Sinopsis Singkat – Kapal Ruh: Cinta di Antara Dunia Orang Hidup dan Mati
Alana Viera, seorang insinyur penerbangan luar angkasa, mengalami kecelakaan misterius yang membuat jiwanya terjebak di Ruh Voyager kapal mistis yang mengarungi batas antara hidup dan mati. Di sana, ia bertemu Ezra Valtierra, seorang astronot yang menghilang bertahun-tahun lalu dalam misi luar angkasa.
Ezra yang kini menjadi kapten Ruh Voyager mengungkap bahwa Alana belum sepenuhnya mati, tetapi jiwanya hanya memiliki waktu terbatas sebelum benar-benar terjebak di kapal itu selamanya. Bersama, mereka mencari Pintu Takdir, satu-satunya cara agar Alana bisa kembali ke dunia nyata.
Namun, ada harga yang harus dibayar—kenangan mereka bersama.
Dalam petualangan yang melintasi galaksi dan dimensi, Alana harus memilih antara mempertahankan cinta yang telah lama terjalin atau menerima takdir yang memisahkan mereka. Ketika akhirnya ia kembali ke dunia nyata, Ezra juga ikut kembali, tetapi Alana tidak lagi mengingatnya.
Namun, meskipun kenangan telah hilang, hati mereka tetap saling mengenali.
Di bawah langit berbintang, mereka bertemu kembali. Dan kisah mereka… dimulai sekali lagi.
Bab 1: Terbangun di Antara Bintang
Kegelapan. Itu hal pertama yang Alana rasakan saat kesadarannya kembali.
Ia tak bisa mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Ada sesuatu yang hilang—kenangan terakhirnya terasa kabur, seperti lembaran kertas yang basah dan luntur. Perlahan, ia membuka matanya, dan yang terlihat adalah langit berbintang yang begitu luas.
Langit? Tidak. Ini bukan langit.
Alana menyadari bahwa dirinya tidak berada di Bumi. Di atas sana, bintang-bintang menggantung begitu dekat seakan bisa ia raih dengan tangan. Namun, yang lebih membingungkan, ia tidak merasakan gravitasi. Tubuhnya melayang, seakan tanpa bobot, seperti debu yang tertiup angin.
Jantungnya berdegup kencang. Apa ini? Apa yang sedang terjadi padanya?
Ia berusaha menggerakkan tangan dan kakinya, tetapi tak ada permukaan yang bisa ia injak. Perlahan, di kejauhan, ia melihat sesuatu—sebuah kapal besar yang melayang di antara bintang. Bentuknya tak seperti pesawat atau pesawat luar angkasa yang pernah ia lihat dalam film-film fiksi ilmiah. Kapal ini tampak seperti gabungan antara sesuatu yang kuno dan modern. Badannya panjang, dengan ornamen berkilauan yang menyerupai ukiran kuno di dinding candi, tetapi materialnya berpendar lembut, seolah terbuat dari energi murni.
Alana mendekat, atau lebih tepatnya, ia tertarik ke arahnya seakan ada kekuatan tak terlihat yang membawanya mendekat. Saat ia semakin dekat, sebuah suara menggema di telinganya—dalam dan penuh wibawa.
“Selamat datang di Ruh Voyager, wahai jiwa yang tersesat.”
Alana menoleh ke segala arah, mencari sumber suara itu. Namun, yang ia lihat hanyalah ruang hampa, kecuali kapal besar di hadapannya. Lalu, seakan merespon keberadaannya, kapal itu membuka sebuah gerbang besar dengan cahaya putih menyilaukan. Tanpa bisa menolak, tubuhnya tersedot ke dalamnya.
—
Ketika ia sadar kembali, ia sudah berdiri di sebuah ruangan luas. Ruangan ini tampak seperti dek kapal, tetapi dengan jendela raksasa yang memperlihatkan hamparan galaksi yang berputar perlahan di luar sana. Di sekelilingnya, terdapat perabotan antik bercampur teknologi canggih yang asing.
Napasnya tersengal. Apakah ini mimpi?
Lalu, suara langkah kaki menggema di baliknya.
Alana menoleh, dan saat itulah ia melihat seseorang yang membuatnya membeku.
Seorang pria tinggi, mengenakan seragam berwarna hitam dengan lambang berbentuk bulan sabit di dada kirinya. Rambutnya hitam pekat, sedikit berantakan, dan tatapan matanya…
Hati Alana mencelos. Itu tatapan yang pernah ia kenal.
Ezra.
Pria itu menatapnya, ekspresinya datar, tetapi ada kebingungan samar di matanya.
“Kau…” Ezra berbicara pertama kali, suaranya dalam, tetapi terdengar tidak yakin. Ia tampak sedang mengingat sesuatu. “…seharusnya kau tidak berada di sini.”
Alana masih tak bisa bergerak. Ezra. Pria yang menghilang bertahun-tahun lalu dalam misi luar angkasa. Pria yang seharusnya sudah mati.
“Tidak mungkin,” gumam Alana, nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Ia berjalan mendekat, tetapi Ezra tetap diam, memandangnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Alana mengulurkan tangan, ingin menyentuhnya, memastikan bahwa ini bukan ilusi atau mimpi yang aneh. Namun, saat jari-jarinya hampir menyentuh Ezra, pria itu mundur selangkah.
“Aku tidak mengerti,” kata Alana, suaranya bergetar. “Kau… kau menghilang. Semua orang mengira kau sudah mati.”
Ezra menghela napas panjang. “Mungkin itu memang yang seharusnya terjadi.”
“Apa maksudmu?”
Ezra tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke arah panel kontrol di tengah ruangan, lalu menatap hamparan bintang yang terbentang luas.
“Ini Ruh Voyager,” katanya akhirnya. “Kapal yang mengumpulkan jiwa-jiwa yang tersesat di antara kehidupan dan kematian.”
Alana merasa tenggorokannya mengering. “Jadi aku sudah mati?”
Ezra menatapnya lagi, kali ini dengan ekspresi lebih lembut, tetapi juga sedih. “Belum. Tapi kau sedang menuju ke sana.”
Alana merasakan seluruh tubuhnya melemas. Ini tidak mungkin nyata. Ia tidak mungkin sedang sekarat. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum ia terbangun di sini, tetapi semuanya samar. Yang ia ingat hanyalah cahaya terang, suara gemuruh… lalu kegelapan.
“Aku harus kembali,” katanya, setengah memohon. “Aku tidak seharusnya ada di sini, Ezra.”
Ezra menatapnya dalam-dalam. “Aku tahu. Dan aku akan membantumu. Tapi…” Ia menghela napas. “Itu tidak akan mudah.”
Alana menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tidak mudah lebih baik daripada mustahil.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanyanya.
Ezra mengalihkan pandangannya kembali ke jendela besar yang menampilkan galaksi luas di depan mereka.
“Kita harus menemukan jalan keluar sebelum jiwamu benar-benar terjebak di sini.”
Alana mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia tidak bisa mengabaikan pertanyaan terbesar yang ada di benaknya.
Bagaimana bisa Ezra masih ada di sini? Jika ia menghilang bertahun-tahun lalu, apakah itu berarti ia…
Alana menelan ludah.
Ezra menoleh padanya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi percayalah… aku sendiri pun belum menemukan jawabannya.”
Di luar jendela, bintang-bintang tampak berkelip, seakan memperingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan.
“Jika ini kematian, kenapa aku masih bisa merasakan hatiku berdebar saat melihatmu?”
Alana mengembuskan napas pelan. Ini baru permulaan.
Dan ia berjanji, apa pun yang terjadi, ia akan mencari jalan pulang.
Bab 2: Ruh Voyager, Kapal Para Jiwa
Alana masih berdiri terpaku di dek kapal, jantungnya berdebar kencang. Ezra berdiri tak jauh darinya, tatapannya tetap tenang, meskipun ada bayangan kebingungan di matanya.
Di luar jendela besar yang melingkupi ruangan itu, bintang-bintang bersinar lebih dekat dari yang pernah Alana lihat sebelumnya. Mereka melayang dalam lautan kosmos yang hening, tanpa suara, tanpa kehidupan—seolah berada di antara dunia nyata dan sesuatu yang lebih abstrak.
“Jelaskan padaku,” kata Alana, akhirnya memberanikan diri untuk bicara. “Apa sebenarnya tempat ini?”
Ezra menatapnya sesaat sebelum berjalan menuju konsol di tengah ruangan. Ia menekan beberapa tombol di panel kontrol, dan seketika, hologram raksasa muncul di hadapan mereka. Itu bukan peta biasa. Alana melihat titik-titik cahaya yang berkilauan, seperti gugusan galaksi yang tak terhitung jumlahnya.
“Ini adalah Ruh Voyager,” kata Ezra, suaranya dalam dan tegas. “Kapal yang mengangkut jiwa-jiwa yang tersesat. Mereka yang berada di batas antara kehidupan dan kematian.”
Alana mengerutkan kening. “Maksudmu… aku sudah mati?”
Ezra menoleh padanya. Matanya menatap dalam, seakan sedang menimbang sesuatu.
“Belum sepenuhnya,” jawabnya setelah beberapa saat. “Tapi waktumu tidak banyak. Jika kau tidak segera menemukan jalan kembali, kau akan menjadi bagian dari kapal ini… selamanya.”
Seketika, udara terasa lebih dingin.
Alana melangkah mundur, pikirannya berputar cepat. “Tidak. Tidak mungkin. Aku masih hidup… aku harus kembali.”
Ezra mendesah pelan. “Dan itulah yang harus kita cari tahu.”
Alana merasakan perasaan asing di dadanya. Ini tidak masuk akal. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang aneh—bangun di kapal yang melayang di antara bintang, bertemu pria yang telah lama menghilang, dan kini mendengar bahwa ia terjebak di antara dua dunia.
“Jika aku belum sepenuhnya mati, bagaimana aku bisa sampai di sini?” tanyanya.
Ezra menatapnya sejenak, sebelum menekan tombol lain di panel kontrol. Hologram berubah, menampilkan gambaran samar dari cahaya terang yang membentuk sosok bayangan.
“Ada dua kemungkinan,” katanya. “Satu, kau mengalami kecelakaan besar dan tubuhmu saat ini sedang sekarat di dunia nyata. Kedua…” Ia ragu sejenak sebelum melanjutkan. “…ada sesuatu yang menginginkanmu tetap di sini.”
Alana menelan ludah. “Apa maksudmu ‘sesuatu’?”
Ezra tidak langsung menjawab. Ia menekan tombol lain di panel, dan tiba-tiba, hologram menampilkan siluet bayangan yang bergerak samar di tepi layar.
“Ruh Voyager bukan hanya kapal,” katanya. “Ini juga penjara bagi mereka yang tidak bisa menemukan jalan kembali.”
Alana menggeleng tak percaya. “Aku bukan tahanan.”
“Belum,” Ezra membalas dengan nada tenang. “Tapi jika kau tidak segera kembali, kapal ini akan menganggapmu sebagai bagian darinya. Dan saat itu terjadi… tidak ada jalan pulang.”
Alana menatap Ezra, berharap pria itu memberikan solusi yang lebih konkret. Tapi Ezra hanya berdiri di sana, tatapannya tetap tenang meskipun ada sesuatu yang tersembunyi di balik ekspresinya.
“Jadi, bagaimana caranya aku kembali?”
Ezra menghela napas. “Ada sesuatu yang disebut Pintu Takdir. Celah antara dunia nyata dan dunia ini. Itu satu-satunya jalan keluar.”
Alana langsung menegakkan punggungnya. Ada harapan.
“Di mana Pintu Takdir itu?”
Ezra tampak ragu sebelum menjawab, “Aku tidak tahu.”
Hening.
Alana merasakan sesuatu yang mirip dengan keputusasaan merayapi dirinya. Tapi ia tak boleh menyerah.
“Lalu bagaimana kita menemukannya?” desaknya.
Ezra tampak berpikir sebelum menjawab, “Ada satu cara.”
Ia berjalan ke sisi lain ruangan, lalu menarik tuas yang menyalakan panel holografis baru. Kali ini, yang muncul bukan bintang atau peta galaksi, tetapi sebuah peta energi berwarna ungu yang berputar perlahan.
“Setiap jiwa memiliki jejaknya sendiri. Ruh Voyager bisa membacanya. Jika kita bisa menemukan jejak jiwamu yang masih tersisa di dunia nyata, kita mungkin bisa menemukan jalannya.”
Alana mendekat, menatap layar dengan perasaan campur aduk.
“Bagaimana aku bisa yakin bahwa tubuhku masih ada?”
Ezra menoleh padanya. “Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Kita harus pergi ke inti kapal dan mengakses sumber utama Ruh Voyager.”
Alana menatap Ezra, menyadari sesuatu. “Kau bicara seolah kau tahu banyak tentang tempat ini. Tapi aku masih belum mengerti… Kenapa kau ada di sini, Ezra?”
Ezra diam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan suara rendah.
“Karena aku tidak pernah benar-benar pergi.”
Alana menahan napas.
“Kau seharusnya sudah mati, Ezra,” katanya, suaranya nyaris berbisik.
Ezra menatapnya dengan mata yang penuh rahasia. “Dan mungkin itulah masalahnya.”
Di luar jendela kapal, bintang-bintang berpendar semakin terang, seakan menjadi saksi bisu dari teka-teki yang mulai terbuka.
“Ruh Voyager bukan sekadar kapal, Alana. Ini adalah batas tipis antara hidup dan mati.”
Dan ia baru saja menyeberanginya.
Bab 3: Mencari Jalan Pulang
Alana masih berdiri di dek kapal, pikirannya berputar dengan cepat. Ezra mengaku tidak pernah benar-benar pergi. Apakah itu berarti ia juga terjebak di Ruh Voyager? Jika iya, sejak kapan? Dan yang lebih penting, kenapa ia tidak berusaha kembali?
Udara di dalam kapal terasa dingin, namun bukan karena suhu. Ada sesuatu yang mengintai, sesuatu yang tak kasat mata tetapi bisa dirasakan kehadirannya.
“Jika kau ingin kembali,” Ezra akhirnya berbicara, “kita harus bergerak sekarang.”
Alana menatapnya penuh harap. “Kau tahu di mana Pintu Takdir?”
Ezra menggeleng. “Aku tahu bagaimana cara menemukannya.”
Ia berjalan menuju salah satu sisi ruangan dan menyentuh panel di dinding. Cahaya biru berpendar, menampilkan sebuah lorong panjang yang tampak tak berujung.
“Kita harus pergi ke inti Ruh Voyager. Hanya di sanalah kita bisa membaca jejak jiwamu.”
Alana menggigit bibirnya. Meskipun takut, ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan.
“Baiklah,” katanya, “tapi ada satu hal yang masih menggangguku, Ezra.”
Ezra menoleh.
“Kenapa kau tidak mencoba kembali?”
Sejenak, Ezra diam. Tatapannya mengarah ke luar jendela, ke arah bintang-bintang yang bergemerlapan di angkasa. “Mungkin aku sudah terlalu lama di sini.”
Jawabannya tidak memuaskan. Tapi Alana memutuskan untuk tidak menekannya lebih jauh—setidaknya untuk saat ini.
“Ayo pergi,” katanya.
Mereka berdua mulai berjalan menyusuri lorong yang dipenuhi dengan cahaya redup. Dindingnya tampak seperti campuran antara logam dan sesuatu yang lebih… hidup. Sesekali, Alana merasa seperti ada yang bergerak di balik dinding, seolah-olah kapal ini bukan hanya benda mati, tetapi sesuatu yang bisa merasakan keberadaan mereka.
“Apa kau pernah melihat orang lain di sini?” Alana bertanya.
Ezra mengangguk pelan. “Ada banyak jiwa di Ruh Voyager. Beberapa sadar bahwa mereka telah mati, beberapa lainnya… masih mencari jawaban.”
Alana merinding. “Dan mereka semua terjebak di sini?”
“Ya. Sampai mereka menemukan jalan keluar, atau…” Ezra tidak menyelesaikan kalimatnya.
Alana menelan ludah. Ia tahu apa yang dimaksud Ezra. Jika seseorang tidak menemukan jalannya, mereka akan menjadi bagian dari kapal ini.
Mereka terus berjalan hingga tiba di sebuah persimpangan. Di hadapan mereka, ada tiga lorong yang bercabang ke arah yang berbeda.
“Ke mana sekarang?” tanya Alana.
Ezra menatap dinding, lalu menekan simbol kecil di sebelah kiri. Sebuah cahaya ungu menyala, lalu garis-garis tipis muncul di udara, membentuk sesuatu yang menyerupai peta holografis.
“Kita harus ke Ruang Inti,” Ezra menunjuk ke bagian terdalam dari Ruh Voyager. “Di sanalah kapal ini menyimpan semua data tentang jiwa yang berada di dalamnya.”
“Berarti kita ambil lorong tengah?”
Ezra mengangguk. “Ya. Tapi ada satu masalah.”
Alana menegang. “Masalah apa?”
Ezra menatapnya dengan serius. “Lorong ini dijaga oleh sesuatu.”
Sebelum Alana sempat bertanya lebih lanjut, udara di sekitar mereka tiba-tiba berubah. Dinding yang sebelumnya tenang mulai bergetar, seakan merespon kehadiran mereka.
Dan kemudian, dari dalam bayangan, sesuatu muncul.
Makhluk itu tingginya hampir menyentuh langit-langit, dengan tubuh yang tampak seperti asap hitam berkilauan. Mata merahnya bersinar dalam kegelapan, dan dari dalam tubuhnya, terdengar suara bisikan yang tidak bisa dimengerti.
Alana membeku di tempat.
Ezra mencengkeram pergelangan tangannya. “Jangan bergerak.”
“Apa itu?” bisik Alana, suaranya nyaris tidak keluar.
“Penjaga,” jawab Ezra. “Mereka tidak akan menyentuh kita… selama kita tidak menunjukkan niat untuk pergi.”
Alana menahan napas. “Dan kalau kita berusaha pergi?”
Ezra tidak menjawab, tetapi genggamannya di tangan Alana semakin erat. Itu sudah cukup sebagai jawaban.
Makhluk itu bergerak perlahan, mengitari mereka. Bisikan-bisikan halus semakin terdengar jelas di telinga Alana.
“Kau… tidak seharusnya di sini…”
“Kau milik kami sekarang…”
Alana menelan ludah. “Ezra, kita harus bergerak sekarang.”
Ezra menatap makhluk itu, lalu mengambil langkah perlahan ke depan. Alana mengikutinya, mencoba untuk tidak panik.
Makhluk itu tidak bergerak.
Satu langkah. Dua langkah.
Kemudian, saat mereka melewati batas tertentu, suara ledakan menggema. Makhluk itu meraung, dan dari bayangan, lebih banyak sosok muncul.
“LARI!”
Ezra menarik tangan Alana dan mereka berdua berlari menembus lorong. Suara jeritan menggema di belakang mereka, dan Alana bisa merasakan hawa dingin mengalir ke punggungnya.
Mereka berbelok tajam ke kanan, lalu ke kiri. Langkah mereka bergema di lantai logam kapal. Lorong semakin menyempit, dan Alana mulai merasa mereka tidak akan berhasil.
Lalu, di depan mereka, ada pintu besar yang terbuka.
“Ke sana!” Ezra berteriak.
Mereka berdua melompat masuk tepat sebelum pintu tertutup.
Suara makhluk-makhluk itu masih terdengar di luar, tetapi perlahan mereda.
Alana terjatuh ke lantai, napasnya tersengal. “Sial, hampir saja.”
Ezra juga terengah-engah. “Ini baru permulaan.”
Alana menoleh ke sekeliling ruangan. Tempat ini berbeda dari bagian kapal lainnya. Dindingnya berwarna emas dengan jalur-jalur cahaya yang berkelap-kelip seperti aliran energi.
Di tengah ruangan, ada sebuah bola cahaya besar yang berputar perlahan.
“Ini dia,” kata Ezra. “Inti Ruh Voyager.”
Alana menatap bola cahaya itu dengan perasaan aneh. Seakan ada sesuatu yang menariknya ke sana.
Dan kemudian, sesuatu terjadi.
Bola cahaya itu mulai berubah bentuk, dan dari dalamnya, sebuah gambar muncul—gambar dirinya sendiri.
Bukan di Ruh Voyager.
Tetapi di dunia nyata.
Ia melihat tubuhnya sendiri, terbaring di atas ranjang rumah sakit, dengan alat-alat medis terpasang di sekelilingnya.
Jantungnya mencelos.
“Aku masih hidup,” bisiknya.
Ezra menatapnya. “Ya. Dan sekarang, kita harus menemukan cara untuk mengembalikanmu.”
Alana ingin merasa lega, tetapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ini tidak akan semudah yang mereka bayangkan.
Di luar sana, sesuatu—atau seseorang—tidak ingin ia kembali.
Dan mereka tidak akan membiarkan itu terjadi.
Bab 4: Makhluk Penjaga Kematian
Alana masih berdiri terpaku, menatap gambar tubuhnya yang terbaring di ranjang rumah sakit di dalam bola cahaya. Napasnya tertahan. Itu benar-benar dirinya—wajahnya pucat, selang oksigen terpasang di hidungnya, monitor detak jantung berdetak lemah di samping tempat tidurnya.
“Aku masih hidup,” bisiknya sekali lagi, seakan mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Ezra mengangguk. “Ya. Tapi itu juga berarti ada batas waktu sebelum jiwamu benar-benar meninggalkan tubuhmu.”
Alana mengalihkan pandangannya dari bola cahaya ke Ezra. “Jadi kita hanya perlu menemukan Pintu Takdir dan mengembalikan jiwaku ke tubuh itu, bukan?”
Ezra tidak segera menjawab. Ia memandangi bola cahaya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Ezra?”
“Tidak sesederhana itu, Alana,” akhirnya ia berkata. “Kau tidak bisa begitu saja kembali begitu saja. Ada sesuatu yang menjaga keseimbangan antara hidup dan mati.”
“Apa maksudmu?”
Sebelum Ezra bisa menjawab, bola cahaya di depan mereka bergetar. Cahaya di sekeliling ruangan berkedip-kedip, lalu tiba-tiba, suara berbisik memenuhi udara.
“Kau tidak boleh kembali.”
Suara itu bukan hanya satu, melainkan banyak. Lirih, berlapis, datang dari segala arah.
Alana menegang. Ia melirik Ezra, dan wajah pria itu berubah serius.
Dari balik cahaya yang berputar, sosok-sosok mulai muncul. Awalnya hanya bayangan samar, tapi semakin lama semakin nyata.
Mereka adalah makhluk yang mirip dengan yang mereka lihat di lorong sebelumnya, tetapi lebih besar, lebih mengerikan. Kabut hitam mengelilingi tubuh mereka yang seakan tanpa bentuk, dan mata merah menyala menatap lurus ke arah Alana.
“Mereka sudah datang,” kata Ezra pelan.
Alana menelan ludah. “Siapa mereka?”
Ezra menghela napas panjang. “Penjaga Kematian.”
Salah satu makhluk itu melangkah maju. Tidak ada suara saat mereka bergerak, tetapi udara di sekitar mereka berubah menjadi dingin dan berat, seolah gravitasi di tempat ini meningkat.
“Jiwa yang tersesat tidak boleh kembali,” kata makhluk itu. Suaranya dalam dan bergema, seperti bisikan yang datang dari tempat yang jauh.
Alana merinding. “Aku tidak tersesat. Aku hanya ingin kembali.”
Makhluk itu menundukkan kepalanya sedikit, seakan mengamati Alana lebih dalam.
“Kau telah melewati batas dunia ini,” katanya lagi. “Sekali kau di sini, kau tidak bisa kembali tanpa konsekuensi.”
Alana melirik Ezra. “Apa maksud mereka?”
Ezra tampak ragu sebelum akhirnya menjawab. “Ada harga yang harus dibayar jika kau ingin kembali ke dunia nyata.”
Alana mengerutkan kening. “Harga?”
Makhluk itu mengangguk. “Setiap jiwa yang kembali harus meninggalkan sesuatu. Kenangan, cinta, atau bahkan kehidupan orang lain.”
Jantung Alana mencelos. “Tunggu… maksud kalian aku harus mengorbankan sesuatu?”
“Tidak hanya sesuatu,” bisik makhluk itu. “Tapi seseorang.”
Alana merasa tubuhnya membeku. “Tidak. Aku tidak akan mengorbankan siapa pun.”
Makhluk itu bergerak lebih dekat. “Jika kau menolak membayar harga, maka kau akan menjadi bagian dari Ruh Voyager. Selamanya.”
Alana menoleh ke Ezra, berharap mendapatkan jawaban. Tapi pria itu tetap diam, rahangnya mengeras.
“Ezra… kau tahu tentang ini, bukan?” suara Alana melemah.
Ezra akhirnya mengangkat wajahnya. “Aku tahu.”
Alana mundur selangkah. “Dan kau tidak memberitahuku?”
Ezra menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku ingin memastikan kita punya pilihan lain.”
Alana menggeleng, merasa jantungnya berdebar semakin cepat. “Jadi selama ini… kau juga terjebak di sini karena tidak ingin membayar harga itu?”
Ezra tidak langsung menjawab, tetapi matanya berkabut dengan sesuatu yang mirip dengan rasa bersalah.
Makhluk itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, ruangan bergetar. Cahaya yang berputar di tengah mulai meredup, sementara bayangan hitam merambat ke arah mereka.
“Pilih sekarang,” kata makhluk itu. “Tetap di sini, atau kembali dengan harga yang harus kau bayar.”
Alana merasa napasnya tersengal. Ini tidak adil. Ia tidak seharusnya ada di sini. Ia masih hidup. Tapi bagaimana mungkin ia harus memilih antara hidupnya dan kehidupan orang lain?
Ezra tiba-tiba melangkah ke depan, berdiri di antara Alana dan makhluk itu.
“Aku yang akan membayar harganya,” katanya.
Alana membelalakkan mata. “Ezra, tidak!”
Ezra menoleh padanya, memberikan senyum kecil. “Aku sudah berada di sini terlalu lama, Alana. Ini waktunya aku pergi.”
Alana meraih tangannya. “Jangan lakukan ini! Aku tidak bisa membiarkanmu mengorbankan dirimu untukku!”
Ezra menatapnya dalam-dalam. “Aku lebih memilih kau hidup daripada terus terjebak di tempat ini.”
Tiba-tiba, makhluk itu menggerakkan tangannya, dan bayangan hitam mulai menyelimuti Ezra.
“Ezra!”
Alana berusaha menariknya, tetapi semakin keras ia mencoba, semakin kuat bayangan itu menarik Ezra menjauh.
Ezra menatapnya untuk terakhir kalinya, sebelum berbisik, “Hidupkan kembali impian kita, Alana. Untukku.”
Dan dalam sekejap, cahaya meledak di sekeliling mereka.
Semua menjadi putih.
Lalu…
Kegelapan.
Bab 5: Luka Lama dan Ingatan yang Hilang
Keheningan.
Semua terasa kosong. Tidak ada suara, tidak ada warna, hanya kehampaan yang mengelilingi Alana. Ia mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa ringan, seolah ia bukan bagian dari realitas lagi.
Lalu, perlahan-lahan, kesadaran mulai kembali.
Udara dingin menyentuh kulitnya, dan suara samar seperti desiran angin mulai terdengar. Alana membuka matanya dengan susah payah. Cahaya lembut memenuhi ruangan. Ia menyadari bahwa dirinya kembali berada di dalam Ruh Voyager, tetapi ruangan ini berbeda dari sebelumnya.
Ini bukan dek utama, bukan juga lorong-lorong gelap yang mereka lalui sebelumnya.
Ini… kamarnya?
Alana duduk perlahan di tempat tidur yang terasa asing namun familiar. Selimut tipis menutupi tubuhnya, dan di sekelilingnya, cahaya biru berpendar lembut dari dinding. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi terakhir kali.
Ezra.
Matanya langsung membelalak.
“Ezra!”
Alana melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke pintu. Tangannya gemetar saat mencoba membukanya, tetapi pintu itu tidak bergerak.
“Tidak… tidak mungkin!”
Ia menekan setiap tombol di panel samping pintu, tetapi tidak ada yang terjadi.
“Aku harus menemukannya. Aku harus menyelamatkannya!”
Tapi bagaimana caranya? Ezra sudah mengorbankan dirinya. Ia ditarik oleh makhluk penjaga kematian. Apa itu berarti ia sudah… pergi?
Alana menutup matanya, mencoba menenangkan diri. Tidak. Ia tidak boleh berpikir seperti itu. Ezra pasti masih ada di suatu tempat. Ia hanya perlu menemukannya.
Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari belakangnya.
“Kau harus tenang.”
Alana berbalik dengan cepat. Di sudut ruangan, seorang wanita berdiri. Rambutnya panjang dan berwarna perak, matanya bercahaya lembut seperti bintang di langit malam. Pakaiannya seperti kabut yang terus bergerak, seakan tubuhnya adalah bagian dari Ruh Voyager itu sendiri.
“Siapa kau?” tanya Alana, masih dengan napas tersengal.
Wanita itu tersenyum tipis. “Namaku Seraphine. Aku penjaga Ruh Voyager.”
“Penjaga?” Alana mengerutkan kening. “Jadi kau sama seperti makhluk-makhluk itu?”
Seraphine menggeleng. “Tidak. Mereka adalah Penjaga Kematian. Tugas mereka adalah menjaga keseimbangan antara hidup dan mati.”
“Lalu apa tugasmu?”
Seraphine berjalan mendekat, lalu duduk di salah satu kursi di ruangan itu. Ia menatap Alana dengan penuh kelembutan.
“Aku adalah penjaga jiwa yang tersesat. Aku membimbing mereka yang masih memiliki kesempatan untuk kembali.”
“Kalau begitu, bantu aku.” Alana menatapnya penuh harap. “Ezra mengorbankan dirinya untukku. Aku harus membawanya kembali!”
Seraphine menghela napas panjang. “Itu tidak akan mudah, Alana.”
Alana menggigit bibirnya. “Tolong… dia tidak seharusnya hilang. Aku tidak bisa ke dunia nyata tanpa dia.”
Seraphine menatapnya dalam-dalam. “Kau benar-benar mencintainya, bukan?”
Alana menahan napas. Ia tak perlu menjawab. Jawabannya sudah jelas dari sorot matanya.
Seraphine tersenyum tipis. “Baiklah. Aku akan membantumu. Tapi pertama-tama, ada sesuatu yang perlu kau ingat.”
“Mengingat?” Alana mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Seraphine melambaikan tangannya, dan tiba-tiba, cahaya lembut mengelilingi Alana.
Tiba-tiba, kepalanya terasa berat. Ingatan-ingatan yang kabur mulai bermunculan.
Dan kemudian… ia melihatnya.
Masa lalu.
Alana berdiri di ruang kendali sebuah pesawat luar angkasa. Ia mengenakan seragam astronot, dengan lambang misi di dadanya. Suasana tegang memenuhi ruangan. Alarm berbunyi nyaring, dan cahaya merah berkedip-kedip.
Di depannya, Ezra duduk di kursi pilot, ekspresinya penuh konsentrasi.
“Ezra! Sistem kendali mulai tidak stabil!” suara Alana terdengar di dalam helmnya.
“Aku tahu!” Ezra membalas cepat. “Kita harus keluar dari sini sebelum terlambat!”
Pesawat mulai bergetar hebat. Alana bisa merasakan gravitasi menariknya dengan keras, seolah ingin merobek tubuhnya.
“Ezra! Kita kehilangan kontrol!”
Ezra menoleh padanya. Wajahnya penuh ketegangan, tetapi juga ada sesuatu yang lain di sana—sesuatu yang selama ini Alana tidak sadari.
“Aku tidak akan membiarkanmu mati di sini, Alana.”
Lalu, semuanya menjadi hitam.
Alana terengah-engah saat kembali ke kesadarannya. Ia memegangi kepalanya yang terasa sakit.
“Apa yang baru saja terjadi?”
Seraphine masih duduk di tempatnya, menatapnya dengan tatapan lembut. “Itulah ingatan yang kau lupakan.”
Alana terdiam.
“Aku… pernah menjadi bagian dari misi luar angkasa yang sama dengan Ezra?”
Seraphine mengangguk. “Dan kau juga seharusnya menghilang bersamanya saat kecelakaan itu terjadi.”
Alana terdiam, pikirannya berputar dengan cepat. Jika itu benar… lalu bagaimana ia bisa selamat?
Seraphine melanjutkan, “Seseorang telah menyelamatkanmu. Tetapi sebagai gantinya, sebagian ingatanmu tentang kejadian itu dihapus.”
Alana menatapnya dengan mata membulat. “Siapa yang menyelamatkanku?”
Seraphine terdiam sejenak sebelum menjawab. “Ezra.”
Alana merasa dunianya runtuh.
“Dia yang mengorbankan dirinya untukku… sejak awal?”
Seraphine mengangguk. “Dan sekarang, kau punya kesempatan untuk mengembalikannya.”
Alana mengepalkan tangannya. Ia tidak akan membiarkan Ezra menghilang untuk kedua kalinya.
Ia akan menemukannya.
Dan kali ini, ia yang akan menyelamatkannya.
Bab 6: Waktu yang Hampir Habis
Alana duduk di tepi tempat tidurnya, pikirannya masih dipenuhi oleh ingatan yang baru saja kembali. Ezra telah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkannya dalam misi luar angkasa mereka bertahun-tahun lalu, dan kini ia melakukan hal yang sama lagi di Ruh Voyager.
Kali ini, Alana tidak akan membiarkannya menghilang begitu saja.
Seraphine masih berdiri di dekatnya, ekspresinya penuh kesabaran, seakan menunggu Alana untuk berbicara lebih dulu.
“Aku harus menemukannya,” kata Alana akhirnya. “Aku tidak peduli seberapa sulitnya. Aku akan membawa Ezra kembali.”
Seraphine menatapnya dengan lembut. “Aku bisa membantumu. Tapi kau harus tahu, waktu kita tidak banyak.”
“Apa maksudmu?” Alana bertanya dengan cemas.
Seraphine mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, cahaya biru menyelimuti ruangan. Di dalam cahaya itu, Alana melihat gambaran tubuhnya di dunia nyata.
Monitor jantung yang tadi berdetak lemah kini semakin melambat.
“Jiwamu semakin menjauh dari tubuhmu, Alana,” Seraphine menjelaskan. “Jika kau tidak kembali dalam waktu dekat… kau akan kehilangan kesempatan itu selamanya.”
Alana menahan napasnya. “Berapa banyak waktu yang tersisa?”
Seraphine tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kurang dari satu jam.”
Jantung Alana berdegup kencang. “Maka aku harus bergerak sekarang.”
Seraphine mengangguk. “Jika kau ingin menemukan Ezra, kau harus pergi ke tempat terdalam di Ruh Voyager. Tempat yang disebut ‘Void’. Itu adalah ruang di mana semua jiwa yang telah mengorbankan diri terjebak. Tapi tidak ada yang pernah kembali dari sana.”
Alana mengepalkan tangannya. “Aku tidak peduli. Aku harus mencobanya.”
Seraphine menatapnya sejenak, lalu akhirnya melambaikan tangannya. Pintu kamar terbuka, dan di belakangnya, terbentang koridor panjang yang gelap.
“Pergilah, Alana. Dan ingat, jika kau ingin kembali bersama Ezra, kau harus menemukan cahaya di dalam kegelapan.”
Alana mengangguk, lalu melangkah masuk ke lorong itu.
Saat Alana berjalan, atmosfer di sekitarnya mulai berubah. Udara menjadi lebih dingin, dan dinding yang sebelumnya terbuat dari logam kini tampak seperti kabut gelap yang terus bergerak.
Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya untuk maju.
Lalu, tiba-tiba…
Suara itu datang lagi.
“Kau tidak boleh berada di sini.”
Alana berhenti. Suara itu bukan hanya satu, tetapi banyak, berbisik di sekelilingnya seperti angin yang berputar.
Tiba-tiba, kabut di depannya bergerak, dan dari dalamnya, muncul sosok-sosok yang menyerupai bayangan. Mereka adalah Penjaga Kematian—makhluk yang tadi menarik Ezra.
“Ezra!” Alana berteriak. “Dimana dia?!”
Salah satu makhluk itu melangkah maju, matanya yang merah bersinar tajam.
“Ia telah menjadi bagian dari Void. Kau tidak bisa mengambilnya kembali.”
Alana menatapnya dengan penuh tekad. “Aku tidak akan pergi tanpa dia.”
Makhluk itu mendekat, lalu mengangkat tangannya. Tiba-tiba, Alana merasakan tubuhnya menjadi berat, seolah gravitasi di tempat ini meningkat. Ia berusaha melawan, tetapi semakin ia mencoba bergerak, semakin kuat tekanan yang menahannya.
“Jika kau ingin menjemputnya,” suara makhluk itu bergema, “maka kau harus menukarkan sesuatu yang lebih berharga.”
Alana menahan napas. “Aku tidak akan mengorbankan orang lain untuk kembali.”
Makhluk itu menatapnya dalam-dalam. “Tidak perlu orang lain. Yang harus kau korbankan adalah kenanganmu.”
Alana terdiam. “Kenangan?”
“Jika kau ingin membawa Ezra kembali, kau harus melupakan dia. Semua tentang dia. Segala kenangan yang kau miliki bersamanya akan terhapus. Ia akan kembali ke dunia nyata, tetapi bagimu, ia akan menjadi orang asing selamanya.”
Jantung Alana mencelos.
Kenangan mereka.
Tawa pertama mereka. Tatapan Ezra yang hangat. Malam-malam di mana mereka berbicara tentang impian, tentang bintang, tentang kehidupan.
Jika ia menerima tawaran ini, maka Ezra akan hidup kembali, tetapi bagi Alana… ia tidak akan pernah mengenalnya lagi.
“Tidak ada jalan lain?” suaranya bergetar.
Makhluk itu menggeleng. “Itu adalah satu-satunya harga yang bisa diterima oleh takdir.”
Air mata menggenang di mata Alana. Ia menoleh ke dalam kegelapan, seolah berharap bisa melihat Ezra di sana.
Ia ingin bersamanya.
Ia ingin mengingatnya.
Tapi… jika itu berarti kehilangan Ezra selamanya…
Ia mengangkat wajahnya, menatap makhluk itu dengan mata penuh kepastian.
“Aku menerima syaratnya.”
Makhluk itu menatapnya, lalu perlahan-lahan mengangkat tangannya. Cahaya putih menyelimuti Alana, dan ia merasakan sesuatu yang hangat di dalam dadanya mulai menghilang.
Satu per satu, kenangan tentang Ezra mulai memudar.
Bagaimana mereka bertemu.
Bagaimana mereka tertawa bersama.
Bagaimana Ezra selalu melindunginya.
Segalanya… mulai menghilang.
Lalu… kegelapan.
Dan kemudian…
Alana membuka matanya.
Udara di sekelilingnya terasa berbeda. Ia menatap sekeliling. Ia tidak lagi berada di Ruh Voyager.
Di sampingnya, alat-alat medis berbunyi perlahan.
Ia berada di sebuah ruangan rumah sakit.
“Alana!”
Suara itu… terdengar familiar, tetapi ia tidak tahu siapa pemiliknya.
Seorang pria berdiri di samping tempat tidurnya, matanya penuh dengan harapan dan keterkejutan. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang terasa… hangat.
Alana mengerutkan kening. “Maaf… siapa kau?”
Wajah pria itu berubah. Seolah hatinya baru saja dihancurkan.
Tetapi kemudian, ia tersenyum.
“Tidak apa-apa,” katanya pelan. “Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi.”
Alana tidak mengerti. Tetapi entah kenapa, ia merasa bahwa orang ini… sangat berarti baginya.
Ia hanya tidak tahu kenapa.
Dan dari luar jendela, bintang-bintang berkilauan, seolah tersenyum padanya.
Bab 7: Kebenaran yang Tersembunyi
Alana duduk di ranjang rumah sakit, menatap pria di sampingnya dengan ekspresi bingung. Ia tidak bisa mengingat siapa pria ini, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terasa… familiar.
“Siapa kau?” suaranya terdengar ragu.
Pria itu—Ezra, meski Alana tak lagi mengingatnya—tersenyum lembut, meskipun ada kesedihan dalam matanya. “Aku… seseorang yang dulu mengenalmu dengan sangat baik.”
Alana merasakan jantungnya berdebar, tapi ia tidak tahu kenapa. Ada sesuatu dalam nada suara Ezra yang membuatnya merasa seolah ia telah kehilangan sesuatu yang berharga—meskipun ia tidak tahu apa itu.
“Aku tidak ingat,” gumamnya, menunduk. “Sama sekali tidak.”
Ezra menatapnya dengan penuh kesabaran. “Itu bukan salahmu.”
Ruangan rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya suara mesin pemantau jantung yang berbunyi pelan. Alana merasa pikirannya kosong, seolah ada sesuatu yang hilang darinya.
“Apa yang terjadi padaku?” ia bertanya akhirnya.
Ezra menarik napas dalam sebelum menjawab. “Kau mengalami kecelakaan. Hampir kehilangan nyawamu. Tapi kau selamat.”
Alana menyipitkan mata, mencoba mengingat sesuatu—apapun—tentang kecelakaan yang dimaksud Ezra. Tapi tidak ada. Hanya kehampaan.
“Aku benar-benar tidak ingat,” katanya pelan. “Rasanya seperti ada sesuatu yang harus kuingat… tapi hilang begitu saja.”
Ezra menatapnya dengan raut wajah yang sulit diartikan. “Mungkin… itu lebih baik.”
Alana menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Ezra tampak ragu sejenak, lalu akhirnya menghela napas. “Alana… terkadang, beberapa hal lebih baik dibiarkan menjadi misteri.”
Tapi bagi Alana, misteri ini terasa seperti lubang hitam yang perlahan menyedot ketenangannya.
Alana mulai pulih secara fisik, tetapi pikirannya masih penuh dengan kekosongan. Setiap kali ia mencoba mengingat sesuatu, hanya kabut yang muncul.
Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya bertanya-tanya—kehadiran Ezra.
Ia selalu ada.
Menemaninya setiap hari.
Menatapnya dengan mata penuh perasaan.
Tapi ia tidak pernah menceritakan lebih dari yang perlu ia ketahui.
Suatu malam, ketika semua orang telah tertidur dan rumah sakit terasa sunyi, Alana memutuskan untuk mencari jawaban. Ia bangun dari ranjangnya, berjalan perlahan menuju meja tempat Ezra biasanya duduk. Di sana, ada sebuah buku kecil, tampaknya jurnal pribadi.
Tangannya gemetar saat ia mengambilnya. Ia tahu ini bukan hal yang seharusnya ia lakukan, tetapi ada dorongan kuat dalam hatinya—seolah sesuatu di dalam jurnal itu bisa membantunya mengingat.
Ia membuka halaman pertama.
Dan di sana, ia melihat namanya.
“Alana. Aku telah menunggu selama bertahun-tahun. Aku harap kau bisa mengingatku lagi.”
Tangannya menegang.
Ia membalik halaman berikutnya. Ada catatan-catatan lain.
“Aku melihatmu hari ini. Kau tersenyum, tapi aku tahu kau tidak mengingatku. Tidak apa-apa. Aku akan menunggumu.”
Halaman berikutnya berisi gambar.
Gambar dua orang yang berdiri di bawah bintang-bintang.
Tangannya gemetar.
Ia tahu gambar ini.
Ia tidak tahu dari mana… tetapi hatinya tahu.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya.
“Alana?”
Ia terkejut dan menoleh. Ezra berdiri di pintu, menatapnya dengan ekspresi kaget sekaligus penuh harapan.
“Kau membaca jurnal itu?”
Alana menatapnya, lalu kembali melihat jurnal di tangannya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi sesuatu dalam dirinya mulai berubah.
“Ezra…” suara Alana bergetar. “Siapa kau… bagiku?”
Ezra menutup matanya sejenak, seolah mengumpulkan keberanian. Lalu, dengan suara lembut, ia berkata:
“Aku adalah seseorang yang pernah sangat kau cintai.”
Bab 8: Perpisahan di Ujung Semesta
Ruangan rumah sakit terasa sunyi. Hanya suara alat pemantau detak jantung yang berdetak pelan di samping ranjang Alana. Ezra berdiri di hadapannya, tatapan matanya mengandung sejuta emosi yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
“Aku adalah seseorang yang pernah sangat kau cintai,” ucapnya pelan.
Alana masih menggenggam jurnal yang ia temukan di meja Ezra. Kata-kata di dalamnya menggema di pikirannya. Aku telah menunggu selama bertahun-tahun. Aku harap kau bisa mengingatku lagi.
Tapi ia tidak ingat.
Ia ingin mengingat.
Namun, setiap kali ia mencoba menggali lebih dalam, pikirannya seperti dinding kosong yang tak bisa ia tembus.
“Aku tidak mengerti… bagaimana mungkin aku melupakan seseorang yang begitu penting bagiku?” suaranya terdengar serak.
Ezra tersenyum kecil, tapi senyumnya penuh dengan kesedihan. “Itu bukan salahmu, Alana. Ada sesuatu yang kau korbankan… sesuatu yang kau lepaskan demi bisa kembali.”
Alana menatapnya, jantungnya berdebar. “Aku mengorbankan kenangan tentangmu, bukan?”
Ezra tidak langsung menjawab, tapi sorot matanya sudah cukup memberi tahu Alana kebenarannya.
“Aku memilih untuk melupakanmu agar bisa hidup?” suaranya hampir berbisik.
Ezra mengangguk pelan. “Kau tidak punya pilihan lain. Jika kau tidak melupakan aku, kau akan tetap terperangkap di Ruh Voyager.”
Alana terdiam. Ia tidak tahu harus merasakan apa. Ada sesuatu yang sakit di dalam dadanya, tapi ia tidak tahu kenapa. Seolah jiwanya tahu bahwa ada sesuatu yang hilang, tetapi pikirannya menolak untuk mengingatnya.
“Lalu… kenapa kau masih di sini?” tanyanya akhirnya. “Jika aku sudah kembali, seharusnya kau…”
Ezra menghela napas panjang. “Aku juga kembali bersamamu. Tapi…” ia menatap keluar jendela, di mana bintang-bintang bertaburan di langit malam. “Aku merasa masih ada yang belum selesai.”
Alana mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Ezra tersenyum pahit. “Aku bisa hidup kembali, tapi bagimu, aku hanyalah orang asing. Aku ingin tinggal di sisimu, tetapi aku tidak ingin menjadi seseorang yang kau lupakan setiap hari.”
Alana terdiam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ia tidak ingin Ezra pergi, meskipun ia tidak bisa mengingat apa yang pernah terjadi di antara mereka.
“Jadi kau ingin… meninggalkan aku?”
Ezra tersenyum lembut, tetapi matanya berkilau dengan kesedihan. “Aku tidak ingin meninggalkanmu, Alana. Tapi aku juga tidak ingin menjadi seseorang yang kau paksa untuk mengingat. Cinta itu bukan tentang mengembalikan sesuatu yang hilang… tetapi tentang membiarkan sesuatu berjalan sebagaimana mestinya.”
Alana menggigit bibirnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima itu.”
Ezra mendekatinya, lalu meraih tangannya. Sentuhan hangat itu membuat Alana merasakan sesuatu—sesuatu yang akrab, tetapi tetap tak bisa ia ingat.
“Aku akan selalu ada,” bisiknya. “Meskipun kau tidak mengingatku, aku akan tetap menjagamu.”
Air mata mulai menggenang di mata Alana. Ia tidak ingin menangis. Tidak seharusnya ia menangis untuk seseorang yang seharusnya tidak ia ingat.
Tapi hatinya berkata sebaliknya.
“Ezra…” suaranya bergetar. “Aku ingin mengingatmu.”
Ezra menggeleng dengan lembut. “Tidak perlu, Alana. Aku lebih memilih kau hidup dengan tenang, tanpa perlu terbebani oleh ingatan yang menyakitkan.”
Alana menggeleng. “Tidak. Aku ingin tahu. Aku ingin merasakan lagi apa yang pernah kita miliki.”
Ezra menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. “Mungkin kita akan bertemu lagi, di tempat lain, di waktu lain. Mungkin takdir akan mempertemukan kita dengan cara yang berbeda.”
Alana merasa hatinya remuk. Ia bahkan tidak tahu kenapa perpisahan ini terasa begitu menyakitkan.
Ezra melepaskan tangannya perlahan. “Hiduplah dengan baik, Alana.”
Lalu, ia berbalik, berjalan menuju pintu.
Alana ingin memanggilnya. Ingin menghentikannya.
Tetapi ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.
Ezra menoleh untuk terakhir kalinya, tersenyum lembut.
“Kita akan bertemu lagi.”
Lalu ia pergi.
Dan di dalam hatinya yang kosong, untuk pertama kalinya, Alana merasa bahwa ia baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Bab 9: Takdir yang Berubah
Setelah kepergian Ezra, Alana merasa ada lubang kosong di dalam dirinya. Ia tidak bisa menjelaskan mengapa, tetapi ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang begitu penting, seolah sebagian dari dirinya telah diambil.
Hari-hari berlalu di rumah sakit. Tubuhnya semakin kuat, luka-luka fisiknya mulai sembuh, tetapi pikirannya tetap dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terjawab.
Ezra tidak kembali.
Alana menghabiskan banyak waktu duduk di dekat jendela kamarnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Ia mencoba merasakan sesuatu yang familiar, sesuatu yang bisa membantunya mengingat, tetapi yang ia temukan hanyalah kehampaan.
Sampai suatu hari, seorang dokter datang membawa sesuatu yang mengubah segalanya.
“Alana, ada seseorang yang meninggalkan ini untukmu.”
Sebuah paket kecil diletakkan di atas meja di samping tempat tidurnya. Tangannya gemetar saat mengambilnya.
Ketika ia membukanya, di dalamnya terdapat sebuah jam saku tua dan sebuah surat.
Alana merasakan jantungnya berdebar.
Dengan hati-hati, ia membuka lipatan kertas itu dan mulai membaca.
Alana,
“Jika kau membaca ini, maka aku telah pergi. Aku tidak tahu apakah kau akan mengingatku suatu hari nanti, tetapi aku ingin kau tahu satu hal: aku tidak pernah menyesali apa pun tentang kita.”
“Aku tidak bisa memaksamu untuk mengingat, tetapi jika suatu saat nanti kau merasakan sesuatu yang aneh saat melihat bintang-bintang, maka mungkin, kenangan itu masih ada di suatu tempat di dalam hatimu.”
“Kita pernah bermimpi untuk mengarungi semesta bersama, bukan? Aku tidak tahu apakah itu akan terjadi lagi, tapi aku percaya bahwa takdir selalu memiliki caranya sendiri.”
“Hiduplah dengan baik, Alana.”
Ezra
Alana menutup surat itu perlahan, matanya mulai berkaca-kaca.
Tangannya bergerak untuk mengambil jam saku di dalam kotak itu. Ketika ia membukanya, di dalamnya terdapat sebuah ukiran kecil.
“Sampai kita bertemu lagi.”
Saat ia menyentuh jam itu, sesuatu yang aneh terjadi.
Sebuah gambaran melintas di pikirannya—seperti kilatan cahaya yang menyambar memorinya.
Ia melihat dirinya berdiri di dalam kapal yang melayang di antara bintang-bintang.
Ia melihat Ezra tersenyum padanya.
Ia melihat dirinya memegang tangan Ezra.
“Aku akan membawamu kembali.”
Jantung Alana berdegup kencang. Nafasnya tertahan.
Kilasan itu menghilang secepat ia datang, tetapi sesuatu di dalam dirinya berubah.
Ia mungkin tidak bisa mengingat segalanya…
Tapi ia tahu satu hal dengan pasti.
Ezra bukanlah orang asing.
Ia adalah seseorang yang sangat ia cintai.
Dan meskipun kenangan itu telah hilang…
Hatinya tetap mengingatnya.
Bab 10: Kapal yang Terus Berlayar
Alana duduk di bangku taman rumah sakit, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Sejak menerima surat dan jam saku dari Ezra, perasaannya terus dipenuhi oleh sesuatu yang aneh—seperti nostalgia yang tidak bisa ia pahami.
Ia tidak bisa mengingat apa pun tentang Ezra.
Tetapi hatinya…
Hatinya tahu bahwa pria itu adalah bagian dari dirinya.
Angin malam berembus lembut, membuat helaian rambutnya berayun pelan. Ia menggenggam jam saku itu erat-erat, jari-jarinya menyusuri ukiran kecil di dalamnya.
“Sampai kita bertemu lagi.”
Kata-kata itu terus terngiang di benaknya.
Apakah mereka benar-benar akan bertemu lagi?
Ataukah Ezra telah pergi selamanya?
Hari berlalu.
Alana akhirnya meninggalkan rumah sakit dan kembali ke kehidupannya. Namun, segala sesuatu terasa… berbeda.
Ia mendapati dirinya sering termenung, menatap langit malam lebih lama dari sebelumnya. Ia merasa ada sesuatu yang menunggunya di luar sana—sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Suatu hari, ia berjalan melewati sebuah toko antik. Pandangannya tiba-tiba tertarik pada sebuah majalah lama yang dipajang di etalase.
Sampul majalah itu memperlihatkan gambar seorang astronot yang tersenyum di dalam seragamnya.
Ezra.
Alana berhenti di tempat. Tangannya bergetar saat ia mengambil majalah itu dan membaca judulnya.
“Ezra Valtierra: Astronot yang Menghilang di Misi Terakhirnya.”
Jantungnya berdegup kencang.
Ia membuka halaman dalam dan membaca. Artikel itu menjelaskan tentang bagaimana Ezra menghilang bertahun-tahun lalu dalam misi luar angkasa. Tubuhnya tidak pernah ditemukan.
Namun yang lebih mengejutkan…
Ada catatan tambahan yang baru ditulis di bagian bawah artikel itu.
“Dua bulan lalu, seorang pria dengan nama Ezra Valtierra ditemukan dalam keadaan koma di rumah sakit. Para dokter tidak bisa menjelaskan bagaimana ia bisa kembali, tetapi kini ia telah sadar dan sedang menjalani pemulihan.”
Alana menutup majalah itu perlahan.
Tangannya mencengkeram jam saku di dalam sakunya.
Ezra… masih hidup.
Ia tidak tahu bagaimana itu mungkin. Tidak tahu bagaimana semesta bisa bekerja dengan cara yang begitu misterius.
Tapi yang ia tahu…
Takdir benar-benar memberikan mereka kesempatan kedua.
Dengan langkah cepat, Alana menuju rumah sakit yang disebutkan dalam artikel itu. Setiap detiknya terasa seperti berlari melawan waktu.
Ketika ia sampai, jantungnya berdegup lebih kencang daripada sebelumnya.
Ia melangkah ke dalam ruangan yang disebutkan perawat, hatinya penuh dengan ketegangan.
Di sana, duduk di ranjang dengan pakaian pasien dan rambut yang sedikit berantakan, adalah pria yang telah menghantui pikirannya selama ini.
Ezra.
Ia tampak lebih kurus, tetapi matanya tetap sama.
Hangat.
Akrab.
Ezra menoleh saat menyadari kehadirannya. Matanya membelalak.
Sejenak, tidak ada yang bergerak.
Lalu, perlahan-lahan, Ezra tersenyum.
“Alana?” suaranya serak, tetapi mengandung kehangatan yang begitu dalam.
Alana berdiri di ambang pintu, hatinya mencelos. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi yang keluar hanyalah satu kalimat.
“Aku tidak ingat segalanya.” Suaranya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi hatiku selalu mengingatmu.”
Ezra menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum. “Itu sudah cukup.”
Alana tersenyum kecil, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya.
Tanpa ragu, ia berjalan mendekat dan menggenggam tangan Ezra.
Mereka tidak perlu mengingat segalanya.
Karena mereka akan memulai segalanya dari awal.
Bersama.
Dan di luar jendela rumah sakit, bintang-bintang berkelap-kelip, seakan menyaksikan pertemuan kembali dua hati yang telah ditakdirkan untuk selalu bertemu.
Di dimensi mana pun.
Di kehidupan mana pun.
Kapal Ruh terus berlayar.
Dan cinta mereka akan selalu menemukan jalannya.
Tamat.
Novel ini ditulis oleh Evi Fauzi, Penulis dari Novel Singkat. Baca juga novel romantis, petualangan dan fiksi ilmiah lainnya.