Elara, seorang peramal bintang muda , hidup sebagai yatim piatu di sebuah desa terpencil. Ia memiliki tanda lahir berbentuk konstelasi langka yang dipercaya membawa bencana. Hidupnya berubah ketika ia diburu oleh kelompok misterius, tetapi diselamatkan oleh Kael, seorang pangeran pemberontak yang melarikan diri dari kerajaan.
Dalam pengungsi mereka, Elara menemukan bahwa tanda lahirnya bukan sekadar kebetulan—itu adalah segel yang menyimpan kekuatan besar yang mampu menghancurkan Raja Kegelapan, penguasa bayangan yang telah mengendalikan dunia selama berabad-abad. Namun yang lebih mengejutkan, Elara dan Kael ternyata memiliki sejarah yang telah dihapus dari dunia.
Saat mereka semakin dekat dengan kebenaran, Elara membayangkan pilihan berat: menerima takdirnya dan kehilangan orang yang ia cintai, atau melawan takdir dengan risiko menghancurkan segalanya.
Dalam pertarungan terakhir, Kael mengorbankan dirinya demi dunia yang lebih baik, meninggalkan Elara dengan beban takdir di tangannya. Namun, pengorbanannya tidak sia-sia Kael kini tertulis di langit, menjadi bagian dari bintang yang akan selalu membimbingnya.
Dengan hati yang telah diperkuat oleh kehilangan, Elara bertekad untuk melanjutkan perjuangan mereka, memastikan bahwa dunia yang telah dibebaskan tidak lagi jatuh ke dalam kegelapan.
Bab 1: Tanda di Langit
Malam itu, langit terlihat berbeda. Bintang-bintang berkedip tak beraturan, seolah sedang membisikkan sesuatu kepada dunia. Elara duduk di tepi sungai kecil di luar desa, menatap bayangannya di permukaan air yang berkilauan. Tangannya secara refleks menyentuh punggungnya—di sana, tanda lahir berbentuk konstelasi langka terasa sedikit hangat.
Sejak kecil, ia tahu dirinya berbeda. Orang-orang desa memperlakukannya dengan ketakutan yang terselubung. Mereka tidak pernah menyakiti Elara, tapi mereka juga tak pernah benar-benar menerimanya. Seorang tetua desa pernah berkata, “Tanda itu bukan berkah, melainkan pertanda.” Namun, sebelum sempat menjelaskan lebih jauh, ia meninggal mendadak keesokan harinya.
Elara menghela napas panjang. Ia tak ingin memikirkan hal-hal aneh itu lagi. Baginya, malam ini adalah waktu untuk melarikan diri dari kenyataan—walau hanya sejenak.
Namun, angin tiba-tiba bertiup kencang. Daun-daun berguguran, membuat suara gemerisik yang mengganggu keheningan malam. Seperti firasat buruk, bulu kuduknya meremang. Ia menoleh ke sekeliling. Tidak ada siapa pun, tapi ada sesuatu yang terasa salah.
Lalu, dia melihatnya.
Bayangan-bayangan bergerak di antara pepohonan, nyaris tak terdengar. Mata merah menyala di kegelapan. Nafasnya tercekat. Pemburu.
Mereka datang lebih cepat dari yang ia duga.
Elara berdiri dengan panik, bersiap berlari, tapi suara langkah kaki cepat mendekatinya. Ia berbalik—terlambat. Sebuah tangan kasar mencengkeram lengannya, menariknya ke tanah.
“Akhirnya kami menemukannya,” suara seorang pria bergema di telinganya.
Elara menendang dan meronta, tapi cengkeraman mereka kuat. “Lepaskan aku!” Ia menjerit, tapi tak ada yang akan datang membantunya. Orang-orang desa tak akan berani mencampuri urusan ini.
Salah satu pria menarik belati dari sarungnya. “Jangan banyak melawan. Ini akan lebih mudah jika kau menyerah.”
Elara menutup mata, bersiap menghadapi nasibnya. Tapi sebelum belati itu menyentuh kulitnya, terdengar suara keras.
Srett!
Angin berhembus kencang. Dalam sekejap, pria yang memegangnya terlempar ke belakang, menghantam pohon dengan keras. Mata Elara melebar.
Seseorang baru saja menyelamatkannya.
Di bawah cahaya bulan, seorang pria berdiri tegap, mengenakan jubah hitam yang berkibar tertiup angin. Mata emasnya bersinar tajam, memancarkan aura berbahaya.
“Jangan sentuh dia.”
Suara itu dingin, penuh ketegasan.
Para pemburu tersentak, langsung siaga. “Siapa kau?” tanya salah satu dari mereka.
Pria berjubah hitam itu tidak menjawab. Dengan gerakan cepat, ia menghunus pedangnya. Sebelum para pemburu bisa bereaksi, pria itu sudah menerjang maju.
Elara hanya bisa menonton dengan mata membelalak. Dalam sekejap, tiga pemburu terjatuh ke tanah, tidak bergerak. Sisanya mundur dengan wajah pucat.
Mereka tahu. Mereka telah bertemu seseorang yang tidak bisa mereka kalahkan.
Salah satu pemburu yang tersisa menggertakkan giginya. “Ini belum selesai,” geramnya sebelum berlari pergi bersama rekan-rekannya yang masih bisa berdiri.
Elara masih terengah-engah ketika pria itu menyarungkan kembali pedangnya. Langkahnya mendekat, tatapannya menusuk langsung ke dalam mata Elara.
“Kau tidak seharusnya sendirian di sini,” katanya, suaranya rendah namun berwibawa.
Elara menelan ludah, masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. “Siapa kau?”
Pria itu terdiam sesaat, lalu menjawab, “Kael. Dan sepertinya kita punya takdir yang sama.”
Bab 2: Sang Pangeran yang Hilang
Elara masih terengah-engah, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Pemburu-pemburu yang hendak menangkapnya telah kabur, terintimidasi oleh kehadiran pria asing ini. Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Kael.
Dibawah cahaya bulan, Elara melihatnya lebih jelas. Kael memiliki rambut hitam yang sedikit berantakan, sorot matanya tajam berwarna emas keperakan, dan jubah hitamnya berkibar tertiup angin malam. Ada sesuatu yang terasa asing namun juga familiar tentang dirinya.
“Siapa kau sebenarnya?” suara Elara bergetar, masih dalam posisi waspada.
Kael menyarungkan kembali pedangnya dan menatapnya lama, seolah menimbang sesuatu sebelum akhirnya menjawab, “Aku… seorang yang juga sedang dikejar. Sama sepertimu.”
Elara mengerutkan kening. “Dikejar? Oleh siapa?”
Kael menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke arah hutan. Sejenak, Elara bisa melihat kilatan emosi dalam matanya—sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. “Aku dikhianati. Orang-orang yang dulu kupercayai sekarang menginginkanku mati.”
Ada nada getir dalam suaranya, dan Elara bisa merasakannya.
“Apa kau melakukan sesuatu yang membuat mereka mengincarmu?” tanyanya pelan.
Kael tersenyum sinis. “Tidak lebih dari keberadaanku sendiri yang dianggap ancaman.”
Jawaban itu tak memberi kejelasan, tapi Elara tahu ia tak akan mendapat lebih dari itu sekarang. Ia menghela napas dan menatap sekeliling, mencoba memahami situasinya. Malam semakin larut, dan ia tak bisa kembali ke desa. Mereka sudah mengetahui keberadaannya.
“Aku harus pergi dari sini,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Kalau begitu, ikutlah denganku.”
Elara menoleh cepat. “Apa?”
Kael menatapnya tajam. “Aku tahu tempat yang aman. Tapi kita harus segera pergi sebelum mereka kembali dengan lebih banyak orang.”
Elara ragu. Seorang asing yang tiba-tiba muncul dan menyelamatkannya, lalu menawarkan perlindungan? Ini terdengar seperti awal dari kisah yang bisa berakhir buruk. Namun, apa pilihannya? Tetap di sini dan menunggu nasib buruk menimpanya?
Setelah beberapa detik berpikir, ia akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang siapa dirimu nanti.”
Kael tersenyum tipis. “Itu bisa diatur.”
Mereka berjalan melewati hutan yang mulai diselimuti kabut tipis. Langkah Kael cepat dan ringan, sementara Elara sedikit tertatih mengikuti. Selama perjalanan, ia memperhatikan gerak-gerik pria itu—tenang, waspada, seperti seseorang yang sudah terbiasa hidup dalam pelarian.
“Ke mana kita pergi?” akhirnya Elara bertanya setelah beberapa saat.
“Ke sebuah tempat yang tidak ada dalam peta. Sebuah reruntuhan tua di perbatasan kerajaan,” jawab Kael singkat.
“Kerajaan?”
Kael meliriknya. “Ya. Aku lupa, kau dibesarkan jauh dari pusat kekuasaan, bukan?”
Elara mengangguk. Ia memang tak tahu banyak tentang dunia di luar desanya. Sejak kecil, ia hanya mendengar cerita tentang kerajaan yang besar, dengan istana emas dan pasukan perang yang tak terkalahkan. Namun, semua itu hanya kisah jauh yang tak pernah benar-benar terasa nyata baginya.
Tiba-tiba, Kael berhenti dan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Elara juga diam.
Elara menahan napas. Ia mendengar suara di kejauhan—langkah kaki yang mendekat.
Kael bergerak cepat, menarik Elara ke balik pohon besar, lalu menempelkan jari ke bibirnya, meminta diam.
Tak lama, beberapa pria berkuda melewati jalan setapak di dekat mereka. Seragam mereka hitam dengan lambang yang Elara tak kenali, dan mereka tampak membawa senjata lengkap.
Kael menatap mereka dengan rahang mengatup keras.
Saat para prajurit itu berlalu, Elara berbisik, “Mereka siapa?”
Kael menunduk sedikit dan menjawab, “Prajurit kerajaan. Mereka mencari seseorang… atau sesuatu.”
Elara semakin bingung. “Mereka mencarimu?”
Kael menggeleng. “Mungkin, tapi tidak hanya aku. Mereka juga mencarimu.”
Jantung Elara berdegup kencang. “Apa maksudmu? Aku bahkan tidak mengenal kerajaan!”
Kael menatapnya lekat-lekat. “Mungkin kau tak menyadarinya, tapi keberadaanmu lebih penting dari yang kau kira, Elara. Tanda yang kau miliki bukan sekadar tanda lahir biasa. Ada sejarah yang lebih besar di baliknya, dan tampaknya lebih banyak pihak yang mengetahui hal itu selain kita.”
Elara membeku.
Seumur hidupnya, ia selalu berpikir bahwa tanda lahirnya hanyalah sesuatu yang membuatnya diasingkan. Tapi sekarang, seseorang dari kerajaan juga mencarinya?
“Apa kau tahu siapa aku sebenarnya?” akhirnya ia bertanya.
Kael menatapnya lama sebelum menjawab, “Aku punya dugaan… tapi kita harus mencari kebenaran itu sendiri. Dan untuk itu, kita harus tetap hidup.”
Elara mengangguk pelan. Ia tidak tahu kemana perjalanan ini akan membawanya, tetapi satu hal yang pasti—hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Bab 3: Ramalan yang Terlupakan
Hutan semakin lebat, udara dingin menusuk kulit. Elara dan Kael terus berjalan melewati jalan setapak yang hampir tak terlihat di bawah remang cahaya bulan. Sejak pertemuan mereka dengan prajurit kerajaan, Kael semakin waspada. Setiap beberapa langkah, dia berhenti untuk memastikan mereka tidak diikuti.
Elara kelelahan, tetapi ia tak mengeluh. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berkata bahwa semua ini hanya permulaan. Mereka akhirnya tiba di sebuah bukit yang puncaknya tertutup oleh reruntuhan bangunan kuno. Dinding-dindingnya penuh dengan lumut dan retakan, seolah telah lama ditinggalkan.
Kael melangkah masuk lebih dulu, memastikan tidak ada bahaya. Elara mengikuti dari belakang, matanya menelusuri ukiran-ukiran aneh di batu yang runtuh. Ia tidak mengerti maknanya, tetapi ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya, seperti deja vu.
“Kita aman untuk sementara,” kata Kael sambil meletakkan tasnya di tanah. “Tempat ini pernah menjadi kuil para peramal bintang.”
Elara menatapnya. “Peramal bintang?”
Kael mengangguk. “Dahulu, mereka adalah orang-orang yang dapat membaca masa depan melalui langit. Tapi kerajaan menganggap mereka berbahaya, jadi mereka dimusnahkan. Hanya sedikit yang selamat, dan ilmu mereka perlahan menghilang.”
Elara menyentuh salah satu ukiran di dinding. “Dan apa hubungannya dengan tanda lahirku?”
Kael terdiam sejenak. “Aku belum tahu pasti, tapi aku yakin tanda itu bukan kebetulan. Ramalan kuno menyebutkan bahwa akan ada seseorang dengan konstelasi langka yang dapat mengubah dunia, entah sebagai penyelamat atau sebagai bencana.”
Elara menggigit bibirnya. Sejak kecil, ia selalu diperlakukan sebagai ancaman. Namun, ia tidak pernah merasa bahwa dirinya memiliki kekuatan atau takdir sehebat itu.
“Apa kau percaya pada ramalan?” tanyanya pelan.
Kael menatapnya dalam-dalam. “Aku percaya pada kemungkinan. Ramalan hanya petunjuk, bukan kepastian. Tapi aku tahu satu hal, Elara. Orang-orang memburumu karena mereka percaya kau adalah bagian dari ramalan itu.”
Elara merasa napasnya berat. Dunia yang ia kenal telah runtuh dalam satu malam, dan kini ia berdiri di tengah reruntuhan yang menyimpan sejarah lebih besar dari dirinya sendiri.
“Kita harus mencari seseorang yang bisa membaca ramalan ini dengan benar,” lanjut Kael. “Aku tahu satu orang yang mungkin bisa membantu.”
Elara menatapnya ragu. “Siapa?”
“Seorang penyihir tua yang tinggal di pegunungan timur. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang masih mengetahui sejarah peramal bintang. Jika ada yang tahu tentang tanda lahirmu, itu dia.”
Elara menarik napas dalam. Ia tak tahu apakah ini perjalanan yang benar, tapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa kembali ke kehidupannya yang lama.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Ayo kita cari dia.”
Kael tersenyum tipis. “Kita berangkat saat fajar.”
Di luar, angin berembus lembut. Langit malam tampak tenang, tetapi bintang-bintang seakan berbisik, seolah menyaksikan takdir mulai bergerak.
Bab 4: Kejaran Bayangan
Fajar baru saja menyingsing ketika Elara dan Kael meninggalkan reruntuhan kuil. Langit masih berwarna jingga keemasan, tetapi udara tetap dingin. Mereka bergerak dengan cepat, mengikuti jalan setapak yang jarang dilalui orang.
Kael berjalan di depan, matanya terus mengawasi sekeliling. Ia tahu bahwa musuh mereka tidak akan diam begitu saja.
“Berapa jauh tempat penyihir itu?” tanya Elara, berusaha mengikuti langkahnya.
“Kita butuh tiga hari perjalanan, jika tidak ada gangguan,” jawab Kael tanpa menoleh.
Elara menghela napas. Tubuhnya masih lelah setelah perjalanan semalam, tetapi ia tahu tak ada waktu untuk beristirahat. Mereka harus terus bergerak.
Baru beberapa jam berjalan, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Hutan di sekitar mereka terasa terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada angin yang berdesir di antara pepohonan.
Kael berhenti tiba-tiba.
“Ada yang tidak beres,” gumamnya pelan.
Elara merasakan hal yang sama. Ia merinding tanpa tahu penyebabnya.
Tiba-tiba, bayangan-bayangan bergerak cepat di antara pepohonan. Elara hanya sempat melihat sekilas sebelum sesuatu melesat ke arahnya.
Kael bereaksi lebih cepat. Ia menarik Elara ke belakang dan menghunus pedangnya dalam satu gerakan. Mata emasnya menyala penuh kewaspadaan.
Makhluk-makhluk itu akhirnya muncul sepenuhnya dari balik pepohonan. Tubuh mereka kurus dan tinggi, kulitnya gelap seperti malam tanpa bintang, dan mata mereka merah menyala.
Elara menelan ludah. “Apa itu?”
“Bayangan pemburu,” jawab Kael dengan suara tegang. “Mereka bukan manusia. Mereka makhluk yang dikendalikan oleh sihir hitam.”
Elara bergidik. Makhluk-makhluk itu bergerak seperti asap, melayang tanpa suara, tetapi tetap terasa mengancam.
Kael mengayunkan pedangnya, mencoba menyerang salah satu dari mereka. Namun, pedangnya hanya menebas udara kosong. Makhluk itu menghilang dan muncul kembali di tempat lain.
“Serang bayangan mereka, bukan tubuhnya!” seru Kael.
Elara mencoba mencari bayangan mereka di tanah, tetapi yang ia lihat justru sesuatu yang lebih mengerikan. Bayangan-bayangan itu tidak mengikuti cahaya matahari, mereka bergerak sendiri, hidup, dan memanjang ke arah mereka.
Salah satu bayangan merayap ke kaki Elara, membuatnya terjatuh. Ia menjerit, tetapi Kael segera bertindak, menebas bayangan itu dengan pedangnya yang kini bersinar samar. Makhluk itu mengeluarkan suara melengking sebelum menghilang.
Elara terengah-engah. “Bagaimana kau tahu cara melawan mereka?”
Kael tidak menjawab langsung. “Karena ini bukan pertama kalinya aku menghadapi mereka,” katanya singkat.
Makhluk-makhluk lain mulai mengepung mereka. Elara tahu mereka harus segera pergi sebelum kalah jumlah.
Kael menarik tangannya. “Kita harus lari!”
Mereka berdua berlari secepat mungkin, menembus hutan yang semakin gelap. Makhluk-makhluk itu mengejar mereka, menghilang dan muncul kembali di antara pepohonan, seakan bermain-main dengan mangsanya.
Tiba-tiba, jalan di depan mereka berakhir di sebuah tebing curam.
Elara berhenti mendadak, jantungnya berdebar kencang. Di bawah sana, sungai berarus deras mengalir di antara bebatuan tajam.
Kael melihat ke belakang. Makhluk-makhluk bayangan semakin dekat.
“Tidak ada pilihan lain,” katanya.
Sebelum Elara sempat bertanya, Kael menggenggam tangannya erat dan melompat ke bawah.
Elara menjerit saat tubuhnya melayang di udara, sebelum akhirnya jatuh ke dalam air yang membekukan.
Arus sungai menghantam tubuhnya dengan keras, membuatnya terombang-ambing tanpa kendali. Ia berusaha menggapai sesuatu, tetapi air terus menariknya lebih jauh.
Ia sempat melihat sekilas Kael di dekatnya, berusaha berenang ke arahnya.
Lalu, semuanya menjadi gelap.
Bab 5: Ingatan yang Terhapus
Elara terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Udara dingin menusuk kulitnya, dan tubuhnya terasa berat seolah baru saja ditabrak oleh ombak besar. Saat matanya mulai fokus, ia menyadari bahwa dirinya terbaring di atas batu basah di tepi sungai.
Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat apa yang terjadi. Ia dan Kael telah melompat dari tebing untuk melarikan diri dari bayangan pemburu.
“Kael…?”
Suara seraknya hampir tak terdengar. Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah.
“Tenang, aku di sini.”
Suara itu berasal dari dekatnya. Kael sedang duduk di bawah pohon, sedikit terengah-engah, dengan pakaiannya yang basah dan pedangnya tergeletak di sampingnya.
“Kita selamat,” lanjutnya, menatapnya dengan sorot mata penuh kehati-hatian.
Elara mengangguk pelan. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi setelah mereka terjun ke sungai, tetapi yang ia ingat hanyalah air yang deras, tubuhnya yang terombang-ambing, lalu… gelap.
“Aku pingsan?” tanyanya.
Kael mengangguk. “Aku berhasil menarikmu ke darat sebelum arus membawamu lebih jauh.”
Elara menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang berbeda pada Kael sekarang. Wajahnya tampak tegang, seolah ada sesuatu yang mengganggunya.
“Ada apa?” tanyanya hati-hati.
Kael terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Saat aku menarikmu keluar dari air… sesuatu terjadi.”
Elara menegakkan tubuhnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Apa maksudmu?”
Kael menatap lurus ke matanya. “Saat aku menyentuhmu, aku melihat sesuatu—ingatan yang bukan milikku. Tapi… rasanya sangat nyata.”
Elara menelan ludah. “Ingatan apa?”
Kael menunduk, seakan mencari kata-kata yang tepat. “Sepertinya diriku melihat sebuah tempat yang asing, dengan menara tinggi yang terbuat dari kristal. Aku melihat diriku sendiri… tapi bukan aku yang sekarang. Aku mengenakan pakaian yang berbeda, dan di sampingku ada kau.”
Elara merasakan jantungnya berdebar lebih cepat.
“Kau memakai gaun berwarna perak, dan kau… tersenyum padaku. Seakan kita telah saling mengenal sejak lama.”
Keheningan menggantung di antara mereka. Elara merasa kepalanya semakin pusing.
“Tapi itu mustahil,” katanya dengan suara nyaris berbisik. “Kita baru bertemu.”
Kael menggeleng. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi rasanya terlalu nyata untuk sekadar halusinasi.”
Elara mencoba memahami semuanya. Ia telah hidup di desanya seumur hidupnya, dan tidak pernah bertemu Kael sebelumnya. Tapi… mengapa hatinya merasa seakan apa yang dikatakan Kael ada benarnya?
Lalu, tiba-tiba, sesuatu menyentak pikirannya.
Kilasan-kilasan samar berkelebat di benaknya—sebuah menara kristal, suara tawa yang lembut, dan seseorang yang memanggil namanya dengan penuh kasih sayang.
Ia terengah-engah, menatap Kael dengan mata melebar. “Aku juga melihatnya…”
Kael langsung menegang. “Apa?”
Elara menggeleng, berusaha mengingat lebih jelas, tetapi gambarnya terlalu kabur. “Aku juga melihat sesuatu. Tempat itu… menara kristal, dan kau ada di sana. Tapi semuanya buram.”
Kael bangkit berdiri, raut wajahnya semakin serius. “Jika kita berdua melihat hal yang sama… itu berarti ini bukan kebetulan.”
Elara merasa tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tetapi karena ketakutan.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada kita, Kael?”
Kael menatap langit yang mulai memudar ke warna keemasan. “Aku tidak tahu. Tapi kita harus mencari tahu, sebelum sesuatu atau seseorang menghapus ingatan kita lagi.”
Elara memegang dadanya yang berdebar. Ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa jawaban dari semua ini jauh lebih rumit dari yang mereka kira.
Bab 6: Kota di Langit
Mereka melanjutkan perjalanan saat matahari mulai terbit, meninggalkan tepi sungai yang telah menjadi saksi akan ingatan yang hampir hilang. Elara masih memikirkan kilasan memori yang muncul di kepalanya, sementara Kael tetap diam, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Setelah setengah hari berjalan, mereka akhirnya tiba di sebuah dataran tinggi, di mana jalur setapak mengarah ke puncak bukit yang dipenuhi reruntuhan batu. Kael berhenti dan menunjuk ke depan.
“Kita hampir sampai,” katanya.
Elara mengerutkan kening. “Aku tidak melihat apa pun selain puing-puing.”
Kael tersenyum tipis. “Tunggu saja.”
Ia melangkah lebih jauh, lalu mengangkat tangan ke udara dan menggambar sesuatu dengan jarinya. Udara di sekitar mereka mulai bergetar, seperti gelombang di permukaan air. Perlahan, sesuatu mulai muncul di depan mereka—sebuah kota mengambang di langit, diselimuti awan tipis yang berkilauan.
Elara tertegun. “Apa ini…?”
“Kota di Langit,” jawab Kael. “Tempat para astrolog kuno tinggal. Satu-satunya tempat di dunia ini yang bisa memberi kita jawaban.”
Elara tidak bisa berkata-kata. Kota itu berdiri di atas platform raksasa yang melayang di udara, dengan menara-menara tinggi yang terbuat dari batu putih dan kristal. Jembatan tipis yang tampak rapuh menghubungkan tanah tempat mereka berdiri dengan kota tersebut.
Kael berjalan lebih dulu di atas jembatan, sementara Elara menelan ludah sebelum mengikutinya. Saat mereka semakin dekat, udara terasa lebih ringan, seakan beban di tubuhnya berkurang.
Di gerbang kota, seorang pria tua berjubah ungu menunggu mereka. Matanya tajam, seperti seseorang yang telah melihat lebih banyak hal daripada yang bisa dibayangkan manusia biasa.
“Kami datang mencari jawaban,” kata Kael sebelum pria itu sempat berbicara.
Pria tua itu menatap mereka lama, lalu mengangguk. “Aku tahu siapa kalian,” katanya dengan suara dalam. “Dan aku tahu kenapa kalian datang ke sini.”
Elara merasa napasnya tertahan. “Apa kau tahu sesuatu tentang tanda lahirku?”
Pria itu menatapnya dengan penuh kehati-hatian, lalu mengulurkan tangannya. “Biarkan aku melihatnya.”
Dengan ragu, Elara berbalik dan menyingkap sedikit jubahnya, memperlihatkan tanda lahir berbentuk konstelasi di punggungnya. Mata pria itu membesar, lalu ia menarik napas tajam.
“Ini bukan sekadar tanda lahir,” gumamnya. “Ini adalah segel.”
Elara menoleh cepat. “Segel? Apa maksudmu?”
Pria itu menatapnya dalam-dalam. “Segel ini mengunci sesuatu dalam dirimu. Sesuatu yang telah lama dilupakan dunia ini.”
Kael menegang. “Apa itu?”
Pria tua itu menghela napas. “Kalian berdua… bukan sekadar manusia biasa. Kalian adalah bagian dari sejarah yang telah dihapus. Sejarah yang, jika terungkap, akan mengubah segalanya.”
Elara merasa dadanya sesak. Semua pertanyaan yang selama ini menghantuinya mulai menemukan benang merah, tetapi juga menghadirkan ketakutan baru.
“Apa yang harus kami lakukan?” tanyanya dengan suara nyaris berbisik.
Pria itu menatap langit. “Bintang telah mulai bergerak. Jika kalian ingin mengetahui kebenaran, kalian harus siap menghadapi konsekuensinya.”
Elara dan Kael saling berpandangan. Mereka tahu, mulai dari sini, tak ada jalan untuk kembali.
Bab 7: Raja Kegelapan
Langit di atas Kota di Langit perlahan berubah, awan-awan tipis mulai bergerak liar, seolah merespons sesuatu yang akan terjadi. Pria tua berjubah ungu itu menatap Elara dan Kael dengan sorot mata penuh kewaspadaan.
“Kalian harus bersiap. Segel di dalam dirimu, Elara, bukan hanya menyimpan sejarah yang hilang, tapi juga sebuah kekuatan yang dapat mengguncang dunia,” katanya.
Elara menelan ludah. “Kekuatan apa?”
Pria itu menggeleng. “Aku tidak bisa menjelaskannya sepenuhnya, karena aku sendiri hanya tahu sedikit. Tapi aku tahu satu hal—kerajaan telah mengetahui keberadaanmu, dan mereka tidak akan tinggal diam.”
Kael mengepalkan tangan. “Mereka sudah mengirim bayangan pemburu untuk mengejarnya. Berarti, mereka sudah lama mengetahui keberadaan Elara.”
Pria tua itu mengangguk. “Dan mereka akan melakukan apa pun untuk menghancurkanmu sebelum kau menyadari siapa dirimu sebenarnya.”
Elara merasakan dingin merayapi tubuhnya. “Tapi… kenapa? Kenapa aku begitu berbahaya bagi mereka?”
Pria itu menatapnya dalam-dalam sebelum berkata, “Karena kau adalah satu-satunya yang bisa menghentikan Raja Kegelapan.”
Sejenak, waktu terasa berhenti. Angin berhenti berhembus, dan suara Kota di Langit yang sebelumnya samar terdengar kini menghilang sepenuhnya.
Kael menegang. “Raja Kegelapan…?”
Pria itu mengangguk pelan. “Penguasa sejati kerajaan. Bukan raja yang duduk di singgasana saat ini, tetapi sosok yang bersembunyi di balik bayangan selama berabad-abad. Dialah yang mengendalikan segalanya dari balik layar.”
Elara menatap Kael dengan kebingungan, tetapi yang ia lihat justru ketegangan di wajah pria itu.
“Kau tahu sesuatu tentang ini?” tanyanya.
Kael menghela napas, lalu menatap Elara dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Ya… karena Raja Kegelapan adalah ayahku.”
Elara membeku.
“Kau bercanda, kan?” suaranya hampir bergetar.
Kael menggeleng. “Aku berharap begitu. Tapi ini kenyataan.”
Pria tua itu mengangguk. “Kael adalah pangeran yang terbuang. Putra dari Raja Kegelapan yang berusaha melarikan diri dari takdirnya.”
Elara terdiam. Semua mulai masuk akal—kenapa Kael selalu dalam pelarian, kenapa dia begitu mahir dalam bertarung, dan kenapa dia seolah memiliki hubungan dengan sejarah yang telah terhapus.
“Ayahku ingin dunia tetap berada di bawah kegelapan,” lanjut Kael. “Dia telah hidup lebih lama dari yang seharusnya, berkat sihir kuno yang melanggengkan keberadaannya. Tapi sesuatu yang dia takuti lebih dari kematian sendiri… adalah kau, Elara.”
Elara menggigit bibirnya, mencoba memahami semuanya.
Pria tua itu menambahkan, “Dahulu, ada sebuah ramalan yang mengatakan bahwa suatu hari akan lahir seseorang dengan tanda konstelasi langka. Orang itu memiliki kekuatan untuk menghancurkan Raja Kegelapan, mengakhiri kegelapan yang telah menguasai dunia selama ratusan tahun. Dan orang itu… adalah kau.”
Elara merasa tubuhnya melemas.
“Aku?” bisiknya.
Kael mengangguk. “Karena itu, ayahku melakukan segalanya untuk memastikan kau tidak pernah menyadari siapa dirimu. Dia memerintahkan agar sejarah tentangmu dihapus, mengirim pasukannya untuk memburumu sebelum kau menemukan kebenaran.”
Elara menatap Kael dengan penuh kebimbangan. “Dan kau… apa kau bagian dari rencana itu juga?”
Mata Kael melembut, tetapi juga dipenuhi kesedihan. “Tidak. Aku meninggalkan kerajaan karena aku menolak menjadi alatnya. Aku menolak untuk menjadi pangeran dari kegelapan.”
Pria tua itu mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Elara. “Pilihan ada di tanganmu, Elara. Kau bisa memilih untuk melarikan diri dan membiarkan dunia tetap berada di bawah bayang-bayangnya, atau… kau bisa menghadapi takdirmu dan menghancurkan Raja Kegelapan.”
Elara menutup mata. Semua terlalu cepat. Semalam ia hanyalah seorang gadis yatim piatu yang berusaha bertahan hidup, dan kini… ia dianggap sebagai satu-satunya harapan untuk mengakhiri kejahatan yang telah berkuasa selama berabad-abad.
Saat ia membuka mata lagi, ia melihat Kael menatapnya, menunggu keputusannya.
Elara menarik napas dalam.
“Aku tidak akan lari.”
Kael tersenyum tipis. “Bagus. Karena sekarang, mereka pasti sudah dalam perjalanan ke sini.”
Dan seakan membenarkan ucapannya, langit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah menjadi kelam. Petir menyambar, dan suara gemuruh terdengar dari kejauhan.
Mereka telah ditemukan.
Bab 8: Cinta yang Dihapus
Langit di atas Kota di Langit berubah mendadak. Awan kelam berkumpul, menutupi cahaya bintang. Suara gemuruh terdengar semakin dekat, seolah dunia memperingatkan mereka akan sesuatu yang lebih besar.
Elara menatap Kael dengan perasaan campur aduk. Sejak pertemuan mereka, ia merasa selalu dipenuhi pertanyaan, tetapi sekarang, jawaban yang ia dapatkan justru lebih membingungkan.
Kael, pria yang menyelamatkannya, ternyata putra Raja Kegelapan—musuh yang ditakdirkan untuk ia lawan.
Pria tua yang membimbing mereka berkata dengan nada tegas, “Mereka sudah tahu kalian ada di sini. Kota ini mungkin terapung di langit, tapi tetap tidak bisa menghindari mata mereka selamanya.”
Elara mengepalkan tangan. “Kalau begitu, kita harus pergi. Aku tidak bisa membiarkan mereka menangkapku sebelum aku mengetahui kebenaran.”
Kael menatapnya, lalu mengangguk. “Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi.”
Mereka bergegas meninggalkan kuil utama dan menuju ke salah satu menara penghubung di Kota di Langit. Namun, sebelum mereka bisa mencapai jembatan keluar, sesuatu menghentikan langkah mereka.
Bayangan besar turun dari langit. Sebuah kekuatan gelap berputar di sekeliling mereka, membawa serta hawa dingin yang menyesakkan dada.
Sosok tinggi berjubah hitam muncul di depan mereka, wajahnya tersembunyi di balik tudung. Suaranya bergema dingin, menusuk hingga ke tulang.
“Kau tidak bisa melarikan diri dari takdir, Elara.”
Elara menegang. “Siapa kau?”
Pria itu melangkah lebih dekat, dan saat cahaya bulan menerpa wajahnya, Elara merasakan dadanya sesak.
Itu adalah Kael.
Tapi bukan Kael yang berdiri di sampingnya. Wajahnya sama, mata emasnya yang dingin juga sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda.
“Bagaimana mungkin…?” bisiknya, melangkah mundur.
Kael yang asli menatap sosok itu dengan ekspresi tegang. “Dia bukan aku,” katanya pelan.
Sosok itu tersenyum tipis. “Aku adalah kau yang seharusnya ada di masa ini yaitu bagian dari sejarah yang telah dihapus. Aku adalah Kael yang seharusnya menguasai dunia bersama ayah kita.”
Elara merasakan jantungnya berdegup kencang. “Kael… apa maksudnya?”
Kael menggigit bibirnya, ekspresinya penuh kepedihan. “Aku tidak ingat semuanya, tapi ada sesuatu yang pernah terjadi pada kita di kehidupan sebelumnya. Sesuatu yang mengubah takdir kita.”
Sosok Kael dari bayangan mendekat, matanya penuh kesedihan yang menyeramkan. “Kami berdua telah mengalami kehidupan ini sebelumnya, Elara. Kami pernah bersama, kami pernah saling mencintai… tapi semua itu dihancurkan oleh mereka yang ingin menghapus sejarah kita.”
Elara membeku.
“Kael dan aku… pernah bersama?”
Sosok itu mengangguk. “Kau adalah milikku, Elara. Dan aku adalah milikmu.”
Elara merasa kepalanya berputar. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berusaha mengingat, sesuatu yang selama ini terkunci rapat.
Tiba-tiba, kilasan ingatan muncul. Ia melihat dirinya dan Kael, dalam dunia yang berbeda. Mereka berdiri di atas menara kristal, saling menatap dengan perasaan mendalam.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” suara Kael dalam ingatan itu bergema di kepalanya.
Namun, ingatan itu terhenti dengan cepat, berganti dengan kegelapan dan suara jeritan.
Elara menatap Kael di sampingnya dengan mata penuh ketakutan. “Aku mengingat sesuatu… tapi aku tidak tahu apa artinya.”
Kael mengepalkan tangannya. “Itulah yang mereka ingin kita lupakan. Mereka menghapus sejarah kita, menghapus cinta kita, agar takdir ini berubah.”
Sosok Kael dari bayangan tersenyum dingin. “Tapi aku mengingat semuanya. Dan aku tidak akan membiarkanmu membuat kesalahan yang sama lagi, Elara.”
Ia mengangkat tangannya, dan kekuatan gelap menyelimuti Kota di Langit. Angin berhembus kencang, menciptakan pusaran badai di sekitar mereka.
Kael menarik Elara ke belakang. “Kita harus pergi!”
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, sesuatu menghantam tubuh Elara, dan dunia di sekelilingnya berubah menjadi kegelapan.
Dan dalam kegelapan itu, satu suara berbisik di telinganya.
“Kau milikku, Elara. Selamanya.”
Bab 9: Pengorbanan Terakhir
Elara tersentak bangun. Tubuhnya terasa ringan, seperti melayang di tengah kekosongan. Di sekelilingnya, hanya ada kegelapan tanpa batas. Tidak ada suara, tidak ada cahaya, hanya suara napasnya sendiri yang terdengar samar.
Lalu, sebuah bisikan menggema di kepalanya.
“Kau milikku, Elara. Selamanya.”
Ia menoleh cepat, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Namun, ia bisa merasakan kehadiran seseorang.
Tiba-tiba, cahaya redup mulai muncul, membentuk siluet seorang pria. Itu adalah Kael, tetapi bukan Kael yang ia kenal.
Kael dari bayangan menatapnya dengan sorot mata lembut, penuh kepedihan.
“Elara… kau benar-benar tidak mengingatnya, ya?”
Elara menggigit bibirnya. “Aku mencoba… tapi semuanya kabur.”
Sosok itu tersenyum tipis. “Dulu, kita pernah berjanji untuk selalu bersama. Namun, dunia ini menolak kebersamaan kita. Mereka menghapus semua yang kita miliki, memisahkan kita, dan membiarkan takdir yang baru menggantikan kisah kita.”
Elara menggeleng, merasa frustasi. “Jika itu benar, kenapa aku tidak bisa mengingat semuanya?”
Kael dari bayangan mendekat, tangannya hampir menyentuh wajah Elara, tetapi berhenti di udara. “Karena mereka menghapus bagian dirimu yang mencintaiku.”
Elara membeku.
“Sekarang, aku memberimu pilihan.” Kael dari bayangan menatapnya tajam. “Tinggalkan dunia ini, kembali ke sisi yang seharusnya. Biarkan takdir kita kembali seperti dulu. Atau…”
Elara menahan napas, menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Kau bisa memilih Kael yang sekarang, pria yang bahkan tidak mengingat siapa dirinya sebenarnya. Tapi, kau tahu, jika kau memilih dia… hanya ada satu cara untuk mengakhiri ini semua.”
Elara menelan ludah. “Apa maksudmu?”
Kael dari bayangan tersenyum samar. “Salah satu dari kalian harus mati.”
Sejenak, dunia terasa berhenti.
Elara teringat akan semua yang dikatakan oleh peramal tua di Kota di Langit. Bahwa segel di tubuhnya bukan hanya tanda lahir, tetapi juga sesuatu yang menyimpan kekuatan besar. Kekuatan yang cukup untuk menghancurkan Raja Kegelapan.
Tapi… jika Kael dari bayangan ini memang bagian dari masa lalunya, maka mungkin kekuatan itu juga cukup untuk menghancurkan dirinya.
“Ini adalah akhir yang harus kau pilih, Elara.”
Sebelum Elara sempat menjawab, cahaya terang tiba-tiba menyelimuti tempat itu.
Suara familiar bergema. “Elara!”
Elara tersentak dan merasa tubuhnya ditarik dengan kuat.
Ia membuka matanya dengan napas memburu. Angin dingin menerpa wajahnya, dan suara gemuruh badai masih terdengar di sekitar mereka.
Kael mengguncang bahunya, ekspresi wajahnya penuh kecemasan. “Elara! Kau baik-baik saja?”
Elara menatapnya, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Kael dari bayangan telah menghilang, tetapi kata-katanya masih terngiang jelas di kepalanya.
Salah satu dari mereka harus mati.
Ia menatap Kael yang kini berdiri di depannya, berusaha melindunginya dari kekuatan yang mengepung mereka.
“Kael…” suaranya hampir tak terdengar.
Kael menoleh, lalu tersenyum lemah. “Aku tahu apa yang harus kita lakukan.”
Elara menggeleng cepat. “Tidak. Kita bisa mencari jalan lain—”
“Tidak ada jalan lain,” potong Kael dengan nada tenang. “Ayahku telah mengendalikan dunia terlalu lama. Jika kita tidak menghancurkannya sekarang, kita tidak akan pernah bebas.”
Elara merasa dadanya sesak. “Aku tidak bisa kehilanganmu.”
Kael menyentuh pipinya dengan lembut. “Kau tidak akan kehilangan aku, Elara. Aku akan selalu bersamamu, dalam ingatanmu, dalam hatimu.”
Tiba-tiba, cahaya terang muncul dari tubuh Elara. Tanda lahir berbentuk konstelasi di punggungnya mulai bersinar, dan ia bisa merasakan kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Kael tersenyum kecil. “Itu dia. Kekuatan yang mereka coba sembunyikan darimu selama ini.”
Elara menatapnya, air mata mulai menggenang di matanya. “Kael, jangan lakukan ini.”
Kael menggeleng. “Takdir kita telah tertulis di langit, Elara. Dan ini adalah pilihanku.”
Sebelum Elara bisa menghentikannya, Kael berbalik dan melangkah maju. Ia mengangkat pedangnya, mengarahkan kekuatan Elara ke tubuhnya sendiri.
Kilatan cahaya memenuhi langit, dan dunia seakan terhenti.
Elara menjerit, tetapi semuanya sudah terlambat.
Kael telah mengorbankan dirinya untuk menghancurkan Raja Kegelapan.
Dan dengan satu ledakan besar, langit kembali cerah.
Bab 10: Takdir yang Tertulis di Langit
Elara terjatuh berlutut, matanya menatap langit yang kini kembali tenang. Cahaya yang sebelumnya begitu menyilaukan perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang menusuk.
Di depannya, tempat Kael berdiri beberapa saat yang lalu kini hanya menyisakan jejak cahaya samar yang berangsur-angsur menghilang.
Tidak.
Tidak seperti ini.
Elara merasakan tubuhnya gemetar. Dadanya terasa sesak, seakan dunia sedang meremasnya tanpa ampun.
“Kael…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
Ia merangkak maju, berharap bisa menemukan sesuatu—apa pun—yang bisa membuktikan bahwa Kael masih ada. Namun, angin hanya membawa keheningan, menyapu sisa-sisa pertempuran yang baru saja terjadi.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah pelan di belakangnya.
Elara menoleh cepat.
Pria tua dari Kota di Langit berdiri di sana, matanya penuh kesedihan. “Semua ini… sudah ditakdirkan sejak awal.”
Elara menggeleng cepat. “Tidak! Takdir itu bisa diubah! Aku seharusnya bisa menyelamatkannya!”
Pria itu menatapnya dengan lembut. “Kael tahu bahwa hanya ada satu cara untuk mengakhiri semua ini. Dia memilih untuk mengorbankan dirinya agar kau bisa hidup… agar dunia bisa bebas dari kegelapan.”
Air mata mulai mengalir di pipi Elara. Ia ingin berteriak, ingin mengembalikan waktu, ingin menghentikan Kael sebelum semuanya terlambat.
Namun, ia tidak bisa.
Karena Kael sudah pergi.
Elara menutup matanya, menggenggam dadanya yang terasa begitu sakit.
Hening.
Namun, dalam keheningan itu, sesuatu yang aneh terjadi.
Tanda lahir di punggungnya yang sebelumnya bersinar kini perlahan meredup, tetapi sesuatu yang lebih besar menggantikan cahaya itu.
Langit malam yang kini bersih dari awan mulai berubah. Bintang-bintang bergerak, membentuk pola baru—pola yang tak pernah ada sebelumnya.
Pria tua itu menatap langit dengan mata melebar. “Itu…”
Elara menoleh, mengikuti arah pandangannya.
Di atas sana, di antara bintang-bintang, ada sebuah konstelasi baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Sebuah pola yang sangat ia kenali.
Konstelasi berbentuk pedang yang mengarah ke langit.
Konstelasi milik Kael.
Elara menahan napas. Ia tidak tahu bagaimana, tetapi ia bisa merasakannya.
Kael tidak benar-benar hilang.
Ia telah menjadi bagian dari bintang, tertulis dalam takdir langit, selamanya.
Pria tua itu tersenyum kecil. “Sepertinya, dia menemukan caranya sendiri untuk tetap bersamamu.”
Elara menyeka air matanya. Rasa sakit masih ada, tetapi kini ada sesuatu yang berbeda.
Ia berdiri, menatap langit dengan keyakinan baru.
Kael telah mengorbankan dirinya, tetapi tidak untuk menghilang begitu saja.
Ia telah menjadi bagian dari takdir, bagian dari bintang-bintang yang akan terus bersinar, membimbingnya ke jalan yang benar.
Elara menarik napas dalam, merasakan angin malam yang kini terasa lebih lembut.
Ia tahu, perjalanannya belum selesai.
Dunia yang telah dibebaskan dari Raja Kegelapan masih membutuhkan seseorang yang bisa membimbingnya menuju masa depan baru.
Dan ia akan memastikan bahwa pengorbanan Kael tidak sia-sia.
Dengan langkah tegap, Elara berjalan pergi, meninggalkan Kota di Langit di belakangnya.
Di atas sana, bintang-bintang bersinar lebih terang dari sebelumnya.
Kael telah tertulis di langit.
Dan takdirnya… kini ada di tangannya sendiri.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.