Dita, seorang desainer interior yang sukses dan berpenampilan anggun, menjalani kehidupan rumah tangga yang terlihat sempurna bersama Andi, suami yang bekerja sebagai manajer proyek di perusahaan konstruksi ternama. Namun, semua berubah ketika ia bertemu kembali dengan Raka, mantan kekasihnya yang kini pengusaha menjadi sukses di bidang properti.
Pertemuan yang seharusnya nostalgia menjadi biasa berubah menjadi api lama yang kembali menyala. Dita terjebak dalam hubungan terlarang yang penuh gairah dan kenikmatan, meski hatinya diliputi rasa bersalah pada Andi. Kebohongannya semakin dalam, hingga Andi mulai mengubah sikap Dita.
Saat rahasia perselingkuhannya terungkap, Dita dihadapkan pada pilihan sulit antara mempertahankan pernikahannya yang sudah retak atau mengikuti api cinta lamanya yang tak pernah padam. Namun, keputusan yang ia buat justru menghancurkan segalanya. Andi pergi meninggalkannya, dan Raka memilih untuk menghilang demi kebaikan mereka berdua.
Bab 1: Kenangan yang Kembali Bergetar
Hujan rintik-rintik turun di sore itu, menyelimuti kota dengan hawa dingin yang menusuk. Dita duduk di kursi beranda rumahnya, menatap tetes air yang jatuh dari ujung genteng, menciptakan irama yang monoton namun menenangkan. Secangkir teh hangat di tangannya mulai mendingin, namun pikirannya melayang jauh ke masa lalu.
Sore itu, Andi suaminya belum pulang dari kantor. Seperti biasa, ia sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan konstruksi. Hidup mereka terlihat sempurna dari luar. Rumah mungil dengan taman bunga yang terawat rapi, pernikahan yang damai tanpa pertengkaran besar, dan cinta yang nyaman dan stabil. Namun, kenyamanan itu terkadang terasa membosankan bagi Dita. Kehidupan yang datar dan tanpa kejutan membuat hatinya diam-diam merindukan sesuatu yang tak terdefinisi.
Sebuah pesan masuk di ponselnya, memecah lamunannya. Dita melihat layar, sebuah grup obrolan reuni SMA yang telah lama mati kini hidup kembali dengan berbagai pesan yang masuk bertubi-tubi. Reuni akbar akan digelar minggu depan, dan teman-teman lamanya satu per satu mulai memastikan kehadiran mereka.
Dita tersenyum tipis. Sudah lama sekali ia tak bertemu dengan mereka. Tiba-tiba sebuah nama muncul dalam percakapan itu, nama yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat—Raka.
Nama itu begitu familiar. Terlalu familiar hingga mampu membuat hatinya bergetar meski sudah bertahun-tahun berlalu. Raka, cinta pertamanya. Pria yang mengajarinya arti jatuh cinta, patah hati, dan perpisahan yang menyakitkan. Saat itu, mereka berpisah karena keegoisan dan ambisi muda yang terlalu besar. Raka memilih kuliah di luar negeri demi mengejar karier impiannya, meninggalkan Dita yang masih terpaut pada kenangan manis mereka.
Setelah sekian tahun, Dita kira perasaan itu sudah hilang, terkubur dalam-dalam oleh waktu dan realita. Namun, nyatanya, hanya dengan melihat namanya saja, jantungnya kembali berdetak tak beraturan. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ada sesuatu yang belum tuntas di antara mereka. Sebuah kenangan yang tertinggal, menggantung tanpa akhir yang pasti.
Tanpa sadar, Dita menelusuri akun media sosial Raka. Foto-fotonya yang tampak bahagia dan penuh senyum membuat Dita terdiam. Pria itu terlihat semakin tampan dengan rambut yang kini ditata rapi dan senyum yang tak berubah sejak dulu. Namun, tidak ada satupun foto yang menunjukkan kehadiran wanita di sisinya. Apakah dia masih sendiri? Pertanyaan itu melintas di benak Dita tanpa ia sadari.
Pesan baru muncul di grup obrolan, kali ini dari Raka sendiri. Ia menulis dengan nada ceria, mengatakan bahwa ia akan datang ke reuni dan tak sabar untuk bertemu semua teman lamanya. Hati Dita berdebar. Ini akan menjadi pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun berpisah tanpa kejelasan. Apakah Raka masih mengingatnya? Masih adakah sisa rasa di hatinya?
Dita segera menutup aplikasi chat itu, mencoba mengalihkan pikirannya pada tugas rumah tangga. Namun, kenangan tentang Raka terus membayang. Ia teringat saat-saat mereka menghabiskan waktu bersama di taman sekolah, tertawa tanpa beban, dan janji-janji manis yang tak pernah terwujud. Janji untuk selalu bersama, janji yang akhirnya diingkari oleh waktu dan takdir.
Suara mesin mobil terdengar dari luar. Andi pulang. Dita buru-buru menyembunyikan layar ponselnya dan menyambut suaminya dengan senyuman. Andi mencium keningnya dengan lembut, seperti biasa. Kehangatan dan kenyamanan itu menyelimuti hati Dita, namun tetap saja, ada celah kosong yang tak terisi. Perasaan itu tak bisa ia jelaskan, tak bisa ia sampaikan pada siapapun, termasuk pada Andi.
Malam itu, Dita terbaring di samping Andi yang telah terlelap. Ia memandang langit-langit kamar dengan pikiran yang terus berputar. Haruskah ia datang ke reuni itu? Haruskah ia bertemu dengan Raka dan membuka kembali luka lama yang nyaris sembuh? Atau lebih baik ia melupakan semuanya, berpura-pura bahwa perasaan itu tak pernah ada?
Namun, semakin ia mencoba mengelak, semakin besar keinginannya untuk bertemu Raka. Ia ingin tahu apakah Raka masih mengingatnya. Apakah ia juga merasakan sisa rasa yang sama?
“Kadang, masa lalu tidak benar-benar pergi. Ia hanya bersembunyi di sudut hati, menunggu waktu untuk kembali.”
Malam semakin larut, namun Dita masih terjaga, terjebak dalam kenangan dan perasaan yang seharusnya telah padam. Ia tahu keputusannya untuk datang ke reuni akan mengubah segalanya, namun hatinya terlalu lemah untuk menolak. Tanpa sadar, bibirnya berbisik pelan, menyebut nama yang sejak dulu mengisi relung hatinya, “Raka…”
Pagi hari datang dengan sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dita terbangun dengan kepala berat dan hati yang gundah. Tidurnya tidak nyenyak, pikirannya terus dipenuhi bayangan Raka dan kenangan yang mengalir deras tanpa bisa ia hentikan.
Saat menuruni tangga, aroma kopi yang harum menyambutnya. Andi sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan sederhana seperti biasanya. Senyum di wajah Andi begitu hangat, seolah tidak ada yang berubah. Ia menyambut Dita dengan kecupan ringan di pipi, “Selamat pagi, sayang. Tidurmu nyenyak?”
Dita tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Iya, lumayan,” jawabnya singkat.
Namun, Andi mengenal Dita lebih dari siapapun. “Kamu kelihatan lelah. Lagi banyak pikiran?” tanyanya dengan nada lembut penuh perhatian.
Dita menggeleng pelan, “Nggak kok. Mungkin cuma kecapekan aja.” Ia tidak ingin membuat Andi curiga. Tidak ada alasan baginya untuk merasa khawatir, bukan? Dita mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menggigit roti panggang yang dibuat Andi, namun rasanya hambar di lidahnya.
Setelah sarapan, Andi bergegas bersiap-siap ke kantor. Sebelum pergi, ia memeluk Dita erat. “Jaga diri ya. Nanti malam aku mungkin pulang terlambat, ada meeting dengan klien penting.”
Dita mengangguk, “Iya, hati-hati di jalan.”
Saat pintu tertutup, keheningan menyergap rumah mereka. Dita berdiri mematung di ruang tamu, hatinya terasa kosong. Ia memandangi punggung Andi dari balik jendela, dan rasa bersalah mulai menyelimutinya. Andi selalu baik dan penuh perhatian. Ia adalah suami yang sempurna, tak pernah sekalipun membuat Dita merasa tak dicintai. Namun, mengapa perasaannya begitu gelisah?
Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari grup reuni. Kali ini dari Raka, “Siapa aja yang bakal dateng? Seru nih kalau bisa kumpul lengkap!”
Jantung Dita kembali berdetak kencang. Ia ingin mengabaikan pesan itu, tapi tangannya bergerak sendiri. Ia mengetik balasan, “Aku datang, kok.”
Pesan terkirim. Dita menghela napas panjang. Ia tahu keputusan ini akan mengubah segalanya, namun ia tak bisa menahan rasa penasarannya. Raka adalah bagian dari masa lalunya yang belum terselesaikan, dan ia ingin tahu apakah perasaan itu masih ada.
Waktu berlalu begitu lambat. Dita mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan rumah, namun kenangan itu terus menghantuinya. Ia teringat saat pertama kali bertemu Raka di SMA—seorang siswa baru yang penuh pesona dengan senyum jahil yang membuat hati remajanya berdebar. Mereka dengan cepat menjadi dekat, berbagi tawa dan impian yang sama.
Mereka menghabiskan banyak waktu bersama, saling menguatkan saat menghadapi ujian dan merayakan kemenangan kecil dalam kehidupan remaja yang polos. Dita tak pernah lupa saat Raka dengan gugup menyatakan perasaannya di taman sekolah, di bawah pohon besar yang menjadi saksi cinta pertama mereka.
Namun, semua berubah ketika Raka mendapat beasiswa ke luar negeri. Keputusan itu menghancurkan hati Dita. Ia mencoba tegar, melepaskan Raka dengan senyuman palsu meski hatinya hancur berkeping-keping. Mereka berjanji untuk tetap berhubungan, namun waktu dan jarak memudarkan segalanya. Hingga pada akhirnya, mereka berhenti saling menyapa, dan Dita memilih melupakan cinta pertamanya itu.
Atau setidaknya ia mencoba melupakan.
Sore itu, Dita memutuskan untuk pergi ke taman tempat ia dan Raka biasa menghabiskan waktu. Langit cerah dan angin bertiup lembut, membawa aroma nostalgia yang menusuk hati. Ia duduk di bawah pohon besar itu, menatap langit yang luas. Tempat ini tidak banyak berubah. Semua terasa sama, seolah-olah waktu berhenti berputar di sini.
Air matanya mengalir tanpa ia sadari. Kenangan itu terlalu kuat, menghantam perasaannya tanpa ampun. Dita menggenggam erat cincin kawinnya, mencoba mengingat bahwa ia sudah menikah, bahwa hidupnya sekarang bersama Andi, bukan Raka. Namun, rasa rindu itu tak bisa ia bohongi. Ia merindukan masa-masa itu. Ia merindukan tawa Raka. Ia merindukan perasaan jatuh cinta yang begitu membara dan murni.
Sebuah pesan masuk di ponselnya, kali ini dari Raka secara pribadi. “Dita, sudah lama banget ya. Aku kangen sama kamu. Sampai ketemu di reuni, ya.”
Dita tertegun. Kata-kata itu begitu sederhana, namun cukup untuk menghancurkan benteng yang selama ini ia bangun di hatinya. Ia tahu, perasaan ini berbahaya. Ia tahu ia tidak seharusnya merasakan ini. Namun, hatinya tak bisa berbohong.
“Cinta pertama adalah luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Ia selalu berdarah saat tersentuh kenangan.”
Malam itu, Dita kembali berbaring di samping Andi yang telah terlelap. Ia menatap wajah suaminya yang terlihat damai dalam tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bahagia dengan hidupnya sekarang. Namun, bayangan Raka terus menghantuinya, mengingatkan bahwa ada sisa rasa yang belum tuntas di antara mereka.
Dita tahu ia sedang bermain api. Ia tahu keputusannya untuk datang ke reuni akan membawa konsekuensi yang tak terduga. Namun, hatinya terlalu lemah untuk melawan rasa penasarannya. Ia ingin tahu apakah Raka juga merasakan hal yang sama. Ia ingin tahu apakah api cinta itu masih menyala.
Dan dengan keputusan yang penuh resiko itu, Dita tak sadar bahwa ia baru saja membuka pintu untuk badai yang siap menghancurkan segalanya.
Bab 2: Api Lama yang Kembali Menyala
Hari reuni pun tiba. Dita berdiri di depan cermin, memperhatikan pantulan dirinya dengan seksama. Gaun sederhana berwarna biru muda yang membalut tubuhnya tampak anggun dan elegan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, dengan sedikit sentuhan gelombang di ujungnya. Ia ingin tampil biasa saja, namun tanpa sadar memilih gaun yang membuatnya terlihat lebih cantik dari biasanya.
“Aku berangkat dulu, Mas,” ujar Dita sambil mencium pipi Andi yang sedang duduk santai di ruang tamu.
Andi tersenyum hangat, “Hati-hati di jalan, sayang. Jangan pulang terlalu larut, ya.”
Dita mengangguk pelan dan tersenyum samar. Ada rasa bersalah yang menusuk hatinya. Andi begitu percaya padanya, tanpa sedikit pun curiga. Namun, hatinya dipenuhi dengan kecemasan dan kegelisahan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia tahu alasan sesungguhnya ia datang ke reuni ini bukan sekadar untuk bertemu teman-teman lama, tapi untuk bertemu Raka.
Perjalanan menuju tempat reuni terasa begitu lambat. Dita terus berpikir, membayangkan pertemuannya dengan Raka. Bagaimana reaksinya nanti? Apakah Raka akan tetap sama seperti dulu? Apakah ia juga masih menyimpan sisa rasa yang sama? Semua pertanyaan itu berkecamuk di benaknya.
Saat tiba di lokasi, suasana sudah ramai. Senyum dan tawa terdengar dari segala penjuru. Dita memasuki aula yang dihiasi dengan balon dan pita warna-warni, menciptakan suasana nostalgia yang hangat. Banyak wajah familiar yang menyambutnya dengan hangat. Beberapa teman lama menghampirinya, mengajaknya berbincang dan bernostalgia tentang masa-masa sekolah yang penuh kenangan.
Namun, matanya terus mencari satu sosok—Raka.
Hingga akhirnya, tatapannya bertemu dengan sosok itu. Raka berdiri di sudut ruangan, mengenakan kemeja putih yang rapi dengan senyum yang tak pernah berubah. Jantung Dita berdegup kencang. Raka terlihat lebih dewasa, lebih tampan, dan lebih mempesona dari yang ia ingat. Sosok itu berjalan mendekat, dengan langkah yang tenang dan percaya diri.
“Dita,” suara Raka begitu lembut namun mampu membuat dada Dita bergetar. “Lama nggak ketemu.”
Dita tersenyum, mencoba terlihat tenang meski hatinya kacau. “Iya, lama banget. Kamu nggak banyak berubah.”
Raka terkekeh pelan, “Kamu juga. Masih sama seperti yang dulu.”
Percakapan mereka berjalan canggung di awal, namun perlahan mencair saat mereka mulai membahas kenangan masa sekolah. Mereka tertawa mengingat kejadian konyol di kelas, guru killer yang sering menghukum mereka, dan janji manis yang pernah terucap di taman sekolah.
“Kamu ingat nggak, waktu kita kabur dari jam olahraga cuma buat nonton film di bioskop?” tanya Raka sambil tertawa lepas.
Dita tertawa kecil, “Iya, dan kita ketahuan sama Pak Arman. Kamu dihukum push-up sedangkan aku cuma disuruh nyapu kelas.”
Raka mengangguk, “Kamu memang selalu pintar cari alasan. Aku kangen masa-masa itu.”
Kalimat sederhana itu menghentikan tawa Dita. Ia menatap dalam-dalam ke mata Raka, mencari kejujuran di sana. Apakah Raka benar-benar merindukannya?
Waktu berlalu tanpa terasa. Musik nostalgia mengalun lembut di aula, membawa suasana hangat yang membuai perasaan. Dita dan Raka terus mengobrol, tak lagi peduli dengan keramaian di sekitar mereka. Dunia seakan hanya milik mereka berdua.
“Dita, kita ngobrol di luar aja, yuk. Di sini berisik,” ajak Raka dengan nada lembut.
Dita mengangguk tanpa berpikir panjang. Mereka berjalan keluar menuju taman di belakang aula, tempat yang lebih tenang dan jauh dari keramaian. Udara malam terasa sejuk, dan bintang-bintang bertebaran di langit gelap, menciptakan suasana yang begitu romantis.
Mereka duduk di bangku taman, diam sejenak menikmati keheningan yang menenangkan. Raka menatap langit, kemudian berkata dengan suara pelan, “Dita, aku nyesel waktu itu ninggalin kamu. Aku bodoh karena lebih memilih ambisi daripada kamu.”
Dita terdiam. Hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Ia selalu berpikir Raka pergi tanpa penyesalan, namun nyatanya pria itu juga terluka. “Aku kira kamu udah lupa sama aku,” ucap Dita pelan.
Raka menggeleng, “Mana mungkin aku bisa lupa sama cinta pertamaku?” Tatapan Raka begitu dalam, membuat Dita tak bisa mengalihkan pandangannya.
Jarak di antara mereka semakin dekat. Tanpa sadar, tubuh Dita bergerak mendekat, mengikuti perasaan yang tak bisa ia kendalikan. Raka mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Dita dengan lembut. “Dita, aku kangen banget sama kamu.”
Detik itu, waktu terasa berhenti. Hanya ada mereka berdua dan perasaan yang kembali bergejolak. Dita menutup matanya saat wajah Raka semakin dekat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut namun penuh gairah. Ciuman itu membawa mereka kembali ke masa lalu, pada kenangan manis yang tak pernah hilang.
Ciuman itu begitu dalam, menyapu semua rasa rindu yang selama ini terpendam. Dita tenggelam dalam pelukan Raka, melupakan semua yang seharusnya ia ingat. Melupakan kenyataan bahwa ia sudah menjadi istri Andi.
Setelah ciuman itu berakhir, mereka saling menatap dengan napas terengah-engah. Mata Raka terlihat penuh kehangatan, sementara mata Dita berkaca-kaca, bingung dengan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
“Aku… nggak boleh ngelakuin ini,” suara Dita bergetar.
Raka memegang tangan Dita erat, “Tapi ini yang kita mau, kan? Kita masih saling sayang.”
Dita tak mampu menjawab. Ia tahu perasaannya pada Raka belum sepenuhnya hilang. Ia tahu bahwa hatinya masih menyimpan cinta untuk pria itu. Namun, di saat yang sama, ia ingat Andi, suaminya yang selalu mencintainya tanpa syarat.
Dita berdiri, melepaskan genggaman tangan Raka. “Aku harus pergi.”
Raka mencoba menahan, “Dita, tunggu…”
Namun Dita sudah berlari, meninggalkan Raka yang berdiri mematung di taman yang sunyi. Air mata mengalir di pipinya, membasahi hatinya yang hancur. Ia sadar telah melangkah terlalu jauh, dan ia takut tak bisa kembali.
“Beberapa rasa memang tidak seharusnya kembali, karena ia datang hanya untuk melukai hati yang sudah tenang.”
Malam itu, Dita pulang dengan hati yang kacau. Ia telah membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup. Ia telah menghidupkan kembali api yang seharusnya padam. Dan ia takut, api itu akan membakar semuanya, termasuk pernikahannya yang terlihat sempurna.
Bab 3: Permulaan yang Terlarang
Pagi datang dengan sinar matahari yang menyelusup masuk melalui celah tirai kamar tidur. Dita terbangun dengan perasaan berat. Hatinya kacau balau setelah malam penuh gejolak emosi yang ia alami bersama Raka. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, berharap bisa menghapus kenangan ciuman itu, namun rasa manis dan hangat dari bibir Raka masih melekat jelas di benaknya.
Ia memandang Andi yang masih terlelap di sampingnya. Wajah suaminya terlihat damai dan polos, tanpa sedikit pun kecurigaan. Dita merasa dadanya sesak oleh rasa bersalah. Bagaimana bisa ia melakukan hal itu pada Andi? Suaminya yang selalu baik, setia, dan penuh perhatian. Suaminya yang tak pernah sekali pun membuatnya menangis. Tapi, mengapa hatinya tetap terpaut pada Raka?
Dita beranjak dari tempat tidur, berusaha mengumpulkan kembali sisa-sisa kewarasannya. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan rutinitas pagi seperti biasa. Membuat sarapan, menyeduh kopi untuk Andi, dan menyiapkan bekal makan siang. Namun, setiap kali ia mencoba melupakan, bayangan Raka terus menghantuinya. Senyum Raka, tatapan hangatnya, dan kata-kata lembutnya yang penuh kerinduan terngiang-ngiang di kepala Dita.
Saat sedang memotong roti, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak tercatat di kontaknya. Namun, ia tahu betul siapa pengirimnya.
“Pagi, Dita. Maaf kalau semalam aku terlalu terbawa perasaan. Tapi aku nggak bisa bohong, aku kangen banget sama kamu. Boleh kita ketemu lagi?” – Raka.
Jantung Dita berdetak kencang. Ia tak tahu harus merespon apa. Pesan itu begitu sederhana, namun cukup untuk membuat hatinya goyah. Ia tahu bahwa jika ia terus bertemu Raka, ia akan semakin terjerat dalam perasaan yang terlarang ini. Namun, perasaan rindunya begitu kuat, melebihi logika dan akal sehat yang ia miliki.
Tanpa sadar, Dita mengetik balasan, “Aku juga kangen. Tapi kita nggak boleh kayak gini, Rak.”
Tak lama, balasan dari Raka masuk, “Aku ngerti. Tapi bisakah kita ketemu sekali lagi aja? Aku cuma pengen ngobrol, nggak lebih.”
Dita terdiam, jari-jarinya gemetar. Ia tahu ini berbahaya. Ia tahu seharusnya ia menolak. Tapi hatinya terlalu lemah. “Oke. Sore ini di taman biasa?”
Raka segera membalas, “Oke. Aku tunggu.”
Setelah pesan itu terkirim, Dita merasa perutnya mual. Ia baru saja membuat janji dengan pria lain, di belakang suaminya. Ia tahu ini salah, tapi keinginannya untuk bertemu Raka terlalu kuat untuk dilawan.
Sore harinya, Dita berdiri di depan cermin, memperhatikan dirinya yang tampak gugup dan gelisah. Ia memilih pakaian yang sederhana, namun tetap terlihat anggun. Ia ingin terlihat biasa saja, namun tanpa sadar ia berdandan lebih rapi dari biasanya. Hatinya tak karuan, penuh keraguan dan rasa bersalah yang menghantui.
Saat keluar rumah, Andi sedang duduk di ruang tamu sambil membaca koran. Ia tersenyum saat melihat Dita, “Mau kemana, sayang?”
Dita terkejut, namun segera memasang senyum palsu, “Mau ketemu teman lama. Dia butuh bantuan soal kerjaan.”
Andi mengangguk percaya, tanpa sedikit pun curiga. “Hati-hati di jalan ya. Jangan pulang terlalu malam.”
“Iya, Mas. Aku pergi dulu,” jawab Dita dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan rasa bersalah yang semakin menyesakkan dadanya.
Saat tiba di taman, Raka sudah menunggu di bangku yang sama seperti saat mereka pertama kali menyatakan cinta di masa SMA. Ia berdiri sambil tersenyum saat melihat Dita datang. Senyuman yang dulu selalu membuat hati Dita bergetar.
“Hai,” sapa Raka dengan suara lembut.
“Hai,” balas Dita singkat, mencoba terlihat tenang meski hatinya berdebar kencang.
Mereka duduk berdampingan, awalnya dalam keheningan yang canggung. Namun, perlahan, mereka mulai berbicara tentang masa lalu, tentang kehidupan mereka sekarang, dan tentang kenangan yang masih membekas di hati masing-masing.
“Aku nggak pernah nyangka kita bisa ketemu lagi,” ucap Raka dengan suara pelan. “Dulu aku terlalu bodoh karena memilih pergi dan ninggalin kamu.”
Dita menunduk, memainkan jemarinya yang gugup. “Aku juga nggak pernah nyangka masih bisa ngerasain hal kayak gini lagi.”
Raka menatap Dita dalam-dalam, “Kamu tahu nggak, selama ini aku nyesel banget. Aku kira dengan pergi, aku bisa lupain kamu. Tapi ternyata, aku nggak pernah bisa.”
Dita terdiam. Kata-kata Raka begitu jujur dan dalam, membuat pertahanannya runtuh seketika. Ia merasa perasaannya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Ia bukan satu-satunya yang masih menyimpan sisa rasa.
Tanpa sadar, air mata mengalir di pipi Dita. “Aku juga nggak pernah bisa lupain kamu, Rak. Tapi sekarang semua udah beda. Aku udah nikah. Aku nggak bisa ninggalin Andi.”
Raka mendekat, menggenggam tangan Dita dengan lembut. “Aku ngerti. Tapi nggak bisa bohong, Dit. Aku masih sayang sama kamu.”
Hati Dita remuk. Ia tahu perasaannya salah, namun ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya masih bergetar saat bersama Raka. Saat Raka mendekat, Dita tak menolak. Mereka terdiam dalam jarak yang begitu dekat, saling menatap dengan rasa yang begitu dalam.
Ciuman itu terjadi begitu saja, tanpa bisa mereka cegah. Hangat dan penuh kerinduan yang terpendam. Ciuman itu membawa mereka kembali ke masa lalu, pada kenangan yang dulu terasa begitu manis. Dita tenggelam dalam kehangatan itu, melupakan semua logika dan kenyataan yang seharusnya ia ingat.
Setelah ciuman itu berakhir, Dita terisak pelan. Ia sadar telah melangkah terlalu jauh. Ia telah mengkhianati suaminya untuk kedua kalinya.
“Cinta terlarang adalah racun yang manis, membunuh perlahan namun nikmat di setiap tetesnya.”
Dita tak sanggup menatap Raka lagi. Ia berlari meninggalkan taman itu, meninggalkan Raka yang terpaku dalam kebingungan. Air mata mengalir deras, membawa rasa bersalah yang tak tertahankan. Ia tahu hubungan ini salah, namun hatinya tak bisa melepaskan Raka.
Dan saat malam tiba, Dita kembali berdiri di depan pintu rumah yang terlihat hangat dan damai. Ia mencoba tersenyum saat Andi menyambutnya dengan pelukan hangat. Namun hatinya menangis, terjebak dalam rasa bersalah yang tak terucapkan. Ia tahu bahwa permulaan yang terlarang ini hanya akan membawa kehancuran, namun ia tak bisa berhenti.
Bab 4: Kebohongan yang Mulai Tercium
Pagi datang dengan langit yang mendung, seolah mencerminkan hati Dita yang gelap dan kacau. Ia terbangun dengan perasaan bersalah yang semakin menghantui. Semalaman, bayangan Raka terus menghantui pikirannya, terutama ciuman yang penuh gairah dan kerinduan itu. Ia tahu seharusnya tak melakukan itu, tapi hatinya terlalu lemah untuk menolak.
Saat Dita turun ke ruang makan, Andi sudah duduk dengan raut wajah serius. Di hadapannya, secangkir kopi yang terlihat belum tersentuh dan koran yang masih terlipat rapi. Dita mencoba tersenyum, namun Andi tidak menyambutnya dengan senyuman seperti biasanya.
“Selamat pagi, Mas,” sapa Dita sambil mencoba bersikap biasa.
Andi mengangkat wajahnya, menatap Dita dengan tatapan penuh selidik. “Kamu kemarin pulang telat ya? Temanmu nggak papa?” tanyanya dengan nada datar.
Dita terkejut, namun segera mengendalikan ekspresinya. “Iya, Mas. Temanku curhat lama banget. Dia lagi ada masalah di kantornya,” jawab Dita, mencoba terdengar meyakinkan.
Andi hanya mengangguk, tapi tatapannya tak lepas dari wajah Dita. “Kamu kelihatan capek banget. Sakit?”
Dita menggeleng sambil tersenyum tipis, “Nggak kok, cuma kecapekan aja.”
Namun, Dita bisa merasakan bahwa Andi mulai curiga. Meski suaminya tak berkata apa-apa, tatapan mata Andi terasa berbeda. Lebih dalam, lebih tajam, dan penuh pertanyaan.
Selama beberapa hari berikutnya, Dita mencoba bersikap biasa, berusaha menutupi perasaannya. Namun, kebohongannya semakin hari semakin banyak. Ia terus berbohong setiap kali bertemu dengan Raka secara diam-diam. Pertemuan yang awalnya hanya untuk ngobrol, kini berubah menjadi pelarian yang penuh gairah dan kerinduan.
Mereka bertemu di kafe yang tersembunyi, di sudut kota yang jarang dikunjungi orang. Tempat itu menjadi saksi bisu percakapan mereka yang penuh nostalgia, pelukan hangat yang membakar rasa rindu, dan ciuman yang semakin dalam dan menggairahkan. Dita tahu hubungannya dengan Raka salah, namun ia tak bisa menghentikannya. Ia terlalu terlena dalam kenikmatan cinta terlarang yang semakin menguasai hatinya.
Suatu malam, saat Dita pulang terlambat lagi, Andi sudah menunggunya di ruang tamu. Wajahnya terlihat tegang dan serius.
“Kamu dari mana, Dit?” tanya Andi dengan nada datar namun terdengar tajam di telinga Dita.
Dita terkejut, namun segera memasang senyum palsu. “Aku ketemu teman lama lagi, Mas. Dia lagi ada masalah rumah tangga, jadi curhat lama.”
Andi mengangguk pelan, namun ekspresinya tak berubah. Ia bangkit dari kursinya, mendekat ke arah Dita. “Sering banget ya ketemu teman lama. Kamu nggak bohong kan?”
Pertanyaan itu menusuk hati Dita. Ia mencoba tetap tenang, namun tatapan mata Andi begitu tajam dan penuh selidik. “Nggak, Mas. Aku nggak bohong. Emang ada apa sih?”
Andi terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata-katanya. “Kamu udah nggak sayang sama aku?”
Dita terpaku. Pertanyaan itu begitu mendadak dan menyakitkan. Ia melihat kesedihan yang mendalam di mata Andi, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. “Mas, kok ngomong gitu sih? Aku masih sayang sama kamu,” jawab Dita pelan, mencoba meyakinkan.
Namun Andi menggeleng, “Aku ngerasa kamu berubah, Dit. Kamu jadi sering melamun, sering pulang terlambat, dan… kamu jadi lebih jauh.”
Dada Dita terasa sesak. Ia tahu Andi mulai curiga, namun ia tak bisa mengakui kebenaran yang sebenarnya. Ia terlalu takut kehilangan Andi, meski hatinya masih terpaut pada Raka.
“Aku cuma lagi kecapekan aja, Mas. Kerjaan di kantor lagi numpuk,” alasan Dita, berusaha terlihat meyakinkan.
Andi tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menghela napas panjang dan berjalan masuk ke kamar tanpa menoleh lagi pada Dita. Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka tidur tanpa saling menyentuh dan tanpa kata-kata selamat malam.
Hari-hari berlalu dalam kegelisahan yang semakin menyesakkan. Dita terus bertemu dengan Raka secara diam-diam, berusaha mencari pelarian dari kekosongan yang ia rasakan di rumah. Setiap kali ia bersama Raka, ia merasa hidupnya kembali berwarna. Raka membuatnya tertawa, membuatnya merasa dicintai dengan cara yang berbeda. Api cinta lama itu semakin menyala, membakar logika dan akal sehat yang seharusnya ia miliki.
Namun, Andi semakin curiga. Ia mulai diam-diam memeriksa ponsel Dita saat istrinya tertidur. Ia memperhatikan Dita yang semakin sering tersenyum sendiri saat membaca pesan, sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Kecurigaannya semakin kuat saat ia menemukan parfum pria di baju Dita—parfum yang bukan miliknya.
Suatu malam, Andi memutuskan untuk mengikuti Dita saat istrinya pamit bertemu teman lama lagi. Hatinya berdebar, takut menghadapi kenyataan yang mungkin menyakitkan. Ia mengikuti mobil Dita dari kejauhan, hingga tiba di sebuah kafe yang terpencil. Dari kejauhan, Andi melihat Dita masuk ke dalam kafe dan disambut oleh seorang pria yang terlihat akrab. Pria itu memeluk Dita dengan erat, dan Dita membalas pelukan itu dengan senyuman yang begitu manis.
Andi merasa dunianya runtuh. Hatinya hancur berkeping-keping saat melihat istrinya tertawa dan terlihat begitu bahagia di pelukan pria lain. Ia ingin marah, ingin menghampiri mereka dan menanyakan semua kebenaran yang menyakitkan ini. Namun kakinya terasa lemah, tubuhnya gemetar menahan amarah dan kesedihan yang begitu dalam.
Andi memilih untuk pergi, pulang dengan hati yang hancur. Ia tak pernah menyangka bahwa wanita yang selama ini ia cintai dengan setia, ternyata menyimpan rahasia yang begitu menyakitkan. Ia merasa dikhianati, dan hatinya terluka lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan.
“Kebohongan adalah pisau bermata dua. Ia melukai yang dibohongi dan membunuh pelan-pelan yang berbohong.”
Saat tiba di rumah, Andi duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu yang belum terbuka. Ia menunggu Dita pulang, namun hatinya sudah tak sama lagi. Kepercayaan yang selama ini ia berikan sepenuh hati, kini hancur tanpa sisa.
Dan saat Dita pulang dengan senyuman palsu dan kebohongan yang semakin dalam, Andi hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong. Ia tak ingin berdebat, tak ingin berteriak. Ia hanya merasa hancur, dan tak tahu harus bagaimana lagi.
Malam itu, mereka tidur dalam kebisuan yang mencekam. Dita tak menyadari bahwa Andi sudah tahu segalanya, dan Andi tak ingin mengakui bahwa hatinya sudah hancur berkeping-keping.
Bab 5: Pertemuan yang Tak Terduga
Hari itu hujan turun dengan deras, membasahi jalanan yang penuh genangan air. Langit kelabu dan suara gemuruh petir sesekali menggelegar, menambah suasana muram di hati Dita. Ia berdiri di depan jendela kantornya, memandangi tetesan hujan yang jatuh tanpa henti. Pikirannya melayang pada Andi yang semakin dingin dan pendiam dalam beberapa hari terakhir.
Dita tahu Andi mulai curiga, tapi ia tak bisa menghentikan perasaannya pada Raka. Ia sudah mencoba untuk mengakhiri semuanya, namun perasaan itu terlalu kuat. Setiap kali ia mencoba menjauh, Raka selalu tahu cara untuk menariknya kembali. Hubungan mereka sudah terlalu dalam, terlalu penuh gairah, hingga sulit untuk dilepaskan.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Raka, “Aku kangen. Ketemu sekarang bisa?”
Dita menatap pesan itu lama, hatinya berperang antara rasa bersalah dan kerinduan yang begitu kuat. Ia tahu seharusnya tak melanjutkan semua ini, tapi ia juga tak bisa membohongi perasaannya. Setelah berpikir sejenak, Dita mengetik balasan, “Oke. Di kafe biasa?”
Raka segera membalas, “Aku tunggu di sana.”
Hujan belum berhenti saat Dita tiba di kafe tempat mereka biasa bertemu. Kafe itu tersembunyi di sudut kota, jauh dari keramaian dan pandangan orang-orang yang mereka kenal. Tempat yang aman untuk menjalani hubungan terlarang mereka.
Saat Dita masuk, Raka sudah menunggunya di meja pojok, dengan senyum hangat yang selalu membuat hatinya bergetar. Pria itu berdiri dan menyambutnya dengan pelukan erat, seolah-olah mereka tak bertemu selama bertahun-tahun.
“Aku kangen banget sama kamu, Dit,” bisik Raka lembut di telinga Dita.
Dita menghela napas panjang, mencoba mengenyahkan rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. “Aku juga kangen, Rak. Tapi kita nggak bisa terus kayak gini.”
Raka menatap Dita dengan mata yang sendu, “Kenapa nggak bisa? Kita saling sayang, kan?”
Dita terdiam. Ya, mereka saling mencintai, tapi cinta mereka adalah dosa yang tak bisa dimaafkan. Ia terjebak dalam rasa cinta dan rasa bersalah yang terus menghantui.
Tiba-tiba, suara bel pintu kafe berbunyi. Dita tak terlalu memperhatikan hingga sosok yang masuk membuatnya membeku. Jantungnya berdegup kencang saat melihat Andi berdiri di depan pintu, dengan wajah yang terlihat terkejut dan marah.
Dunia Dita seakan runtuh saat tatapan Andi bertemu dengan matanya. Andi berdiri kaku, menatap Dita yang duduk bersama Raka di sudut ruangan. Mata Andi berkaca-kaca, seolah tak percaya pada apa yang dilihatnya.
“Andi…” suara Dita bergetar. Ia ingin menjelaskan, tapi tak ada kata-kata yang bisa menghapus kenyataan yang begitu jelas di depan mata.
Raka terkejut, menatap Andi dan kemudian melihat ekspresi panik di wajah Dita. “Ini… suami kamu?” tanyanya pelan.
Dita mengangguk, tubuhnya gemetar. “Andi… aku bisa jelasin…”
Namun, Andi tak memberi kesempatan. Ia berjalan mendekat, langkahnya mantap meski wajahnya terlihat hancur. “Jadi ini alasan kamu selalu pulang terlambat?” suaranya terdengar dingin, tanpa emosi. “Ini alasan kamu sering melamun dan jauh dari aku?”
Dita berdiri, air matanya mengalir deras. “Mas, aku bisa jelasin…”
“Jelaskan apa, Dit?” Andi memotong dengan suara yang semakin meninggi. “Jelaskan kalau kamu selingkuh di belakangku? Jelaskan kenapa kamu menghancurkan pernikahan kita?”
Orang-orang di kafe mulai memperhatikan, tapi Andi tak peduli. Ia sudah terlalu terluka untuk memikirkan harga dirinya.
Dita menangis, tubuhnya lemas tak berdaya. “Maaf, Mas… Maaf… Aku…”
Andi menggeleng, matanya memerah menahan amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. “Maaf? Kamu pikir kata maaf bisa memperbaiki semua ini?”
Raka mencoba menenangkan, “Mas, tenang dulu. Kami…”
“Diam kamu!” Andi memotong dengan tajam. “Kamu nggak berhak ngomong apa-apa. Kamu yang merusak rumah tangga kami!”
Raka tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa diam dengan wajah penuh penyesalan.
Andi menatap Dita dengan tatapan yang dalam dan terluka. “Aku nggak nyangka, Dit. Aku nggak nyangka kamu setega ini.”
Dita terisak, mencoba menyentuh Andi, namun pria itu mundur selangkah, menolak sentuhannya. “Jangan sentuh aku!” bentak Andi. “Kamu udah kotor, Dit. Kamu udah nyakitin aku lebih dari yang bisa kubayangin.”
Dita merasa hancur. Kata-kata Andi menusuk hatinya dengan kejam. Ia tahu ia salah, namun tak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaikinya.
Andi menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. “Aku pergi. Selamat menikmati hidup kamu dengan dia,” katanya dengan suara pelan namun penuh kebencian.
Tanpa menoleh lagi, Andi berjalan keluar dari kafe dengan langkah berat. Hujan masih deras di luar, seakan menggambarkan kesedihan yang dirasakan Andi.
Dita jatuh terduduk, tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Ia menangis keras, tanpa peduli pada tatapan orang-orang di sekitarnya. Raka memeluknya, mencoba menenangkan meski ia tahu semuanya sudah hancur.
“Kebenaran selalu menemukan jalannya, bahkan di antara kebohongan yang terjalin rapi.”
Malam itu, Dita pulang ke rumah yang terasa kosong dan dingin. Andi tak ada di sana. Hanya ada kesunyian yang mencekam dan rasa bersalah yang menghantui setiap sudut rumah. Ia merasa kehilangan segalanya—cinta, kepercayaan, dan kebahagiaan yang selama ini ia miliki.
Dita duduk di lantai ruang tamu, menangis dalam kesendirian yang menyakitkan. Ia tahu tak ada yang bisa menghapus luka yang telah ia buat. Ia tahu bahwa semuanya tak akan pernah sama lagi.
Dan di luar sana, Andi berjalan dalam hujan deras, membawa hati yang hancur dan kepercayaan yang telah dikhianati. Cinta yang dulu begitu indah, kini berubah menjadi kepedihan yang menusuk.
Bab 6: Pertarungan Batin Dita
Dita terduduk di lantai ruang tamu yang dingin dan sunyi. Rumah yang biasanya hangat dan penuh tawa, kini terasa kosong dan sunyi. Pikirannya terus dipenuhi bayangan wajah Andi yang penuh kesakitan dan amarah. Tatapan mata suaminya yang penuh kekecewaan tak bisa ia lupakan.
Air mata mengalir deras di pipinya, tanpa bisa ia hentikan. Ia merasa begitu hancur, terjebak dalam rasa bersalah yang begitu dalam. Semua kebahagiaan yang selama ini ia miliki seakan lenyap dalam sekejap. Andi telah pergi, meninggalkan kekosongan yang menyakitkan di hatinya.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Raka. “Dita, kamu baik-baik aja? Aku khawatir.”
Dita menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ia mencintai Raka, namun di saat yang sama, ia membenci dirinya sendiri karena perasaan itu. Raka adalah kenangan masa lalu yang seharusnya tak ia hidupkan kembali. Namun, kenangan itu terlalu kuat, terlalu manis, hingga ia tak bisa menolaknya.
Tangannya gemetar saat mengetik balasan, “Aku nggak baik-baik aja, Rak. Semua hancur.”
Tak butuh waktu lama bagi Raka untuk membalas, “Boleh aku datang? Aku nggak mau kamu sendirian.”
Dita menghela napas panjang. Ia ingin Raka ada di sisinya, namun ia juga tahu kehadiran pria itu hanya akan memperburuk segalanya.
“Nggak usah, Rak. Aku butuh waktu sendiri.”
Setelah pesan itu terkirim, Dita mematikan ponselnya dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Ia terjebak dalam pertarungan batin yang begitu menyiksa. Hatinya mencintai Raka, namun pikirannya dipenuhi rasa bersalah pada Andi.
Beberapa hari berlalu dalam kehampaan. Andi tak pulang ke rumah dan tak memberi kabar sama sekali. Dita mencoba menghubungi, namun semua panggilannya tak pernah dijawab. Hatinya semakin hancur, merasa ditinggalkan dan dihukum atas kesalahannya sendiri.
Suatu hari, Dita memutuskan untuk menemui Andi di kantornya. Ia tahu ia harus meminta maaf, harus menjelaskan semuanya, meski ia tahu penjelasannya tak akan mengubah apapun.
Saat tiba di kantor Andi, Dita diterima oleh sekretaris suaminya yang terlihat canggung dan ragu-ragu. “Maaf, Bu Dita… Pak Andi sedang tidak ingin diganggu.”
Dita tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menghantam hatinya. “Tolong bilang ke Andi, aku cuma mau bicara sebentar. Kumohon.”
Sekretaris itu terlihat ragu, namun akhirnya mengangguk dan masuk ke ruangan Andi. Tak lama kemudian, ia keluar dengan wajah menyesal. “Maaf, Bu. Pak Andi bilang beliau nggak mau bertemu siapa pun saat ini.”
Hati Dita remuk seketika. Ia tahu Andi sangat marah, namun tak pernah menyangka bahwa suaminya akan mengabaikannya sepenuhnya. Ia berdiri kaku di depan pintu kantor Andi, berharap pria itu berubah pikiran dan keluar menemuinya. Namun harapannya sia-sia. Andi tak pernah keluar, bahkan tak melirik ke arahnya sedikit pun.
Dita pulang dengan hati yang hancur. Ia merasa terbuang dan tak berarti lagi. Semua kebahagiaan yang dulu ia miliki bersama Andi kini terasa jauh dan mustahil untuk kembali.
Di rumah, Dita duduk di tepi ranjang dengan mata yang kosong. Ia memandangi foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Foto yang menampilkan senyuman bahagia dan tatapan penuh cinta dari Andi. Foto yang kini terasa begitu menyakitkan untuk dilihat.
Hatinya dipenuhi penyesalan yang mendalam. Ia menyesali semua kebohongan yang ia buat, semua janji yang ia khianati, dan semua cinta yang ia sia-siakan. Ia terjebak dalam hubungan terlarang dengan Raka, tanpa pernah menyadari bahwa kebahagiaan itu hanya semu.
Tangisannya pecah. Ia merasa begitu bodoh dan egois. Ia telah menghancurkan pernikahan yang indah dengan tangannya sendiri. Ia telah mengkhianati pria yang mencintainya dengan tulus dan setia.
Saat malam tiba, Dita duduk di ruang tamu, menunggu Andi pulang dengan harapan yang tipis. Setiap kali mendengar suara mobil lewat, hatinya berdebar penuh harap. Namun, Andi tak pernah datang.
Dita tak bisa tidur. Bayangan wajah Andi yang penuh kekecewaan terus menghantuinya. Ia teringat saat pertama kali bertemu dengan Andi—seorang pria sederhana yang penuh perhatian dan selalu membuatnya tertawa. Andi yang selalu ada untuknya dalam suka dan duka. Andi yang mencintainya tanpa syarat.
Dita menangis lagi, menyadari betapa berharganya Andi dalam hidupnya. Ia ingin memperbaiki semuanya, ingin meminta maaf dan memohon pada Andi untuk memberinya kesempatan kedua. Namun, ia takut Andi sudah tak bisa memaafkannya.
Dan saat pagi datang, Dita tetap terjaga dengan mata yang sembab dan hati yang hancur. Ia tahu hidupnya tak akan pernah sama lagi. Ia tahu bahwa semua ini adalah akibat dari kesalahan dan kebohongan yang ia buat sendiri.
Dalam keputusasaan yang mendalam, Dita merasa terjebak dalam penyesalan yang tak berujung. Ia terjebak dalam cinta terlarang yang kini menghancurkan segalanya. Dan ia tahu bahwa ia mungkin akan kehilangan Andi selamanya.
“Cinta yang terlarang tak pernah membawa kebahagiaan, hanya penyesalan yang abadi.”
Bab 7: Pengakuan yang Menyakitkan
Hari itu langit mendung, seolah turut berduka atas hati yang terluka. Dita duduk di ruang tamu, menunggu dengan gelisah. Ia tahu hari ini adalah hari yang berat. Hari di mana ia harus mengakui segalanya pada Andi, tanpa menyembunyikan kebohongan lagi. Ia sudah lelah hidup dalam kepalsuan, dan ia tahu satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah dengan mengatakan yang sebenarnya, meski itu akan menghancurkan semuanya.
Suara mobil terdengar dari luar. Jantung Dita berdegup kencang saat melihat Andi keluar dari mobil dengan wajah letih dan muram. Pria itu masuk ke dalam rumah tanpa berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya dingin dan kosong, seolah tak lagi mengenali Dita.
“Andi… kita perlu bicara,” suara Dita bergetar saat memanggil suaminya.
Andi berhenti sejenak, kemudian menatap Dita dengan ekspresi datar. “Apa yang mau kamu omongin?”
Dita menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. “Aku… Aku mau jujur, Mas.”
Andi menghela napas panjang, seolah sudah tahu arah pembicaraan ini. Ia berjalan ke ruang tamu dan duduk di sofa tanpa mengalihkan pandangannya dari Dita. “Akhirnya kamu mau jujur juga.”
Dita terduduk di hadapan Andi dengan tubuh yang gemetar. Hatinya terasa remuk saat melihat tatapan dingin dan penuh kebencian di mata suaminya. Ia ingin menggapai tangan Andi, namun tangannya terasa kaku dan beku.
“Aku… Aku minta maaf, Mas…” suara Dita nyaris tak terdengar. “Aku… Aku selingkuh sama Raka.”
Andi tertawa pahit, tawa yang terdengar menyakitkan dan penuh kepedihan. “Akhirnya kamu ngaku juga.”
Dita tertegun, “Mas… Kamu… Kamu udah tau?”
Andi mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Aku udah lama curiga, Dit. Semua kebohonganmu, semua alasanmu yang nggak masuk akal… Aku udah lama tau. Tapi aku terus berharap kamu bakal jujur. Aku terus berharap semua cuma perasaanku aja.”
Air mata mengalir deras di pipi Dita. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa bersalah yang menghancurkan hatinya. “Maaf, Mas… Maaf… Aku nggak pernah bermaksud buat nyakitin kamu.”
Andi tertawa lagi, namun kali ini tawanya terdengar getir. “Nggak pernah bermaksud nyakitin aku? Kamu udah nyakitin aku lebih dari yang bisa kamu bayangin, Dit.”
Dita merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Andi. Ia tahu ia telah menghancurkan hati pria yang mencintainya dengan setia. Ia tahu ia telah mengkhianati kepercayaan yang selama ini diberikan tanpa syarat.
“Aku… Aku masih sayang sama kamu, Mas. Aku bener-bener nyesel,” suara Dita bergetar.
Andi menatap Dita dengan tatapan tajam, penuh kemarahan dan kekecewaan. “Sayang? Kalau kamu bener-bener sayang, kenapa kamu selingkuh di belakangku? Kenapa kamu milih buat nyakitin aku kayak gini?”
Dita terisak, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang menyayat hati. “Aku… Aku nggak bisa bohong, Mas. Aku masih cinta sama Raka. Tapi… aku juga cinta sama kamu.”
Tatapan Andi semakin dingin. “Cinta? Kamu pikir cinta itu kayak mainan yang bisa dibagi-bagi gitu aja?”
Dita tak bisa menjawab. Ia tahu cintanya pada Raka dan Andi tak bisa dijelaskan dengan logika. Ia terjebak dalam perasaan yang begitu rumit dan menghancurkan segalanya.
Andi berdiri dengan wajah penuh kemarahan. “Kamu tahu nggak, Dit? Kamu udah ngancurin semua yang udah kita bangun selama ini. Semua kenangan kita, semua impian kita… Semua udah hancur karena kebohonganmu.”
Dita berusaha berdiri dan meraih tangan Andi, namun pria itu menepisnya dengan kasar. “Jangan sentuh aku! Aku muak sama kamu, Dit. Aku muak sama semua kebohonganmu.”
Air mata Dita mengalir semakin deras. “Mas… Kumohon… Aku masih sayang sama kamu… Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Andi menatap Dita dengan ekspresi penuh kepedihan. “Kamu udah kehilangan aku sejak kamu milih buat selingkuh sama dia.”
Kata-kata itu menghantam Dita seperti pisau tajam yang menusuk jantungnya. Ia jatuh terduduk di lantai, tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Ia tahu semuanya telah berakhir. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan yang menyakitkan ini.
Andi menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. “Aku udah coba buat memaafkanmu, Dit. Tapi setiap kali aku ngelihat wajahmu, aku cuma bisa ngebayangin kamu sama dia. Aku nggak bisa lagi ngelihatmu dengan cara yang sama.”
Dita menangis keras, hatinya remuk mendengar kata-kata Andi yang begitu menyakitkan. Ia tahu ia telah menghancurkan kepercayaan yang selama ini dijaga dengan begitu baik. Ia tahu ia telah kehilangan pria yang mencintainya dengan tulus.
Andi berjalan menuju pintu dengan langkah yang berat. “Aku pergi. Jangan cari aku lagi, Dit. Aku butuh waktu buat ngelupain semua ini.”
Dita mencoba bangkit dan mengejar Andi, namun tubuhnya terlalu lemas untuk bergerak. Ia hanya bisa menangis dan memohon, “Mas… Kumohon… Jangan pergi…”
Namun Andi tak menoleh lagi. Ia pergi meninggalkan rumah yang dulu penuh cinta dan tawa, meninggalkan Dita yang terjatuh dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam.
Saat pintu tertutup dengan keras, Dita merasa seluruh dunianya runtuh. Ia telah kehilangan segalanya—cinta, kepercayaan, dan pernikahan yang begitu ia sayangi.
“Kadang, kata maaf tak cukup untuk memperbaiki hati yang sudah hancur berkeping-keping.”
Malam itu, Dita menangis sendirian di rumah yang kini terasa begitu kosong. Ia menatap foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding, mengenang senyuman bahagia yang kini tinggal kenangan. Ia tahu tak ada jalan untuk kembali. Ia tahu ia telah menghancurkan segalanya dengan kebohongannya sendiri.
Dan di luar sana, Andi berjalan sendirian dalam kegelapan malam, membawa hati yang hancur dan cinta yang dikhianati. Cinta yang dulu begitu indah, kini berubah menjadi luka yang dalam dan tak terobati.
Dita tahu ini adalah akhir dari segalanya. Dan penyesalan itu akan terus menghantuinya sepanjang hidup.
Bab 8: Keputusan Raka yang Mengejutkan
Dita terduduk di ruang tamu dengan tubuh yang lemas dan mata yang bengkak akibat tangisan yang tak henti sejak Andi pergi. Hari-hari terasa begitu panjang dan menyiksa tanpa kehadiran suaminya. Rumah yang dulu penuh kehangatan kini terasa sunyi dan hampa.
Ia menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Andi, namun semua panggilannya tak pernah dijawab. Pesan-pesan yang ia kirim pun tak pernah dibalas. Andi seakan menghilang begitu saja dari hidupnya, meninggalkan luka dan penyesalan yang tak bisa sembuh.
Suara bel pintu memecah keheningan. Dita segera berdiri, berharap Andi pulang dan mau mendengarkan penjelasannya. Namun saat pintu terbuka, yang berdiri di sana adalah Raka dengan wajah khawatir.
“Dita… Kamu baik-baik aja?” tanya Raka sambil mengamati wajah Dita yang terlihat lelah dan kusut.
Dita menghela napas panjang. Ia tak bisa menyalahkan Raka atas semua yang terjadi, namun kehadiran pria itu membuat rasa bersalahnya semakin dalam. “Masuklah, Rak…” ucap Dita pelan, mengizinkan Raka masuk ke dalam rumah yang terasa dingin dan kosong.
Raka duduk di sofa dan menatap Dita dengan penuh penyesalan. “Aku dengar semuanya dari teman. Aku… Aku nggak nyangka Andi bakal tau secepat itu.”
Dita tersenyum pahit. “Cepat atau lambat, kebenaran emang nggak bisa disembunyiin selamanya.”
Raka menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku minta maaf, Dit. Aku nggak bermaksud buat ngancurin rumah tangga kamu.”
Dita tersenyum getir, air matanya kembali mengalir. “Ini bukan salah kamu, Rak. Aku yang bodoh karena milih buat selingkuh. Aku yang egois karena ngebiarin perasaan ini tumbuh lagi.”
Suasana hening sejenak. Keduanya tenggelam dalam rasa bersalah yang membebani hati.
Raka mendekat dan menggenggam tangan Dita dengan lembut. “Dita… Aku masih sayang sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Dita terdiam, hatinya bergetar mendengar kata-kata Raka yang begitu jujur. Ia tahu perasaannya pada Raka masih ada, namun bayangan Andi yang terluka terus menghantui pikirannya. “Tapi, Rak… Semua ini salah. Cinta kita salah.”
Raka menggeleng, “Cinta nggak pernah salah, Dit. Yang salah adalah cara kita memulainya.”
Dita menatap mata Raka yang penuh kehangatan. Untuk sesaat, ia merasakan kenyamanan yang sama seperti dulu. Ia ingin percaya bahwa mereka bisa memperbaiki semuanya dan memulai dari awal. Namun hatinya terus diliputi rasa bersalah pada Andi.
“Aku udah nggak tau harus gimana, Rak. Andi ninggalin aku. Dia benci sama aku. Dan semua ini salahku,” suara Dita bergetar saat mengatakan itu.
Raka mengusap pipi Dita yang basah oleh air mata. “Aku nggak bakal ninggalin kamu, Dit. Aku bakal ada di sampingmu. Aku bakal nemenin kamu ngelewatin semua ini.”
Hati Dita terasa hangat mendengar janji Raka. Untuk sesaat, ia merasa tak sendirian lagi. Namun, di saat yang sama, perasaan bersalah semakin menghantui. Ia telah menghancurkan hidup Andi demi cintanya pada Raka. Ia telah mengkhianati suaminya yang tak pernah berhenti mencintainya.
Saat malam semakin larut, Raka masih menemani Dita di rumah. Mereka berbicara panjang lebar, mengingat kenangan masa lalu dan mencoba mencari jalan keluar dari kekacauan yang mereka ciptakan.
Namun saat Raka hendak pulang, ia berhenti sejenak di depan pintu dan menatap Dita dalam-dalam. “Dita… Aku tahu semua ini sulit. Tapi kalau kamu mau, kita bisa mulai dari awal lagi. Aku siap buat ngelamar kamu dan ngebangun hidup yang baru sama kamu.”
Dita terpaku. Ia tak pernah menyangka Raka akan mengajaknya menikah di saat hidupnya masih berantakan. “Rak… Aku… Aku nggak tau…”
Raka tersenyum lembut, “Aku nggak maksa kamu buat jawab sekarang. Aku cuma mau kamu tau kalau aku serius sama kamu. Aku mau tanggung jawab atas semua kekacauan ini.”
Dita merasa hatinya remuk. Di satu sisi, ia merasa bahagia karena Raka mencintainya dengan begitu tulus. Namun di sisi lain, ia merasa bersalah karena Andi belum memberikan keputusan apapun tentang pernikahan mereka.
Setelah Raka pergi, Dita terjatuh di sofa dan menangis tanpa suara. Ia terjebak dalam pilihan yang begitu sulit—melanjutkan hidup dengan Raka dan melupakan Andi, atau berusaha memperbaiki pernikahannya yang sudah hancur.
Keesokan harinya, Dita mencoba menghubungi Andi lagi. Namun seperti biasa, suaminya tak pernah menjawab. Ia tak menyerah. Ia pergi ke rumah orang tua Andi, berharap bisa bertemu dan berbicara dari hati ke hati.
Saat tiba di sana, ia disambut oleh ibu mertua yang terlihat canggung. “Dita… Andi nggak ada di sini. Dia bilang nggak mau ketemu kamu dulu.”
Hati Dita semakin hancur. Ia tahu Andi sangat marah dan terluka, namun ia tak menyangka suaminya akan membencinya sampai sejauh ini. “Tolong bilang ke Andi… Aku cuma mau minta maaf. Aku cuma mau dia dengerin penjelasanku…”
Ibu mertua menghela napas panjang, tatapannya terlihat sedih dan kecewa. “Dita, ibu sayang sama kamu. Tapi apa yang kamu lakuin udah nyakitin Andi lebih dari yang bisa dia tahan. Kamu udah ngancurin hatinya.”
Air mata Dita kembali mengalir. Ia tahu semua ini adalah akibat dari kesalahannya sendiri. Ia tahu ia mungkin tak akan pernah bisa memperbaikinya.
Saat pulang ke rumah, Dita terdiam di depan pintu. Rumah yang dulu terasa hangat kini hanya menyisakan kesunyian yang menusuk hati. Ia tak pernah merasa kesepian seperti ini. Ia tak pernah merasa sebodoh ini.
Malam itu, Dita termenung sendirian di ruang tamu yang gelap. Ia teringat semua kenangan indah bersama Andi—tawa, pelukan hangat, dan janji untuk saling mencintai selamanya. Ia menyadari betapa bodohnya ia telah mengkhianati cinta yang begitu tulus.
Dan saat ponselnya bergetar, sebuah pesan dari Raka masuk, “Aku siap menunggumu, Dit. Sampai kamu siap buat memulai hidup baru sama aku.”
Dita menangis lagi. Ia terjebak dalam cinta yang terlarang dan perasaan bersalah yang tak terhapuskan. Ia tahu tak ada jalan keluar yang mudah dari semua ini. Dan ia takut, ia akan kehilangan keduanya—Andi dan Raka.
“Takdir selalu punya cara untuk mengajarkan arti kehilangan pada mereka yang tak pernah menghargai.”
Bab 9: Kehilangan yang Tak Terhindarkan
Hujan deras mengguyur kota malam itu. Langit gelap dan suara gemuruh petir membuat suasana semakin mencekam. Dita duduk di depan jendela kamar, menatap tetesan air yang mengalir deras di kaca. Hatinya terasa hampa, seakan telah kehilangan segala harapan yang ia miliki.
Sudah berminggu-minggu sejak Andi pergi meninggalkannya. Tak ada kabar, tak ada pesan, bahkan tak ada satu pun telepon yang diangkat. Dita merasa seperti hidup dalam penantian yang menyiksa. Ia merindukan Andi, merindukan senyum hangat suaminya yang selalu menyambutnya saat pulang ke rumah. Namun, ia tahu kehadiran Andi tak akan pernah sama lagi.
Suara dering ponsel memecah keheningan. Nama Raka tertera di layar, namun Dita ragu untuk menjawab. Setelah beberapa saat, ia mengangkat telepon itu dengan suara lemah, “Halo…”
“Dita, kamu di rumah?” suara Raka terdengar penuh kekhawatiran.
“Iya… Aku di rumah,” jawab Dita singkat.
“Aku mau ketemu. Kita perlu bicara,” ucap Raka tegas.
Dita menghela napas panjang. Ia lelah dengan semua kekacauan ini, namun ia tahu ia tak bisa menghindari Raka selamanya. “Oke… Datang aja ke rumah.”
Tak lama kemudian, Raka tiba dengan wajah tegang dan penuh keseriusan. Ia masuk ke dalam rumah yang gelap dan sepi. Dita berdiri di ambang pintu, terlihat lelah dan rapuh. “Masuklah…”
Mereka duduk di ruang tamu yang sunyi. Dita menunduk, tak sanggup menatap mata Raka yang penuh penyesalan. Raka menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Dita, aku nggak bisa lanjut kayak gini.”
Dita terkejut. Ia mengangkat wajahnya, menatap Raka dengan ekspresi bingung. “Maksud kamu apa?”
Raka terlihat bimbang, namun ia mencoba tetap tenang. “Aku nggak bisa terus-terusan jadi orang ketiga dalam hidupmu. Aku nggak bisa terus nyakitin kamu dan Andi.”
Dita merasa jantungnya berdetak kencang. Ia tak menyangka Raka akan berkata seperti itu. “Rak… Aku butuh kamu…”
Raka menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Nggak, Dit. Kamu nggak butuh aku. Kamu cuma lagi bingung. Kamu kehilangan Andi, dan aku cuma pelarianmu.”
Dita terdiam. Kata-kata Raka terasa begitu menyakitkan namun penuh kebenaran. Ia tahu ia tak pernah benar-benar bisa melupakan Andi. Ia tahu hatinya masih terikat pada suaminya, meski ia juga mencintai Raka.
Raka berdiri, berjalan mendekati Dita dan menggenggam tangan wanita itu dengan lembut. “Aku sayang sama kamu, Dit. Tapi aku nggak bisa terus-terusan jadi alasan kamu kehilangan Andi.”
Air mata mengalir deras di pipi Dita. “Jadi… kamu mau ninggalin aku?”
Raka menghela napas berat. “Aku nggak mau ninggalin kamu. Tapi aku juga nggak mau nyakitin kamu lagi. Selama kamu masih cinta sama Andi, aku nggak akan pernah bisa jadi yang pertama di hatimu.”
Dita merasa tubuhnya lemas. Ia tak pernah menyangka Raka akan memutuskan untuk pergi. “Aku… Aku nggak bisa kehilangan kamu, Rak…”
Raka tersenyum pahit, “Kamu nggak pernah benar-benar miliki aku, Dit. Kamu masih terikat sama masa lalumu. Sama Andi.”
Dita jatuh terduduk di sofa, menangis tanpa suara. Ia merasa dunianya runtuh dalam sekejap. Setelah kehilangan Andi, kini ia juga harus kehilangan Raka. Ia tak pernah merasa sehancur ini.
Raka mendekat, mencium kening Dita dengan lembut. “Aku akan selalu sayang sama kamu. Tapi aku harus pergi, Dit. Kamu harus menyelesaikan semua ini dengan Andi. Kamu harus memilih dengan hatimu yang paling dalam.”
“Cinta yang tak bisa dimiliki hanya akan menjadi luka yang menganga tanpa akhir.”
Setelah berkata demikian, Raka berbalik dan berjalan menuju pintu. Ia berhenti sejenak, menoleh dan menatap Dita dengan mata yang berkaca-kaca. “Selamat tinggal, Dita.”
Saat pintu tertutup, Dita merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia kehilangan segalanya. Cinta pertamanya, harapannya, dan kini ia kehilangan Raka yang selama ini menjadi pelariannya. Ia terduduk di lantai ruang tamu, menangis sejadi-jadinya. Tangisannya menggema di rumah yang kosong dan sunyi.
Malam itu, Dita tak bisa tidur. Bayangan Raka dan Andi terus menghantui pikirannya. Ia menyadari bahwa ia terlalu serakah karena ingin memiliki keduanya. Ia menyadari bahwa ia telah menyakiti dua pria yang mencintainya dengan tulus. Dan kini, ia kehilangan keduanya.
Esok harinya, Dita mencoba menghubungi Andi lagi. Ia meninggalkan pesan suara dengan suara parau, “Mas… Aku tahu aku udah nyakitin kamu. Tapi kumohon, beri aku kesempatan buat minta maaf. Aku cuma mau kamu dengerin penjelasanku…”
Namun, tak ada balasan. Andi tetap tak menjawab semua pesan dan panggilan Dita. Pria itu benar-benar pergi dari hidupnya, tanpa memberi satu pun kesempatan untuk memperbaiki segalanya.
Hari-hari berlalu dalam kehampaan. Dita merasa hidupnya tak lagi memiliki tujuan. Ia mencoba kembali bekerja, namun pikirannya terus dihantui oleh kenangan bersama Andi dan Raka. Dita merasa kosong, sendirian, dan tak berdaya. Ia menyadari bahwa cinta yang ia kira bisa menyelamatkannya, ternyata justru menghancurkannya.
“Terkadang, kehilangan adalah harga yang harus dibayar untuk cinta yang tak bisa dimiliki.”
Suatu hari, Dita menerima surat dari pengacara. Surat gugatan cerai dari Andi. Saat membaca surat itu, Dita tak bisa lagi menahan air matanya. Semua benar-benar telah berakhir. Andi memilih untuk pergi dan tak ingin kembali. Dita kehilangan rumah tangganya, kepercayaannya, dan segalanya yang pernah ia miliki.
Malam itu, Dita duduk sendirian di ruang tamu, menatap foto pernikahannya yang tersenyum bahagia. Foto yang dulu penuh kenangan indah, kini berubah menjadi luka yang tak pernah sembuh. Ia menyadari bahwa kebahagiaan yang ia cari selama ini justru menghancurkan hidupnya.
Dan saat air mata terakhirnya jatuh, Dita menyadari bahwa ia tak pernah benar-benar bisa memilih. Karena pada akhirnya, ia kehilangan keduanya. Andi pergi dan Raka memilih untuk menghilang. Ia terjebak dalam penyesalan yang tak berujung.
“Kadang, cinta yang tak terucap lebih menyakitkan daripada perpisahan yang nyata.”
Bab 10: Sisa Rasa di Antara Kita
Waktu berlalu tanpa menunggu. Musim berganti, namun rasa sakit di hati Dita tetap sama. Setelah perceraian dengan Andi, hidupnya terasa hampa dan tanpa tujuan. Rumah yang dulu penuh kehangatan kini hanya menyisakan kenangan pahit dan kehampaan yang tak bertepi.
Dita mencoba bangkit, namun bayangan Andi dan Raka terus menghantui pikirannya. Ia merasa kehilangan segalanya yah cinta, kepercayaan, dan kehidupannya yang dulu sempurna. Ia telah menghancurkan hidup dua pria yang mencintainya dengan tulus juga kehilangan keduanya tanpa bisa memperbaiki kesalahannya.
Suatu hari, Dita menerima undangan pernikahan dari seorang teman lama. Awalnya, ia ragu untuk datang, namun ia merasa perlu keluar dari keterpurukan yang selama ini membelenggunya. Ia butuh melihat dunia luar, meski hatinya masih terluka.
Saat tiba di tempat pernikahan, Dita berdiri di depan pintu aula dengan perasaan cemas. Ia berjalan masuk dengan langkah ragu, menyadari betapa asingnya ia dengan keramaian setelah sekian lama terkurung dalam kesedihan.
Namun langkahnya terhenti saat melihat Andi berdiri di sudut ruangan, berbicara dengan beberapa teman lama mereka. Pria itu terlihat lebih kurus namun tetap tampan dengan setelan jas hitam yang rapi. Senyum yang dulu begitu hangat kini terlihat datar dan penuh kehati-hatian.
Hati Dita berdegup kencang. Ia tak menyangka akan bertemu Andi di sini. Rasa rindu dan rasa bersalah kembali menghantamnya dengan begitu kuat. Ia ingin mendekat, ingin meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Namun, kakinya terasa kaku, tubuhnya gemetar tak berdaya.
Saat Andi menoleh dan mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Dita melihat sebersit luka dan kepedihan di mata Andi, namun pria itu segera mengalihkan pandangannya dan berjalan menjauh tanpa sepatah kata pun.
Hati Dita remuk. Ia ingin mengejar, namun tak punya keberanian untuk melakukannya. Dita tahu Andi masih marah dan terluka. Ia tahu pria itu mungkin tak akan pernah memaafkannya.
Saat pernikahan selesai, Dita berjalan keluar dengan hati yang semakin hancur. Namun langkahnya kembali terhenti saat melihat Andi berdiri di dekat mobilnya, seolah sedang menunggunya. Andi menatap Dita dengan tatapan yang dalam, penuh luka dan kehampaan.
“Mas… Aku…” suara Dita bergetar, air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. “Aku kangen sama kamu…”
Andi menghela napas panjang, tatapannya tetap dingin dan datar. “Kangen? Kamu kangen sama aku setelah semua yang kamu lakuin?”
Dita terisak, tubuhnya gemetar. “Aku tahu aku salah, Mas… Aku tahu aku udah nyakitin kamu… Tapi aku… Aku bener-bener nyesel…”
Andi tertawa pahit, tawa yang terdengar getir dan penuh kepedihan. “Nyesel? Kamu baru nyesel setelah aku pergi?”
Dita menggeleng, air matanya semakin deras. “Nggak, Mas… Aku udah nyesel sejak pertama kali aku nyakitin kamu. Tapi aku terlalu pengecut buat jujur…”
Andi menatap Dita dengan tatapan yang begitu dalam, seolah mencoba mencari kebenaran di balik air mata itu. “Kamu tau nggak, Dit? Aku ngasih kamu segalanya. Kepercayaanku, cintaku, hidupku… Tapi kamu milih buat ngkhianatin semua itu.”
Dita terisak, lututnya lemas hingga ia nyaris jatuh. “Aku tau… Dan aku nggak akan pernah bisa benerin semua itu. Aku cuma… Aku cuma mau minta maaf, Mas…”
Andi menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. “Maaf nggak akan pernah cukup buat nyembuhin luka yang udah kamu buat. Maaf nggak bisa benerin hati yang udah hancur berkeping-keping.”
Dita merasa dunianya runtuh. Ia tahu tak ada kata maaf yang bisa memperbaiki semuanya. Ia tahu ia telah menghancurkan cinta yang begitu tulus dan berharga. “Aku cuma mau kamu tau… Aku masih sayang sama kamu…”
Andi tersenyum pahit, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Sayang? Kamu bilang kamu sayang setelah kamu milih buat nyakitin aku? Kamu tau nggak, Dit? Sampai detik ini, aku masih cinta sama kamu. Tapi cinta aja nggak cukup buat benerin kepercayaan yang udah kamu hancurin.”
Hati Dita remuk mendengar pengakuan Andi. Ia tak menyangka pria itu masih menyimpan rasa yang sama, meski dibalut dengan luka yang dalam. “Aku… Aku nggak minta kamu buat balikan sama aku, Mas. Diriku hanya mau kamu maafin aku…”
Andi menatap Dita dengan tatapan yang lembut namun penuh kepedihan. “Maafin kamu? Aku udah nyoba, Dit… Tapi setiap kali aku inget kamu sama dia… Setiap kali aku bayangin kamu ngekhianatin aku… Hatiku sakit.”
Dita menangis semakin keras, tubuhnya limbung dan lemas. Ia tak tahu lagi harus berkata apa. Ia tahu ia telah menghancurkan segalanya dengan kebodohan dan kebohongannya sendiri.
Andi mengusap air matanya sendiri dan berbalik menuju mobilnya. “Selamat tinggal, Dita. Semoga kamu bisa nemuin kebahagiaanmu sendiri… Tanpa aku.”
Saat Andi pergi dan mobilnya menghilang di kejauhan, Dita terduduk di trotoar dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Ia merasa seluruh dunianya runtuh. Ia telah kehilangan segalanya. Cinta yang dulu begitu indah kini berubah menjadi luka yang tak pernah bisa sembuh.
“Pada akhirnya, cinta yang paling dalam adalah yang tak terucap. Karena ia tersimpan di hati yang telah hancur.”
Malam itu, Dita pulang dengan hati yang hampa. Ia duduk di ruang tamu yang gelap, menatap foto pernikahan yang masih tergantung di dinding. Ia tahu tak ada jalan kembali. Ia tahu semuanya telah berakhir.
Ia harus belajar merelakan, meski hatinya tak pernah siap. Ia harus menerima kenyataan bahwa ia telah kehilangan segalanya karena kesalahannya sendiri.
Dan di dalam keheningan malam, Dita menyadari bahwa selamanya akan ada sisa rasa di antara mereka—rasa cinta yang tak pernah benar-benar pergi, namun juga tak pernah bisa kembali.
“Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah kenangan dan sisa rasa yang tak pernah benar-benar pergi.”
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.