Rayhan Ardana, seorang arsitek perfeksionis, selalu hidup dengan perencanaan matang dan tidak pernah percaya pada cinta. Baginya, cinta adalah sesuatu yang tidak pasti, sesuatu yang bisa mengganggu stabilitas hidupnya. Namun, semuanya berubah saat ia bertemu dengan Keyra Anindita, seorang pelukis berbakat yang penuh semangat dan spontanitas.
Keyra mengajarkan Rayhan tentang kebahagiaan, tentang menikmati hidup tanpa harus selalu merencanakan segalanya. Bersamanya, Rayhan mulai merasakan sesuatu yang baru—sesuatu yang selama ini ia hindari.
Namun, saat perasaan itu semakin dalam, kenyataan pahit menghantamnya. Keyra sudah bertunangan dengan pria lain dan akan menikah dalam waktu dekat.
Kini, mereka harus memilih melawan takdir demi cinta yang baru tumbuh, atau melepaskan perasaan yang datang di waktu yang salah.
“Jika aku bertemu denganmu lebih cepat, apakah kita akan bahagia? Atau tetap akan berakhir sama?”
Bab 1 – Perkenalan yang Tidak Direncanakan
Rayhan selalu percaya bahwa hidup ini adalah tentang logika dan perencanaan. Setiap langkahnya dipikirkan dengan matang, setiap keputusan diambil berdasarkan rasionalitas, bukan emosi. Baginya, cinta adalah sesuatu yang tidak pasti, sesuatu yang sulit dikontrol, dan karena itu, ia memilih untuk tidak membiarkan dirinya terjebak di dalamnya.
Namun, semua itu berubah pada suatu sore yang tampak biasa.
Hujan turun rintik-rintik di tengah kota yang sibuk. Rayhan baru saja keluar dari kantornya, sebuah firma arsitektur ternama di pusat Jakarta, setelah seharian bergulat dengan desain dan klien yang menuntut. Langit mendung dan angin dingin menyapa kulitnya, tetapi ia tak terlalu peduli.
Ia berjalan menuju kafe kecil di sudut jalan, tempatnya biasa menghabiskan waktu sebelum pulang ke apartemen. Kafe itu bukan tempat yang spesial, hanya tempat yang nyaman untuk menikmati secangkir kopi hitam tanpa gangguan.
Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda.
Atau lebih tepatnya, seseorang.
Saat ia membuka pintu kafe, matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang duduk di dekat jendela.
Wanita itu tampak begitu bersemangat berbicara dengan seseorang di teleponnya. Tangannya bergerak aktif, matanya berbinar saat ia tertawa. Meski hujan turun di luar, ia terlihat seolah membawa sinar matahari ke dalam ruangan.
Entah kenapa, Rayhan terpaku.
Ia tidak pernah percaya pada cinta pada pandangan pertama, tapi saat melihat wanita itu, ada sesuatu yang terasa berbeda.
Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengabaikan pikirannya sendiri. Ia hanya lelah, itu saja. Tidak ada yang spesial dengan wanita itu, hanya kebetulan ia melihatnya lebih dulu saat masuk ke kafe.
Namun, takdir sepertinya memiliki rencana lain.
Saat Rayhan melangkah menuju meja favoritnya, ia tak sengaja menabrak seorang pria yang baru saja beranjak dari kursinya. Pria itu kehilangan keseimbangan, dan dalam sekejap, gelas kopi yang ada di tangannya melayang… dan jatuh tepat ke arah wanita di dekat jendela.
Rayhan bisa melihat semuanya seperti dalam gerakan lambat.
Wanita itu tersentak, matanya melebar saat cairan kopi yang masih hangat tumpah ke bajunya.
“Astaga!” serunya, buru-buru berdiri dengan ekspresi panik.
Rayhan langsung mengambil beberapa tisu dari meja terdekat dan menyerahkannya padanya. “Maaf, aku—aku tidak sengaja,” katanya cepat.
Wanita itu menatapnya, lalu tertawa kecil. “Kau yang menabraknya, kan?” tanyanya sambil menerima tisu yang disodorkan.
Rayhan merasa bersalah, meskipun sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahannya. “Iya, aku benar-benar minta maaf.”
Wanita itu menatap bajunya yang kini ternoda coklat gelap. “Yah, setidaknya ini kopi, bukan cat,” katanya dengan nada ringan.
Rayhan mengernyit, sedikit bingung. “Cat?”
Wanita itu tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. “Keyra. Aku seorang pelukis.”
Rayhan menatap tangannya sejenak sebelum akhirnya menjabatnya. “Rayhan. Aku arsitek.”
Keyra mengangkat alis, tampak tertarik. “Oh? Arsitek, ya? Jadi kau tipe pria yang serius dan hanya peduli dengan bangunan?”
Rayhan sedikit terkejut dengan komentar itu, tapi ia tidak bisa menyangkalnya. “Kurang lebih begitu.”
Keyra tertawa kecil, lalu duduk kembali. “Aku selalu penasaran dengan orang-orang seperti kau, tahu? Orang yang menghabiskan hidupnya dengan perencanaan dan struktur. Aku lebih suka sesuatu yang spontan dan tidak terduga.”
Rayhan mendengar nada ceria dalam suaranya, sesuatu yang terasa asing baginya. Ia terbiasa dengan percakapan yang to the point, tanpa terlalu banyak basa-basi atau emosi.
Namun, ada sesuatu dalam diri Keyra yang membuatnya tertarik untuk terus mendengarkan.
Ia mendapati dirinya duduk di kursi di seberangnya, sesuatu yang biasanya tidak akan ia lakukan dengan orang asing. “Dan kau seorang pelukis?” tanyanya, mencoba memahami dunianya.
Keyra mengangguk. “Ya. Aku suka mengabadikan momen di atas kanvas. Warna dan bentuk tidak perlu mengikuti aturan, semuanya bebas. Tidak seperti dunia arsitektur yang penuh dengan perhitungan.”
Rayhan tersenyum kecil. “Kau akan terkejut mengetahui betapa banyak kebebasan yang juga ada dalam arsitektur.”
Keyra menatapnya dengan mata berbinar. “Oh? Mungkin kau bisa mengajarkanku sesuatu tentang itu.”
Rayhan menatap matanya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa nyaman berbicara dengan seseorang yang baru ia temui.
Ia tidak tahu apa yang berbeda kali ini.
Tapi ada satu hal yang pasti wanita ini membawa sesuatu yang baru dalam hidupnya.
Sesuatu yang selama ini ia hindari.
“Terkadang, hal terbaik dalam hidup datang bukan karena kita mencarinya, tetapi karena ia menemukan kita pada saat yang tidak terduga.”
Dan Rayhan baru saja menyadari…
Mungkin hidupnya baru saja berubah.
Tanpa ia sadari, pertemuan itu adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah ia rencanakan dan sesuatu yang tidak akan pernah ia lupakan.
Bab 2 – Pelajaran Tentang Bahagia
Rayhan tidak pernah menganggap dirinya seseorang yang mudah terpengaruh oleh orang lain. Hidupnya selama ini berjalan di jalur yang sudah ia rancang dengan baik—pekerjaan, kesuksesan, dan stabilitas. Namun, sejak pertemuannya dengan Keyra di kafe hari itu, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai berubah, meskipun ia belum bisa memahami sepenuhnya.
Hari itu, tanpa rencana, ia kembali ke kafe yang sama.
Ia tidak yakin apakah ia berharap bertemu dengan Keyra lagi atau hanya kebetulan ingin menikmati kopi di tempat yang mulai terasa familiar. Tapi saat ia mendorong pintu kafe dan melihat sosok yang sedang duduk di sudut ruangan dengan kuas di tangannya, ia menyadari sesuatu.
Mungkin ini bukan sekadar kebetulan.
“Kau datang lagi,” suara Keyra terdengar ceria saat melihatnya.
Rayhan mengangkat bahu kecil. “Kopinya enak,” katanya santai, meskipun ia tahu bukan itu alasan sebenarnya.
Keyra tersenyum, lalu melanjutkan lukisannya di atas kanvas kecil. Rayhan mengambil tempat di kursi di seberangnya, matanya secara alami tertarik pada apa yang sedang ia gambar.
“Kau suka melukis di kafe?” tanyanya, memperhatikan sapuan kuas yang lembut di atas kanvas.
Keyra mengangguk. “Ya. Aku suka mengabadikan momen di tempat-tempat yang membuatku nyaman.” Ia menatapnya sejenak sebelum kembali ke lukisannya. “Kadang-kadang, aku melukis orang-orang yang menarik perhatianku.”
Rayhan tidak melewatkan bagaimana Keyra sedikit tersenyum setelah mengatakan itu. “Aku harus khawatir kau diam-diam melukisku?” tanyanya setengah bercanda.
Keyra tertawa pelan. “Mungkin. Tapi jangan khawatir, aku belum menemukan sudut terbaikmu.”
Rayhan menggeleng sambil tersenyum. Perempuan ini memang penuh kejutan.
Percakapan mereka berlanjut dengan mudah, seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal. Bagi Rayhan, ini adalah hal baru.
Biasanya, ia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Tetapi bersama Keyra, ia merasa nyaman untuk berbagi. Tentang pekerjaannya, tentang bagaimana ia memilih menjadi arsitek karena ia menyukai kepastian dalam struktur, tentang bagaimana ia tidak pernah benar-benar percaya pada kebetulan.
“Jadi, hidupmu selalu tentang perencanaan?” Keyra bertanya dengan nada tertarik.
Rayhan mengangguk. “Ya. Aku tidak suka hal-hal yang tidak bisa diprediksi.”
Keyra tersenyum, matanya penuh cahaya yang sulit dijelaskan. “Kalau begitu, aku ingin mengajarkan sesuatu padamu.”
Rayhan mengangkat alis. “Mengajarkan apa?”
Keyra bersandar ke kursinya, mengaduk kopinya dengan santai. “Tentang kebahagiaan.”
Rayhan terdiam. Itu bukan jawaban yang ia harapkan.
“Apa maksudmu?” tanyanya akhirnya.
Keyra menatapnya langsung, senyumnya masih ada tetapi kali ini lebih lembut. “Kau terlalu sibuk mengendalikan hidupmu, Rayhan. Tapi kau lupa bahwa kebahagiaan sering datang dari hal-hal kecil yang tidak kita rencanakan.”
Rayhan ingin menyangkal, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa.
Keyra melanjutkan, “Seperti hari ini, misalnya. Kau tidak merencanakan untuk bertemu denganku lagi, kan?”
Rayhan mengangguk pelan.
“Tapi kau ada di sini,” lanjut Keyra. “Dan kau tersenyum lebih banyak daripada yang kau sadari.”
Rayhan terdiam, menyadari bahwa kata-kata Keyra ada benarnya. Ia tidak bisa ingat kapan terakhir kali ia menghabiskan waktu hanya untuk menikmati momen, tanpa terbebani oleh tenggat waktu atau perencanaan.
“Kau tidak perlu selalu memiliki kendali atas segalanya, Rayhan,” kata Keyra pelan. “Terkadang, kau hanya perlu membiarkan hidup membawamu ke tempat yang tepat.”
Rayhan tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya.
Baginya, hidup adalah sesuatu yang harus dijalani dengan disiplin dan rencana yang matang. Tapi bersama Keyra, ia mulai melihat bahwa mungkin ada cara lain untuk menikmati hidup—cara yang lebih sederhana, lebih spontan.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ingin mencobanya.
“Kebahagiaan tidak selalu datang dari rencana yang sempurna. Kadang, ia muncul dalam bentuk seseorang yang tidak kau duga.”
Saat Rayhan meninggalkan kafe hari itu, ia menyadari sesuatu.
Ia tidak hanya menemukan seseorang yang menarik.
Ia menemukan seseorang yang perlahan mengubah caranya melihat dunia.
Dan itu menakutkan… tapi juga terasa begitu benar.
Bab 2 – Pelajaran Tentang Bahagia
Rayhan tidak pernah menganggap dirinya seseorang yang mudah terpengaruh oleh orang lain. Hidupnya selama ini berjalan di jalur yang sudah ia rancang dengan baikpekerjaan, kesuksesan, dan stabilitas. Namun, sejak pertemuannya dengan Keyra di kafe hari itu, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai berubah, meskipun ia belum bisa memahami sepenuhnya.
Hari itu, tanpa rencana, ia kembali ke kafe yang sama.
Ia tidak yakin apakah ia berharap bertemu dengan Keyra lagi atau hanya kebetulan ingin menikmati kopi di tempat yang mulai terasa familiar. Tapi saat ia mendorong pintu kafe dan melihat sosok yang sedang duduk di sudut ruangan dengan kuas di tangannya, ia menyadari sesuatu.
Mungkin ini bukan sekadar kebetulan.
“Kau datang lagi,” suara Keyra terdengar ceria saat melihatnya.
Rayhan mengangkat bahu kecil. “Kopinya enak,” katanya santai, meskipun ia tahu bukan itu alasan sebenarnya.
Keyra tersenyum, lalu melanjutkan lukisannya di atas kanvas kecil. Rayhan mengambil tempat di kursi di seberangnya, matanya secara alami tertarik pada apa yang sedang ia gambar.
“Kau suka melukis di kafe?” tanyanya, memperhatikan sapuan kuas yang lembut di atas kanvas.
Keyra mengangguk. “Ya. Aku suka mengabadikan momen di tempat-tempat yang membuatku nyaman.” Ia menatapnya sejenak sebelum kembali ke lukisannya. “Kadang-kadang, aku melukis orang-orang yang menarik perhatianku.”
Rayhan tidak melewatkan bagaimana Keyra sedikit tersenyum setelah mengatakan itu. “Aku harus khawatir kau diam-diam melukisku?” tanyanya setengah bercanda.
Keyra tertawa pelan. “Mungkin. Tapi jangan khawatir, aku belum menemukan sudut terbaikmu.”
Rayhan menggeleng sambil tersenyum. Perempuan ini memang penuh kejutan.
Percakapan mereka berlanjut dengan mudah, seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal. Bagi Rayhan, ini adalah hal baru.
Biasanya, ia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Tetapi bersama Keyra, ia merasa nyaman untuk berbagi. Tentang pekerjaannya, tentang bagaimana ia memilih menjadi arsitek karena ia menyukai kepastian dalam struktur, tentang bagaimana ia tidak pernah benar-benar percaya pada kebetulan.
“Jadi, hidupmu selalu tentang perencanaan?” Keyra bertanya dengan nada tertarik.
Rayhan mengangguk. “Ya. Aku tidak suka hal-hal yang tidak bisa diprediksi.”
Keyra tersenyum, matanya penuh cahaya yang sulit dijelaskan. “Kalau begitu, aku ingin mengajarkan sesuatu padamu.”
Rayhan mengangkat alis. “Mengajarkan apa?”
Keyra bersandar ke kursinya, mengaduk kopinya dengan santai. “Tentang kebahagiaan.”
Rayhan terdiam. Itu bukan jawaban yang ia harapkan.
“Apa maksudmu?” tanyanya akhirnya.
Keyra menatapnya langsung, senyumnya masih ada tetapi kali ini lebih lembut. “Kau terlalu sibuk mengendalikan hidupmu, Rayhan. Tapi kau lupa bahwa kebahagiaan sering datang dari hal-hal kecil yang tidak kita rencanakan.”
Rayhan ingin menyangkal, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa.
Keyra melanjutkan, “Seperti hari ini, misalnya. Kau tidak merencanakan untuk bertemu denganku lagi, kan?”
Rayhan mengangguk pelan.
“Tapi kau ada di sini,” lanjut Keyra. “Dan kau tersenyum lebih banyak daripada yang kau sadari.”
Rayhan terdiam, menyadari bahwa kata-kata Keyra ada benarnya. Ia tidak bisa ingat kapan terakhir kali ia menghabiskan waktu hanya untuk menikmati momen, tanpa terbebani oleh tenggat waktu atau perencanaan.
“Kau tidak perlu selalu memiliki kendali atas segalanya, Rayhan,” kata Keyra pelan. “Terkadang, kau hanya perlu membiarkan hidup membawamu ke tempat yang tepat.”
Rayhan tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya.
Baginya, hidup adalah sesuatu yang harus dijalani dengan disiplin dan rencana yang matang. Tapi bersama Keyra, ia mulai melihat bahwa mungkin ada cara lain untuk menikmati hidup cara yang lebih sederhana, lebih spontan.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ingin mencobanya.
“Kebahagiaan tidak selalu datang dari rencana yang sempurna. Kadang, ia muncul dalam bentuk seseorang yang tidak kau duga.”
Saat Rayhan meninggalkan kafe hari itu, ia menyadari sesuatu.
Ia tidak hanya menemukan seseorang yang menarik.
Ia menemukan seseorang yang perlahan mengubah caranya melihat dunia.
Dan itu menakutkan… tapi juga terasa begitu benar.
Bab 3 – Perasaan yang Tak Bisa Dibohongi
Rayhan mulai menyadari sesuatu yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini—ia menantikan setiap pertemuannya dengan Keyra.
Awalnya, ia mencoba menyangkalnya. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini hanya interaksi biasa, bahwa Keyra hanyalah seseorang yang menarik untuk diajak berbicara. Namun, semakin sering mereka bertemu, semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan yang perlahan tumbuh di dalam hatinya.
Ia yang biasanya selalu tenang dan logis, kini mendapati dirinya memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak ada dalam rencananya.
Bagaimana jika Keyra adalah seseorang yang lebih dari sekadar teman mengobrol di kafe?
Bagaimana jika ia mulai menginginkannya dalam hidupnya… lebih dari sekadar teman?
Malam itu, Rayhan duduk di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan. Biasanya, setelah seharian bekerja, ia akan menikmati ketenangan seperti ini, membiarkan pikirannya fokus pada proyek yang sedang ia kerjakan.
Namun kali ini, pikirannya penuh dengan satu nama.
Keyra.
Cara dia tertawa, cara dia berbicara dengan penuh semangat, cara dia membuat sesuatu yang sederhana terasa begitu berarti.
Rayhan menghela napas panjang. Ia benci perasaan ini. Ia benci bagaimana perasaan ini mulai mengendalikan pikirannya.
Cinta selalu menjadi sesuatu yang ia hindari. Baginya, cinta adalah sesuatu yang tidak pasti, sesuatu yang bisa merusak stabilitas hidupnya. Ia telah melihat bagaimana cinta bisa membuat seseorang kehilangan kendali—dan ia tidak ingin mengalami hal yang sama.
Namun, semakin ia mencoba menjauh dari perasaan itu, semakin perasaan itu mengikatnya erat.
Hari berikutnya, mereka bertemu lagi di kafe yang sama.
Keyra sudah menunggu di meja dekat jendela, dengan secangkir kopi di tangannya dan sebuah buku sketsa di depannya. Ia tersenyum saat melihat Rayhan datang.
“Aku sudah memesan kopi untukmu,” katanya sambil menunjuk cangkir di seberang meja.
Rayhan mengangkat alis. “Kau sudah tahu pesanan favoritku?”
Keyra terkekeh. “Aku bukan peramal, tapi aku cukup memperhatikan.”
Rayhan duduk dan mengambil cangkirnya. “Terima kasih,” katanya singkat.
Mereka mengobrol seperti biasa—tentang pekerjaan, tentang seni, tentang hal-hal kecil yang sering diabaikan orang lain. Namun, kali ini, Rayhan merasa ada sesuatu yang berbeda.
Setiap kali Keyra tersenyum, dadanya terasa hangat.
Setiap kali tangan mereka tidak sengaja bersentuhan, ia merasakan getaran aneh yang sulit dijelaskan.
Ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, tetapi semakin ia mencoba, semakin ia menyadari kebenaran yang tak bisa ia tolak.
Ia jatuh cinta pada Keyra.
Saat mereka berjalan keluar dari kafe bersama, Keyra tiba-tiba berkata, “Rayhan, kau pernah merasa takut pada sesuatu?”
Rayhan menoleh padanya. “Takut?”
Keyra mengangguk. “Ya. Takut merasa sesuatu yang seharusnya tidak kau rasakan.”
Rayhan terdiam.
Keyra menatap ke arah langit yang mulai gelap. “Aku hanya penasaran… bagaimana jika kita menemukan sesuatu yang indah, tapi kita tahu bahwa itu bukan untuk kita?”
Rayhan menelan ludah. Apakah Keyra merasakan hal yang sama?
Apakah ia juga menyadari bahwa ada sesuatu di antara mereka yang perlahan berkembang?
Ia ingin bertanya. Ia ingin tahu.
Namun, sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Keyra tersenyum dan berkata, “Lupakan. Aku hanya berpikir terlalu banyak.”
Mereka melanjutkan langkah mereka dalam diam. Namun, dalam hati Rayhan, ada satu pertanyaan yang tidak bisa ia abaikan.
Bagaimana jika ia benar-benar menemukan sesuatu yang indah… tetapi itu bukan miliknya?
“Cinta datang tanpa rencana, tanpa aba-aba. Dan ketika ia hadir, kau hanya punya dua pilihan mengakuinya, atau menghindarinya dengan berpura-pura tidak tahu.”
Dan Rayhan tahu… ia tidak bisa berpura-pura lebih lama lagi.
Bab 4 – Kenyataan yang Menyakitkan
Rayhan tidak bisa lagi menyangkal apa yang ia rasakan.
Setiap kali ia melihat Keyra, dadanya terasa hangat. Setiap kali mereka berbicara, ia menemukan dirinya ingin mendengar lebih banyak. Setiap kali ia melihat Keyra tersenyum, ada sesuatu di dalam dirinya yang berharap agar ia bisa menjadi alasan di balik senyum itu selamanya.
Tapi ada satu hal yang tidak ia ketahui.
Dan ketika ia mengetahuinya, semuanya hancur dalam sekejap.
Hari itu, Rayhan sedang berjalan menuju kafe tempat biasa mereka bertemu. Di tangannya ada sebuah buku sketsa yang diam-diam ia beli setelah mendengar Keyra menyebutkan betapa ia ingin menggambar dengan kertas berkualitas lebih baik.
Ia tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya—memikirkan hal kecil untuk seseorang. Tapi kali ini, ia ingin melakukan sesuatu untuk Keyra, sekecil apa pun itu.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat pemandangan di depan kafe.
Keyra berdiri di sana, berbicara dengan seorang pria.
Pria itu tampak rapi, dengan setelan kasual namun elegan, dan cara dia berbicara dengan Keyra terasa begitu… akrab.
Rayhan memperhatikan bagaimana Keyra tersenyum padanya, bagaimana mereka tertawa bersama, dan bagaimana tangan pria itu dengan santai menyentuh lengan Keyra seolah itu adalah hal yang biasa.
Dan saat pria itu menarik Keyra ke dalam pelukannya, Rayhan merasakan sesuatu di dalam dirinya runtuh.
Ia tidak tahu kenapa ia berdiri di sana, membiarkan dirinya menyaksikan semua itu.
Tapi saat Keyra akhirnya melihatnya, ekspresi di wajahnya berubah.
“Rayhan…” Keyra tampak terkejut, seolah tidak menyangka bahwa Rayhan ada di sana.
Pria di sampingnya ikut menoleh dan tersenyum ramah. “Oh, kau pasti Rayhan. Keyra sering bercerita tentangmu.”
Rayhan hanya bisa diam.
Ia ingin bertanya, ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi sebelum ia sempat berkata apa pun, Keyra sudah berbicara lebih dulu.
“Rayhan, ini Adrian,” katanya dengan suara pelan. “Tunanganku.”
Dunia Rayhan seakan berhenti berputar.
Tunangannya?
Kata itu terasa asing di telinganya, seperti sesuatu yang tidak seharusnya ada dalam kalimat yang menghubungkan Keyra dengannya.
Ia tidak bisa mengerti.
Bagaimana bisa seseorang seperti Keyra—yang bebas, yang selalu bicara tentang menjalani hidup dengan spontan—ternyata sudah terikat dengan seseorang?
Kenapa ia tidak pernah menyebutkan hal ini sebelumnya?
Kenapa ia membiarkan Rayhan jatuh ke dalam sesuatu yang seharusnya tidak pernah ia rasakan?
“Rayhan?” suara Keyra memecah kebisuannya.
Rayhan menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum kecil—senyum yang tidak sampai ke matanya. “Aku… aku harus pergi.”
Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan buku sketsa yang sejak tadi ia genggam erat di tangannya.
Malam itu, Rayhan duduk diam di apartemennya.
Ia mencoba memahami perasaannya, tetapi semuanya terasa seperti kekacauan yang tak bisa dijelaskan.
Bagaimana bisa ia jatuh cinta pada seseorang yang tidak bisa ia miliki?
Bagaimana bisa ia berharap pada sesuatu yang sudah sejak awal ditakdirkan bukan untuknya?
Ia mengingat senyum Keyra, tawa ringannya, caranya berbicara tentang kebahagiaan…
Dan ia bertanya-tanya, apakah ia hanya sekadar seseorang yang kebetulan lewat dalam hidup Keyra?
Ataukah Keyra juga merasakan sesuatu yang sama?
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Rayhan merasakan sesuatu yang begitu ia hindari.
Sakit.
Bab 5 – Menjauh atau Bertahan?
Sejak malam itu, Rayhan tidak pernah lagi datang ke kafe tempat ia dan Keyra biasa bertemu.
Ia berusaha menghilang, seolah-olah perasaan yang tumbuh di antara mereka tidak pernah ada. Seolah-olah waktu yang mereka habiskan bersama hanyalah kebetulan yang tidak pernah berarti apa-apa.
Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin pikirannya dipenuhi oleh Keyra.
Setiap kali ia melewati sudut jalan tempat kafe itu berada, ia harus menahan diri untuk tidak masuk. Setiap kali ponselnya bergetar, ia berharap itu adalah pesan dari Keyra—meskipun ia tahu ia tidak akan tahu bagaimana harus meresponsnya.
Dan ketika akhirnya pesan itu benar-benar datang, Rayhan hanya bisa menatapnya lama, tanpa berani membukanya.
Keyra: “Bisakah kita bicara?”
Rayhan tidak tahu kenapa akhirnya ia memutuskan untuk menemui Keyra hari itu.
Mungkin karena ia membutuhkan jawaban.
Atau mungkin… karena ia tidak bisa menghindarinya lebih lama lagi.
Saat ia tiba di kafe, Keyra sudah menunggunya di meja yang biasa mereka tempati.
Ia tampak berbeda—tidak ada senyum cerah yang biasa ia tunjukkan. Matanya menyiratkan kegelisahan, dan tangannya menggenggam cangkir kopi yang hampir kosong, seolah-olah ia sudah duduk di sana lebih lama dari yang seharusnya.
Ketika Rayhan duduk di depannya, ada jeda yang panjang sebelum salah satu dari mereka berbicara.
“Aku pikir kau tidak akan datang,” kata Keyra akhirnya, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Rayhan menatapnya dalam. “Aku juga berpikir begitu.”
Keyra tersenyum kecil, meskipun tatapannya masih terlihat terluka. “Rayhan… aku ingin menjelaskan.”
Rayhan menghela napas, menatap cangkir kopi di depannya. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?”
Keyra terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Aku… aku tidak berpikir ini akan menjadi serumit ini.”
Rayhan mendongak, menatapnya tajam. “Serumit apa, Keyra? Bahwa kita semakin dekat? Bahwa aku mulai berharap sesuatu yang tidak seharusnya aku harapkan?”
Keyra menggigit bibirnya, ekspresinya penuh rasa bersalah. “Aku tidak ingin menyakitimu.”
Rayhan tertawa kecil, getir. “Tapi kau sudah melakukannya.”
Keyra menutup matanya sesaat sebelum berkata, “Aku tidak ingin ini terjadi, Rayhan. Aku tidak ingin merasa seperti ini…”
Rayhan mengerutkan kening. “Merasa seperti apa?”
Keyra menatapnya, dan di matanya ada sesuatu yang tidak bisa disembunyikan.
“Aku juga merasa kehilangan saat kau menjauh,” bisiknya.
Kata-kata itu seharusnya membuat Rayhan bahagia.
Tapi kenyataannya, itu hanya membuat segalanya semakin sulit.
Ia ingin percaya bahwa ada kemungkinan bagi mereka, bahwa Keyra merasakan sesuatu yang sama seperti yang ia rasakan.
Tapi bagaimana dengan Adrian?
Bagaimana dengan pernikahan yang sudah direncanakan?
Rayhan menggeleng pelan, suaranya terdengar lelah. “Jadi, apa yang kau inginkan, Keyra?”
Keyra terdiam, ekspresinya penuh kebingungan. “Aku tidak tahu,” katanya akhirnya. “Aku tidak ingin kehilanganmu, tapi aku juga tidak bisa begitu saja mengubah semuanya.”
Rayhan menatapnya lama sebelum menghela napas. “Mungkin kau harus membuat pilihan.”
Keyra menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Dan jika aku memilih sesuatu yang tidak bisa membuat kita bersama?”
Rayhan tersenyum pahit. “Maka aku harus belajar melepaskan.”
“Aku ingin membencimu karena kau membuatku merasakan ini… tapi bagaimana mungkin aku membenci seseorang yang membuatku bahagia?”
Rayhan meninggalkan kafe itu dengan langkah berat, meninggalkan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa ia miliki.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu satu hal.
Beberapa perasaan memang tidak seharusnya datang di waktu yang salah.
Dan beberapa cinta… hanya bisa dirasakan, tanpa pernah bisa dimiliki.
Bab 6 – Saat Kebenaran Terungkap
Hujan turun perlahan saat Rayhan duduk di dalam mobilnya, menatap kosong ke arah jalan yang basah. Lampu-lampu kota berpendar di kaca jendela, menciptakan refleksi yang samar. Namun, pikirannya tidak ada di sana.
Pikirannya masih tertinggal di kafe tadi—bersama Keyra, bersama kata-kata yang masih bergema di benaknya.
“Aku juga merasa kehilangan saat kau menjauh.”
Jika itu benar, kenapa mereka tidak bisa bersama?
Jika Keyra juga merasakan hal yang sama, kenapa ada batas yang tidak bisa mereka lewati?
Rayhan ingin marah. Ia ingin menyalahkan keadaan, menyalahkan waktu, bahkan menyalahkan Keyra karena tidak memberitahunya sejak awal. Tapi lebih dari itu, ia ingin mengerti.
Ia ingin tahu apakah ada kemungkinan sekecil apa pun untuk mereka.
Dan satu-satunya cara untuk menemukan jawabannya adalah dengan mengetahui seluruh kebenaran.
Malam itu, Rayhan menghubungi Keyra.
“Butuh waktu untuk bicara?” tanyanya langsung begitu Keyra mengangkat telepon.
Di ujung sana, ada keheningan sebelum akhirnya Keyra menjawab, “Aku di studio. Kau bisa datang?”
Rayhan tidak menunggu lama.
Studio Keyra adalah tempat yang berbeda dari dunia Rayhan.
Jika hidup Rayhan penuh dengan garis lurus dan perhitungan, tempat ini adalah kebalikannya—berantakan tapi hangat, penuh dengan warna, kanvas-kanvas yang bersandar di dinding, dan aroma cat yang khas.
Ketika ia masuk, Keyra sedang duduk di lantai, dikelilingi oleh beberapa lukisan yang belum selesai. Ia menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke kanvas di depannya.
“Kau ingin tahu segalanya, bukan?” Keyra bertanya tanpa basa-basi.
Rayhan mengangguk dan duduk di hadapannya. “Ya.”
Keyra mengambil napas dalam sebelum mulai berbicara.
“Aku dan Adrian bertunangan dua tahun lalu. Itu bukan keputusan yang sepenuhnya aku buat sendiri,” katanya, suaranya tenang namun penuh emosi. “Aku… aku selalu mencoba meyakinkan diriku bahwa dia adalah pilihan yang tepat. Dia pria baik, Rayhan. Dia selalu ada untukku. Dan keluargaku menyayanginya.”
Rayhan tetap diam, mendengarkan.
“Tapi aku tidak pernah merasa bebas dengannya.”
Kata-kata itu membuat Rayhan menegakkan punggungnya.
“Apa maksudmu?” tanyanya pelan.
Keyra menatapnya, matanya menyimpan kebingungan yang dalam. “Kau tahu bagaimana aku, Rayhan. Aku selalu ingin menjalani hidup dengan spontan, mengikuti kata hatiku… tapi bersamanya, aku selalu merasa seperti harus memenuhi ekspektasi. Aku harus menjadi versi terbaik dari diriku yang diinginkan orang lain.”
Rayhan tidak bisa berkata apa-apa.
Ia ingin memahami, tapi ia juga tidak ingin berharap lebih dari sesuatu yang tidak bisa ia miliki.
Keyra mengusap wajahnya, suaranya bergetar. “Aku mencintainya… dengan cara yang berbeda. Aku menyayangi Adrian karena dia adalah bagian dari hidupku. Tapi aku tidak pernah merasa… seperti ini.”
Rayhan tahu apa yang dimaksud Keyra.
Apa yang mereka miliki—hubungan yang tumbuh tanpa rencana, tanpa harapan yang dipaksakan—terasa lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Tapi apakah itu cukup?
“Jadi, apa yang akan kau lakukan?” Rayhan akhirnya bertanya.
Keyra menunduk, tangannya mengepal di atas lututnya. “Aku tidak tahu,” bisiknya. “Aku tidak ingin menyakiti siapa pun.”
Rayhan menghela napas panjang. “Tapi kau tahu bahwa salah satu dari kita pasti akan terluka, bukan?”
Keyra menatapnya dengan mata yang basah. “Aku tahu.”
Rayhan menggenggam tangannya, mencoba menenangkan dirinya sendiri lebih dari sekadar menenangkan Keyra.
“Mungkin kita memang datang di waktu yang salah… tapi apa salah jika aku berharap kita bisa menulis ulang waktu?”
Keyra tersenyum kecil, meskipun air matanya jatuh. “Jika saja itu semudah itu.”
Rayhan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Kadang, waktu bukan masalahnya. Tapi keberanian untuk memilih.”
Malam itu, mereka tidak mendapatkan jawaban.
Hanya kenyataan yang semakin menyakitkan.
Bahwa perasaan mereka nyata.
Tapi kenyataan yang mereka hadapi tidak semudah mengikuti hati.
Dan entah bagaimana, Rayhan tahu apapun yang terjadi, salah satu dari mereka akan tersakiti.
Bab 7 – Antara Cinta dan Tanggung Jawab
Rayhan tidak tahu berapa lama ia duduk diam di dalam mobilnya setelah meninggalkan studio Keyra malam itu.
Hujan telah reda, menyisakan udara dingin yang menyusup ke dalam kabin mobilnya. Namun, yang membekukan bukanlah cuaca—melainkan kenyataan yang baru saja ia dengar.
Keyra mencintai Adrian… dengan cara yang berbeda.
Dan apa yang mereka milikiperasaan yang begitu nyata, begitu dalam tidak bisa serta-merta mengubah keputusan yang telah dibuat.
Di satu sisi, ada cinta yang hadir begitu tulus, tanpa rencana.
Di sisi lain, ada tanggung jawab yang sudah lama tertanam dalam hidup Keyra.
Dan ia tahu, pada akhirnya, salah satu dari mereka harus menyerah.
Rayhan tidak menghubungi Keyra selama beberapa hari setelah percakapan mereka di studio.
Bukan karena ia ingin menjauh.
Tapi karena ia ingin memberi Keyra waktu untuk berpikir.
Namun, ketika akhirnya ia bertemu dengannya lagi—bukan karena kebetulan, melainkan karena Keyra yang memintanya—Rayhan bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sorot mata Keyra.
Mereka bertemu di sebuah taman yang sepi, jauh dari keramaian kota.
Keyra datang dengan mengenakan sweater hangat berwarna abu-abu, rambutnya diikat longgar, dan tangannya saling menggenggam erat seolah menahan sesuatu di dalam dirinya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Rayhan, meskipun ia tahu jawabannya tidak sesederhana itu.
Keyra mengangguk, lalu menghela napas panjang. “Aku… aku berbicara dengan Adrian.”
Jantung Rayhan berdegup kencang.
“Apa yang kau katakan?”
Keyra menunduk, memainkan ujung sweaternya. “Aku bertanya… apakah aku benar-benar mencintainya.”
Rayhan menelan ludah, menunggu kelanjutannya.
“Aku tidak bisa bohong, Rayhan.” Keyra mengangkat wajahnya, dan kali ini ada kesedihan dalam tatapannya. “Aku menyayanginya. Aku menghormatinya. Tapi… aku tidak tahu apakah itu cukup untuk menikah dengannya.”
Rayhan ingin merasa lega.
Ia ingin berpikir bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik bagi mereka.
Namun, sebelum ia sempat mengutarakan pikirannya, Keyra melanjutkan, “Tapi aku juga tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”
Rayhan merasa dadanya mencengkeram.
Keyra menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Aku telah menjadi bagian dari hidupnya begitu lama. Aku tidak bisa dengan mudah mengatakan bahwa aku ingin pergi hanya karena aku menemukan sesuatu yang lain… sesuatu yang berbeda.”
Rayhan mengerti.
Ia mengerti bahwa ini bukan hanya tentang cinta, bukan hanya tentang apa yang mereka rasakan satu sama lain.
Ini tentang pilihan yang lebih besar dari perasaan.
“Jadi… apa yang akan kau lakukan?” Rayhan akhirnya bertanya, meskipun ia takut akan jawabannya.
Keyra menghembuskan napas panjang. “Aku tidak tahu.”
Rayhan tertawa kecil, tapi tanpa kebahagiaan. “Itu jawaban yang sama seperti yang kau berikan terakhir kali.”
Keyra tersenyum tipis, sedih. “Karena aku benar-benar tidak tahu, Rayhan. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun.”
Rayhan menggeleng, menatapnya lama. “Tapi kau tahu bahwa pada akhirnya, salah satu dari kita akan terluka, bukan?”
Keyra menggigit bibirnya, air matanya akhirnya jatuh.
“Aku tahu,” bisiknya.
Rayhan menutup mata sejenak sebelum berkata, “Mungkin, jawaban sebenarnya bukan tentang siapa yang harus kau pilih… tapi siapa yang tidak bisa kau lepaskan.”
Keyra tidak menjawab.
Namun, dalam keheningan itu, Rayhan tahu sesuatu.
Bahwa meskipun perasaan mereka begitu nyata, meskipun mereka saling menginginkan…
Ada bagian dalam diri Keyra yang masih belum bisa melepaskan Adrian.
Dan bagi Rayhan, itu sudah cukup sebagai jawaban.
“Aku mencintaimu, tapi aku juga tidak ingin menjadi alasan seseorang terluka.”
Malam itu, Rayhan memutuskan sesuatu yang paling sulit dalam hidupnya.
Ia tidak akan memaksa Keyra memilih.
Karena jika Keyra benar-benar mencintainya, ia tidak perlu meminta pilihan itu sejak awal.
Dan jika cinta yang mereka miliki datang di waktu yang salah… maka mungkin itu bukan cinta yang seharusnya mereka perjuangkan.
Rayhan akhirnya mengerti.
Terkadang, cinta bukan hanya tentang memperjuangkan seseorang.
Tapi juga tahu kapan harus berhenti.
Bab 8 – Perpisahan yang Menyesakkan
Rayhan tidak pernah menyukai perpisahan.
Ia selalu percaya bahwa jika sesuatu dimulai dengan baik, maka seharusnya itu juga bisa berakhir dengan baik. Namun, apa yang ia rasakan sekarang bertentangan dengan keyakinannya.
Ia tidak pernah menyangka bahwa seseorang bisa datang dalam hidupnya, mengajarkannya tentang kebahagiaan, hanya untuk pergi meninggalkan luka yang tidak bisa dihindari.
Dan lebih menyakitkannya lagi, ia tidak bisa menyalahkan siapa pun atas perasaan ini.
Rayhan tidak datang ke kafe itu lagi.
Ia tidak ingin berisiko bertemu dengan Keyra, tidak ingin merasakan harapan yang tidak seharusnya ada.
Namun, suatu sore, Keyra menghubunginya.
“Aku ingin bertemu,” katanya pelan di telepon.
Rayhan diam sejenak. “Kenapa?”
Keyra tidak langsung menjawab. “Aku ingin mengucapkan selamat tinggal dengan benar.”
Jantung Rayhan terasa mencengkeram.
Mungkin ia bisa menolak, mungkin ia bisa memilih untuk tidak datang. Tapi ia tahu, jika ia tidak menutup kisah ini dengan benar, ia akan selamanya terjebak dalam harapan yang tidak seharusnya ada.
Dan karena itu, ia datang.
Mereka bertemu di taman yang sama, tempat terakhir kali mereka berbicara dari hati ke hati.
Keyra berdiri di dekat bangku kayu, mengenakan mantel cokelat, wajahnya terlihat lebih tenang dibanding terakhir kali mereka bertemu.
Namun, Rayhan tahu—di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang ia sembunyikan.
“Aku akan menikah minggu depan,” kata Keyra, langsung ke intinya.
Rayhan menelan ludah, tapi tetap berusaha tersenyum. “Selamat.”
Keyra tersenyum kecil, meskipun matanya berkaca-kaca. “Aku ingin mengucapkan terima kasih.”
“Untuk apa?”
Keyra menghela napas. “Untuk semua yang kau ajarkan padaku. Untuk membuatku mengerti bahwa kebahagiaan bukan hanya tentang mengikuti rencana, tapi juga tentang berani merasakan sesuatu yang nyata.”
Rayhan tidak tahu harus berkata apa.
Karena jika ia jujur, Keyra juga telah mengajarkan sesuatu padanya.
Bahwa terkadang, bahkan perasaan yang paling indah pun tidak selalu bisa dimiliki.
Keyra menatapnya, suaranya lebih lembut. “Jika aku bertemu denganmu lebih cepat… apakah kita akan bahagia?”
Rayhan tersenyum tipis, meskipun ada luka yang ia sembunyikan. “Atau tetap akan berakhir sama.”
Mereka terdiam lama.
Udara sore yang sejuk seolah ikut merangkul mereka dalam keheningan yang menyakitkan.
Lalu, Keyra mengambil sesuatu dari tasnya sebuah buku sketsa yang sudah agak lusuh.
“Ini untukmu,” katanya sambil menyerahkannya pada Rayhan.
Rayhan mengambilnya, merasa familiar dengan benda itu.
Dan saat ia membukanya, ia tersentak.
Di dalamnya, ada sketsa-sketsa dirinya.
Sketsa saat ia duduk di kafe, saat ia tersenyum samar, saat ia menatap jendela dengan tatapan kosong.
Rayhan menatap Keyra, matanya penuh pertanyaan.
“Aku sudah menggambarmu sejak lama,” kata Keyra pelan. “Aku hanya tidak pernah punya keberanian untuk mengatakannya.”
Rayhan menutup matanya sejenak, merasakan sesuatu yang tajam menusuk dadanya.
Mereka saling mencintai.
Tapi itu tidak cukup untuk mengubah takdir.
Dan dengan itu, ia akhirnya sadar…
Ini adalah akhir mereka.
Bukan karena mereka tidak menginginkannya.
Tapi karena terkadang, cinta yang datang di waktu yang salah hanya bisa dikenang, bukan diperjuangkan.
“Cinta bukan selalu tentang memiliki. Terkadang, cinta adalah tentang melepaskan dan berharap seseorang bahagia, meski bukan bersamamu.”
Rayhan menatap Keyra sekali lagi, mencoba menghafal setiap detail wajahnya sebelum semuanya benar-benar berlalu.
Lalu, ia tersenyum.
Dan dengan suara yang hampir bergetar, ia berkata, “Selamat tinggal, Keyra.”
Keyra menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. “Selamat tinggal, Rayhan.”
Lalu ia berbalik, berjalan pergi.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rayhan tidak mencoba menghentikannya.
Bab 9 – Waktu yang Tidak Bisa Diubah
Rayhan menjalani hari-harinya seperti biasa, atau setidaknya ia mencoba.
Setiap pagi, ia berangkat ke kantor, menyibukkan diri dengan proyek-proyek besar yang dulu selalu membuatnya bersemangat. Namun, kali ini, ada yang berbeda.
Dunia terasa lebih sunyi.
Kopi pagi yang biasa ia nikmati di kafe terasa hambar.
Setiap sudut kota yang pernah ia lewati bersama Keyra kini terasa seperti luka yang belum sembuh.
Namun, Rayhan tetap menjalani hidupnya.
Karena begitulah seharusnya, bukan?
Cinta yang datang di waktu yang salah bukanlah alasan untuk berhenti melangkah.
Satu bulan setelah perpisahan mereka, Rayhan menerima undangan pernikahan Keyra.
Amplop putih dengan nama yang tertulis rapi di bagian depan.
Keyra & Adrian
Tangannya sedikit gemetar saat membuka undangan itu.
Tentu saja, ia sudah tahu bahwa pernikahan itu akan terjadi. Keyra sendiri yang mengatakannya. Namun, melihat nama mereka di atas kertas, ditulis dengan tinta emas yang mewah, membuat segalanya terasa lebih nyata.
Ini adalah saat di mana ia harus benar-benar menerima kenyataan.
Keyra kini bukan lagi bagian dari hidupnya.
Ia bukan lagi wanita yang duduk di depannya di kafe, berbicara tentang impian dan kebebasan.
Ia bukan lagi seseorang yang bisa ia cari kapan saja ia rindu.
Ia sekarang adalah istri orang lain.
Dan Rayhan harus menerimanya.
Malam sebelum pernikahan Keyra, Rayhan duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berkedip di kejauhan.
Ia tidak datang ke pernikahan itu.
Bukan karena ia tidak ingin memberikan restunya, tetapi karena ia tahu, berada di sana hanya akan membuatnya semakin sulit untuk melanjutkan hidup.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa sepenuhnya melupakan Keyra.
Karena ada cinta yang tak perlu dimiliki untuk tetap hidup di dalam hati.
Ada kenangan yang tak perlu diulang untuk tetap bermakna.
Dan ada perasaan yang meskipun tak pernah bisa diperjuangkan, tetap menjadi bagian dari siapa dirinya.
“Jika aku bertemu denganmu di kehidupan lain, di waktu yang lebih baik, mungkin kita bisa menemukan akhir yang berbeda.”
Tapi untuk saat ini…
Rayhan harus belajar menerima bahwa tidak semua cinta harus dimenangkan.
Beberapa cinta hanya bisa dirasakan.
Dan kemudian… dilepaskan.
Bab 10 – Takdir yang Berjalan Sendiri
Waktu berlalu.
Hari-hari berganti, minggu berubah menjadi bulan, dan tanpa terasa, satu tahun telah lewat sejak Rayhan terakhir kali berbicara dengan Keyra.
Ia tidak pernah benar-benar melupakannya, tapi ia juga tidak lagi mencari-carinya.
Hidup terus berjalan, meskipun ada bagian dalam dirinya yang masih membawa bayangan Keyra di sudut hatinya yang terdalam.
Terkadang, ia bertanya-tanya… apakah Keyra bahagia?
Apakah dia menemukan kebahagiaan yang dulu dia cari?
Namun, Rayhan sadar, beberapa pertanyaan memang lebih baik dibiarkan tanpa jawaban.
Sore itu, Rayhan kembali ke kafe yang dulu sering ia kunjungi.
Bukan karena ia berharap bertemu dengan Keyra, tetapi karena tempat ini telah menjadi bagian dari hidupnya, sama seperti kenangan yang ia simpan tentangnya.
Ia duduk di meja yang biasa mereka tempati, menikmati secangkir kopi yang kini terasa lebih pahit dari biasanya.
Lalu, tanpa sengaja, matanya menangkap sesuatu di atas meja.
Sebuah buku sketsa.
Rayhan mengernyit. Ia meraihnya dengan hati-hati, membalik halamannya, dan mendapati sesuatu yang membuat dadanya mencengkeram.
Di sana, ada sketsa dirinya.
Sketsa yang menggambarkannya saat ia duduk di sini, dengan tatapan kosong yang menerawang, seolah sedang mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.
Dan di halaman terakhir, ada sebuah tulisan kecil di pojok kanan bawah.
“Aku berharap kita bertemu lagi. Tapi jika tidak, aku berharap kau bahagia.”
Rayhan menatap tulisan itu lama, merasakan perasaan yang begitu familiar kembali mengisi dadanya.
Keyra ada di sini.
Atau setidaknya, dia pernah ada di sini.
Ia tidak tahu kapan, dan ia tidak tahu apakah mereka masih akan bertemu lagi.
Namun, kali ini, Rayhan tidak akan bertanya-tanya lagi.
Karena ia tahu…
Tidak semua cinta harus memiliki akhir yang bahagia bersama.
Terkadang, cinta yang paling indah adalah cinta yang pernah ada, meski hanya untuk sementara.
“Aku mungkin tidak bisa memilikimu, tapi aku bersyukur pernah menemukanmu.”
Rayhan menutup buku sketsa itu dengan senyum tipis.
Lalu, dengan langkah ringan, ia meninggalkan kafe, membiarkan takdir berjalan dengan caranya sendiri.
Tanpa penyesalan.
Tanpa harapan yang sia-sia.
Hanya kenangan… yang akan selalu ada di dalam hati.
TAMAT.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.