Novel Singkat Luka yang Tak Bisa Kusamarkan
Novel Singkat Luka yang Tak Bisa Kusamarkan

Novel Singkat: Luka yang Tak Bisa Kusamarkan

Tania Adamira, seorang desainer interior , mencintai pria yang sangat dicintainya, Adam Pradipta, seorang pengusaha sukses . Namun, pernikahan mereka tidak sempurna. Adam masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya—mencintai Alina, wanita yang telah meninggal dan tak tergantikan di hatinya.

Meski menyadari kenyataan pahit itu, Nia tetap berusaha menjadi istri yang baik. Dia mencintai Adam tanpa syarat, berharap suatu hari pria itu akan melihatnya lebih dari sekedar pengganti. Waktu berlalu, dan perlahan Adam mulai menyadari bahwa Nia adalah segalanya.

Bab 1 – Pernikahan yang Tak Sempurna

Aku menatap bayanganku di cermin. Gaun putih ini begitu indah, seperti impian setiap wanita yang akan menikah. Tapi mengapa dadaku terasa sesak? Mengapa aku merasa seperti seseorang yang hendak berjalan ke jurang, bukan ke altar pernikahan?

Hari ini aku menikah dengan Adam. Pria yang kucintai dengan seluruh hatiku. Pria yang sejak lama kuimpikan menjadi pendamping hidupku. Namun, ada satu kenyataan yang tak bisa kusangkal—Adam tidak mencintaiku seperti aku mencintainya.

“Sudah siap, Nia?” suara lembut mama membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Iya, Ma.”

Mama menggenggam tanganku erat. “Jangan gugup, Sayang. Pernikahan itu perjalanan panjang, bukan tentang bagaimana kau memulainya, tapi bagaimana kau menjalaninya.”

Aku mengangguk lagi, tapi hatiku terasa berat. Aku ingin percaya bahwa pernikahan ini akan berjalan baik-baik saja. Bahwa seiring waktu, Adam akan melihatku, mencintaiku, dan melupakan masa lalunya.

Tapi saat aku melangkah ke pelaminan dan melihatnya berdiri di sana—gagah dengan setelan jas hitamnya, wajahnya tampan seperti biasanya—aku tahu, ada sesuatu yang salah. Tatapannya kosong. Senyumnya ada, tapi tidak sampai ke matanya.

Aku melangkah mendekat, jantungku berdegup kencang. Ketika tanganku bersentuhan dengan tangannya, ia tidak menggenggamnya erat seperti yang kulakukan. Jemarinya dingin, seperti hatinya yang selama ini tak pernah benar-benar terbuka untukku.

Upacara pernikahan berlangsung dengan khidmat. Para tamu tersenyum bahagia, mama menangis haru, dan teman-temanku memberi selamat dengan tawa riang. Tapi aku? Aku hanya bisa menahan air mata saat Adam mengucapkan janji suci dengan suara datar.

Apakah dia sedang memikirkan wanita itu?

Ketika cincin pernikahan disematkan di jariku, aku merasa seolah ada sesuatu yang mengikatku lebih erat daripada sekadar ikatan pernikahan. Ini bukan sekadar janji suci—ini adalah janji untuk bertahan meski aku tahu aku mungkin akan terluka.

Saat kami berjalan menyusuri lorong gereja, tangan Adam tetap menggenggam tanganku, tapi aku bisa merasakan betapa hampa genggaman itu. Kami kini adalah suami istri, tapi di antara kami masih ada sosok yang tak terlihat.

Aku menatapnya diam-diam, berharap melihat sedikit cahaya di matanya, sedikit saja. Namun, yang kutemukan hanyalah bayangan seseorang yang telah pergi dan aku, yang berdiri di sampingnya, hanyalah bayangan dari cinta yang tak pernah ada untukku.


Aku menatap bayanganku di cermin. Gaun putih ini begitu indah, seperti impian setiap wanita yang akan menikah. Tapi mengapa dadaku terasa sesak? Mengapa aku merasa seperti seseorang yang hendak berjalan ke jurang, bukan ke altar pernikahan?

Hari ini aku menikah dengan Adam. Pria yang kucintai dengan seluruh hatiku. Pria yang sejak lama kuimpikan menjadi pendamping hidupku. Namun, ada satu kenyataan yang tak bisa kusangkal Adam tidak mencintaiku seperti aku mencintainya.

“Sudah siap, Nia?” suara lembut mama membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Iya, Ma.”

Mama menggenggam tanganku erat. “Jangan gugup, Sayang. Pernikahan itu perjalanan panjang, bukan tentang bagaimana kau memulainya, tapi bagaimana kau menjalaninya.”

Aku mengangguk lagi, tapi hatiku terasa berat. Aku ingin percaya bahwa pernikahan ini akan berjalan baik-baik saja. Bahwa seiring waktu, Adam akan melihatku, mencintaiku, dan melupakan masa lalunya.

Tapi saat aku melangkah ke pelaminan dan melihatnya berdiri di sana—gagah dengan setelan jas hitamnya, wajahnya tampan seperti biasanya—aku tahu, ada sesuatu yang salah. Tatapannya kosong. Senyumnya ada, tapi tidak sampai ke matanya.

Aku melangkah mendekat, jantungku berdegup kencang. Ketika tanganku bersentuhan dengan tangannya, ia tidak menggenggamnya erat seperti yang kulakukan. Jemarinya dingin, seperti hatinya yang selama ini tak pernah benar-benar terbuka untukku.

Upacara pernikahan berlangsung dengan khidmat. Para tamu tersenyum bahagia, mama menangis haru, dan teman-temanku memberi selamat dengan tawa riang. Tapi aku? Aku hanya bisa menahan air mata saat Adam mengucapkan janji suci dengan suara datar.

Apakah dia sedang memikirkan wanita itu?

Ketika cincin pernikahan disematkan di jariku, aku merasa seolah ada sesuatu yang mengikatku lebih erat daripada sekadar ikatan pernikahan. Ini bukan sekadar janji suci—ini adalah janji untuk bertahan meski aku tahu aku mungkin akan terluka.

Saat kami berjalan menyusuri lorong gereja, tangan Adam tetap menggenggam tanganku, tapi aku bisa merasakan betapa hampa genggaman itu. Kami kini adalah suami istri, tapi di antara kami masih ada sosok yang tak terlihat.

Aku menatapnya diam-diam, berharap melihat sedikit cahaya di matanya, sedikit saja. Namun, yang kutemukan hanyalah bayangan seseorang yang telah pergi—dan aku, yang berdiri di sampingnya, hanyalah bayangan dari cinta yang tak pernah ada untukku.

Malam Pertama yang Sunyi

Malam itu, setelah pesta pernikahan berakhir dan semua tamu pulang, kami memasuki kamar yang telah dihias dengan begitu indah. Kamar pengantin kami. Aku melihat kelopak mawar tersebar di atas ranjang, lilin-lilin kecil menyala lembut di sudut ruangan, menciptakan suasana romantis yang seharusnya menghangatkan hati.

Tapi yang terasa hanyalah kehampaan.

Adam melepas jasnya tanpa berkata apa pun, lalu duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar dengan tatapan kosong. Aku berdiri di ambang pintu, ragu-ragu untuk melangkah.

“Aku akan tidur duluan,” ucapku pelan, berusaha mencairkan suasana.

Adam menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Oke.”

Hanya itu. Oke.

Aku menarik napas dalam, berjalan ke arah tempat tidur, dan berbaring. Aku memejamkan mata, berharap rasa sesak ini segera hilang.

Tapi kenyataan menyakitkan itu terlalu jelas.

Kami baru menikah beberapa jam yang lalu, tapi rasanya seperti sepasang orang asing yang terjebak dalam satu ruangan yang sama.

Aku ingin menangis, tapi aku menahannya. Aku tahu ini tidak akan mudah. Aku tahu Adam membutuhkan waktu.

Namun, saat aku membuka mata dan menoleh ke arahnya, melihat punggungnya yang masih tegak di kursi, aku bertanya-tanya—berapa lama lagi aku harus menunggu?

“Aku tidak buta. Aku hanya memilih untuk tidak melihat luka yang kau sembunyikan dariku.”

Bab 2 – Bayangan di Antara Kita

Aku terbangun dengan perasaan aneh di dada. Mataku masih berat, tapi kesunyian di ruangan ini jauh lebih mencekik dibanding kantuk yang belum sepenuhnya hilang. Aku menoleh ke sisi ranjang—kosong.

Adam tidak ada di sana.

Kupikir dia mungkin sudah bangun lebih dulu. Tapi saat aku melihat sofa di sudut kamar, hatiku sedikit mencelos. Di sana, Adam tidur dengan posisi miring, masih mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut.

Jadi, tadi malam dia tidak tidur di sampingku.

Aku duduk di tepi ranjang, menatapnya. Cahaya matahari pagi mengintip dari celah gorden, menerangi wajahnya yang tampak lelah. Aku ingin menyentuhnya, ingin membangunkannya dengan lembut seperti seorang istri seharusnya. Tapi sesuatu di dalam diriku menahanku.

Adam tampak damai dalam tidurnya. Dan aku bertanya-tanya mungkinkah di dalam mimpi itu, dia sedang bersama wanita yang ada di hatinya?

Pernikahan kami baru berjalan seminggu, tapi rasanya seperti pernikahan tanpa jiwa. Adam selalu bersikap baik, tapi tidak pernah lebih dari itu.

Setiap pagi, aku menyiapkan sarapan untuknya. Setiap malam, aku menunggunya pulang dari kantor. Namun, kebanyakan waktu dia pulang terlambat, hanya memberikan senyum kecil lalu masuk ke kamar tanpa banyak bicara.

Aku ingin bertanya apakah dia baik-baik saja. Aku ingin tahu apa yang ada di pikirannya. Tapi aku takut dengan jawabannya.

Jadi aku memilih diam.

Album Foto Lama

Suatu sore, saat aku sedang merapikan kamar kerja Adam, aku menemukan sesuatu di dalam laci mejanya. Sebuah album foto dengan sampul kulit berwarna cokelat tua.

Tangan gemetar saat membukanya.

Halaman pertama menampilkan Adam dengan seorang wanita. Mereka tersenyum bersama, mata mereka bersinar penuh cinta. Wanita itu cantik, dengan rambut panjang yang jatuh ke bahunya. Di setiap foto, Adam selalu menatapnya dengan cara yang tidak pernah dia lakukan padaku.

Aku membalik halaman demi halaman, dan yang kurasakan hanyalah perih yang semakin dalam.

Ada foto mereka di taman, tertawa lepas.
Ada foto mereka di pantai, tangan mereka saling menggenggam erat.
Ada foto mereka di sebuah restoran, mata Adam penuh dengan kebahagiaan.

Hatiku mencelos saat aku menemukan secarik kertas yang terselip di antara halaman album. Sebuah surat tangan, dengan tulisan yang tampak rapi dan lembut.

“Adam, kalau kita terpisah nanti, jangan lupakan aku, ya? Karena aku tahu, cinta yang kita punya ini tidak akan pernah mati.” — Alina

Alina.

Nama yang selalu kutakutkan.

Aku tidak bisa lagi menahan air mataku. Aku menutup album itu dengan cepat dan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku sendiri.

Jadi, bahkan setelah dia menikahiku, hatinya masih milik wanita lain?

Makan Malam yang Sunyi

Malam itu, aku duduk di meja makan, menatap piring kosong di hadapanku. Adam belum pulang.

Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Aku menatap makanan yang sudah mulai dingin. Tadi aku memasak makanan favoritnya—atau setidaknya, yang kupikir adalah makanan favoritnya. Tapi mungkin aku salah. Mungkin aku tidak pernah benar-benar mengenalnya.

Saat pintu akhirnya terbuka, Adam masuk dengan wajah lelah. “Maaf, aku pulang terlambat.”

Aku tersenyum kecil, mencoba bersikap biasa. “Aku sudah menyiapkan makan malam.”

Adam menatap meja, lalu menghela napas. “Aku sudah makan di luar.”

Rasanya seperti ada yang menghantam dadaku, tapi aku menelan rasa sakit itu.

“Ah… baiklah.” Aku berusaha tersenyum. “Mau teh?”

Adam mengangguk pelan. Aku berdiri untuk membuatkan teh, sementara dia duduk di meja makan.

Saat aku kembali dengan cangkir teh di tanganku, aku melihat Adam menatap piring kosong di depanku.

“Kau sudah makan?” tanyanya tiba-tiba.

Aku terdiam sejenak. Aku ingin berbohong dan mengatakan iya, tapi apa gunanya?

“Belum.”

Adam menatapku sekilas, lalu mengalihkan pandangannya. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku tahu satu hal—dia tidak akan bertanya lebih jauh.

Dan aku tidak akan memaksanya.

Aku hanya bisa berharap, suatu hari nanti, Adam akan melihatku bukan sebagai pengganti, tetapi sebagai seseorang yang benar-benar ada di sisinya.

Seseorang yang mencintainya dengan tulus, meskipun dia mungkin tidak pernah bisa membalasnya.

“Bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak bisa melupakan orang lain?”

Bab 3 – Cinta yang Tak Bisa Mati

Aku mulai menyadari satu hal.

Tidak peduli seberapa keras aku berusaha, seberapa banyak aku mencoba, bayangan itu tetap ada. Bayangan wanita yang masih mengisi hati suamiku.

Alina.

Aku tidak tahu banyak tentangnya. Adam jarang menyebut namanya, tapi kehadirannya terasa di setiap sudut rumah ini. Dalam tatapan kosong Adam, dalam keheningan di antara kami, bahkan dalam cara Adam menatapku—seolah aku adalah seseorang yang berbeda, seseorang yang seharusnya bukan aku.

Dan aku mulai mempertanyakan sesuatu yang selama ini kutolak untuk kupikirkan.

Seharusnya aku tidak menikah dengannya.

Kenangan yang Tidak Bisa Tersentuh

Aku mendapati Adam duduk sendirian di balkon rumah kami pada suatu malam. Pikirannya tampak jauh, seperti tersesat di tempat yang tidak bisa kujamah. Aku menghampirinya, duduk di sampingnya dengan hati-hati.

“Kau tidak masuk?” tanyaku pelan.

Adam menggeleng. “Aku suka udara malam.”

Aku diam sejenak. Lalu, tanpa kusadari, aku bertanya, “Apa kau masih mencintainya?”

Adam terdiam.

Aku menyesali pertanyaanku seketika. Tapi sebelum aku bisa menariknya kembali, Adam menghela napas panjang.

“Aku tidak bisa melupakannya,” jawabnya jujur.

Rasanya seperti ada pisau yang ditusukkan ke dadaku. Aku menggigit bibir, mencoba menelan rasa sakit yang menggumpal.

“Tapi aku sudah menikah denganmu, Nia.”

Aku menoleh padanya, mencari sesuatu di matanya yang bisa memberiku harapan. Tapi yang kutemukan hanyalah kesedihan.

“Dan aku tidak ingin menyakitimu.”

Aku ingin tertawa. Tidak ingin menyakitiku? Bukankah kenyataan ini saja sudah cukup menyakitkan?

“Tapi kau tidak bisa mencintaiku,” ucapku lirih.

Adam menatapku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat kejujuran dalam sorot matanya yang biasanya tertutup kabut.

“Bukan karena aku tidak ingin,” katanya pelan. “Tapi karena hatiku belum siap.”

Beberapa hari setelah percakapan itu, aku menemukan keberanian untuk menanyakan sesuatu yang selama ini kutahan.

“Bagaimana kau bertemu dengan Alina?”

Adam terkejut dengan pertanyaanku. Aku bisa melihat dia ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan mulai bercerita.

“Aku bertemu dengannya di kampus,” katanya. “Dia berbeda dari yang lain. Ceria, penuh semangat. Dia selalu tahu bagaimana membuat segalanya terasa lebih baik.”

Aku mendengarkan tanpa menyela.

“Kami menghabiskan waktu bersama selama lima tahun. Aku pikir kami akan selalu bersama.”

Aku menggenggam jemariku erat di pangkuanku, mencoba meredam rasa sakit yang semakin tumbuh.

“Lalu, kecelakaan itu terjadi.”

Aku menahan napas.

“Dia meninggal di pelukanku, Nia,” suara Adam melemah. “Dan sejak hari itu, rasanya seperti sebagian dari diriku ikut mati bersamanya.”

Aku ingin menyentuhnya, ingin mengatakan sesuatu, tapi aku tahu itu tidak akan mengubah apa pun.

Cinta Adam untuk Alina masih ada. Dan aku? Aku hanyalah seseorang yang datang di saat dia masih belum bisa berdamai dengan masa lalunya.

Harapan yang Rapuh

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku berbaring di samping Adam, tapi pikiranku penuh dengan suara-suara yang tidak bisa kuhentikan.

Aku mencintai suamiku. Tapi semakin aku bertahan, semakin aku merasa seperti seseorang yang hanya ada untuk mengisi ruang kosong di hidupnya.

Apakah aku cukup?

Apakah aku bisa menggantikan seseorang yang tidak bisa dilupakan?

Aku ingin percaya bahwa waktu akan mengubah segalanya. Bahwa Adam akhirnya akan mencintaiku. Tapi melihat bagaimana dia masih terjebak dalam kenangan yang tidak bisa kugapai, aku mulai bertanya-tanya…

Seberapa lama aku harus menunggu?

Bab 4 – Luka yang Tak Bisa Kusamarkan

Aku semakin terbiasa dengan keheningan ini.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Aku menyiapkan sarapan untuk Adam, menunggunya pulang, mencoba mencari celah agar dia bisa melihatku lebih dari sekadar istri dalam arti formal. Tapi semakin lama aku berusaha, semakin aku sadar bahwa aku hanya berjalan di tempat.

Aku bukan Alina. Dan aku tidak akan pernah bisa menjadi dia.

Suatu sore, saat aku sedang membersihkan ruang kerja Adam, aku menemukan sesuatu yang membuat jantungku berdetak lebih cepat.

Sebuah kotak kecil tersembunyi di laci mejanya. Tangan gemetar saat membukanya, dan yang kutemukan di dalamnya membuat napasku tercekat.

Cincin.

Bukan cincin pernikahan kami, tapi cincin lain—lebih tua, dengan ukiran kecil di bagian dalamnya. Aku mengangkatnya, membaca tulisan yang terukir di sana.

“A & A, Selamanya.”

Aku tak perlu bertanya siapa yang dimaksud dengan huruf ‘A’ kedua.

Tanganku mengepal. Aku ingin marah, tapi aku tahu ini bukan salah Adam. Dia tidak pernah berjanji untuk mencintaiku. Aku yang memilih tetap tinggal di sisinya, meski aku tahu ada luka yang tidak akan pernah sembuh di hatinya.

Aku menyimpan kembali kotak itu di tempatnya.

Aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh menunjukkan betapa sakitnya mengetahui bahwa aku hanyalah bayangan bagi seseorang yang tak akan pernah kembali.

“Aku hanya ingin dicintai, Adam… apa itu terlalu sulit?”

Titik Jenuh

Malam itu, aku menunggunya pulang seperti biasa. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas. Makan malam yang kubuat sudah dingin, tapi aku tetap duduk di meja makan, menunggu dengan harapan kecil di hatiku.

Akhirnya, suara pintu depan terdengar. Aku segera berdiri, tapi saat melihat Adam memasuki rumah, aku langsung tahu—dia lupa bahwa aku menunggu.

Wajahnya lelah, rambutnya sedikit berantakan. Dia berjalan melewatiku tanpa berkata apa-apa.

“Adam,” panggilku pelan.

Dia berhenti di ambang pintu ruang tamu, menoleh padaku dengan tatapan kosong.

“Sudah makan?” tanyaku, berusaha terdengar biasa saja.

Adam mengangguk. “Aku makan di luar.”

Jawaban yang sama, seperti malam-malam sebelumnya.

Aku menelan ludah. “Kenapa tidak memberitahuku?”

Dia menghela napas, lalu berjalan mendekat. “Aku sibuk, Nia. Maaf.”

Aku ingin bertanya banyak hal. Aku ingin bertanya apakah dia pernah memikirkan perasaanku. Apakah aku hanya istri dalam status, tanpa kehadiran nyata di hatinya. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokanku.

Akhirnya, aku hanya berkata, “Aku lelah, Adam.”

Adam menatapku, alisnya sedikit berkerut. “Kau kenapa?”

Aku menatapnya balik. “Aku lelah menunggumu pulang setiap malam tanpa kepastian. Lelah berharap kau akan mulai melihatku. Lelah merasa seperti aku menikahi seseorang yang masih hidup di masa lalu.”

Adam menghela napas panjang. “Nia, kita sudah pernah membicarakan ini.”

“Dan kau selalu memberiku jawaban yang sama,” suaraku bergetar. “Kau tidak pernah menjawab pertanyaan yang sebenarnya.”

Adam terdiam. Aku bisa melihat dia sedang memilih kata-kata di kepalanya, mencari cara untuk tidak menyakitiku lebih dalam. Tapi pada akhirnya, ia hanya berkata, “Aku butuh waktu.”

Aku tertawa kecil, getir. “Waktu?” Aku menatapnya, mataku mulai panas. “Sudah berapa lama sejak kita menikah, Adam? Tiga bulan? Enam bulan? Berapa lama lagi aku harus menunggu?”

Adam tidak menjawab.

Aku menggigit bibir, berusaha menahan air mata. “Kalau kau ingin aku menyerah, bilang saja.”

“Tidak,” jawabnya cepat.

Hatiku berdegup kencang. Aku menunggu lebih jauh, menunggu sesuatu yang bisa memberiku harapan.

Tapi Adam tidak berkata apa-apa lagi.

Hanya diam.

Dan dalam diam itu, aku menemukan jawaban yang selama ini kucari.


Malam itu, aku tidak bisa tidur.

Aku menatap langit-langit kamar, mendengar suara napas Adam yang teratur di sampingku. Aku ingin bertanya, ingin berbicara, ingin tahu apakah dia pernah sedikit saja memikirkanku saat aku tidak ada di sampingnya.

Tapi aku tahu jawabannya.

Aku menoleh ke arahnya. Dalam tidur, wajah Adam terlihat damai. Tapi aku tahu, dia tidak memimpikan aku.

Dia masih mencintai Alina.

Dan aku hanyalah seseorang yang hadir di antara kenangan yang tak bisa dia lepaskan.

“Aku tidak buta. Aku hanya memilih untuk tidak melihat luka yang kau sembunyikan dariku.”

Bab 5 – Aku yang Selalu Ada

Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai terbiasa dengan kehadiran yang tidak benar-benar ada.

Adam masih bersikap baik padaku, tapi aku tahu itu bukan karena cinta—melainkan karena kebiasaan, atau mungkin rasa tanggung jawab yang dia paksakan pada dirinya sendiri. Dia tidak ingin menyakitiku, tapi dalam ketidaksadarannya, dia justru melakukannya setiap hari.

Aku tetap berusaha. Aku tetap menunggunya pulang. Aku tetap menyajikan makanan untuknya. Aku tetap tersenyum meski hatiku semakin hancur.

Karena aku mencintainya.

Karena aku ingin percaya bahwa suatu hari nanti, dia akan melihatku.

Adam pulang lebih awal hari ini, sesuatu yang jarang sekali terjadi. Aku baru saja keluar dari dapur saat melihatnya melepas jasnya dan menghempaskan diri di sofa.

“Lelah?” tanyaku lembut.

Dia mengangguk tanpa menoleh ke arahku. Aku berjalan mendekat, menuangkan segelas air dan menyerahkannya padanya. Dia menerimanya dengan tatapan kosong.

“Terima kasih,” ucapnya singkat.

Aku duduk di sampingnya, mencoba mencari cara untuk membuatnya berbicara. “Ada masalah di kantor?”

Adam mengusap wajahnya. “Bisnis sedang tidak stabil. Aku harus mencari solusi sebelum segalanya berantakan.”

Aku mengangguk pelan. “Aku percaya kau bisa mengatasinya.”

Dia tersenyum kecil. Senyum yang sekilas terlihat hangat, tapi aku tahu bukan aku penyebabnya. Aku hanya seseorang yang kebetulan ada di sampingnya saat dia membutuhkan tempat bersandar.

Dan itu cukup bagiku. Untuk saat ini.

Aku yang Selalu Menunggu

Beberapa minggu berlalu dengan pola yang sama. Aku selalu ada untuk Adam. Aku mendukungnya, mendengar keluhannya, menyiapkan keperluannya. Aku ada di sisinya, bahkan ketika dia tidak benar-benar menyadarinya.

Suatu malam, aku menunggunya pulang lebih lama dari biasanya. Makanan di atas meja sudah dingin, tapi aku tetap duduk di sana, berharap dia akan segera tiba.

Saat akhirnya pintu terbuka, aku langsung berdiri. “Kau sudah makan?” tanyaku.

Adam melepas jasnya dan menggeleng lelah. “Belum.”

Aku tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku akan menghangatkan makanannya.”

Dia tidak menolak, sesuatu yang jarang terjadi. Biasanya, dia hanya akan mengatakan bahwa dia sudah makan di luar. Mungkin, sedikit demi sedikit, aku mulai masuk ke dalam dunianya.

Aku ingin percaya itu.

Aku ingin percaya bahwa kehadiranku mulai berarti baginya.

Aku keluar dari dapur dengan semangkuk sup hangat dan meletakkannya di meja di depan Adam. Dia menatapnya sesaat, lalu mulai makan dalam diam.

Aku memperhatikannya dengan perasaan hangat di dada. Mungkin ini bukan kebahagiaan besar, tapi melihatnya di rumah, makan dengan tenang, adalah sesuatu yang membuatku merasa sedikit lebih dihargai.

Saat aku beranjak untuk kembali ke dapur, suara Adam menghentikanku.

“Terima kasih, Nia.”

Aku membeku di tempat. Itu hanya kata-kata sederhana, tapi kali ini, nada suaranya terdengar sedikit berbeda. Lebih lembut. Lebih hangat.

Aku menoleh dan tersenyum kecil. “Sama-sama.”

Hatiku berdegup lebih cepat. Aku tidak tahu apakah ini hanya harapanku sendiri, tapi untuk pertama kalinya, aku merasa dia melihatku.

Meskipun hanya sedikit.


Tapi di balik semua itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang aneh.

Kadang, saat aku terbangun di malam hari, aku menemukan Adam duduk di balkon, menatap langit dengan tatapan kosong.

Kadang, saat aku berbicara dengannya, dia tampak seperti mendengarkan, tapi sebenarnya tidak.

Kadang, aku merasa dia mulai menghampiriku, tapi di saat yang sama, dia tetap menjaga jarak.

Seperti seseorang yang berusaha untuk melangkah maju, tapi masih terikat pada sesuatu yang tidak bisa dia lepaskan.

Aku ingin bertanya, ingin menuntut kejelasan. Tapi aku takut.

Aku takut jika aku bertanya, jawabannya bukanlah yang ingin kudengar.

Aku takut jika aku memaksanya, dia justru semakin menjauh.

Jadi, aku memilih tetap diam.

Aku memilih tetap ada di sisinya, meskipun aku tahu—aku masih berjalan sendirian dalam pernikahan ini.

Dan mungkin, aku akan terus berjalan sendirian untuk waktu yang lebih lama.

“Aku tidak ingin menjadi seseorang yang hanya ada dalam bayanganmu, Adam. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.”

Bab 6 – Ada Rasa yang Berubah

Aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda.

Adam tak lagi sesering dulu pulang larut. Kadang, dia bahkan datang lebih awal dan menemaniku makan malam tanpa perlu kuingatkan. Dia masih jarang bicara, tapi ada perubahan kecil dalam cara dia memandangku—lebih lama, lebih lembut.

Dan aku membiarkan diriku berharap.

Mungkin, sedikit demi sedikit, hatinya mulai terbuka untukku.

Namun, di saat aku mulai merasa ada kemajuan dalam hubungan kami, tubuhku mulai menunjukkan sesuatu yang aneh.

Aku sering merasa lelah, meskipun tidak melakukan banyak hal. Kadang-kadang, saat berdiri terlalu lama, kepalaku pusing hingga pandanganku berkunang-kunang. Beberapa kali aku merasa mual, tapi kupikir itu hanya kelelahan biasa.

Aku tidak memberitahu Adam.

Bukan karena aku tidak ingin dia tahu, tapi karena aku takut. Aku takut dia akan khawatir. Takut jika aku mengatakannya, aku akan membebani perasaannya yang mungkin baru mulai berubah.

Jadi, aku memilih mengabaikannya.

Aku memilih bertahan.

Suatu malam, saat sedang membereskan meja makan, pandanganku tiba-tiba mengabur. Jantungku berdebar kencang, kepalaku berputar, dan sebelum aku sempat bertahan, tubuhku limbung.

Aku jatuh.

Suara piring yang pecah membelah keheningan.

Aku mendengar langkah cepat mendekat, lalu suara panik Adam. “Nia?! Nia, kau tidak apa-apa?”

Aku berusaha membuka mata, tapi semuanya buram. Dadaku terasa sesak, napasku pendek-pendek.

Adam mengguncang tubuhku pelan. Aku bisa merasakan tangannya yang gemetar saat menggenggamku.

Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Tapi tubuhku terlalu lemah.

Aku kehilangan kesadaran dalam pelukannya.

Saat aku terbangun, aku berada di rumah sakit. Cahaya putih menyilaukan mataku, dan suara monitor jantung terdengar sayup-sayup di telingaku.

Aku menoleh, dan melihat Adam duduk di samping tempat tidur, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.

Saat dia sadar aku sudah bangun, dia langsung mendekat. “Kau sadar?” suaranya bergetar.

Aku mencoba tersenyum. “Aku baik-baik saja.”

Dia menatapku tajam. “Jangan bilang kau baik-baik saja setelah kau pingsan begitu saja.”

Aku diam.

Adam mengusap wajahnya, menarik napas dalam sebelum berbicara lagi. “Kenapa kau tidak pernah bilang kalau kau merasa tidak sehat? Sejak kapan ini terjadi?”

Aku menggigit bibir, ragu-ragu untuk menjawab. “Aku… tidak ingin membuatmu khawatir.”

Adam menatapku lama, seolah tak percaya dengan jawabanku. Kemudian dia menggeleng pelan. “Nia… aku mungkin bukan suami yang baik, tapi aku tidak ingin melihatmu seperti ini.”

Aku terdiam. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat dadaku terasa hangat sekaligus sakit di saat yang bersamaan.

Apakah ini berarti dia mulai peduli padaku?

Atau ini hanya rasa bersalah?


Diagnosis yang Mengubah Segalanya

Beberapa menit kemudian, dokter masuk ke ruangan, membawa hasil pemeriksaan. Aku duduk tegak, sementara Adam tetap di sampingku, jemarinya sedikit mengepal di pangkuannya.

Dokter menatapku dengan ekspresi serius. “Nyonya Tania, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kondisi Anda cukup serius.”

Aku menahan napas.

“Ada komplikasi yang menyebabkan sistem imun tubuh Anda melemah. Kami perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut, tapi kami menduga ada kemungkinan penyakit serius.”

Jantungku seakan berhenti berdetak.

Aku tidak berani menoleh ke arah Adam, tapi aku bisa merasakan tubuhnya menegang di sampingku.

“Penyakit serius?” suaraku nyaris tak terdengar.

Dokter mengangguk. “Kami akan melakukan beberapa tes tambahan untuk memastikannya.”

Aku menelan ludah. Tanganku gemetar di atas selimut.

Sementara itu, Adam masih terdiam. Aku tidak bisa melihat ekspresinya, tapi aku tahu dia pasti terkejut.

Dokter berbicara lagi, tapi aku sudah tidak benar-benar mendengarkan. Suaranya terdengar jauh, seperti gema yang menghilang di kejauhan.

Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah…

Ini tidak boleh terjadi.

Tidak sekarang.

Tidak saat Adam baru mulai melihatku.


Setelah dokter pergi, Adam masih tidak mengatakan apa pun. Dia hanya duduk di sampingku, menunduk, menatap jemarinya yang saling bertaut.

Aku menelan ludah. “Adam…”

Dia akhirnya menoleh. Aku terkejut melihat matanya yang memerah.

“Kenapa kau tidak pernah bilang kalau kau merasa sakit?” suaranya bergetar.

Aku terdiam.

“Kau selalu diam. Kau selalu menahannya sendiri.” Adam menggelengkan kepala, ekspresinya penuh emosi yang sulit kutebak. “Aku… aku bodoh. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, sampai aku tidak pernah menyadari kalau kau…”

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kataku tersangkut di tenggorokan.

Adam menunduk, lalu tiba-tiba tangannya menggenggam tanganku. Hangat. Kuat.

Dan kali ini, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda.

Aku bisa merasakan ketakutan di genggamannya.

Ketakutan untuk kehilangan.

Aku menatapnya, mataku mulai panas. “Aku tidak apa-apa,” bisikku, meskipun aku tahu aku sedang berbohong.

Adam menggeleng. “Jangan katakan itu lagi.”

Aku mengerjap, terkejut dengan nada suaranya yang dalam.

Lalu, untuk pertama kalinya, Adam berkata sesuatu yang membuat air mataku jatuh begitu saja.

“Nia, aku tidak bisa kehilanganmu.”

“Aku mencintaimu selama ini, Adam… tapi kenapa saat kau akhirnya mulai melihatku, waktuku justru semakin sedikit?”

Bab 7 – Kebahagiaan yang Terlambat

Aku mulai merasa waktu tidak berpihak padaku.

Adam kini selalu ada di sisiku. Dia lebih sering pulang cepat, memastikan aku makan dengan benar, bahkan mengantarku ke rumah sakit setiap kali ada jadwal pemeriksaan. Aku seharusnya merasa bahagia. Aku seharusnya merasa menang karena akhirnya, dia memperhatikanku.

Tapi aku juga tahu bahwa ini bukan karena cinta yang berkembang secara alami.

Ini adalah ketakutan.

Ketakutan untuk kehilangan.

Dan aku bertanya-tanya—jika aku tidak sakit, apakah dia akan tetap seperti ini?

Malam itu, aku duduk di balkon sambil menikmati angin malam. Sejak dokter memberikan kemungkinan diagnosisku, aku merasa setiap momen terasa lebih berarti. Aku ingin menikmati waktu yang kumiliki, meski aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa melakukannya.

Adam keluar dari kamar dan menghampiriku. Dia membawa dua cangkir teh, menyerahkan satu padaku tanpa berkata apa-apa.

Aku tersenyum kecil. “Terima kasih.”

Dia hanya mengangguk, lalu duduk di sampingku. Kami menikmati keheningan sejenak, sebelum akhirnya Adam membuka suara.

“Apa kau takut?”

Aku menoleh, melihatnya menatap lurus ke depan.

“Takut?” ulangku.

Adam mengangguk. “Dengan semua yang terjadi sekarang… dengan kondisi kesehatanmu.”

Aku tersenyum tipis. “Dulu, aku takut.”

Adam menoleh ke arahku, seakan menunggu kelanjutannya.

“Tapi sekarang tidak lagi,” lanjutku, menatap cangkir teh di tanganku. “Karena aku sudah menerima semuanya. Aku sudah berdamai dengan kenyataan bahwa hidup ini tidak bisa selalu berjalan sesuai keinginan kita.”

Adam menggenggam cangkirnya lebih erat. “Tapi aku belum siap.”

Aku menatapnya. Kali ini, aku bisa melihat ketulusan dalam matanya—sesuatu yang selama ini sulit kutemukan.

“Aku ingin lebih banyak waktu bersamamu, Nia.”

Hatiku mencelos.

Aku sudah menunggu kata-kata itu sejak lama. Aku sudah menginginkan momen ini sejak hari pertama kami menikah.

Tapi kenapa, kenapa harus sekarang?

Aku menggigit bibir, menahan gejolak perasaan yang ingin keluar. “Waktu kita mungkin tidak panjang, Adam.”

Adam menatapku tajam. “Jangan bicara seperti itu.”

Aku menghela napas, mencoba tersenyum. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu, dan aku selalu mencintaimu.”

Adam terdiam. Kemudian, dia melakukan sesuatu yang membuat air mataku jatuh begitu saja.

Dia menarikku ke dalam pelukannya.

Untuk pertama kalinya, aku bisa merasakan Adam memelukku dengan erat, seolah dia tidak ingin melepaskanku.

Hari-hari berlalu, dan Adam semakin menunjukkan perhatiannya. Dia mengajakku jalan-jalan, mengajak makan di tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi, bahkan mulai melakukan hal-hal kecil yang membuatku merasa dihargai.

Suatu sore, saat kami duduk bersama di taman, dia tiba-tiba menggenggam tanganku.

“Nia,” panggilnya pelan.

Aku menoleh, melihat keseriusan di matanya.

“Maafkan aku.”

Aku terdiam.

“Maaf karena aku buta selama ini,” lanjutnya. “Maaf karena aku membiarkanmu menunggu begitu lama. Aku bodoh, Nia. Aku terlalu lama terjebak di masa lalu, sampai aku tidak menyadari bahwa kebahagiaan ada di hadapanku.”

Air mataku menggenang. “Adam…”

Dia menatapku dengan penuh ketulusan. “Aku mencintaimu.”

Aku menutup mulutku dengan tangan, terkejut mendengar kata-kata yang selama ini kudambakan.

“Terlambatkah?” tanyanya, suaranya bergetar.

Aku menggeleng cepat, meskipun hatiku terasa sakit. Aku ingin bahagia, ingin menikmati momen ini.

Tapi di dalam hatiku, aku tahu…

Waktuku hampir habis.

Malam itu, sebelum tidur, aku menatap Adam yang duduk di tepi ranjang. Dia terlihat lelah, tapi aku tahu dia masih memikirkan banyak hal.

Aku meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Adam.”

Dia menoleh, menatapku penuh perhatian.

“Aku ingin meminta sesuatu.”

Adam mengangguk. “Apa pun.”

Aku menelan ludah. “Kalau aku pergi nanti…”

Wajah Adam langsung menegang. “Nia, jangan—”

“Tolong dengarkan aku.” Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kalau aku pergi nanti, jangan hidup dalam kesedihan. Jangan menyalahkan dirimu. Aku ingin kau bahagia.”

Air mata Adam jatuh untuk pertama kalinya di hadapanku.

“Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu,” bisiknya.

Aku tersenyum, meskipun hatiku sakit. “Kau bisa. Dan kau harus.”

Aku menarik napas dalam. “Aku tidak ingin menjadi bayangan dalam hidupmu, Adam. Aku ingin menjadi seseorang yang pernah kau cintai dengan baik. Jika suatu hari kau bertemu seseorang yang bisa membuatmu bahagia, jangan ragu untuk mencintainya.”

Adam menggeleng, air matanya jatuh ke pipinya. “Jangan bicara seolah kau akan pergi besok.”

Aku tersenyum lembut. “Aku hanya ingin kau tahu.”

Dia menatapku lama, lalu menarikku ke dalam pelukannya.

Aku menutup mata, menikmati detik-detik ini. Aku ingin mengingatnya selamanya.

Karena aku tahu, mungkin tidak akan ada waktu lebih lama lagi.

“Akhirnya… kau mencintaiku… dan aku bahagia, Adam.”

Bab 8 – Waktu yang Semakin Menipis

Aku bisa merasakan tubuhku semakin melemah.

Aku mencoba menyembunyikannya, tapi Adam bukan lagi pria yang sama seperti dulu. Kini, dia selalu memperhatikanku, seolah takut kehilangan diriku setiap saat.

Aku ingin menikmati waktu yang tersisa dengan bahagia. Aku ingin menghabiskan hari-hari terakhirku dengan senyuman. Tapi semakin aku mencoba, semakin jelas tanda-tanda bahwa tubuhku mulai menyerah.

Dan Adam menyadarinya.

Pagi ini, aku terbangun lebih dulu dari Adam. Aku menoleh, melihat wajahnya yang tertidur lelap di sampingku. Sudah lama sejak terakhir kali aku melihatnya tidur dengan tenang.

Sejak dokter memastikan bahwa penyakitku semakin memburuk, Adam selalu gelisah. Aku sering terbangun di tengah malam dan menemukannya duduk di samping ranjang, menggenggam tanganku erat, seolah memastikan aku masih di sana.

Aku tersenyum tipis, mengangkat jemariku untuk menyentuh wajahnya.

“Aku mencintaimu,” bisikku pelan, meskipun aku tahu dia tidak bisa mendengarnya.

Aku ingin waktu berhenti di sini. Aku ingin menikmati momen ini lebih lama. Tapi aku tahu, aku tidak bisa.

Aku merasa tubuhku semakin lelah.

Adam semakin protektif terhadapku. Dia tidak lagi membiarkanku melakukan pekerjaan rumah, tidak membiarkanku terlalu banyak berjalan, bahkan sering menggendongku ke tempat tidur jika aku terlihat terlalu lelah.

“Aku masih bisa berjalan sendiri, Adam,” protesku suatu hari.

“Tapi aku tidak ingin kau kelelahan,” balasnya, suaranya penuh kekhawatiran.

Aku tertawa kecil. “Aku tidak selemah itu.”

Dia tidak menjawab, hanya menatapku dalam-dalam. Aku tahu, dia takut.

Aku ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkannya, tapi apa gunanya? Aku tidak bisa berjanji bahwa aku akan sembuh.

Karena aku tahu, aku tidak akan.

Malam itu, Adam mengajakku keluar rumah. Dia membawaku ke taman kecil di belakang rumah, tempat di mana dulu aku sering duduk sendirian, berharap suatu hari dia akan menyadari kehadiranku.

Tapi kali ini, dia menggenggam tanganku.

“Ada sesuatu yang ingin aku lakukan,” katanya pelan.

Aku menatapnya bingung. “Apa?”

Dia tersenyum tipis, lalu berlutut di hadapanku.

Hatiku berdebar.

“Dulu, aku menikahimu dengan hati yang belum siap,” ucapnya. “Aku tidak pernah benar-benar memberi janji yang seharusnya seorang suami berikan.”

Aku menggeleng, air mataku menggenang. “Adam, kau tidak perlu—”

“Tapi aku ingin.”

Dia menggenggam tanganku lebih erat. “Aku ingin menikahimu lagi, Nia. Kali ini, bukan karena kewajiban. Tapi karena aku benar-benar mencintaimu.”

Aku tidak bisa menahan tangisku lagi.

Adam tersenyum kecil. “Maukah kau menikah denganku sekali lagi?”

Aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya mengangguk cepat sebelum memeluknya erat.

Aku merasa hatiku penuh. Aku merasa benar-benar dicintai.

Tapi di saat yang sama, aku juga merasa lebih sakit.

Karena aku tahu… waktu kami tidak banyak lagi.

Beberapa hari setelah momen itu, tubuhku semakin lemah. Aku mulai sering sesak napas, bahkan untuk berjalan ke dapur pun terasa sulit.

Adam selalu ada di sisiku, memastikan aku tidak melakukan apa pun sendirian. Dia bahkan mulai bekerja dari rumah agar bisa menjagaku setiap saat.

“Aku baik-baik saja,” aku mencoba meyakinkannya, meskipun aku tahu dia tidak akan percaya.

Adam hanya tersenyum tipis, lalu mencium keningku. “Aku hanya ingin ada di sampingmu.”

Aku ingin menangis setiap kali dia bersikap seperti ini.

Karena aku tahu… dia akan lebih sakit saat aku pergi nanti.

Saat yang Paling Kutakutkan

Malam itu, aku merasa lebih lemah dari sebelumnya. Napasku terasa pendek, dadaku sesak. Aku mencoba bangun, tapi tubuhku tidak bisa bergerak dengan baik.

“Adam…” suaraku lemah.

Dalam hitungan detik, Adam sudah di sampingku. “Nia, kau kenapa?”

Aku ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi kali ini aku tidak bisa berbohong.

Dadaku semakin sesak. Tanganku mencengkeram lengan Adam erat-erat, berusaha mencari udara yang semakin sulit kudapatkan.

Aku melihat wajah Adam berubah panik. Dia menggenggam wajahku, suaranya bergetar. “Nia, bertahanlah! Aku akan memanggil dokter!”

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar dari bibirku. Pandanganku mulai kabur, suara Adam semakin jauh.

Aku melihatnya menangis. Aku melihat dia berusaha menahanku agar tetap sadar.

Aku ingin mengatakan bahwa aku mencintainya sekali lagi.

Tapi semuanya menjadi gelap.

“Aku ingin lebih banyak waktu… tapi Tuhan sepertinya sudah memutuskan.”

Bab 9 – Perpisahan yang Tak Bisa Dihindari

Aku merasa melayang di antara sadar dan tidak.

Suara Adam adalah hal pertama yang kudengar saat kesadaranku perlahan kembali. Samar-samar, aku bisa merasakan genggaman tangannya yang erat di jemariku.

“Nia, bertahanlah,” suaranya bergetar, penuh kepanikan yang tak pernah kudengar sebelumnya.

Aku ingin menjawabnya, ingin meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, tapi tubuhku terasa terlalu lemah. Setiap tarikan napas terasa berat, seakan ada beban tak kasatmata yang menekan dadaku.

Aku bisa mendengar suara langkah kaki tergesa-gesa, suara dokter dan perawat yang berusaha menanganiku. Tapi yang paling jelas adalah suara Adam, memanggil namaku berulang kali.

“Nia, kumohon… jangan pergi.”

Aku ingin menangis.

Aku ingin memberitahunya bahwa aku juga tidak ingin pergi. Bahwa aku ingin tetap berada di sisinya, hidup lebih lama, menikmati cinta yang baru saja ia berikan sepenuhnya untukku.

Tapi aku tahu, keinginanku tidak akan mengubah kenyataan.

Ketika Waktu Tak Bisa Ditawar

Aku akhirnya terbangun di rumah sakit, tubuhku terasa jauh lebih lemah dari sebelumnya. Adam ada di sampingku, memegang tanganku erat, seakan takut aku akan menghilang jika dia melepaskannya barang sejenak.

Saat aku membuka mata, wajahnya berubah lega, tapi matanya masih memerah. “Kau sadar…” bisiknya.

Aku tersenyum lemah. “Aku masih di sini.”

Adam mengusap wajahnya, menelan emosinya sendiri. Aku tahu dia ingin bersikap kuat untukku, tapi aku juga tahu betapa takutnya dia.

Dokter masuk ke ruangan beberapa saat kemudian. Suara mereka terdengar seperti dengungan di kepalaku, tapi aku cukup sadar untuk menangkap esensi dari kata-kata yang mereka ucapkan.

Penyakitku sudah mencapai tahap akhir. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan selain membuatku merasa lebih nyaman.

Adam terdiam, menatap dokter dengan mata kosong, seakan menolak kenyataan yang baru saja dipaparkan di depannya.

Aku meremas tangannya pelan. “Adam…”

Dia menoleh padaku, matanya penuh kepedihan yang tidak bisa ia sembunyikan.

“Aku akan baik-baik saja,” ucapku dengan suara lemah.

“Kau tidak baik-baik saja, Nia!” suaranya pecah. “Jangan mencoba menenangkan aku dengan kebohongan.”

Aku terdiam.

Adam menghela napas panjang, menundukkan kepalanya. Bahunya bergetar.

“Kumohon… jangan tinggalkan aku,” bisiknya.

Air mataku jatuh. Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak akan pergi. Aku ingin menjanjikan sesuatu yang bisa membuatnya tenang. Tapi aku tidak bisa.

Kenyataan terlalu kejam untuk diberikan harapan palsu.

Kenangan yang Tak Akan Pudar

Hari-hari berikutnya terasa seperti balapan melawan waktu. Aku bisa melihat bagaimana Adam berusaha melakukan segalanya untukku—membawa bunga favoritku ke kamar rumah sakit, membacakan buku yang dulu kusuka, bahkan hanya duduk di sisiku, menggenggam tanganku.

Kami tidak banyak berbicara, karena tidak ada lagi yang perlu dikatakan.

Kami hanya ingin menikmati sisa waktu yang ada.

Suatu malam, aku terbangun dan menemukan Adam tertidur di kursi di samping ranjangku. Kepalanya menunduk, napasnya pelan.

Aku tersenyum. Aku ingin mengingatnya seperti ini—seseorang yang akhirnya mencintaiku sepenuh hati.

Aku mengangkat tanganku dengan susah payah, menyentuh rambutnya dengan lembut. Adam terbangun karena sentuhanku, matanya langsung menatapku dengan penuh perhatian.

“Kau butuh tidur yang cukup,” bisikku.

Dia menggeleng. “Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian.”

Hatiku menghangat. “Aku tahu.”

Aku menatapnya lama. Aku ingin mengingat setiap detail wajahnya, setiap garis ekspresinya. Aku ingin membawa kenangan ini bersamaku, ke mana pun aku pergi setelah ini.

“Aku mencintaimu, Adam,” ucapku lirih.

Adam menatapku dengan mata berkaca-kaca. Dia menggenggam tanganku lebih erat, seolah ingin mentransfer sebagian dari hidupnya ke dalam tubuhku yang semakin melemah.

“Aku juga mencintaimu, Nia,” suaranya pecah.

Aku tersenyum.

Dan aku tahu, inilah saatnya.

Kepergian yang Tak Terhindarkan

Aku bisa merasakan napasku semakin pendek. Tubuhku semakin ringan, seolah aku mulai terpisah dari dunia ini.

Aku mendengar suara Adam memanggil namaku, tapi suaranya semakin jauh. Aku ingin menjawabnya, ingin menahannya sedikit lebih lama, tapi tubuhku tidak lagi bisa bertahan.

Aku melihat cahaya perlahan mengelilingiku, dan di dalamnya, aku bisa melihat sosok Alina berdiri di kejauhan, tersenyum padaku.

Aku mengerti sekarang.

Aku tidak pernah menggantikan tempatnya. Aku tidak pernah menjadi bayangan. Aku adalah aku. Dan Adam mencintaiku dengan caranya sendiri.

Aku menghela napas terakhirku, membiarkan semua rasa sakit menghilang.

Sebelum semuanya menjadi gelap, aku mendengar bisikan Adam yang terakhir.

“Aku tidak akan melupakanmu, Nia.”

Air mataku jatuh untuk terakhir kalinya.

Aku pergi dengan tenang.

“Aku tidak menyesal mencintaimu, Adam. Tapi bolehkah aku sedikit egois? Aku ingin kau mengingatku… meskipun nanti aku pergi.”

Bab 10 – Luka yang Akan Selalu Ada

Sudah satu tahun sejak kepergian Nia.

Tapi bagi Adam, rasanya seperti baru kemarin.

Dia masih mengingat setiap detail wajahnya, setiap kata terakhir yang diucapkannya, setiap genggaman tangan terakhir yang terasa begitu nyata. Nia pergi dengan tenang, dengan senyum tipis yang tetap terukir di wajahnya. Tapi kepergiannya meninggalkan ruang kosong yang tak bisa diisi oleh siapa pun.

Pagi ini, Adam berdiri di depan makam Nia. Tangannya menggenggam setangkai bunga lili putih—bunga favorit istrinya.

Dia menatap batu nisan itu lama, membaca tulisan di atasnya dengan perasaan yang masih berat.

“Tania Adamira – Dicintai dan Mencintai dengan Sepenuh Hati.”

Adam tersenyum kecil, meskipun matanya masih terasa panas.

“Hei, Nia,” bisiknya pelan. “Aku datang lagi.”

Angin bertiup lembut, seolah membalas sapaannya.

“Aku baik-baik saja. Setidaknya, aku mencoba.”

Dia menghela napas, mengingat hari-hari yang telah berlalu tanpanya. Rumah terasa lebih sepi, waktu terasa lebih lambat.

Tapi Adam mencoba menepati janji yang pernah dibuatnya pada Nia.

Dia melanjutkan hidupnya. Bukan dengan melupakan, tapi dengan mengenang tanpa tenggelam dalam kesedihan.

Saat Adam pulang ke rumah, semuanya masih terasa sama.

Foto-foto Nia masih tergantung di dinding, aroma parfumnya masih samar tercium di lemari, bahkan catatan kecil yang dulu sering ia tinggalkan di meja masih tersimpan rapi.

Dia tidak bisa menghilangkan semua itu.

Bukan karena dia tidak ingin, tapi karena dia tidak siap.

Dia tidak ingin melupakan Nia.

Tapi dia juga tahu bahwa Nia tidak ingin dia terus hidup dalam kesedihan.

Maka, Adam mencoba perlahan-lahan.

Dia kembali bekerja, kembali berbicara dengan teman-temannya, bahkan mulai mencoba tersenyum lebih sering.

Namun, ada saat-saat di mana dia masih merindukan suara lembut Nia yang memanggil namanya.

Ada saat-saat di mana dia masih terbangun di tengah malam, berharap menemukan Nia di sisinya.

Dan ada saat-saat di mana dia masih merasa bersalah.

Karena dia terlambat menyadari perasaannya.


Suatu sore, Adam duduk di balkon rumah, tempat di mana dia dan Nia biasa menghabiskan waktu bersama.

Dia menatap langit senja, mengingat hari terakhir mereka bersama.

Lalu, tanpa sadar, dia berbicara pelan.

“Nia, aku masih mencintaimu.”

Suara angin menjawabnya, membelai wajahnya dengan lembut.

“Tapi aku tahu… kau ingin aku bahagia.”

Dia menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil.

“Aku akan mencoba lebih keras.”

Dan untuk pertama kalinya sejak kepergian Nia, Adam merasa lebih ringan.

Bukan karena rasa sakitnya hilang, tapi karena dia akhirnya menerima bahwa Nia akan selalu ada bukan sebagai luka, tapi sebagai bagian dari dirinya yang akan tetap hidup dalam kenangan.

“Aku mungkin terlambat mencintaimu, tapi rasa ini tidak akan pernah pudar.”

Tamat.

Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *