnya?”
Alana berbalik menghadap Arga. Tatapannya berubah dingin dan serius. “Namaku bukan Alana. Aku adalah Penjaga Waktu. Tugasku adalah menjaga keseimbangan waktu dan mencegah distorsi yang bisa menghancurkan kenyataan.”
Arga terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya. “Penjaga Waktu? Jadi… kau bukan manusia?”
Alana mengangguk pelan. “Aku bukan manusia biasa. Tugasku adalah mengawasi garis waktu agar tidak ada yang melanggarnya. Dan kau… dengan mesin waktumu… sudah mengganggu keseimbangan itu.”
Arga merasa lututnya lemas. “Jadi… semua kekacauan ini karena aku?”
Alana menatap Arga dengan tatapan sedih. “Garis waktu mulai berubah sejak kau datang ke sini. Jika tidak dihentikan, masa depan yang kau kenal akan lenyap.”
“Aku tidak bermaksud melakukan semua ini… Aku hanya ingin membuktikan teori perjalanan waktu,” suara Arga mulai bergetar.
Alana berjalan mendekatinya. “Karena itulah aku datang menemui dan membantumu. Kau harus memperbaiki garis waktu sebelum kekacauan ini semakin parah.”
“Tapi… bagaimana caranya?”
Alana memandang jam pasir yang perlahan mulai retak. “Kita harus memperbaiki mesin waktumu dan mengembalikanmu ke garis waktu yang seharusnya. Namun… ada konsekuensinya.”
Arga menatap Alana dengan cemas. “Konsekuensi apa?”
Alana tidak menjawab, hanya memandang Arga dengan tatapan sendu. “Kita akan membahasnya nanti. Sekarang, kita harus bekerja sama sebelum Penguasa Waktu datang.”
“Penguasa Waktu?”
“Mereka adalah entitas yang menjaga hukum waktu. Jika mereka tahu tentang pelanggaran ini, mereka tidak akan segan-segan menghapus keberadaanmu… dan keberadaanku.”
Arga terdiam. Ia baru menyadari betapa besar masalah yang telah ia ciptakan. Ia tidak hanya mempertaruhkan nyawanya, tapi juga nyawa Alana — wanita misterius yang diam-diam mulai menyentuh hatinya.
Namun, ia tidak tahu bahwa perasaan itu akan menjadi awal dari kekacauan yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
Dengan tekad untuk memperbaiki semua kesalahannya, Arga memutuskan untuk bekerja sama dengan Alana, sang Penjaga Waktu. Namun, tanpa mereka sadari, cinta mulai tumbuh di antara mereka, perlahan tapi pasti. Cinta yang akan mengguncang keseimbangan waktu dan ruang, serta mengundang murka Penguasa Waktu.
Bab 4: Larangan Cinta Lintas Waktu
Langit pagi mulai memancarkan cahaya kemerahan ketika Arga dan Alana berdiri di atas bukit, menghadap kota yang perlahan bangun dari tidur panjangnya. Angin pagi yang sejuk menerpa wajah mereka, membawa aroma embun yang segar. Namun, di balik keindahan pemandangan itu, ada kekhawatiran yang menyelimuti hati mereka berdua.
Alana menatap jam pasir besar yang dibawanya dari ruang rahasia. Retakan kecil di permukaannya semakin terlihat jelas. Setiap kali Arga berada di dekatnya, retakan itu membesar sedikit demi sedikit.
“Keseimbangan waktu semakin rapuh,” gumam Alana pelan, suaranya nyaris tak terdengar oleh angin.
Arga yang berdiri di sampingnya menatap pemandangan di depannya dengan mata kosong. Pikirannya masih dipenuhi kebingungan dan penyesalan. “Jadi… semua kekacauan ini karena aku?”
Alana mengangguk pelan. “Mesin waktumu membuka celah pada garis waktu. Seharusnya takdir tidak mempertemukan kita, tapi sekarang kita di sini… dan waktu mulai berubah.”
“Tapi… aku tidak bermaksud merusak keseimbangan waktu. Aku hanya ingin membuktikan teoriku,” suara Arga terdengar lemah.
Alana menatap Arga dengan ekspresi lembut namun penuh rasa bersalah. “Aku tahu. Tapi hukum waktu tidak memandang niat. Kehadiranmu di sini sudah melanggar aturan yang ada.”
Arga mengalihkan pandangannya dari Alana, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba menyelubungi hatinya. Ia mulai menyadari sesuatu yang tidak ia duga sebelumnya. Alasan hatinya terasa berat bukan hanya karena ia terjebak di masa lalu, tapi juga karena kehadiran Alana yang entah mengapa membuatnya ingin tinggal lebih lama.
“Kalau begitu… apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Arga, mencoba menyembunyikan perasaannya di balik nada suara yang tenang.
Alana menghela napas panjang, seolah menimbang sesuatu yang berat. “Kita harus memperbaiki mesin waktumu dan mengembalikanmu ke garis waktu yang seharusnya. Itu satu-satunya cara untuk memperbaiki keseimbangan waktu.”
Arga menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. Ia tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan, tapi hatinya terasa berat. Ia tidak ingin pergi. Ia tidak ingin meninggalkan Alana.
“Dan setelah itu… kita tidak akan pernah bertemu lagi, kan?” Arga bertanya dengan suara lirih.
Alana terdiam. Ia memandang Arga dengan mata yang berkaca-kaca. “Iya… Karena seharusnya kita tidak pernah bertemu.”
Larangan Cinta Lintas Waktu
Hari-hari berlalu dengan cepat saat Arga dan Alana bekerja sama memperbaiki mesin waktu yang rusak. Mereka mencari komponen yang dibutuhkan, merakit ulang bagian-bagian yang hancur, dan menguji perangkat itu berulang kali. Semakin sering mereka bersama, semakin dalam perasaan di antara mereka tumbuh.
Namun, Alana terus menjaga jarak. Ia tahu perasaan itu tidak seharusnya ada. Ia tahu bahwa cinta antara Penjaga Waktu dan manusia adalah pelanggaran besar yang tidak akan diampuni oleh Penguasa Waktu.
Suatu malam, saat mereka bekerja hingga larut di toko buku, Alana tiba-tiba berdiri dan menjauh dari Arga. “Kita tidak boleh seperti ini.”
Arga mengangkat wajahnya dari perangkat yang sedang diperbaikinya. “Apa maksudmu?”
Alana menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Perasaan ini… kita tidak boleh merasakannya. Kau tahu betul bahwa setiap kali kita bersama, garis waktu semakin kacau.”
Arga berdiri, berjalan mendekati Alana. “Tapi aku tidak bisa mengendalikannya, Alana. Aku… aku mencintaimu.”
Alana menutup matanya, menahan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya. “Tidak seharusnya kau mencintaiku… Tidak seharusnya kita bertemu. Aku hanyalah Penjaga Waktu. Tugas utamaku adalah menjaga keseimbangan waktu, bukan jatuh cinta.”
“Dan kau pikir aku bisa mengendalikan perasaanku?” Arga menggenggam tangan Alana dengan erat. “Setiap kali aku melihatmu, setiap kali aku berada di dekatmu… aku tahu aku tidak ingin pergi. Aku ingin tinggal di sini… bersamamu.”
Air mata mengalir di pipi Alana. Ia tahu perasaannya sendiri. Ia tahu ia juga mencintai Arga. Tapi perasaan itu adalah kutukan yang akan menghancurkan keduanya.
“Kita tidak bisa bersama, Arga. Cinta kita adalah pelanggaran hukum waktu. Jika Penguasa Waktu mengetahuinya, mereka akan menghukum kita berdua. Mereka akan menghapus keberadaan kita dari garis waktu.”
“Aku tidak peduli!” Arga berseru dengan suara lantang. “Aku tidak peduli dengan hukum waktu atau Penguasa Waktu. Aku hanya ingin bersamamu, Alana.”
Alana menundukkan wajahnya, menggigit bibirnya agar tidak terisak. “Arga… Jika kita terus seperti ini, seluruh kenyataan akan hancur. Masa depanmu tidak akan pernah ada… Dan aku… aku akan dihukum selamanya.”
Arga terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. “Lalu… apa yang harus kulakukan?”
Alana menghapus air matanya dan mencoba tersenyum meski hatinya hancur. “Kita harus menyelesaikan mesin waktumu… dan kau harus kembali ke masa depan. Itu satu-satunya cara agar waktu kembali stabil.”
“Tapi… kita tidak akan pernah bertemu lagi?”
Alana mengangguk pelan. “Tidak. Karena seharusnya kau tidak pernah mengenalku. Kau harus melupakan semua ini… dan melanjutkan hidupmu.”
Arga merasa hatinya remuk mendengar kata-kata itu. Namun, ia tahu Alana benar. Ia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan waktu dan kenyataan.
“Aku tidak ingin melupakanmu, Alana…”
Alana tersenyum pahit. “Kau harus… demi kebaikan kita berdua.”
Malam semakin larut, dan bulan bersinar terang di langit. Arga dan Alana berdiri berdua di bawah cahaya rembulan, dalam keheningan yang menyakitkan. Perasaan mereka terhubung, namun kenyataan memaksa mereka untuk berpisah.
Cinta mereka adalah pelanggaran waktu yang tidak bisa diampuni. Cinta yang terlarang dan ditakdirkan untuk tidak pernah ada.
Namun, takdir tidak pernah bisa ditebak. Cinta mereka akan membawa perubahan besar yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Dan di balik kegelapan malam, bayangan Penguasa Waktu mengintai, bersiap menghukum mereka atas pelanggaran yang telah mereka lakukan.
Bab 5: Kekacauan di Garis Waktu
Pagi itu, langit terlihat cerah. Matahari bersinar terang dan burung-burung berkicau riang di pepohonan. Namun, suasana damai itu tidak berlangsung lama. Secara tiba-tiba, angin kencang bertiup, mengubah langit biru menjadi gelap dengan awan hitam yang berputar-putar tidak wajar. Orang-orang di kota berlari panik, kebingungan dengan perubahan cuaca yang tak masuk akal.
Arga berdiri terpaku di depan toko buku, menatap langit yang tampak terbelah seperti cermin yang retak. Ia tahu apa yang sedang terjadi.
“Kenyataan mulai runtuh…” gumamnya pelan dengan wajah pucat.
Alana berlari keluar dari dalam toko dengan wajah panik. “Garis waktu semakin tidak stabil. Kita tidak punya banyak waktu lagi!”
Arga mengepalkan tangannya dengan frustrasi. “Semua ini salahku… Seharusnya aku tidak datang ke masa ini.”
Alana menggenggam tangan Arga dengan erat. “Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Kita harus memperbaikinya sekarang, atau seluruh kenyataan akan hancur.”
Arga mengangguk tegas. “Kita harus segera menyelesaikan mesin waktuku.”
Distorsi Waktu yang Kacau
Ketika mereka berlari menuju laboratorium rahasia di bawah toko buku, jalanan mulai berubah kacau. Bangunan-bangunan di sekeliling mereka berganti bentuk dalam sekejap. Kadang berubah menjadi gedung modern, lalu dalam sekejap berubah menjadi rumah kuno yang reyot. Bahkan beberapa orang di jalanan menghilang begitu saja, seolah-olah mereka terhapus dari kenyataan.
Arga berhenti sejenak, melihat seorang pria tua yang sedang berbicara dengan seorang anak kecil tiba-tiba berubah menjadi pemuda yang bermain dengan anak anjing. Dalam hitungan detik, mereka semua lenyap, menyisakan kehampaan di tempat mereka berdiri.
“Apa… apa yang terjadi?” tanya Arga dengan suara gemetar.
“Garis waktu mulai tumpang tindih. Masa lalu, masa kini, dan masa depan bercampur jadi satu. Jika kita tidak segera memperbaikinya, seluruh kenyataan akan hancur,” jelas Alana sambil menarik tangan Arga, mengajaknya berlari lebih cepat.
Di sepanjang jalan, distorsi waktu semakin parah. Mobil-mobil berubah menjadi kereta kuda, pohon-pohon berganti menjadi gedung pencakar langit yang transparan, dan orang-orang mulai berjalan mundur seolah-olah waktu bergerak terbalik.
Arga mulai merasa pusing melihat kekacauan di sekitarnya. “Ini semua karena aku… karena kita bersama…”
Alana menggenggam tangan Arga lebih erat. “Aku tahu. Itulah kenapa kita harus segera menyelesaikan semua ini.”
Mereka berlari melewati lorong sempit di belakang toko buku dan memasuki pintu rahasia yang mengarah ke laboratorium bawah tanah. Begitu sampai di dalam, mereka segera mulai bekerja memperbaiki mesin waktu yang rusak.
Mencari Solusi yang Mustahil
Mesin waktu itu tergeletak di atas meja, terbuka dengan kabel-kabel yang terurai. Layar digitalnya berkedip lemah, menunjukkan angka-angka acak yang berubah tanpa henti. Arga mengutak-atik papan sirkuit, mencoba menyambungkan kembali komponen yang rusak.
“Kita perlu memperkuat energi temporal agar mesin ini bisa membuka portal waktu yang stabil,” kata Arga sambil menghubungkan kabel dengan cepat.
Alana mengangguk. “Aku bisa meminjamkan energiku. Sebagai Penjaga Waktu, aku memiliki kekuatan untuk menstabilkan garis waktu.”
Arga terdiam sejenak, menatap Alana dengan cemas. “Tapi… itu bisa membahayakanmu.”
Alana tersenyum lembut. “Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan waktu… dan menyelamatkanmu.”
Arga ingin membantah, tapi ia tahu Alana benar. Mereka tidak punya pilihan lain. “Baiklah… kita lakukan ini bersama.”
Alana berdiri di samping mesin waktu dan menutup matanya. Tubuhnya mulai memancarkan cahaya biru yang lembut, mengalir ke dalam mesin waktu. Layar digital yang tadinya berkedip-kedip kini mulai menyala dengan terang.
Arga mempercepat pekerjaannya, menyambungkan sirkuit terakhir dengan hati-hati. “Sedikit lagi… dan selesai!”
Mesin waktu itu mulai berdengung, menciptakan pusaran cahaya di udara. Angin berhembus kencang, mengangkat kertas-kertas yang berserakan di meja kerja. Portal waktu mulai terbuka di depan mereka, memancarkan cahaya biru yang berpendar indah.
“Kita berhasil!” seru Arga dengan wajah gembira.
Namun, sebelum mereka sempat melangkah ke dalam portal, ruang di sekitar mereka bergetar hebat. Cahaya biru yang tenang berubah menjadi merah menyala, dan dari dalam portal itu muncul sosok tinggi berbalut jubah hitam.
Arga merasakan hawa dingin yang menusuk tulang saat sosok itu melangkah keluar dari portal. Matanya berkilat tajam dengan warna merah darah. Suaranya dalam dan bergema di seluruh ruangan.
“Manusia bodoh… Berani sekali kau melanggar hukum waktu.”
Alana menegang, tubuhnya bergetar ketakutan. “Penguasa Waktu…”
Sosok itu tersenyum dingin. “Alana… Kau telah melanggar tugasmu sebagai Penjaga Waktu. Cinta terlarangmu pada manusia ini telah menghancurkan keseimbangan waktu.”
Arga maju satu langkah, berdiri di depan Alana seolah ingin melindunginya. “Ini bukan salahnya! Semua ini terjadi karena aku. Jangan hukum Alana!”
Penguasa Waktu tertawa sinis. “Cinta? Pengorbanan? Semua itu tidak ada artinya bagi waktu. Kau berdua telah menghancurkan garis waktu yang stabil. Hukumannya adalah penghapusan.”
Alana terperangah. “Tidak… Jangan hapus dia. Aku yang bersalah… hukum aku saja.”
Penguasa Waktu menggeleng pelan. “Kau sudah terlalu terikat dengan manusia ini. Kalian berdua akan dihapus dari semua garis waktu… agar keseimbangan dapat kembali.”
Arga mengepalkan tinjunya, tidak terima dengan keputusan itu. “Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu menghapus Alana!”
Ia meraih perangkat waktu yang sudah diperbaiki dan menekan tombolnya. Portal waktu yang merah menyala kembali berubah biru, membuka lorong waktu yang bergemuruh. “Alana, cepat! Kita bisa melarikan diri!”
Alana ragu sejenak, tetapi melihat tekad di mata Arga, ia menggenggam tangannya dan melompat ke dalam portal waktu bersamanya.
Penguasa Waktu menggeram marah, suaranya mengguncang seluruh dimensi waktu. “Kalian tidak akan bisa lari dari hukum waktu!”
Portal itu tertutup rapat di belakang mereka, meninggalkan ruang kosong yang sunyi. Penguasa Waktu berdiri diam, matanya menyala merah. “Kalian bisa lari, tapi tidak bisa bersembunyi. Aku akan menemukan kalian… di manapun dan kapanpun.”
Dengan kekacauan waktu yang semakin parah, Arga dan Alana melompat ke dalam portal untuk melarikan diri dari Penguasa Waktu. Mereka tidak tahu di mana dan kapan mereka akan tiba. Namun, satu hal yang pasti — mereka kini menjadi buronan waktu yang diburu oleh Penguasa Waktu yang tidak akan berhenti hingga mereka lenyap dari garis waktu.
Dan di suatu tempat di antara dimensi waktu yang tak terbatas, takdir mereka mulai ditulis ulang.
Bab 6: Munculnya Penguasa Waktu
Arga dan Alana terlempar keluar dari portal waktu dan jatuh dengan keras di atas tanah berpasir. Debu beterbangan di sekitar mereka, dan angin panas menyapu wajah mereka. Arga mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba fokus pada pemandangan di depannya.
Di hadapan mereka terbentang gurun luas yang gersang, tanpa tanda-tanda kehidupan. Matahari menyala terik di atas kepala, membuat pasir di bawah kaki mereka terasa membara. Alana berdiri perlahan, tubuhnya sedikit goyah setelah perjalanan lintas waktu yang kasar.
“Di mana kita sekarang?” tanya Arga sambil mengibas-ngibaskan debu dari pakaiannya.
Alana memejamkan mata, merasakan aliran waktu di sekitarnya. “Ini… bukan masa lalu atau masa depan. Ini adalah Zona Netral… tempat di luar garis waktu.”
Arga menatap Alana dengan bingung. “Zona Netral? Maksudmu kita berada di luar waktu?”
Alana mengangguk. “Ya. Ini adalah tempat yang digunakan oleh para Penjaga Waktu untuk berlindung ketika terjadi kekacauan temporal. Di sini, waktu tidak berjalan seperti di dunia nyata.”
Arga tercengang. Ia baru menyadari betapa kompleksnya dunia waktu dan dimensi yang selama ini hanya dianggap sebagai teori ilmiah. “Lalu… apakah Penguasa Waktu bisa menemukan kita di sini?”
Alana menatap horizon yang kosong dengan mata waspada. “Mereka bisa… dan mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan berhenti sampai kita dihapus dari garis waktu.”
Pertarungan dengan Penguasa Waktu
Belum sempat mereka mengambil napas, udara di sekitar mereka tiba-tiba berubah dingin. Angin berhembus kencang, membawa pasir yang berputar-putar membentuk pusaran besar. Dari dalam pusaran pasir itu, muncul sosok tinggi dengan jubah hitam yang berkibar tertiup angin.
Penguasa Waktu berdiri di depan mereka, wajahnya tertutup tudung hitam dengan mata merah yang menyala terang. Suara beratnya menggema di seluruh gurun. “Kalian tidak bisa lari dari hukum waktu.”
Arga berdiri di depan Alana, mencoba melindunginya. “Hentikan ini! Jika kau ingin menghukum seseorang, hukum aku! Ini semua salahku!”
Penguasa Waktu menoleh ke arah Arga, ekspresi wajahnya tidak terbaca di balik tudung hitam. “Manusia bodoh. Kesalahan ini bukan hanya milikmu. Cinta terlarang kalian telah menghancurkan keseimbangan waktu.”
Alana melangkah maju, air matanya mengalir di pipi. “Aku yang bersalah… Seharusnya aku tidak jatuh cinta padanya. Tolong… jangan hapus dia.”
Penguasa Waktu mengangkat tangan kanannya, menciptakan pusaran energi gelap yang berkilat-kilat di udara. “Penjaga Waktu yang melanggar hukum akan dihapus dari eksistensi. Begitu pula manusia yang mengganggu garis waktu.”
Arga merasakan ketakutan yang mendalam. Ia tidak bisa membiarkan Alana lenyap begitu saja. “Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu!”
Tanpa berpikir panjang, Arga meraih perangkat waktu di tangannya dan mengarahkannya pada Penguasa Waktu. Ia menekan tombol dengan paksa, menciptakan ledakan cahaya yang menyilaukan.
Penguasa Waktu terdorong mundur oleh gelombang energi yang kuat. “Kau berani melawan waktu itu sendiri?”
Alana menatap Arga dengan mata terbelalak. “Apa yang kau lakukan?”
Arga menggenggam tangan Alana dengan erat. “Aku tidak peduli seberapa kuat mereka. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambilmu dariku.”
Penguasa Waktu mengangkat kedua tangannya, menciptakan pusaran energi gelap yang semakin membesar. “Kalian melawan hukum waktu. Kini saatnya kalian dihapus dari eksistensi.”
Pusaran energi itu melesat cepat ke arah mereka. Arga memeluk Alana erat-erat, mencoba melindunginya dengan tubuhnya sendiri. Namun, saat pusaran energi itu hampir menyentuh mereka, cahaya terang muncul di antara mereka dan Penguasa Waktu.
Sosok lain muncul dari cahaya terang itu. Seorang pria dengan jubah putih bersinar dan aura yang tenang. Wajahnya terlihat lembut, namun matanya penuh ketegasan. “Hentikan ini, Penguasa Waktu.”
Penguasa Waktu mundur dengan ekspresi kaget. “Kau… Penyeimbang Waktu…”
Alana terperangah melihat sosok itu. “Penyeimbang Waktu? Kenapa dia datang ke sini?”
Arga bingung. “Siapa dia?”
Alana menjelaskan dengan suara gemetar. “Dia adalah entitas yang lebih tinggi dari Penguasa Waktu. Tugasnya adalah menjaga agar tidak ada kekuasaan waktu yang berlebihan. Ia adalah pengadil yang tidak memihak.”
Penyeimbang Waktu melangkah maju, berdiri di antara Arga dan Alana serta Penguasa Waktu. “Cinta mereka memang melanggar hukum waktu, namun menghapus eksistensi mereka akan menyebabkan ketidakstabilan yang lebih besar.”
Penguasa Waktu terlihat marah. “Mereka telah menghancurkan garis waktu yang stabil! Kehidupan dan kematian bercampur, masa lalu dan masa depan tumpang tindih! Ini tidak bisa dimaafkan!”
Penyeimbang Waktu mengangguk pelan. “Benar, tapi kehancuran itu bukan semata-mata kesalahan mereka. Semua ini terjadi karena hukum waktu yang terlalu kaku. Cinta mereka adalah variabel yang tidak diperhitungkan dalam takdir.”
Arga berdiri dengan bingung. “Maksudmu… perasaan kita yang menyebabkan semua kekacauan ini?”
Penyeimbang Waktu menoleh padanya dengan senyuman lembut. “Tidak, Arga. Perasaanmu adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Kau dan Alana seharusnya tidak pernah bertemu, namun takdir membawa kalian bersama untuk suatu alasan.”
Penguasa Waktu menggeram marah. “Apa maksudmu?”
Penyeimbang Waktu mengangkat tangannya, menciptakan layar waktu yang memutar kembali semua peristiwa yang terjadi sejak Arga menemukan mesin waktu. “Arga dan Alana ditakdirkan untuk bertemu agar garis waktu yang rusak di masa depan bisa diperbaiki. Cinta mereka adalah kunci untuk menyelamatkan kenyataan.”
Arga dan Alana terkejut mendengar penjelasan itu. “Kita… ditakdirkan untuk bertemu?”
Penyeimbang Waktu mengangguk. “Benar. Namun, perasaan kalian juga menjadi ancaman bagi keseimbangan waktu. Oleh karena itu, kalian harus membuat pilihan yang sulit.”
Penyeimbang Waktu menatap mereka dengan tatapan tegas. “Kalian harus memilih: menghapus semua kenangan tentang cinta kalian agar waktu tetap stabil, atau tetap bersama dan menghadapi kehancuran alam semesta.”
Arga dan Alana saling menatap dengan mata berkaca-kaca. Pilihan itu terlalu kejam, namun mereka tidak punya jalan lain.
Penyeimbang Waktu memberi mereka waktu untuk berpikir. “Pilihlah dengan bijak, karena pilihan kalian akan menentukan nasib semua garis waktu.”
Dengan hati yang hancur, Arga dan Alana dihadapkan pada pilihan yang tidak mungkin. Mereka harus memilih antara mengorbankan cinta mereka demi menyelamatkan waktu, atau melawan takdir dan menghadapi kehancuran alam semesta.
Dan di tengah kekacauan itu, mereka menyadari satu hal: Cinta mereka melampaui waktu dan takdir, namun tidak pernah ditakdirkan untuk bersatu.
Bab 7: Pilihan yang Menyakitkan
Suasana di Zona Netral terasa hening, seolah-olah waktu berhenti di sana. Angin gurun yang tadinya bertiup kencang kini terasa tenang dan sunyi. Di tengah hamparan pasir yang luas, Arga dan Alana berdiri berdampingan, saling menatap dengan mata yang berkaca-kaca.
Di depan mereka, Penyeimbang Waktu berdiri dengan tatapan lembut namun tegas. “Pilihan kalian akan menentukan nasib semua garis waktu. Kalian harus memutuskan sekarang.”
Arga menatap wajah Alana dengan penuh kepedihan. Hatinya terasa remuk melihat air mata yang mengalir di pipi wanita yang dicintainya. Ia tidak ingin melupakan Alana. Ia tidak ingin kenangan indah mereka terhapus begitu saja.
“Aku tidak bisa melupakanmu, Alana… Aku tidak bisa hidup tanpamu,” suara Arga bergetar menahan emosi.
Alana menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan isakan yang semakin dalam. “Arga… Aku juga tidak ingin melupakanmu. Tapi… kita tidak bisa melawan takdir.”
Arga menggenggam tangan Alana dengan erat, seolah tidak ingin melepaskannya. “Lalu… apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita bisa menghapus semua ini? Semua kenangan kita?”
Penyeimbang Waktu melangkah maju, tangannya terangkat dan menciptakan pusaran cahaya yang berputar pelan. “Aku bisa menghapus kenangan cinta kalian. Jika kalian memilih jalan ini, semua pertemuan dan perasaan yang pernah ada akan lenyap. Kalian akan kembali ke garis waktu yang seharusnya, tanpa saling mengenal.”
Alana memejamkan matanya, merasakan sakit yang menusuk di dadanya. Semua kenangan indah bersama Arga akan lenyap begitu saja. Tawa, senyuman, dan cinta yang tumbuh di antara mereka… semuanya akan hilang.
“Tidak… Jangan lakukan itu,” bisik Arga lirih. “Kenapa kita harus dihukum karena mencintai?”
Penyeimbang Waktu menatap Arga dengan iba. “Ini bukan hukuman, Arga. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan waktu dan kenyataan. Jika kenangan kalian tetap ada, garis waktu akan terus kacau.”
Alana mencoba tersenyum meski hatinya hancur. “Arga… Kau harus melupakan aku. Kau harus kembali ke masa depanmu dan menjalani hidup seperti seharusnya.”
Arga menggeleng dengan keras, air matanya mengalir deras. “Tidak! Aku tidak ingin hidup di dunia di mana aku tidak mengenalmu.”
Alana mendekatkan wajahnya ke wajah Arga, menyentuh pipinya dengan lembut. “Tapi aku ingin kau bahagia… meski itu berarti aku harus lenyap dari hidupmu.”
“Alana… Jangan bicara seperti itu…”
Alana tersenyum pahit. “Kau harus kuat, Arga. Kau harus hidup untukku… meski kau tidak lagi mengingatku.”
Suara Alana yang lembut membuat hati Arga hancur berkeping-keping. “Tidak… Tidak mungkin…”
Penyeimbang Waktu mendekat dengan tatapan penuh pengertian. “Aku tahu ini menyakitkan, tapi ini adalah pengorbanan yang harus kalian lakukan untuk menyelamatkan waktu.”
Arga menghela napas panjang, merasakan sakit yang begitu dalam. “Jika aku melupakanmu… apakah kau juga akan melupakanku?”
Alana menggeleng pelan, air matanya semakin deras. “Tidak. Sebagai Penjaga Waktu, aku tidak bisa menghapus kenanganku. Aku akan terus mengingatmu… meski kau tidak lagi mengenalku.”
Arga tercengang. “Jadi… kau akan hidup dalam kesedihan tanpa bisa melupakan cinta kita?”
Alana mengangguk lemah. “Itu adalah takdirku… sebagai Penjaga Waktu. Aku akan menjaga kenangan kita… agar tetap hidup dalam hatiku.”
Arga merasa hatinya semakin remuk. Ia tidak ingin Alana menderita seperti itu. “Tidak… Aku tidak bisa membiarkanmu menanggung semua itu sendirian.”
Alana mencoba tersenyum lagi, meski air matanya tak bisa berhenti. “Arga… Cintaku padamu tidak akan pernah hilang. Meski kau melupakanku… aku akan selalu mencintaimu.”
Arga terisak, memeluk Alana erat-erat untuk terakhir kalinya. Ia ingin mengingat setiap detik, setiap sentuhan, dan setiap kata yang diucapkan Alana.
“Aku mencintaimu, Alana… Aku tidak ingin melupakanmu…”
Alana membalas pelukan itu dengan erat, merasakan kehangatan tubuh Arga untuk terakhir kalinya. “Aku tahu… Tapi kau harus melupakanku… demi kebaikan semua orang.”
Penghapusan Kenangan yang Menyakitkan
Penyeimbang Waktu mengangkat tangannya, menciptakan cahaya lembut yang melayang di atas kepala Arga dan Alana. “Sudah waktunya… Kenangan kalian akan terhapus. Kau akan kembali ke garis waktu yang seharusnya, Arga.”
Arga memejamkan mata, air matanya jatuh tanpa henti. “Alana… maafkan aku… aku tidak cukup kuat untuk melawan takdir.”
Alana menyentuh pipi Arga dengan lembut. “Tidak perlu meminta maaf… Kau sudah melakukan yang terbaik. Kau sudah cukup kuat untuk mencintaiku.”
Cahaya lembut itu mulai turun perlahan, mengelilingi tubuh mereka berdua. Arga mulai merasakan kesadarannya memudar, kenangan tentang Alana mulai memudar satu per satu. Tawa mereka, perjalanan waktu yang mereka lalui, dan perasaan cintanya… semuanya mulai lenyap.
“Alana… aku… aku tidak ingat… siapa kau…” suara Arga mulai lirih dan lemah.
Alana tersenyum dengan air mata yang terus mengalir. “Tidak apa-apa… Cinta kita akan tetap hidup di dalam hatiku.”
Arga menatap Alana untuk terakhir kalinya sebelum matanya tertutup perlahan. Tubuhnya menghilang dalam pusaran cahaya dan lenyap tanpa jejak.
Alana berdiri sendirian di Zona Netral, menatap ke arah tempat Arga menghilang. Hatinya terasa hampa, seolah-olah separuh jiwanya hilang bersama kepergian Arga.
Penyeimbang Waktu menatap Alana dengan iba. “Kau sudah melakukan pengorbanan besar, Alana.”
Alana menghapus air matanya, mencoba tersenyum meski hatinya terluka parah. “Aku akan terus menjaganya… meski dia tidak lagi mengenalku.”
Penyeimbang Waktu mengangguk pelan. “Kau adalah Penjaga Waktu yang kuat. Kau telah menyelamatkan garis waktu.”
Alana berdiri di tengah gurun yang sunyi, memandang ke langit dengan hati yang hancur. Ia tahu cintanya pada Arga akan tetap hidup, meski takdir memisahkan mereka.
Dan di suatu tempat di masa depan, Arga hidup tanpa ingatan tentang Alana, namun hatinya selalu merasa kosong… seolah-olah ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya.
Bab 8: Perpisahan yang Tak Terhindarkan
Langit malam terlihat jernih dengan ribuan bintang yang berkilauan di atas Zona Netral. Angin lembut berhembus pelan, membawa keheningan yang menyesakkan hati. Alana berdiri sendirian di tengah gurun, memandang langit dengan tatapan hampa.
Tidak ada lagi Arga di sisinya. Tidak ada lagi senyuman hangat yang mengisi hari-harinya. Semua kenangan indah bersama Arga kini hanya tersimpan dalam hatinya sendiri, sementara Arga telah kembali ke garis waktu tanpa mengingat sedikit pun tentang dirinya.
Penyeimbang Waktu muncul di samping Alana dengan wajah tenang namun penuh pengertian. “Pengorbananmu menyelamatkan keseimbangan waktu, Alana. Garis waktu kembali stabil.”
Alana tidak menjawab. Matanya tetap terpaku pada bintang-bintang di langit, berharap bisa menemukan bayangan Arga di antara cahaya yang berkelip.
Penyeimbang Waktu menghela napas panjang. “Sekarang saatnya kau kembali ke tempatmu sebagai Penjaga Waktu. Kenangan ini akan tetap hidup di hatimu, tapi takdir tidak pernah mengizinkan kalian untuk bersama.”
Alana menutup matanya, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. “Aku tahu… Tapi kenapa rasanya begitu menyakitkan?”
“Karena kau memiliki hati manusia, meski kau adalah Penjaga Waktu,” jawab Penyeimbang Waktu lembut. “Cinta kalian melampaui waktu dan ruang, namun cinta itu juga yang menjadi kutukan yang tidak bisa dihindari.”
Alana menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang menyesakkan dada. “Aku tidak bisa melupakannya… Aku tidak bisa berhenti mencintainya…”
Penyeimbang Waktu tersenyum tipis. “Itulah keindahan dan kegetiran cinta. Meski garis waktu memisahkan kalian, perasaan itu tetap abadi di hatimu.”
Alana memandang langit untuk terakhir kalinya sebelum menundukkan wajahnya. “Baiklah… Aku akan kembali menjadi Penjaga Waktu. Tapi… izinkan aku melihatnya untuk terakhir kalinya.”
Penyeimbang Waktu mengangguk. Dengan satu gerakan tangan, ia membuka portal waktu yang memperlihatkan Arga di masa depan.
Arga di Masa Depan
Di tahun 2025, Arga berdiri di tengah keramaian kota, dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi dan lampu-lampu jalanan yang berkilauan. Ia tampak sehat dan bahagia, berbicara dengan teman-temannya sambil tertawa lepas. Namun, ada sesuatu yang terlihat kosong di matanya, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang.
Alana menatapnya dari balik portal waktu dengan hati yang hancur. Ia senang melihat Arga hidup dengan baik, namun senyum di wajah Arga terasa hampa baginya. Ia ingin memanggil nama Arga, ingin berlari menghampirinya dan memeluknya untuk terakhir kalinya. Tapi ia tahu, Arga tidak lagi mengenalnya. Bagi Arga, Alana tidak pernah ada dalam hidupnya.
Arga berjalan sendirian menyusuri trotoar, tanpa tujuan yang jelas. Ia berhenti di depan sebuah toko buku yang terlihat usang dan berdiri diam di sana, menatap papan nama toko dengan tatapan kosong.
“Aneh… Rasanya aku pernah ke sini sebelumnya…” gumam Arga pelan.
Tangannya menyentuh pintu toko, namun ia tidak ingat kenapa tempat itu terasa begitu familiar. Ia mencoba mengingat, namun kepalanya terasa pusing. “Ah… Lupakan saja. Mungkin hanya deja vu.”
Alana menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan isakan yang tak tertahankan. Ia menyadari bahwa sebagian kecil kenangan mereka masih tersisa dalam hati Arga, meski hanya berupa perasaan samar yang tidak bisa dijelaskan.
“Aku… merindukanmu, Arga… Meski kau tidak lagi mengenalku,” bisik Alana dengan suara bergetar.
Penyeimbang Waktu berdiri di sampingnya, menatap Arga dengan tatapan penuh iba. “Cinta yang melintasi waktu tidak pernah benar-benar hilang. Meski kenangan telah terhapus, hatinya tetap menyimpan perasaan itu.”
Alana menyeka air matanya dan mencoba tersenyum. “Aku akan menjaga kenangan ini… Selamanya.”
Penyeimbang Waktu mengangguk. “Dan aku akan menjagamu agar tetap kuat menjalani takdirmu.”
Portal waktu perlahan mulai menutup, menghilangkan bayangan Arga dari pandangan Alana. Saat portal itu benar-benar tertutup, Alana jatuh berlutut di atas pasir, menangis tanpa suara. Ia tahu ia tidak akan pernah bisa bertemu dengan Arga lagi, namun kenangan mereka akan tetap hidup di dalam hatinya.
Perpisahan yang Tak Terhindarkan
Beberapa waktu kemudian, Alana berdiri di depan pintu ruang waktu, bersiap untuk kembali menjalankan tugasnya sebagai Penjaga Waktu. Ia mengenakan jubah putih panjang yang berpendar cahaya lembut, memberikan aura kedamaian dan kekuatan.
Penyeimbang Waktu berdiri di sampingnya, menatap Alana dengan bangga. “Kau adalah Penjaga Waktu yang kuat, Alana. Kau telah mengorbankan cintamu demi menyelamatkan keseimbangan waktu.”
Alana mengangguk pelan. “Aku akan terus menjaga waktu… dan menjaga kenangan ini… di dalam hatiku.”
Penyeimbang Waktu tersenyum. “Jika suatu saat takdir mempertemukan kalian kembali, itu adalah keajaiban yang melampaui hukum waktu.”
Alana menatap pintu waktu yang berpendar terang. Ia mengambil napas dalam-dalam dan melangkah masuk tanpa ragu. Cahaya terang menyelimuti tubuhnya, membawa Alana kembali ke tempatnya sebagai Penjaga Waktu.
Dan di suatu tempat di masa depan, Arga berdiri di depan toko buku, masih merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Ia tidak bisa menjelaskan perasaan hampa itu, namun jauh di dalam hatinya, ia merindukan seseorang yang tidak pernah ia kenal… atau mungkin pernah ia cintai di suatu waktu yang terlupakan.
Perpisahan mereka telah ditulis dalam garis waktu yang tidak bisa diubah. Cinta mereka tetap abadi di dalam hati Alana, sementara Arga hidup dengan kehampaan yang tak terjelaskan.
Mereka dipisahkan oleh waktu dan takdir, namun perasaan itu tetap melintasi dimensi yang tak terlihat. Cinta yang tidak pernah berakhir, meski kenyataan menolak keberadaannya.
Dan di langit malam yang jernih, bintang-bintang berkelip terang, seakan menjadi saksi bisu atas cinta mereka yang melampaui waktu.
Bab 9: Kenangan yang Tertinggal
Di tahun 2025, Arga berdiri di depan cermin besar di kamarnya, menatap wajahnya sendiri dengan tatapan hampa. Ia seharusnya merasa bahagia — proyek penelitiannya tentang fisika kuantum mendapatkan pengakuan dari para ilmuwan terkemuka, dan namanya mulai dikenal di dunia akademik. Namun, ada kehampaan yang tidak bisa dijelaskan di dalam hatinya.
Setiap kali ia mencoba mengingat apa yang telah ia lalui selama beberapa bulan terakhir, kepalanya terasa pusing dan pandangannya kabur. Seolah-olah ada sesuatu yang terlupakan, sesuatu yang sangat penting.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” gumam Arga sambil menyentuh keningnya yang terasa berat.
Ia berjalan menuju meja kerjanya yang berantakan dengan kertas-kertas teori fisika dan catatan eksperimen. Di sana, tergeletak perangkat waktu yang sudah rusak, tertutup debu seolah-olah sudah lama tidak tersentuh.
Arga mengangkat perangkat itu dan menatapnya dengan mata kosong. Ia tahu perangkat ini adalah kunci dari semua penelitiannya, tapi entah mengapa setiap kali melihatnya, hatinya terasa sakit.
“Apa yang sudah kulupakan…?” Arga menggigit bibirnya, berusaha keras mengingat sesuatu yang samar di pikirannya.
Deja Vu yang Aneh
Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Arga. Ia terus menjalani hidup seperti biasa, bekerja di laboratorium dan mengajar di universitas. Namun, rasa hampa di hatinya tidak pernah hilang. Ia sering mengalami deja vu yang aneh, terutama ketika melewati tempat-tempat tertentu di kota.
Suatu hari, saat berjalan pulang melewati toko buku tua di sudut jalan, Arga berhenti tiba-tiba. Ia menatap papan nama toko yang sudah usang dan pintu kaca yang sedikit retak. Perasaan asing menyeruak di dalam hatinya, seolah-olah ia pernah datang ke tempat itu berkali-kali.
“Kenapa tempat ini terasa begitu familiar…?” gumam Arga dengan wajah bingung.
Tangannya terulur menyentuh gagang pintu, namun sebelum ia membukanya, kepalanya tiba-tiba terasa sakit. Pandangannya kabur dan bayangan samar tentang seorang wanita berambut panjang muncul di benaknya. Wanita itu tersenyum padanya dengan wajah lembut dan penuh kasih sayang.
“Siapa… dia…?” Arga memegangi kepalanya yang terasa berdenyut nyeri. Wajah wanita itu sangat familiar, namun ia tidak bisa mengingat siapa dia atau di mana ia pernah bertemu dengannya.
Arga tersentak dan mundur beberapa langkah dari pintu toko buku. Nafasnya tersengal-sengal, hatinya berdebar kencang. “Apa yang salah denganku…?”
Namun, sebelum ia sempat mencerna apa yang terjadi, ponselnya berdering. “Arga, kau di mana? Kami butuh bantuanmu di laboratorium!” suara rekannya terdengar cemas di ujung telepon.
Arga menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir rasa pusing dan kebingungan. “Iya… aku segera ke sana.”
Ia berbalik dan berjalan cepat menjauh dari toko buku, tanpa menyadari bahwa dari balik jendela kaca, seseorang memperhatikannya dengan tatapan sedih.
Alana yang Masih Mengingat Segalanya
Di dalam toko buku yang sunyi, Alana berdiri di balik jendela, menyaksikan Arga berjalan menjauh. Air mata jatuh perlahan di pipinya, namun ia tidak berusaha menghapusnya. Hatinya terasa remuk melihat Arga yang tidak lagi mengenalnya, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa.
“Arga… aku sangat merindukanmu…” bisik Alana dengan suara yang bergetar.
Sebagai Penjaga Waktu, Alana mengingat setiap detik kenangan mereka bersama. Ia mengingat tawa Arga, kebersamaan mereka saat memperbaiki mesin waktu, hingga saat Arga mengungkapkan perasaannya dengan tulus. Semua kenangan itu tetap hidup di dalam hatinya, namun bagi Arga, kenangan itu sudah terhapus selamanya.
Alana memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. “Aku tahu kau tidak akan mengingatku lagi… Tapi aku akan tetap mencintaimu… selamanya.”
Penghianatan Waktu
Di tempat lain yang jauh dari dimensi manusia, Penguasa Waktu berdiri di atas altar waktu yang memantulkan gambar Arga dan Alana di dalam layar temporal. Matanya menyala merah menyala, penuh dengan amarah dan kebencian.
“Cinta terlarang itu belum sepenuhnya hilang…” gumamnya dengan suara berat yang menggema di seluruh dimensi waktu.
Ia mengangkat tangannya, menciptakan pusaran energi gelap yang berputar dengan dahsyat. “Aku tidak akan membiarkan cinta itu menghancurkan waktu lagi. Mereka harus dihapus sepenuhnya dari semua garis waktu.”
Namun, sebelum ia sempat melancarkan serangannya, sebuah cahaya terang muncul di hadapannya. Penyeimbang Waktu berdiri tegak dengan tatapan tenang namun tegas. “Hentikan ini, Penguasa Waktu.”
Penguasa Waktu mendengus sinis. “Kau melindungi mereka lagi? Cinta mereka adalah ancaman bagi keseimbangan waktu.”
Penyeimbang Waktu menggeleng pelan. “Tidak. Cinta mereka adalah bagian dari takdir yang sudah ditentukan. Meski kenangan telah dihapus, perasaan mereka tetap hidup di dalam hati.”
Penguasa Waktu menggeram marah. “Mereka melanggar hukum waktu! Mereka seharusnya tidak pernah bersama!”
Penyeimbang Waktu tersenyum tipis. “Itu bukan urusanmu. Cinta mereka adalah variabel yang tidak bisa dihapus oleh hukum waktu. Takdir akan menemukan jalannya sendiri.”
Penguasa Waktu membuang muka dengan wajah penuh amarah. “Jadi kau memilih untuk membiarkan mereka?”
Penyeimbang Waktu mengangguk. “Ya. Karena perasaan itu lebih kuat dari hukum waktu. Jika kau mencoba menghancurkannya, kau akan mengganggu keseimbangan takdir.”
Penguasa Waktu tidak menjawab. Ia menghilang dalam pusaran energi gelap, namun tatapan bencinya tetap tertuju pada Alana dan Arga.
Arga kembali menjalani hidupnya di tahun 2025 tanpa ingatan sedikitpun tentang Alana. Namun, hatinya terus merasa kosong, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia tidak tahu bahwa di sudut kota, Alana terus memperhatikannya dari kejauhan dengan cinta yang tak berkesudahan.
Meski kenangan mereka telah terhapus, cinta mereka tetap abadi di dalam hati yang terluka. Takdir yang memisahkan mereka mungkin tidak bisa diubah, namun perasaan itu tetap hidup di antara detik-detik waktu yang tidak terlihat.
Dan di atas langit malam yang penuh bintang, semesta menjadi saksi bisu atas cinta mereka yang melampaui waktu dan kenyataan.
Bab 10: Cinta yang Melampaui Waktu
Malam itu, hujan turun dengan deras di kota. Arga berjalan sendirian di trotoar yang basah, menatap jalanan yang penuh genangan air dengan tatapan kosong. Kepalanya terasa berat dan hatinya masih dihantui oleh perasaan hampa yang tidak bisa ia jelaskan.
Ia berhenti di depan toko buku tua yang terlihat gelap dan sepi. Pintu kaca toko terkunci rapat, namun bayangan samar di balik kaca menarik perhatiannya. Perasaan deja vu kembali menyerang, membuat dadanya sesak dan kepalanya berdenyut.
“Kenapa tempat ini… terasa begitu familiar?” gumam Arga sambil menempelkan telapak tangannya di kaca jendela.
Saat itu juga, bayangan wanita berambut panjang muncul di dalam pikirannya. Wanita itu tersenyum lembut padanya, matanya yang bening memancarkan kasih sayang yang dalam. Arga tersentak, mundur beberapa langkah dengan napas terengah-engah.
“Siapa dia…? Kenapa aku… merasa sangat merindukannya?” Arga memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Tiba-tiba, lampu jalanan berkedip-kedip tidak wajar, dan suara gemuruh terdengar di langit. Arga menoleh ke arah langit yang tampak retak, seperti cermin yang pecah. Di celah retakan itu, cahaya biru menyala terang, menciptakan pusaran waktu yang berputar cepat.
Pusaran waktu itu menarik Arga dengan kekuatan yang dahsyat. Ia mencoba melawan, namun kakinya terangkat dari tanah dan tubuhnya tersedot ke dalam pusaran waktu.
“Aaaaahhhh!” teriak Arga sebelum kesadarannya menghilang dalam kegelapan.
Pertemuan Takdir yang Terulang
Ketika Arga membuka matanya, ia mendapati dirinya berdiri di jalanan yang asing namun terasa familiar. Ia mengenali tempat ini — tempat di mana ia pertama kali bertemu dengan Alana di tahun 1998.
“Apa… apa yang terjadi? Kenapa aku kembali ke sini?” Arga memandang sekeliling dengan kebingungan.
Orang-orang berjalan santai di sekitarnya, berpakaian ala tahun 90-an. Musik dari kaset tape terdengar dari toko kaset di seberang jalan, dan mobil-mobil tua melintas di jalanan yang ramai. Arga merasa seolah-olah waktu diputar ulang ke momen awal pertemuannya dengan Alana.
Saat ia masih mencoba memahami apa yang terjadi, suara lembut terdengar di belakangnya. “Kamu baik-baik saja, Mas? Sepertinya pusing sekali.”
Arga berbalik dengan cepat, dan matanya membelalak tak percaya. Alana berdiri di sana dengan senyuman manis yang begitu dirindukannya. Wajah cantiknya bersinar di bawah cahaya matahari sore, dan matanya yang bening memandang Arga dengan cemas.
“Alana…?” suara Arga bergetar. “Kau… Alana?”
Alana terlihat bingung. “Eh? Kok tahu namaku? Kita pernah bertemu sebelumnya?”
Arga merasa jantungnya berdetak kencang. Ia tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Semua kenangan yang terhapus tiba-tiba kembali dengan jelas di pikirannya — pertemuan pertama mereka, kebersamaan mereka, dan perasaan cintanya yang mendalam pada Alana.
“Aku… aku tidak mengerti… Kenapa aku bisa ingat semuanya sekarang?” Arga merasa kepalanya berputar.
Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, langit kembali bergetar dan pusaran waktu muncul di atas mereka. Dari dalam pusaran itu, Penguasa Waktu turun dengan kemarahan yang menggelegar. Matanya menyala merah menyala, dan suaranya bergema di seluruh jalanan.
“Cinta terlarang ini tidak boleh ada! Kau seharusnya sudah melupakan semuanya, Arga!”
Alana terkejut melihat kemunculan Penguasa Waktu. “Tidak… Bagaimana dia bisa menemukan kita di sini?”
Penguasa Waktu mengangkat tangannya, menciptakan pusaran energi gelap yang berputar dengan dahsyat. “Garis waktu yang sudah dihapus tidak boleh terulang! Cinta kalian adalah kutukan bagi keseimbangan waktu!”
Arga berdiri di depan Alana, mencoba melindunginya. “Aku tidak peduli dengan hukum waktu! Aku tidak akan pernah melupakan Alana lagi!”
Penguasa Waktu menggeram marah. “Jika kau tidak bisa melupakan kenangan itu, maka aku akan menghapus eksistensimu selamanya!”
Pusaran energi gelap melesat cepat ke arah Arga. Alana berteriak dan berlari untuk melindungi Arga, namun sebelum energi gelap itu mengenai mereka, sebuah cahaya terang muncul di antara mereka.
Penyeimbang Waktu muncul dengan aura terang yang menyelimuti tubuhnya. Ia mengangkat tangannya, menahan serangan Penguasa Waktu dengan mudah. “Cinta mereka adalah takdir yang sudah ditentukan. Kau tidak bisa menghapus takdir.”
Penguasa Waktu mendengus marah. “Cinta mereka menghancurkan garis waktu! Kenangan itu seharusnya sudah terhapus!”
Penyeimbang Waktu menatap Arga dan Alana dengan lembut. “Kenangan mungkin bisa dihapus, namun perasaan tidak bisa. Cinta mereka melampaui waktu dan hukum yang ada.”
Arga menggenggam tangan Alana erat-erat. “Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi, Alana.”
Alana tersenyum dengan air mata kebahagiaan. “Aku juga… Aku tidak akan pernah melupakanmu.”
Penyeimbang Waktu mengangkat tangannya, menciptakan pusaran waktu yang terang dan lembut. “Jika cinta kalian begitu kuat hingga melampaui waktu, maka takdir kalian akan ditulis ulang. Kalian ditakdirkan untuk bersama.”
Penguasa Waktu berteriak marah, tubuhnya mulai memudar dalam pusaran cahaya. “Tidak! Ini tidak mungkin! Hukum waktu tidak boleh dilanggar!”
Penyeimbang Waktu menatap Penguasa Waktu dengan penuh kasih. “Takdir tidak bisa dihapus, bahkan oleh hukum waktu sekalipun.”
Pusaran cahaya menyelimuti seluruh kota, menghapus keberadaan Penguasa Waktu selamanya. Arga dan Alana berdiri di tengah cahaya terang, merasakan kehangatan yang melindungi mereka.
Penyeimbang Waktu tersenyum lembut. “Takdir kalian sudah ditulis ulang. Hidupkanlah cinta kalian di garis waktu yang baru.”
Arga dan Alana saling menatap dengan penuh kebahagiaan. “Akhirnya… kita bisa bersama…”
Cahaya terang itu membawa mereka ke garis waktu yang baru, di mana takdir mereka terhubung tanpa harus melanggar hukum waktu. Di dunia yang baru itu, mereka bertemu lagi untuk pertama kalinya, namun kali ini tanpa larangan waktu yang memisahkan mereka.
Cinta mereka melampaui waktu dan hukum yang ada. Meski kenangan pernah dihapus, perasaan mereka tetap hidup di dalam hati yang tidak bisa dibohongi.
Takdir yang baru telah ditulis, membawa mereka ke kehidupan yang bahagia tanpa harus melawan waktu. Mereka ditakdirkan untuk bersama, melintasi garis waktu yang tidak lagi terikat oleh hukum yang membatasi.
Dan di langit malam yang penuh bintang, semesta menjadi saksi atas cinta mereka yang abadi, melampaui waktu dan ruang.
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.