Novel Singkat Saat Hati Kembali Percaya
Novel Singkat Saat Hati Kembali Percaya

Novel Singkat Saat Hati Kembali Percaya

Risa, seorang desainer grafis berbakat, kehilangan kepercayaannya pada cinta setelah tunangannya tewas dalam kecelakaan bersama selingkuhannya. Luka itu begitu dalam, membuatnya menutup hati rapat-rapat dan fokus pada pekerjaannya.

Namun, hidupnya berubah ketika Arga, rekan kerja yang ceria dan penuh perhatian, datang menghiasi hari-harinya. Arga berusaha meluluhkan hati Risa dengan ketulusan dan kesabarannya. Perlahan, Risa mulai membuka hati dan menemukan kembali kebahagiaan yang lama hilang.

Tepat saat Risa mulai percaya pada cinta lagi, kenyataan pahit terungkap. Arga ternyata adalah sepupu dari selingkuhan almarhum tunangannya. Hatinya kembali hancur, rasa sakit dan kebingungan membanjiri pikirannya.

Mampukah Risa memaafkan masa lalu dan memberi kesempatan pada cinta yang baru? Ataukah luka lama akan terus menghantui dan menghalanginya untuk bahagia?

“Saat Hati Kembali Percaya” adalah kisah tentang memaafkan, menerima masa lalu, dan keberanian untuk mencintai lagi.

Bab 1: Pernikahan yang Tak Pernah Terjadi

Suara lonceng gereja berdentang pelan, menggema di sudut-sudut kota yang mulai senyap menjelang senja. Risa berdiri di depan etalase toko gaun pengantin, matanya terpaku pada gaun putih elegan yang terpasang dengan anggun di balik kaca bening. Seharusnya hari ini adalah hari terakhir ia melakukan fitting gaun pengantinnya. Seharusnya ia berdiri di sana, tersenyum bahagia dengan riasan lembut dan rambut yang ditata rapi. Namun, takdir berkata lain.

Ponselnya bergetar di dalam tas kecil yang menggantung di bahu kirinya. Risa tersentak dari lamunannya. Ia menghela napas panjang sebelum mengangkat telepon.

“Halo, Bu Risa?” suara dari seberang terdengar tegas namun penuh kehati-hatian.
“Iya, ini saya.”
“Kami dari pihak rumah sakit. Kami mohon maaf, tapi… tunangan Anda mengalami kecelakaan… dan… tidak dapat diselamatkan.”

Dunia Risa runtuh dalam sekejap. Ponselnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai dengan suara berdenting. Ia terhuyung, bersandar pada dinding kaca toko yang dingin. Pandangannya buram, seolah dunia di sekelilingnya menghilang dalam hitungan detik.

“Ketika cinta berubah menjadi kenangan, seluruh harapan terasa hampa.”


Tiga Hari Sebelumnya

Risa berlari kecil menuju kafe tempat ia dan Andra sering bertemu. Ia membawa beberapa brosur undangan pernikahan yang ingin ia tunjukkan pada tunangannya. Andra sudah menunggu di meja sudut, tersenyum lebar seperti biasa.

“Maaf lama, macet tadi,” Risa tersenyum sambil menyapu rambut panjangnya yang sedikit berantakan.
“Gak apa-apa. Aku juga baru sampai,” jawab Andra seraya berdiri untuk membantunya duduk. Ia selalu perhatian, selalu lembut. Risa merasa sangat beruntung memilikinya.

Mereka mengobrol hangat tentang rencana pernikahan, bulan madu, dan rumah yang akan mereka tinggali setelah menikah. Andra terlihat antusias memilih undangan dengan desain minimalis yang elegan. Ia bahkan bercanda tentang siapa yang akan menang dalam adu argumen nanti setelah menikah.

“Yakin bisa menang lawan aku?” goda Risa sambil mengangkat sebelah alis.
“Aku selalu menang dalam hal mencintaimu,” jawab Andra sambil tertawa.

Risa tertawa bersamanya, tanpa pernah menyangka bahwa itulah tawa terakhir yang akan ia dengar dari pria yang sangat ia cintai.


Hari Pemakaman

Langit mendung, seolah turut bersedih mengiringi kepergian Andra. Suara doa dan isak tangis terdengar di antara kerumunan pelayat. Risa berdiri mematung di depan makam yang baru saja ditutup tanah merah. Ia memandang nisan itu dengan tatapan kosong. Di sana tertulis nama tunangannya, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kepergian yang terlalu cepat.

Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tak mampu lagi menangis histeris seperti saat pertama kali menerima berita kecelakaan itu. Ia terlalu lelah untuk berteriak, terlalu sakit untuk menyesali takdir yang kejam.

“Kamu jahat, Andra… kenapa kamu pergi secepat ini?” bisiknya pelan, suaranya serak.
Ia menggenggam cincin tunangan yang masih melingkar di jarinya. Cincin yang seharusnya menjadi janji seumur hidup, kini berubah menjadi kenangan pahit yang menghantuinya.

“Kadang, perpisahan tak datang dengan kata-kata selamat tinggal. Ia datang dengan kepergian yang tak pernah diharapkan.”


Kenyataan yang Lebih Menyakitkan

Beberapa hari setelah pemakaman, Risa mencoba menguatkan dirinya untuk membereskan barang-barang Andra yang masih tersimpan rapi di apartemennya. Ia ingin menyimpan kenangan itu dengan baik, meski hatinya terasa perih setiap kali menyentuh pakaian dan barang-barang milik Andra.

Saat membuka laci meja kerja, ia menemukan sebuah ponsel yang tergeletak di sana. Ponsel Andra yang belum sempat diambil keluarga almarhum. Tanpa berpikir panjang, Risa menyalakan ponsel itu. Layar terkunci dengan foto mereka berdua yang tersenyum bahagia saat liburan ke Bali setahun yang lalu.

“Ya Tuhan… kenapa kamu pergi secepat ini?” gumamnya pelan sambil mengusap layar ponsel itu. Namun, saat notifikasi pesan muncul di layar, hatinya berdegup kencang.

Chat dari Livia:

  • “Kamu hati-hati di jalan ya, Sayang… Jangan ngebut.”
  • “Aku udah gak sabar mau ketemu kamu. I love you.”

Risa merasakan jantungnya berhenti berdetak. Ia membuka pesan-pesan itu dengan tangan gemetar. Ada puluhan pesan mesra yang dikirimkan wanita bernama Livia. Semuanya penuh kata-kata cinta dan rindu yang tak mungkin salah diartikan.

Air mata Risa jatuh tanpa bisa ditahan. Ia tidak hanya kehilangan Andra, tetapi juga kepercayaan dan harapannya pada cinta. Andra tidak hanya pergi, tapi juga meninggalkan luka yang tak akan pernah sembuh.

“Bagaimana mungkin seseorang yang begitu dicintai mampu menyimpan rahasia yang begitu menyakitkan?”

Risa menelusuri foto-foto yang tersimpan di ponsel itu. Foto Andra dan Livia yang tersenyum bahagia, bergandengan tangan, bahkan beberapa foto yang diambil di mobil yang sama saat kecelakaan itu terjadi.

Seluruh dunia Risa runtuh seketika. Tidak ada lagi kenangan indah, tidak ada lagi harapan masa depan. Semua berubah menjadi kebohongan dan pengkhianatan.

Dengan tangan gemetar, Risa melempar ponsel itu ke dinding hingga pecah berkeping-keping. Ia jatuh terduduk, menangis histeris di lantai apartemen yang sunyi. Hatinya hancur berkeping-keping, seperti serpihan ponsel yang berserakan di hadapannya.

“Cinta yang dikhianati tak pernah benar-benar hilang, ia berubah menjadi luka yang abadi.”

Malam itu, Risa duduk di sudut kamar, memeluk lututnya sambil menangis dalam kesunyian. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah lagi percaya pada cinta. Tidak akan ada lagi harapan, tidak akan ada lagi mimpi tentang masa depan yang bahagia.

Semua berakhir di sini. Di sudut kamar yang gelap, di tengah rasa sakit yang tak terlukiskan.

Bab 2: Pertemuan yang Tak Terduga

Satu tahun telah berlalu sejak hari itu, sejak Risa kehilangan segalanya dalam sekejap. Ia mengubur dalam-dalam semua kenangan tentang Andra, menyimpan gaun pengantin yang tak pernah dipakai di dalam kotak kardus yang terkunci rapat di gudang apartemennya. Sejak saat itu, Risa menghindari semua hal yang berhubungan dengan cinta.

Risa memilih untuk tenggelam dalam pekerjaannya sebagai desainer grafis di sebuah perusahaan iklan. Ia bekerja hingga larut malam, menumpahkan segala emosinya pada desain yang ia buat. Senyumannya hilang, tatapan matanya kosong. Risa yang dulu ceria kini berubah menjadi sosok dingin yang tertutup.

“Saat hati memilih untuk berhenti mencinta, segalanya terasa hampa.”


Pagi di Kantor

Pagi itu, Risa datang lebih awal seperti biasa. Ia ingin menyelesaikan desain iklan klien yang mendesak. Ia duduk di mejanya, menyalakan komputer, dan mulai bekerja tanpa memedulikan suasana di sekitarnya.

“Pagi, Kak Risa!” suara ceria menyapanya dari belakang. Risa menoleh dan melihat wajah asing yang tersenyum lebar di depannya. Seorang pria dengan rambut sedikit berantakan namun terlihat stylish. Ia memakai kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana jeans santai.

“Oh, maaf, aku belum kenalan ya. Aku Arga, tim kreatif baru di sini,” ucap pria itu sambil mengulurkan tangan.
Risa menatap tangan itu sejenak sebelum menyambutnya dengan canggung. “Risa,” jawabnya singkat.

“Udah tahu kok, Kak Risa terkenal banget di sini sebagai desainer paling jago,” Arga tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putih yang rapi.
Risa hanya mengangguk pelan tanpa ekspresi. Ia kembali fokus pada layar komputernya, berharap Arga segera pergi. Namun, pria itu tidak menyerah begitu saja.

“Kak Risa lagi ngerjain proyek iklan yang buat klien besar itu ya?” tanya Arga sambil melongok ke layar komputer.
“Iya,” jawab Risa singkat.
“Wah, keren banget desainnya! Kak Risa emang jago,” puji Arga dengan mata berbinar.
Risa menghela napas pelan, merasa risih dengan perhatian berlebihan itu. “Makasih. Aku lagi fokus, maaf,” ucapnya tegas.
“Oh, oke… Maaf ganggu ya, Kak!” Arga tersenyum kikuk sebelum beranjak pergi.

Saat Arga sudah menjauh, Risa menghela napas lega. Ia tak terbiasa berbasa-basi, apalagi dengan orang yang baru dikenalnya. Ia tak ingin terlibat dalam obrolan tak penting.


Keceriaan yang Mengganggu

Hari-hari berikutnya, Arga terus mencoba mendekati Risa dengan berbagai cara. Ia sering mengajaknya makan siang bersama, mengiriminya meme lucu lewat chat kantor, hingga menawarkan bantuan saat Risa terlihat kewalahan dengan pekerjaan. Namun, Risa selalu menolak dengan halus atau mengabaikan chat-chat konyol itu.

“Pagi, Kak Risa! Mau kopi? Aku bawain nih,” ucap Arga sambil menyodorkan segelas kopi panas.
Risa menatapnya curiga. “Kenapa tiba-tiba ngasih kopi?”
“Aku cuma mau nyenengin senior yang kerja keras. Biar semangat!” jawab Arga dengan senyum lebar.
Risa menggeleng pelan. “Terima kasih, tapi aku gak butuh,” ucapnya dingin. Ia berbalik dan fokus kembali pada pekerjaannya.

Namun, Arga tidak menyerah. Ia justru semakin gencar mengajak Risa berbicara, mencoba mencairkan suasana dengan candaan konyol yang sering kali membuat Risa menghela napas kesal.

“Terkadang, keceriaan seseorang bisa mengganggu kesepian yang sengaja dipelihara.”


Pecahan Cangkir dan Hati yang Terkunci

Suatu siang, saat semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Risa berjalan ke pantry untuk membuat teh hangat. Ia membutuhkan sesuatu yang bisa menenangkannya setelah berjam-jam menatap layar komputer.

Saat sedang menuang air panas ke cangkir, Arga tiba-tiba muncul dari belakang dan menyapanya dengan ceria. “Kak Risa! Lagi bikin teh ya?”
Risa terkejut hingga cangkir di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Air panas tumpah dan nyaris mengenai kakinya.

“Eh, maaf! Maaf banget, Kak!” Arga buru-buru mengambil tisu dan membersihkan pecahan cangkir itu.
Risa menatapnya tajam. “Kamu bisa nggak, nggak muncul tiba-tiba gitu?” suaranya dingin dan tajam.
Arga menunduk merasa bersalah. “Maaf, aku gak maksud ganggu…”
“Udah. Jangan deketin aku lagi. Aku gak butuh bantuan kamu,” Risa berbalik dan berjalan pergi tanpa menoleh.

“Hati yang terkunci rapat tak ingin disentuh, meski oleh niat baik sekalipun.”


Di Bawah Hujan

Malam itu, hujan deras mengguyur kota. Risa berdiri di depan lobi kantor, menatap tetesan hujan yang turun deras di luar kaca. Ia lupa membawa payung dan tak ingin kehujanan.

“Pulang bareng, Kak?” suara Arga terdengar dari sampingnya. Ia berdiri dengan payung besar di tangannya.
Risa terdiam sejenak, merasa sungkan untuk menolak namun juga enggan untuk menerima.
“Aku gak gigit kok,” candanya sambil tersenyum lebar.
Risa menghela napas pelan. “Oke, makasih,” jawabnya singkat.

Mereka berjalan berdampingan di bawah payung yang sama. Arga menjaga jarak, tidak mencoba mendekatkan diri seperti pria-pria lain yang sering mencari kesempatan. Risa memperhatikannya sekilas, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Arga. Ia terlihat tulus dan ceria, tanpa niat buruk sedikit pun.

Saat mereka sampai di depan apartemen Risa, Arga tersenyum sambil berkata, “Hati-hati ya, Kak. Sampai jumpa besok!”
Risa hanya mengangguk pelan dan masuk ke dalam apartemen tanpa berkata apa-apa.

Namun, saat melihat payung besar berwarna biru di tangannya, Risa tertegun. Arga ternyata meninggalkan payungnya agar Risa tidak kehujanan esok hari.

“Terkadang, perhatian kecil yang tulus bisa melunakkan hati yang paling beku.”


Malam yang Sunyi

Malam itu, Risa duduk di sofa apartemennya yang sunyi. Ia menatap payung biru yang tergeletak di lantai dekat pintu masuk. Pikirannya melayang pada sikap Arga yang ceria dan perhatian. Ia tidak mengerti mengapa pria itu begitu gigih mendekatinya, padahal ia selalu bersikap dingin dan ketus.

Risa menghela napas panjang, mencoba menghilangkan bayang-bayang masa lalu yang kembali menghantui pikirannya. Ia tahu, saat ia mulai membuka hati, luka yang pernah ada akan kembali menganga. Itulah mengapa ia memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan cinta.

Ia menatap foto dirinya bersama Andra yang masih terpajang di meja kecil dekat televisi. Senyuman Andra begitu hangat dalam foto itu, membuat dada Risa terasa sesak. Ia masih belum bisa melupakan pengkhianatan yang begitu menyakitkan.

“Bagaimana mungkin seseorang yang begitu dicintai mampu menyisakan luka yang tak pernah sembuh?”

“dan bagaimana mungkin pria dengan senyuman sehangat itu mampu meninggalkan luka sedalam ini?”

Dengan perasaan yang campur aduk, Risa meraih foto itu dan memasukkannya ke dalam laci. Ia tidak ingin terus-menerus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Namun, untuk membuka hati pada orang baru, rasanya mustahil.


Kehadiran yang Mengusik

Hari-hari berikutnya, Arga tetap menunjukkan sikap ceria dan perhatian yang sama. Ia selalu menyapa Risa setiap pagi dengan senyuman lebar dan semangat yang tak pernah luntur. Ia juga kerap membawakan kopi atau cemilan kecil saat jam istirahat.

Awalnya, Risa merasa terganggu dengan perhatian Arga yang terasa berlebihan. Namun, lama-kelamaan ia mulai terbiasa. Bahkan, tanpa ia sadari, ia mulai menunggu sapaan ceria Arga setiap pagi.

Suatu siang, saat Risa sedang fokus menyelesaikan desain untuk klien, Arga datang dengan membawa sekotak kue bolu.
“Kak Risa, ini buat Kakak. Ibuku bikin kue bolu. Katanya kasih ke teman kantor,” ucap Arga sambil tersenyum lebar.
Risa menatap kotak kue itu dengan ekspresi datar. “Kenapa harus aku?”
“Soalnya Kak Risa keliatan capek terus. Biar semangat!” jawab Arga dengan mata berbinar.
Risa menghela napas. “Aku gak minta perhatian kamu, Arga.”
“Aku tahu. Tapi, aku cuma mau bikin Kak Risa senyum aja,” balas Arga ringan.

Risa terdiam. Perkataan Arga terasa begitu tulus, tanpa maksud tersembunyi. Ia merasa hatinya sedikit terusik. Sudah lama tak ada yang berusaha membuatnya tersenyum seperti itu.

“Kadang, ketulusan hadir tanpa diminta. Ia datang untuk mengingatkan bahwa hati masih bisa merasakan hangatnya perhatian.”


Sebuah Senyuman yang Lupa Ia Miliki

Sore itu, hujan kembali mengguyur kota dengan deras. Risa berdiri di dekat jendela kantor, menatap tetesan hujan yang jatuh membentuk aliran air di kaca jendela. Suara hujan selalu membawanya pada kenangan bersama Andra. Mereka sering menghabiskan waktu di kafe saat hujan turun, menikmati secangkir kopi hangat sambil berbagi cerita.

Tanpa sadar, setetes air mata jatuh di pipinya. Risa segera mengusapnya, berusaha menghapus kesedihan yang tiba-tiba datang. Ia membenci dirinya sendiri yang masih saja terjebak dalam kenangan masa lalu.

“Ternyata Kak Risa bisa nangis juga, ya?” suara Arga mengejutkannya.
Risa tersentak, buru-buru menghapus sisa air mata di pipinya. “Aku gak nangis.”
“Tenang aja, aku gak bakal bilang siapa-siapa kok,” Arga tersenyum tipis.
Risa merasa malu, namun ia tak tahu harus berkata apa.
“Kadang, nangis tuh perlu, Kak. Biar gak terlalu berat di dalam sini,” Arga menunjuk dadanya sambil tersenyum lembut.

Risa terdiam. Ia tak menyangka Arga bisa mengerti perasaannya tanpa perlu bertanya lebih lanjut.
“Aku pergi duluan, ya. Hati-hati di jalan, Kak,” ucap Arga sebelum berjalan pergi meninggalkan Risa yang masih berdiri terpaku.

Saat Arga menghilang di balik pintu lift, Risa tanpa sadar tersenyum kecil. Senyuman yang sudah lama tak muncul di wajahnya.

Ia tak mengerti mengapa, tapi kehadiran Arga perlahan-lahan mulai mengusik dinding hatinya yang selama ini ia jaga rapat-rapat.

Bab 3: Usaha Meluluhkan Hati

Hari-hari berlalu dengan kehadiran Arga yang semakin sering menyapa Risa. Meski awalnya Risa merasa terganggu, ia perlahan mulai terbiasa dengan keceriaan pria itu. Arga selalu datang dengan senyuman lebar dan candaan ringan yang terkadang membuat Risa terpaksa menahan tawa.

Di kantor, Arga menjadi sosok yang disukai banyak orang karena keramahan dan sikap optimisnya. Berbeda dengan Risa yang selalu serius dan menjaga jarak, Arga bisa akrab dengan siapa saja, bahkan dengan satpam dan OB sekalipun.

Namun, perhatian Arga pada Risa tak pernah surut. Ia selalu berusaha membuat Risa tersenyum, meski sering kali usahanya berakhir dengan tatapan dingin dan balasan singkat.


Makan Siang yang Canggung

Suatu siang, Arga memberanikan diri mengajak Risa makan siang bersama. “Kak Risa, makan siang bareng, yuk! Sekali ini aja, aku traktir deh.”
Risa menatap Arga dengan alis terangkat. “Kenapa harus aku?”
“Soalnya… Kak Risa keliatan lelah banget. Butuh istirahat biar nggak stres,” jawab Arga sambil tersenyum lebar.

Risa sebenarnya ingin menolak, tapi perutnya memang sudah lapar dan ia terlalu malas mencari makan sendirian. “Baiklah. Tapi cuma sekali ini,” jawabnya singkat.
Mata Arga berbinar cerah. “Siap, Kak!”

Mereka berjalan menuju kafe kecil di seberang kantor. Arga dengan ceria menceritakan hal-hal konyol yang ia alami saat pertama kali bekerja di kantor itu. Ia bercerita bagaimana ia salah masuk toilet wanita karena terlalu gugup di hari pertama, hingga ceritanya bertengkar dengan mesin kopi yang tak mau bekerja sama.

Risa berusaha menahan tawa, namun akhirnya ia menyerah dan terkekeh pelan.
“Akhirnya Kak Risa ketawa juga!” seru Arga senang.
Risa buru-buru mengatur ekspresinya dan berkata datar, “Jangan senang dulu. Cuma sekali ini.”
“Gak apa-apa, sekali aja udah cukup bikin aku senang,” jawab Arga sambil tersenyum hangat.

Saat itu, Risa merasa hatinya berdebar pelan. Ia belum pernah bertemu pria setulus Arga sebelumnya. Namun, perasaan takut kembali melukai hatinya membuat Risa segera menarik diri. Ia mengakhiri makan siang dengan singkat dan buru-buru kembali ke kantor.


Pemberian Kecil yang Bermakna Besar

Keesokan harinya, Risa menemukan kotak kecil di mejanya. Di atasnya tertera tulisan tangan yang cukup rapi:

“Untuk Kak Risa, biar hari ini lebih menyenangkan 🙂 – Arga”

Risa membuka kotak itu dan menemukan gantungan kunci berbentuk senyuman yang lucu. Di baliknya tertulis: “Jangan lupa tersenyum hari ini!”

Ia menghela napas panjang, merasa campuran antara kesal dan tersentuh. Pria itu benar-benar gigih dalam usahanya meluluhkan hati Risa. Meski Risa selalu bersikap dingin dan menjauh, Arga tetap menunjukkan perhatian dengan caranya yang sederhana.

Saat jam makan siang, Risa melihat Arga tengah tertawa bersama rekan kerja lainnya di pantry. Tanpa sengaja, Arga melihat ke arah Risa dan melambaikan tangan dengan ceria.
Risa buru-buru memalingkan wajah dan pura-pura sibuk dengan laptopnya, namun senyum tipis tak bisa ia tahan.

“Kadang, hati yang terluka hanya butuh perhatian kecil untuk mulai sembuh perlahan.”


Saat Hati Mulai Retak

Malam harinya, Risa duduk di balkon apartemennya sambil memandangi langit malam yang bertabur bintang. Ia memegang gantungan kunci pemberian Arga dan tanpa sadar tersenyum tipis.
Namun, senyum itu segera menghilang saat kenangan tentang Andra kembali menghampiri.

Dulu, Andra juga sering memberinya hadiah-hadiah kecil yang manis. Ia ingat betapa bahagianya ia saat menerima kejutan sederhana dari tunangannya itu. Namun, semua kebahagiaan itu berubah menjadi luka yang menyakitkan setelah ia tahu bahwa Andra mengkhianatinya.

Risa menghela napas panjang. Ia tak ingin jatuh dalam perangkap yang sama. Ia tak ingin hatinya kembali hancur saat sudah mulai mempercayai seseorang.

“Aku gak boleh luluh… Aku gak boleh jatuh cinta lagi…” bisiknya pada diri sendiri.
Ia menggenggam gantungan kunci itu erat-erat sebelum memasukkannya ke dalam laci meja. Risa bertekad untuk menjaga hatinya tetap terkunci rapat, meski kehadiran Arga perlahan mulai meruntuhkan dinding yang telah ia bangun dengan susah payah.

Bab 4: Bayang-bayang Masa Lalu

Malam itu hujan turun deras, menambah kesan kelam pada suasana hati Risa yang tengah berperang dengan pikirannya sendiri. Ia duduk di sudut kamar, memeluk lututnya sambil memandangi jendela yang berkabut oleh uap air. Di luar sana, kilat sesekali menyambar, menerangi langit malam yang gelap.

Risa tak bisa tidur. Pikirannya terus-menerus dihantui kenangan tentang Andra. Ia teringat hari-hari bahagia saat mereka merencanakan pernikahan, saat Andra dengan penuh semangat membantunya memilih dekorasi dan undangan. Ia bahkan teringat senyum hangat Andra yang selalu berhasil menghapus lelah di wajahnya.

Namun, kenangan manis itu seketika berubah menjadi luka yang menyayat hati saat wajah wanita itu muncul di benaknya. Wanita yang ditemukan tewas bersama Andra dalam kecelakaan tragis itu. Wanita yang ternyata adalah selingkuhan tunangannya.

Risa merasa hatinya kembali remuk. Ia memejamkan mata, berharap kenangan itu menghilang, namun justru semakin jelas tergambar dalam pikirannya.

“Kenangan terkadang menjadi musuh yang tak bisa dilawan. Ia datang tanpa diundang dan menyayat hati tanpa belas kasihan.”


Menjauh dari Arga

Hari-hari berikutnya, Risa mencoba menghindari Arga. Ia tak ingin membiarkan pria itu semakin dekat dan menghancurkan pertahanan yang sudah ia bangun susah payah.

Saat Arga menyapanya di kantor, Risa hanya membalas dengan senyum tipis dan segera pergi. Ia bahkan sengaja memilih duduk jauh dari Arga saat makan siang di pantry.
“Lagi ngambek ya, Kak?” tanya Arga dengan nada bercanda saat melihat Risa menjauh darinya.
Risa berpura-pura tidak mendengar dan berjalan pergi tanpa berkata apa-apa.

Arga mulai merasa ada yang aneh. Biasanya Risa masih mau membalas candaan atau setidaknya tersenyum tipis, tapi akhir-akhir ini sikap Risa semakin dingin dan menjauh.

“Aku salah apa, ya?” gumam Arga pada dirinya sendiri.

Kenangan yang Datang Tanpa Diundang

Suatu siang, saat Risa hendak pergi makan siang sendirian, ia tak sengaja melihat pasangan yang tengah tertawa bahagia di kafe dekat kantor. Sang pria menyuapi wanita di depannya sambil tersenyum hangat, persis seperti yang pernah Andra lakukan padanya.

Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya. Ia buru-buru mengusapnya dan berjalan cepat menjauh dari pemandangan yang mengingatkannya pada masa lalu yang menyakitkan.

Risa memutuskan untuk pergi ke taman kota yang sepi. Ia duduk di bangku kayu sambil menatap kosong ke arah air mancur yang mengalir tenang.
“Kenapa susah sekali melupakanmu, Andra?” bisiknya pelan.

Saat angin sepoi-sepoi bertiup pelan, Risa merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan gantungan kunci pemberian Arga. Ia menatap gantungan kunci berbentuk senyuman itu dan mengingat betapa keras usaha Arga untuk membuatnya tersenyum.
Namun, justru perhatian Arga membuatnya takut. Ia takut akan jatuh cinta lagi dan terluka untuk kedua kalinya.

“Ketika hati pernah dikhianati, kepercayaan menjadi hal yang paling sulit untuk diberikan.”


Pertemuan yang Menghantui

Saat Risa hendak kembali ke kantor, langkahnya terhenti saat melihat seorang wanita berdiri di depan gedung. Wanita itu memiliki wajah yang familiar. Risa mengerjapkan matanya, memastikan ia tidak sedang berhalusinasi.

Wajah wanita itu sangat mirip dengan foto yang ia lihat di ponsel Andra. Wanita yang menjadi selingkuhan tunangannya. Wanita yang tewas bersama Andra dalam kecelakaan itu.

Risa merasakan jantungnya berdegup kencang. Kakinya terasa lemas dan hampir tak bisa digerakkan. Ia ingin berlari menjauh, namun tubuhnya membeku di tempat.
Wanita itu terlihat sedang berbicara dengan seseorang di telepon, tertawa kecil sambil membetulkan rambutnya yang tertiup angin.

Tanpa berpikir panjang, Risa segera berbalik dan pergi dari sana. Ia tak peduli bahwa jam istirahat hampir usai. Ia tak peduli jika atasannya akan marah karena ia meninggalkan pekerjaan. Yang ia pikirkan hanyalah melarikan diri dari bayang-bayang masa lalu yang tiba-tiba datang menghantuinya.

“Bagaimana bisa hantu masa lalu kembali hidup dan menghancurkan kedamaian yang mulai terbangun?”


Menghadapi Ketakutan

Malam harinya, Risa duduk di lantai kamar dengan tubuh gemetar. Bayangan wanita itu terus menghantui pikirannya. Ia yakin wanita itu sudah meninggal bersama Andra. Ia sendiri menghadiri pemakaman mereka.
“Tapi… kenapa dia masih hidup?” gumam Risa dengan suara bergetar.

Pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Apakah wanita itu benar-benar selingkuhan Andra? Apakah wanita itu pura-pura mati? Atau mungkin… Andra juga masih hidup?

Risa merasakan kepalanya berdenyut nyeri. Ia tak tahu lagi apa yang nyata dan apa yang hanya imajinasinya. Ia mencoba menghubungi salah satu teman dekatnya, namun terhenti di tengah jalan.
Siapa yang akan percaya padanya? Bahkan dirinya sendiri tak yakin dengan apa yang ia lihat.

“Tidak… Aku gak boleh gila… Ini pasti cuma kebetulan…” Risa mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia melihat wanita itu dengan sangat jelas. Bayang-bayang masa lalu yang ia pikir sudah terkubur dalam, ternyata belum sepenuhnya menghilang.

Risa menggenggam gantungan kunci pemberian Arga dengan erat, berharap kehangatan itu bisa menenangkannya. Namun, ketakutan dan kebingungan terus menghantui pikirannya.

“Ketika masa lalu bangkit dari kuburnya, kedamaian hati menjadi sesuatu yang mustahil untuk dimiliki.”

Bab 5: Kenangan yang Sulit Dilupakan

Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Risa duduk di ruang tamu apartemennya yang gelap, hanya diterangi oleh lampu meja kecil di sudut ruangan. Matanya tak lepas dari foto Andra yang ia temukan kembali saat membereskan laci meja kerja. Dalam foto itu, Andra tersenyum bahagia, menggenggam tangan Risa dengan erat.

Mereka terlihat seperti pasangan sempurna yang sedang menanti hari pernikahan dengan penuh kebahagiaan. Namun, senyuman itu kini berubah menjadi bayang-bayang menyakitkan yang menghantuinya setiap kali ia mencoba melupakan masa lalu.

“Kenangan itu seperti bayangan; tak bisa dihapus, hanya bisa diterima keberadaannya.”

Risa memejamkan mata, berharap air mata yang menggenang tak jatuh begitu saja. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti menangisi orang yang mengkhianatinya. Namun, kenangan tentang Andra terus menghantui pikirannya.


Di Makam Andra

Pagi itu, Risa memberanikan diri untuk mengunjungi makam Andra. Ia belum pernah datang ke sana sejak hari pemakaman. Ia terlalu takut menghadapi kenyataan bahwa pria yang pernah ia cintai sudah tak lagi ada di dunia ini.

Langit mendung seolah ikut berkabung bersama perasaan Risa yang kelabu. Ia berjalan pelan di antara deretan makam hingga tiba di depan nisan yang bertuliskan nama Andra. Nama yang dulu selalu ia sebut dalam doa, kini hanya tertulis di batu dingin yang diam tak bersuara.

Risa berlutut di depan makam itu, menatap nisan dengan tatapan kosong. Ia tak tahu harus berkata apa. Semua rasa sakit dan kecewa berkumpul menjadi satu, menyisakan perasaan hampa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

“Andra… kenapa kamu tega?” suaranya bergetar, lirih namun penuh luka.
“Kamu pergi tanpa penjelasan… tanpa kata maaf… dan meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.”

Risa meraih bunga mawar putih yang ia bawa, meletakkannya di atas makam. Ia berharap bunga itu bisa menyampaikan semua perasaan yang tertahan di hatinya.

“Bagaimana mungkin mencintai seseorang yang sudah tiada tetap bisa menyakiti hati?”


Pertemuan yang Mengusik Kenangan

Saat hendak pulang dari pemakaman, Risa melihat sosok wanita berdiri tak jauh darinya. Wanita itu terlihat menunduk di depan makam yang berada di sebelah makam Andra. Rambut panjangnya tergerai, tubuhnya tampak rapuh dan bergetar pelan.

Risa memperhatikan wanita itu dengan seksama. Ada sesuatu yang familiar dalam sosok itu, sesuatu yang membuat hatinya berdebar tak menentu. Saat wanita itu berbalik untuk pergi, Risa tersentak kaget. Itu adalah wanita yang dilihatnya di depan gedung kantor. Wanita yang sangat mirip dengan selingkuhan Andra.

Risa buru-buru bersembunyi di balik pohon, tak ingin wanita itu melihat kehadirannya. Ia mengamati wanita itu berjalan dengan langkah pelan dan tubuh yang sedikit membungkuk. Saat wanita itu melewati makam Andra, ia berhenti sejenak dan menatap nisan itu dengan tatapan sedih.

“Siapa… siapa dia sebenarnya?” bisik Risa pada dirinya sendiri.
Rasa penasaran dan ketakutan bercampur menjadi satu. Apakah wanita itu benar-benar masih hidup? Apakah kecelakaan itu hanya kebohongan belaka?


Bayang-bayang Masa Lalu yang Kembali

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Risa terus dipenuhi oleh bayang-bayang wanita misterius itu. Ia mencoba mencari penjelasan logis, namun tak satu pun teori masuk akal yang bisa menjawab pertanyaannya.

Saat tiba di apartemen, Risa langsung membuka laci dan mencari kembali ponsel Andra yang dulu ia temukan. Ponsel yang berisi pesan-pesan dari wanita bernama Livia, selingkuhan Andra yang seharusnya sudah meninggal dalam kecelakaan.

Risa menatap layar ponsel yang retak namun masih bisa menyala. Ia membuka galeri foto dan melihat puluhan foto Andra bersama Livia yang terlihat begitu bahagia. Senyum mereka begitu tulus, seolah-olah mereka adalah pasangan yang saling mencintai tanpa ada kebohongan.

“Bagaimana bisa… wanita yang ada di foto ini masih hidup?” gumam Risa dengan suara bergetar.
Ia tak bisa menahan air mata yang jatuh begitu saja. Luka lama yang mulai mengering kembali terbuka.

“Kenangan buruk yang belum selesai akan selalu datang menghantui, tak peduli seberapa jauh kita melangkah.”


Pertemuan dengan Arga yang Tak Terduga

Saat Risa tengah tenggelam dalam kesedihan, suara bel pintu apartemennya berbunyi. Dengan mata yang masih sembab, ia berjalan lemas menuju pintu dan membukanya.
Di hadapannya berdiri Arga dengan senyuman ceria seperti biasa. “Hai, Kak Risa! Kebetulan banget aku lewat sini. Mau ngembaliin payung waktu itu,” ucapnya sambil mengangkat payung biru yang pernah ia pinjamkan pada Risa.

Risa terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Ia tak menyangka Arga datang di saat hatinya begitu rapuh.
“Kakak sakit ya? Matanya merah banget,” tanya Arga cemas.
Risa buru-buru mengusap matanya dan mencoba tersenyum tipis. “Enggak, aku cuma kurang tidur.”

Arga menghela napas lega. “Oh, kirain sakit. Ya udah, aku pulang dulu deh. Istirahat yang cukup ya, Kak.”
Saat Arga berbalik untuk pergi, Risa tanpa sadar berkata, “Tunggu!”

Arga menoleh dengan mata berbinar. “Iya, Kak?”
Risa menggigit bibir bawahnya, ragu dengan keputusannya. Namun, ia tak ingin sendirian malam itu. “Mau… masuk sebentar?”
Mata Arga membesar, tak menyangka akan mendapat undangan itu. “Serius? Boleh banget!”

Arga masuk dengan senyuman lebar, membawa kehangatan yang entah bagaimana berhasil mengusir kesepian Risa meski hanya sementara.
Mereka duduk di ruang tamu, berbincang tentang hal-hal ringan seperti pekerjaan dan hobi. Risa bahkan sempat tertawa kecil saat Arga bercerita tentang kekonyolan yang ia alami saat kecil.

Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, Risa merasa beban di hatinya sedikit berkurang. Ia tak menyangka bahwa kehadiran Arga bisa memberi kenyamanan yang selama ini ia cari.

“Kadang, hati yang terluka tak butuh kata-kata penghiburan. Ia hanya butuh kehadiran yang tulus dan apa adanya.”

Bab 6: Saat Hati Mulai Terbuka


Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Risa, membangunkannya dari tidur yang lelap. Ia terkejut saat menyadari dirinya tertidur di sofa ruang tamu dengan selimut yang rapi menutupi tubuhnya. Saat matanya fokus, ia melihat secangkir teh hangat dan sepiring roti panggang di meja.

Di sampingnya, terdapat catatan kecil bertuliskan:

“Pagi, Kak Risa! Aku bikin sarapan seadanya. Semoga suka. Semangat untuk harimu! – Arga”

Risa membaca catatan itu dengan senyum tipis. Ia teringat percakapan mereka semalam, bagaimana Arga membuatnya tertawa dengan cerita-cerita konyolnya. Ia bahkan tak sadar kapan ia mulai merasa nyaman berbicara dengan pria itu.

“Terkadang, ketulusan mampu mengisi kekosongan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.”


Hari di Kantor yang Berbeda

Saat tiba di kantor, Risa menemukan dirinya menunggu sapaan ceria dari Arga. Ia mencoba menyembunyikan rasa canggung itu dengan berpura-pura sibuk di depan laptop, namun matanya tak lepas dari pintu masuk, berharap melihat sosok Arga masuk dengan senyuman lebarnya.

Dan saat yang ditunggu akhirnya datang.
“Pagi, Kak Risa!” sapa Arga ceria sambil melambaikan tangan.
Risa mengangguk pelan dan tersenyum tipis. “Pagi.”

Arga terlihat kaget dengan respon yang jauh lebih ramah dari biasanya. “Wow, Kak Risa senyum? Ada yang salah nih kayaknya,” candanya sambil terkekeh.
Risa pura-pura kesal. “Emangnya aku gak boleh senyum?”
“Boleh banget! Senyum Kak Risa tuh langka, jadi harus disimpan nih di ingatan,” jawab Arga sambil memegang kepala seolah-olah menyimpan gambar senyuman Risa.

Tanpa bisa ditahan, Risa tertawa kecil. Ia tak menyangka dirinya bisa tertawa dengan lepas seperti itu. Bahkan, suasana hati yang selama ini kelam, terasa lebih ringan sejak kehadiran Arga.


Momen Kebersamaan yang Manis

Siang itu, saat jam makan siang tiba, Arga datang menghampiri Risa.
“Kak Risa, makan bareng yuk. Kali ini aku gak traktir, tapi aku bawain bekal buatan ibuku. Banyak banget, gak mungkin habis kalo aku makan sendiri,” ucapnya sambil mengangkat kotak bekal berwarna biru.

Risa ragu sejenak, tapi perutnya sudah lapar dan bekal yang dibawa Arga terlihat menggiurkan.
“Oke… Tapi cuma kali ini aja,” jawabnya malu-malu.
“Siap! Sekali ini aja, tapi kalo besok aku bawa lagi, mau ya?” goda Arga sambil tertawa kecil.

Mereka duduk di taman kantor, di bawah pohon rindang dengan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Arga membuka kotak bekalnya dan menyodorkannya pada Risa.
“Nih, Kak. Ini ayam kecap andalan ibuku. Enak banget, aku jamin!”

Risa mencicipi ayam kecap itu dan matanya membesar. “Enak banget! Ibumu jago masak, Ga.”
Arga tersenyum bangga. “Iya dong. Nanti kapan-kapan kalo Kak Risa mau, aku ajak ke rumah dan makan bareng keluargaku.”
Risa tersedak mendengar ajakan itu. Ia merasa wajahnya memanas dan buru-buru berkata, “Eh… enggak usah. Aku udah senang kok bisa makan ini.”

Arga tertawa kecil melihat ekspresi gugup Risa. Ia senang bisa melihat sisi lain dari wanita yang selama ini terlihat begitu dingin dan kuat.

“Kadang, kebersamaan yang sederhana bisa menciptakan kenangan yang indah dan tak terlupakan.”


Kebingungan dalam Hati

Malam harinya, Risa berbaring di tempat tidur sambil memandang langit-langit kamar. Ia masih memikirkan hari yang ia habiskan bersama Arga. Bagaimana pria itu membuatnya tertawa, bagaimana senyum cerianya perlahan melunturkan tembok pertahanan yang ia bangun selama ini.

Namun, di balik senyuman itu, Risa merasa bingung dan takut. Ia takut hatinya kembali terbuka dan terluka untuk kedua kalinya. Ia takut jika semua perhatian dan ketulusan Arga hanyalah ilusi yang akan hilang begitu saja.

Risa menggenggam gantungan kunci pemberian Arga yang masih ia simpan di dalam laci meja. Ia menatap senyuman pada gantungan kunci itu dan bertanya-tanya apakah ia berhak merasakan kebahagiaan lagi setelah semua luka yang pernah ia alami.

“Apa aku bisa… percaya lagi?” bisiknya pelan.

“Saat hati mulai terbuka, ketakutan akan luka lama selalu datang menghantui.”


Pertemuan yang Mengguncang

Keesokan harinya, Risa berangkat ke kantor dengan perasaan campur aduk. Ia ingin kembali bertemu dengan Arga, namun ia juga takut perasaan itu semakin dalam dan membuatnya terluka.

Saat tiba di depan gedung kantor, Risa melihat Arga tengah berdiri di lobi, berbicara dengan seorang wanita. Wanita itu berdiri membelakangi Risa, namun posturnya sangat familiar.

Langkah Risa terhenti saat wanita itu berbalik dan tertawa pelan. Itu adalah wanita yang dilihatnya di pemakaman. Wanita yang mirip dengan Livia, selingkuhan Andra.

Risa merasa jantungnya berdetak kencang. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita itu terlihat sangat akrab dengan Arga. Mereka bahkan tertawa bersama, seolah-olah sudah saling mengenal sejak lama.

Saat itu, pandangan Arga bertemu dengan mata Risa. Ia melambaikan tangan dan memanggil, “Kak Risa! Sini deh, aku kenalin sama sepupuku!”
Dunia Risa seakan berhenti berputar. Sepupu? Apakah itu berarti… wanita itu adalah sepupu Arga?

Risa merasakan tubuhnya lemas. Ia mundur selangkah, berbalik, dan pergi tanpa menjawab panggilan Arga. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Tidak mungkin… Tidak mungkin…” gumam Risa dengan suara bergetar.

Ia merasa dikhianati untuk kedua kalinya. Apakah semua perhatian dan ketulusan Arga hanyalah tipuan untuk mendekatinya? Apakah Arga tahu tentang masa lalunya dengan Andra?

Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi pikirannya, menyisakan luka yang kembali menganga. Luka yang belum sepenuhnya sembuh, kini kembali terasa perih.

“Percayalah pada hati, tapi jangan pernah lupakan luka yang pernah ia rasakan.”

Bab 7: Kenyataan yang Menyakitkan

Risa merasa dunia runtuh seketika. Ia berjalan tanpa arah setelah melarikan diri dari kantor, langkahnya gontai dan pikirannya kacau. Bayangan Arga yang tertawa bersama wanita itu terus menghantui benaknya. Wanita yang sangat mirip dengan Livia, selingkuhan Andra yang seharusnya sudah meninggal dalam kecelakaan.

Bagaimana mungkin wanita itu masih hidup? Dan lebih menyakitkan lagi, bagaimana mungkin dia adalah sepupu Arga, pria yang perlahan mulai meluluhkan hati Risa?

Hujan turun deras, membasahi tubuh Risa yang berdiri mematung di tengah trotoar. Ia tidak peduli, dan tak akan peduli pada pandangan orang-orang yang memandangnya dengan tatapan aneh. Dirinya bahkan tidak peduli pada tubuhnya yang menggigil kedinginan.

Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu dalam.

“Tak ada luka yang lebih dalam daripada dikhianati oleh orang yang dipercayai.”


Kembali ke Masa Lalu yang Menyakitkan

Risa memutuskan untuk pulang ke apartemen dan mengunci diri di dalam kamar. Ia menangis sejadi-jadinya, mengingat kembali semua kenangan pahit yang berusaha ia lupakan.
Ia teringat wajah Andra yang selalu tersenyum hangat, tatapan lembut yang penuh kasih sayang. Namun di balik senyuman itu, Andra menyimpan kebohongan yang menghancurkan hatinya.

Risa menggenggam erat foto Andra yang masih ia simpan, meski sudah berulang kali ia mencoba membuangnya. “Kenapa… Kenapa kamu menghianatiku, Andra?” isaknya pelan.
Ia kembali teringat pesan-pesan mesra dari Livia yang ia temukan di ponsel Andra. Pesan-pesan yang membuktikan betapa Andra dan Livia saling mencintai di belakang punggungnya.

Dan sekarang… Arga datang ke dalam hidupnya, membawa kebahagiaan yang mulai ia rasakan kembali, hanya untuk menyakitinya dengan kenyataan pahit bahwa Arga adalah saudara sepupu dari wanita yang menghancurkan hidupnya.

“Kenangan buruk tak akan pernah benar-benar hilang. Ia hanya bersembunyi di balik senyuman yang dipaksakan.”


Konfrontasi yang Menyakitkan

Keesokan harinya, Risa memutuskan untuk menghadapi Arga. Ia tak bisa terus lari dari kenyataan. Ia harus mencari tahu kebenaran dari pria yang berhasil meluluhkan hatinya.

Dengan langkah tegas, Risa masuk ke kantor dan langsung menuju meja Arga. “Kita perlu bicara,” ucapnya dingin.
Arga tersenyum ceria seperti biasa. “Tentu! Tentang apa nih, Kak?”
Risa menatap mata Arga dengan tajam. “Tentang sepupumu.”

Senyuman Arga perlahan menghilang. Ia terlihat bingung dan bertanya, “Livia? Kenapa dengan Livia?”
Nama itu membuat dada Risa terasa sesak. Ia menelan ludah dan bertanya dengan suara bergetar, “Siapa… siapa Livia sebenarnya?”
Arga menghela napas pelan. “Livia sepupu dari pihak ibuku. Dia sudah seperti kakak bagiku. Kami sangat dekat sejak kecil.”

Risa merasa kakinya lemas. Ia berusaha menguatkan dirinya dan bertanya lagi, “Apa kamu tahu… bahwa dia pernah… pernah menjalin hubungan dengan Andra?”
Arga terdiam sejenak, matanya membesar seolah tak percaya dengan pertanyaan Risa. “Tunggu… Kakak tahu tentang Andra?”
Jantung Risa berdetak kencang. “Tentu saja aku tahu. Andra adalah tunanganku. Atau… setidaknya dia pernah menjadi tunanganku.”

Wajah Arga seketika pucat. Ia terdiam, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja terungkap. “Tunggu… Jadi… Kakak adalah tunangan Andra yang kecelakaan itu?”
Risa mengangguk pelan, air matanya mulai menggenang. “Ya. Aku tunangan Andra. Dan aku tahu… aku tahu bahwa Livia ada di dalam mobil itu bersamanya.”

Arga terdiam, wajahnya terlihat bingung dan penuh rasa bersalah. “Tapi… Livia bilang padaku bahwa mereka hanya teman biasa. Dia bilang tidak ada hubungan apa-apa…”
Risa tertawa sinis. “Teman biasa? Kamu percaya itu? Coba lihat pesan-pesan ini!”

Risa menunjukkan ponsel Andra yang masih menyimpan pesan-pesan mesra dari Livia. Arga membaca pesan-pesan itu dengan ekspresi terkejut dan tak percaya.
“Ini… ini gak mungkin…” gumam Arga dengan suara bergetar. “Livia… Livia gak mungkin melakukan ini…”

Risa mengusap air matanya yang jatuh tanpa bisa ditahan. “Sekarang kamu tahu. Kamu tahu kenapa aku menjauh. Kamu tahu kenapa aku gak bisa percaya padamu…”
Arga memegang bahu Risa, tatapannya penuh kepedihan. “Kak, aku bener-bener gak tahu… Aku… aku gak pernah tau tentang hubungan mereka…”

Risa menepis tangan Arga dan mundur selangkah. “Aku sudah cukup disakiti, Ga. Aku gak bisa lagi percaya pada keluargamu… bahkan pada kamu.”
Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Arga yang berdiri membeku di tempat.


Hati yang Terluka Kembali

Risa berjalan tanpa arah, mencoba melarikan diri dari rasa sakit yang kembali menghantam hatinya. Ia tak menyangka bahwa Arga, pria yang perlahan membuka kembali hatinya, ternyata memiliki hubungan dengan wanita yang menghancurkan hidupnya.

Di tengah jalan yang sepi, Risa berhenti dan menangis sejadi-jadinya. Ia merasa dunia kembali runtuh. Semua perasaan yang mulai tumbuh, semua kebahagiaan yang perlahan ia rasakan, semuanya hancur dalam sekejap.

“Membuka hati setelah terluka adalah keberanian yang tak semua orang miliki. Tapi saat luka itu kembali terbuka, rasa sakitnya berkali lipat lebih perih.”

Risa merasakan angin malam yang dingin menusuk tulang. Ia menyeka air matanya dan berjalan pelan menuju apartemennya.
Saat tiba di sana, Risa menatap gantungan kunci pemberian Arga yang masih tergantung di meja. Ia meraihnya dan menggenggamnya erat-erat sebelum membuangnya ke dalam laci.

“Aku tidak boleh jatuh cinta lagi… Tidak kali ini…” bisiknya dengan suara lirih.
Ia menutup laci itu dengan tegas, seolah ingin mengunci perasaannya yang mulai tumbuh untuk Arga. Hatinya kembali terluka, lebih dalam dan lebih perih dari sebelumnya.

“Bagaimana bisa hati yang mulai sembuh kembali terluka oleh kenyataan yang tak terduga?”

Bab 8: Konflik Batin yang Tak Berujung

Risa mengurung diri di apartemennya selama beberapa hari. Ia mematikan ponselnya dan menolak semua panggilan dari Arga. Ia bahkan mengambil cuti mendadak dari kantor, tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa pria yang mulai ia percayai ternyata berhubungan dengan masa lalunya yang menyakitkan.

Setiap kali menutup mata, bayangan Arga dan Livia selalu menghantui pikirannya. Ia teringat bagaimana Arga selalu tersenyum ceria, selalu membawa kehangatan yang membuat hatinya perlahan mencair. Namun, kenyataan pahit bahwa Arga adalah sepupu Livia membuat semua kenangan indah itu berubah menjadi luka yang menyakitkan.

“Percaya itu mudah. Tapi setelah dikhianati, percaya menjadi hal yang paling sulit untuk dilakukan.”


Ditelan Kesedihan dan Amarah

Malam itu, Risa duduk di lantai kamarnya yang gelap, memeluk lutut sambil menatap kosong ke arah jendela. Hujan turun deras di luar sana, seolah-olah langit ikut menangisi hatinya yang hancur.

Risa membuka laci meja dan menatap gantungan kunci pemberian Arga yang masih tersimpan di sana. Ia menggenggamnya erat-erat, merasakan perasaan campur aduk antara kebencian dan kerinduan.
“Kenapa kamu harus muncul dalam hidupku? Kenapa harus kamu yang buat aku percaya lagi?” isaknya lirih.

Ia merasa marah pada dirinya sendiri karena membiarkan hatinya kembali terbuka setelah semua luka yang ia alami. Ia marah karena dirinya mulai mempercayai Arga dan merasa bahagia bersamanya.

Namun, di sisi lain, ia merasa rindu pada tawa dan candaan Arga. Ia merindukan perhatian kecil yang selalu diberikan Arga dengan tulus. Risa membenci kenyataan bahwa hatinya masih menyimpan perasaan pada pria yang seharusnya ia jauhi.


Pesan yang Tak Terbalas

Selama beberapa hari, ponsel Risa terus berdering dengan pesan dan panggilan dari Arga.

  • “Kak Risa, tolong angkat teleponku. Aku mau jelasin semuanya.”
  • “Kak, aku bener-bener gak tahu apa-apa. Tolong jangan jauhi aku.”
  • “Kak, maafin aku… Aku gak pernah bermaksud nyakitin Kakak.”

Risa membaca semua pesan itu dengan air mata yang menggenang. Ia merasakan ketulusan dalam kata-kata Arga, namun hatinya terlalu takut untuk kembali percaya.
Ia tahu bahwa Arga mungkin tidak bersalah, tapi bayang-bayang masa lalu terlalu kuat untuk diabaikan.

“Kadang, luka bukan tentang siapa yang melukai, tapi tentang ketakutan untuk terluka lagi.”

Tanpa berpikir panjang, Risa mematikan ponselnya. Ia tidak ingin mendengar penjelasan apapun. Ia tidak ingin memberi kesempatan pada hatinya untuk kembali goyah.


Kunjungan Tak Terduga

Siang itu, saat Risa sedang termenung di balkon apartemennya, terdengar ketukan di pintu.
Risa terdiam sejenak, berharap itu bukan Arga. Ia berjalan pelan menuju pintu dan mengintip dari lubang kecil.
Benar saja, Arga berdiri di sana dengan wajah cemas dan lelah. Matanya terlihat sembab, seolah-olah ia kurang tidur selama berhari-hari.

“Risa, aku tahu kamu di dalam. Tolong… izinkan aku bicara,” suara Arga terdengar lirih, penuh kepedihan.
Risa menggigit bibir bawahnya, hatinya terasa perih mendengar suara pria itu. Namun, ia tetap berdiri diam, tak bergerak sedikit pun.

“Aku gak tahu harus mulai dari mana… tapi aku benar-benar gak tahu tentang hubungan mereka. Tolong percaya padaku…” suara Arga terdengar gemetar.
Risa memejamkan mata, menahan air matanya yang hampir jatuh. Ia ingin sekali membuka pintu itu dan memeluk Arga, namun rasa takut dan luka di hatinya menghalangi niat itu.

Setelah beberapa saat tak mendapat respon, Arga menghela napas panjang.
“Aku akan pergi… Tapi tolong, jangan tutup pintu hatimu terlalu rapat. Setidaknya izinkan aku menjelaskan…” ucap Arga sebelum berbalik dan pergi dengan langkah gontai.

Risa jatuh terduduk di balik pintu, air matanya tumpah tanpa bisa ditahan. Ia merasa bersalah karena tak memberi kesempatan pada Arga untuk menjelaskan. Namun, hatinya terlalu sakit untuk menghadapi kenyataan yang begitu rumit.

“Terkadang, bukan tentang salah siapa. Tapi tentang luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan.”


Pertemuan Tak Terduga dengan Wanita Itu

Beberapa hari kemudian, Risa mencoba keluar dari apartemennya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Ia berjalan pelan di pusat perbelanjaan, berusaha mengalihkan pikirannya dari semua masalah yang menghantuinya.

Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok wanita yang sangat familiar berdiri di depan sebuah toko. Wanita dengan rambut panjang tergerai, postur tubuh ramping, dan wajah yang begitu mirip dengan Livia.

Risa merasa tubuhnya membeku. Ia tak percaya bahwa wanita itu benar-benar hidup dan terlihat begitu segar bugar. “Bagaimana bisa…?” gumamnya tak percaya.

Tanpa berpikir panjang, Risa mengikuti wanita itu yang berjalan masuk ke dalam kafe. Ia bersembunyi di balik pilar dan mengamati wanita itu yang duduk dengan seorang pria. Pria yang tak kalah tampan dan terlihat sangat akrab dengannya.

Risa mengerutkan dahi, mencoba mencari tahu siapa pria itu. Namun, saat pria itu tersenyum dan memegang tangan wanita tersebut, Risa merasa tubuhnya gemetar.
Pria itu adalah Arga.

Arga duduk di hadapan wanita yang sangat mirip dengan Livia, tersenyum hangat sambil berbicara akrab. Mereka terlihat begitu dekat, begitu nyaman satu sama lain.

Risa merasa dadanya sesak, napasnya terasa berat. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apakah selama ini Arga mempermainkan perasaannya? Apakah Arga tahu segalanya sejak awal dan hanya berpura-pura tak tahu?

“Kepercayaan yang mulai tumbuh, hancur dalam sekejap oleh kenyataan yang menyakitkan.”

Risa berbalik dan berlari keluar dari kafe, meninggalkan segala kebingungan dan rasa sakit yang menghantam hatinya. Ia merasa ditipu, dikhianati, dan dibodohi untuk kedua kalinya.

Tangisannya pecah saat keluar dari gedung, tak peduli pada tatapan orang-orang di sekitarnya.
Ia merasa begitu bodoh karena percaya pada Arga.

Dan kali ini, ia berjanji tak akan lagi membiarkan hatinya terluka untuk ketiga kalinya.

“Mungkin benar, cinta itu indah. Tapi saat luka datang bersamanya, cinta berubah menjadi kutukan yang tak termaafkan.”

Bab 9: Kebenaran yang Terungkap


Risa duduk di sudut kamarnya, matanya bengkak karena tangis yang tak kunjung reda. Ia merasa tubuhnya lelah, namun pikirannya terus berputar. Bayangan Arga dan wanita yang mirip Livia terus menghantui pikirannya.

“Bagaimana mungkin aku bisa begitu bodoh?” gumamnya lirih, suara seraknya terdengar parau di tengah keheningan malam.

Setelah semua yang terjadi, Risa memutuskan untuk mencari kebenaran. Ia tidak bisa terus terjebak dalam rasa sakit dan kebingungan. Meski hatinya terluka, ia harus mendapatkan jawaban.

“Kadang, untuk menyembuhkan luka, kita harus berani menghadapi kebenaran yang paling menyakitkan.”


Mencari Kebenaran

Keesokan paginya, Risa memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit tempat Livia seharusnya dirawat setelah kecelakaan bersama Andra. Ia mengenakan hoodie abu-abu dan masker, mencoba menyembunyikan identitasnya.

Saat tiba di rumah sakit, Risa langsung menuju bagian administrasi. Ia berpura-pura menjadi saudara jauh yang mencari informasi tentang Livia.
“Permisi, apakah saya bisa mendapatkan informasi mengenai pasien bernama Livia yang pernah dirawat di sini sekitar setahun yang lalu?” tanyanya dengan suara pelan.

Petugas administrasi membuka data di komputer dan mengetik nama Livia. Beberapa detik kemudian, ia mengangguk. “Benar, ada pasien atas nama Livia. Namun, pasien tersebut sudah dipulangkan beberapa bulan yang lalu.”

Risa tertegun. “Dipulangkan? Jadi… dia tidak meninggal?”
Petugas itu menggeleng. “Tidak, Nona. Pasien mengalami cedera ringan, dan setelah menjalani perawatan, ia dinyatakan sembuh.”

Risa merasa tubuhnya lemas. Selama ini, ia hidup dalam kebohongan. Livia tidak pernah meninggal dalam kecelakaan itu.
“Terima kasih,” ucapnya pelan sebelum berbalik dan meninggalkan rumah sakit dengan langkah gontai.


Konfrontasi dengan Arga

Risa tidak bisa lagi menahan rasa sakit dan kebingungannya. Ia memutuskan untuk menemui Arga dan meminta penjelasan. Setelah mencari tahu dari rekan kerjanya, ia mengetahui bahwa Arga ada di kantor.

Tanpa berpikir panjang, Risa berjalan cepat memasuki ruangan Arga. Pria itu terlihat terkejut saat melihat Risa berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh luka dan air mata yang tertahan.

“Kak Risa…?”
Risa menatapnya tajam. “Kamu tahu semuanya, kan? Kamu tahu bahwa Livia masih hidup, dan kamu menipuku selama ini.”

Arga berdiri dari kursinya, wajahnya terlihat panik. “Kak, tunggu. Ini gak seperti yang Kakak pikirkan.”

“Lalu seperti apa? Aku melihatmu bersama dia di kafe. Kalian tertawa bersama. Kamu bilang gak tahu apa-apa, tapi nyatanya kamu tahu semuanya!” suara Risa bergetar, antara marah dan terluka.

Arga menghela napas panjang, ia mendekati Risa dengan perlahan. “Dengar dulu penjelasanku, tolong.”

“Aku sudah cukup mendengar kebohonganmu!” Risa mundur, air matanya mulai mengalir. “Aku percaya padamu, Arga. Tapi ternyata kamu sama saja seperti Andra.”

Mendengar nama Andra disebut, Arga tertunduk. “Kak Risa… aku benar-benar tidak tahu tentang hubungan Livia dengan Andra. Aku baru tahu setelah kecelakaan itu.”

“Kalau begitu kenapa kamu tetap dekat dengan Livia? Kenapa kamu berbohong padaku?”

Arga menggigit bibirnya, terlihat bingung. “Livia… dia membutuhkan bantuan. Setelah kecelakaan itu, dia kehilangan pekerjaannya, dan keluarganya menjauhinya. Aku hanya mencoba membantunya bangkit kembali.”

Risa terdiam. “Bangkit kembali? Dengan menipuku? Dengan menyembunyikan kenyataan bahwa dia masih hidup?”

Arga mengusap wajahnya dengan frustasi. “Aku tidak berniat menipumu. Diriku hanya… tidak ingin menyakitimu. Aku pikir, semakin sedikit kamu tahu, semakin mudah bagimu untuk melupakan masa lalu.”

“Melupakan masa lalu?” Risa tertawa sinis. “Kenyataannya, kamu malah menyeretku kembali ke dalamnya. Kamu membuatku percaya lagi, hanya untuk menghancurkan hatiku sekali lagi.”

“Kejujuran mungkin menyakitkan, tapi kebohongan menghancurkan segalanya.”


Masa Lalu Livia yang Terungkap

Melihat Risa yang begitu terluka, Arga akhirnya membuka semuanya. “Livia memang salah. Dia menjalin hubungan dengan Andra, dan aku membencinya karena itu. Tapi setelah kecelakaan, dia berubah. Dia menyesali semua perbuatannya.”

Risa menutup wajahnya dengan tangan, menangis terisak. “Penyesalan tidak akan mengembalikan hidupku yang hancur.”

“Benar. Tapi aku hanya ingin memberinya kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu,” ucap Arga pelan.

Risa menggeleng. “Tapi dengan menutupinya, kamu justru membuat luka ini semakin dalam.”

Arga terdiam, tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia tahu semua ini adalah kesalahannya. Kesalahan karena mencoba melindungi Risa dengan cara yang salah.


Pertemuan dengan Livia

Beberapa hari kemudian, Livia datang menemui Risa. Dengan wajah penuh penyesalan, Livia meminta maaf atas semua yang terjadi.
“Aku tahu tidak ada kata maaf yang bisa memperbaiki semuanya. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal.”

Risa menatap Livia dengan tatapan kosong. “Kenapa kamu masih hidup? Kenapa kamu tidak jujur sejak awal?”

Livia menunduk. “Aku takut. Setelah kecelakaan itu, keluargaku menyuruhku berpura-pura meninggal untuk menghindari masalah. Mereka tidak ingin nama baik keluarga tercoreng.”

Mendengar itu, Risa merasa dadanya sesak. “Jadi, semua ini hanya tentang melindungi nama baik? Sementara hidupku hancur berantakan?”

Livia menangis. “Aku salah. Sangat salah. Tapi aku benar-benar berusaha berubah. Arga membantuku, dan aku berhutang segalanya padanya.”

Risa terdiam. Air matanya jatuh perlahan. Ia merasakan luka lama yang kembali menganga, namun di dalam hatinya, ada sedikit rasa lega karena akhirnya kebenaran terungkap.

“Memaafkan bukan berarti melupakan. Tapi memberi hati kesempatan untuk sembuh.”


Pilihannya Sendiri

Setelah pertemuan itu, Risa memutuskan untuk mengambil waktu sendiri. Ia pergi ke rumah orang tuanya di kota kecil, menjauh dari semua masalah yang menghimpitnya.

Di sana, ia belajar menerima kenyataan. Menerima bahwa hidup tidak selalu sesuai harapan, namun ia harus tetap melangkah maju.

Risa memaafkan Livia, bukan karena Livia pantas mendapatkannya, tetapi karena Risa pantas mendapatkan kedamaian dalam hatinya.

Dan untuk Arga, Risa belum siap untuk kembali membuka hatinya. Namun, ia tidak menutup kemungkinan bahwa suatu hari nanti, saat lukanya benar-benar sembuh, ia akan memberi kesempatan pada cinta yang baru.

“Kadang, untuk menemukan kebahagiaan, kita harus berani melepaskan semu yg da luka dan memilih untuk memulai kembali.”

Bab 10: Memilih untuk Bahagia


Waktu berlalu dengan cepat. Sudah tiga bulan sejak Risa memutuskan untuk pergi dari kota dan tinggal di rumah orang tuanya. Ia memilih untuk menyembuhkan luka dan mencari kedamaian jauh dari hiruk-pikuk yang menghantui pikirannya.

Setiap pagi, Risa berjalan-jalan di taman dekat rumahnya, menikmati udara segar dan suara kicauan burung yang menenangkan. Ia mulai menemukan kedamaian yang lama ia cari. Ia belajar untuk memaafkan, bukan hanya orang lain, tapi juga dirinya sendiri.

“Memaafkan adalah langkah pertama untuk menyembuhkan luka yang tak terlihat.”

Risa tidak lagi menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi. Ia mulai menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan. Namun, ia juga menyadari bahwa dirinya pantas untuk bahagia, meski kebahagiaan itu tidak datang dari orang yang ia cintai.


Pesan Tak Terduga

Suatu pagi, saat Risa sedang duduk di beranda sambil membaca buku, ponselnya berbunyi. Ia melihat nama yang tertera di layar: Arga.
Risa menatap layar itu beberapa saat sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut.

“Halo, Kak Risa…” suara Arga terdengar pelan dan ragu.
Risa terdiam sejenak, tak menyangka bahwa Arga masih ingin menghubunginya setelah semua yang terjadi.
“Aku… Cuma mau tahu kabar Kakak. Aku khawatir setelah Kakak pergi begitu saja tanpa kabar.”

Suara Arga terdengar jujur dan penuh kepedulian. Risa merasa hatinya hangat, meski masih ada sedikit rasa sakit yang tersisa.
“Aku baik-baik saja, Arga. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan luka ini.”

Arga terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku mengerti. Aku cuma ingin Kakak tahu, aku benar-benar minta maaf atas semua yang terjadi. Aku gak pernah bermaksud menyakitimu.”

Risa tersenyum tipis. “Aku tahu, Ga. Dan aku sudah memaafkanmu.”

Mendengar itu, Arga terkejut. “Kakak… sudah memaafkanku?”
Risa mengangguk meski Arga tak bisa melihatnya. “Ya. Aku gak mau terjebak dalam kebencian dan sakit hati. Aku ingin melangkah maju.”

Suara Arga terdengar gemetar. “Terima kasih, Kak. Terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk dimaafkan.”

“Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi memberi ruang pada hati untuk merasakan kebahagiaan kembali.”


Kepulangan yang Mengubah Segalanya

Beberapa minggu kemudian, Risa memutuskan untuk kembali ke kota. Ia merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi kenyataan dan melanjutkan hidupnya. Ia tak ingin terus berlari dari masa lalu yang menyakitkan.

Saat kembali ke apartemennya, Risa membuka jendela lebar-lebar, membiarkan angin segar masuk dan menyapu segala kenangan buruk yang pernah ia alami di tempat itu.
Ia mulai membersihkan apartemen, menyimpan semua foto dan kenangan tentang Andra dalam satu kotak yang kemudian ia simpan di dalam gudang.

“Sudah cukup,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Sudah waktunya melangkah maju.”

Saat sedang merapikan meja kerja, Risa menemukan gantungan kunci pemberian Arga yang pernah ia simpan di dalam laci. Ia mengusapnya dengan lembut, mengingat betapa pria itu selalu mencoba membuatnya tersenyum dengan ketulusannya.

Risa tersenyum tipis dan menggantung gantungan kunci itu di tasnya. Bukan sebagai kenangan masa lalu yang menyakitkan, tapi sebagai simbol keberanian untuk membuka hati lagi.


Pertemuan yang Tak Terduga

Hari itu, Risa memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota yang sering ia kunjungi dulu. Ia ingin menikmati udara segar dan merasakan kebebasan yang sudah lama tak ia rasakan.

Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok yang sangat familiar berdiri di bawah pohon besar sambil memegang secangkir kopi. Sosok itu menatap ke arah danau dengan tatapan tenang, seolah sedang merenungkan sesuatu.

“Arga…” gumam Risa pelan.

Arga berbalik dan terkejut melihat Risa berdiri di sana. Ia tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kehangatan. “Kak Risa…”

Risa berjalan pelan menghampirinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Arga mengusap tengkuknya dengan canggung. “Aku sering ke sini akhir-akhir ini. Tempat ini menenangkan. Dan… aku berharap bisa ketemu Kakak di sini.”

Risa tertawa kecil. “Kamu masih konyol seperti dulu, ya?”
Arga ikut tertawa. “Mungkin. Tapi aku benar-benar senang bisa ketemu Kakak lagi.”

Mereka duduk di bangku taman, berbicara tentang banyak hal. Tentang hidup, tentang pekerjaan, dan tentang masa lalu yang perlahan mereka tinggalkan.
Arga menjelaskan bahwa setelah kecelakaan itu, ia merasa bertanggung jawab atas Livia yang terpuruk dan kehilangan arah. Itu sebabnya ia mencoba membantu sepupunya bangkit kembali.

“Aku gak pernah bermaksud menyakiti Kakak. Aku cuma gak tahu harus gimana…” ucap Arga dengan suara lirih.
Risa menatapnya dengan tatapan lembut. “Aku mengerti sekarang. Kamu hanya berusaha jadi orang yang baik.”

Arga tersenyum tipis. “Tapi, apa aku masih punya kesempatan?”
Risa terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku gak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi… aku siap memberi kesempatan pada hatiku untuk sembuh dan mungkin… untuk jatuh cinta lagi.”

Mata Arga berbinar penuh harapan. “Itu lebih dari cukup, Kak.”

“Cinta sejati datang bukan untuk menyembuhkan luka, tapi untuk menemani dalam proses penyembuhan.”


Memilih untuk Bahagia

Sejak hari itu, Risa dan Arga perlahan mulai dekat lagi. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, tertawa, dan berbagi cerita tanpa tekanan. Risa merasa hatinya mulai sembuh, dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan Andra, ia merasa benar-benar bahagia.

Suatu sore, saat matahari hampir tenggelam di balik gedung-gedung kota, Arga menatap Risa dengan tatapan lembut.
“Kak, terima kasih sudah memberi kesempatan kedua. Aku janji gak akan mengecewakan Kakak lagi.”

Risa tersenyum hangat. “Kita jalani saja pelan-pelan. Karena aku percaya… waktu akan menyembuhkan segalanya.”

Mereka berdiri di tepi danau, menatap matahari terbenam yang memancarkan warna oranye keemasan. Saat itu, Risa merasa lega. Ia merasa semua luka dan kenangan buruk telah ia lepaskan bersama tenggelamnya matahari.

Ia memilih untuk bahagia, dan kali ini, ia yakin telah membuat pilihan yang benar.

“Bahagia bukan tentang melupakan luka, tapi tentang menerima masa lalu dan membuka hati untuk masa depan yang baru.”

TAMAT

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *